Pergeseran makna Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket Sunda di Kota Bandung(Studi Fenomenologi Mengenai Pergeseran Makna Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket Sunda Di Kota Bandung)

(1)

PERGESERAN MAKNA PENGGUNAAN IKET SUNDA DALAM KOMUNITAS IKET SUNDA DI KOTA BANDUNG

(Studi Fenomenologi Mengenai Pergeseran Makna Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket Sunda Di Kota Bandung)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Program Studi Ilmu Sosial dan Politik Konsentrasi Humas

Oleh, Distia Puspitasari

NIM. 41809201

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI HUMAS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA B A N D U N G


(2)

(3)

x

DAFTAR ISI

Hal

LEMBAR PENGESAHAN . . . i

LEMBAR PERNYATAAN . . . ii

LEMBAR PERSEMBAHAN . . . iii

ABSTRAK . . . iv

ABSTRACT . . . v

KATA PENGANTAR . . . vi

DAFTAR ISI . . . x

DAFTAR TABEL . . . xiv

DAFTAR GAMBAR . . . xv

DAFTAR LAMPIRAN . . . xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah . . . . . . 1

1.2. Rumusan Masalah . . . 11

1.2.1. Pertanyaan Makro . . . 11

1.2.2. Pertanyaan Mikro . . . . .. . . 11

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian . . . 12

1.3.1. Maksud Penelitian . . . 12

1.3.2. Tujuan Penelitian . . . .. . . 12

1.4. Kegunaan Penelitian . . . 12

1.4.1. Kegunaan Penelitian Teoritis . . . 12

1.4.2. Kegunaan Penelitian Praktis . . . 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka . . . 14

2.1.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu . . . 14

2.1.2. Tinjauan Tentang Komunikasi . . . 16


(4)

xi

2.1.2.5. Tujuan Komunikasi . . . 27

2.1.3. Tinjauan Mengenai Komunitas . . . 28

2.1.4. Tinjauan Tentang Fenomenologi . . . 29

2.1.5. Tinjauan Tentang Interaksi Simbolik . . . 32

2.1.6. Tinjauan Tentang Makna . . . 38

2.1.6.1. Pengertian Makna . . . 38

2.1.6.2. Makna Dalam Komunikasi . . . 40

2.2. Kerangka Pemikiran . . . 42

2.2.1. Kerangka Pemikiran Teoritis . . . 42

2.2.2. Kerangka Pemikiran Konseptual . . . 46

BAB III OBJEK PENELITIAN DAN METODE PENELITIAN 3.1. Objek Penelitian . . . 49

3.1.1. Sejarah Iket Sunda . . . 49

3.1.2. Komunitas Iket Sunda di Kota Bandung .. . . 53

3.2. Metode Penelitian . . . 58

3.2.1. Desain Penelitian . . . .. . . 58

3.2.2. Teknik Pengumpulan Data . . . 61

3.2.2.1. Studi Pustaka . . . .. . . 61

3.2.2.2. Studi Lapangan . . . .. . . 62

3.2.3. Teknik Penentuan Informan . . . . . . 64


(5)

xii

3.2.3.2. Informan Pendukung. . . . . . . 65

3.2.4. Teknik Analisa Data . . . 66

3.2.5. Uji Keabsahan Data . . . 67

3.2.6. Lokasi dan Waktu Penelitian . . . 69

3.2.6.1. Lokasi Penelitian . . . 69

3.2.6.2. Waktu Penelitian . . . 69

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Informan Penelitian . . . 76

4.2 Profil Informan Pendukung . . . 80

4.3 Analisis Deskriptif Hasil Wawancara Penelitian . . . 83

4.3.1 Mind (Pikiran) Membentuk Pergeseran Makna Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket Sunda Di Kota Bandung . . . 83

4.3.2 Self (Diri) Membentuk Pergeseran Makna Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket Sunda Di Kota Bandung . . . 91

4.3.3 Society (Masyarakat) Membentuk Pergeseran Makna Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket Sunda Di Kota Bandung . . . 99

4.4 Pembahasan Hasil Penelitian. . . 103

4.4.1 Mind (Pikiran) Membentuk Pergeseran Makna Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket Sunda Di Kota Bandung . . . 106 4.4.2 Self (Diri) Membentuk Pergeseran Makna


(6)

xiii

Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket

Sunda Di Kota Bandung . . . 111

4.3.4 Pergeseran Makna Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket Sunda dikota Bandung . . . 112

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan . . . 116

5.2. Saran . . . 118

5.2.1. Saran Bagi Komunitas Iket Sunda . . . 118

5.2.2. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya . . . 119

DAFTAR PUSTAKA . . . 120

LAMPIRAN . . . 123

DAFTAR RIWAYAT HIDUP . . . 174


(7)

vi

KATA PENGANTAR

Assalamua’laikum Wr. Wb.

Maha Suci Allah yang senantiasa mencurahkan Rahmat-Nya kepada orang-orang beriman yang selalu taat, tunduk, dan patuh kepada-Nya, dan kepada orang-orang yang senantiasa berada di jalan-Nya. Shalawat serta salam senantiasa dipanjatkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW. Semoga Allah senantiasa mencurahkan Rahmat-Nya kepada beliau, keluarga, para sahabat sampai kita semua hingga akhir zaman nanti.

Puji serta syukur peneliti panjatkan kepada Illahi Robbi yang telah menganugerahkan setetes Ilmu-Nya yang Maha Luas tak terbatas kepada peneliti yang memiliki banyak kedangkalan akal, sehingga Alhamdulillah peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : “PERGESERAN MAKNA PENGGUNAAN IKET SUNDA DALAM KOMUNITAS IKET SUNDA DI KOTA BANDUNG (Studi Fenomenologi Mengenai Pergeseran Makna Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket Sunda Di Kota Bandung)”, yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi guna mendapat nilai akhir bagi kelulusan di tingkat Strata Satu (S1).

Peneliti sangat menyadari bahwa adanya peran berharga dari orang-orang hebat disisi peneliti yang bersedia membagi hidupnya bersama-sama merasakan apa yang peneliti alami, hadapi dan rasakan. Dengan segala kerendahan hati, peneliti ucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada orangtua tercinta Bapak


(8)

vii

Pada kesempatan ini perkenankan peneliti menghaturkan rasa hormat dan banyak terimakasih kepada:

1. Yth. Bapak Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, Drs., M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM), yang selalu memberikan dukungan kepada mahasiswanya.

2. Yth. Bapak Drs. Manap Solihat M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Komputer Indonesia, yang telah membantu peneliti dalam bidang akademik .

3. Yth. Ibu Melly Maulin P. S.Sos, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Komputer Indonesia, yang telah membimbing peneliti hingga saat ini.

4. Yth. Bapak. Sangra Juliano Prakasa, M.Ikom selaku Dosen Wali IK-5 2009 yang telah banyak memberikan nasihat, semangat dan arahan kepada peneliti selama menempuh studi di UNIKOM.

5. Yth. Bapak. Yadi Supriadi, S.Sos., M.Phil selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, menasihati, mengarahkan dan memberikan petunjuk serta motivasi yang sangat berharga dalam penyusunan skripsi ini.


(9)

viii

6. Yth. Seluruh Bapak/Ibu Dosen tetap dan Bapak/Ibu Dosen Luar Biasa Program Studi Ilmu Komunikasi dan Public Relations Unikom, yang telah memberikan dukungan, pikiran, tenaga, saran, dan waktu serta pengajaran yang baik selama peneliti mengikuti perkuliahan.

7. Yth. Ibu Astri Ikawati., Amd.Kom., dan Ibu Ratna., Amd.Kom selaku Sekertatis Jurusan dan Sekertaris Dekan yang selalu memberikan informasi tentang proses akademik selama peneliti mengikuti jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Komputer Indonesia.

8. Komunitas Iket Sunda Bandung serta Kang Asep, Bapak Yayat dan Bapak Yoga yang rela ditanya, diganggu, dibuat pusing oleh peneliti, terimakasih sambutan dan senyuman yang hangat yang diberikan.

9.

Rifki Adhitia Permana adik tercinta yang telah memberikan doa, kasih sayang, semangat serta dukungan yang tidak ternilai harganya hingga sampai saat ini.

10.Seluruh Keluarga Besar Peneliti yang telah memberikan doa dan dukungan luar biasa sampai saat ini.

11.Iwan Hendrawan yang tidak pernah berhenti mendoakan, memberi nasihat, perhatian, kasih sayang, dan dukungan. Terimakasih untuk segala pengorbanan dan pengertiannya.

12.Sahabat-sahabatku : Riska, Desi, Penny, Rini, Uni, Nita, Asty, Wita, Eka, Adit, Egy, Rika yang selalu memberikan perhatian, motivasi,


(10)

ix

Melvhin, Achan, Bang Tiar, Bang Berry, Yanis, Fazar, Budi, Basir, Christian, Yogi, Johan, IK-5 2009, IK-Humas 1, dll yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih untuk motivasi dan kebersamaan kalian.

14.Semua pihak, yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan dukungannya.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlimpah bagi orang-orang yang telah membantu peneliti dengan segala kesabaran dan keikhlasannya.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa penelitian skripsi ini masih jauh dari sempurna dikarenakan keterbatasan kemampuan pengetahuan dan pengalaman peneliti sehingga penelitian skripsi ini masih memerlukan banyak perbaikan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati peneliti akan menerima saran dan kritik membangun guna perbaikan lebih lanjut. Namun demikian, peneliti berharap semoga penelitian skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya.

Bandung, Juli 2013 Peneliti

Distia Puspitasari 41809201


(11)

120

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro. 2010. Metodologi Penelitian untuk Public Relations Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media

Arifah, 2003. Teori Desain Busana. Bandung: Yapemdo.

De Vito, Joseph, A, Editor : Agus Maulana. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Professional Book.

Effendi, Uchjana Onong. 2001. Ilmu Komunikasi dan Teori Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

---. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Fisher, Aubrey, 1986, Perpective on Human Communication (Teori-Teori Komunikasi, terj. Soejono Trimo). Bandung: CV Remadja Karya.

Herayati A., Yetti, (1998/1999), Mustika pada Kepala dalam Aneka Rupa dan Makna, Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Jawa Barat, Museum Negeri Propinsi Jawa Barat Sri Baduga

Kuswarno, Engkus. 2009. Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenolog. Bandung : Widya Padjajaran.

---. 2008. Etnografi Komunikasi. Bandung : Widya Padjadjaran. Meleong, Lexy J. 1980. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


(12)

121 Remaja Rosdakarya.

---. 2010. Metode Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy, Rakhmat Jalaluddin. 1990. Komunikasi Antar Budaya.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Rakhmat, Jalaludin. 1997. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Sobur, Alex. 2006. Semiontika Komunikasi. Bandung : Pt. Remaja Rosdakarya Offset.

__________. 2013. Filsafat Komunikasi Tradisi dan Metode Fenomenologi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

_______. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta

INTERNET :

http://aingkumaha.blogspot.com/2013/01/iket-mengikat-loyalitas-budaya.html (Kamis 21 Maret 2013 Pukul 19.00 WIB)


(13)

122

http://catatan-linggapermesti.blogspot.com/2012/12/yang-lagi-ngetrend-di-bandung-iket.html (Kamis, 21 Maret 2013 Pukul 19.05 WIB

http://motorplus.otomotifnet.com/read/2012/10/15/335248/339/14/Tren-Iket-Sunda-Jadi-Pengganti-Bandana-Saat-Riding (Kamis, 21 Maret 2013 Pukul 19.30 WIB)

http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/22/iket-521877.html (Kamis, 21 Maret 2013 Pukul 19.40 WIB)

http://archive69blog.blogspot.com/2013/03/makna-filosofis-dalam-iket-sunda.html#ixzz2P6RZk3aq (Jumat, 22 Maret Pukul 20.20 WIB)

http://ukonpurkonudin.blogspot.com/2011/10/pergeseran-dan-perubahan-makna.html (Rabu, 3 April 2013 Pukul 21.10 WIB)

http://djepok.blogspot.com/2011/09/arti-komunitas.html (Jumat, 31 Mei 2013 Pukul 19.00 WIB)

KARYA ILMIAH

Septiadi G., Yogi. 2012. Pergeseran Makja Fashion Mohawk Dalam Komunitas Punk Di Kota Bandung. Bandung : Universitas Komputer Indonesia. Suciati. 2007. Desain Iket Sunda Di Bandung Dan Sumedang. Bandung : Institut


(14)

1

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya masyarakat Sunda memiliki budaya dengan sejumlah nilai dan norma yang menjadi acuan dalam berbagai tindakannya. Umumnya budaya Sunda memiliki karakter ramah, mudah senyum, sopan, lembut dan sangat hormat kepada orang tua. Didalam budaya Sunda, mereka diajarkan bagaimana berbicara lembut terhadap orang yang lebih tua.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Pakaian yang biasa dipergunakan sehari-hari ataupun yang dipergunakan pada saat memperingati acara adat tertentu diyakini sebagai salah satu bentuk identitas diri dari suatu kebudayaan. Di Jawa Barat khususnya masyarakat Sunda, berbusana memiliki makna tersendiri sebagai bentuk yang berkaitan dengan pandangan hidup atau kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat. Hal tersebut menggambarkan besar sekali pengaruh nilai budaya, adat istiadat serta pandangan hidup terhadap bentuk dan wujud busana yang dikembangkan oleh masyarakat.

Nilai keindahan dalam berbusana bagi masyarakat Sunda khususnya merupakan bagian dari tatakrama. Busana tradisional Sunda memiliki aturan tersendiri dalam pemakaiannya. Penataan pemakaian busana dilakukan demikian


(15)

2

dengan maksud untuk mengangkat kualitas kehidupan bermasyarakat. Hal ini didasarkan karena masyarakat Sunda memiliki pandangan atau norma dan etika tersendiri dalam berbusana dan selalu diajarkan setiap keluarga kepada anak-anaknya. Tutup kepala merupakan bagian dari kelengkapan berbusana baik busana tradisional maupun busana moderen. Tutup kepala yang berbentuk ikat kepala, merupakan salah satu jenis tutup kepala yang terbuat dari kain. Di kota Bandung yang mayoritas merupakan masyarakat Sunda, tutup kepala yang dibuat dari kain dikenal dengan sebutan iket atau totopong atau udeng yang diciptakan leluhur atau karuhun sebagai sesuatu yang menjadi identitas lelaki Sunda. Selain menjadi suatu identitas, dulu iket digunakan sebagai pelindung kepala dari panas dan hujan. Iket di wilayah Sunda sebelumnya menggunakan kain polos yang disebut hideungan (kain berwarna hitam) yang dikenal dengan nama Sandelin. Kain ini dapat pula dipakai untuk celana panjang, kampret dan celana pangsi, namun pada perkembangannya menggunakan kain batik. Iket dipakai dengan cara dilipat dan diikatkan pada kepala menurut bentuk tertentu dan dibentuk simpul sebagai ikatan penguat.

Salah satu budayawan Sunda Nana mengatakan:

“Iket itu sebagai ikatan bagi pemakainya, maksudnya adalah iket sebagai batasan pada diri yang memakainya. Iket yang dipasang di kepala orang Sunda, secara filosofis menandakan agar pemakainya tidak ingkah (lepas) dan ngencar (lepas) dari kasundaan

Prof. Yakob Sumardjo seorang pengajar filsafat seni mengatakan:

“Nu lima diopatkeun. Nu opat ditilukeun. Nu tilu diduakeun. Nu dua, dihijikeun. Nu hiji jadi kasep (Yang lima dijadikan empat. Yang empat dijadikan tiga. Yang tiga dijadikan dua. Yang dua dijadikan satu. Yang satu menjadi tampan)”. Kalimat itu mudah diingat ketika melipat kain iket sunda untuk dipasangkan di kepala. Filsafat alam itu pula yang ada dalam


(16)

iket. Iket itu digambarkan sebagai mandala (mata angin) yang memiliki pusat di bumi. Itu pula digambarkan dalam warna-warna dasar iket yang selalu dekat dengan alam. “Ketika dari lima menjadi satu, maka ia berusaha mendekatkan diri dengan Tuhan yang satu. Setelah dekat dengan Tuhan, maka pemakainya akan tampan luar dalam,”

Iket sebagai bagian dari kelengkapan busana pria memiliki nilai estetik tinggi. Iket sebagai tutup kepala memiliki nilai yang lebih berharga dibandingkan dengan tutup kepala yang lain, karena dalam proses pembentukannya memerlukan kejelian, keterampilan, ketekunan, kesabaran dan rasa estetika yang tinggi dari pemakainya. Hal ini akan membuktikan bahwa iket dapat mencerminkan status simbol pemakainya.

Selain itu iket juga memiliki makna secara ilmu pengetahuan dan kepercayaan, seperti dituturkan Nandang Sunaryo bahwa iket sangat erat kaitannya dengan unsur tauhid dan budaya. Iket memiliki makna mengikat seperti ikatan yang terbentuk dari tali. Iket juga berarti totopong yang berasal dari kata tepung (bertemu) yang mengalami pengulangan dari perubahan kata dasar ‘te’ menjadi ‘toto’. Tepung artinya bertemu, bertemu dalam hal ini maksudnya simbol dari bertemunya ujung kain karena dibentuk simpul sebagai lambang silaturahmi. Iket mengandung makna mengikat kepala. Objek yang diikat adalah kepala (pria). Kepala memiliki makna sebagai pemimpin tubuh dengan isinya yaitu otak. Otak merupakan tempat pikiran. Dengan otak ini manusia memiliki cipta, karsa, rasa sehingga mampu berpikir. Dengan memakai iket, kepala sebagai organ penting dapat dilindungi.


(17)

4

Waktu yang menerangkan bahwa iket sunda sudah sejak lama dipakai salah satunya yaitu seperti ditulis Suwardi Alamsyah P (2001:47) semenjak Tarusbawa (669-723 Masehi) sampai Sri Baduga (1482-1521 Masehi) keberadaan iket sudah ada dan dipertahankan masyarakat pendukungnya.

Railp L Beals dan Harry Hoijer dalam bukunya An Introduction to Antropology seperti ditulis Yetti Herayati A (1998/1999:7) dijelaskan bahwa:

“Tutup kepala, iket dan hiasan kepala merupakan bagian dari kelengkapan busana dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, bentuk maupun bahannya beraneka ragam karena pengaruh lingkungan alam dan latar belakang pendukung kebudayaannya. Secara umum tutup kepala mempunyai tiga fungsi utama yaitu fungsi praktis, fungsi estetis dan fungsi simbolis”

Dari keterangan diatas dapat dijelaskan bahwa iket memiliki fungsi sebagai berikut:

a. Fungsi praktis

Pada masyarakat biasa iket selain berfungsi untuk menutupi rambut, melindungi kepala, juga berfungsi sebagai senjata untuk membela diri bila tiba-tiba terjadi penyerangan. Selain itu berfungsi sebagai alat untuk menyimpan dan membawa barang.

b. Fungsi estetis

Selain dapat melindungi bagian kepala, iket dapat memperindah penampilan pria menjadi unsur pelengkap berbusana yang serasi pada pria. c. Fungsi simbolis

Nilai simbolis pada iket misalnya ada beberapa jenis bentuk iket yang hanya dipergunakan untuk orang tertentu atau kesempatan tertentu. Seperti


(18)

iket dengan ragam hias tritik untuk anak yang dikhitan, iket dengan ragam hias huruf arab dipakai oleh para santri dan jenis iket lain yang dipakai berdasarkan status atau kepentingan tertentu pemakainya.

Pada beberapa peninggalan tertulis menyiratkan bahwa iket tidak hanya digunakan sebagai penutup kepala tetapi juga berfungsi sebagai simbol kebesaran. Dengan adanya pelapisan atau kelas-kelas dalam masyarakat, iket berperan sebagai pembeda antara masyarakat kelas tinggi yaitu kaum bangsawan (para pejabat pemerintah), masyarakat kelas menengah atau priyayi (pegawai negri, masyarakat berekonomi tinggi), golongan ini memakai iket dengan sebutan udeg, serta kelas bawah (cacah dan somah) yaitu pedagang, buruh, tani memakai iket yang disebut totopong.

Seiring dengan perkembangan zaman, penggunaan iket pun mulai menjadi jarang dipakai karena dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Tidak sedikit pula masyarakat beranggapan jika yang menggunakan iket adalah seorang jawara atau orang pintar (dukun). Padahal, iket adalah bagian dari busana tradisional seperti halnya orang sunda yang sangat identik bila menggunakan pangsi pasti memakai iket. Jadi bukan hanya jawara atau orang pintar saja yang memakai iket.

Di kota Bandung pada saat ini sering dijumpai berbagai golongan dan lapisan masyarakat menggunakan iket Sunda baik laki-laki maupun perempuan, dari anak kecil hingga orang dewasa. Bahkan iket sunda pada saat ini mudah didapatkan dengan banyaknya penjual iket dipinggir jalan seputaran kota Bandung. Dulu iket kepala memang menjadi suatu pembeda antara


(19)

6

kalangan rakyat biasa dengan kaum bangsawan, bahkan iket pun menjadi suatu ciri golongan masyarakat tertentu. Tapi kini, kita sering kali menemui orang yang mengenakan iket, tanpa ada pembeda atau hanya digunakan oleh sebuah golongan. Selain sebagai aksesoris kepala dan sebagai bentuk rasa cinta pada seni budaya tradisional saat ini penggunaan iket lebih kepada trend sebagai variasi gaya untuk menunjukan eksistensi seseorang atau sebuah golongan. Meski sudah menjadi mode, iket kerap dilupakan oleh masyarakat Sunda, bahkan banyak masyarakat yang tidak tahu arti dan makna sesungguhnya dari iket ini. Perkembangan iket ini pun mengalami pergeseran sistem nilai, dengan pertimbangan bahwa iket Sunda dalam pemakaiannya telah terjadi perubahan dalam berbagai segi. Model-model iket Sunda kini sudah hampir tidak dikenal masyarakat Sunda. Walaupun demikian model-model yang masih dipakai dan dikenal sudah mengalami perkembangan baik bentuk, penggunaan kain, ukuran kain, ragam hias, warna, cara pakai, kesempatan pemakaian, terlebih fungsinya yang semula sebagai pelengkap busana yang menunjukkan identitas pemakai serta memenuhi nilai tatakrama kini sebagai penanda yang menunjukkan etnik Sunda bagi pemakainya.

Fenomena penggunaan iket di kota Bandung itu sendiri saat ini dapat dilihat pada berbagai komunitas yang semula identik dengan busana western kini beralih pada iket, contohnya komunitas sepeda motor yang menggunakan iket dengan berbagai fungsinya. Karena lebar, iket yang dipasang pada kepala bisa lebih nyaman, banyak variasi cara mengikat sesuai kreativitas termasuk bisa dialih fungsi lain sebagai penutup hidung saat riding, serta menutup leher


(20)

jadi hangat. Iket pun digunakan oleh beberapa komunitas musik sebagai salah satu pakaian pentas. Bahkan beberapa penggemar musik-musik tertentu di kota Bandung saat ini pula menggunakan iket Sunda pada saat menonton pertunjukan musik.

Kecintaan masyarakat Bandung terhadap penggunaan iket Sunda ini juga melatarbelakangi munculnya berbagai komunitas pencinta iket Sunda, salah satunya adalah Komunitas Iket Sunda (KIS). Komunitas ini merupakan suatu wadah dimana para pengguna dan pencinta iket Sunda berkumpul dan bersosialisasi guna turut melestarikan budaya Sunda. Komunitas ini pun menciptakan berbagai jenis kreasi iket dengan berbagai model hingga nama iket yang diciptakan tujuannya ingin mensosialisasikan filosofi iket secara budaya melalui seni fashion iket. Dimana dulu hanya dikenal tujuh gaya memakai iket, diantaranya parekosnangka, lohen, tutup liwet atau julang ngapak, barangbang semplak, balukarpeunggas, sampai, kole nyangsang.

Setiap mereka yang menggunakan iket Sundamenganggap hal tersebut adalah cerminan dari gaya hidup yang mereka pilih. Penggunaan iket Sunda yang dilakukan seolah-olah ingin menunjukkan kepada orang-orang akan identitas dirinya. Dengan menggunakan iket Sunda mereka ingin atau berusaha untuk menunjukkan “inilah saya”. Terjadi sebuah pemaknaan simbolik pada saat mereka menunjukkan “inilah saya” kepada siapa saja orang-orang yang berada disekitarnya.

Dapat dirasakan bahwa bagi sebagian besar masyarakat Sunda di kota Bandung dewasa ini nilai berbusana daerah mulai mengalami perubahan


(21)

8

dibandingkan dengan nilai berbusana daerah pada masa lalu. Perkembangan zaman ini pula yang menyebabkan terjadinya pergeseran makna dari penggunaan iket.

Pergeseran makna itu sendiri adalah gejala perluasan, penyempitan, pengonotasian (konotasi), penyinestesian (sinestesia), dan pengasosiasian makna kata yang masih dalam satu medan makna. Dalam pergeseran makna rujukan awal tidak berubah atau diganti, tetapi rujukan awal mengalami perluasan atau penyempitan rujukan.

Pergeseran makna yang terjadi pada penggunaan iket sunda ini merupakan gejala perluasan yang dikembangkan oleh masyarakat Sunda terutama di kota Bandung yang ingin melestarikan budaya Sunda agar keberadaannya kembali diterima oleh masyarakat, salah satunya dengan menciptakan berbagai kreasi iket baru yang bisa digunakan sebagai trend atau gaya mengikuti perkembangan zaman, namun maknanya tetap berpusat pada iket sunda zaman dulu yaitu sebagai simbol dan identitas budaya Sunda. Iket itu sendiri merupakan simbol budaya Sunda yang penuh akan makna.

Makna yang terekspresikan secara langsung dapat diamati lewat bahasa, sedangkan yang tersembunyi bisa diamati melalui kata-kata secara tidak langsung dan juga melalui perilaku serta dari sumber yang diamati seperti simbol-simbol. Menurut James P. Spradley (1997 : 121) dan dikutip oleh Drs. Alex Sobur, M. Si. dalam buku “Semiotika Komunikasi”, bahwa: “Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol.” (Sobur, 2006 : 177)


(22)

Menurut Clifford Geertz (1922 : 51) dan dijelaskan kembali oleh Drs. Alex Sobur, M. Si. dalam buku “Semiotika Komunikasi”, bahwa: “Makna hanya dapat disimpan di dalam simbol.” (Sobur, 2006 : 177).

Sekalipun demikian, didalam setiap masyarakat, orang tetap menggunakan sistem makna yang kompleks ini untuk mengatur tingkah laku mereka, untuk memahami diri mereka sendiri dan orang lain, serta untuk memahami dunia tempat mereka hidup.

Sistem simbol dan makna tersebut dapat diaplikasikan melalui interaksi simbolik. Secara teoritis interaksi simbolik adalah interaksi yang didalamnya terjadi pertukaran simbol-simbol yang mengandung makna. Sedangkan interaksi simbolik menurut Mead yang dikemukan dalam buku Fenomenologi mengatakan bahwa :

Interaksi simbolik adalah kemampuan manusia untuk dapat merespon simbol–simbol diantara mereka ketika berinteraksi, membawa penjelasan interaksionisme simbolik kepada konsep tentang diri (self). (Kuswarno,2009;114)

Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.

Bertolak pada uraian diatas, maka dalam interaksi simbolik terdapat tiga asumsi yang menjadi dasar dalam interaksi simbolik. Adapun tiga asumsi dasar tersebut adalah pikiran (mind), diri (self), dan masyarakat (society). Pikiran (mind) merupakan penunjuk diri. Pikiran dalam hal ini akan menunjukan


(23)

10

sejauhmana seseorang memahami dirinya sendiri. Manusia selalu melakukan interaksi dengan berbeda-beda. Melalui pikiran (mind) maka manusia dituntut untuk memahami dan memaknai simbol yang ada.

Dari beberapa esensi mengenai interaksi simbolik di atas, secara tidak langsung memberitahukan bahwa hidup agaknya memang digerakan oleh simbol, dibentuk oleh simbol, dan dirayakan dengan simbol-simbol dan itu yang menjadikan suatu aktivitas sebagai ciri khas manusia termasuk aktivitas budaya.

Kebanggaan seseorang memakai iket sekarang tinggal diarahkan pertanggungjawabannya melestarikan budaya lokal. Penggunaan iket juga diharapkan tidak sekedar menjadi ciri masyarakat Sunda (walau pemakaian iket bukan monopoli etnis Sunda), tetapi diharapkan dapat menggugah dalam berperilaku. Simbol iket Sunda ini juga berperan dalam komunikasi karena dengan adanya seseorang yang menggunakan iket maka akan menjadikan simbol sehingga lebih relaks dan tidak canggung dalam berinteraksi.

Bertolak dari penjelasan secara keseluruhan yang telah dikemukakan di atas, peneliti menyadari bahwa pentingnya keberadaan kebudayaan dalam suatu daerah, karena kebudayaan merupakan fakta kompleks yang selain memiliki kekhasan pada batas tertentu juga memiliki ciri yang bersifat universal dan menyangkut semua aspek kehidupan manusia yang disampaikan melalui suatu media ataupun interaksi, tetapi dewasa ini terdapat kecenderungan memudarnya nilai-nilai budaya pada setiap segi kehidupan masyarakat khususnya budaya sunda di kota Bandung. Perubahan tersebut


(24)

wajar terjadi mengingat kebudayaan tidaklah bersifat statis, bahkan selalu berubah. Oleh karena itu fenomena penggunaan iket sunda di Kota Bandung ini menarik untuk diteliti karena menyangkut suatu kebudayaan yang mengalami suatu pergeseran makna dari para penggunanya.

1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Pertanyaan Makro

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka peneliti merumuskan masalah makro sebagai berikut:

“Bagaimana Pergeseran Makna Penggunaan Iket Sunda Dalam

Komunitas Iket Sunda di Kota Bandung?” 1.2.2 Pertanyaan Mikro

Berdasarkan rumusan masalah makro diatas, maka peneliti merumuskan masalah mikro sebagai berikut:

1. Bagaimana Mind (Pikiran) Membentuk Pergeseran Makna Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket Sunda di Kota Bandung?

2. Bagaimana Self (Diri) Membentuk Pergeseran Makna Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket Sunda di Kota Bandung?

3. Bagaimana Society (Masyarakat) Membentuk Pergeseran Makna Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket Sunda di Kota Bandung?


(25)

12

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.3.1Maksud Penelitian

Adapun maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji lebih dalam tentang pergeseran makna penggunaan iket Sunda dalam Komunitas Iket Sunda di kota Bandung.

1.3.2Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan masalah yang diteliti maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui Mind (Pikiran) Membentuk Pergeseran Makna Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket Sunda di Kota Bandung. 2. Untuk mengetahui Self (Diri) Membentuk Pergeseran Makna

Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket Sunda di Kota Bandung. 3. Untuk mengetahui Society (Masyarakat) Membentuk Pergeseran Makna

Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket Sunda di Kota Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan ilmu pengetahuan secara teoritis bagi penelitian-penelitian selanjutnya sehingga mampu menunjang pengembangan Ilmu Komunikasi secara umum serta menambah wawasan serta referensi pengetahuan khususnya interaksi


(26)

simbolik mengenai pergeseran makna penggunaan iket Sunda dalam Komunitas Iket Sunda di kota Bandung.

1.4.2Kegunaan Praktis 1. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan baru bagi peneliti akan berbagai kebudayaan Sunda yang belum diketahui, serta dijadikan suatu pengalaman oleh peneliti sebagai aplikasi ilmu pengetahuan dalam bidang komunikasi khususnya dalam memahami pergeseran makna penggunaan iket Sunda dalam Komunitas Iket Sunda di kota Bandung.

2. Bagi Akademik

Penelitian ini berguna untuk mahasiswa Unikom secara umum dan mahasiswa Ilmu Komunikasi Unikom sebagai literatur terutama untuk penelitian selanjutnya yang akan melakukan penelitian pada kajian yang sama.

3. Bagi Masyarakat

Kegunaan penelitian ini bagi masyarakat umum yakni, ingin memberikan informasi dan pengetahuan mengenai pergeseran makna penggunaan iket Sunda dalam Komunitas Iket Sunda di kota Bandung.


(27)

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dalam penyusunan skripsi ini berisi definisi atau tinjauan yang berkaitan dengan komunikasi secara umum, dan pendekatan pendekatan yang digunakan dalam penelitian.

2.1.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Studi penelitian terdahulu sangat penting sebagai bahan acuan yang membantu penulis dalam merumuskan asumsi dasar untuk pengembangan kajian. Tentunya studi terdahulu tersebut harus yang relevan baik dari konteks penelitian maupun metode penelitian yang digunakan.

Penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan permasalahan yang diteliti penulis yaitu:

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

Aspek

Nama Peneliti

Yogi Septiadi Gumilar Suciati

Universitas Universitas Komputer Indonesia Institut Teknologi Bandung

Judul Peneliti

“Pergeseran Makna Fashion Mohawk Dalam Komunitas Punk Di Kota Bandung” (Studi Fenomenologi Mengenai Makna

Desain Iket Sunda Di Bandung Dan Sumedang”


(28)

Fashion Mohawk Dalam Komunitas Punk Di Kota

Bandung).

Jenis Penelitian

Kualitatif dengan metode penelitian fenomenologi

Metode penelitian kebudayaan dengan pendekatan kualitatif dan

berdasarkan analisis deskriptif.

Tujuan Penelitian

Untuk Mengetahui Bagaimana Pergeseran Makna Fashion Mohawk Dalam Komunitas

Punk di kota Bandung

Untuk mengetahui dan menjelaskan Desain Iket

Sunda Di Bandung Dan Sumedang

Hasil Penelitian

Penilaian dari komunitas punk mengenai Makna Fashion Mohawk mengalami pergeseran makna dimana Fashion Mohawk

dipandang untuk mewakili “Gaya” mereka karena unik. Dan Nilai Sosial yang ditujukan bukan sebagai mana mestinya. dan disini telah terjadi adanya pergeseran

Makna Fashion Mohawk.

Mengemukakan kembali desain iket Sunda yang pernah

ada, sistem kehidupan masyarakat Sunda pada masa

lalu dan mendata iket Sunda sebagai kekayaan budaya Sunda. Selain itu mengetahui sejauhmana fungsi sosial iket

Sunda bagi masyarakat pendukungnya, meningkatkan


(29)

16

umum terhadap desain iket Sunda, juga mencari alternatif

usaha-usaha pelestarian iket Sunda.

2.1.2 Tinjauan Tentang Komunikasi

Sebagai makhluk sosial kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari aktivitas komunikasi, karena komunikasi merupakan bagian yang penting dalam kehidupan sosial manusia atau masyarakat. Komunikasi dilakukan bertujuan untuk keberlangsungan hidup manusia. Tanpa adanya suatu komunikasi, maka manusia tidak akan bisa untuk melangsungkan kehidupannya. Komunikasi yang dilakukan juga bertujuan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Inti dari komunikasi adalah manusia. Ketika manusia ada makan terciptalah komunikasi.

2.1.2.1 Definisi Ilmu Komunikasi

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris Communication menurut asal katanya berasal dari bahasa latin Communicaten, dalam perkataan ini bersumber dari kata Communis yang berarti sama, sama disini maksudnya adalah sama makna. Jadi, jika dua orang terlibat dalam komunikasi maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dikomunikasikan,


(30)

yakni baik si penerima maupun si pengirim sepaham dari suatu pesan tertentu. (Effendy, 2000 : 9)

Pengertian komunikasi secara etimologis diatas adalah bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena kegiatan komunikasi tidak hanya informatif, yakni agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan, melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan. Jika berbicara mengenai definisi komunikasi, tidak ada definisi yang salah dan benar, definisi diuraikan untuk menjelaskan fenomena yang didefinisikan dan mengevaluasinya. Beberapa definisi mungkin terlalu sempit, misalnya komunikasi adalah penyampaian pesan melalui media tertentu atau justru terlalu luas misalnya, komunikasi adalah interaksi antara dua makhluk hidup atau lebih sehingga para peserta komunikasi ini mungkin termasuk hewan, tanaman, dan makhluk hidup lainnya.

Adapun definisi komunikasi menurut Roger dan D. Lawrence (1981) adalah : “Suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam”. (Cangara, 2004 : 19)

Sedangkan Onong Uchjana Effendy berpendapat bahwa komunikasi adalah “Proses pernyataan antara manusia yang dinyatakan adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya”. (Effendy, 1993 : 28)


(31)

18

Akan tetapi seseorang akan dapat mengubah sikap pendapat atau perilaku orang lain apabila komunikasinya itu bersifat komunikatif, yakni pesan-pesan yang disampaikan tidak hanya dimengerti oleh komunikator tetapi juga dimengerti oleh komunikan untuk mencapai suatu komunikasi yang bersifat komunikatif, maka seorang komunikator harus mengetahui dahulu kerangka berfikir (Frame Of Reference) dan pengalaman (Field Of Experience) calon komunikan.

Beragamnya definisi mengenai komunikasi menuntun kita untuk lebih mengenal komunikasi secara konseptualisasi, komunikasi terdiri dari tiga konseptualisasi seperti yang diungkapkan Wenburg dan Wilmot (Mulyana, 2000:61-68) :

1. Komunikasi sebagai tindakan satu arah

Suatu pemahaman mengenai komunikasi manusia adalah komunikasi yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (atau suatu lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang lainnya baik secara langsung atau melalui media. Jadi komunikasi dianggap sebagai proses linear yang dimulai dengan sumber atau pengirim dan berakhir pada penerima, sasaran atau tujuannya.

2. Komunikasi sebagai interaksi

Pandangan ini menyeratakan komunikasi dengan proses sebab-akibat atau aksi-reaksi yang arahnya bergantian. Seseorang menyampaikan pesan baik verbal atau nonverbal, seorang penerima


(32)

bereaksi dengan memberi jawaban verbal atau menganggukkan kepala. Komunikasi sebagai interaksi dipandang lebih dinamis daripada komunikasi satu arah. Namun pandangan ini masih membedakan para peserta sebagai pengirim dan penerima karena itu masih berorientasi pada sumber jadi masih bersifat mekanis dan statis.

3. Komunikasi sebagai transaksi

Dalam konteks ini komunikasi adalah suatu proses personal karena makna atau pemahaman yang kita peroleh pada dasarnya bersifat pribadi. Komunikasi bersifat dinamis, lebih sesuai untuk komunikasi tatap muka yang memungkinkan pesan atau respon verbal dan nonverbal bisa diketahui dengan langsung, konsep ini tidak membatasi komunikasi sebagai komunikasi yang disengaja atau respon yang dapat diamati. Komunikasi dilihat sebagai proses dinamis yang berkesinambungan mengubah perilaku-perilaku pihak yang berkomunikasi.

Setelah melihat berbagai hakikat dan definisi komunikasi yang disebutkan para ahli, Harold D. Lasswell (1960) mengemukakan bahwa komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan :

1. Siapa? Who?

2. Mengatakan apa? Says what?


(33)

20

4. Kepada siapa? To whom?

5. Dengan akibat apa atau hasil apa? With what effect? (Mulyana, 2005 : 62)

2.1.2.2 Komponen – Komponen Komunikasi

Komponen komunikasi adalah hal-hal yang harus ada agar komunikasi bisa berlangsung dengan baik. Menurut Laswell dalam Effendy (2000:6), lingkup Ilmu Komunikasi berdasarkan komponennya terdiri dari :

1. Komunikator (communicator) 2. Pesan (message)

3. Media (media)

4. Komunikan (communicant) 5. Efek (effect)

Berdasarkan komponen-komponen tersebut Lasswell menyebutkan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.

1. Komunikator (communicator) dan Komunikan (communicant) Komunikator (communicator) adalah sumber, pengirim, atau pihak yang mengambil prakarsa untuk berkomunikasi dengan pihak lain. Karena itu komunikator disebut juga pengirim, sumber, source, atau encoder.


(34)

Komunikator yang menetapkan peranan dari seluruh unsur proses komunikasi. Komunikator harus mampu mengembangkan diri sebagai penyebar pesan, memanipulasi pesan, memilih media, menganalisis audiens agar pesan dapat mempengaruhi warga masyarakat. Komunikan adalah seseorang atau sekelompok orang atau organisasi/institusi yang menjadi sasaran penerima pesan.

Komunikator dan komunikan juga dikenal dengan istilah sumber-penerima, karena sumber-penerima sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan untuk menegaskan bahwa setiap orang yang terlibat dalam komunikasi adalah sumber (pembicara) selakigus penerima (pendengar). Anda mengirimkan pesan ketika anda berbicara, menulis, memberikan isyarat tubuh, atau tersenyum. Anda menerima pesan dengan mendengarkan, membaca, membaui dan sebagainya (Devito, 1997 : 27).

Tetapi ketika kita mengirim pesan kita juga menerima pesan. Anda menerima pesan kita sendiri (kita mendengar diri sendiri, merasakan gerak tubuh sendiri, dan melihat banyak isyarat tubuh kita sendiri) dan kita menerima pesan dari orang lain secara visual, melalui pendengaran atau bahkan melalui rabaan dan penciuman. Ketika kita berbicara dengan orang lain, kita memandangnya untuk mendapatkan tanggapan untuk mendapatkan dukungan, pengertian, simpati, persetujuan dan sebagainya. Ketika kita menyerap isyarat-isyarat nonverbal ini, kita menjalankan fungsi penerima.


(35)

22

2. Pesan (message)

Pesan dalam proses komunikasi yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan terdiri dari isi (the content) dan lambang (symbol). Lambang dalam media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, warna dan sebagainya yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan (Effendy, 2000 : 11).

Bahasa adalah lambang yang paling banyak dipergunakan, namun tidak semua orang pandai berkata-kata secara tepat yang dapat mencerminkan pikiran dan perasaannya. Kial (gesture) memang dapat menerjemahkan pikiran seseorang sehingga terekspresi secara fisik namun gerakan tubuh hanya dapat menyampaikan pesan yang terbatas. Isyarat dengan menggunakan alat seperti tongtong, bedug, sirine dan lain-lain serta warna yang mempunyai makna tertentu, kedua lambang itu sama-sama terbatas dalam mentransmisikan pikiran seseorang pada orang lain.

3. Media (media)

Media sering disebut sebagai saluran komunikasi, jarang sekali komunikasi berlangsung melalui satu saluran, kita mungkin menggunakan dua atau tiga saluran secara simultan (Devito, 1997 : 28). Sebagai contoh dalam interaksi tatap muka kita berbicara dan mendengar (saluran suara), tetapi kita juga memberikan isyarat


(36)

tubuh dan menerima isyarat secara visual (saluran visual). Kita juga memancarkan dan mencium bau-bauan (saluran olfaktori), dan sering kita saling menyentuh itupun komunikasi (saluran taktil).

Media juga dapat dilihat dari sudut media tradisional dan modern yang dewasa ini banyak dipergunakan (Effendy, 2000:37). Tradisional misalnya kentongan, bedug, pagelaran seni, dan lain-lain sedangkan yang lebih modern misalnya surat, papan pengumuman, telepon, telegram, pamflet, poster, spanduk, surat kabar, majalah, film, televisi, dan internet yang pada umumnya diklasifikasikan sebagai media tulisan atau cetak, visual, audio dan audio-visual.

4. Efek (effect)

Komunikasi selalu mempunyai efek atau dampak atas satu atau lebih orang yang terlihat dalam tindak komunikasi Pada setiap tindak komunikasi selalu ada konsekuensi. Pertama Anda mungkin memperoleh pengetahuan atau belajar bagaimana menganalisis, melakukan sintesis atau mengevaluasi sesuatu, ini adalah efek intelektual atau kognitif.


(37)

24

2.1.2.3 Fungsi Komunikasi

Begitu pentingnya komuniaksi dalam hidup manusia, maka Harold Lasswell mengemukakan bahwa fungsi komunikasi antara lain :

1. Manusia dapat mengontrol lingkungannya.

2. Beradaptasi dengan lingkungan tempat mereka berada.

3. Melakukan transformasi warisan sosial kepada generasi berikutnya.

Onong Uchjana Effendi dalam buku Dimensi-dimensi Komunikasi mempunyai pendapat sebagai berikut :

1. Memberikan informasi kepada masyarakat.

Karena perilaku menerima informasi merupakan perilaku alamiah masyarakat. Dengan menerima informasi yang benar masyarakat akan merasa aman tentram. Informasi akurat diperlukan oleh beberapa bagian masyarakat untuk bahan dalam pembuatan keputusan. Informasi dapat dikaji secara mendalam sehingga melahirkan teori baru dengan demikian akan menambah perkembangan ilmu pengetahuan. Informasi disampaikan pada masyarakat melalui berbagai tatanan komunikasi, tetapi yang lebih banyak melalui kegiatan mass communication.

2. Mendidik masyarakat.

Kegiatan komunikasi pada masyarakat dengan memberiakan berbagai informasi tidak lain agar masyarakat menjadi lebih


(38)

baik, lebih maju, lebih berkembang kebudayaannya. Kegiatan mendidik masyarakat dalam arti luas adalah memberikan berbagai informasi yang dapat menambah kemajuan masyarakat dengan tatanan komunikasi massa. Sedangkan kegiatan mendidik masyarakat dalam arti sempit adalah memberikan berbagai informasi dan juga berbagai ilmu pengetahuan melalui berbagai tatanan komunikasi kelompok pada pertemuan-pertemuan, kelas-kelas, dan sebagainya. Tetapi kegiatan mendidik masyarakat yang paling efektif adalah melalui kegiatan Komunikasi Interpersonal antara penyuluh dengan anggota masyarakat, antara guru dengan murid, antara pimpinan dengan bawahan, dan antara orang tua dengan anak-anaknya.

3. Mempengaruhi masyarakat.

Kegiatan memberikan berbagai informasi pada masyarakat juga dapat dijadikan sarana untuk mempengaruhi masyarakat tersebut ke arah perubahan sikap dan perilaku yang diharapkan. Misalnya mempengaruhi masyarakat untuk mendukung suatu pilihan dalam pemilu dapat dilakukan melalui komunikasi massa dalam bentuk kampanye, propaganda, selebaran-selebaran, spanduk dan sebagainya. Tetapi berdasarkan beberapa penelitian kegiatan mempengaruhi masyarakat akan lebih efektif dilakukan melalui Komunikasi Interpersonal.


(39)

26

4. Menghibur masyarakat.

Perilaku masyarakat menerima informasi selain untuk memenuhi rasa aman juga menjadi sarana hiburan masyarakat. Apalagi pada masa sekarang ini banyak penyajian informasi melalui sarana seni hiburan.

2.1.2.4 Karakteristik Komunikasi

Berdasarkan dari beberapa definisi tentang komunikasi di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa komunikasi mempunyai karakteristik sebagai berikut :

1. Komunikasi adalah suatu proses. Artinya bahwa komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara beriritan (ada tahapan atau sekuensi) serta berkaitan satu sama lainnya dalam kurun waktu tertentu.

2. Komunikasi bersifat simbolis. Yaitu komunikasi pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang. Lambing yang paling umum digunakan dalam komunikasi antar manusia adalah dengan bahasa verbal yaitu dalam bentuk kata-kata, kalimat, angka-angka atau tanda-tanda lainnya.

3. Komunikasi adalah suatu upaya yang disengaja serta mempunyai tujuan. Komunikasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar, disengaja, serta sesuai dengan tujuan atau keinginan dari pelakunya.


(40)

4. Komunikasi menuntut adanya partisipasi dan kerja sama dari para pelaku yang terlibat. Kegiatan komunikasi akan berlangsung baik apabila pihakpihak yang berkomunikasi (dua orang atau lebih) sama-sama ikut terlibat dan sama-sama mempunyai perhatian yang sama terhadap topik pesan yang disampaikan.

5. Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu. Dimana para peserta atau pelaku yang terlibat dalam komunikasi tidak harus hadir pada waktu serta tempat yang sama. Dengan adanya berbagai produk teknologi komunikasi seperti telepon, internet, faximili, dan lain-lain, faktor ruang dan waktu tidak lagi menjadi masalah dalam berkomunikasi.

6. Komunikasi bersifat transaksional. Pada dasarnya komunikasi menuntu dua tindakan, yaitu member dan menerima. Dua tindakan tersebut tentunya perlu dilakukan secara seimbang atau porsional. 2.1.2.5 Tujuan Komunikasi

Menurut Onong Uchjana Effendi dalam buku Dimensi-dimensi Komunikasi, tujuan komunikasi adalah sebagai berikut :

1. Perubahan sosial dan partisipasi sosial. Memberikan berbagai informasi pada masyarakat yang tujuan akhirnya supaya masyarakat mau mendukung dan ikut serta terhadap tujuan informasi yang disampaikan. Misalnya supaya masyarakat ikut serta dalam pemilihan suatu pada pemilu.


(41)

28

2. Perubahan sikap. Kegiatan memberikan berbagai informasi pada masyarakat dengan tujuan supaya masyarakat akan berubah sikapnya. Misalnya kegiatan memberikan informasi mengenai hidup sehat tujuannya adalah supaya masyarakat mengikuti pola hidup sehat dan sikap masyarakat berubah menjadi positif terhadap pola hidup sehat.

3. Perubahan pendapat. Memberikan berbagai infromasi pada masyarakat dengan tujuan akhirnya supaya masyarakat mau merubah pendapat dan persepsinya terhadap tujuan informasi itu disampaikan, misalnya infromasi mengenai kebijakan pemerintah yang biasanya selalu mendapat tantangan dari masyarakat maka harus disertai penyampaian informasi yang lengkap supaya pendapat masyarakat dapat terbentuk untuk mendukung kebijakan tersebut.

2.1.3 Tinjauan Mengenai Komunitas

Istilah kata Komunitas berasal dari bahasa latin communitas yang berasal dari kata dasar communis yang artinya masyarakat, publik atau banyak orang.Wikipedia bahasa Indonesai menjelaskan Arti Komunitas sebagai sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud,


(42)

kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa.

Definisi Arti Komunitas adalah sebuah identifikasi dan interaksi sosial yang dibangun dengan berbagai dimensi kebutuhan fungsional. Arti Komunitas adalah sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti "kesamaan", kemudian dapat diturunkan dari communis yang berarti "sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak" (Djepok, 2011).

2.1.4 Tinjauan Tentang Fenomenologi

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani yaitu phainomai yang berarti “menampak”. Menampak dalam hal ini berkaitan dengan suatu fenomena atau fakta yang disadari oleh panca indera manusia. Fenomenologi merupakan landasan dasar dari penelitian kualitatif.

Menurut The Oxford English Dictionary pengertian fenomenologi yaitu :

Fenomenologi adalah a. The science of phenomena as distinct from being (ontology), dan b. Division of any science with describe and classifies its phenomena. Jadi, fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan dari sesuatu yang sudah menjadi, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan mengklasifikasikan fenomena, atau studi tentang fenomena. Dengan kata lain, fenomenologi


(43)

30

mempelajari fenomena yang tampak didepan kita, dan bagaimana penampakannya. (Kuswarno, 2009:1)

Pendekatan fenomenologi termasuk pada pendekatan subjektif atau interpretif. Yang memandang bahwa manusia aktif, kontras dengan pendekatan objektif atau pendekatan behavioristik dan struktural yang berasumsi bahwa manusia itu pasif. (Mulyana, 2007:91-92)

Fenomenologi sangat menarik perhatian para peneliti. Sehingga menjelang abad ke-20 banyak bermunculan para ahli yang tertarik dengan fenomenologi. Salah satu tokoh fenomenologi adalah Edmund Husserl. Beliau merupakan salah satu ahli dibidang Matematika. Dalam tulisannya yang berjudul “Logical Investigations” mengawali sejarah fenomenologi.

Husserl memandang bahwa fenomenologi mempelajari bentuk-bentuk pengalaman dari sudut pandang orang yang mengalami secara langsung, seolah-olah kita mengalaminya sendiri. Fenomenologi tidak saja mengklasifikasikan setiap tindakan sadar yang dilakukan, namun juga meliputi prediksi terhadap tindakan di masa yang akan datang, dilihat dari aspek-aspek yang terkait dengannya. Semuanya itu bersumber dari bagaimana seseorang memaknai objek dalam pengalamannya. Oleh karena itu, tidak salah apabila fenomenologi juga diartikan sebagai studi tentang makna, dimana makna itu lebih luas dari sekedar bahasa yang mewakilinya. (Kuswarno, 2009:10) Setelah munculnya Husserl sebagai pendiri dari aliran filsafat fenomenologi, bermunculan tokoh-tokoh lain seperti Martin Heidegger, Jean-Paul Sarte, Maurice Merleau-Ponty, Max Scheler, Alfred Schutz, Max Weber, Peter Berger dan masih banyak lagi tokoh lainnya.

Alfred Schutz merupakan salah tokoh fenomenologi yang menonjol. Pemikiran Alfred Schutz ini terfokus pada tindakan sosial. Beliau yang membawa fenomenologi kedalam ilmu sosial. Alfred Schutz memandang bahwa manusia adalah mahluk sosial yang akan selalu melakukan tindakan


(44)

sosial. Tindakan sosial ini berorientasi pada perilaku manusia dimasa lalu, masa sekarang dan juga masa depan.

Fenomenologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial melalui penafsiran. Proses penafsiran dapat digunakan untuk memperjelas atau memeriksa makna yang sesungguhnya, sehingga dapat memberikan konsep kepekaan yang implisit. Hubungan-hubungan sosial antara manusia ini kemudian akan membentuk totalitas masyarakat. jadi, setiap individu menggunakan simbol-simbol yang telah diwariskan padanya, untuk memberi makna pada tingkah lakunya sendiri. (Kuswarno, 2009:18)

Menurut Maurice Natanson yang dikutip oleh Deddy Mulyana dalam Buku Metode Penelitian Komunikasi mengatakan bahwa :

Istilah fenomenologi dapat digunakan sebagai istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menempatkan kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. (Mulyana, 2007:92)

Robert Bogdan dan Steven J.Taylor menyebutkan terdapat dua pendekatan utama dalam tradisi fenomenologi yaitu interaksionisme simbolik dan etnometodologi. (Mulyana, 2007:92).

Esensi dari fenomenologi adalah dunia itu salah satu makna yang dikonstruksikan secara intersubjektif. Dengan fenomenologi, dunia dapat dikonstruksikan atau dapat diketahui dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung dan berkaitan dengan sifat-sifat alami pengalaman manusia. Secara tidak langsung, bahwa esensi dari penelitian fenomenologi adalah kita terjun langsung, larut dan juga merasakan.

Adapun ciri-ciri penelitian kualitatif yang sejalan dengan penelitian kualitatif adalah sebagai berikut :

1. Fokus pada sesuatu yang nampak, kembali kepada yang sebenarnya (esensi), keluar dari rutinitas, dan keluar dari apa yang diyakini sebagai kebenaran dan kebiasaan sehari-hari.


(45)

32

2. Fenomenologi tertarik dengan keseluruhan, dengan mengamati entitas dari berbagai sudut pandang dan perspektif, sampai didapat pandangan esensi dari pengalaman atau fenomena yang diamati. 3. Fenomenologi mencari makna dan hakikat dari penampakan,

dengan institusi dan refleksi dalam tindakan sadar melalui pengalaman. Makna ini yang pada akhirnya membawa kepada ide, konsep, penilaian, dan pemahaman yang hakiki.

4. Fenomenologi mendeskripsikan pengalaman, bukan menjelaskan atau menganalisisnya. Sebuah deskriptif fenomenologi akan sangat dekat dengan kealamiahan (tekstur, kualitas, dan sifat-sifat penunjang) dari sesuatu. Sehingga deskripsi akan mempertahankan fenomena itu seperti apa adanya, dan menonjolkan sifat alamiah dan makna dibaliknya. Selain itu, deskripsi juga akan membuat fenomena “hidup” dalam term yang akurat dan lengkap. Dengan kata lain sama “hidup”-nya antara tampak dalam kesadaran dengan yang terlihat oleh panca indera. 5. Fenomenologi berakar pada pertanyaan-pertanyaan yang langsung

berhubungan dengan makna dari fenomena yang diamati. Dengan demikian penelitian fenomenologi akan sangat dekat fenomena yang diamati. Analoginya, peneliti itu menjadi salah satu bagian puzzle dari sebuah kisah biografi.

6. Integrasi dari subjek dan objek. Persepsi penelitian akan sebanding/sama dengan apa yang dilihat/didengarnya. Pengalamannya akan suatu tindakan akan membuat objek menjadi subjek, dan subjek menjadi objek.

7. Investigasi yang dilakukan dalam kerangka intersubjektif, realitas adalah salah satu bagian dari proses secara keseluruhan.

8. Data yang diperoleh (melalui berpikir, instuisi, refleksi, dan penilaian) menjadi bukti-bukti utama dalam pengetahuan ilmiah. 9. Pertanyaan-pertanyaan penelitian harus dirumuskan dengan sangat

hati-hati. Setiap kata harus dipilih, dimana kata yang terpilih adalah kata yang paling utama, sehingga dapat menunjukkan makna yang utama pula. (Kuswarno,2009:37)

2.1.5 Tinjauan Tentang Interaksi Simbolik

Manusia selalu melakukan interaksi dengan manusia lainnya. Dalam interaksi tersebut, terjadi pertukaran simbol-simbol baik itu verbal ataupun nonverbal. Dalam simbol-simbol atau lambang-lambang tersebut terdapat makna yang hanya dipahami oleh anggotanya saja. Makna ini akan sangat mempengaruhi individu bertingkah laku atau berperilaku. Pendekatan atau


(46)

teori yang mengkaji mengenai interaksi ini adalah interaksi simbolik. Interaksi simbolik dalam hal ini merupakan sebuah perspektif. Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada dibawah payung fenomenologis.

Perspektif ini lahir berlandaskan pada Teori Evolusi Darwin. Pada abad Ke-19 teori Darwin ini menekankan pada perubahan manusia.

Teori Evolusi Darwin menekankan pada pandangan bahwa semua perilaku manusia, bukanlah perilaku yang acak, melainkan dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka masing-masing. (Mulyana, 2004:67)

Melalui dasar teori tersebut maka lahirlah interaksi simbolik. Perspektif interaksi simbolik mencoba memahami perilaku manusia saat melakukan interaksi dengan lingkungannya.

Interaksi simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan dinamis manusia, kontras dengan pendekatan struktural yang memfokuskan pada individu dan ciri-ciri kepribadiannya, atau bagaimana struktur sosial membentuk tentang perilaku manusia tertentu. Perpektif interaksi simbolik memandang bahwa manusia sebagai mahkluk yang aktif yang selalu melakukan interaksi dengan manusia lainnya.

Akar pemikiran interaksi simbolik mengasumsikan realitas sosial sebagai proses dan bukan sebagai sesuatu yang statis-dogmatis. Artinya masyarakat dilihat sebagai sebuah interaksi simbolik bagi individu-individu yang ada didalamnya. Pada hakikatnya, tiap manusia bukanlah “barang jadi” melainkan barang yang “akan jadi”, karenanya teori interaksi simbolik membahas pula konsep mengenai “diri” (self) yang tumbuh berdasarkan “negosiasi makna” dengan orang lain. Ada tiga premis yang dibangun dalam interaksi simbolik yaitu : pertama, manusia bertindak berdasarkan makna-makna; kedua, makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain; dan ketiga makna tersebut


(47)

34

berkembang disempurnakan ketika interaksi tersebut berlangsung. (Mulyana, 2007:35)

Salah satu tokoh perspektif interaksi simbolik adalah George Herbert Mead. Inti interaksi simbolik menurut Mead adalah “Diri”. Mead memberikan definisi interaksi simbolik yaitu sebagai berikut :

Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.

Berdasarkan paparan diatas, maka interaksi simbolik erat kaitannya dengan Mind (pikiran), Self (diri) dan Society (masyarakat).

1. Mind (Pikiran)

Pikiran menghasilkan suatu bahasa isyarat yang disebut simbol. Simbol-simbol yang mempunyai arti bisa berbentuk gerak gerik atau gesture tapi juga bisa dalam bentuk sebuah bahasa. Dan kemampuan manusia dalam menciptakan bahasa inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Bahasa membuat manusia mampu untuk mengartikan bukan hanya simbol yang berupa gerak gerik atau gesture, melainkan juga mampu untuk mengartikan simbol yang berupa kata-kata. Kemampuan inilah yang memungkinkan manusia menjadi bisa melihat dirinya sendiri melalui perspektif orang lain dimana hal ini sangatlah penting dalam mengerti arti-arti bersama atau menciptakan respon yang sama terhadap simbol-simbol suara yang sama. Dan agar kehidupan sosial tetap bertahan, maka seorang individu harus bisa mengerti


(48)

simbol-simbol dengan arti yang sama, yang berarti bahwa manusia harus mengerti bahasa yang sama. Proses berpikir, bereaksi, dan berinteraksi menjadi mungkin karena simbol – simbol yang penting dalam sebuah kelompok sosial mempunyai arti yang sama dan menimbulkan reaksi yang sama pada orang yang menggunakan simbol-simbol itu, maupun pada orang yang bereaksi terhadap simbol-simbol itu. Mind (pikiran) merupakan mekanisme penunjuk diri, untuk menunjukan makna pada diri sendiri dan kepada orang lain.

2. Self (Diri)

Perkembangan self (diri) mengarah pada sejauhmana seseorang akan mengambil peran. Pengambilan peran ini akan merujuk pada bagaimana seseorang memahami dirinya dari perspektif orang lain. Dalam arti ini, Self bukan suatu obyek melainkan suatu proses sadar yang mempunyai kemampuan untuk berpikir, seperti :

a. Mampu memberi jawaban kepada diri sendiri seperti orang lain yang juga memberi jawaban.

b. Mampu memberi jawaban seperti aturan, norma atau hukum yang juga memberi jawaban padanya.

c. Mampu untuk mengambil bagian dalam percakapan sendiri dengan orang lain.

d. Mampu menyadari apa yang sedang dikatakan dan kemampuan untuk menggunakan kesadaran untuk menentukan apa yang harus dilakukan pada fase berikutnya.


(49)

36

Menurut Mead sebagai suatu proses sosial, diri terdiri dari dua fase, yaitu “Aku” (I) dan daku (me). “Aku” kecenderung individu yang implusif, spontan, tidak terorganisasikan atau dengan kata lain merespresentasikan kecenderung individu yang tidak terarah. Sedangkan “daku” menunjukan individu yang bekerjasama dengan orang lain, meliputi seperangkat sikap dan definisi berdasarkan pengertian dan harapan dari orang lain atau yang dapat diterima dalam kelompok. (Kuswarno,2009,115).

3. Society (Masyarakat)

Masyarakat dalam teori Interaksionisme Simbolik ini bukanlah masyarakat dalam artian makro dengan segala struktur yang ada, melainkan masyarakat dalam ruang lingkup yang lebih mikro, yaitu organisasi sosial tempat akal budi (mind) serta diri (self) muncul.

Masyarakat itu sebagai pola-pola interaksi dan institusi sosial yang adalah hanya seperangkat respon yang biasa terjadi atas berlangsungnya pola-pola interaksi tersebut, karena Mead berpendapat bahwa masyarakat ada sebelum individu dan proses mental atau proses berpikir muncul dalam masyarakat. Proses sosial dilihat sebagai kehidupan kelompok yang membentuk aturan-aturan dan bukan aturan yang membentuk kelompok. Proses sosial atau realitas sosial mengacu pada perilaku individu di lingkungan sosial. Dalam realitas sosial, individu akan merepresentasikan pada habit atau kebiasaan. Dengan kebiasaan ini, orang bisa menginterpretasikan dan juga memberikan pandangan mengenai bagaimana kita bertindak.

Jadi, pada dasarnya Teori Interasionisme Simbolik adalah sebuah teori yang mempunyai inti bahwa manusia bertindak berdasarkan atas makna-makna, dimana makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan


(50)

orang lain, serta makna-makna itu terus berkembang dan disempurnakan pada saat interaksi itu berlangsung.

Berdasarkan paparan diatas, maka muncullah tiga asumsi dasar yang mendasari interaksi simbolik. Dimana ketiga premis itu merujuk pada beberapa hal, yaitu :

1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia, 2. Pentingnya konsep mengenai diri (konsep diri), 3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.

Interaksi simbolik tidak terlepas dari simbol-simbol ataupun lambang-lambang pada saat melakukan komunikasi atau interaksi. Melalui simbol-simbol yang bermakna inilah yang akan menggiring perilaku manusia dalam berinteraksi dilingkungannya. Manusia selalu melakukan manipulasi terhadap simbol-simbol yang mereka gunakan.

Menurut Mead, pentingnya komunikasi khususnya melalui mekanisme isyarat vokal (bahasa), meskipun teorinya bersifat umum. Isyarat vokallah yang potensial menjadi seperangkat simbol yang membentuk bahasa. Simbol adalah suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respon manusia terhadap simbol adalah dalam pengertian makna dan nilainya alih-alih dalam pengertian stimulasi fisik dari alat-alat inderanya. Makna atau simbol bukanlah ciri-ciri fisiknya, namun apa yang dapat orang lakukan mengenai simbol tersebut. (Mulyana,2004:77)

Suatu simbol bisa dikatakan memiliki makna apabila bisa membangkitkan respon yang sama pada individu lainnya. Tidak selama simbol itu memiliki makna yang sama, tetapi akan mengalami perubahan. Simbol ini terdiri dari verbal dan nonverbal. Simbol verbal yaitu berupa


(51)

38

tulisan, kata-kata/ucapan, kode dan lain sebagainnya. Sedangkan simbol non verbal berupa gesture,gerakan tubuh, mimik muka dan lain sebagainnya. 2.1.6 Tinjauan Tentang Makna

2.1.6.1 Pengertian Makna

Makna merupakan konsep yang abstrak, yang telah menarik perhatian pada ahli filsafat dan para teoretisi ilmu sosial semenjak 2000 tahun yang silam. Semenjak Plato menkonseptualisasikan makna manusia sebagai salinan “ultrarealitas”, para pemikir besar telah sering mempergunakan konsep itu dengan penafsiran yang amat luas yang merentang sejak pengungkapan mental dari Locke sampai ke respon yang dikeluarkan dari Skinner, tetapi pengungkapan makna dari makna terkesan menemukan jalan buntu karena konsepsi yang cenderung tidak dapat di konsepsikan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Jerold Katzyang dikutip oleh Fisher, bahwa “Setiap usaha untuk memberikan jawaban langsung telah gagal. Beberapa seperti misalnya jawaban Plato, telah terbukti terlalu samar-samar dan spekulatif. Yang lainnya memberikan jawaban yang salah.” (Fisher, 1986: 343).

Judul-judul buku seperti misalnya “The Meaning of Meaning” dan “Understanding Understanding” bersifat provokatif akan tetapi cenderung untuk lebih banyak berjanji dari pada apa yang dapat diberikannya. Barangkali alasan mengapa terjadi kekacauan konseptual tentang makna ialah adanya kecenderungan yang meluas


(52)

untuk berpikir tentang makna sebagai konsep yang bersifat tunggal. Brodbeck (1963), misalnya, mengemukakan bahwa sebenarnya ada tiga pengertian tentang konsep makna yang berbeda-beda. Penjelasan mengenai tiga konsep makna tersebut dikutip oleh Fisher, sebagai berikut:

“Menurut Tipologi Brodbeck, yang pertama makna referensial yakni makna suatu istilah adalah objek, pikiran, ide, atau konsep yang ditujukan oleh istilah itu. Kedua dari Brodbeck adalah arti istilah itu. Dengan kata lain, lambang atau istilah itu ‘berarti’ sejauh ia berhubungan dengan ‘sah’ dengan istilah konsep yang lainnya. Tipe makna yang ketiga, mencakup makna yang dimaksudkan (intentional) dalam arti bahwa arti suatu istilah lambang tergantung pada apa yang dimaksudkan pemakai dengan arti lambang itu.” (Fisher, 1986: 344).

Sekalipun demikian, tiga makna dari makna Brodbeck itu hanyalah merupakan satu hampiran saja untuk memahami konsep itu. Rubenstain mengemukakan tiga buah teori makna yang cenderung formal dan bersifat amat berlainan, seperti yang dikutip oleh Aubrey Fisher, yakni “Makna mencakup teori referensial, teori ideasional, dan berbagai subvariasi dari teori psikologis.” (Fisher, 1986: 345).

Rubenstein berusaha untuk mengungkapkan hakikat makna yang diadaptasi padastudi bahasa. Brodbeck terutama memperhatikan makna istilah dalamteori ilmiah. Tujuannya berbeda, karena itu berbeda pula penjelasann tentang makna itu. Dua buah contoh diatas menggambarkan adanya kekacauan konseptual secara filosofis atau pun empiris mengenai makna dari makna, tetapi tujuannya bukan untuk menemukan hakikat makna yang “sebenarnya” dari konsep


(53)

40

makna itu. Pembahasan terdahulu ditujukan untuk menunjukan adanya fakta yang jelas mengenai makna merupakan konsep yang tersebar secara luas dan bermuka majemuk. Bergantung pada tujuan dan perspektif seseorang, konsep itu sendiri dapat ditafsirkan dengan berbagai cara.

Dengan menyampingkan semua kekacauan filosofis mengenai makna, sebenarnya kita semua memiliki intuitif tentang apa itu makna. Dengan kata lain, kita mungkin tidak dapat menerangkan penjelasan teoritis yang tepat tentang makna, namun kita dapat mengatasi konsep makna dalam percakapan. Pengertian makna itu sendiri bergantung pada perspektif yang kita pergunakan untuk mengkaji proses komunikatif, oleh karena itu penggunaan konsep maknasecara konsisten dipergunakan seakan-akan kita tahu sepenuhnya tentang makna dari makna itu.

2.1.6.2 Makna Dalam Komunikasi

Secara etimologi penjelasan mengenai definisi komunikasi telah banyak diarahkan pada suatu sumber yang sama mengenai asal mulanya yang berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Hal ini menunjukan satu karakteristik yang jelas dari makna yang relevan dengan komunikasi manusia adalah “kebersamaan”: makna yang berkaitan dengan komunikasi pada hakikatnya merupakan fenomena sosial.


(54)

Aubrey Fisher menjelaskan mengenai konsepsi makna dalam hubungannya sebagai inisiasi dalam komunikasi, bahwa:

“Makna, sebagai konsep komunikasi, mencakup lebih daripada sekedar penafsiran atau pemahaman seorang individu saja. Makna selalu mencakup banyak pemahaman―aspek -aspek pemahaman yang secara bersama dimiliki para komunikator.” (Fisher, 1986: 346).

Akan tetapi, aspek kebersamaan tersebut tidak harus menunjukan bahwa semua peserta dalam proses komunikatif memiliki pemahaman yang identik dengan lambang atau pikiran-pikiran (atau apapun), namun bahwa pemahman tertentu menjadi milik bersama mereka semua. Tanpa adanya suatu derajat tentang apa yang disebut Goyer dalam kutipan Fisher, yakni “Kebersamaan makna (commonality of meaning) yakni pemilikan pengalaman secara bersama.” (Fisher, 1986: 347).

Aspek makna yang fundamental sebagaimana terdapat dalam komunikasi manusia adalah alat sosialnya―keumumannya atau konsnensus atau kebersamaannya dari makna-makna individual. Faham tentang makna bersama sebagaian besar memasuki setiap perfektif komunikasi manusia, tetapi hal ini tidak berarti bahwa tinjauan komunikasi manusia tentang “makna bersama” itu sama. Dalam kenyataannya, konsepsi tentang kebersamaan tersebut berbeda-beda diantara berbagai sudut penciptaan dan pemaknaannya.

Menurut James P. Spradley (1997 : 121) dan dikutip oleh Drs. Alex Sobur, M. Si. dalam buku “Semiotika Komunikasi”,


(55)

42

bahwa: “Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol.” (Sobur, 2006 : 177)

Clifford Geertz (1922 : 51) mengatakan dan dijelaskan kembali oleh Drs. Alex Sobur, M. Si. dalam buku “Semiotika Komunikasi”, bahwa: “Makna hanya dapat “disimpan‟ di dalam simbol.” (Sobur, 2006 : 177).

2.2 Kerangka Pemikiran

2.2.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran merupakan pemetaan (mind maping) yang dibuat dalam penelitian untuk menggambarkan alur pikir peneliti. Tentunya kerangka pemikiran memiliki esensi tentang pemaparan hukum atau teori yang relevan dengan masalah yang diteliti dan berdasarkan teknik pengutipan yang benar.

Manusia selalu melakukan interaksi dan juga tindakan, baik kepada dirinya ataupun dengan orang lain yang berada disekitarnya. Tindakan yang dilakukan oleh manusia merupakan bagian dari pengembangan posisi individu dalam lingkungan masyarakat.

Menurut Alfred Schutz yang dikutip oleh Prof. Engkus Kuswarno dalam buku Fenomenologi mengatakan bahwa :

Tindakan sosial adalah tindakan yang berorientasi pada perilaku orang atau orang lain pada masa lalu, sekarang dan akan datang. (Kuswarno,2009;110)


(56)

Tindakan sosial yang dilakukan oleh manusia dalam berinteraksi akan menimbulkan sebuah penafsiran. Dimana penafsiran tersebut akan muncul secara berbeda-beda. Penafsiran ini bisa bersifat nampak ataupun tidak nampak. Untuk mengkaji penampakan tersebut, maka digunakan metode fenomenologi.

Menurut Alfred Schutz yang merupakan salah satu tokoh teori fenomenologi mengatakan bahwa :

Fenomenologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial melalui penafsiran. Proses penafsiran dapat digunakan untuk memperjelas atau memeriksa makna yang sesungguhnya, sehingga dapat memberikan konsep kepekaan yang implisit. (Kuswarno, 2009;18).

Berdasarkan dari beberapa sumber, maka dapat dikatakan bahwa fenomenologi berusaha mengangkat dan memahami arti dari peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi tertentu. Selain itu, fenomenologi juga membahas mengenai kehidupan sosial yang menyangkut hubungan sosial. Dimana dalam hubungan sosial, setiap individu akan menggunakan simbol-simbol yang digunakan dan dimaknai oleh individu sehingga bisa membentuk tingkah laku individu.

Dalam hubungan sosial, proses pertukaran simbol-simbol atau lambang-lambang yang diberi makna ini disebut interaksi simbolik. Esensi dari interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni proses komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna yang hanya dipahami oleh anggota kelompok yang hanya ada didalamnya.

Perspektif interaksi simbolik memfokuskan pada perilaku seseorang. Hal ini karena interaksi simbolik memandang bahwa seseorang akan


(1)

Para anggota Komunitas Iket Sunda memiliki pemikiran dan penafsiran yang berbeda-beda terhadap iket Sunda. Dengan menggunakan iket Sunda tersebut oleh penggunanya dapat menunjukan siapa dia kepada orang-orang yang ada disekitarnya. Beberapa dari mereka yang menggunakan iket Sunda hanya sebatas menggunakan saja tetapi kurang memahami makna dari iket Sunda itu sendiri. Mereka hanya mengetahui fungsi dan makna umumnya saja tetapi kurang mengetahui esensi dari makna penggunaan iket Sunda yang sebenarnya. Kalaupun mereka tau mereka tidak begitu menempatkan makna sebagai sesuatu yang menjadi acuan tetapi yang terpenting untuknya bahwa penggunaan iket Sunda yang mereka gunakan untuk menunjukan bahwa arti iket Sunda sesungguhnya untuk mereka adalah untuk menunjukan ekspresi diri bahwa mencintai budaya sunda. Penggunaannya pun saat ini tidak hanya digunakan oleh laki-laki sunda saja, wanita pun saat ini menggunakan iket Sunda, padahal penggunaan iket Sunda yang sebenarnya adalah hanya untuk seorang laki-laki

Pergeseran makna yang terjadi pada anggota komunitas iket sunda disebebakan kurang pengetahuan anggota mengenai makna yang sebenarnya, makna didapat dari sebuah cara pandang seseorang dalam mengetahui fungsi dari sebuah iket sunda tersebut bukan didapatkan dari pengetahuan yang ada mengenai iket sunda yang sebenarnnya. Hal ini menjadi sebuah fenomena baru dimana dalam Komunitas Iket Sunda dimana esensi dari makna penggunaan iket Sunda tidak begitu menjadi acuan melainkan mengedepankan faktor gaya dan ini telah mengalami pergeseran makna penggunaan iket Sunda dalam komunitas iket Sunda dari makna sebenarnya.

2. Self (Diri) Membentuk Pergeseran Makna Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket Sunda dikota Bandung

Dalam suatu proses interaksi dan penyampaian pesan diri merupakan unsur yang berperan penting. Perkembangan diri mengarah pada sejauh mana seseorang akan mengambil peran.


(2)

Anggota Komunitas Iket Sunda dalam menggunakan iket Sunda sebagai ekspresi dari mencintai budaya Sunda serta lebih ke unsur kekhasan atau keunikan dari iket Sunda yang memiliki unsur budaya tetapi bisa dipadukan dengan gaya sehari-hari. Iket Sunda yang mereka gunakan dipakai sehari-hari dalam segala aktivitas dengan maksud menunjukan diri bahwa “inilah saya” kepada orang -orang karena dengan menggunakan iket Sunda mereka merasa diperhatikan dan dipandang berbeda dibandingkan orang yang tidak memakai iket Sunda. Iket Sunda yang mereka pergunakan juga bisa berbeda-beda sesuai selera mereka padahal sebenarnya iket Sunda itu memiliki nilai simbolis dimana jenis iket Sunda itu digunakan oleh orang tertentu dan dalam kesempatan tertentu.

Anggota Komunitas Iket Sunda ini sendiri mengembangkan iket untuk mensosialisasikan ragam dan bentuknya , namun tidak begitu menempatkan makna iket Sunda itu sendiri sebagai sesuatu yang memiliki esensi makna yang tinggi. Mereka menggunakan iket agar untuk menarik perhatian orang,

3. Society (Masyarakat) Membentuk Pergeseran Makna Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket Sunda dikota Bandung

Dalam proses sosial akan melibatkan masyarakat. Masyarakat merupakan sebuah kelompok indivivu yang sering melakukan tindakan sosial dan juga proses sosial. Masyarakat inilah yang mempengaruhi terbentuknya pikiran (mind) dan diri (self).

Masyarakat turut serta mempengaruhi pergeseran makna penggunaan iket sunda ini karena mengingat setiap manusia pastilah akan melakukan proses interaksi dengan lingkungannya. Begitu pula dengan para anggota komunitas iket sunda dimana pikiran dan perilaku mereka saat ini dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Pengaruh orang terdekat sering digunakan dalam berdiskusi dan membahas mengenai iket sunda antara sesama anggota, oleh karena itu, muncul sebuah pemikiran yanng didapat dari interaksi sesama anggota yang dilakukan berupa berdiskusi atau pun berinterksi.


(3)

Masuknya budaya luar yang terjadi menjadi penyebab lain dalam kaitannya dengan society, pergeseran makna iket sunda terjadi dikarenakan oleh sebuah budaya, dapat dilihat banyak budaya-budaya asing yang masuk ke kota Bandung, gejala tersebut biasa disebut dengan weternisasi, yang berarti masuknya budaya negara asing ke dalam sebuah negara. Dalam kaitannya ditemukan bahwa yang terjadi, memang banyak budaya asing yang membuat sebuah pergeseran makna mengenai iket sunda, dapat terlihat dari sebuah gaya hidup yang dibawa anggota komunitas dalam memekai sebuah iket sunda.

Perilaku penggunaan iket mereka dipengaruhi pula oleh keluarga, rekan dan lingkungan sekitarnya yang kemudian memberikan pengetahuan mendalam akan iket Sunda. Yang jelas terlihat bahwa adanya pergeseran makna penggunaan iket sunda ini dipengaruhi oleh modernisasi dan masuknya budaya asing terhadap iket Sunda yaitu westernisasi.


(4)

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Mind (Pikiran) Membentuk Pergeseran Makna Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket Sunda dikota Bandung. Penggunaan iket Sunda oleh komunitas Iket Sunda kurang menunjukan identitas diri lelaki sunda yang berwibawa dan sopan karena iket Sunda sekarang bisa dipakai siapa saja dan hanya untuk menunjukan “gaya” mereka untuk menunjukan “inilah saya” sebagai ciri orang sunda kepada orang-orang, serta untuk mengikuti tren tetapi kurang mempedulikan esensi dari Iket Sunda itu sendiri. Beberapa dari mereka yang menggunakan iket Sunda hanya sebatas menggunakan saja tetapi kurang memahami makna dari iket Sunda itu sendiri. Kalaupun mereka tau mereka tidak begitu menempatkan makna sebagai sesuatu yang menjadi acuan, iket Sunda yang mereka gunakan sekedar untuk menunjukan ekspresi diri bahwa mencintai budaya sunda. Pergeseran makna dapat terjadi karena ketidaktahuan seseorang dalam makna sebenarnya dan perbedaan cara pandang juga dapat merubah makna dari iket sunda tersebut.

2. Self (Diri) Membentuk Pergeseran Makna Penggunaan Iket Sunda Dalam Komunitas Iket Sunda dikota Bandung. Iket Sunda yang mereka gunakan dipakai sehari-hari dalam segala aktivitas dengan maksud menunjukan diri bahwa “inilah saya” sebagai ciri orang sunda kepada orang-orang karena dengan menggunakan iket Sunda mereka merasa diperhatikan dan dipandang berbeda dibandingkan orang yang tidak memakai iket Sunda. Iket Sunda yang mereka pergunakan juga bisa berbeda-beda sesuai selera mereka padahal sebenarnya iket Sunda itu memiliki nilai simbolis dimana jenis iket Sunda itu digunakan oleh orang tertentu dan dalam kesempatan tertentu. Anggota Komunitas Iket Sunda ini sendiri mengembangkan iket untuk mensosialisasikan ragam dan bentuknya, namuun tidak begitu


(5)

menempatkan makna iket Sunda itu sendiri sebagai sesuatu yang memiliki esensi makna yang tinggi.

3. Society (Masyarakat)

Pergeseran makna dapat terjadi di dalam masyarakat terutama di dalam anggota komunitas iket sunda di kota Bandung. masyarakat dapat membentuk sebuah pergeseran makna yang dikarenakan adanya orang-orang terdekat yang membawa budaya lain dari luar yang dapat menggeserkan sebuah makna dari pengunaan iket sunda contohnya westernisasi. Karena di dalam komunnitas terdapat sosialisasi atau hubungan yang terjadi antara satu anggota dengan anggota lainnnya. Modernisasi juga dapat merubah makna dari sebuah penggunan iket sunda.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro. 2010. Metode Penelitian untuk Public Relation. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Herayati A., Yetti, (1998/1999), Mustika pada Kepala dalam Aneka Rupa dan Makna, Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Jawa Barat, Museum Negeri Propinsi Jawa Barat Sri Baduga

Kuswarno, Engkus. 2009. Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenolog. Bandung : Widya Padjajaran.

Meleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

---. 2010. Metode Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Sobur, Alex. 2013. Filsafat Komunikasi Tradisi dan Metode Fenomenologi.

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Suciati. 2007. Desain Iket Sunda Di Bandung Dan Sumedang. Bandung : Institut Teknologi Bandung.