Perubahan Kelembagaan Dalam Meningkatkan produktifitas

Oding Affandi E.161140031

Perubahan Kelembagaan Dalam Meningkatkan
Tata Kelola Hutan Yang Baik

1. PENDAHULUAN
Persoalan-persoalan krisis lingkungan, berupa kerusakan sumberdaya alam,
termasuk sumberdaya hutan, akhir-akhir ini menjadi isu yang hangat untuk
diperbincangkan dan mendapat perhatian besar dari hampir semua negara-negara di
dunia. Hal ini terjadi mengingat manusia dihadapkan pada serangkaian masalah-masalah
global yang membahayakan biosfer dan kehidupan makhluk hidup.
Penyebab kerusakan lingkungan hidup secara umum bisa dikategorikan dalam dua
faktor yaitu akibat peristiwa alam dan akibat ulah manusia. Letusan gunung berapi, banjir,
abrasi, tanah longsor, angin puting beliung, gempa bumi, dan tsunami merupakan
beberapa contoh bencana alam sebagai penyebab rusaknya lingkungan hidup akibat
peristiwa alam. Meskipun jika ditelaah lebih lanjut, bencana seperti banjir, abrasi,
kebakaran hutan, dan tanah longsor bisa saja terjadi karena adanya campur tangan
manusia juga. Penyebab kerusakan lingkungan hidup yang kedua adalah akibat ulah
manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh manusia ini biasanya lebih besar dibanding
kerusakan akibat bencana alam, mengingat kerusakan yang dilakukan bisa terjadi secara
terus menerus dan cenderung meningkat.

Terkait dengan kerusakan hutan, dengan mengacu pada data FAO, Indonesia
termasuk negara perusak hutan terbesar di dunia dengan laju kerusakan dua persen atau
1,87 juta hektare per tahun yang berarti setiap hari terjadi kerusakan hutan seluas 51
kilometer persegi. WWF dan Greenpeace menempatkan Indonesia di peringkat tertinggi
pembabatan hutan dunia dengan rekor 1,6 juta hektare per hari di Kalimantan, Papua, dan
Sumatra.(news.liputan6.com, 8 September 2012). Beberapa fakta lain terkait tingginya
kerusakan hutan di Indonesia diungkapkan oleh Khan, (2010); Hidayat, (2011); dan juga
Elias, (2013) yang menyatakan bahwa laju deforestasi mencapai 1,8 juta hektar/tahun
yang mengakibatkan 21% dari 133 juta hektar hutan Indonesia hilang.
Kajian terakhir yang juga dipublikasikan dalam jurnal Science menyebutkan bahwa
sepanjang 2001-2013 Indonesia telah kehilangan 15,8 juta hektare hutan. Situasi yang
terjadi Indonesia berbanding terbalik dengan yang terjadi di Brasil. Brasil mampu
menekan laju penggundulan hutan dari 4 juta hektare di tahun 2003 sehingga menjadi di
bawah 2 juta hektare pada tahun 2012. Sementara itu, laju penggundulan hutan Indonesia
malah cenderung meningkat dari 1 juta hektare pada 2003 menjadi 2 juta hektare di tahun
2012 (tempo.co, 14 Mei 2014; nationalgeographic.co.id, Juli 2014).
Sejalan dengan kajian UN-REDD (2013), tingginya kerusakan hutan ini
menunjukkan bahwa tata kelola kehutanan di Indonesia terkategori rendah atau dengan
kata lain bahwa pengelolaan hutan di Indonesia belum didasarkan pada prinsip-prinsip
tata kelola kehutanan yang baik. Hasil kajian yang dilakukan UN-REDD (2013) pada 31

lokasi yang tersebar di tingkat nasional, 10 tingkat provinsi dan 20 tingkat kabupaten
menunjukan, secara keseluruhan indeks tata kelola berdasarkan prinsip tata kelola
kehutanan berada pada angka 2,33 dari kisaran nilai indeks 0,00–5,00. Skor 2,33 berasal
dari nilai agregat pusat 2,78, lalu nilai agregat rata-rata provinsi 2,39, dan nilai agregat
kabupaten 1,80. Nilai indeks tata kelola hutan, lahan, dan REDD+ berdasarkan prinsip
tersebut masih di bawah nilai tengah yaitu nilai 3,00.
Dari berbagai kasus di lapangan, menujukkan bahwa rendahnya tata kelola
kehutanan menjadi penghambat dalam pencapaian pengelolaan hutan lestari (PHL).
Mayers dkk., (2002) dalam Nugroho (2013) menemukan bahwa banyak persoalan
pencapaian PHL berakar pada masalah yang jauh dari sumberdaya hutan (SDH) itu
sendiri. Dari berbagai pengalaman menunjukkan bahwa persoalan tersebut antara lain: (a)
lemahnya kelembagaan pemerintahan sehingga meneyebabkan ketidakmampuan
menegakan peraturan secara formal; (b) lemahnya kelembagaan sosial masyarakat yang
1

Oding Affandi E.161140031

Perubahan Kelembagaan Dalam Meningkatkan
Tata Kelola Hutan Yang Baik


menyebabkan stakeholder tidak bersdia memberi sanksi kepada pihak-pihak yang
merusak SDH; (c) kelemahan tata kelola kehutanan (forestry governance) yang pada
akhirnya menjadikan persoalan kehutanan semakin kompleks seperti pengkonversian
hutan alam tanpa proses konsultasi publik, penanaman hutan tanaman yang mengabaikan
hak-hak masyarakat sekitar hutan, dan teknik pengelolaan hutan yang diterapkan justru
menghilangkan keragaman hayati.
Diamond (2005) dalam Kartodihardjo (2006) menelaah kegagalan dan
keberhasilan kehidupan suku, bangsa, perusahaan, dalam melakukan pengelolaan
sumberdaya alam di beberapa negara. Salah satu pelajaran yang dapat ditarik dari telaah
Diamond tersebut adalah pentingnya mengubah arah kebijakan secara mendasar dari
bangsa-bangsa di dunia untuk menghindari masalah-masalah besar yang dihadapi,
khususnya akibat kerusakan sumberdaya alam. Perubahan orientasi kebijakan dapat
dilakukan hanya apabila suatu fenomena tertentu yang dihadapi oleh suatu negara dapat
difahami dari berbagai sudut pandang secara komprehensif. Disamping itu, perubahan
nilai-nilai (values) yang digunakan juga mempunyai peran penting. Sebagaimana
dikatakan Peters (2000) bahwa ”institution must become institution”. Seringkali upaya
perubahan kelembagaan – dalam hal ini adalah aturan main dan instrumennya – tidak
diikuti oleh pembaruan landasan filosofi dan kerangka pikir yang digunakan.
Sejalan dengan itu Nugroho (2013) menyebutkan bahwa kegagalan tata kelola
kehutanan disebabkan dua persoalan utama yaitu: (1) kegagalan dalam menyediakan

peraturan/perundangan/kebijakan yang efisien dan efektif dan (2) kegagalan dalam
membangun kapasitas organisasi yang mampu menjalankan peraturan/perundangan/
kebijakan untuk pencapaian tujuan hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Kegagalan
pertama berkaitan dengan institutional arrangement atau rules of the game. Dan
kegagalan kedua merujuk pada institutional environment atau institutions of governance.
Dalam upaya penanganan kegagalan tata kelola kehutanan yang ada, Nugroho
(2013) dengan merujuk kepada Mayers, dkk., (2002), menyatakan bahwa pencapaian
Sustainable Forest Management tidak dapat dilepaskan dari enabling policy, legal dan
institutional conditions dalam upaya pencapaian good foresry governance (GFG). Di sisi
lain Heriyanto (2007); Llewellyn (2007) menyatakan bahwa penata kelolaan krisis
lingkungan hidup termasuk hutan yang kini sedang melanda dunia bukanlah melulu
persoalan teknis, ekonomis, politik, hukum, dan sosial-budaya semata, melainkan
diperlukan upaya penyelesaian dari berbagai perspektif, termasuk salah satunya adalah
perspektif etika (prilaku manusia) dan norma-norma hukum untuk keselamatan alam
semesta (kosmos). Sedangkan Darusman (2012) menyatakan perlunya memperhatikan
faktor moral sebagai hal yang penting dalam rancangan atau perumusan kebijakan
pengelolaan hutan. Jauh sebelumnya INFORM/CI (2006) menyatakan bahwa
penanganan kerusakan lingkungan secara teknik-intelektual sudah banyak diupayakan,
namun secara moral-spiritual belum cukup diperhatikan dan dikembangkan. Oleh sebab
itu, pemahaman masalah lingkungan hidup dan penanganannya perlu diletakkan di atas

suatu fondasi moral dengan cara menghimpun dan merangkai sejumlah prinsip, nilai dan
norma, serta ketentuan hukum yang bersumber dari ajaran agama.
Mengacu pada pemaparan pendahuluan yang ada maka paper ini dilakukan untuk
mendapatkan pengetahuan tentang perubahan kelembagaan pengelolaan SDH serta
perubahan orientasi kebijakan yang semestinya dapat dilakukan dengan mengacu pada
perspektif Good Forestry Governance1 serta bagaimana pendekatan etika dalam
perumusan kebijakan.
1

GFG dapat diartikan sebagai suatu tatanan kelembagaan untuk mencapai tujuan (sesuai konteks) yang
melibatkan para aktor melalui mekanisme inter-relasi yang dikontrol dengan instrumen pengontrol

2

Oding Affandi E.161140031

Perubahan Kelembagaan Dalam Meningkatkan
Tata Kelola Hutan Yang Baik

2. PENGERTIAN DAN LINGKUP PERUBAHAN KELEMBAGAAN

Asumsi dalam Kelembagaan
Sudah dipahami secara umum bahwa makna kelernbagaan bukan hanya lernbaga
dalam pengertian organisasi atau perangkat “keras", rnelainkan perangkat lunak, aturan
main, keteladanan, rasa percaya, serta konsistensi kebijakan yang diterapkan oleh
pernerintah terhadap lembaga-lembaga masyarakat (Peters, 2000; Ostrom, 2008).
Kelembagaan melihat hukum dari sisi kemanfaatan dan rasa keadilan yang diciptakannya
dan bukan aspek legalitasnya saja.
Dalam telaah pustaka mengenai kelembagaan, Peters (2000) menyebutkan bahwa
terdapat empat aliran pemikiran mengenai kelembagaan. Pertama , kelembagaan
dirumuskan dengan pendekatan normatif. Dalam pendekatan ini logika tentang
kesesuaian (logic of appropriateness) dianggap menjadi dasar perilaku individu yang
dikendalikan oleh suatu kelembagaan. Yang berlawanan dengan logika kesesuaian
tersebut adalah logika tentang konsekuensi (logic of consequentiality) yang menjadi dasar
teori pilihan rasional.
Berdasarkan pendekatan normatif tersebut, individu-individu yang dikendalikan
dalam suatu kelembagaan tertentu mempunyai perilaku yang didasarkan pada standar
normatif dan tidak menggunakan keputusan-keputusan untuk menguntungkan dirinya
sendiri. Standar perilaku normatif tersebut kemudian dijadikan dasar pembentukan
kelembagaan dan menjadi landasan nilai-nilai sosial yang berlaku.
Kedua , kelembagaan dirumuskan berdasarkan pilihan rasional. Dalam hal ini,

kelembagaan mengatur dan menetapkan insentif bagi seluruh individu dan perilaku
individu-individu tersebut ditentukan oleh struktur insentif yang tersedia. Tidak seperti
dalam pendekatan normatif, dalam pendekatan pilihan rasional ini, nilai dan sikap (sets
of preferences) individu-individu yang didasarkan atas rasionalitas tersebut dianggap
tidak pernah berubah.
Ketiga , pendekatan historis. Dalam pendekatan ini, kebijakan dan aturan di dalam
suatu kelembagaan yang telah ditetapkan dianggap selalu tetap memberi pengaruh bagi
individu-individu dalam jangka panjang. Dalam kondisi demikian ini dianggap terdapat
ketergantungan antar waktu (path dependency) yang pada gilirannya kelembagaan di
masa lampau tetap memberi warna terhadap kebijakan-kebijakan yang ditetapkan di saat
ini. Terjadinya kondisi “status quo” dapat dijelaskan oleh pendekatan yang ketiga ini.
Keempat, pendekatan empiris (empirical institutionalism). Dalam pendekatan ini
biasanya pertanyaan yang dijawab adalah apakah dengan bentuk kelembagaan yang
berbeda akan dikeluarkan kebijakan yang berbeda. Pendekatan ini banyak digunakan
untuk menganalisis lembaga-lembaga pemerintah. Lembaga-lembaga pemerintah inilah
yang dianggap sebagai kelembagaan yang mengendalikan perilaku individu-individu
dalam masyarakat.
Berdasarkan keempat pendekatan tersebut, dalam setiap analisis mengenai
kelembagaan, yang terpenting adalah menetapkan pendekatan mana yang akan
digunakan. Pendekatan mana yang dipilih, sangat tergantung pada asumsi-asumsi yang

digunakan dan kesesuaiannya dengan situasi dan kondisi lapangan yang dihadapi.
Perubahan Kelembagaan
Untuk tujuan yang lebih operasional, perubahan kelembagaan menjadi pokok
pembicaraan. Tujuan perubahan kelembagaan adalah untuk mendapatkan kinerja lebih
baik yang diharapkan. Dengan kata lain, untuk memperbaiki kinerja yang buruk, salah
mekanisme. Adapun outcome untuk pengelolaan hutan adalah adalah SFM dan kesejahteraan masyarakat
(Nugroho, 2013).

3

Oding Affandi E.161140031

Perubahan Kelembagaan Dalam Meningkatkan
Tata Kelola Hutan Yang Baik

satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan perubahan kelembagaan.
Menurut Peters (2000), perubahan kelembagaan terdiri dari dua hal. Pertama , proses
institusionalisasi, atau secara populer biasa disebut sebagai pelembagaan. Kedua ,
perubahan norma atau nilai-nilai atau struktur yang menjadi karakteristik kelembagaan
tersebut.

Dalam proses institusionalisasi pokok masalahnya adalah bagaimana mengubah
kelembagaan menjadi “kelembagaan”. Maksudnya, perlu ada perubahan yang sangat
esensial agar kelembagaan benar-benar berubah, sehingga kinerja lebih baik yang
diharapkan juga terjadi. Misalnya, apabila pemerintah merumuskan kebijakan baru atau
mengubah suatu tugas pokok dan fungsi suatu lembaga/unit kerja, tetapi tidak ada akibat
perubahan di lapangan seperti yang diharapkan, maka perubahan kelembagaan
sebenarnya tidak pernah terjadi. Dalam hal ini Samuel Hutington dalam Peters (2000)
menetapkan empat kriteria terjadinya proses institusionalisasi, yaitu:
1) Terdapat kemampuan lembaga untuk membuat dan menjalankan keputusankeputusan yang dibuatnya;
2) Terdapat kemampuan lembaga untuk membentuk struktur di dalam dirinya sehingga
dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan;
3) Terdapat kemampuan lembaga untuk mengelola aktivitas dan mengembangkan
prosedur sehingga tugas-tugasnya selesai tepat pada waktunya.
4) Terdapat kesanggupan lembaga untuk beradaptasi terhadap lingkungannya;
Pengertian kedua dari perubahan kelembagaan adalah mengubah nilai-nilai dan
aturan main untuk memperbaiki apa yang akan dihasilkan oleh berjalannya kelembagaan
tersebut. Menilai hasil perubahan tersebut sangat tergantung pendekatan yang digunakan.
Dengan pendekatan empiris, perubahan yang dimaksud lebih dipentingkan hasil akhir
yang diakibatkannya. Misalnya perubahan kelembagaan dapat digambarkan oleh
perubahan perilaku masyarakat yang semula merusak hutan menjadi tidak merusak hutan

secara permanen. Oleh karena itu dalam proses institusionalisasi perlu dimasukkan nilainilai ke dalam struktur kelembagaan yang baru, dan bukan sekedar mementingkan,
misalnya, perubahan Surat Keputusan atau nama dan struktur organisasi.
Kelembagaan erat kaitannya dengan governance. Kaufman, dkk., (2000) yang
dikutif Ducan dan Toatu (2004), menyebutkan bahwa governance terdiri dari tradisi dan
institusi yang menentukan bagaimana kewenangan-kewenangan dijalankan di suatu
negara. Institusi yang dimaksud adalah aturan-aturan (formal dan informal) yang
berkembang di suatu masyarakat yang mampu menetapkan insentif kerangka kerja
perilaku individu (Nugroho, 2013).
Dalam perspektif governance, kelembagaan tersebut meliputi: (a) aturan
bagaimana pemerintahan (governments) dipilih, menjalankan fungsinya secara akuntabel,
dapat dimonitor dan diganti; (b) kapasitas pemerintahan mengelola sumberdaya secara
efisien dan memformulasikan, mengimplementasikan, dan menegakkan kebijakan dan
peraturan; (c) bagaimana masyarakat dan negara dapat menghormati kelembagaan
(formal dan informal) yang mengatur interaksi kegiatan ekonomi dan sosial diantara
mereka.
3. KONSEPSI TATA KELOLA KEHUTANAN YANG BAIK
Secara umum, kerangka konseptual tata kelola terdiri dari dua pendekatan utama,
yaitu pendekatan berbasis hukum dan aturan dan pendekatan berbasis hak atau ekonomi
politik. Geneologi pendekatan berbasis hukum atau aturan berasal dari pendekatan model
negara Weberian. Pendekatan ini bertumpu kepada peran dan fungsi formal negara berupa

4

Oding Affandi E.161140031

Perubahan Kelembagaan Dalam Meningkatkan
Tata Kelola Hutan Yang Baik

kehadiran institusi-institusi formal negara, pembuatan kerangka hukum dan peraturan
formal, norma dan nilai-nilai normatif dan pemberian layanan publik. Sedangkan konsep
tata kelola berbasis hak, lebih melihat hubungan antar aktor negara dan non negara,
struktur-struktur yang mendorong interaksi antar aktor, ruang negosiasi dengan
pemegang otoritas publik, dan mekanisme akuntabilitas antar aktor (Saunders dan Reeve,
2010).
Kedua pendekatan ini memiliki kekuatan dan juga kelemahannya. Pendekatan tata
kelola berbasis hukum dan aturan memiliki sejumlah kelemahan. Pendekatan yang
mengandalkan model top-down, dan command-and-control itu bahkan dinilai telah
kehilangan legitimasi dan efektivitasnnya. Ini bisa dilihat dari gagalnyanegara-negara
kesejahteraan di Eropa Utara menghadapi krisis ekonomi pada tahun 1980-an. Kegagalan
ini kemudian memunculkan gugatan dan pertanyaan mengenai efisiensidan konsep
negara kesejahteraan. Hal ini pada gilirannya berimplikasi pada munculnya perubahan
konsep dan pendekatan pengelolaan dari ”government” ke” governance”, yang
ditunjukan dengan berpindahnya otoritas dan kompetensi dari negara ke lembagalembaga
non negara, seperti organisasi internasional, NGOs dan swasta.
Sedangkan Saunders dan Reeve (2010) berpandangan berbeda. Mereka justru
melihat pendekatan berbasis aturan masih sangat relevan dalam konteks perubahan
transformatif pada sektor hutan dan lahan. Pendekatan ini sangat fungsional
mengidentifikasi kebijakan-kebijakan yang harus ada untuk menangani kebijakan politik
dan ekonomi pengelolaan sumberdaya hutan yang tidak kondusif akibat kelemahan dan
ketidakjelasan kerangka hukum maupun penegakannya. Pedekatan berbasis aturan juga
bermanfaat menentukan kriteria yang paling sesuai terkait dengan pengaturan pembagian
manfaat dari kegiatan perlindungan hutan, disamping untuk memastikan apakah
mekanisme akuntabilitas terhadap pemangku kepentingan dijalankan sesuai dengan
aturan.
Dalam konsep tata kelola, negara adalah aktor yang paling utama dalam
mengelola hutan. Ini tidak hanya berlaku di Negara-negara maju tetapi juga di Negaranegara yang sedang berkembang atau tidak hanya berlaku di Negara-negara sosialis yang
menerapkan sentralisasi kekuasaan, tetapi juga di negara-negara yang menerapkan
demokrasi liberal seperti di Amerika. Kepemilikan dan peran negara diperlukan untuk
mencegah berulangnya ”tragedy of the commons” yang bersumber pada tindakan masingmasing pihak —baik individu, entitas negara dan bisnis— yang mengeksploitasi
kekayaan alam milik bersama untuk kepentingan pribadi atau kelompok sehingga
merugikan kepentingan publik (Hardin, 1961). Karena itu, Negara perlu mengatur
kepemilikan dan akses terhadap sumberdaya alam termasuk hutan. Jika tidak, semua
hutan akan jatuh ke tangan swasta yang lebih berorientasi ”personal profit gain”.
Menurut Humphreys (2006) dan Peluso (1994), pada masa kolonial maupun pasca
kolonial, negara-negara penganut paham kapitalis atau sosialis telah terbukti gagal
sebagai manager hutan yang kapabel. Para pengelola negara telah melakukan eksploitasi
hutan yang melampaui daya dukungnya; memberikan izin kepada perusahaan swasta dan
publik tanpa mekanisme pengawasan dan evaluasi yang efektif; dan para pengelola hutan
tidak berfungsi sebagai pengelola hutan yang kredibel. Ini menyebabkan laju kerusakan
hutan cukup tinggi dan dinyakinin sebagai peyumbang gas rumah kaca pasca revolusi
industri terjadi di negara-negara Barat.
Mayers et all (2002) dalam Nugroho (2013) mendefinisikan tata kelola kehutanan
(forestry governance) sebagai kebijakan, peraturan, dan kelembagaan kehutanan yang
mempengaruhi pemanfaatan sumberdaya hutan baik pada level lokal, nasional, maupun
global. Berbagai kompleksitas sangat mempengaruhi konsep governance yang sesuai
dengan kehutanan maupun kompleksitas yang berkaitan dengan karakteristik sumberdaya
5

Oding Affandi E.161140031

Perubahan Kelembagaan Dalam Meningkatkan
Tata Kelola Hutan Yang Baik

hutan itu sendiri. Oleh karenanya dalam membangun kerangka pikir batasan Tata Kelola
Hutan yang Baik (good foresry governance) harus mencakup kajian terkait ‘tujuan’,
identifikasi aktor’, ‘mekanisme inter-relasi’, dan ’instrumen pengontrol mekanisme’
untuk pengurusan dan pengelolaan sumberdaya hutan.
Diyakini bahwa tata kelola kehutanan yang baik menjadi faktor penentu berhasil
atau tidaknya dalam pengelolaan hutan lestari di Indonesia. Dalam konteks pengelolaan
hutan, struktur dan praktek-praktek tata kelola sangat mempengahuri bagaimana masalahmasalah ditetapkan, kebijakan dibuat, dan dilaksanakan untuk mencapai kinerja tertentu
yang ingin dicapai. Tata kelola yang baik ditandai oleh sikap menghormati kepastian
hukum, transparansi dan aliran informasi yang bebas, keikutsertaan warga negara yang
signifikan, kesetaraan, akuntabilitas yang tinggi, manajemen sumber-sumber daya publik
yang efektif, dan terkendalinya korupsi. Kajian tata kelola ini diharapkan mampu
menyediakan diagnosa kondisi tata kelola hutan dalam bentuk “baseline data ”,
rekomendasi kebijakan, dan peta jalan serta instrumen monitoring isu-isu tata kelola
hutan.
UN-REDD (2013) dalam kajiannya menggunakan 117 indikator yang telah
disepakati oleh para pihak untuk mengukur kondisi tata kelola hutan pada tingkat pusat,
provinsi dan kabupaten. Indikator-indikator tersebut dikelompokkan kedalam 3 (tiga)
komponen tata kelola hutan dan REDD yaitu: (1) hukum dan kebijakan, (2) kapasitas
para aktor (pemerintah dalam pengertian luas, masyarakat sipil, masyarakat adat dan
lokal, perempuan serta masyarakat bisnis), dan (3) kinerja masing-masing aktor. Prinsipprinsip tata kelola dipergunakan sebagai parameter melihat komponen dan isu tata kelola
hutan. Adapun prinsip-prinsip yang dipergunakan adalah partisipasi, transparansi,
akuntabilitas, efektivitas, kapasitas dan keadilan.
Laporan hasil kajian UN-REDD (2013) tentang indeks tata kelola kehutanan
berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola hutan yang dipakai menunjukkan bahwa Nilai
indeks tata kelola hutan, lahan, dan REDD+ yang secara nasional didasari oleh komponen
tata kelola hutan, lahan, dan REDD+ bernilai 2,33. Nilai tersebut berasal dari agregat ratarata indeks komponen tata kelola hutan, lahan, dan REDD+ pada tingkat pusat sebesar
2,78, lalu nilai indeks rata-rata 10 provinsi yang memiliki hutan terluas sebesar 2,39, dan
nilai indeks rata-rata 20 kabupaten dalam provinsi tersebut sebesar 1,8. Nilai indeks pada
masing-masing tingkatan seperti pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten ini sendiri
merupakan angka komposit dari 117 indikator dan 6 isu tata kelola hutan, lahan, dan
REDD+ yang dikelompokkan kedalam tiga komponen tata kelola hutan, lahan, dan
REDD+. Ketiga komponen tersebut adalah komponen hukum dan kebijakan, kapasitas
para aktor (pemerintah dalam pengertian luas, masyarakat sipil, masyarakat adat dan
lokal, perempuan serta masyarakat bisnis), dan kinerja masing-masing aktor.
Melihat nilai indeks tata kelola hutan, lahan, dan REDD+ berdasarkan komponen
secara keseluruhan, skor akhir masih jauh di bawah nilai 3. Ini mengandung arti bahwa
nilai indeks keseluruhan tata kelola hutan, lahan, dan REDD+ berdasarkan komponen
masih belum baik terutama pada tingkat kabupaten yang nilai akhirnya di bawah angka
dua. Dengan kata lain, kondisi tata kelola hutan, lahan, dan REDD+, berdasarkan
komponen, masuk dalam kategori buruk pada tingkat kabupaten, dan kenyataannya
semua hutan berada dalam wilayah administrasi kabupaten
Sedangkan Jaringan Tata Kelola Hutan Indonesia (2013) telah melakukan analisis
tata kelola hutan dengan memilih 4 (empat) aspek prioritas dari governance, yaitu (1)
Transparansi, (2) Partisipasi, (3) Akuntabilitas, dan (4) Koordinasi. Keseluruhan
indikator diarahkan untuk menilai kondisi dari 4 isu utama kehutanan yaitu (a) Tenurial,
(b) Perencanaan ruang / lahan, (c) Manajemen kehutanan, dan (4) Pendapatan (revenues)
dari sektor kehutanan. Untuk melakukan analisis keempat aspek tersebut, penelitian ini
6

Oding Affandi E.161140031

Perubahan Kelembagaan Dalam Meningkatkan
Tata Kelola Hutan Yang Baik

menekankan adanya jaminan hukum (rules) yang memberikan landasan bagi pelaksanaan
tata kelola yang baik; aktor yang menjalankan landasan hukum tersebut; serta praktik
(aktualisasi) tata kelola kehutanan yang telah dijamin oleh peraturan perundangan.
Secara garis besar hasil penilaian Jaringan Tata Kelola Hutan Indonesia (2013)
tentang kondisi tata kelola kehutanan di lokasi kajian (Propinsi Kalimantan Tengah dan
Nusa Tenggara Barat) adalah: (1) Aspek Transparansi, meskipun sudah ada Undang
undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ternyata aspek
Transparansi masih belum secara utuh diaktualisasikan, (2) Aspek Partisipasi, pada isu
tenurial, dirasakan bahwa partisipasi masyarakat belum mendapatkan perhatian yang
signifikan. Demikian juga dalam hal pengangaran, rapat anggaran dapat dijadikan
tertutup (tanpa alasan) oleh DPR dan kemudian pada prakteknya diperparah dengan
keberadaan “mafia anggaran”, (3) Aspek Akuntabilitas dari pengelolaan hutan, akan
menjadi hasil dari sebuah proses yang transparan dan inklusif. Namun dalam
implementasinya, ditemukan bahwa mekanisme dan pengaturan yang telah ada itu tidak
dapat secara efektif dijalankan. Banyak faktor politis maupun prosedural yang
menghambat pelaksanaan mekanisme akuntabilitas publik, (4) Aspek koordinasi,
permasalahan koordinasi pada sistem birokrasi di Indonesia, memiliki kompleksitas yang
sangat rumit. Demikian juga halnya yang terjadi pada sektor kehutanan, aspek koordinasi
masih sangat terbatas pada pengaturan mengenai kejelasan kewenangan, tugas dan fungsi
dari aktor penyelenggara negara. Namun ketika menyentuh kepada jaminan pelaksanaan
koordinasi lintas sektor tidak terdapat satu kesatuan pola pengelolaan karena jaminan
hukum tidak mengatur hal tersebut.
4. PENGUATAN KELEMBAGAAN DALAM
TATA KELOLA KEHUTANAN
Ditinjau dari perspektif ilmu manajemen hutan dan ilmu kelembagaan, kerusakan
hutan Indonesia di luar Pulau Jawa pada umumnya karena tidak adanya organisasi
pengelola di tingkat tapak. Situasi demikian menyebabkan pada sebagian kawasan hutan
negara secara de facto menjadi sumberdaya ”open access”. Praktek-praktek illegal
logging dan perambahan hutan menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan
(Kartodihardjo, dkk., 2013). Kondisi ”open access” ini akibat lemahnya pengelolaan
hutan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemegang ijin usaha. Ketiga pihak
ini di masa lalu dan bahkan hingga sekarang lebih berorientasi kepada mengeksploitasi
komoditi kayu, bukan berorientasi kepada pengelolaan kawasan hutan
Dalam situasi demikian organisasi kehutanan harus mampu mentrasformasi dirinya
dari organisasi yang berorientasi pengawasan, pengaturan, dan hanya fokus pada aspekaspek teknis kehutanan dan berorientasi kepada objek dalam mengatasi masalah-masalah,
menjadi menjadi organisasi yang berorientasi pada pelayanan publik, lebih terbuka
terhadap pandangan-pandangan keilmuan non kehutanan, dan berorientasi kepada subyek
(aktor yang terlibat).
Transformasi tersebut memerlukan perubahan pola pikir (mindset) para
pendukungnya dan pembangunan kapasitas organisasi (organizational development).
Perubahan mindset akan memakan waktu yang lama apabila hanya disandarkan pada
himbauan (moral suasion) tanpa dikerangkai aturan main yang dapat merubah perilaku
subjek, sementara pembanguna kapsitas organisasi hampir tidak mungkin dpatdijalankan
tanpa reformasi kelembagaan. Sudah diketahui secara umum bahwa organisasi selalu
dipengaruhi oleh peraturan/perundangan, kebijakan, buday, tata nilai, dan norma-norma

7

Oding Affandi E.161140031

Perubahan Kelembagaan Dalam Meningkatkan
Tata Kelola Hutan Yang Baik

yang merupakan komponen kelembagaan dalam arti luas, dan organisasi akan berjalan
bila kelembagaan mengizinkan dan memungkinkan.(DFID, 2003).
Inti dari GFG adalah bagaimana para aktor yang terlibat dapat ditata mekanisme
inter-relasinya memalui berbagai instrumen pengontrol mekanisme inter-relsi tersebut
untuk mencapai tujuan-tujuan bersama dalam pengurusan dan pengelolaan SDH dan
penyediaan barang dan jasa secara berkelanjutan. Kegagalan membangun hubungan
yang harmonis atau lemahnya kapasitas para aktor akan menyebabkan tujua-tujuan
tersebut sulit untuk dicapai.
Kegagalan pencapaian GFG pada umumnya disebabkan oleh institusi (aturan main
dan organisasi) dalam pengurusan dan pengelolaan hutan. Oleh karenanya guna
mencapai GFG perlu dilakukan intervensi kelembagaan dalam memperbaiki kegagalankegagalan dengan tindakan seperti (Nugroho, 2013): (1) penataan peran, kewenangan,
dan tangung jawab, (2) penguatan sistem pendanaan yang memadai, (3) penguatan sistem
informasi, (4) penguatan sistem dan mekanisme penegakan sanksi, dan (5) akuntabilitas
dan peradilan yang jujur.
Terkait penguatan kelembagaan dalam mencapai GFG, Kartodihardjo (2008)
menyatakan bahwa tujuan melakukan perubahan kelembagaan adalah untuk
mendapatkan kinerja lebih baik seperti yang diharapkan. Dengan kata lain, untuk
memperbaiki kinerja yang buruk, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan perubahan kelembagaan.
Dengan demikian intervensi kelembagaan
seharusnya diarahkan untuk memperbaiki kegagalan-kegagalan yang ada. Oleh karena itu
untuk mencapai GFG diperlukan serangkain aksi seperti:
a) Penataan peran, kewenangan, dan tanggung jawab
Sesuai karakteristik barang dan jasa kehutanan, penataan ulang peran dan
kewenangan fundamental yang perlu dilakukan adalah menanta peran negara/pemerintah
dalam hal produksi barang dan jasa SDH. Di dlam mnjalankan fungsi produksinya,
apakah negara harus memproduksi barang dan jasa privat sekaligus publik?
Sifat exludable dan divisible barang dan jasa privat menyediakan insentif bagi
swasta untuk meproduksinya dan sekaligus menindikasikan bahwa untuk
megkonsumsinya diperlukan persaingan yang melibatkan proses bisnis dan hanya orang
yang memenuhi sayarat yang dapat mengkonsumsinya. Dengan demikian pelibatan
negara/pemerintah sebagai pelaku ekonomi langsung untuk memproduksi barang dan jasa
privat tidak akan menguntungkan. Sebaliknya untuk pure publik good and services
dimana melekat karakteristik non exludable dan divisible, maka negara sebagai
representatif publik wajib menyediakannya, karena swasta tidak tidak akan tertarik untuk
memproduksinya di satu sisi, sementara kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa ini
sangat tinggi.
b) Penguatan sistem pendaan yang memadai
Dalam pengelolaan SDH perlu ada kejelasan kaitan antara kebutuhan anggaran
dengan layanan jasa publik yang akan dihasilkan (kinerja). Demikian juga bahwa setiap
dana yang diperlukan tersebut disediakan tepat pada waktunya. Disisi lain juga penting
mendekatkan organisasi pembiayaan dengan orgaisasi penghasil pendapatyang
berimplkasi pada kebutuhan untuk menghadirkan administrasi yang otonom, transparan,
dan akuntabel.
c) Sistem monitoring dan evaluasi kerja
Sistem ini perlu dibangun untuk mengevaluasi kinerja perubahan. Penguatan
kelembagaan memerlukan sistem pengawasan yang baik, sehingga manajemen maupun
stakeholder eksternal dapat membandingkan kinerja aktual dengan kinerja yang
diharapkan.

8

Oding Affandi E.161140031

Perubahan Kelembagaan Dalam Meningkatkan
Tata Kelola Hutan Yang Baik

d) Penguatan sistem dan mekanisme penegakan hukum
Sistem dan mekanisme penegakkan hukum dimaksudkan untuk memberi
penghargaan (reward) kepada aktor yang berhasil menjalankan penguatan kelembagaan
dan hukuman (punishment) bagi yang tidak mencapai kinerja yang ditentukan. Sebaik
apapun kelembagaan yang dibangun tidak akan memiliki arti (sia-sia) jika tidak ada
sanksi atas penyimpangannya. Penegakan sanksi memerlukan kapasitas, kewenangan,
dan akuntabilitas organisasi (aktor) untuk dapat menegakkannya
e) Penyelesaian property rights
Poperty rights adalah hak yang dimiliki individu, masyarakat, negara atas suatu
sumberdaya
(asset/endowment)
untuk
mengelola,
memperoleh
manfaat,
memindahtangankan, bahkan untuk merusaknya. Poperty rights merupakan institusi,
karena di dalamnya mengandung norma-norma dan aturan main pemanfaatanya dan
merupakan alat pengatur hubungan antar individu (North, 1990 dalam Nugroho, 2013).
Konsep hak kepemilikan memiliki implikasi terhadap konsep hak (right) dan ewajiban
(obligation) yang diatur oleh huku, adat, dan tradisi atau konsensus yan mengatur
hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya.
Syarat kesempurnaan hak kepemilikan adalah (1) dapat diperjualbelikan
(tradable), (2) dapat dipindahtangankan (transferable), (3) dapat mengeluarkan pihak
lain yang tidak berhak (exludable), dan (4) dapat ditegakan hak-haknya (enforceable).
Semakin banyak syarat terpenuhi, semakin sempurna hak kepemilikannya, sehingga
semakin dapat diharapkan efisiensi alokasinya dan kelestarian pengelolaannya.
5. PENDEKATAN MORAL ETIKA DALAM
PENGUATAN KELEMBAGAAN
Isu-isu kerusakan lingkungan termasuk hutan menghadirkan persoalan etika yang
rumit. Karena meskipun pada dasarnya alam sendiri sudah diakui sungguh memiliki nilai
dan berharga, tetapi kenyataannya terus terjadi pencemaran dan perusakan. Keadaan ini
memunculkan banyak pertanyaan. Apakah manusia sudah melupakan hal-hal ini atau
manusia sudah kehilangan rasa cinta pada alam? Bagaimanakah sesungguhnya manusia
memahami alam dan bagaimana cara menggunakannya?
Etika secara etimologis berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti “adat istiadat”
atau “kebiasaan”. Maksudnya, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata
cara hidup yang baik, baik pada diri sendiri atau masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik
ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Etika digunakan
dalam bentuk kaidah, aturan atau norma secara lisan oleh masyarakat, sehingga dikenal,
dipahami dan dilaksanakan masyarakat.
Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan
menjadi dua yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal. Selain itu etika
lingkungan juga dibedakan lagi sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika
pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk
kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung
usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua mahluk.
Sikap dan perilaku seseorang terhadap sesuatu sangat ditentukan oleh bagaimana
pandangan seseorang terhadap sesuatu itu. Hal tersebut berlaku untuk banyak hal,
termasuk mengenai hubungan manusia dengan alam lingkungannya. Manusia memiliki
pandangan tertentu terhadap alam, di mana pandangan itu telah menjadi landasan bagi
tindakan dan perilaku manusia terhadap alam (Keraf , 2002; Irland, 2005).
Darusman (2012) menyatakan bahwa, perilaku (behaviour ) sangat tergantung pada
faktor kondisi atau situasi kelembagaan telah sangat umum diterima, sedangkan faktor
9

Oding Affandi E.161140031

Perubahan Kelembagaan Dalam Meningkatkan
Tata Kelola Hutan Yang Baik

moral dan etika sebagai penentu perilaku sangat kurang ditelaah, sehingga kurang
diperhatikan dalam rancangan dan pengambilan keputusan. Beberapa kebenaran berikut
menunjukkan betapa pentingnya faktor moral dan etika dalam menentukan keberhasilan
atau kemajuan seseorang atau masyarakat antara lain:
a) Manusia dan binatang tidak hanya merspons stimulasi dari luar, tapi ada keinginankeinginan dari dalam, atau apa yang disebut nafsu.
b) Manusia, dan hanya manusia yang punya akal yang gunanya untuk mengakali
stimulasi dari luar dan nafsu dari dalam. Kekuatan akal manusia berbeda-beda,
dikatakan semakin kuat bila semakin mampu menekan atau mengendalikan pengaruh
stimulasi dari luar dan nafsu dari dalam. Demikian sebaliknya, semakin lemah
akalnya semakin mendekati sifat binatang dimana stimulasi dari luar dan nafsu dari
dalam menguasi dan mengatur dirinya.
c) Kekuatan akal pengendali nafsu itu perlu tertambat atau terikat kuat pada moral yang
berakar pada agama (believe)
d) Ketertambatan atau keterikatan akal pada agama dan moral etika sendiri adalah
muncul atau hasil dari akal. Percaya akan adanya kekuatan pengendali hidup di luar
akal adalah kesimpulan akal.
Oleh karena itu, sebaiknya para ilmuwan dan para pembuat kebijakan segera
mulai dengan sungguh-sungguh menggali, membangun, memperkuat, dan memasukan
moral dan etika yang berakarkan agama ke dalam telaahan-telaahan ilmiahnya. Sekarang,
para ilmuwan mungkin masih merasa sulit memasukan faktor moral dan etika dalam
analisis kebijakan. Tetapi perlu diingat kembali pada tahu 1980-an, di mana para ilmuwan
masih merasa sulit melakukan apa yang sekarang dikenal dengan “analisis kelembagaan”
dalam perumusan kebijakan. Paling tidak, para ilmuwan tidak begitu saja menerima
sebagai pemaafan (exuse), bahwa wajar saja seseorang melakukan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) bila gajinya rendah, bahwa wajar pula bila yang kuat cenderung
mengeksploitasi yang lemah, atau bahwa dalam hubungan kemitraan, wajar saja bila
pimpinan (principal) cenderung memanfaatkan anak buah (agent)2, dan lain-lain.
6. PENUTUP
Kelembagaan dikatakan baik apabila aturan main dan organisasi mampu
mengarahkan perilaku para pihak yang terlibat dan saling terkait untuk mencapai tujuantujuan bersama (common goal). Perlu diwaspadai bahwa dalam proses transformasi dan
penguatan kelembagaan terdapat masa transisi yang sering diokupasi oleh kelompok yang
berkepentingan. Proses tansisi yang baik, apabila hal-hal yang demikian dapat
diantisipasi.
Kesadaran akan tata kelola kehutanan yang baik yang didasarkan pada moral dan
etika perlu ditanamkan kepada setiap pribadi (individu) dan menjadi tanggung jawab
bersama, lebih-lebih pemerintah sebagai pemegang regulasi dalam rangka menjaga dan
melestarikan hutan dan mengantisipasi dampak kerusakannya.

22

Hubungan para aktor yang berpengaruh dalam pencapaian GFG pada dasarnya selalu dihadapkan pada
masalah ketidak sepadanan informasi (asymmetric information) antara pemberi kepercayaan (principal)
dengan yang diberi kepercayaan (agent). Jensen dan Meckling (1976) dalam Nugroho (2013) menjelaskan
bahwa hubungan principal dan agent adalah hubungan dimana satu orang atau lebih sebagai pemberi
kepercayaan (principal) mempengaruhi orang lain sebagai mintra yang menerima kepercayaan (agent)
untuk melaksanakan beberapa tugas principal melalui pendelegasian wewenangan pengambilan
keputusan kepada mitra yang dimaksud agent.

10

Oding Affandi E.161140031

Perubahan Kelembagaan Dalam Meningkatkan
Tata Kelola Hutan Yang Baik

DAFTAR PUSTAKA
Conservation International (CI) Indonesia. 2006. Fiqih Lingkungan (Fiqh al-Bi’ah).
Jakarta
Darusman, D. 2012. Kehutanan Demi Keberlanjutan Indonesia. IPB Press. Bogor
DFID. 2003. Promoting Institutional and Organisational Development. Departement for
International Development (DF-ID). March 2003
Elias. 2013. Menatap Masa Depan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Indonesia dalam
Mewujudkan Kehutanan Indonesia Baru dalam D. Suhardjito dan H.R. Putro
(Editor). 2013. Pembangunan Kehutanan Indonesia Baru: Refleksi dan Inovasi
Pemikiran. IPB Press. Bogor
FWI/GFW. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch
Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch
Hardin, G. 1968. "The Tragedy of the Commons". Science 162 (1968): 1243-1248.
Heriyanto, H. 2007. Respons Realisme Islam Terhadap Krisis Lingkungan dalam F.M.
Mangunjaya, H. Heriyanto, dan R. Gholami (Editor). 2007. Menanam Sebelum
Hidayat, H. 2011. Politik Lingkungan. Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Masa
Reformasi. Yayasan Pusaka Obor Indonesia. Jakarta
Humphreys, D. 2006. Logjam: Deforestation and the Crisis of Global Governance,
London: Earthscan.
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/07/laju-kerusakan-hutan-indonesiamengalahkan-brasil (Diunduh 30 Oktober 2014)
http://www.tempo.co/read/news/2014/05/14/173577714/Dalam-Satu-Tahun-2-JutaHektar-Hutan-Dibabat (Diunduh 30 Oktober 2014)
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/149597indonesia__rangking_empat_perusak_lingkungan (Diunduh 01 Nopember 2014)
http://dnpi.go.id/portal/id/berita/berita-terbaru/302-kerusakan-lingkungan-di-tengahancaman-perubahan-iklim (Diunduh 01 Nopember 2014)
Irland L.C. 2005. “The ethics of forest management.” Northern Woodlands, Summer, p.
9.www.northernwoodlands.org.
Jaringan Tata Kelola Hutan Indonesia (2013). Potret Pelaksanaan Tata Kelola Hutan:
Sebuah Studi Mendalam di Provinsi Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat.
Bogor
Kartodihardjo, H. 2006. Masalah Kapasitas Kelembagaan Dan Arah Kebijakan
Kehutanan: Studi Tiga Kasus. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 3 :
14-25 (2006)
Kartodihardjo, H. 2008. Kelembagaan dan Kebijakan Dalam Pembangunan Hutan
Tanaman Rakyat. Bahan Makalah Diskusi Panel “Pembangunan Hutan Tanaman
Rakyat”. Pusat Penelitian Sosial dan Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor, 14 Agustus 2008.
Kartodihardjo H, Nugroho B, Putro HR. 2013. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan
Hutan (KPH): Konsep, Peraturan Perundangn dan Implementasi. Jakarta (ID):
Kementerian Kehutanan RI.
Kerap, A.S. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta
Khan, A. 2010. Kebijakan Usaha Kehutanan Indonesia: Sebuah Analisis Diskursus.
Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XVI, (2): 101-111, Agustus 2010. Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor.
List, P.C. 2000. Environmental Ethic and Forestry. Temple University Press,
Philadelphia
11

Oding Affandi E.161140031

Perubahan Kelembagaan Dalam Meningkatkan
Tata Kelola Hutan Yang Baik

Lywellyn, O.A.R. 2007. Disiplin Dasar Hukum Lingkungan Islam dalam F.M.
Mangunjaya, H. Heriyanto, dan R. Gholami (Editor). 2007. Menanam Sebelum
Kiamat. Islam, Ekologi, dan Gerakan Lingkungan Hidup. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta
Nugroho, B. 2013. Reformasi Kelembagaan dan Tata Kepemerintahan: Faktor
Pemungkin Menuju Tata Kelola Kehutanan Yang Baik dalam Kartodihardjo, H.
2013 (Editor) Kembali Ke Jalan Lurus. Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek
Kehutanan Indonesia. FORCI DEVELOPMENT dan Tanah Air Beta. Yogyakarta
Ostrom, E. 2008. Institutions And The Environment. Journal Compilation Institute of
Economic Affairs. Published by Blackwell Publishing, Oxford
Peluso, N. Lee. 1994. Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in
Java . Barkeley, CA: University of California Press.
Peters, B. G. 2000. Institutional Theory: Problem and Prospects. 69 Political Science
Series. Institute for Advance Studies. Vienna
Saunders, J dan R. Reeve. 2006. Monitoring Governance for Implementation of REDD+ .
London: Chatham House. PDF File

12