II. TINJAUAN PUSTAKA PEMANFAATAN PURUN TIKUS (Eleochalis dulcis) UNTUK MENURUNKAN KADAR MERKURI (HG) PADA AIR BEKAS PENAMBANGAN EMAS RAKYAT.

(1)

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pencemaran Lingkungan

Pencemaran lingkungan adalah suatu keadaan yang terjadi karena perubahan kondisi tata lingkungan (tanah, udara dan air) yang tidak menguntungkan (merusak dan merugikan kehidupan manusia, binatang dan tumbuhan) yang disebabkan oleh kehadiran benda-benda asing (seperti sampah, limbah industri, minyak, logam berbahaya, dsb.) sebagai akibat perbuatan manusia, sehingga mengakibatkan lingkungan tersebut tidak berfungsi seperti semula (Susilo, 2003). Kontaminasi pada tanah dan perairan diakibatkan oleh banyak penyebab termasuk limbah industri, limbah penambangan, residu pupuk, dan pestisida hingga bekas instalasi senjata kimia. Bentuk kontaminasi berupa berbagai unsur dan substansi kimia berbahaya (Squires 2001; Matsumoto 2001; Wise dkk, 2000) yang mengganggu keseimbangan fisik, kimia, dan biologi tanah.

Kontaminasi oleh logam berat seperti kadmium (Cd), seng (Zn), plumbum (Pb), kuprum (Cu), kobalt (Co), selenium (Se), dan nikel (Ni) menjadi perhatian serius karena dapat menjadi potensi pencemaran pada permukaan tanah maupun air tanah dan dapat menyebar ke daerah sekitarnya melalui air, angin, penyerapan oleh tumbuhan, dan bioakumulasi pada rantai makanan (Chaney dkk, 1998a., Knox dkk, 2000). Hal itu dapat menimbulkan gangguan pada manusia, hewan, dan tumbuhan, misalnya penyakit pada manusia seperti gangguan pernapasan dan lain - lain akibat


(2)

pencemaran kadmium (Nogawa dkk, 1987) dan keracunan pada hewan ternak akibat kontaminasi selenium dan molibdenum (Chaney dkk, 1998b).

Dampak negatif lain yang ditimbulkan menurut Refles (2012), yaitu kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, berupa terjadinya penggundulan hutan menjadi padang pasir yang berjumlah ribuan hektar, dan pencemaran air sungai terutama oleh unsur merkuri yang jauh di atas ambang batas, kecelakaan tambang seperti tertimbun tanah yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa pelaku tambang rakyat, pemborosan sumberdaya mineral, tertinggalnya cadangan berkadar rendah yang tidak ekonomis lagi untuk ditambang baik karena pertambangan rakyat yang

hanya menambang cadangan berkadar tingi maupun akibat “recovery“ pengolahan

yang rendah serta dampak sosial antara lain terjadinya kerusuhan di wilayah-wilayah pertambangan rakyat menyusul berkembangnya budaya premanisme, perjudian, prostitusi, dan kemerosotan moral lainnya (Refles, 2012).

Lingkungan yang tercemar oleh merkuri dapat membahayakan kehidupan manusia melalui rantai makanan. Merkuri terakumulasi dalam mikro-organisme yang hidup di air (sungai, danau, dan laut) melalui proses metabolisme (Widhiyatna, 2005). Bahan-bahan yang mengandung merkuri yang terbuang ke dalam sungai atau laut dimakan oleh mikro-organisme dan secara kimiawi terubah menjadi senyawa methyl-merkuri. Mikroorganisme dimakan ikan sehingga methyl-merkuri terakumulasi dalam jaringan tubuh ikan (Stwertka, 1998). Ikan kecil menjadi rantai makanan ikan besar dan akhirnya dikonsumsi oleh manusia. Berdasarkan penelitian,


(3)

konsentrasi merkuri yang terakumulasi dalam tubuh ikan diperkirakan 40-50 ribu kali lipat dibandingkan konsentrasi merkuri dalam air yang terkontaminasi (Stwertka, 1998).

B. Merkuri dan Pertambangan Emas

Merkuri, ditulis dengan simbol kimia Hg atau hydrargyrum yang berarti

“perak cair” (liquid silver) adalah jenis logam sangat berat yang berbentuk cair pada

suhu kamar (25 oC), berwarna putih-keperakan, memiliki sifat konduktor listrik yang cukup baik, tetapi sebaliknya memiliki sifat konduktor panas yang kurang baik (Subanri, 2008). Merkuri membeku pada suhu –38,9 oC dan mendidih pada suhu 357 o

C (Stwertka, 1998). Dengan karakteristik demikian, merkuri sering dimanfaatkan untuk berbagai peralatan ilmiah, seperti termometer, barometer, termostat, lampu fluorescent, obat-obatan, insektisida, dsb. Sifat penting merkuri lainnya adalah kemampuannya untuk melarutkan logam lain dan membentuk logam paduan (alloy) yang dikenal sebagai amalgam. Emas dan perak adalah logam yang dapat terlarut dengan merkuri, sehingga merkuri dipakai untuk mengikat emas dalam proses pengolahan bijih sulfida mengandung emas (proses amalgamasi). Amalgam merkuri-emas dipanaskan sehingga merkuri menguap meninggalkan logam merkuri-emas dan campurannya (Setiabudi, 2005).

Merkuri adalah unsur kimia sangat beracun. Unsur ini dapat bercampur dengan enzim di dalam tubuh manusia menyebabkan hilangnya kemampuan enzim untuk bertindak sebagai katalisator untuk fungsi tubuh yang penting seperti kerusakan


(4)

jaringan, biasanya di organ hati dan ginjal (Wurdiyanto, 2007). Logam Hg ini dapat terserap ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan dan kulit. Sifatnya yang beracun dan cukup volatil, uap merkuri sangat berbahaya mampu mengakibatkan pusing dan gangguan syaraf jika terhirup, meskipun dalam jumlah yang sangat kecil 80 ppb bahkan lebih kecil lagi (Wurdiyanto, 2007). Merkuri bersifat racun yang kumulatif, dalam arti sejumlah kecil merkuri yang terserap dalam tubuh dalam jangka waktu lama akan menimbulkan bahaya. Bahaya penyakit yang ditimbulkan oleh senyawa merkuri diantaranya adalah kerusakan rambut dan gigi, hilang daya ingat dan terganggunya sistem syaraf (Setiabudi, 2005).

Merkuri (air raksa, Hg) adalah salah satu jenis logam yang banyak ditemukan di alam dan tersebar dalam batu – batuan, biji tambang, tanah, air dan udara sebagai senyawa anorganik dan organik. Umumnya kadar dalam tanah, air dan udara relatif rendah. Berbagai jenis aktivitas manusia dapat meningkatkan kadar ini, misalnya aktivitas penambangan yang dapat menghasilkan merkuri sebanyak 10.000 ton/tahun. Pekerja yang mengalami pemaparan terus menerus terhadap kadar 0,05 Hg mg/m3 udara menunjukkan gejala nonspesifik berupa neurastenia, sedangkan pada kadar 0,1 – 0,2 mg/m3 menyebabkan tremor. Dosis fatal garam merkuri adalah 1 gr (Wurdiyanto, 2007).

Karena sifatnya yang sangat beracun, maka U.S. Food and Drug Administration (FDA) menentukan pembakuan atau Nilai Ambang Batas (NAB) kadar merkuri yang ada dalam jaringan tubuh dan badan air, yaitu sebesar 0,005 ppm


(5)

(Budiono, 2002). Menurut Peraturan Pemerintah No.82 tahun 2001, kadar maksimum merkuri untuk keperluan air baku air minum kurang dari 0,001 mg/l dan untuk kegiatan perikanan yang diperbolehkan kurang dari 0,002 mg/l. Nilai Ambang Batas yaitu suatu keadaan untuk larutan kimia, dalam hal ini merkuri dianggap belum membahayakan bagi kesehatan manusia. Bila dalam air atau makanan, kadar merkuri sudah melampaui NAB, maka air maupun makanan yang diperoleh dari tempat tertentu harus dinyatakan berbahaya. Wardoyo (1981) dalam Budiono (2002), menyatakan NAB air yang mengandung merkuri total 0,002 ppm baik digunakan untuk kegiatan perikanan dan pencemaran perairan oleh merkuri akibat kegiatan alam mempunyai kisaran antara 0,00001 sampai 0,0028 ppm (Budiono, 2002).

Kegiatan penambangan emas tradisional di Indonesia dicirikan oleh penggunaan teknik eksplorasi dan eksploitasi yang sederhana dan murah seperti pendulangan dan tambang semprot (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup, 2008). Untuk pekerjaan penambangan dipakai peralatan cangkul, linggis, ganco, palu dan beberapa alat sederhana lainnya. Batuan dan urat kuarsa mengandung emas atau bijih ditumbuk sampai berukuran 1-2 cm, selanjutnya digiling dengan alat gelundung (trommel, berukuran panjang 55-60 cm dan diameter 30 cm dengan alat penggiling 3-5 batang besi). Proses pengolahan emasnya biasanya menggunakan teknik amalgamasi, yaitu dengan mencampur bijih dengan merkuri untuk membentuk amalgam dengan medium air. Selanjutnya emas dipisahkan dengan proses penggarangan sampai didapatkan logam paduan emas dan perak (bullion). Produk


(6)

akhir dijual dalam bentuk bullion dengan memperkirakan kandungan emas pada bullion tersebut (Setiabudi, 2005).

C. Dekripsi, Taksonomi dan Kemampuan Hiperakumulasi Tanaman Purun Tikus

Purun tikus merupakan gulma yang tumbuh dan berkembang di lahan rawa pasang surut yang berlumpur. Tanaman ini termasuk dalam suku Cyperaceae atau golongan teki. Batangnya bulat silindris atau persegi tumpul dan berdiameter 2-3 mm, tinggi tanaman dapat mencapai 150 cm, tidak bercabang, dan berwarna hijau sehingga fotosintesis dilakukan melalui batang. Daun tereduksi menjadi pelepah yang berbentuk buluh yang menyelubungi pangkal batang, kadang –kadang dengan helaian daun yang rudimeter. Bunga terletak pada bagian ujung batang, berakar rimpang berdiri vertikal atau miring, rapat dengan batang, dengan tunas merayap yang panjang dan pada saat rimpang berumur 6-8 minggu akan membentuk anakan (Van Steenis, 1988). Pembentukan bunga terjadi setelah anakan muncul di atas permukaan air yang tingginya kurang lebih 15 cm. Setelah berbunga tumbuhan ini akan membentuk rimpang baru pada bagian ujung stolon yang panjangnya kurang lebih 12,5 cm. Setelah berumur 7-8 bulan rimpang tidak produktif lagi sehingga batang mulai mengering dan perlahan-lahan akan mati (Badan Litbang Pertanian, 2011).


(7)

Gambar 1. Purun Tikus (E. dulcis)

Keterangan : tinggi tumbuhan bisa mencapai 150 cm, batang berwarna hijau, batang berbentuk silindris diameter 2-3 mm, berakar rimpang berwarna putih kecokelatan, tempat hidup di rawa pasang surut sulfat asam.

(Sumber : FloraBase, 2013). Kelas : Monocotyledonese, Bangsa : Cyperales

Suku : Cyperaceae Marga : Eleocharis

Spesies : Eleocharis dulcis (Burm.f.) Trinius ex. Henschell.

Purun tikus memiliki beberapa kemampuan sehingga dapat digunakan sebagai salah satu tanaman hiperakumulator dengan kegunaan untuk perbaikan kualitas air (Indrayati, 2011). Hasil penelitian tersebut menunjukkan purun tikus dapat digunakan sebagai biofilter untuk meningkatkan kualitas air. Purun tikus dapat dimanfaatkan sebagai biofilter untuk memperbaiki kualitas air pada musim kemarau dengan menyerap senyawa toksik terlarut seperti Fe dan SO4 dalam saluran air masuk (irigasi) dan saluran air keluar (drainase) (Indrayati 2011). Manfaat lain dari purun tikus yaitu dapat dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan tangan berupa tas, tikar dan

Akar Batang

Bunga

Umbi Daun


(8)

masih banyak lagi serta dapat menjaga tanaman para petani dari serangan hama serangga (Sunardi dan Istikowati, 2012).

Daerah distribusi atau agihan, habitat dan budidaya purun tikus adalah sebagai berikut : dapat ditemukan di daerah terbuka di lahan rawa yang tergenang air, pada ketinggian 0 - 1.350 m di atas permukaan laut, pada tanah dengan aerasi yang baik, pada daerah-daerah yang habis dibuka, di tepi sungai, ekstensif pada hutan sekunder, daerah bekas terbakar, sebagai gulma di perladangan, taman dan perkebunan (Asikin dan Thamrin, 2012). Tumbuhan ini dapat memengaruhi tanaman kultivasi lain, karena kebutuhan natrium yang relatif tinggi (Sunardi dan Istikowati, 2012). Perbanyakan tanaman ini dengan berkembang biak. Purun tikus dapat menyebabkan penurunan pH tanah. Besarnya penurunan pH dan hambatan terhadap proses nitrifikasi menunjukkan adanya korelasi positif dengan pertumbuhan purun tikus (Mulyani, 2005).

Biofilter adalah teknologi untuk memperbaiki kualitas air dengan mengurangi konsentrasi Fe dan SO4 dalam air. Menurut Astuti (2008), purun tikus mampu menyerap timbal dari limbah cair industri kelapa sawit pada akar sebesar 0,32 - 0,54 ppm dan pada batang 0,24 - 0,27 ppm. Menurut Alfian (2001), purun tikus dapat mengakumulasi logam timbal di perairan melalui penyerapan oleh akar. Akar menghasilkan senyawa peptida yang mampu mengkhelat logam disebut fitokelatin yang lebih banyak terdapat pada akar dibandingkan dengan bagian daun. Pada tumbuhan, sebagian logam tersebut akan disimpan dalam vakuola dan sebagian lagi diikat oleh fitokelatin. Ion timbal akan diikat oleh atom belerang pada sistein yang ada dalam fitokelatin. Fitokelatin adalah protein yang dihasilkan oleh tanmanan


(9)

dalam keadaan sangat tinggi kandungan logam berat di lingkungannya. Jadi dapat dikatakan bahwa fitokelatin adalah bentuk adaptasi tanaman terhadap paparan logam berat dilingkungannya (Asikin dan Thamrin, 2012).

Purun tikus secara ekologi berperan sebagai biofilter yang dapat menetralisir unsur beracun dan kemasaman pada lahan sulfat masam dengan menyerap Fe dan SO4 masing-masing 1.559,50 dan 13,68 ppm. Berdasarkan penelitian Suriadikarta dan Abdurachman (2000), purun tikus dapat menyerap Fe dan Mn sekitar 1.386 dan 923 ppm. Selanjutnya Krisdianto dkk, (2006), melaporkan purun tikus dapat menurunkan kandungan Fe dalam tanah pada petak yang ditanami padi yang sumber airnya berasal dari limbah tambang batu bara, dengan serapan Fe rata-rata 1,18 mg/l. Padi yang ditanam bersama purun tikus memiliki jumlah anakan lebih banyak dibandingkan yang ditanam tanpa purun tikus. Selain itu purun tikus sebagai penyerap Pb dengan timbal masuk ke dalam jaringan tanaman melalui proses penyerapan pasif atau biosorpsi. Proses biosorpsi bersifat bolak-balik dan terjadi dalam waktu yang cepat. Proses ini terjadi pada permukaan sel, baik sel hidup maupun sel mati dari suatu biomassa. Proses biosorpsi akan berlangsung lebih efektif jika didukung oleh pH dan ion lainnya pada medium dengan logam berat terendap sebagai garam yang tidak terlarut (Onrizal, 2005).

Sebagai penyerap merkuri pada kondisi alami, akumulasi Hg pada tumbuhan terjadi melalui dua cara. Pertama, penyerapan pasif yang terjadi ketika ion tersebut terikat dinding sel. Penyerapan terjadi melalui pertukaran ion, yaitu ion monovalen


(10)

dan divalen pada dinding sel digantikan oleh ion logam berat, dan pada dinding sel terdapat formasi kompleks antara ion logam berat dengan gugus fungsi seperti karbon, amino, tiol, hidroksi, fosfat, dan hidroksi karbonil. Kedua, proses aktif sejalan dengan konsumsi ion logam untuk pertumbuhan mikroorganisme. Proses ini dapat dihambat oleh suhu rendah, tidak tersedianya sumber energi dan penghambat metabolism sel. Selain itu proses ini terbatas karena akumulasi ion dapat meracuni mikroorganisme (Suhendrayatna, 2001). Menurut Azizah (2009), konsentrasi Hg pada bagian akar purun tikus lebih tinggi dibandingkan pada bagian batang. Hal ini diduga terjadi karena adanya aliran massa atau difusi oleh akar yang menyerap Ca2+ dan Mg2+, sedangkan Hg akan tertinggal di permukaan akar karena tidak diperlukan oleh tumbuhan. Akar tumbuhan air memiliki rongga akar yang besar sehingga mempercepat penyerapan ion oleh akar. Penyerapan ion oleh akar terjadi secara aktif, yaitu ion masuk melaluiepidermis dan selanjutnya ditransportasikan ke sitoplasma atau sel-sel jaringan akar melewati epidermis masuk ke protoplasma antarsel-sel jaringan akar, yaitu kortek, endodermis, perisikel, dan silem (Agustina, 2004).

Selain itu sebagai penyerap logam berat dalam tanah, maka akan berimplikasi pada adanya logam berat dalam tanaman (Asikin dan Thamrin, 2012). Logam berat dalam bentuk ion atau terlarut akan mudah terjerap jaringan tanaman. Bila logam berat terikat oleh tanaman pangan seperti padi maka pencemaran logam berat akan berbahaya bagi kehidupan, karena logam berat yang terakumulasi bersama tanaman padi akan dimakan oleh manusia dan masuk ke dalam tubuh manusia namun bila dalam bentuk logam, biasanya sebagian besar bisa diekresikan (Asikin dan Thamrin,


(11)

2012). Sisanya akan menumpuk di ginjal dan sistem syaraf, yang suatu saat akan mengganggu bila akumulasinya makin banyak (Edward, 2008). Oleh karena itu, upaya mengkhelat logam berat dalam tanah perlu dilakukan guna menghindari terjerapnya logam berat dalam tanaman. Salah satu upaya untuk mengurangi kerusakan tanah akibat tingginya akumulasi logam berat adalah dengan memanfaatkan tanaman yang dapat menyerap logam berat atau dikenal dengan fitoremediasi (Asikin dan Thamrin, 2012).

Dewi dkk, (2009) melaporkan, enam jenis tumbuhan air di lahan rawa yaitu bundung ganal (Scleria poaeformis), purun tikus (Eeochalis dulcis) , karapiting (Polygonum hydropiper), bundung (Scirpus grosus), hiring-hiring (Rynchospora

cocymbosa), dan purun kudung (Lepironea articulata) berpotensi sebagai

hiperakumulator terhadap logam berat Cd.

Chaney dkk, (1998a) mengemukakan bahwa perubahan pertumbuhan terjadi pada tumbuhan akibat reaksi terhadap stress logam berat. Setelah adaptasi berlangsung, maka pertumbuhan menjadi normal. Pada tahap ini tumbuhan telah mengalami pertumbuhan vegetatif yang sel-sel maristematiknya terjadi pembelahan. Gejala pertumbuhan ini nampak pada warna daun dan batang hijau dan pertumbuhan mulai subur. Kemampuan pertumbuhan ini berkaitan dengan ketersediaan nutrisi yang terkandung di dalam limbah.

Chaney dkk, (1998b) merekomendasikan kriteria penting tumbuhan yang digunakan sebagai agen bioremediasi adalah harus bersifat hipertoleran agar dapat


(12)

mengakumulasi sejumlah besar logam berat di dalam batang dan akar, tumbuhan harus mampu menyerap logam berat dari dalam larutan tanah dengan laju yang sangat tinggi, tumbuhan harus mampu mentranslokasi logam berat yang diserap akar ke bagian batang serta daun.

D. Fitoremediasi

Fitoremediasi adalah penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan, memindahkan, menstabilkan, atau menghancurkan bahan pencemar baik itu senyawa organik maupun anorganik. Fitoremediasi merupakan metode yang murah, efesien, dan ramah lingkungan (Schnoor dan Cutcheon, 2005). Fitoremediasi didefinisikan sebagai pencucian pencemar yang dimediasi oleh tumbuhan, termasuk pohon, rumput - rumputan, dan tumbuhan air. Pencucian bisa berarti penghancuran, inaktivasi atau imobilisasi pencemar ke bentuk yang tidak berbahaya (Chaney dkk, 1998b). Fitoremediasi adalah teknologi proses dengan menggunakan vegetasi (tanaman) untuk menghilangkan dan memperbaiki kondisi tanah, sludge, kolam, sungai dari kontaminan (Melethia dkk, 1996). Metode fitoremediasi sangat berkembang pesat karena metoda ini mempunyai beberapa keunggulan diantaranya secara finansial relatif murah bila dibandingkan dengan metoda konvensional sehingga biaya dapat dihemat sebesar 75-85% (Schnoor dan Cutcheon, 2005).

Ada beberapa strategi fitoremediasi yang sudah digunakan secara komersial maupun masih dalam taraf riset yaitu strategi berlandaskan pada kemampuan


(13)

mengakumulasi kontaminan (phytoextraction) atau pada kemampuan menyerap dan mentranspirasi air dari dalam tanah (creation of hydraulic barriers). Kemampuan akar menyerap kontaminan dari air tanah (rhizofiltration) dan kemampuan tumbuhan dalam memetabolisme kontaminan di dalam jaringan (phytotransformation) juga digunakan dalam strategi fitoremediasi (Kelly, 1997). Fitoremediasi juga berlandaskan pada kemampuan tumbuhan dalam menstimulasi aktivitas biodegradasi oleh mikrobia yang berasosiasi dengan akar (phytostimulation) dan imobilisasi kontaminan di dalam tanah oleh eksudat dari akar (phytostabilization) serta kemampuan tumbuhan dalam menyerap logam berat dari dalam tanah dan secara ekonomis digunakan untuk meremediasi tanah yang bermasalah (phytomining) (Chaney dkk, 1998b).

Menurut Kelly (1997), fitoekstraksi merupakan penyerapan pencemar oleh tanaman dari air atau tanah dan kemudian diakumulasi/disimpan di dalam tanaman (daun atau batang), tanaman seperti itu disebut dengan hiperakumulator. Setelah pencemar terakumulasi, tanaman bisa dipanen dan tanaman tersebut tidak boleh dikonsumsi tetapi harus dimusnahkan dengan insinerator kemudian dilandfiling. Fitovolatilisasi merupakan proses penyerapan pencemar oleh tanaman dan pencemar tersebut diubah menjadi bersifat volatil dan kemudian ditranspirasikan oleh tanaman (Kelly, 1997).

Pencemar yang dilepaskan oleh tanaman ke udara bisa sama seperti bentuk senyawa awal pencemar, bisa juga menjadi senyawa yang berbeda dari senyawa


(14)

awal. Fitodegradasi adalah proses penyerapan pencemar oleh tanaman dan kemudian pencemar tersebut mengalami metabolisme di dalam tanaman. Metabolisme pencemar di dalam tanaman melibatkan enzim antara lain nitrodictase, laccase, dehalogenase dan nitrilase (Kelly, 1997).

Fitostabilisasi merupakan proses yang dilakukan oleh tanaman untuk mentransformasi pencemar di dalam tanah menjadi senyawa yang non-toksik tanpa menyerap terlebih dahulu pencemar tersebut ke dalam tubuh tanaman. Hasil transformasi dari pencemar tersebut tetap berada di dalam tanah. Rhizofiltrasi adalah proses penyerapan pencemar oleh tanaman tetapi biasanya konsep dasar ini berlaku apabila medium yang tercemar adalah badan perairan (Kelly, 1997).


(15)

Gambar 2. Kemungkinan jalur penyerapan pencemar pada tanaman pada proses fitoremediasi (Sumber : Kelly, 1997).

Keterangan: Gambar meunjukkan proses penyerapan pencemar diserap oleh tanaman melalui proses fitoekstrasi yang kemudian diakumulasi dalam tanaman, setelah itu pencemar akan diubah menjadi bersifat volatil melaui proses fitovolatilisasi dan di keluarkan ke udara, kemudian pencemar akan didegradasi oleh tanaman melalui proses fitodegradasi sebelum mengalami metabolisme didalam tanaman

E. Hipotesis

1. Tumbuhan purun tikus mampu menurunkan kadar merkuri (Hg) dalam air bekas penambangan emas dalam 15 hari.

2. Tumbuhan purun tikus efektif menurunkan kadar merkuri (Hg) > 50 % dengan perlakuan tanaman sebanyak 3 kg dalam waktu 15 hari.


(1)

dan divalen pada dinding sel digantikan oleh ion logam berat, dan pada dinding sel terdapat formasi kompleks antara ion logam berat dengan gugus fungsi seperti karbon, amino, tiol, hidroksi, fosfat, dan hidroksi karbonil. Kedua, proses aktif sejalan dengan konsumsi ion logam untuk pertumbuhan mikroorganisme. Proses ini dapat dihambat oleh suhu rendah, tidak tersedianya sumber energi dan penghambat metabolism sel. Selain itu proses ini terbatas karena akumulasi ion dapat meracuni mikroorganisme (Suhendrayatna, 2001). Menurut Azizah (2009), konsentrasi Hg pada bagian akar purun tikus lebih tinggi dibandingkan pada bagian batang. Hal ini diduga terjadi karena adanya aliran massa atau difusi oleh akar yang menyerap Ca2+ dan Mg2+, sedangkan Hg akan tertinggal di permukaan akar karena tidak diperlukan oleh tumbuhan. Akar tumbuhan air memiliki rongga akar yang besar sehingga mempercepat penyerapan ion oleh akar. Penyerapan ion oleh akar terjadi secara aktif, yaitu ion masuk melaluiepidermis dan selanjutnya ditransportasikan ke sitoplasma atau sel-sel jaringan akar melewati epidermis masuk ke protoplasma antarsel-sel jaringan akar, yaitu kortek, endodermis, perisikel, dan silem (Agustina, 2004).

Selain itu sebagai penyerap logam berat dalam tanah, maka akan berimplikasi pada adanya logam berat dalam tanaman (Asikin dan Thamrin, 2012). Logam berat dalam bentuk ion atau terlarut akan mudah terjerap jaringan tanaman. Bila logam berat terikat oleh tanaman pangan seperti padi maka pencemaran logam berat akan berbahaya bagi kehidupan, karena logam berat yang terakumulasi bersama tanaman padi akan dimakan oleh manusia dan masuk ke dalam tubuh manusia namun bila dalam bentuk logam, biasanya sebagian besar bisa diekresikan (Asikin dan Thamrin,


(2)

2012). Sisanya akan menumpuk di ginjal dan sistem syaraf, yang suatu saat akan mengganggu bila akumulasinya makin banyak (Edward, 2008). Oleh karena itu, upaya mengkhelat logam berat dalam tanah perlu dilakukan guna menghindari terjerapnya logam berat dalam tanaman. Salah satu upaya untuk mengurangi kerusakan tanah akibat tingginya akumulasi logam berat adalah dengan memanfaatkan tanaman yang dapat menyerap logam berat atau dikenal dengan fitoremediasi (Asikin dan Thamrin, 2012).

Dewi dkk, (2009) melaporkan, enam jenis tumbuhan air di lahan rawa yaitu bundung ganal (Scleria poaeformis), purun tikus (Eeochalis dulcis) , karapiting

(Polygonum hydropiper), bundung (Scirpus grosus), hiring-hiring (Rynchospora

cocymbosa), dan purun kudung (Lepironea articulata) berpotensi sebagai

hiperakumulator terhadap logam berat Cd.

Chaney dkk, (1998a) mengemukakan bahwa perubahan pertumbuhan terjadi pada tumbuhan akibat reaksi terhadap stress logam berat. Setelah adaptasi berlangsung, maka pertumbuhan menjadi normal. Pada tahap ini tumbuhan telah mengalami pertumbuhan vegetatif yang sel-sel maristematiknya terjadi pembelahan. Gejala pertumbuhan ini nampak pada warna daun dan batang hijau dan pertumbuhan mulai subur. Kemampuan pertumbuhan ini berkaitan dengan ketersediaan nutrisi yang terkandung di dalam limbah.

Chaney dkk, (1998b) merekomendasikan kriteria penting tumbuhan yang digunakan sebagai agen bioremediasi adalah harus bersifat hipertoleran agar dapat


(3)

mengakumulasi sejumlah besar logam berat di dalam batang dan akar, tumbuhan harus mampu menyerap logam berat dari dalam larutan tanah dengan laju yang sangat tinggi, tumbuhan harus mampu mentranslokasi logam berat yang diserap akar ke bagian batang serta daun.

D. Fitoremediasi

Fitoremediasi adalah penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan, memindahkan, menstabilkan, atau menghancurkan bahan pencemar baik itu senyawa organik maupun anorganik. Fitoremediasi merupakan metode yang murah, efesien, dan ramah lingkungan (Schnoor dan Cutcheon, 2005). Fitoremediasi didefinisikan sebagai pencucian pencemaryang dimediasi oleh tumbuhan, termasuk pohon, rumput - rumputan, dan tumbuhan air. Pencucian bisa berarti penghancuran, inaktivasi atau imobilisasi pencemar ke bentuk yang tidak berbahaya (Chaney dkk, 1998b). Fitoremediasi adalah teknologi proses dengan menggunakan vegetasi (tanaman) untuk menghilangkan dan memperbaiki kondisi tanah, sludge, kolam, sungai dari kontaminan (Melethia dkk, 1996). Metode fitoremediasi sangat berkembang pesat karena metoda ini mempunyai beberapa keunggulan diantaranya secara finansial relatif murah bila dibandingkan dengan metoda konvensional sehingga biaya dapat dihemat sebesar 75-85% (Schnoor dan Cutcheon, 2005).

Ada beberapa strategi fitoremediasi yang sudah digunakan secara komersial maupun masih dalam taraf riset yaitu strategi berlandaskan pada kemampuan


(4)

mengakumulasi kontaminan (phytoextraction) atau pada kemampuan menyerap dan mentranspirasi air dari dalam tanah (creation of hydraulic barriers). Kemampuan akar menyerap kontaminan dari air tanah (rhizofiltration) dan kemampuan tumbuhan dalam memetabolisme kontaminan di dalam jaringan (phytotransformation) juga digunakan dalam strategi fitoremediasi (Kelly, 1997). Fitoremediasi juga berlandaskan pada kemampuan tumbuhan dalam menstimulasi aktivitas biodegradasi oleh mikrobia yang berasosiasi dengan akar (phytostimulation) dan imobilisasi kontaminan di dalam tanah oleh eksudat dari akar (phytostabilization) serta kemampuan tumbuhan dalam menyerap logam berat dari dalam tanah dan secara ekonomis digunakan untuk meremediasi tanah yang bermasalah (phytomining) (Chaney dkk, 1998b).

Menurut Kelly (1997), fitoekstraksi merupakan penyerapan pencemar oleh tanaman dari air atau tanah dan kemudian diakumulasi/disimpan di dalam tanaman (daun atau batang), tanaman seperti itu disebut dengan hiperakumulator. Setelah pencemar terakumulasi, tanaman bisa dipanen dan tanaman tersebut tidak boleh dikonsumsi tetapi harus dimusnahkan dengan insinerator kemudian dilandfiling.

Fitovolatilisasi merupakan proses penyerapan pencemar oleh tanaman dan pencemar

tersebut diubah menjadi bersifat volatil dan kemudian ditranspirasikan oleh tanaman (Kelly, 1997).

Pencemar yang dilepaskan oleh tanaman ke udara bisa sama seperti bentuk senyawa awal pencemar, bisa juga menjadi senyawa yang berbeda dari senyawa


(5)

awal. Fitodegradasi adalah proses penyerapan pencemar oleh tanaman dan kemudian pencemar tersebut mengalami metabolisme di dalam tanaman. Metabolisme pencemar di dalam tanaman melibatkan enzim antara lain nitrodictase, laccase,

dehalogenase dan nitrilase (Kelly, 1997).

Fitostabilisasi merupakan proses yang dilakukan oleh tanaman untuk

mentransformasi pencemar di dalam tanah menjadi senyawa yang non-toksik tanpa menyerap terlebih dahulu pencemar tersebut ke dalam tubuh tanaman. Hasil transformasi dari pencemar tersebut tetap berada di dalam tanah. Rhizofiltrasi adalah proses penyerapan pencemar oleh tanaman tetapi biasanya konsep dasar ini berlaku apabila medium yang tercemar adalah badan perairan (Kelly, 1997).


(6)

Gambar 2. Kemungkinan jalur penyerapan pencemar pada tanaman pada proses fitoremediasi (Sumber : Kelly, 1997).

Keterangan: Gambar meunjukkan proses penyerapan pencemar diserap oleh tanaman melalui proses fitoekstrasi yang kemudian diakumulasi dalam tanaman, setelah itu pencemar akan diubah menjadi bersifat volatil melaui proses fitovolatilisasi dan di keluarkan ke udara, kemudian pencemar akan didegradasi oleh tanaman melalui proses fitodegradasi sebelum mengalami metabolisme didalam tanaman

E. Hipotesis

1. Tumbuhan purun tikus mampu menurunkan kadar merkuri (Hg) dalam air bekas penambangan emas dalam 15 hari.

2. Tumbuhan purun tikus efektif menurunkan kadar merkuri (Hg) > 50 % dengan perlakuan tanaman sebanyak 3 kg dalam waktu 15 hari.