OPTIMISASI PENGOMPOSAN CAMPURAN KULIT KAKAO DAN SEKAM PADI DENGAN PENAMBAHAN BERBAGAI KOTORAN TERNAK

(1)

ABSTRACT

OPTIMIZATION COMPOSTING OF THE COCOA RIND AND RICE HUSK WITH THE ADDITION OF VARIOUS DUNG CATTLES

By Sularno

The aims of this research were to acquire the best kind of dung cattle for

composting a mixture of cocoa pod husk and rice husk with the short time

composting. The cocoa pod husk was been chopped and mixed with dung of cattle

(cow, chicken, and goats) and rice husk (5:5:1), then added with 25 kg dolomite

(total weight ± 685 kg). Then, those mixed compost (C/N ratio 30-40) with a high

of pile ± 1 m and covered with tents. Each treatments were conducted once a

week during 30 days and it was repeated as twice. During the composting process

the daily temperature, water content, pH, C-organic, N total, the ratio of C/N,

colors, smell, texture, P2O5, and K2O were evaluated.

The results showed that the addition of dung cattle gave a good effect at the time

composting (30 days) and the compost produced. The cow dung of cattle compost

produced the best based on the percentage decline in the ratio of C/N, the ratio of

C/N (12,95), material availability, and nutrient P and K with criteria respectively

C-organic 16,45 %, N total 1.27 %, pH 6.93, water content 57,60 %, blackish

brown color, smelling of the land, texture crumbs, P2O5 1.12 %, and K2O 3.25 %.


(2)

ABSTRAK

OPTIMISASI PENGOMPOSAN CAMPURAN KULIT KAKAO DAN SEKAM PADI DENGAN PENAMBAHAN BERBAGAI KOTORAN TERNAK

Oleh Sularno

Tujuan dari penelitian ini yaitu untukmendapatkan jenis kotoran ternak yang tepat

untuk pengomposan campuran kulit kakao dan sekam padi sehingga diperoleh

kualitas kompos kulit kakao terbaik dengan waktu pengomposan yang relatif

singkat. Kulit kakao yang telah dirajang dicampurkan dengan kotoran ternak

(sapi, ayam, dan kambing) dan sekam padi dengan perbandingan 5:5:1 serta

ditambah dengan dolomit 25 kg (total berat ± 685 kg). Campuran tersebut (rasio

C/N 30-40) kemudian ditumpuk berbentuk kerucut dengan ketinggian ± 1 m dan

ditutup dengan terpal. Setiap tumpukan dilakukan pembalikan satu minggu sekali

selama 30 hari pengomposan dengan masing- masing perlakuan diulang sebanyak

dua kali. Selama proses pengomposan diamati suhu harian, kadar air, pH,

C-Organik, N total, rasio C/N, warna, bau, tekstur, P2O5, dan K2O.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan kotoran ternak memberikan

pengaruh yang baik selama pengomposan (30 hari) serta kualitas kompos yang

dihasilkan. Penambahan kotoran ternak sapi menghasilkan kompos terbaik

berdasarkan persentase penurunan rasio C/N, rasio C/N (12,95), ketersediaan


(3)

C-organik 16,45%, N total 1,27%, pH 6,93, kadar air 57,60%, warna coklat

kehitaman, berbau tanah, bertekstur remah, P2O5 1,12%, dan K2O 3,25%,.


(4)

OPTIMISASI PENGOMPOSAN CAMPURAN KULIT KAKAO DAN SEKAM PADI DENGAN PENAMBAHAN BERBAGAI KOTORAN

TERNAK

Oleh SULARNO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Wana, Kecamatan Melinting,

Kabupaten Lampung Timur pada tanggal 17 Juli 1992, sebagai

putra pertama dari pasangan Bapak Saimo dan Ibu Tunasih.

Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Negeri II Wana pada tahun 1998– 2004; Sekolah Menengah Pertama Negeri I Bandar Sribhawono pada tahun 2004– 2007; Sekolah Menengah Atas Negeri I Bandar Sribhawono pada tahun 2007– 2010. Pada tahun 2010 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Teknologi

Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur Seleksi

Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama di perguruan tinggi, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Fisiologi

dan Teknologi Pasca Panen, Mikrobiologi Hasil Pertanian, dan Teknologi

Bioenergi. Pada tahun 2013 penulis melaksanakan praktik umum di PT. Indokom

Citra Persada Tanjung Bintang dengan judul ” Mempelajari Proses Pengolahan Kopi Biji Ekspor di PT. Indokom Citra Persada Lampung ”. Pada tahun 2013 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di Desa Sukarame,

Kecamatan Meraksa Aji, Kabupaten Tulang Bawang. Penulis juga aktif dalam

kegiatan kemahasiswaan diantaranya menjadi pengurus BEM (Badan Eksekutif

Mahasiswa) FP UNILA, FOSI (Forum Studi Islam) FP UNILA, serta Ikatan


(9)

Bismillahirohmanirrahiim

Ya Allah S.W.T.

Sujud syukurku padaMu atas segala kemudahan dan kenikmatan yang

Engkau berikan

Kupersembahkan karya sederhana yang penuh perjuangan dan

kesabaran ini sebagai ungkapan rasa sayangku dan baktiku kepada :

Ayah dan ibu tersayang yang selalu mencurahkan rasa sayang tanpa

henti, yang selalu mengajariku bagaimana menjadi manusia yang

terbaik, serta dalam doa dan sujud selalu menantikan keberhasilanku

dengan sabar dan penuh pengertian.

Semua keluarga besarku atas rasa sayang, doa, perhatian, pengertian,

penghormatan dan dorongan semangat yang tulus, serta persaudaraan


(10)

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalatmu sebagai

penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar

(Al-Baqarah : 153)

Jika seseorang bepergian dengan tujuan mencari ilmu, maka Allah

akan menjadikan perjalanannya seperti perjalanan menuju surga.

(Nabi Muhammad SAW)

Kamu sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai

pertanggungjawaban mengenai orang yang dipimpin.

(H.R. Bukhari Muslim)

Jadi diri sendiri, cari jati diri, dan adapatkan hidup yang mandiri.

OPTIMISTIS, karena hidup terus berjalan dan kehidupan terus

berputar.

Sesekali lihatlah ke belakang untuk melanjutkan perjalanan yang tiada


(11)

(12)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T karena atas rahmat dan

berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Optimisasi Pengomposan Campuran Kulit Kakao dan Sekam Padi dengan Penambahan Berbagai Kotoran

Ternak”. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung.

2. Ibu Ir. Susilawati, M.Si. selaku ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian.

3. Ibu Ir. Otik Nawansih, M.P. selaku ketua komisi pembimbing atas segala

bantuan, saran, arahan dan bimbingannya yang diberikan selama menyusun

skripsi penulis.

4. Bapak Drs. Azhari Rangga, M.App.Sc. selaku anggota komisi pembimbing

serta pembimbing akademik atas segala saran, semangat dan bimbingannya

yang diberikan selama menyusun skripsi penulis.

5. Ibu Ir. Fibra Nurainy, M.T.A. selaku penguji utama yang telah banyak

memberikan masukan, saran dan bimbingan terhadap karya skripsi penulis.

6. Seluruh bapak dan ibu dosen THP serta seluruh karyawan yang telah sangat

membantu selama perkuliahan dan penelitian ini atas semua bimbingan dan


(13)

7. Kedua orang tua tersayang serta adik tercinta atas do’a, dukungan moril, motivasi, serta kasih sayang yang tiada henti demi keberhasilanku.

8. Keluargaku angkatan 2010 “Angguk-Angguk Mundur” terima kasih atas kekelurgaan dan kebersamaan yang berharga selama ini.

9. Seluruh kakak-kakak dan adik-adik keluarga besar THP yang tidak bisa

disebut satu persatu, terima kasih atas kebersamaan serta bantuan yang

diberikan.

Akhir kata, semoga Allah S.W.T membalas segala kebaikan mereka semua, dan

penulis berharap skripsi ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi

yang membutuhkan. Amin.

Bandar Lampung, Oktober 2014 Penulis


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 3

1.3. Kerangka Pemikiran ... 3

1.4. Hipotesis ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Kakao ... 7

2.2. Kulit Kakao ... 9

2.3. Kotoran Ternak ... 12

2.3.1. Kotoran ayam ... 12

2.3.2. Kotoran sapi ... 13

2.3.3. Kotoran kambing ... 14

2.4. Sekam Padi ... 16

2.5. Pengomposan ... 17

2.5.1. Pengertian dan manfaat pengomposan ... 17

2.5.2. Prinsip pengomposan ... 20

2.5.3. Faktor yang mempengaruhi proses pengomposan ... 22

2.6. Kematangan dan Kualitas Kompos ... 28

III. BAHAN DAN METODE ... 31

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

3.2. Bahan dan Alat ... 31

3.3. Metode Penelitian ... 32

3.4. Pelaksanaan Penelitian ... 33

3.4.1. Penelitian pendahuluan ... 33

3.4.2. Proses pengomposan ... 33

3.4.3. Diagram alir proses pembuatan kompos ... 35

3.5. Pengamatan ... 36


(15)

3.5.2. Pengukuran derajat keasaman (pH) ... 36

3.5.3. Pengamatan kadar air ... 37

3.5.4. Total C-organik ... 37

3.5.5. Nitrogen Total ... 38

3.5.6. Rasio C/N ... 39

3.5.7. Warna, bau dan tekstur ... 40

3.5.8. Analisis Fosfor (P) ... 40

3.5.9. Analisis Kalium (K) ... 41

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

4.1. Suhu ... 42

4.2. Pengukuran pH ... 46

4.3. Kadar Air ... 48

4.4. Rasio C/N ... 50

4.5. Warna, Bau dan Tekstur ... 56

4.6. Pemilihan Perlakuan Terbaik ... 60

4.7. Analisis Kandungan Fosfor (P2O5) dan Kalium (K2O) ... 62

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 64

5.1. Kesimpulan ... 64

5.2. Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Rasio C/N Beberapa Jenis Limbah Kotoran/Feses ... 15

2. Organisme yang Terlibat dalam Proses Pengomposan ... 22

3. Perubahan Suhu pada Proses Pengomposan ... 22

4. Kondisi yang Optimal untuk Mempercepat Proses Pengomposan ... 28

5. Standar Kualitas Kompos (SNI 19-7030-2004) ... 30

6. Data Pengukuran Suhu ... 71

7. Data Analisis pH ... 72

8. Data Analisis Kadar Air ... 72

9. Data Analisis C Organik ... 73

10.Data Analisis N Total ... 73

11.Data Analisis Rasio C/N ... 74

12.Pengamatan Warna ... 75

13.Pengamatan Bau ... 76

14.Pengamatan Tekstur ... 77

15.Data Analisis Forfor (P2O5) ... 77

16.Data Analisis Kalium (K2O) ... 77

17.Karakteristik Kompos Hasil Penelitian dan Standar SNI ... 61


(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Tanaman Kakao ... ... 8

2. Kulit dan Biji Buah Kakao ... 9

3. Proses Umum Pengomposan Limbah Padat Organik ... 21

4. Perubahan Suhu dan Jumlah Mikroba selama Proses Pengomposan ... 21

5. Diagram Alir Proses Pengomposan Kulit Kakao ... 35

6. Suhu Tumpukan Kompos selama 30 Hari Pengomposan ... 43

7. pH Tumpukan Kompos selama 30 Hari Pengomposan ... 47

8. Kadar Air Pengomposan selama 30 Hari Pengomposan ... 49

9. C-Organik selama 30 Hari Pengomposan ... 51

10.N-Total selama 30 Hari Pengomposan ... 53

11.Rasio C/N Tumpukan Kompos selama 30 Hari Pengomposan ... 55

12.Warna Kompos selama 30 Hari Pengomposan ... 56

13.Bau Kompos selama 30 Hari Pengomposan ... 57

14.Tekstur Kompos selama 30 Hari Pengomposan ... 59

15.Kulit Kakao ... 79

16.Pencacahan Kulit Kakao ... 80

17.Pencampuran Kulit Kakao ... 80

18.Penutupan Sampel ... 80

19.Pembalikan Sampel ... 81


(18)

21.Hari ke 0 kompos kulit kakao + kotoran sapi ... 81

22.Hari ke 7 kompos kulit kakao + kotoran sapi ... 82

23.Hari ke 14 kompos kulit kakao + kotoran sapi ... 82

24.Hari ke 21 kompos kulit kakao + kotoran sapi ... 82

25.Hari ke 30 kompos kulit kakao + kotoran sapi ... 83

26.Hari ke 0 kompos kulit kakao + kotoran ayam ... 83

27.Hari ke 7 kompos kulit kakao + kotoran ayam ... 83

28.Hari ke 14 kompos kulit kakao + kotoran ayam ... 84

29. Hari ke 21 kompos kulit kakao + kotoran ayam ... 84

30.Hari ke 30 kompos kulit kakao + kotoran ayam ... 84

31.Hari ke 0 kompos kulit kakao + kotoran kambing ... 85

32.Hari ke 7 kompos kulit kakao + kotoran kambing ... 85

33.Hari ke 14 kompos kulit kakao + kotoran kambing ... 85

34.Hari ke 21 kompos kulit kakao + kotoran kambing ... 86


(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanaman kakao merupakan salah satu komoditas andalan yang berperan penting

bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2012 luas perkebunan kakao di

Indonesia mencapai 1.774.463 ha dengan total produksi mencapai 740.513 ton

(Direktorat Jendral Perkebunan, 2013). Provinsi Lampung telah mengembangkan

tanaman kakao sebagai komoditas unggulan dalam menghasilkan devisa negara

melalui kegiatan ekspor komoditi perkebunan kakao. Berdasarkan data yang

diperoleh dari Direktorat Jendral Perkebunan (2013), pada tahun 2012 luas areal

perkebunan kakao provinsi Lampung mencapai 51.064 ha dengan total produksi

sebesar 26.719 ton.

Produksi buah kakao sampai saat ini masih sebatas mengambil bijinya sementara

kulitnya belum banyak dimanfaatkan (Isroi, 2007). Limbah kulit buah kakao

berpotensi mencemari lingkungan jika dibuang begitu saja dan tidak dimanfaatkan

dengan teknologi yang tepat. Tumpukan kulit kakao yang membusuk akan

mencemari lingkungan sekitar karena menimbulkan bau yang kurang sedap serta

pengasaman tanah disekitarnya (Soedarsono dkk, 1997). Salah satu alternatif

untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan memanfaatkan kulit kakao sebagai


(20)

Selama ini limbah kulit kakao hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak atau

hanya dibawa ke kebun untuk ditumpuk tanpa pengomposan terlebih dahulu.

Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Zohdin (2012), tentang pemanfaatan

limbah kulit buah kakao sebagai pakan ternak ruminansia. Pada penelitian ini,

limbah kulit kakao diberikan pada ternak setelah dilakukan fermentasi terlebih

dahulu untuk menghilangkan senyawa anti nutrisi theobromin serta meningkatkan nutrisi . Kurangnya pengetahuan petani menjadi salah satu alasan mengapa kulit

kakao menjadi masalah lingkungan. Padahal, limbah kulit kakao berpotensi untuk

dimanfaatkan sebagai bahan baku kompos dan hasilnya dapat dikembalikan untuk

memupuk tanaman kakao sehingga produksi kakao dapat lebih ditingkatkan serta

mengurangi biaya pemupukan (Soedarsono dkk, 1997).

Kompos sebagai pupuk organik mengandung zat hara yang dibutuhkan oleh

tanaman serta mampu memperbaiki struktur tanah, menaikkan daya serap tanah

terhadap air, dan meningkatkan daya ikat tanah terhadap unsur hara (Murbando,

2008). Untuk dapat memperoleh kompos kulit kakao dengan kualitas yang baik,

diperlukan upaya-upaya untuk menguraikan kulit kakao serta mempercepat waktu

dekomposisinya. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan

pencampuran bahan lain yang kaya unsur hara dan mikroba seperti kotoran ternak

serta melakukan pencacahan terhadap kulit kakao sebelum dikomposkan

(Goenadi, 1997). Kotoran ternak seperti kotoran sapi, kotoran ayam, dan kotoran

kambing mengandung mikroorganisme pendegradasi yang mampu membantu

mendekomposisikan kulit kakao sehingga proses pengomposan kulit kakao dapat


(21)

3

kapang, actinomycetes, dan protozoa yang berperan dalam mendekomposisikan

bahan organik (Lingga, 1991).

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis kotoran ternak yang tepat untuk

pengomposan campuran kulit kakao dan sekam padi sehingga diperoleh kualitas

kompos kulit kakao terbaik dengan waktu pengomposan selama 30 hari.

1.3. Kerangka Pikir

Limbah kulit kakao merupakan salah satu limbah padat hasil proses pengupasan

buah kakao yang memiliki struktur kimia yang komplek sehingga memerlukan

waktu yang relatif lama untuk didekomposisikan secara alami. Hasil analisis yang

dilakukan oleh Aregheore (2002), menyatakan bahwa kulit buah kakao

mengandung protein 5,90%, serat kasar 45,90%, lemak 0,32%, pektin 4,80%,

lignin 27%, hemiselulosa 1,14%, dan pH 5,8. Selain itu, kulit kakao (umur

kurang dari satu minggu) mempunyai rasio C/N yang cukup rendah yaitu antara

20-25 (Soedarsono dkk, 1997). Pada kondisi tersebut, rasio C/N telah memenuhi

untuk proses pengomposan namun belum optimal dalam pembuatan kompos yang

baik.

Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 20-40. Rasio

C/N ideal untuk proses pengomposan adalah diantara 30-40 (Epstein, 1997).

Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk

pertumbuhan mikroba (Isroi, 2007). Murbando (1999), menyatakan bahwa untuk


(22)

dikombinasikan dengan bahan dengan rasio C/N tinggi . Oleh karena itu, untuk

memperoleh rasio C/N yang sesuai untuk pengomposan kulit kakao dapat

dicampur dengan kotoran ternak sebagai sumber nutrisi tambahan dan sumber

mikroba pengurai serta sekam padi yang memiliki rasio C/N tinggi (177,62)

sehingga diperoleh rasio C/N yang ideal untuk proses pengomposan.

Kompos dari kulit kakao mengandung unsur hara yang berguna untuk tanaman,

akan tetapi kandungan P dan K relatif rendah (Goenadi et al, 2000). Untuk

meningkatkannya maka dapat ditambahkan kotoran ternak. Kotoran ternak

mengandung unsur makro dan mikro yang dapat meningkatkan unsur hara P dan

K pada akhir pengomposan yang nantinya akan diserap oleh tanaman (Lingga,

1991).

Kotoran ternak yang ditambahkan dalam penelitian ini adalah masing-masing

kotoran sapi (rasio C/N 25-30), kotoran ayam (rasio C/N 18-25), dan kotoran

kambing (rasio C/N 30-35) (Lingga, 1991). Yusnaini dkk (1996), menyatakan

selain sebagai sumber untuk memperoleh rasio C/N yang optimal untuk

pengomposan, kotoran ternak dapat digunakan sebagai sumber mikroorganisme

dekomposer dan penambah kandungan unsur hara.

Pada kotoran ayam ditemukan bakteri seperti Lactobacillus achidophilus,

Lactobacillus reuteri, Leuconostoc mensenteroide dan Streptococcus

thermophilus, sebagian kecil terdapat Aktinomycetes dan kapang (Suryani dkk, 2010). Hasil analisis yang dilakukan oleh Bai dkk (2012), menyebutkan bahwa

total mikroba kotoran sapi mencapai 3,05 x 1011 cfu/g dan total fungi mencapai 6,55 x 104 cfu/g. Komposisi mikroba pada kotoran sapi mencakup ± 60 spesies


(23)

5

bakteri (Bacillussp., Corynebacterium sp., dan Lactobacillus sp.), jamur

(Aspergillus dan Trichoderma), ± 100 spesies protozoa dan ragi (Saccharomyces

dan Candida). Sedangkan Hidayati dkk (2010), menyatakan bahwa total jumlah bakteri yang terdapat pada kotoran kambing adalah 52 x106 cfu/g dan total koliform mencapai 27,8 x 106 cfu/g. Pada kotoran kambing terdapat mikroba-mikroba seperti Bacillussp., Lactobacillus sp., Saccharomyces, Aspergillus, serta

Aktinomycetes. Dengan demikian, adanya perbedaan berbagai jenis mikroba yang terkandung dalam ketiga jenis kotoran tersebut mengakibatkan proses

pengomposan yang berbeda pula.

Selain penambahan kotoran ternak, pembuatan kompos pada penelitian ini akan

ditambahkan sekam padi dan dolomit. Sekam padi ditambahkan untuk menambah

porositas bahan kompos sekaligus mengoptimalkan rasio C/N (Chang dan Chen,

2010). Hal ini dilakukan karena kulit kakao dan kotoran ternak ketika dicampur

akan lengket sehingga suhu pengomposan kurang optimal. Kandungan unsur hara

pada sekam padi menurut Kasli (2008), adalah C-organik 55,06%, N-total 0,31%,

rasio C/N 177,62, P-total 0,07%, K-total O,28%, Ca 0,06% dan Mg 0,04%.

Penambahan dolomit dilakukan untuk meningkatkan pH karena pH kulit kakao

relatif asam sehingga diperlukan penambahan dolomit agar pH dapat

dioptimalkan.

Berbagai penelitian tentang proses pengomposan berbagai bahan organik dengan

penambahan kotoran ternak telah banyak dilakukan. Harmoko (2008), melakukan

pengomposan bagasse + blotong dengan menambahkan kotoran sapi, urea dan


(24)

kotoran sapi menghasilkan kinerja pengomposan yang lebih baik dengan rasio

C/N kompos setelah 40 hari adalah ± 25. Sitepu (2006), menggunakan isolat

kotoran gajah pada pengomposan bagasse selama 40 hari pengomposan. Kompos

yang dihasilkan setelah analisis adalah dengan rasio C/N sebesar 22,19.

Nawansih dkk (2008), melakukan pengomposan bagasse dengan penambahan

isolat kotoran gajah, isolat kotoran sapi dan kontrol. Hasil penelitian yang

diperoleh menunjukkan bahwa kinerja inokulum terbaik adalah isolat kotoran sapi

yang menghasilkan rasio C/N sebesar 25 setelah 40 hari pengomposan.

1.4. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah terdapat salah satu

penambahan jenis kotoran ternak yang dapat menghasilkan kompos kulit kakao


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kakao

Tanaman kakao (Theobroma kakao L.) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang berprospek menjanjikan. Hal ini ditunjang oleh hasil pengolahan biji

tanaman kakao berupa produk coklat yang sangat disukai oleh para konsumen

disemua lapisan masyarakat dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Bubuk coklat ini

biasa digunakan sebagai bahan penyegar atau sebagai bahan campuran makanan.

Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, maka konsumsi

olahan biji kakao diperkirakan akan semakin meningkat.

Selain itu, komoditi kakao memiliki prospek pasar yang lebih besar jika

dibandingkan dengan komoditi perkebunan lainnya. Produksi kakao di Indonesia

pada tahun 2012 mencapai 740.513 ton dan diperkirakan akan terus meningkat

secara nyata karena program peremajaan tanaman yang terus digalakkan oleh

pemerintah (Direktorat Jendral Perkebunan, 2013).

Kakao merupakan tumbuhan tahunan (perennial) berbentuk pohon, di alam dapat mencapai ketinggian 10 m. Meskipun demikian, dalam pembudidayaan tingginya

dibuat tidak lebih dari 5 m dengan tajuk menyamping yang meluas. Buah kakao


(26)

bunganya dan berbentuk bulat hingga memanjang. Warna buah akan berubah

seiring tingkat kematangan buah. Sewaktu muda buah berwarna hijau hingga

ungu. Apabila telah masak kulit luar buah biasanya berwarna kuning. Di

Indonesia, kakao dikenal dengan dua jenis, yaitu kakao mulia yang berasal dari

varietas criollo dengan buah berwarna merah dan kakao lindak berasal dari varietas forastero dan trinitario dengan warna buah hijau (Ide, 2008). Gambar tanaman kakao dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tanaman Kakao

Kakao menghasilkan biji kakao yang digunakan sebagai penyedap makanan juga

sebagai sumber lemak nabati (Siregar dan Riyadi, 1994). Selama ini,

pemanfaatan kakao masih sebatas mengambil bijinya sedangkan kulit kakao yang

merupakan limbah masih minim dalam hal pemanfaatannya. Gambar biji kakao


(27)

9

2.2. Kulit Kakao

Kulit buah kakao merupakan limbah agroindustri yang dihasilkan tanaman kakao

(Theobroma cacao L.). Buah kakao terdiri dari 74% kulit buah, 2% plasenta dan 24% biji (Opeke, 1984). Hasil analisis yang dilakukan oleh Aregheore (2002),

menyatakan bahwa kulit buah kakao mengandung kadar air sebesar 85%, protein

5,90%, serat kasar 50,90%, lemak 0,32%, pektin 5,80%, lignin 29,94%,

hemiselulosa 7,14%, dan pH 5,8. Selain itu, kulit kakao (umur kurang dari satu

minggu) mempunyai rasio C/N yang cukup rendah yaitu antara 20-25

(Soedarsono dkk, 1997). Gambar kulit kakao dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kulit dan biji buah kakao

Spillane (1995), mengemukakan bahwa kulit buah kakao dapat dimanfaatkan

sebagai sumber unsur hara tanaman dalam bentuk kompos, pakan ternak, produksi

biogas dan sumber pektin. Sebagai bahan organik, kulit buah kakao mempunyai

komposisi hara dan senyawa yang sangat potensial sebagai medium tumbuh

tanaman. Kadar air (basis basah) untuk kakao lindak sekitar 86 % dan kadar

bahan organiknya sekitar 55,7 % (Soedarsono dkk, 1997).

Biji kakao Kulit buah


(28)

Kulit buah kakao merupakan salah satu limbah dari perkebunan kakao. Apabila

tidak dimanfaatkan dapat merupakan masalah lingkungan di sekitar perkebunan.

Salah satu cara untuk memanfaatkan kulit buah kakao adalah dijadikan kompos

yang dapat digunakan sebagai pupuk organik. Kulit buah kakao basah

mengandung C/N rasio 20-25. Kandungan hara mineral kulit buah kakao cukup

tinggi, khususnya hara Kalium dan Nitrogen. Dilaporkan bahwa 61% dari total

nutrien buah kakao disimpan di dalam kulit buah. Penelitian yang dilakukan oleh

Goenadi et.al (2000), mengemukakan bahwa kandungan hara kompos yang dibuat

dari kulit buah kakao adalah 1,81 % N, 26,61 % C-organik, 0,31% P2O5, 1,08%

K2O, 1,22% CaO, 1,37 % MgO, dan 44,85 cmol/kg KTK. Aplikasi kompos kulit

buah kakao dapat meningkatkan produksi hingga 19,48%.

Pada tahun 2012, total produksi kakao provinsi Lampung mencapai 26.719 ton

(Direktorat Jendral Perkebunan, 2013). Komposisi buah kakao 74% adalah kulit

kakao (Opeke, 1984). Dilihat dari melimpahnya produksi kakao ini maka terdapat

produk lain berupa limbah kulit buah kakao yang dihasilkan seiring dengan

jumlah produksi kakao tersebut. Limbah kulit kakao yang dihasilkan seiring

dengan hasil panen yang diperkirakan akan terus meningkat dapat berpotensi

menjadi sumber pencemaran lingkungan jika tidak dimanfaatkan dengan tepat.

Pencemaran tanah dapat terjadi karena kulit buah kakao membutuhkan waktu

yang relatif lama jika diuraikan secara alami tanpa aktivator sehingga berpotensi

menjadi tempat tumbuh berbagai penyakit terutama penyakit pada tanaman kakao

(Priyanto dkk, 2004). Pencemaran air juga dapat terjadi akibat tercemarnya


(29)

11

kakao (Nasrullah dan Ella, 1993). Air akan menjadi kotor dan tidak layak

dipergunakan untuk keperluan sehari-hari maupun untuk pembudidayaan ikan.

Selain itu, limbah kulit kakao akan menyebabkan pencemaran udara. Pencemaran

ini dapat terjadi akibat timbulnya bau busuk yang tidak terkendali yang

disebabkan oleh aktivitas mikroba yang menghasilkan gas amonia (Indriani,

2004). Bau ini dapat menimbulkan gangguan sistem pernapasan manusia jika

dihirup secara terus menerus.

Selain pencemaran yang ditimbulkan dari tumpukan kulit kakao tersebut,

tingginya penggunaan pupuk kimia oleh petani menjadi pertimbangan lain

mengapa perlunya dilakukan proses pengomposan dari kulit kakao ini.

Hermawan dkk (1999), menjelaskan bahwa penggunaan pupuk kimia yang terus

menerus akan menyebabkan semakin berkurangnya kandungan organik tanah dan

akan menimbulkan masalah lain dalam pembudidayaan pertanian di Indonesia,

seperti tanah menjadi semakin asam, tanah menjadi keras dan semakin rendahnya

tingkat kesuburan tanah yang akan berakibat pada hasil panen. Selain itu, harga

pupuk kimia saat ini relatif mahal. Dengan penggunaan kompos dari kulit kakao

ini, penggunaan pupuk kimia dapat ditekan walaupun dampak yang ditimbulkan

dari penggunaan pupuk kompos tidak secepat pupuk kimia.

2.3. Kotoran Ternak

Kotoran ternak merupakan salah satu limbah yang dihasilkan dari hewan ternak

yang dipelihara dan dibudidayakan. Kotoran ternak memiliki potensi yang besar

dalam pemanfaatan dan pengembangannya seiring dengan banyaknya hewan


(30)

(Priyanto dkk, 2004). Kotoran ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kotoran ternak ayam, kotoran ternak sapi, dan kotoran ternak sapi.

2.3.1. Kotoran Ayam

Kotoran ayam merupakan salah satu limbah yang dihasilkan baik ayam petelur

maupun ayam pedaging yang memiliki potensi yang besar sebagai pupuk organik.

Komposisi kotoran sangat bervariasi tergantung pada sifat fisiologis ayam,

ransum yang dimakan, lingkungan kandang termasuk suhu dan kelembaban.

Kotoran ayam merupakan salah satu bahan organik yang berpengaruh terhadap

sifat fisik, kimia dan pertumbuhan tanaman. Kotoran ayam mempunyai kadar

unsur hara dan bahan organik yang tinggi serta kadar air yang rendah. Setiap ekor

ayam kurang lebih menghasilkan ekskreta per hari sebesar 6,6% dari bobot hidup

(Taiganides, 1977). Kotoran ayam memiliki kandungan unsur hara N 1%, P

0,80%, K 0,40% dan kadar air 55% (Lingga, 1986).

Hasil analisis yang dilakukan oleh Suryani dkk (2010), bakteri yang ditemukan

pada kotoran ternak ayam antara lain Lactobacillus achidophilus, Lactobacillus reuteri, Leuconostoc mensenteroide dan Streptococcus thermophilus, sebagian kecil terdapat Aktinomycetes dan kapang. Raihan (2000), menyatakan bahwa penggunaan bahan organik kotoran ayam mempunyai beberapa keuntungan antara

lain sebagai pemasok hara tanah dan meningkatkan retensi air. Apabila

kandungan air tanah meningkat, proses perombakan bahan organik akan banyak

menghasilkan asam-asam organik. Anion dari asam organik dapat mendesak

fosfat yang terikat oleh Fe dan Al sehingga fosfat dapat terlepas dan tersedia bagi


(31)

13

berkadar bahan organik rendah karena pupuk organik mampu meningkatkan kadar

P, K, Ca dan Mg tersedia.

2.3.2. Kotoran Sapi

Umumnya tujuan para peternak dalam beternak sapi adalah untuk mendapatkan

daging sapi atau susu sapi. Selain menghasilkan daging atau susu, dalam beternak

sapi juga menghasilkan produk lain berupa kotoran. Seekor sapi dapat

menghasilkan kotoran antara 8-10 kg/harinya. Kotoran sapi akan menimbulkan

masalah bila tidak dimanfaatkan dan ditangani dengan baik. Hal tersebut tentu

tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena selain mengganggu dan mengotori

lingkungan, juga sangat berpotensi untuk menimbulkan penyakit bagi masyarakat

sekitarnya.

Ternak ruminansia seperti sapi mempunyai sistem pencernaan khusus yang

menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi untuk

mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau tumbuhan hijau lain yang memiliki

serat yang tinggi. Karena itu kotoran sapi masih memiliki banyak kandungan

mikroba yang ikut terbawa pada feses yang dihasilkan. Hasil analisis yang

dilakukan oleh Bai dkk (2012), menyebutkan bahwa total mikroba kotoran sapi

mencapai 3,05 x 1011 cfu/gr dan total fungi mencapai 6,55 x 104. Komposisi mikroba dari kotoran sapi mencakup ± 60 spesies bakteri (Bacillussp., Vigna sinensis, Corynebacterium sp., dan Lactobacillus sp.), jamur (Aspergillus dan

Trichoderma), ± 100 spesies protozoa dan ragi (Saccharomyces dan Candida). Bakteri yang terdapat pada kotoran sapi mayoritas jenis bakteri fermentor


(32)

beberapa produk terekskresi berasal dari empedu (pigmen), bakteri usus, dan

lendir.

Kotoran sapi merupakan bahan organik yang secara spesifik berperan

meningkatkan ketersediaan fosfor dan unsur-unsur mikro, mengurangi pengaruh

buruk dari alumunium, menyediakan karbondioksida pada kanopi tanaman,

terutama pada tanaman dengan kanopi lebat dimana sirkulasi udara terbatas.

Kotoran sapi banyak mengandung hara yang dibutuhkan tanaman seperti nitrogen,

fosfor, kalium, kalsium, magnesium, belerang dan boron (Brady, 1974, dalam

Sudarkoco, 1992).

2.3.3. Kotoran Kambing

Kambing merupakan salah satu hewan yang mampu beradaptasi dengan baik

diberbagai kondisi lingkungan. Kambing tersebar luas di wilayah Indonesia.

Kegunaan kambing umumnya dimanfaatkan dagingnya. Namun, di Indonesia

akhir-akhir ini sudah berkembang pesat peternakan kambing yang memproduksi

susu sebagai produk utama. Disamping produk berupa susu dan daging dari

kambing, terdapat limbah yang dihasilkan dari usaha peternakan kambing yaitu

feses atau kotoran yang dihasilkan kambing setiap harinya.

Tekstur feses kambing adalah sangat khas, karena berbentuk butiran-butiran yang

agak sukar dipecah secara fisik sehingga berpengaruh terhadap proses

dekomposisi dan proses penyediaan haranya. Hasil analisis yang dilakukan oleh

Hidayati dkk (2010), menyatakan bahwa total jumlah bakteri yang terdapat pada


(33)

15

106 cfu/gr. Umumnya kotoran kambing mempunyai C/N rasio diatas 30 ( Widowati et al, 2005). Tiap satu ekor kambing akan menghasilkan ± 4 kg feses per harinya. Dilihat dari jumlah feses yang dihasilkan serta tingginya rasio C/N

kotoran kambing, pengomposan merupakan salah satu alternatif untuk

menurunkan C/N rasio mendekati C/N rasio tanah sehingga aman untuk

digunakan sebagai pupuk serta menambah nilai ekonomis dari kotoran ternak

kambing yang bernilai ekonomis rendah.

Dalam pembuatan kompos, salah satu hal yang harus diperhatikan adalah rasio

C/N dari bahan yang dikomposkan. Rasio C/N dari beberapa jenis kotoran dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rasio C/N beberpa jenis limbah kotoran/feses

Jenis kotoran Rasio C/N

Manusia 6-10

Ayam 18-25

Kambing 30-35

Kuda 25

Sapi/Kerbau 25-30

Babi 25

Sumber : Yusnaini, 1996.

2.4. Sekam Padi

Sekam padi merupakan lapisan keras yang meliputi kariopsis, terdiri dari belahan

lemma dan palea yang saling bertautan, umumnya ditemukan di areal

penggilingan padi. Dari proses penggilingan padi, biasanya diperoleh sekam 20 – 30%, dedak 8 – 12 %, dan beras giling 50 – 63,5% dari bobot awal gabah. Sekam


(34)

padi sering diartikan sebagai bahan buangan atau limbah penggilingan padi,

keberadaannya cendrung meningkat yang mengalami proses penghancuran secara

alami dan lambat, sehingga dapat mengganggu lingkungan juga kesehatan

manusia. Sekam memiliki kerapatan jenis bulk density 125 kg/m3, dengan nilai kalori 1 kg sekam padi sebesar 3300 kkal dan ditinjau dari komposisi kimiawi,

sekam mengandung karbon (zat arang) 1,33%, hydrogen 1,54%, oksigen 33,645,

dan Silika (SiO2) 16,98% (Sunghening, 2012).

Sekam padi yang tidak dimanfaatkan dengan tepat akan menimbulkan banyak

masalah. Salah satu pemanfaatan yang dapat dilakukan untuk mendaur ulang

sekam padi adalah dengan melakukan pengomposan. Kandungan unsur hara pada

sekam padi menurut Kasli (2008), adalah C-organik 55,06%, N-total 0,31%, rasio

C/N 177,62, P-total 0,07%, K-total O,28%, Ca 0,06% dan Mg 0,04%. Rasio C/N

yang tinggi ini dapat dikombinasikan dengan bahan organik lain dengan rasio C/N

rendah untuk mendapatkan rasio pengomposan yang optimal.

2.5. Pengomposan

2.5.1. Pengertian dan Manfaat Pengomposan

Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan

organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam

mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau

anaerobik (Modifikasi dari J.H. Crawford, 2003). Murbandono (2008),

menyatakan bahwa kompos merupakan hasil fermentasi atau dekomposisi dari

bahan-bahan organik seperti tanaman, hewan, atau limbah organik lainnya.


(35)

17

tanah, menaikkan daya serap tanah terhadap air, dan meningkatkan daya ikat

tanah terhadap unsur hara. Kompos juga mengandung zat hara yang lengkap yang

dibutuhkan oleh tanaman.

Proses pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian

secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan

organik sebagai sumber energi. Pengomposan merupakan dekomposisi biologi

dan stabilisasi bahan organik pada kondisi suhu tinggi dengan produk akhir yang

cukup stabil untuk penyimpanan dan memperbaiki tanah pertanian tanpa

menimbulkan dampak lingkungan (Haug, 1980). Membuat kompos adalah

mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk

lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang,

pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator

pengomposan.

Pemupukan menggunakan kompos mengakibatkan tanah yang strukturnya ringan

(berpasir atau remah) menjadi lebih baik, daya ikat air menjadi lebih tinggi.

Sementara itu, tanah yang berat (tanah liat) menjadi lebih optimal dalam mengikat

air. Kompos juga mengandung zat hara yang lengkap yang dibutuhkan oleh

tanaman. Menurut Lingga dan Marsono (2008), kandungan utama yang terdapat

dalam kompos adalah nitrogen, kalium, fosfor, kalsium, karbon dan magnesium

yang mampu memperbaiki kesuburan tanah walaupun kadarnya rendah. Kompos

merupakan semua bahan organik yang telah mengalami degradasi atau

pengomposan sehingga berubah bentuk dan sudah tidak dikenali bentuk aslinya,


(36)

tersebut dapat berasal dari bahan pertanian (limbah tanaman dan limbah ternak),

limbah padat industri dan limbah rumah tangga.

Proses pengomposan dapat dibuat dengan dua cara, yaitu dengan bantuan oksigen

(aerobik) dan tanpa bantuan oksigen (anaerobik). Pembuatan kompos aerobik

dilakukan di tempat terbuka karena mikroorganisme yang berperan dalam proses

tersebut membutuhkan oksigen. Untuk pembuatan kompos secara anaerobik

dilakukan di tempat tertutup karena mikroba yang berperan tidak membutuhkan

oksigen. Umumnya pembuatan kompos dilakukan secara earobik. Proses

dekomposisi secara anerobik tidak diinginkan selama proses pengomposan

karena akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses anerobik akan menghasilkan

senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam-asam organik (asam

asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S (Yuwono, 2005).

Kompos seperti multi-vitamin untuk tanah pertanian. Kompos akan

meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos

memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik

tanah dan akan meningkatkan kandungan air tanah. Aktivitas mikroba tanah yang

bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan penambahan kompos. Aktivitas

mikroba ini akan membantu tanaman dalam menyerap unsur hara dari tanah dan

menghasilkan senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Aktivitas

mikroba tanah juga diketahui dapat membantu tanaman menghadapi serangan

penyakit. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengomposan

yaitu rasio C/N, ukuran partikel, aerasi, porositas, kelembaban, temperatur, pH,


(37)

19

Kompos dapat digunakan sebagai pupuk organik seperti hasil penelitian Sutanto

dan Utami (1995), bahwa tanaman kacang tanah yang ditanam di tanah kritis

dengan menggunakan beberapa jenis kompos dapat mengasilkan kacang yang

lebih baik dibandingkan dengan menggunakan pupuk kimiawi sesuai dengan

dosis anjuran. Hermawan, dkk. (1999), mengemukakan bahwa kompos bioaktif

tandan kosong kelapa sawit yang telah matang diberikan ke tanaman kelapa sawit

dengan cara dibenam dalam parit mampu secara langsung menghemat 50% dosis

pupuk konvensional tanpa berpengaruh negatif terhadap produksi. Selain itu

dapat mempercepat lama produksi tanaman kelapa sawit dari 30-32 bulan menjadi

22 bulan jika kompos tandan kelapa sawit diaplikasikan ke lubang tanam pada

saat penanaman.

2.5.2. Prinsip Pengomposan

Proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung dalam jangka waktu

yang cukup lama. Pembuatan kompos memerlukan waktu 2-3 bulan bahkan ada

yang memerlukan waktu hingga 6-12 bulan tergantung dari bahan baku (Djuarni

dkk, 2006). Tenggang waktu pembuatan pupuk organik yang relatif lama

sementara kebutuhan pupuk yang terus meningkat memungkinkan terjadinya

kekosongan ketersediaan pupuk. Oleh karena itu, telah banyak penelitian untuk

mensiasati dan mempercepat proses pengomposan. Beberapa hasil penelitian

menunjukkan proses pengomposan dapat dipercepat menjadi 2-3 minggu atau

1-1,5 bulan tergantung pada bahan dasar yang digunakan (Sutanto, 2002).

Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N rasio bahan organik hingga sama


(38)

dimaksudkan untuk memudahkan tanaman menyerap unsur hara dari kompos.

Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah

dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap,

yaitu tahap aktif dan tahap pematangan (Isroi, 2007). Selama tahap-tahap awal

proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera

dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat

dengan cepat dan akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan

meningkat hingga di atas 50oC-70oC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu.

Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba

yang aktif pada suhu tinggi (Isroi, 2007). Pada saat ini terjadi dekomposisi atau

penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos

dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap

air dan panas (Rynk, 1992). Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka

suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi

pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus.

Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa

bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari volume atau bobot awal bahan. Gambaran umum mengenai proses pengomposan dan perubahan suhu


(39)

21

Gambar 4. Proses umum pengomposan limbah padat organik (dimodifikasi dari Rynk, 1992)

Gambar 5. Perubahan suhu dan jumlah mikroba selama proses Pengomposan

Hasil oksidasi bahan organik dilepas ke udara dalam bentuk CO2. Organisme

yang berperan dalam proses pengomposan dapat dilihat pada Tabel 2 sedangkan perubahan suhu selama proses pengomposan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Organisme yang terlibat dalam proses pengomposan

Kelompok Organisme Organisme Jumlah/g Kompos

Mikroflora Bakteri

Aktinomycetes Kapang

108 – 109 105– 108 104 - 106


(40)

Makroflora Jamur tingkat tinggi

Makrofauna Cacing tanah, rayap,

semut, kutu Sumber : Isroi, 2007

Tabel 3. Perubahan suhu pada proses pengomposan

Fase Suhu (0C) Mikroorganisme

Latent 20-25

Pertumbuhan 25-40 Mesofilik

Termofilik 40-60 Termofilik

Pematangan 20-40 Mesofilik

Sumber : Polpraset, 1989

2.5.3. Faktor yang mempengaruhi proses pengomposan

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengomposan antara lain (Isroi, 2007) :

a) Rasio C/N

Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1 hingga

40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N

untuk sintesis protein (Isroi, 2007). Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40 mikroba

mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio

C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga

dekomposisi berjalan lambat. Umumnya, masalah utama pengomposan adalah

pada rasio C/N yang tinggi, terutama jika bahan utamanya adalah bahan yang

mengandung kadar kayu tinggi (sisa gergajian kayu, ranting, ampas tebu, dsb).

Untuk menurunkan rasio C/N diperlukan perlakuan khusus, misalnya


(41)

23

menambahkan kotoran hewan karena kotoran hewan mengandung banyak

senyawa nitrogen.

b) Ukuran Partikel

Aktivitas mikroba berada di antara permukaan area dan udara. Permukaan area

yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan

proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat (Polpraset, 1989). Ukuran partikel

juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan

luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan

tersebut. Pencacahan bahan organik jelas akan sangat membantu kecepatan

pengomposan, perlakuan awal dan proporsional campuran jenis bahan organik yg

digunakan juga sangat membantu percepatan dan kualitas hasil pengomposan.

Ukuran partikel juga sangat mempengaruhi proses percepatan pengomposan.

Ukuran partikel bahan yang optimal untuk dikomposkan berkisar dari 0,32 cm

hingga 1,50 cm, ukuran ini sangat relatif (Murbando, 2008).

c) Aerasi

Pengomposan yang cepat dapat berlangsung dalam kondisi yang cukup oksigen

(aerob). Apabila kekurangan oksigen, proses dekomposisi tidak berjalan dengan

baik. Aerasi pada pengomposan secara alami akan terjadi pada saat terjadi

peningkatan suhu yang mengakibatkan udara hangat keluar dan udara yang lebih

dingin masuk kedalam tumpukan kompos (Murbando, 2008). Aerasi ditentukan

dengan porositas dan kandungan air bahan (kelembaban). Apabila proses aerasi

terlambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menimbulkan bau yang


(42)

maka dilakukan pembalikan minimal satu minggu sekali. Selain itu, dapat juga

dilakukan dengan cara force aeration (menghembuskan udara dengan kompresor) atau dengan efek cerobong. Namun, pemberian aerasi yang terbaik adalah dengan

pembalikan bahan. Perlakuan ini sekaligus untuk homogenisasi bahan (Paulin

and O'malley. 2008).

Hasil penelitian Harmoko (2008), menunjukkan bahwa frekuensi pembalikan

tumpukan kompos bagasse : blotong : abu (5:3:1), 7- 10 hari sekali lebih baik

dibandingkan pembalikan 5 hari sekali. Hal ini terjadi karena tunpukan bahan

kompos dari bagasse mempunyai sifat porous sehingga tidak perlu dilakukan

pembalikan yang terlalu sering.

d) Porositas

Porositas adalah ruang di antara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas

dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total.

Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplay oksigen untuk

proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen

akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu. Porositas

dipengaruhi oleh kadar air dan udara dalam tumpukan. Oleh karena itu, untuk

menciptakan kondisi porositas yang ideal pada saat pengomposan, perlu

diperhatikan kandungan air dan kelembaban kompos (Jeris and Regan, 1993).

e) Kelembaban (Moisture content)

Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme


(43)

25

pengurai dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut

di dalam air. Kelembaban 40-60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme

mikroba aerob. Yang mana kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan

mengalami penurunan. Jika kelembaban lebih besar dari 60%, maka unsur hara

akan tercuci dan volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan

menurun dan akan terjadi fermentasi anaerob. Oleh karena itu, menjaga

kandungan air agar kelembaban ideal untuk pengomposan sangatlah penting.

(Jeris and Regan, 1993).

f) Suhu

Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Peningkatan antara suhu dengan

konsumsi oksigen memiliki hubungan perbandingan yang lurus. Semakin tinggi

suhu, maka akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula

proses penguraian. Tingginya oksigen yang dikonsumsi akan menghasilkan CO2

dari hasil metabolisme mikroba sehingga bahan organik semakin cepat terurai.

Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Suhu yang

berkisar antara 30º - 60ºC menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Pada

suhu ini aktivitas mikroorganisme (mesofilik dan thermofilik) berlangsung dengan

baik. Suhu yang tinggi (>600C) akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma. Ketika suhu telah mencapai 70ºC, maka segera

lakukan pembalikan tumpukan atau penyaluran udara untuk mengurangi suhu,


(44)

g) Derajat Keasaman (pH)

Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH 5.5 - 9. Proses pengomposan

akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri.

Sebagai contoh, proses pelepasan asam secara temporer atau lokal akan

menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari

senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada

fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati

netral. Kondisi kompos yang terkontaminasi air hujan juga dapat menimbulkan

masalah pH tinggi (Jeris and Regan, 1993). Kondisi asam pada proses

pengomposan biasanya diatasi dengan pemberian kapur atau abu dapur. Namun,

pemantauan suhu dan perlakuan pembalikan bahan kompos secara tepat waktu

dan benar sudah dapat mempertahankan kondisi pH tetap pada titik netral, tanpa

pemberian kapur (Yuwono, 2005).

h) Kandungan Hara

Untuk keperluan aktivitas dan pertumbuhan sel barunya, mikroorganisme

memerlukan sumber karbon dan sejumlah unsur hara. Dua unsur terpenting yang

dibutuhkan mikroorganisme untuk berkembang dengan jumlah yang banyak

adalah unsur karbon dan nitrogen. Karbon (C) diperlukan mikroorganisme

sebagai sumber energi dan penyusun komponen sel. Sedangkan nitrogen (N)

diperlukan untuk sintesis protein sel mikroorganisme. Kandungan P dan K juga

penting dalam proses pengomposan dan biasanya terdapat di dalam

kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses


(45)

27

namun dalam jumlah kecil (minor). Ketersediaan unsur tersebut dalam jumlah

cukup dan berimbang dapat memacu aktivitas mikroorganisme dalam

mendekomposisikan bahan kompos (Epstein, 1997).

i) Kandungan bahan berbahaya

Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi

kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, Cr dan Pb

adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat ini dapat

berasal dari bahan organik yang tercemari lingkungan yang tidak dapat terurai.

Air juga dapat menjadi media untuk mencemari bahan kompos dengan logam

berat. Bahan pencemar berbahaya bisa berasal dari limbah baterai, aki, cat, dan

lain-lain yang dapat mempengaruhi kerja dari mikroba dalam mengurai bahan

organik (Jeris and Regan, 1993).

Faktor-faktor di atas dapat dijadikan indikasi untuk mengoptimalkan proses

pengomposan. Kondisi yang optimal untuk mempercepat proses pengomposan

dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kondisi yang optimal untuk mempercepat proses pengomposan

Kondisi Kondisi yang bisa diterima Ideal

Rasio C/N 20:1 s/d 40:1 25-35:1

Kelembapan 40 – 65 % 45 – 62 %

Konsentrasi oksigen tersedia > 5% > 10%

Ukuran partikel 1 inchi Bervariasi

Bulk Density 1000 lbs/cu yd 1000 lbs/cu yd

pH 5.5 – 9.0 6.5 – 8.0

Suhu 43 – 66oC 54 -60oC


(46)

2.6. Kematangan dan Kualitas Kompos

Ciri-ciri yang menunjukkan pengomposan telah selesai menurut Gaur (1983) :

a. Berwarna coklat tua hingga kehitaman

b. Tidak larut dalam air

c. Apabila dilarutkan dalam larutan yang bersifat basa, kompos akan

berwarna hitam

d. Mempunyai kisaran rasio C/N 10-20

e. Susunan kimia kompos bersifat belum sepenuhnya stabil

f. Mempunyai daya serap air tinggi

g. Bila diberikan ke dalam tanah tidak menimbulkan kerugian baik untuk

tanah maupun untuk tanaman.

Kriteria untuk menilai kematangan kompos menurut Sukmana dkk., (1991) :

a. Suhu kompos mendekati suhu ruang atau suhu lingkungan tempat

pengomposan

b. Produksi CO2 menurun mendekati konstan

c. Tidak berbau

d. Berwarna coklat kehitaman sampai hitam

e. Rasio C/N pada akhir pengomposan antara 20-30.

Indonesia telah memiliki standar kualitas/mutu kompos, yaitu SNI 19-7030-2004.

Di dalam SNI memuat batas-batas maksimum atau minimum sifat-sifat fisik atau


(47)

29

Tabel 5. Standar Kualitas Kompos (SNI 19-7030-2004)

No Parameter Satuan Minimum Maksimum

1 Kadar air % - 50

2 Suhu 0C suhu air tanah

3 Warna kehitaman

4 Bau berbau tanah

5 Ukuran Partikel Mm 0,55 25

6 Kemampuan ikat air % 58 -

7 pH 6,8 7,49

8 Bahan asing % * 1,5

Unsur Makro

9 Bahan organik % 27 58

10 Nitrogen % 0,4 -

11 Karbon % 9,8 31

12 Phosfor (P2O5) % 0,1 -

13 C/N Ratio 10 20

14 Kalium (K2O) % 0,2 *

Unsur Mikro

15 Arsen mg/kg * 13

16 Kadmium (Cd) mg/kg * 3

17 Kobal (Co) mg/kg * 34

18 Kromium (Cr) mg/kg * 210

19 Tembaga (Cu) mg/kg * 100

20 Merkuri (Hg) mg/kg * 0,8

21 Nikel (Ni) mg/kg * 62

22 Timbal (Pb) mg/kg * 150

23 Selenium (Se) mg/kg * 2

24 seng (Zn) mg/kg * 500

Unsur Lain

25 Kalsium % * 25,5

26 Magnesium (Mg) % * 0,6

27 Besi (Fe) % * 2

28 Aluminium (Al) % * 2,2

29 Mangan (Mn) % * 0,1

Bakteri

30 Fecal Coli MPN/gr 1000

31 Salmonella sp MPN/ 4 gr 3

Keterangan : * Nilai lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum Sumber : BSN, 2004


(48)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Proses pengomposan dilaksanakan di PTPN VII Unit Usaha Way Berulu

sedangkan analisis dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian THP

serta Laboratorium Ilmu Tanah Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian

Universitas Lampung pada bulan Maret sampai April 2014.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan baku utama yang digunakan untuk pembuatan kompos dalam penelitian

ini adalah kulit kakao (umur simpan ≤ 1 minggu) yang diperoleh dari perkebunan

kakao di PTPN VII Way Berulu. Kotoran ternak yang digunakan adalah kotoran

sapi, kotoran kambing, dan kotoran ayam (masing-masing umur simpan ≤ 1 minggu) yang diperoleh dari di sekitar daerah Way Berulu. Bahan lain yang

ditambahkan adalah sekam padi dan dolomit.

Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam analisis sampel adalah katalis

campuran (kalium sulfat, tembaga sulfat dan logam selenium), asam salisilat,

asam sulfat pekat, asam fosfat pekat 85%, larutan NaOH 40%, dan O,1 N

indikator campuran (bromkesol hijau dan metal merah), larutan asam borat, HCl,


(49)

31

Peralatan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari peralatan laboratorium

seperti alat destruksi, alat destilasi, labu mikro Kjeldahl, alat pemanas

semi-mikro Kjeldahl, buret, pipet dan pH meter. Peralatan yang digunakan di lapangan

berupa timbangan, sekop atau cangkul, termometer, sepatu boot, pisau atau golok,

sarung tangan, terpal, masker, dan lain sebagainya.

3.3. Metode Penelitian

Sebelum penelitian, dilakukan perhitungan secara teoritis terhadap rasio C/N

campuran berdasarkan studi literatur dari masing-masing bahan untuk menghitung

formulasi campuran sehingga diperoleh C/N rasio 30-40. Pengomposan

campuran kulit kakao dan sekam padi ditambahkan dengan kotoran ternak (sapi,

ayam, dan kambing) dengan total campuran ± 685 Kg. Proses pengomposan

dilakukan dengan sistem windrow yaitu ditumpuk berbentuk kerucut dan ditutup

dengan terpal plastik selama 30 hari dengan pembalikan atau aerasi satu minggu

sekali. Seluruh satuan percobaan diulang sebanyak 2 kali dan akan menghasilkan

3 x 2 = 6 satuan percobaan.

Pengamatan dilakukan selama 30 hari pengomposan yang meliputi suhu yang

diukur harian. pH, warna, bau, tekstur yang diukur mingguan dan kadar air,

kandungan C-organik, N-total, rasio C/N yang diukur di awal dan akhir

pengomposan, serta kandungan P dan K yang diukur pada perlakuan terbaik.

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik yang dianalisis


(50)

3.4. Pelaksanaan Penelitian 3.4.1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan dengan menghitung rasio C/N dari campuran

kulit kakao dengan kotoran ternak sapi (K1), kotoran ayam (K2), dan kotoran

ternak kambing (K3). Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan oleh

Soedarsono dkk (1997), rasio C/N kulit kakao (umur simpan ≤ satu minggu) adalah 20-25. Kotoran ternak sapi memiliki rasio C/N sebesar 25-30, kotoran

ternak ayam memiliki rasio C/N sebesar 18-25, sedangkan kotoran ternak

kambing memiliki rasio C/N sebesar 30-35. Untuk memenuhi rasio C/N yang

optimal pada proses pengomposan yaitu sebesar 30-40, maka diperlukan

perbandingan yang tepat antara campuran kulit kakao dan kotoran ternak tersebut.

Berdasarkan hasil perhitungan secara teoritis antara rasio C/N kulit kakao dan

kotoran ternak, maka perbandingan antara kulit kakao, kotoran ternak, dan sekam

padi 5:5:1 sudah masuk dalam kisaran C/N optimal (K1 32,03, K2 29,58, dan K3

34,02). Namun, untuk membuktikan hasil perhitungan tersebut dibutuhkan

analisis laboratorium untuk mengetahui perbandingan rasio C/N yang optimal dari

campuran masing-masing bahan baku tersebut. Analisis dilakukan di

Laboratorium Ilmu Tanah Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas

Lampung.

3.4.2. Proses Pengomposan

Pembuatan kompos diawali dengan pencampuran bahan baku utama berupa kulit


(51)

33

kotoran ternak padat (K) yakni K1 (kotoran sapi), K2 (kotoran ayam), dan K3

(kotoran kambing). Kulit kakao yang digunakan untuk masing-masing unit

percobaan sebesar 300 kg. Selanjutnya, kotoran ternak ditambahkan ke dalam

bahan utama sebanyak ± 300 kg/unit percobaan. Sebelum bahan antara kulit

kakao dan kotoran ternak dicampurkan, bahan tersebut ditambahkan sekam padi

dan dolomit masing-masing seberat 60 kg dan 25 kg.

Kadar air dalam campuran bahan utama dan kotoran ternak yang telah tercampur

diusahakan berkisar antara 40-60%. Apabila kadar air campuran kurang dari

kisaran tersebut maka dapat ditambahkan air ke dalam campuran hingga

diperkirakan kadar air campuran mencapai 40-60%. Perkiraan dalam mencapai

kadar air tersebut dapat dilakukan secara manual dengan cara mengepal campuran

bahan. Jika campuran ketika digenggam meneteskan air menunjukkan kadar air

melebihi kisaran 40-60% dan jika campuran ketika digenggam tidak meneteskan

air dan ketika genggaman dibuka gumpalan padat menunjukkan kadar air bahan

antara 40-60%.

Setelah bahan-bahan tersebut tercampur rata, bahan kompos siap dikomposkan di

selama ± 30 hari. Pengomposan dilakukan dengan cara menumpuk bahan baku

kompos dan membentuk tumpukan kompos tersebut seperti kerucut dengan

ukuran tinggi 1 m. Kadar air kompos harus selalu diperhatikan dan diusahakan

agar berkisar antara 40-60% agar pengomposan berlangsung dengan baik. Untuk

mengatur pemerataan kadar air dan memperlancar proses aerasi dilakukan


(52)

3.4.3. Diagram Alir Proses Pembuatan Kompos

Gambar 6. Diagram alir proses pengomposan kulit kakao

Sumber : R & D GMP dalam Sulistiningsih (2006) yang dimodifikasi.

Kulit kakao 300 kg (C/N Rasio 20-25)

Bahan kompos (C/N Rasio 30-40)

KA : 40-60%

Kotoran ternak padat (300kg):

K1 : kotoran sapi K2 : kotoran ayam K3 : kotoran kambing

Pencampuran masing-masing bahan

Penumpukan bahan dengan ukuran 1 m

selama ± 30 hari

Pembalikan setiap 7 hari sekali

Kompos Pengamatan suhu harian Pengamatan : pH Warna Tekstur Bau Pengamatan : Kadar air Warna Bau Tekstur pH N Total C-organik C/N Rasio P K Analisis : C-organik N total C/N rasio Kadar air pH Warna Tekstur Bau

Sekam padi 60 kg + dolomit 25 kg


(53)

35

3.5. Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan terhadap kompos adalah suhu harian (Yuwono, 2005

dalam Harmoko, 2008), pH (AOAC, 1990), kadar air (AOAC 1990), N-total

dengan metode semi-mikro Kjeldahl yang dimodifikasi (Thom dan Utomo, 1991),

dan C-organik dengan metode Walkey and Black (Thom dan Utomo, 1991), rasio

C/N, Fosfor (P) dengan metode Bray 1 atau Bray 2 (Prijono, 2012), serta Kalium

(K) dengan metode Flame photometer (Prijono, 2012).

3.5.1. Pengamatan suhu

Pengukuran suhu dilakukan setiap hari menggunakan termometer dengan cara

memasukan termometer pada tumpukan kompos di tempat yang berbeda sebanyak

3 sampai 5 tempat. Data yang diperoleh kemudian dihitung rata-ratanya dan

kemudian dijadikan suhu harian pengomposan.

3.5.2. Pengukuran derajat keasaman (pH)

Pengamatan pH mengacu pada AOAC (1990), yaitu dengan menggunakan pH

meter, pengukuran dilakukan pada awal dan akhir pengomposan. Sebanyak 10 g

sampel dicampur dengan 50 ml air mineral, didiamkan selama 24 jam dan

kemudian dilakukan pengukuran pH. Sebelum dilakukan pengukuran, pH meter

harus distandarisasi dahulu dengan menggunakan larutan buffer pH 7,0 atau pH

4,0. Selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap larutan sampel dengan

elektrodanya ke dalam larutan sampel dan biarkan beberapa saat sampai diperoleh


(54)

3.5.3. Pengamatan kadar air

Penentuan kadar air dari tumpukan kompos mengacu pada penentuan kadar air

cara pemanasan menggunakan oven (AOAC 1990). Pengamatan ini dilakukan

pada awal dan akhir proses pengomposan. Sebanyak 25 g sampel ditimbang

dalam botol timbang yang telah diketahui berat keringnya. Kemudian

dikeringkan dalam oven pada suhu 100-105 0C selama 12 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Selanjutnya sampel dipananskan kembali dalam oven

selama 30 menit, didinginkan kembali dalam desikator dan ditimbang kembali

beratnya. Hal ini dilakukan berulang-ulang hingga diperoleh berat konstan

(selisih penimbangan berturut-turut kurang dari 0,2 mg). Selisih antara berat

basah dan berat kering merupakan kandungan air dalam bahan atau dapat dihitung

dengan menggunakan rumus :

3.5.4. Total C-organik

Kandungan C-organik dianalisis dengan menggunakan metode Walkey and Black

(Thom dan Utomo, 1991). Analisis ini dilakukan pada awal dan akhir proses

pengomposan. Sampel sebanyak 0,2 g yang lolos ayakan 2 mm ditimbang dan

dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 ml. Sebanyak 10 ml kalium bikromat

1 N ditambahkan ke dalam labu. Kemudian ditambahkan 15 ml asam sulfat pekat

dan digoyang secara perlahan dengan cara memutar labu selama 2 menit.

Diusahakan agar sampel tidak naik keatas sisi bagian atas gelas labu sehingga

tidak terjadi kontak dengan pereaksi. Labu akan menjadi panas saat asam sulfat Kadar air = �� � ℎ−�� �� � �


(55)

37

ditambahkan dan dibiarkan selama 30 menit. Sebanyak 100 ml air ditambahkan

dan dibiarkan hingga dingin. Tambahkan 5 ml asam fosfat pekat, 2,5 ml larutan

NaF 4% dan 5 tetes indikator difenilamin. Sampel dititrasi dengan larutan

ammonium sulfat besi (2+) 0,5 N hingga warna larutan berubah dari coklat kehijauan menjadi lebih keruh (turbid blue). Kemudian dititrasi tetes demi tetes dan labu digoyang terus menerus hingga warna berubah dengan tajam menjadi

hijau terang. Sampel blangko disiapkan dan dilakukan prosedur yang sama.

Perhitungan :

Keterangan : s = ml titrasi sampel t = ml titrasi blanko

3.5.5. Nitrogen Total

Kandungan N-total pada tumpukan kompos dianalisis dengan menggunakan

Metode Semi-Mikro Kjeldahl (Thom dan Utomo, 1991). Pengukuran ini

dilakukan pada awal dan akhir proses pengomposan. Sebanyak 1 g sampel

ditempatkan dalam labu semi-mikro Kjeldahl 100ml, kemudian ditambahkan 5ml

larutan asam sulfat salisilat dan dibiarkan selama beberapa jam pada suhu

ruangan. Setelah itu labu dipanaskan dalam dengan alat pemanas sampai

berhenti berbuih. Kemudian labu didinginkan dan ditambahkan 1,1 g campuran

katalis. Labu diletakkan di atas alat pemanas, panas ditingkatkan hingga proses

perombakan selesai dan campuran dalam labu mendidih secara perlahan-lahan

selama 5 jam. Suhu pemanasan selama pendidihan ini diatur sehingga asam

sulfat mengkondensasi kira-kira sampai sepertiga bagian atas leher labu. Stelah

ml K2Cr2O7 × (1- s/t)

% C = × 0,3886 %


(56)

perombakan selesai, labu dibiarkan dingin dan ditambahkan 10 ml air destilata.

Kemudian diaduk secara perlahan hingga padatan berubah menjadi suspensi dan

labu dibiarkan menjadi dingin.

Sampai tahap ini, labu ditutup untuk dilakukan destilasi. Peralatan destilasi

disiapkan dengan pemanasan generator uap sampai mendidih. Cairan dari labu

destilasi ditransfer dan labu pengurai dibilas dengan air destilata (5ml) sebanyak 2

kali dan air bilasannya ditransfer ke labu destilasi. Labu dihubungkan ke

peralatan destilasi uap, system destilasi uap ditutup, dan kemudian diletakkan

sebuah erlenmeyer 100 ml yang berisi 25ml asam borat dibawah kondensor.

Kemudian ditambahkan NaOH 40% sebanyak 20 ml dengan menggunakan

corong dan dialirkan secara perlahan ke dalam labu destilata. Generator uap

dihentikan ketika larutan destilata mencapai kira-kira 40 ml. Ujung tabung

destilasi dibilas dan labu erlenmeyer yang mengandung bahan destilata diambil.

Titrasi larutan destilata dengan HCL 0,025 N standar dengan menggunakan buret.

Perubahan warna pada titik akhir adalah dari hijau menjadi merah jambu.

Perhitungan:

3.5.6. Rasio C/N

Pengukuran rasio C/N dilakukan dengan menghitung perbandingan nilai Total

C-organik dan Nitrogen Total yang diperoleh dari data hasil analisis. % N= �� � 14


(57)

39

Perhitungan :

3.5.7. Warna, bau, dan tekstur

Pengamatan warna tumpukan kompos mengacu pada penampakan visual dan foto

menggunakan kamera digital agar foto yang dihasilkan kontras. Warna yang

diamati adalah perubahan warna selama pengomposan 0 hari, 7 hari, 14 hari, 21

hari, dan 30 hari. Untuk pengamatan bau dan tekstur dilakukan sama seperti pada

pengamatan warna yaitu pada pengomposan pengomposan 0 hari, 7 hari, 14 hari,

21 hari, dan 30 hari. Hal ini dilakukan untuk memastikan kompos yang

dihasilkan telah matang dan siap untuk digunakan. Kompos yang baik berbau

tanah (netral) dan bertekstur remah.

3.5.8. Analisis Fosfor (P)

Kandungan Fosfor (P) dianalisis dengan menggunakan metode Bray 1 atau Bray 2

pada produk kompos dengan perlakuan terbaik. Sampel kompos kering yang

telah lolos ayakan 0.5mm ditimbang seberat 2gr, kemudian masukkan botol kocok

dan tambahkan 20ml pengesktrak Bray 1 atau Bray 2 (ditentukan oleh pH tanah)

kemudian dikocok selama 5 menit pada mesin pengocok . Setelah selesai saring

larutan dengan kertas saring whatman 42 dan filtrat saringan ditampung. Pipet 5

ml hasil saringan dan masukkan dalam tabung reaksi,tambahkan 20 ml aquadest

dan reagen B sebanyak 8 ml, didiamkan selama 20 menit. Selanjutnya, tetapkan

absorban dengan spectronic 21 pada panjang gelombang 882 nm demikian juga Nilai C-Organik

Rasio C/N =


(58)

dengan deret standard P. Konversi bacaan % absorban dan hitung besarnya

mgL-1P berdasarkan garis regresi dari pada kurva standard P yang diperoleh.

Perhitungan :

P.tersedia (mgL-1) = Bacaan sampel – A x pengenceran x Fka B

3.5.9. Analisis Kalium (K)

Kandungan Kalium (K) dianalisis dengan menggunakan metode Flame

photometer (Prijono, 2012). Analisis K dilakukan pada akhir penelitian dimana produk kompos dengan perlakuan terbaik akan dianalisis kadar K. Sampel

sebanyak 1 g yang telah lolos ayakan 0.5 mm dimasukkan dalam tabung

sentrifuge. Tambahkan 10 ml aquades, kocok selama 30 menit dan setelah itu

sentrifuge selama 10 menit. Buang cairan yang dihasilkan. Tambahkan 10 ml

NH4OAc pH 7 ke dalam tabung yang masih terdapat sampelnya, dikocok pada

mesin pengocok selama 60 menit. Setelah itu, sampel disentrifuge selama 10

menit, saring dengan kertas saring. Tampung filtrat yang dihasilkan. Tambahkan

10ml NH4OAc pH 7 ke dalam tabung, kocok dan sentrifuge selama 10 menit.

Tambahkan 10 ml NH4OAc 1N pH 7 yang mengandung 1% NH4Cl 1N ke dalam

tabung, kocok dan sentrifuge selama 10 menit. Saring dan filtrat ditampung

kembali ke wadah yang sama. Filtrat kemudian diukur kadar K menggunakan

Flame photometer. Catat bacaan pada alat flame photometer. Konversi bacaan berdasarkan garis regresi dari pada kurva standard K yang diperoleh.

Perhitungan :

K(me/100gr) = Bacaan sampel – A x Pengenceran x Fka


(59)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan pengamatan terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan, maka

dapat disimpulkan bahwa :

1. Kompos kulit kakao yang dibuat dengan penambahan kotoran ternak sapi,

kotoran ternak ayam, dan kotoran ternak kambing selama 30 hari

pengomposan pada penelitian ini telah memenuhi SNI 19-7030-2004.

2. Kompos kulit kakao terbaik diperoleh pada perlakuan penambahan kotoran

ternak sapi berdasarkan rasio C/N terendah, persentase penurunan rasio C/N,

N tertinggi, ketersediaan, serta kandungan unsur hara P dan K dengan kriteria

yaitu rasio C/N 12,95, C-organik 16,45%, N total 1,27%, pH 6,93, KA

57,60%, P2O5 1,12%, K2O 3,25%, warna coklat kehitaman, berbau tanah, dan

bertekstur remah.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut untuk menguji kandungan fosfor dan kalium secara keseluruhan serta


(60)

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1990. Methods of Analysis of The Association of Official Agricultural Chemists. Association of Official Agricultural Chemists. Washington D.C.

Aregheore, E.M. 2002. Chemical Evaluation and Digestibility of Cocoa (Theobroma cacao) By-Product Fed to Goats. Trop. Anim. Health and Production. 34-339-348.

Bai, S., Kumar, RM., Kumar, D.J., Mukesh, Balashanmugam P, Kumaran. Bala M.D., dan Kalaichelvan, P.T. 2012. Cellulase Production by Bacillus subtilis isolated from Cow Dung, Department of Biotechnology, KSR College of Arts.

Bhat, M.K. 2000. Cellulases and related enzymes in biotechnology. Biotechnol Adv., 18, 355–383

Buckman, H. O. dan N. C. Brady. 1982. Ilmu tanah. Jakarta: PT Bhratara Karya Aksara.

Chang, James I. dan Y.J. Chen. 2010. Effect of Bulking Agents on Food Waste Composting. Bioresource Technology 101 (2010):521 526.

Cooperband, L.R. 2000. Composting: Art and Science of Organic Waste

Conversion to a Valuable Soil Resource. Volume 31 Number 6 Laboratory Medicine

Crawford. J.H. 2003. Composting of Agricultural Waste. in Biotechnology Applications and Research, Paul N., Cheremisinoff and R. P.Ouellette (ed). p. 68-77.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013. Produksi Kakao Menurut Provinsi di Indonesia. Dalam http://www.ditjenbun.pertanian.go.id/. Diakses pada 25 Maret 2014.

Epstein, E. 1997. The Science of Composting. Technomic Publishing Inc. Pensylvania. 83p.

Fajrya, R. 2012. Fiksasi Nitrogen. Dalam http://blog.ub.ac.id/nurfinafajtya/. Diakses pada 28 September 2014.


(61)

66

Goenadi. 1997. Kompos Bioaktif dari Tandan Kosong Kelapa Sawit. Kumpulan Makalah Pertemuan Teknis Biotek. Perkebunan Untuk Praktek. Bogor. 18-27.

Goenadi D, Siswanto H, Sugiarto Y. 2000. Bioactivation of poorly soluble phosphate rocks with a phosphorus-solubilizing fungus. Soil Sci Soc Am J64:927-932.

Harmoko, J. 2008. Pengaruh Penambahan Jenis Sumber Nitrogen terhadap Kinerja Proses Pengomposan Limbah Padat Tebu (Bagasse, Blotong, dan Abu). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Haug, R.T. 1980. Compost Engineering : Principle and Practice. Ann Arbor Science, Michigan.

Hermawan, D. Cikman. L. Rochmalia, dan D.H. Goenadi. 1999. Produksi Kompos Bioaktif TKKS dan Efektifitasnya Dalam Mengurangi Dosis Pupuk Kelapa Sawit di PT Perkebunan Nusantara VIII. Proseding Pertemuan Teknis Bioteknologi Perkebunan Untuk Praktek. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia Unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan.

Ide, P. 2008. Dark Chocolate Healing. PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta.

Indriani, Y. H. 2004. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta.

Isroi. 2007. Pengomposan Limbah Kakao. Materi Pelatihan TOT Budidaya Kopi dan Kakao Staf BPTP di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember. Jember 17 hlm.

Jeris, J.S. dan R.W. Regan. 1973. Controlling environmental parameters for optimal composting, Part III. Compost Science & Utilization,14(3):16-22.

Junaidi, S. 2006. Pengaruh Pemberiaan Inukulasi Stadrdec dengan Kotoran Ternak Terhadap Kecepatan Proses Pengomposan dan Kwalitas Kompos dari Bahan Serasah. Skripsi. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung : Bandar Lampung.

Lay, B. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Leo, H. 2001. Aktivitas Mikroorganisme Selama Proses Pengomposan Beberapa Jenis Limbah Organik. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Lingga, P. 1991. Jenis Kandungan Hara pada Beberapa Kotoran Ternak. Pusat Penelitian Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S). ANTANAN. Bogor.

Lingga, P. dan Marsono. 2001. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta. 163 hlm.


(62)

Mardaningsih, Fitri et al. 2012. Pengaruh Konsentrasi Etanol Dan Suhu Spray Dryer Terhadap Karakteristik Bubuk Klorofil Daun Alfalfa (Medicago Sativa L.) Dengan Menggunakan Binder Maltodekstrin. Dalam Jurnal Teknosains Pangan Vol 1 No 1 Oktober 2012.

Marsono. 2008. Pupuk Akar, Jenis dan Aplikasinya. Penebar Swadaya. Jakarta. 97 hlm.

Mirwan, M. 2012. Optimasi Pengomposan Sampah Kebun Dengan Variasi Aerasi Dan Penambahan Kotoran Sapi Sebagai Bioaktivator. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol. 4 No. 1 Tahun 2012.

Murbando. 2008. Membuat Kompos. Penebar Swadaya. Jakarta. 54 hlm.

Nasrulah dan Ella, A. 1993. Limbah Pertanian dan Prospeknya Sebagai Sumber Pakan Ternak di Sulawesi Selatan. Makalah. Ujung Pandang.

Nawansih, O. 2008. Kajian Penggunaan Inokulum pada Proses Pengomposan Bagasse. Posiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi – ISBN : 978-979-1165-747, 17-18 November 2008.

Opeke, L.K. 1984. Optimising Economic Returns (Profit) from Cacao

Cultivation Through Efficient Use of Cocoa By Products. Proseding. 9th

International Cocoa Research Conference.

Paulin. B. and P. O'malley. 2008. Compost Production and Use in Horticulture. Department of Agriculture and Food. Government of Western Australia. 28p.

Polprasert, C. 1989. Organic waste recycling. Chichester: John Wiley & Son.

Priyanto, D., A. Priyanti, dan I. Inonu. 2004. Potensi dan Peluang Pola Integrasi Ternak Kambing dan Perkebunan Kakao Rakyat. Pemda Lampung

PT. Perkebunan XXVI. 1991. Pemanfaatan Kulit Buah Kakao dan Kopi pada Pertanaman Kakao dan Kopi di PT. Perkebunan XXVI. Disampaikan pada seminar Bioteknologi. Jember. 18 hlm.

Raihan, H.S. 2000. Pemupukan NPK dan ameliorasi lahan pasang surut sulfat masam berdasarkan nilai uji tanah untuk tanaman jagung. J. Ilmu Pertanian 9 (1): 20-28.

Rynk, R. 1992. On-Farm Composting Handbook. Northeast Regional Agricultural EngineeringService Pub. No. 54. Cooperative Extension Service. Ithaca, N.Y. 1992; 186pp. A classicin on-farm composting. Website: www.nraes.org


(63)

68

Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi tumbuhan jilid satu. Terjemahan oleh Diah R. Lukman dan Sumaryono. ITB. Bandung.

Siregar, H.S. Tumpal, S. Riyadi, dan L. Nuraeni. 2000. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Cokelat. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. 170 hlm.

Sitepu, R. 2006. Perbedaan antara Bagasse Lama dan Bagasse Baru jika Digunakan sebagai Bahan Baku Kompos. Progresta edisi Oktober 2006.

Spillane, J. 1995. Komoditi Kakao, Peranannya dalam Perekonomian Indonesia. Kanisius. Yogyakarta.

Soedarsono, Soetanto A, dan Endang A. 1997. Penebaran Kulit Buah Kakao Sebagai Sumber Bahan Organik Tanah dan Pengaruhnya terhadap Produksi Kakao. Pelita Perkebunan 13(2):90-99

Sudarkoco. 1999. Penggunaan Bahan Organik pada Usaha Budidaya Tanaman Lahan Kering serta Pengelolaannya. Skripsi Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.

Suhening, W. 2012. Pengaruh Mulsa Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Kacang Hijau (Vigna radiata l. Wilczek) di Lahan Pasir Pantai Bugel, Kulon Progo. Jurnal.Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Sulistiningsih. 2006. Teknik Pengomposan Limbah Padat Industri Gula dan aplikasinya pada Lahan Pertanian Tebu di PT. Gunung Madu Plantations Gunung Batin Lampung Tengah. Laporan PU. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Suryani, Y., Astuti, Oktavia, B. dan Umniyati, S. 2010. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat dari Limbah Kotoran Ayam sebagai Agensi Probiotik dan

Enzim Kolesterol Reduktase. Prosiding Seminar Nasional Biologi 3 Juli

2010.

Sutanto dan Utami. 1995. Potensi Bahan Organik Sebagai Komponen Teknologi Masukan Rendah dalam Meningkatkan Produktivitas Lahan Kritis di DIY. Proseding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Sistem Usaha Tani dan Alsintan.

Suwagiyo, R. Fidriyani. 2010. Kajian Pemanfaatan Slude dari Kolam

Pengendapan Air Limbah Sebagai Bahan Baku Kompos. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung.


(64)

Thom, O.W dan M. Utomo. 1991. Manajemen Laboratorium dan Metode

Analisis Tanah dan Tanaman. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 85 hal

Widowati, L.R., Sri W., U. Zainuddin., dan W. Hartatik. 2005. Pengaruh Kompos Organik yang Diperkaya Bahan Mineral dan Pupuk Hayati terhadap Sifat-Sifat Tanah. TA 2005 (Tidak dipublikasikan).

Yusnaini, S. dkk. 1996. Pengaruh Inokulasi Cendawan Trichoderma dan Pencampuran Kotoran Ternak terhadap Kecepatan Pengomposan limbah Padat Tebu. Prosiding Seminar Peranan Mikrobiologi Terapan dalam Menunjang Pengembangan Industri Berwawasan Lingkungan.

Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia Lampung. Bandar Lampung. Hal 34-44.


(65)

(66)

Tabel 6. Data Analisis Suhu Hari ke Perlakuan Rata-rata Perlakuan Rata-rata Perlakuan Rata-rata

K1 (Kotoran Sapi) K2 (Kotoran

Ayam) K3 (Kotoran Kambing) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2

0 31,00 31,00 31,00 31,00 31,00 31,00 31,00 31,00 31,00

1 45,40 45,80 45,60 32,60 32,60 32,60 46,60 46,60 46,60

2 47,20 48,80 48,00 54,20 51,80 53,00 47,60 47,60 47,60

3 50,00 50,00 50,00 57,00 56,80 56,90 49,00 49,00 49,00

4 52,40 53,40 52,90 57,20 57,00 57,10 50,00 50,00 50,00

5 53,80 56,60 55,20 57,60 58,20 57,90 51,00 51,00 51,00

6 56,60 57,40 57,00 58,00 58,60 58,30 51,60 51,60 51,60

7 58,00 58,00 58,00 59,40 60,20 59,80 54,40 54,40 54,40

8 58,60 58,80 58,70 64,20 65,00 64,60 59,00 59,00 59,00

9 58,80 58,00 58,40 63,40 64,00 63,70 59,60 59,60 59,60

10 58,40 57,60 58,00 63,20 63,40 63,30 60,60 60,60 60,60

11 58,60 57,00 57,80 63,00 63,60 63,30 59,60 59,60 59,60

12 56,20 55,60 55,90 62,80 64,00 63,40 59,40 59,40 59,40

13 55,00 54,40 54,70 61,20 62,80 62,00 57,80 57,80 57,80

14 51,60 52,20 51,90 58,20 57,80 58,00 55,00 57,40 56,20

15 47,00 48,80 47,90 59,40 59,00 59,20 56,60 59,00 57,80

16 46,00 46,40 46,20 56,80 58,20 57,50 51,60 53,60 52,60

17 46,80 45,80 46,30 56,40 58,40 57,40 46,80 47,80 47,30

18 44,00 44,00 44,00 55,80 56,20 56,00 45,40 44,60 45,00

19 43,40 42,20 42,80 50,20 53,20 51,70 42,60 41,60 42,10

20 41,20 41,00 41,10 50,20 51,00 50,60 40,00 39,20 39,60

21 40,40 39,80 40,10 42,60 46,80 44,70 38,00 37,40 37,70

22 41,60 40,40 41,00 41,60 44,80 43,20 39,80 40,40 40,10

23 40,80 39,20 40,00 41,00 44,00 42,50 37,40 37,40 37,40

24 39,40 38,80 39,10 40,60 42,20 41,40 36,80 36,80 36,80

25 37,60 37,20 37,40 39,80 41,80 40,80 33,80 33,80 33,80

26 37,80 36,40 37,10 33,80 38,40 36,10 31,80 32,60 32,20

27 36,40 34,80 35,60 33,20 35,00 34,10 30,80 31,40 31,10

28 34,00 33,40 33,70 32,40 32,20 32,30 30,20 30,60 30,40

29 35,20 34,20 34,70 32,60 33,00 32,80 33,00 33,40 33,20


(67)

72

Tabel 7. Data Analisis pH

Hari Ke Perlakuan K1 Rata -rata Perlakuan K2 Rata-rata Perlakuan K3 Rata-rata

Ulg 1 Ulg 2 Ulg 1 Ulg 2 Ulg 1 Ulg 2

0 6,50 6,41 6,46 6,04 6,24 6,14 6,19 6,24 6,22

7 7,14 6,56 6,85 6,26 6,41 6,34 6,37 6,78 6,58

14 6,55 6,67 6,61 5,97 5,89 5,93 6,12 6,23 6,18

28 6,85 6,73 6,79 6,25 6,28 6,27 7,08 6,89 6,99

30 7,15 6,70 6,93 6,69 6,89 6,79 7,12 6,80 6,96

Keterangan : Ulg : Ulangan

Tabel 8. Data Analisis Kadar Air

Hari Ke Perlakuan K1 Rata-rata Perlakuan K2 Rata-rata Perlakuan K3 Rata-rata

Ulg 1 Ulg 2 Ulg 1 Ulg 2 Ulg 1 Ulg 2

0 55,10 56,23 55,67 45,50 50,50 48,00 52,00 50,50 51,25

30 54,00 61,20 57,60 48,60 49,80 49,20 57,70 56,42 57,06 Keterangan : Ulg : Ulangan


(68)

Tabel 9. Data Analisis C-Organik

Hari ke

Perlakuan

K1

Rata-Rata

Perlakuan

K2

Rata-Rata

Perlakuan

K3

Rata-Rata

Ulg 1 Ulg 2 Ulg1 Ulg 2 Ulg 1 Ulg 2

0 36,46 37,12 36,79 32,78 33,49 33,14 44,32 41,14 42,73

30 16,23 16,67 16,45 16,76 16,96 16,86 19,45 19,35 19,40

Ket : Ulg = Ulangan

Tabel 10. Data Analisis N-Total

Hari ke

Perlakuan

K1

Rata-Rata

Perlakuan

K2

Rata-Rata

Perlakuan

K3

Rata-Rata

Ulg 1 Ulg 2 Ulg 1 Ulg 2 Ulg 1 Ulg 2

0 1,10 1,12 1,11 1,13 0,98 1,06 1,15 1,20 1,18

30 1,30 1,24 1,27 1,14 1,16 1,15 1,17 1,23 1,20


(69)

74

Tabel 9. Data Analisis Rasio C/N

Perlakuan

Hari ke 0 Hari ke 30

C. Org N Total

Rasio C/N C. Org N Total Rasio C/N

% %

K1

Ulangan 1 36,46 1,10 33,15 16,23 1,30 12,48

Ulangan 2 37,12 1,12 33,14 16,67 1,24 13,44

Rata-rata 36,79 1,11 33,14 16,45 1,27 12,95

K2

Ulangan 1 32,78 1,13 29,01 16,76 1,14 14,70

Ulangan 2 33,49 0,98 34,17 16,96 1,16 14,62

Rata-rata 33,14 1,06 31,41 16,86 1,15 14,66

K3

Ulangan 1 44,32 1,15 38,54 19,45 1,17 16,62

Ulangan 2 41,14 1,20 34,28 19,35 1,23 15,73


(1)

Gambar 19. Pembalikan sampel

Gambar 20. Pengambilan sampel untuk analisis


(2)

Gambar 22. Hari ke 7 kompos kulit kakao + kotoran sapi

Gambar 23. Hari ke 14 kompos kulit kakao + kotoran sapi


(3)

Gambar 25. Hari ke 30 kompos kulit kakao + kotoran sapi

Gambar 26. Hari ke 0 kompos kulit kakao + kotoran ayam


(4)

Gambar 28. Hari ke 14 kompos kulit kakao + kotoran ayam

Gambar 29. Hari ke 21 kompos kulit kakao + kotoran ayam


(5)

Gambar 31. Hari ke 0 kompos kulit kakao + kotoran kambing

Gambar 32. Hari ke 7 kompos kulit kakao + kotoran kambing


(6)

Gambar 34. Hari ke 21 kompos kulit kakao + kotoran kambing