Risiko keracunan Merkuri (Hg) pada pekerja Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor Tahun 2013

(1)

RISIKO KERACUNAN MERKURI (Hg)

PADA PEKERJA PENAMBANGAN EMAS TANPA IZIN (PETI) DI DESA CISARUA KECAMATAN NANGGUNG KABUPATEN BOGOR

TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Dosen Pembimbing :

OLEH :

NITA RATNA JUNITA 109101000027

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2013 M/ 1434 H


(2)

(3)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, 8 November 2013

Nita Ratna Junita, NIM : 109101000027

Risiko Keracunan Merkuri (Hg) pada Pekerja Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor Tahun 2013 xxiii + 112 halaman, 19 tabel, 5 gambar, 3 bagan, 4 lampiran

ABSTRAK

Merkuri merupakan logam berat yang dikelompokkan kedalam golongan yang memiliki tingkat toksik tinggi (Widowati et. al., 2008). Penggunaan merkuri dalam proses pengolahan emas dapat menimbulkan efek negatif bagi kesehatan yaitu berupa kejadian keracunan merkuri. Hal tersebut diindikasikan dengan mengacu pada ketentuan batas normal kadar merkuri total yang telah ditetapkan WHO dengan menggunakan pengukuran biomarker. Untuk batas normal pada rambut adalah 1-2 ppm. Berdasarkan studi pendahuluan, dari 10 pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung terdapat 8 pekerja yang mengalami keracunan merkuri.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan Cross Sectional. Sampel pada penelitian ini adalah 40 orang pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung. Sampel diambil dengan menggunakan teknik accidental sampling. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah umur, status gizi, massa kerja, jam kerja, jenis aktivitas, dan konsumsi ikan. Adapun variabel terikatnya adalah kejadian keracunan merkuri. Data yang diperoleh diolah dengan mengunakan uji statistik t independent,mann withey wil. dan chi square pada α 5%.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 24 orang pekerja (60%) terdeteksi mengalami keracunan merkuri, sedangkan yang tidak mengalami keracunan merkuri adalah sebanyak 16 pekerja (40%). Selanjutnya berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahwa terdapat dua variabel independen yang berhubungan secara signifikan terhadap keracunan merkuri, yaitu variabel massa (p value=0,0005) dan jam kerja (p value=0,035).

Dari hasil penelitian, disarankan bagi pemerintah dan pihak terkait sebaiknya memberikan penyuluhan kepada masyarakat terkait merkuri dan dampaknya terhadap kesehatan dan lingkungan sekitar. Kemudian, untuk mengurangi risiko kejadian


(4)

Kata kunci: Pekerja PETI, Keracunan merkuri, Desa Cisarua, Kecamatan Nanggung Daftar bacaan: 55 (2000-2013)


(5)

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH

MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH Final Test, 8 November 2013

Nita Ratna Junita, NIM : 109101000027

The Risk of Mercury Poisoning (Hg) in the workers of illegal gold mining (PETI) at Cisarua Village, Nanggung Subdistrict, Bogor District Year 2013

xxiii + 112 pages, 19 tables, 5 pictures, 3 charts, 4 attactments

ABSTRACT

Mercury is a heavy metal which is grouped into categories that have high level of toxicity (Widowati et. al., 2008). The use of mercury in gold processing can cause health effect, such as incident of mercury poisoning. That was indicated with reference of the normal limit of total mercury that was established by WHO. That was determined by using biomarker measurements. The normal level in hair is 1-2 ppm. Based on preliminary studies of 10 workers mining at Cisarua Village Nanggung Subdistrict, there were 8 workers who have mercury poisoning.

This research was a quantitative research with cross sectional approach. The samples of this study were 40 workers of illegal gold mining at Cisarua Village, Nanggung Subdistrict. The samples were taken with using accidental sampling technique. The independent variables in this study were age, nutritional status, working period per year, working time in a day, working activity, and consumption of fish. The dependent variable was the incidence of mercury poisoning. The data were processed by using independent t, mann withey wil. dan chi square test at α 5%.

The results of this research indicate that were 24 workers (60%) have mercury poisoning, while that were 16 workers (40%) haven’t mercury poisoning. Then, based on the results of bivariate analysis was known that there were two independent variables have significant correlation with mercury poisoning. That variables were working period per year (p value=0,0005) and working time in a day (p value=0,035).

Based on The results, there is a advisable for the government and relevant parties, should give the information to the community about mercury and its impacts for health and environment. Then, the workers should be using personal protective


(6)

Keywords: PETI workers, Mercury poisoning, Cisarua Village, Nanggung Subdistrict Bibliography: 55 (2000-2013)


(7)

(8)

(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Nita Ratna Junita

Tempat, Tanggal Lahir : Ambon, 07 Juni 1991

Alamat : Jl. Maritim No.2A RT 01/005 Cilandak Barat, Cilandak, Jaksel. Kode pos: 12430

Agama : Islam

No. Telp : 085697323975

Email : oh.junita@yahoo.com

PENDIDIKAN FORMAL

1997 – 2003 : SDN 04 Pagi Jakarta 2003 – 2006 : SMPN 68 Jakarta 2006 – 2009 : SMAN 70 Jakarta

2009 – sekarang : S1 – Peminatan Kesehatan Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta


(10)

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat serta ridho-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke zaman yang terang saat ini, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT.

Skripsi ini disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak arahan, bimbingan, serta masukan dan motivasi/dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapakan terima kasih kepada:

1. Papa dan Mama yang tiada hentinya memberikan kasih sayang, doa serta semangat kepada penulis agar dapat menjadi individu yang sukses dan bermanfaat bagi semua orang, bangsa, dan agama. Serta kakakku (Ismawantini), adikku (Nisrina Nabila), kakak iparku (Wahyu), mbak aan dan keluarga besar Muhammad serta Yakub yang selalu memberikan motivasi dan senantiasa membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.


(11)

2. Bapak Prof. Dr. (Hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Ir. Febrianti, M. Si, selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat

FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM, M. Kes, selaku dosen pembimbing I dan Penanggung Jawab Pemintaan Kesehatan Lingkungan, yang dengan setia dan tanpa lelah memberikan arahan, masukan, serta bimbingan kepada penulis baik dalam hal penyusunan skripsi maupun dalam hal pembentukkan kematangan dan kedewasaan diri penulis dalam menyongsong masa depan. 5. Ibu Ela Laelasari, SKM, M.Kes, selaku dosen pembimbing II, yang dengan

sabar dan setia selalu memberikan arahan, masukan, bimbingan, serta motivasi dan semangat kepada penulis.

6. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM, Bapak Ir. Untung Suryanto, MSc dan Bapak dr.Yuli P. Satar, MARS selaku dosen penguji pada sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun untuk menjadikan skripsi ini lebih baik lagi.

7. Bapak Zulkifli Rangkuti selaku dosen Peminatan Kesehatan Lingkungan yang menjadi sumber inspirasi penulis, serta seluruh dosen yang telah berbagi ilmunya kepada penulis sehingga menambah wawasan dan cara pandang penulis dalam penyusunan skripsi ini.


(12)

9. Agung, Heni, Yudi, dan Rudi yang telah membantu saya pada saat turun lapangan.

10. Seluruh pekerja penambang emas di Desa Cisarua, selaku responden dalam penelitian ini, yang telah memberikan kerja sama yang baik terhadap penulis. 11. Teman-teman ENVIHSA UIN Jakarta dan seluruh teman mahasiswa/i

Kesehatan Masyarakat angkatan 2009 (khususnya untuk Malik, Desi, Imah, Ratna, dan Vita) yang selalu berbagi baik senang maupun duka.

12. Para sahabat karang taruna MBS yang telah memberikan motivasi kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh sebab itu dibutuhkan saran, kritik serta masukan dari semua pihak demi terciptanya kebaikan bersama. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis serta yang membacanya. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan keberakahan dalam hidup kita. Amin.

Jakarta, Oktober 2013


(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN

LEMBAR PERNYATAAN... i

ABSTRAK... ii

ABSTRACT... iv

LEMBAR PERSETUJUAN... vi

LEMBAR PENGESAHAN... vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... viii

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR BAGAN….... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 7


(14)

1.5 Manfaat Penelitian... 9

1.5.1 Bagi Pemerintah daerah... 9

1.5.2 Bagi Pekerja………... 10

1.5.3 Bagi Peneliti Lain... 10

1.6 Ruang Lingkup Penelitian... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 11

2.1 Merkuri (Hg)... 11

2.1.1 Definisi dan Sifat Fisik-Kimia Merkuri... 11

2.1.2 Jenis Merkuri... 11

2.1.3 Penggunaan Merkuri... 12

2.1.4 Merkuri di Lingkungan... 13

2.1.5 Batas Aman Merkuri... 15

2.1.6 Metabolisme Merkuri di dalam Tubuh... 16

2.1.6.1 Absorbsi dan Distribusi ... 16

2.1.6.2 Ekskresi ... 17

2.1.7 Toksisitas Merkuri... 18


(15)

2.1.7.1.1 Keracunan Akut... 20

2.1.7.1.2 Keracunan Kronis... 21

2.2 Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI)... 22

2.2.1 Definisi PETI... 22

2.2.2 Kegiatan PETI... 22

2.2.3 Pencemaran Merkuri dari Kegiatan PETI... 26

2.2.4 Paparan Merkuri terhadap Pekerja PETI... 28

2.2.5 Paradigma Pajanan Merkuri terhadap Pekerja PETI... 29

2.2.6 Biomarker Pajanan Merkuri... 31

2.2.7 Metode Analisis... 34

2.2.8 Upaya Pencegahan dan Penanggulangan... 35

2.3 Faktor-faktor Pemaparan Pekerja PETI terhadap Keracunan Merkuri (Hg) ... 36

2.3.1 Faktor Internal... 36

2.3.2 Faktor Pekerjaan... 38

2.3.3 Faktor Perilaku... 43

2.3.4 Faktor Lainnya... 47


(16)

3.2 Definisi Operasional... 51

3.3 Hipotesis... 54

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN... 55

4.1 Jenis Penelitian... 55

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 55

4.3 Populasi dan Sampel... 55

4.4 Metode Pengumpulan Data... 58

4.5 Metode Pengukuran Ikan…... 58

4.6 Sampling Rambut... 59

4.6.1 Alat dan Bahan yang Digunakan... 59

4.6.2 Teknik Sampling Rambut... 60

4.7 Instrumen Penelitian... 60

4.8 Pengolahan dan Analisis Data... 63

4.8.1 Pengolahan Data... 63

4.8.2 Analisis Data... 64

4.8.2.1 Analisis Univariat... 64


(17)

BAB V HASIL PENELITIAN... 66

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 66

5.1.1 Geografis... 66

5.1.2 Profil Penambangan Emas di Desa Cisarua... 68

5.2 Analisis Univariat... 69

5.2.1Gambaran Karakteristik Pekerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 69

5.2.2 Gambaran Keracunan Merkuri (Hg) pada Pekerja PETI... 70

5.2.3 Gambaran Umur Pekerja PETI... 71

5.2.4 Gambaran Status Gizi Pekerja PETI... 71

5.2.5 Gambaran Masa Kerja Pekerja PETI... 72

5.2.6 Gambaran Jam Kerja Pekerja PETI... 72

5.2.7 Gambaran Jenis Aktivitas Pekerja PETI... 73

5.2.8 Gambaran Konsumsi Ikan Pekerja PETI... 74

5.3 Analisis Bivariat... 74

5.3.1 Hubungan antara Umur dengan KeracunanMerkuri... 74

5.3.2 Hubungan antara Status Gizi dengan KeracunanMerkuri... 75


(18)

5.3.4 Hubungan antara Jam Kerja dengan

Keracunan Merkuri... 77

5.3.5 Hubungan antara Jenis Aktivitas dengan Keracunan Merkuri... 77

5.3.6 Hubungan antara Konsumsi Ikan dengan Keracunan Merkuri... 79

5.4 Gambaran Gangguan Kesehatan Pekerja ... 79

BAB VI PEMBAHASAN... 81

6.1 Keterbatasan Penelitian... 81

6.2 Keracunan Merkuri... 81

6.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keracunan Merkuri... 84

6.3.1 Faktor internal... 84

6.3.2 Faktor pekerjaan... 90

6.3.3 Faktor prilaku... 95

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN... 100


(19)

7.2 Saran... 101

7.2.1 Bagi Pemerintah Daerah... 101

7.2.2 Bagi Pekerja... 101

7.2.3 Bagi Peneliti Lain... 102


(20)

2.1 Batasan Kadar Hg di Lingkungan 14 2.2 Konsentrasi Hg pada Beberapa Organ Induk dan Janin 19 2.3 Peristiwa Keracunan Merkuri di Seluruh Dunia (1960-an) 19 2.4 Alur Kontaminasi Merkuri ke Tubuh Penambang 29

2.5 Batas IMT di Indonesia 37

5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Pekerja PETI Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Cisarua Tahun 2013

70 5.2 Distribusi Frekuensi Keracunan merkuri (Hg) pada Pekerja PETI di

Desa Cisarua Tahun 2013

70

5.3 Distribusi Frekuensi Umur Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013 71 5.4 Distribusi Frekuensi IMT Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013 71 5.5 Distribusi Frekuensi Masa Kerja Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun

2013

72 5.6 Distribusi Frekuensi Jam Kerja Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun

2013

73 5.7 Distribusi Frekuensi Jenis Aktivitas Pekerja PETI di Desa Cisarua

Tahun 2013

73 5.8 Distribusi Frekuensi Konsumsi Ikan Pekerja PETI di Desa Cisarua

Tahun 2013

74 5.9 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Umur Pekerja PETI di

Desa Cisarua Tahun 2013


(21)

HALAMAN 5.10 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan IMT Pekerja PETI di

Desa Cisarua Tahun 2013

75 5.11 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Masa Kerja Pekerja PETI

di Desa Cisarua Tahun 2013

76 5.12 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Jam Kerja Pekerja PETI

di Desa Cisarua Tahun 2013

77 5.13 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Jenis Aktivitas Pekerja

PETI di Desa Cisarua Tahun 2013

78 5.14 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Konsumsi Ikan Pekerja

PETI di Desa Cisarua Tahun 2013


(22)

2.1 Penggunaan Merkuri pada Kegiatan Pengolahan Emas 23

2.2 Gelundungan 24

2.3 Tahap Pencucian dan Pemerasan 25

2.4 Alat yang Digunakan pada Tahap Pembakaran 26


(23)

DAFTAR BAGAN

HALAMAN 2.1 Paradigma Pajanan Merkuri (Teori Simpul) 48

3.1 Kerangka Konsep 50


(24)

Lampiran 2 Kuesioner Penelitian Lampiran 3 Hasil Analisis Data Lampiran 4 Lembar Pernyataan


(25)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Potensi produksi pertambangan emas di Indonesia termasuk dalam kategori cukup besar. Total produksi selama tahun 1990-2011 adalah sebesar 2501849,73 kg, sedangkan produksi tambang emas rata-rata adalah sebesar 113720,4423 kg per tahun (Sultan, 2011). Hal tersebut sejalan dengan nilai ekspor hasil industri penghasil emas, yang termasuk cukup besar juga. Menurut data Kementerian Perindustrian RI (2013), ekspor kelompok hasil industri penghasil emas (khususnya emas dalam batang, tuangan dan keranjang) memiliki nilai tertinggi diantara industri perhiasaan dan kerajinan dari logam lainnya, yaitu puncaknya pada tahun 2011 sebesar dalam US$ 2.224.205.514 dan nilainya selalu meningkat setiap tahunnya, yaitu dari tahun 2007 sampai tahun 2011. Selain itu, diketahui juga bahwa persentasi peran ekspor dari kelompok industri penghasil emas terhadap total ekspor hasil industri pada tahun 2011 berada di posisi tertinggi, yaitu sebesar 1,82%.

Sejalan dengan peningkatan yang terjadi pada produksi dan kegiatan ekspor hasil industri penghasil emas tersebut, terjadi pula peningkatan kegiatan pada sektor pertambangan emas baik legal maupun non-legal, salah satunya yaitu kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang biasa dilakukan oleh penambang emas


(26)

tradisional. Meningkatnya jumlah penambang emas tradisional ini salah satunya terjadi di kawasan Gunung Pongkor, Kabupaten Bogor. Selama kurun waktu 1998-2000, daerah tambang Pongkor yang luasnya sekitar 4.000 ha ini menjadi lahan mata pencaharian baru bagi ribuan orang; pada puncaknya diperkirakan mencapai 26.000 orang (McMahon et al., 2000; Kartodihardjo & Suntana, 2010). Selanjutnya, berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Bogor tahun 1999 jumlah Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang melakukan penambangan di ruas Sungai Cikaniki diperkirakan berjumlah 6000 orang (Anonim, 2000; Yoyok Sudarso et al., 2009). Penduduk lokal turut berpartisipasi dalam kegiatan pertambangan rakyat ini, terutama yang bermukim di tiga desa yang berbatasan langsung dengan Gunung Pongkor, yaitu Desa Bantar Karet, Cisarua, dan Malasari. Diperkirakan sekitar 30% dari para penambang adalah penduduk lokal (Zulkarnain et al., 2004; Kartodihardjo & Suntana, 2010).

Bila ditinjau dari segi administratif kegiatan PETI menjadi permasalahan karena tidak memiliki izin penambangan (Sujatmiko, 2012). Izin penambangan tersebut dikenal dengan sebutan IPR (Izin Pertambangan Rakyat) seperti yang tercantum dalam UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Begitu pula halnya apabila ditinjau dari segi lingkungan dan kesehatan. Kegiatan PETI dapat memberikan kontribusi negatif berupa pencemaran lingkungan karena penggunaan bahan kimia yang bersifat toksik bagi manusia. Salah satu bahan kimia yang digunakan adalah merkuri.


(27)

3

Dari hasil survei pendahuluan diketahui bahwa kegiatan pengolahan emas yang dilakukan di Desa Cisarua masih secara tradisional dan menggunakan teknik amalgamasi yang menggunakan merkuri dalam proses pengolahannya, Biji emas hasil penambangan di kawasan Gunung Pongkor tersebut, digiling dengan alat gelundungan yang telah ditambahkan merkuri, sampai menjadi serbuk pasir lalu dicampur dengan merkuri dan diperas dengan menggunakan kain sehingga sebagian merkuri dan air keluar dari pori-pori kain. Setelah itu, dilakukan pemijaran atau pembakaran, kemudian ditumbuk.

Apabila ditinjau dari segi lingkungan, sumber pencemaran dapat terjadi dari setiap tahapan pengolahan emas. Pada tahap penggilingan, unsur merkuri dapat terlepas dari gelundung sehingga jatuh dan dapat mencemari tanah sekitar dan dapat pula mencemari sungai (Juliawan, 2006). Pada tahap pencucian dan pemerasan, limbah cair yang mengandung merkuri dari hasil kegiatan tersebut dapat tercecer di sekitar area pengolahan emas sehingga dapat mecemari tanah. Selanjutnya, pada tahap pembakaran,, uap merkuri yang dihasilkan dari kegiatan ini dapat mencemari udara dan kemudian mengendap di permukaan tanah (Juliawan, 2006).

Dari hasil analisis lingkungan juga mengindikasikan adanya pencemaran oleh merkuri yang ditimbulkan akibat adanya kegiatan PETI. Hal ini ditunjukkan dengan adanya hasil analisis terhadap sedimen aktif di lokasi PETI didaerah Pongkor, yaitu di Pasir Jawa, Ciguha, Cikoret dan beberapa lokasi pengolahan emas, yaitu di Sungai Cipanas, Cikawung dan Cimarinten, telah mengalami .pencemaran Hg sebesar


(28)

10,5-241,6 ppm. Sedangkan pada Sungai Cikaniki yang merupakan hilir, dimana semua sungai bermuara, konsentrasi Hg berkisar antara 6-18,5 ppm (Juliawan, 2006; Widowati et al., 2008). Bila dibandingkan dengan baku mutu air sungai golongan B dalam KepMen LH No 2 Tahun 1998, maka diketahui bahwa Sungai Cipanas, Cikawung, Cimarinten, dan Cikaniki sudah melewati baku mutu untuk parameter merkuri, yaitu sebesar 0,001 mg/L (ppm).

Selanjutnya, diketahui juga kandungan Hg pada beras dari sawah, dimana menggunakan air limbah penambangan emas tradisional sebagai sistem irigasinya di Nunggul Pongkor mencapai 0,45 ppm dan di Kalongliud Pongkor mencapai 0,25 ppm (Sutono, 2002; Widowati et al., 2008). Jika dibandingkan dengan baku mutu yang terdapat dalam peraturan KepBPOM No. 3725/B/SK/VII/89 terkait kadar merkuri dalam bij-bijian, diketahui bahwa kandungan beras yang didapat dari sawah di Nunggul dan Kalongliud Pongkor yang menggunakan air limbah penambangan emas tradisional sebagai sistem irigasinya, telah melewati batas aman yang telah ditetapkan, yaitu 0,05 mg/kg (ppm).

Logam merkuri yang terdapat di lingkungan tersebut dapat memasuki tubuh melalui beberapa cara, seperti melalui kontak langsung dengan kulit, menghirup uap merkuri, dan memakan ikan yang telah terkontaminasi merkuri (Lestarisa, 2010). Paparan terhadap merkuri ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, khususnya kesehatan pekerja PETI. Dampak negatif tersebut dapat berupa keracunan merkuri baik bersifat akut maupun kronis. Proses pengolahan emas dimana


(29)

5

pekerjanya tidak menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) tersebut dapat memperbesar risiko terjadinya keracunan merkuri. Keracunan merkuri tersebut dapat ditandai dengan gejala seperti sakit kepala, sukar menelan, penglihatan menjadi kabur, daya dengar menurun, merasa tebal di bagian kaki dan tangan, mulut terasa tersumbat oleh logam, gusi membengkak, serta diare (Wardhana, 2001; Subanri, 2008).

Keracunan oleh merkuri anorganik utamanya dapat mengakibatkan terganggunya fungsi ginjal, hati, serta sistem enzim. Sedangkan, untuk merkuri organik, yaitu metil merkuri, dapat menembus plasenta dan merusak janin, serta dapat mengganggu saluran darah ke otak hingga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan otak (Herman, 2006). Keracunan merkuri juga dapat menyebabkan kelainan psikiatri berupa insomnia, nervus, pusing, mudah lupa, tremor dan depresi (Sudarmaji et al., 2006).

Mekanisme keberadaan merkuri hingga dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia, berupa keracunan tersebut dapat ditinjau dari paradigma kesehatan lingkungan yang disebut dengan teori simpul (Achmadi, 2011). Dalam paradigma tersebut, besarnya pajanan merkuri pada pekerja PETI dapat dipengaruhi oleh variabel berupa umur, jenis kelamin, status gizi, lama kerja, masa kerja, jenis aktivitas PETI, dan konsumsi ikan. Besarnya pajanan tersebut dapat diketahui melalui pemeriksaan biomonitoring dengan menggunakan biomarker berupa rambut.


(30)

Menurut WHO (1991) rambut merupakan media indikator yang berguna untuk menggambarkan orang yang keracunan Hg. Hal tersebut dikarenakan rambut merupakan salah satu jaringan tubuh yang dapat mengakumulasi berbagai logam berat, termasuk merkuri, sehingga dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat kontaminasi merkuri di dalam tubuh manusia yang terpapar terus-menerus (Tritugaswati et al., 1986; Cakrawati, 2002). Indikator keracunan merkuri dapat dilihat dengan menbandingkan kadar merkuri pada rambut dengan ketetapan dari WHO (1990), yang menyatakan bahwa kadar normal Hg dalam rambut berkisar antara 1-2 mg/kg atau 1-2 ppm.

Terdapat beberapa penelitian terkait merkuri yang sebelumnya telah dilakukan, salah satunya adalah penelitian terkait Status Kontaminasi Merkuri di Ruas Sungai Cikaniki, Jawa Barat pada tahun 2010 yang disusun oleh Tri Suryono dkk. Variabel yang diteliti adalah kadar merkuri total yang terdapat di air dan yang terakumulasi di sedimen. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa kontaminasi logam khususnya merkuri total pada daerah uji ruas Sungai Cikaniki baik di air maupun di sedimen menunjukkan sudah tergolong tercemar sedang hingga berat. Pada penelitian tersebut diketahui pula bahwa kontaminasi merkuri total pada air di ruas sungai Cikaniki, yaitu Desa Cisarua sudah tergolong tercemar berat pada bulan Agustus 2008, sedangkan kontaminasi merkuri total pada sedimen tergolong tercemar berat pada bulan Juni 2008.


(31)

7

Selanjutnya, berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada 10 pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor, diperoleh kadar merkuri rata-rata adalah sebesar 16,338 ppm. Dari 10 pekerja yang diteliti terdapat 8 orang yang mengalami keracunan merkuri. Hal tersebut mengindikasikan bahwa paparan merkuri akibat dari kegiatan PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor berada diatas kadar normal yang telah ditetapkan oleh WHO (1990), yaitu sebesar 1-2mg/kg atau 1-2 ppm.

Dengan pertimbangan berbagai masalah pencemaran merkuri yang terjadi serta dampak negatif yang ditimbulkan dari pemakaian merkuri dengan adanya kegiatan PETI tersebut maka sebaiknya dilakukan penelitian mengenai pajanan merkuri dan dampaknya terhadap kesehatan, yang dalam hal ini adalah berupan risiko keracunan merkuri terhadap pekerja penambangan emas tanpa izin tersebut. Hal tersebut juga dipertegas dengan pernyataan dari WHO (2012) yang menyatakan bahwa merkuri merupakan salah satu dari sepuluh kelompok kimia yang menjadi perhatian utama bagi kesehatan masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Kegiatan PETI yang memiliki andil terhadap terjadinya pencemaran merkuri dapat mempengaruhi kesehatan, seperti keracunan merkuri. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada 10 pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor, diperoleh kadar merkuri rata-rata adalah


(32)

sebesar 16,338 ppm. Dari 10 pekerja yang diteliti terdapat 8 orang yang mengalami keracunan merkuri. Hal tersebut mengindikasikan bahwa paparan merkuri akibat dari kegiatan PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor berada diatas kadar normal yang telah ditetapkan oleh WHO (1990), yaitu untuk kadar pada rambut sebesar 1-2mg/kg atau 1-2 ppm. Untuk itu perlu dilakukan suatu analisis mengenai pemaparan terhadap risiko keracunan merkuri pada pekerja PETI sehingga dapat diketahui besarnya pajanan merkuri pada pekerja dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran keracunan merkuri (Hg) pada pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013? 2. Bagaimana gambaran tingkat pendidikan, umur, status gizi, masa kerja,

jam kerja, jenis aktivitas, konsumsi ikan, dan gangguan kesehatan pada pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013?

3. Bagaimana hubungan variabel umur, status gizi, massa kerja, jam kerja, jenis aktivitas dan konsumsi ikan terhadap keracunan merkuri (Hg) pada pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013?


(33)

9

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Menganalisis risiko keracunan merkuri (Hg) pada pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran keracunan merkuri (Hg) pada pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013. 2. Diketahuinya gambaran tingkat pendidikan, umur, status gizi, masa

kerja, jam kerja, jenis aktivitas, konsumsi ikan dan gangguan kesehatan pada pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013.

3. Diketahuinya hubungan antara variabel umur, status gizi, massa kerja, jam kerja, jenis aktivitas dan konsumsi ikan terhadap keracunan merkuri (Hg) pada pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Pemerintah Daerah

Sebagai informasi dan masukan bagi pemerintah daerah dan instansi-instansi yang terkait, seperti BLH Kabupaten Bogor dalam pengambilan keputusan dan perencanaan lingkungan.


(34)

1.5.2 Bagi Pekerja

Menambah pengetahuan dan informasi mengenai dampak merkuri yang dihasilkan dari kegiatan pengolahan emas yang menggunakan merkuri tersebut.

1.5.3 Bagi Peneliti Lain

1. Sebagai informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar merkuri pada rambut dan gangguan kesehatan yang terjadi di masyarakat sekitar area penambangan emas tanpa izin

2. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif mengenai risiko keracunan merkuri (Hg) pada pekerja Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013. Objek penelitian ini adalah rambut dan pemaparan pekerja yang mempengaruhi keracunan merkuri melalui rambut tersebut. Penelitian dilakukan oleh mahasiswa Peminatan Kesehatan Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(35)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Merkuri (Hg)

2.1.1. Definisi dan Sifat Fisik-Kimia Merkuri

Merkuri atau air raksa (Hg) adalah salah satu jenis logam sebagai senyawa organic dan anorganik yang banyak dtemukan di alam dan tersebar dalam batu-batuan, biji tambang, tanah, air, dan udara (BPOM, 2004). Merkuri (Hg) merupakan logam yang dalam keadaan normal berbentuk cairan dengan warna abu-abu dan tidak berbau (BPOM, 2004). Merkuri memiliki sifat mudah menguap pada suhu ruangan dan dapat memadat pada tekanan 7.640 Atm. Merkuri juga dapat larut dalam asam sulfat atau asam nitrit, tetapi tahan terhadap basa. Sifat kimia dari merkuri yang lainnya adalah merkuri memiliki nomor atom 80 dengan berat atom 200,59 g/mol. Selain itu, merkuri mempunyai titik lebur -38,9oC dan titik didih sebesar 356,6oC Widowati et.al. (2008).

2.1.2. Jenis Merkuri

Merkuri dibagi dalam tiga bentuk, yaitu:

a) Merkuri elemental atau metalik

Merkuri elemental (Hg0) merupakan logam perak-putih, berkilau, dan berbentuk cairan pada suhu kamar. Merkuri elemental biasa digunakan


(36)

dalam termometer, lampu neon dan beberapa saklar listrik (EPA, 2013). Merkuri elemental merupakan bentuk merkuri yang paling mudah menguap (WHO, 2003). Menurut EPA, paparan merkuri elemental dapat menguap pada suhu kamar dan memiliki sifat tidak terlihat, tidak berbau, serta beracun.

b) Merkuri inorganik

Senyawa merkuri inorganik (dengan simbol kimia Hg (II) atau Hg2+) berbentuk garam merkuri dan bubuk yang umumnya berwarna putih atau kristal, kecuali merkuri sulfida yang berwarna merah. Senyawa merkuri inorganik biasa digunakan pada fungisida, antiseptik atau disinfektan. Selain itu, biasa digunakan pula pada beberapa krim pencerah kulit serta beberapa obat-obatan tradisional (EPA, 2013).

b) Merkuri organik

Senyawa merkuri organik yang paling umum ditemukan di lingkungan adalah metilmerkuri (dengan rumus kimia MeHg) yang terbentuk pada saat merkuri bergabung dengan karbon. Organisme renik mengkonversi merkuri inorganic menjadi metilmerkuri. Metilmerkuri dapat terakumulasi dalam rantai makanan, seperti pada ikan (EPA, 2013).

2.1.3. Penggunaan Merkuri

Merkuri memiliki manfaat bagi kehidupan manusia, terutama di berbagai industri. Industri farmasi menghasilkan produk yang mengandung merkuri yang


(37)

13

digunakan untuk antiseptic, diuretic, katartik serta penggunaan senyawa merkuri anorganik dan organik untuk pengobatan sifilis. Industri listrik menggunakan merkuri pada lampu floresens, saklar lampu tidak berbunyi dan pada lampu jalan. Merkuri juga digunakan pada industri emas dan perak untuk proses amalgamasi. Untuk alat kedokteran, merkuri digunakan pada alat tekanan darah, thermometer, dan pacemaker. Selain itu, merkuri anorganik juga terdapat pada pigmen, cat, bahan pencelup, bahan tattoo, pembalseman, pengawet kayu, herbisida, insektisida, jeli spermisidal, cat kuku, germisidal pada sabun, pemadam api, dan baterai merkuri yang tahan lama (Sari, 2002).

2.1.4 Merkuri di Lingkungan

Merkuri merupakan unsur alami yang dapat ditemukan di udara, air, dan tanah yang dapat didistribusikan ke seluruh lingkungan baik secara alami maupun karena adanya kegiatan manusia (antropogenik) (UNEP dan WHO, 2008). Menurut Widowati et.al. (2008), Hg yang masuk dalam lingkungan perairan dapat dalam bentuk:

a) Hg anorganik: berasal dari air hujan atau aliran sungai, memiliki sifat stabil pada pH yang rendah.

b) Hg organik: berasal dari kegiatan pertanian, yaitu penggunaan pestisida c) Terikat: suspended soil


(38)

Sebagian besar merkuri yang berada di atmosfer dalam bentuk Hg0 uap, yang dapa berada/beredar di atmosfer hingga satu tahun, sehingga dapat tersebar ribuan mil dari sumber emisi. Sebagian besar merkuri dalam air, tanah, sedimen, atau tanaman dan hewan berada dalam bentuk merkuri ionik (seperti merkuri klorida) (US EPA, 1997; UNEP dan WHO, 2008). Sedangkan untuk metilmerkuri utamanya terdapat dalam ikan. Merkuri dapat berakumulasi di rantai makanan, sehingga dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi suatu organisme dalam rantai makanan yang secara otomatis semakin tinggi juga tingkat trofiknya, maka akan menyebabkan semakin tinggi pula konsentrasi metilmerkuri pada organisme tersebut (Watras et al., 1998; UNEP dan WHO, 2008).

Terdapat berbagai peraturan mengenai batasan kadar Hg di lingkungan, begitupun halnya yang berlaku di Indonesia. Peraturan mengenai batasan kadar Hg di lingkungan yang berlaku di Indonesia dijelaskan pada tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.1. Batasan Kadar Hg di Lingkungan

No. Peraturan Kadar Hg yang diperbolehkan

1. Kadar Hg dalam air minum pada

Permenkes No. 907/ 2002 0,001 mg/l

2. Kadar Hg dalam air bersih pada

Permenkes No. 416/ 1990 0,001 mg/l

3. Kadar Hg dalam udara tempat kerja


(39)

15

No. Peraturan Kadar Hg yang diperbolehkan

4.

Kadar Hg dalam makanan dan minuman pada KepBPOM No. 3725/B/SK/VII/89

Dalam ikan segar: 0,5 mg/kg Dalam sayur-sayuran: 0,03 mg/kg Dalam biji- bijian: 0,05 mg/kg

5. Kadar Hg dalam air sungai Kepmen LH No. 02/ 1998

Golongan A (baku mutu air minum): 0,001 mg/l

Golongan B (untuk perikanan): 0,001 mg/l Golongan C (untuk pertanian): 0,002 mg/l Golongan D (yang tidak termasuk golongan A, B dan C): 0,005 mg/l

Sumber: Inswiasri (2008)

2.1.5. Batas Aman Merkuri

Menurut WHO dan UNEP (2008), kadar merkuri normal dalam darah rata-rata berkisar antara 5-10 mg/L, untuk rambut berkisar antara 1-2 ppm, sedangkan untuk urin konsentrasi merkuri maksimum adalah 50 mg/g kreatinin. Kadar merkuri pada urin orang yang pekerjaannya tidak terpapar merkuri jarang melebihi 5 ug/g kreatinin.

Batas aman dari segi konsumsi makanan atau minuman yang mengandung merkuri telah ditetapkan oleh The Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA). JECFA menetapkan konsumsi mingguan yang ditoleransi untuk total merkuri adalah sebesar 5 mg/kg berat badan, sedangkan untuk metilmerkuri


(40)

sebesar 1,6 mg/kg berat. Sedangkan, menurut US EPA dosis metilmerkuri per-hari adalah 0,1 mg/kg berat badan dan dosis merkuri klorida per-hari adalah 0,3 mg/kg berat badan (WHO dan UNEP, 2008).

Menurut EPA (2007), dosis letal akut merkuri inorganik untuk orang dewasa adalah 1-4 gram atau 14-57 mg/kg berat badan untuk seseorang yang memiliki berat badan sebesar 70 kg. Sedangkan, dosis letal minimum metilmerkuri untuk seseorang yang memiliki berat badan sebesar 70 kg adalah berkisar antara 20-60 mg/kg berat badan.

2.1.6. Metabolisme Merkuri di dalam Tubuh

Kontak yang terjadi antara merkuri dengan individu dapat melalui inhalasi, kulit, atau saluran cerna (tertelan) yang kemudian diabsorbsi (diserap) untuk kemudian didistribusikan oleh darah ke seluruh tubuh dan nantinya akan mengalami proses ekskresi melalui beberapa rute yaitu lewat urin, keringat, air liur, air susu, feses, kuku dan rambut (W. Hartono, 2003).

2.1.6.1 Absorbsi dan Distribusi

Untuk merkuri elemental (Hg0) tidak diabsorbsi secara signifikan atau diubah oleh sistem pencernaan manusia. Akan tetapi, untuk paparan melalui inhalasi penyerapan Hg0 terjadi secara efisien dan cepat melalui paru-paru karena sekitar 80% dari uap yang terhirup akan diserap oleh jaringan paru-paru (UNEP dan WHO, 2008). Di dalam darah, merkuri terdapat pada plasma dan sel darah merah. Sebagian masuk


(41)

17

ke jaringan otak tanpa teroksidasi, dan sebagian lagi mengalami oksidasi dalam bentuk ion dan berakumulasi di ginjal. Untuk merkuri elemental dan organik cenderung berakumulasi di syaraf, sedangkan merkuri anorganik di ginjal (Matsuo et al., 1989; W. Hartono, 2003). Merkuri elemental memiliki sifat larut dalam lemak yang tinggi. Karena sifatnya tersebut, maka merkuri elemental dengan mudah dapat melewati sawar otak dan plasenta (Larry et. al., 2002; BPOM, 2004).

2.1.6.2 Ekskresi

Merkuri ionik utamanya diekskresikan melaui urin dan tinja, tetapi dapat pula melalui ASI. Sedangkan, untuk metil merkuri, ekskresi utama melalui feses, rambut dan kurang dari sepertiga dari total ekskresi melalui urin, tetapi dapat pula melalui ASI dengan kadar yang lebih rendah (UNEP dan WHO, 2008). Pada proses ekskresi yang terjadi sangat dipengaruhi dengan waktu paruhnya. Adapun pengertian waktu paruh yang dimaksud adalah waktu yang dibutuhkan untuk ekskresi sehingga mencapai separuh kadar yang ada di dalam tubuh. Waktu paruh merkuri secara biologik sekitar 60 hari atau antara 35-90 hari (W. Hartono, 2003). Pengeluaran merkuri terutama dalam bentuk urine dan feses memiliki waktu paruh 40-60 hari. Empedu dan feses merupakan jalur utama ekskresi metil merkuri yang memiliki waktu paruh sekitar 70 hari (Cakrawati, 2002).


(42)

2.1.7. Toksisitas Merkuri

Pengaruh toksisitas merkuri terhadap manusia tergantung dari bentuk komposisi merkuri, rute masuknya kedalam tubuh dan lamanya terpajan. Toksisitas uap merkuri pada tubuh melalui saluran pernafasan biasanya menyerang sistem syaraf pusat, sedangkan toksisitas kronik dapat menyerang ginjal (Darmono, 2001; Iman .R, 2005). Pekerja yang peka dan terpajan dengan uap merkuri sebesar 0,05 mg/m3 di udara secara terus-menerus, dapat menimbulkan gejala nonspesifik berupa neuroasthenia (Idris, 1998). Menurut ATSDR (2011), merkuri dapat menembus darah-otak dan plasenta. Diketahui pula bahwa pada anak-anak peningkatan risiko toksisitas pada paru-paru mungkin terjadi dan dapat berkembang menjadi gangguan dalam pernafasan (sulit bernafas).

Menurut Silalahi (2005), Hg berpengaruh terhadap proses ateroskelorsis (penyempitan dan penebalan pembuluh darah) karena Hg dapat membentuk radikal bebas yang dapat merusak sel. Kandungan merkuri tinggi, yaitu sebesar > 2,0 mg/g pada rambut pria dewasa dapat berkolerasi dengan peningkatan risiko PJK, dan atau infarksi miokardial 2-3 kali lipat dibandingkan dengan yang memiliki kandungan merkuri rendah.


(43)

19

Tabel 2.2. Konsentrasi Hg pada Beberapa Organ Induk dan Janin Organ Hg pada induk (µg/g) Hg pada janin (µg/g) Ginjal Paru-paru Hati Cerebrum Cerebellum Jantung Limpa Darah 518 77,5 8 10,9 5,8 3,2 5,2 15 µg/100 ml

5,8 0,6 10,1 0,05 0,24 0,15 1,8 2,35 µg/100 ml Sumber: Widowati et.al. (2008)

2.1.7.1 Keracunan Merkuri

Paparan merkuri dapat menimbulkan efek negatif bagi kesehatan, yaitu berupa keracunan merkuri. Peristiwa keracunan merkuri tersebut telah terjadi di berbagai Negara dan memakan banyak korban, baik yang cidera maupun korban yang meninggal. Hal ini seperti yang dijelaskan pada table di bawah ini:

Tabel 2.3. Peristiwa Keracunan Merkuri di Seluruh Dunia (1960-an)

Lokasi Tahun Akibat

Minamata-Jepang 1953-1960 111 orang meninggal cidera

Irak 1961 35 orang meninggal 321 orang cidera Pakistan Barat 1963 4 orang meninggal 34 orang cidera


(44)

Lokasi Tahun Akibat

Guatemala 1966 20 orang meninggal 45 orang cidera Nigata-Jepang 1968 5 orang meninggal 25 orang cidera

Sumber: Heryando Palar (1994)

Keracunan oleh logam merkuri tersebut dibagi menjadi dua jenis, yaitu keracunan merkuri akut dan kronis.

2.1.7.1.1. Keracunan Akut

Keracunan akut terjadi karena adanya pemaparan merkuri secara langsung dan dalam dosis yang besar (Irwan, 2009). Gejala yang ditimbulkan dari kejadian keracunan akut adalah pharyngitis (peradangan tekak), dyspaghia, sakit pada bagian perut, mual-mual dan muntah, murus disertai dengan darah dan shok. Apabila gejala tersebut tidak diatasi, maka dapat terjadi efek lanjutannya yaitu pembengkakan pada kelenjaran ludah, radang ginjal (nephritis) dan radang pada hati (hepatitis) (Palar, 1994). Menurut Kamitsuka et al. (1984) dalam W. Hartono (2003), beberapa kasus Keracunan merkuri akut telah terjadi pada pekerja tambang emas tradisional yang sedang mengekstraksi emas dan pada neonates yang terinhalasi merkuri dari thermometer yang pecah, dengan gejala seperti batuk, nyeri dada, sesak nafas, bahkan dapat menimbulkan bronchitis dan pneumonitis.

Di dalam tubuh, senyawa atau garam-garam merkuri yang merupakan penyebab dari keracunan akut akan mengalami proses ionisasi. Akibat dari adanya proses


(45)

21

ionisasi tersebut adalah daya racun dari senyawa atau garam-garam merkuri tersebut dapat menjadi berlipat ganda. Adapun proses ionisasi yang terjadi adalah sebagai berikut (Palar, 1994):

Hg(CN)2 Hg2+ + CN dalam tubuh

2.1.7.1.2. Keracunan Kronis

Keracunan kronis adalah kejadian keracunan yang terjadi dalam kurun waktu yang lama dengan kadar merkuri yang sedikit dan terjadi secara perlahan-lahan dan terus-menerus, sehingga dapat mengendap dalam tubuh dan menimbulakan gejala keracunan. Keracunan ini dapat terjadi karena menghirup uap atau debu merkuri atau melakukan kontak dengan merkuri melalui kulit. Tanda-tanda yang ada pada pekerja yang terpajan merkuri secara kronik meliputi: pengeluaran ludah berlebih (hipersaliva), sariawan, gigi menjadi tanggal, guratan biru pada gusi, nyeri dan mati rasa pada bagian kaki dan tangan, nephritis, diare, gelisah, sakit kepala, penurunan berat badan, anoreksia, jiwa tertekan, halusinasi, dan kemunduran mental secara jelas (W. Hartono, 2003).

Selain itu, menurut Widowati (2008), toksisitas kronis dapat berupa gangguan sistem pencernaan, gingivitis (radang gusi), dan sistem syaraf, berupa tremor, parkinson, gangguan lensa mata berwarna abu-abu sampai abu-abu kemerahan, serta anemia ringan. Hal tersebut juga sejalan dengan Palar (1994), yang menyatakan


(46)

bahwa secara umum terdapat dua organ yang akan mengalami gangguan akibat keracunan kronis tersebut, yaitu sistem pencernaan dan sistem syaraf. Gejala dapat berupa gingivitis, tremor ringan dan parkinsonisme disertai dengan tremor pada otot sadar. Gejala tremor dimulai dari ujung jari tangan/ kaki dan menjalar sampai otot wajah dan pangkal tenggorokan.

2.2. Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) 2.2.1. Definisi PETI

PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin) adalah kegiatan penambang emas yang dilakukan oleh para penambang emas atau yang secara lokal biasa disebut dengan gurandil atau penambang emas tradisional yang tidak memiliki izin penambangan (Sujatmiko, 2012). Izin penambangan tersebut dikenal dengan sebutan IPR (Izin Pertambangan Rakyat). Seperti yang tercantum dalam UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Izin Pertambangan Rakyat (IPR) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.

2.2.2. Kegiatan PETI

Kegiatan penambangan di daerah Pongkor, salah satunya di Desa Cisarua, dilakukan dengan sistem penambangan bawah tanah, yaitu dengan membuat terowongan yang mempunyai tinggi sekitar 1 meter dan mempunyai kedalaman yang bervariasi (Juliawan, 2006). Hasil dari penambangan emas berupa batu-batuan yang


(47)

23

mengandung emas (bijih) tersebut dibawa untuk dilakukan pengolahan. Dari hasil studi pendahuluan, secara umum diketahui bahwa pengolahan emas yang terdapat di Desa Cisarua menggunakan teknik amalgamasi, yaitu dengan menggunakan merkuri.

.

Gambar 2.1. Penggunaan Merkuri pada Kegiatan Pengolahan Emas

Teknik amalgamasi tersebut memanfaatkan sifat dari merkuri itu sendiri, yang dapat melarutkan berbagai jenis logam (misalnya: emas) sehingga membentuk amalgam. Biji emas yang dicampur dengan merkuri akan berfungsi melarutkan emas dan karena merkuri memiliki massa yang lebih berat, maka batuan dan bahan pengotor lainnya akan mengapung di permukaan air sehingga dapat dengan mudah dipisahkan (Silalahi, 2005). Adapun pengolahan yang dilakukan terdiri dari: tahap penumbukan awal, tahap penggilingan, tahap pencucian dan pemerasan, tahap pembakaran, serta tahap penumbukan akhir (finishing). Adapun penjelasan dari masing-masing tahapannya adalah sebagai berikut.


(48)

a) Tahap penumbukan awal

Batu-batuan yang mengandung emas (bijih) dari hasil penambangan tersebut, ditumbuk sampai hancur sehingga mempunyai ukuran yang lebih kecil untuk dimasukkan ke amalgamator atau gelundung. b) Tahap penggilingan

Proses penggilingan diproses di dalam amalgamator atau gelundung yang telah diberi merkuri. Pada masing-masing gelundung terdapat besi atau disebut dengan pelor yang berfungsi untuk menghancurkan dan mengubah bijih emas tersebut menjadi butiran yang lebih halus dan membentuk amalgam. Selain itu, proses penggilingan juga berfungsi untuk memisahkan bijih emas dengan pengotor lainnya. Tenaga penggerak gelundung terdiri dari 3 jenis, yaitu yang mennggunakan kincir air, tenaga listrik, dan tenaga generator diesel (Rohmana, Suharsono Kamal dan Suhandi, 2006). Proses penggilingan tersebut berlangsung selama sekitar 8 jam.


(49)

25

c) Tahap pencucian dan pemerasan

Amalgam yang dihasilkan dari proses penggilingan, kemudian dicuci dan diperas dengan menggunakan kain. Hal ini bertujuan untuk membersihkan dari pengotor lain (seperti tanah dan sebagainya) dan mengurangi kandungan merkuri yang masih terdapat pada amalgam basah tersebut. Sisa-sisa merkuri keluar dari pori-pori kain dan jatuh ke tempat penampungan untuk pencucian tersebut. Merkuri dari hasil pencucian dan pemerasan yang mengendap di tempat pencucian, nantinya akan digunakan kembali untuk proses pengolahan emas.

Gambar 2.3. Tahap Pencucian dan Pemerasan d) Tahap pembakaran atau penggarangan

Proses pembakaran/penggarangan dilakukan untuk menghilangkan unsur merkuri yang masih tertinggal pada amalgam tersebut. Pembakaran yang dilakukan pada proses pengolahan emas ini


(50)

menggunakan alat yang sederhana, seperti yang terdapat pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.4. Alat yang Digunakan pada Tahap Pembakaran Pada tahap pembakaran ini, merkuri yang ada pada amalgam menguap keudara. Bola amalgam yang tadinya berwarna perak berubah menjadi berwarna emas. Setelah proses pembakaran didapat kadar emas sekitar 30-60%.

e) Tahap penumbukan akhir (finishing)

Pada tahap ini emas hasil dari pembakaran ditumbuk dan dibentuk sesuai dengan permintaan pasar atau konsumen.

2.2.3. Pencemaran Merkuri dari Kegiatan PETI

Kegiatan pengolahan emas yang dilakukan secara amalgamasi dari kegiatan PETI ini dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan baik di air, tanah, maupun udara. Hal tersebut sejalan dengan Herman (2006) dalam Widowati et.al. (2008) yang menyatakan bahwa salah satu penyebab pencemaran lingkungan oleh Hg


(51)

27

adalah berasal dari pengolahan emas secara amalgamasi yang menghasilkan buangan berupa tailing. Dari hasil proses tersebut sebagian Hg akan membentuk amalgam dengan logam lain, seperti Au, Ag dan Pt; dan sebagian Hg akan hilang dalam proses pengolahan emas tersebut.

Pada tahun 2003, diketahui penggunaan merkuri dari kegiatan PETI sebesar ± 16,2 ton perbulan (Senny Sunanisari, 2008). Diperkirakan 4,8 ton larutan merkuri dibuang ke Sungai Cikaniki oleh PETI setiap tahunnya (Anonim, 2009; Yoyok Sudarso dkk, 2009). Sungai Cikaniki, Sub DAS Cisadane yang merupakan sungai yang alirannya melewati lokasi pertambangan telah tercemar logam merkuri (Hg) cukup berat, bila dibandingkan batas maksimum Baku Mutu Air dalam PP No. 20 Tahun 1995. Pencemaran oleh merkuri tersebut berasal dari kegiatan pertambangan emas tanpa izin di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor (Margaret Bunga A. S., 2010). Sama halnya dengan Sungai Cikaniki, Status kontaminasi logam merkuri pada air Sungai Cisadane relatif tinggi hingga mencapai 3,33 ppb (Anonim, 2000) (Yoyok Sudarso dkk, 2009).

Selain itu, kegiatan PETI tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa sedimen aktif di lokasi PETI didaerah Pongkor, yaitu di Pasir Jawa, Ciguha, Cikoret dan beberapa lokasi pengolahan emas, yaitu di Sungai Cipanas, Cikawung dan Cimarinten, telah mengalami .pencemaran Hg sebesar 10,5-241,6 ppm. Selanjutnya, pada Sungai Cikaniki yang merupakan hilir, dimana semua sungai bermuara, konsentrasi Hg


(52)

berkisar antara 6-18,5 ppm (Juliawan, 2006; Widowati et al., 2008). Selain itu, dari hasil penelitian diketahui kandungan Hg pada beras dari sawah, dimana menggunakan air limbah penambangan emas tradisional sebagai sistem irigasinya di Nunggul Pongkor mencapai 0,45 ppm dan di Kalongliud Pongkor mencapai 0,25 ppm (Sutono, 2002; Widowati et al., 2008).

2.2.4. Paparan Merkuri terhadap Pekerja PETI

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, seluruh rangkaian kegiatan pengolahan emas dilakukan pekerja tanpa menggunakan APD (Alat Pelinding Diri). Sedangkan para pekerja mempunyai risiko untuk terpapar merkuri baik melalui kontak langsung, yaitu pada tahap pencampuran merkuri baik yang digunakan untuk amalgamator, maupun yang digunakan untuk proses pemerasan amalgam. Pada tahap pemerasan juga terjadi kontak langsung antara pekerja dengan merkuri. Dari hasil observasi dan wawancara diketahui bahwa pekerja tidak menggunakan sarung tangan pada tahap tersebut. Selanjutnya, paparan juga dapat terjadi pada proses penggarangan atau pembakaran, dimana uap merkuri hasil pembakaran dapat terhirup langsung oleh para pekerja, mengingat pekerja tersebut tidak menggunakan masker pada saat melakukan proses pembakaran.


(53)

29

Tabel 2.4. Alur Kontaminasi Merkuri ke Tubuh Penambang

Jalan Masuk Mekanisme

Melalui inhalasi Terhirup melalui hidung kemudian menembus alveoli dengan cara terdisfusi dan masuk ke dalam peredaran darah

Melalui kulit Senyawa merkuri bersifat lipofilik, karena kulit mengandung kelenjar sebasea yang dapat melepaskan asam lemak maka merkuri akan diabsorpsi ke dalam kulit. Setelah itu, masuk melalui kapiler darah dibawah kulit dan didistribusikan ke seluruh tubuh

Sumber: Hartono (2003)

2.2.5. Paradigma Pajanan Merkuri terhadap Pekerja PETI

Mekanisme keberadaan merkuri hingga dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia dapat ditinjau dari paradigma kesehatan lingkungan. Paradigma tersebut menjelaskan hubungan interaksi antara komponen lingkungan yang berpotensi menimbulkan penyakit terhadap manusia. Hal ini dapat digambarkan dalam teori simpul, yang terbagi atas lima simpul, yaitu: sumber penyakit, media transmisi penyakit,perilaku pemajanan, kejadian penyakit dan variabel supra sistem (Achmadi, 2011).

Pada simpul satu, yaitu sumber penyakit merupakan titik yang mengeluarkan agent penyakit. Dalam hal ini diketahui agent penyakit berupa merkuri atau air raksa


(54)

(Hg) yang berada di lingkungan. Keberadaan merkuri ini salah satunya dapat disebabkan karena adanya kegiatan PETI.

Pada simpul dua, media transmisinya dapat berupa udara, air, tanah (sedimen), dan pangan. Orang dapat terpajan uap Hg bila bernafas dalam lingkungan yang terkontaminasi oleh uap merkuri (Hg), menelan/makan makanan atau minum air yang terkontaminasi oleh merkuri (Hg), dan melalui kulit yang kontak dengan merkuri (Hg). (ATSDR, 1999; WHO, 2001; Inswiasri, 2008).

Besarnya jumlah kontak yang diterima manusia dari lingkungannya yang mengandung agent penyakit tergantung dari perilaku pemajan, yaitu pada simpul tiga (Inswiasri, 2008) (Achmadi, 2011). Dalam hal ini variabel pada simpul ketiga dapat berupa: umur, jenis kelamin, status gizi, lama kerja, masa kerja, penggunaan APD, kadar pemakaian merkuri/ hari, jenis aktivitas PETI, konsumsi ikan, kebiasaan mandi di sungai, konsumsi air yang terkontaminasi merkuri, dan pemakaian kosmetik. Sebagai contoh keterkaitan variabel tersebut terhadap pemajan merkuri, yaitu adanya kontak langsung melalui kulit dalam hal ini dapat terjadi ketika seseorang memiliki kebiasaan mandi di sungai yang telah terkontaminasi dengan merkuri (Hg). Untuk mengukur atau memperkirakan besarnya pajanan yang diterima dapat diukur melalui biomarker atau tanda biologi. Biomarker pajanan yang umum dilakukan untuk pemeriksaan kadar Hg salah satunya adalah rambut (Inswiasri, 2008).


(55)

31

Simpul empat merupakan outcome dari adanya hubungan interaktif antara individu dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya, sehingga menimbulkan kejadian penyakit (Achmadi, 2011). Kejadian penyakit yang disebabkan oleh merkuri tersebut, yaitu keracunan merkuri atau tidak. Penetapan kejadian keracunan ini adalah berdasarkan pengukuran pada biomarker berupa rambut pekerja. Setelah hasil pengukuran laboratorium didapat, kemudian kadar merkuri pada masing-masing rambut dibandingkan dengan ketetapan WHO (1990), yang menyatakan bahwa kadar normal Hg dalam rambut berkisar antara 1-2 mg/kg atau 1-2 ppm.

Simpul lima merupakan variabel supra sistem yang juga harus diperhitungkan dalam setiap upaya analisis kejadian penyakit (Achmadi, 2011). Dalam lingkup kejadian keracunan merkuri akibat dari adanya kegiatan PETI, variabel yang juga harus diperhitungkan dapat berupa kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi baik simpul 1, 2, 3, maupun simpul 4.

2.2.6. Biomarker Pajanan Merkuri

Biomarkers atau biologicalmarkers dapat diartikan sebagai penanda biologis atau jaringan tubuh yang berfungsi untuk mengukur paparan polutan terhadap manusia. Biomarkers merupakan indeks yang sensitif dari paparan merkuri pada masing-masing individu (IPCS, 2000; WHO, 2008). Hasil pengukuran merkuri melalui biomarker yang dilakukan pada pekerja dapat memberikan gambaran pajanan atau pemaparan dari suatu hazard, yang dalam hal ini adalah merkuri, terhadap


(56)

kesehatan pekerja tersebut. Pajanan atau pemaparan akibat kerja tersebut dihubungkan dengan proses kerja yang disebut dengan indeks atau indikator pajanan (Idris, 1998).

Menurut UNEP dan WHO (2008), biomarkers yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya paparan merkuri terhadap manusia adalah rambut, darah. jaringan dan darah plasenta, urin, kuku dan air susu manusia (ASI). Kadar merkuri dalam darah menunjukkan adanya paparan yang baru atau untuk kasus jangka pendek. Hal ini disebabkan karena waktu paruh merkuri dalam darah hanya 3 hari. Dengan pertimbangan tersebut maka diperlukan pengambilan sampel sesegera mungkin setelah terjadinya paparan (IPCS, 2003). Begitupun halnya untuk darah pada plasenta dan jaringan plasenta yang juga dapat digunakan untuk mengetahui paparan terakhir/saat ini. Untuk urin, merupakan biomarker yang tepat untuk paparan merkuri anorganik, tetapi tidak untuk merkuri organic. Hal ini dikarenakan merkuri organik direpresentatifkan hanya sedikit pada urin (IPCS, 2003). Sedangkan, rambut dapat digunakan untuk mengetahui paparan jangka panjang, khususnya untuk methylmercury. Hal tersebut dikarenakan merkuri yang telah berada di rambut tidak kembali lagi ke darah (UNEP dan WHO, 2008).

Rambut merupakan salah satu jaringan tubuh yang dapat mengakumulasi berbagai logam berat, termasuk merkuri, sehingga dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat kontaminasi merkuri di dalam tubuh manusia yang terpapar terus-menerus (Tritugaswati et al., 1986; Cakrawati, 2002). Hal tersebut sejalan


(57)

33

dengan Soepanto et al. (1992) dalam Cakrawati (2002) yang menyatakan bahwa tingkat kandungan merkuri di dalam rambut merupakan salah satu indicator tingkat kandungan merkuri di tubuh. Selain itu, kandungan merkuri di dalam rambut dapat digunakan untuk menilai kondisi penduduk yang berkaitan dengan pemaparan merkuri.

Pada rambut, konsentrasi merkuri dapat meningkat dengan adanya paparan dari uap merkuri di lingkungan. Hal tersebut dikarenakan adanya adsorbsi langsung. Selain itu, pemeriksaan rambut sangat penting dilakukan untuk pajanan metil merkuri dari makanan (IPCS, 1990). Menurut WHO (1991) dalam Warsono. S (2000), rambut merupakan media indikator yang berguna untuk menggambarkan orang yang keracunan Hg. Hal tersebut dikarenakan konsentrasi Hg di rambut kepala yang terjadi pada saat pembentukan rambut, setara dengan konsentrasi Hg di dalam darah. Akan tetapi belum diketahui hubungan antara konsentrasi rambut, darah, dan urin. Selain itu, menurut WHO (1996) merkuri juga merupakan indikator spesimen yang sangat baik pada rambut, dibanding logam-logam lain (W. Hartono, 2003).

Rambut lebih banyak digunakan sebagai indikator akumulasi merkuri. Hal tesebut berdasarkan kadar merkuri dalam rambut yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kadar merkuri dalam urin, keringat, tinja maupun darah. Selain itu, rambut secara unik juga dapat digunakan untuk membedakan antara kontaminasi internal dengan eksternal. Untuk mengetahui adanya kontaminasi internal ditunjukkan dengan rambut bagian dalam yang selalu tertutup rapat oleh pakaian.


(58)

Sedangkan kontaminasi eksternal ditujukan untuk kontaminasi total, yaitu kontaminasi internal dan eksternal (Sasmito dan Kamal, 2002).

2.2.7 Metode Analisis

Terdapat banyak metode yang tersedia untuk menganalisis kadar merkuri dengan menggunakan biomarker yang salah satunya berupa rambut. Beberapa metode yang digunakan, seperti Atomic Fluorescence Spectrometry (AFS), Neutron Activation Analysis (NAA), dan Cold Vapour Atomic Absorption Spectrometry (CVAAS). Akan tetapi, metode yang paling banyak digunakan adalah Cold Vapour Atomic Absorption Spectrometry (CVAAS) (ATSDR, 1999; IPCS, 2003; UNEP dan WHO, 2008).

CVAAS ini memiliki sensitivitas yang memadai untuk pengukuran merkuri pada tingkat sub-ppm, juga ke tingkat sub-ppt dibandingkan dengan Neutron Activation Analysis (NAA), yang memiliki batas deteksi kurang bagus. Oleh karena tingginya tingkat sensitivitas yang dimiliki oleh CVAAS, maka sampel berupa rambut yang dibutuhkan hanya sedikit (beberapa helai) saja. Sedangkan, untuk metode Atomic Fluorescence Spectrometry (AFS) memiliki kelemahan, yaitu memerlukan sampel berupa rambut yang cukup banyak. Sampel yang dibutuhkan untuk dianalisis adalah sekitar 5-10 mg, sedangkan untuk mendapatkan resolusi spasial (untuk tujuan biomonitoring), dibutuhkan sekitar 100-150 helai rambut.


(59)

35

Besarnya jumlah sampel tersebut dapat mengganggu responden (UNEP dan WHO, 2008).

2.2.8. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan

Menurut Widowati et.al. (2008), upaya pencegahan yang harus dilakukan terhadap pencemaran limbah merkuri sebagai dampak dari kegiatan PETI diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Menerapkan sistem pertambangan tertutup dengan tujuan memperkecil keluaran Hg dari dalam tanah. Hal ini adalah sebagai bentuk dari pemilihan teknik penggalian yang ramah lingkungan.

2. Mengganti penggunaan Hg dalam proses pengolahan emas menjadi menggunakan mikroba, contohnya adalah Thiobacillus feroxidans (Bapeldada Sulut, 2002).

Adapun cara yang perlu dilakukan sebagai bentuk penanggulangan terhadap pencemaran limbah merkuri di lingkungan sebagai dampak dari kegiatan PETI adalah diantaranya adalah sebagai berikut (Widowati et.al., 2008):

1. Memindahkan sedimen yang telah tercemar oleh Hg dan mengisolasinya dengan membuat bak pengendap yang selain berfungsi sebagai tempat pengisolasi sedimen, tetapi juga dapat menjadi tempat isolasi bagi material lainnya yang telah tercemar oleh Hg . Untuk uap


(60)

merkuri yang dilakukan di ruangan yang tertutup dapat pula dialirkan masuk kedalam bak pengendap yang tertutup rapat.

2. Melakukan treatment terhadap tanah dan air yang telah tercemar, salah satunya dengan menerapkan fitoremediasi, yaitu pengolahan bahan pencemar dengan menggunakan tanaman. Tanaman yang dapat digunakan seperti Stelaria setacea atau eceng gondok (Siswoyo, 2011), Selain itu, dapat juga menerapkan bioremediasi, yaitu penggunaan mikroorganisme untuk mengabsorpsi polutan Hg, contohnya adalah Pseudomonas syringae.

2.3. Faktor-faktor Pemaparan Pekerja PETI terhadap Keracunan Merkuri (Hg) 2.3.1. Faktor Internal

a. Umur

Menurut Hamid (1991) dan Tugaswati (2006) salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap logam berat adalah umur. Janin, anak yan baru lahir dan masih berusia muda sangat rentan terhadap paparan merkuri karena sensitivitas dari perkembangan syaraf. Selain itu, neonatus juga dapat terpapar dari konsumsi ASI yang telah terkontaminasi merkuri (ATSDR, 1999; UNEP dan WHO, 2008).

Konsentrasi metilmerkuri dalam darah janin adalah sekitar 1,5 sampai 2 kali lipat lebih besar dibandingkan ibunya, karena transport aktif


(61)

37

metilmerkuri ke janin melalui plasenta (NRC, 2000; IPCS, 1990; UNEP dan WHO, 2008). Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Eto (1999) dan Sudarmaji et. al. (2006) bahwa efek keracunan merkuri tergantung dari kepekaan individu, yakni anak dalam kandungan (prenatal), bayi, anak-anak, dan orang tua.

b. Status Gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang sebagai akibat dari konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2009). Pengukuran status gizi berdasarkan pada rumus:

[ ]

Hasil dari pengukuran IMT tersebut dibandingkan dengan batasan IMT yang telah ditetapkan untuk mengetahui keadaan/status gizi seseorang. Batasan IMT yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:

Tabel 2.5. Batas IMT di Indonesia

Keadaan Gizi IMT (Kg/m2)

Kurus Sekali < 17,0

Kurus 17,0-18,4

Normal 18,5-25,0

Gemuk 25,1-27,0

Gemuk Sekali > 27,0


(62)

Pada dasarnya apabila seseorang memiliki status gizi yang kurang baik maka akan menjadi rentan terhadap penyakit (Inswiasri dan Sintawati, 2011). Hal tersebut juga sejalan dengan Suma’mur (1996), yang menyatakan bahwa tingkat gizi seorang pekerja memiliki hubungan yang sangat erat dengan kesehatan dan daya kerja. Selain itu, status gizi juga dapat mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang terhadap paparan logam berat ke tubuh. Diketahui kadar Cad dan Fe yang tinggi dalam makanan yang dikonsumsi oleh seseorang, akan menurunkan penyerapan tubuh terhadap logam berat (Fergusson, 1991). Kemudian, menurut Silalahi (2005) diketahui bahwa vitamin E dan antioksidan dapat mengurangi toksisitas merkuri.

2.3.2. Faktor Pekerjaan a. Masa Kerja

Pengaruh masa kerja dengan kadar merkuri pada area kerja yang memiliki risiko tinggi terhadap paparan merkuri, adalah berkaitan dengan akumulasi merkuri dalam tubuh. Apabila semakin lama orang tersebut bekerja, maka semakin sering pula orang tersebut terpapar dengan merkuri. Hal tersebut sejalan dengan Suma’mur (1996), yang menyatakan bahwa semakin lama seseorang bekerja maka semakin banyak paparan bahaya yang ditimbulkan dari area tempat kerjanya.

Pada umumnya, para penambang terpapar merkuri melalui kontak langsung dengan kulit dan inhalasi, yaitu dengan menghirup uap merkuri


(63)

39

pada saat proses pengolahan emas. Pada paparan melalui inhalasi dengan saluran pernapasan sebagai jalur utamanya merupakan cara penyerapan merkuri dalam bentuk unsur di tubuh dengan persentasi akumulasi yang tinggi, yaitu sekitar 80%. Hal ini dikarenakan sifat merkuri yang dapat larut dalam lipida (Berlin, 1979; Alfian, 2006; Maywati, 2011)

b. Jam Kerja

Jam kerja dapat menentukan tingkat keterpajanan pekerja terhadap kontaminasi bahan kimia di lingkungan kerja. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestarisa pada pekerja PETI di Kecamatan Kurun tahun 2010, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara jam kerja terhadap keracunan merkuri dengan p value sebesar 0,002. Dinyatakan pula bahwa pekerja dengan jam kerja >8 jam dalam sehari berisiko tinggi mengalami keracunan merkuri dibandingkan dengan pekerja dengan jam kerja ≤ 8 jam/hari.

Kemudian, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rianto (2010) pada 60 penambang emas tradisional di Desa Jendi Kecamatan Selogiri, diketahui pula bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jam kerja dalam sehari dengan keracunan merkuri dengan p value sebesar 0,047. Serta, diperoleh hasil dari 7 orang penambang dengan jam kerja >8 jam, didapat 7 orang (100%) yang mengalami keracunan. Sedangkan penambang dengan lama kerja 8 jam dari 53 orang penambang, terdapat 33 orang (62,3%) yang mengalami


(64)

keracunan merkuri dan 20 orang (37,7%) tidak mengalami keracunan merkuri.

Jam kerja juga terkait dengan lama keterpaparan pekerja di lingkungan kerjanya dalam sehari. Hal ini dinyatakan dalam Nilai Ambang Batas (NAB), dimana menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 13 Tahun 2011, definisi dari NAB adalah standar faktor bahaya di tempat kerja sebagai kadar/intensitas rata-rata tertimbang waktu (time weighted average) yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penentuan lama jam kerja tergantung dari besarnya paparan/kadar unsur kimia di udara yang berada pada tempat kerja tersebut.

Terkait merkuri (Hg), berdasarkan lampiran dari Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 13 Tahun 2011 diketahui bahwa NAB di udara lingkungan kerja untuk senyawa merkuri anorganik ditetapkan sebesar 0,025 mg/m3. Sedangkan untuk Paparan Singkat Diperkenankan (PSD)/ Kadar Tertinggi Diperkenankan (KTD) dari Hg adalah 0,03mg/m3. Adapun definisi dari Paparan Singkat Diperkenankan (PSD) adalah kadar zat kimia di udara di tempat kerja yang tidak boleh dilampaui agar tenaga kerja yang terpapar pada periode singkat yaitu tidak


(65)

41

lebih dari 15 menit masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan iritasi, kerusakan jaringan tubuh maupun terbius yang tidak boleh dilakukan lebih dari 4 kali dalam satu hari kerja. Sedangkan, Kadar Tertinggi Diperkenankan (KTD) adalah kadar bahan kimia di udara tempat kerja yang tidak boleh dilampaui meskipun dalam waktu sekejap selama tenaga kerja melakukan pekerjaan.

c. Penggunaan APD

Alat Pelindung Diri yang direkomendasikan untuk pekerja penambang dan pengolahan emas adalah masker, sarung tangan karet dan baju lengan panjang. Masker dapat mengurangi paparan Hg lewat pernafasan. Pada saat uap Hg terhirup, 80% Hg masuk ke aliran darah melalui paru-paru dan menyebar ke organ tubuh lain, termasuk otak dan ginjal. Sedangkan, sarung tangan karet dan pakaian lengan panjang mampu mengurangi paparan Hg lewat kulit. Beberapa senyawa air raksa (II) organik dan anorganik dapat diabsorpsi melalui kulit (Setiyono dan Maywati, 2010).

d. Kadar Pemakaian Merkuri/ hari

Menurut Parkhut dan Thaxton (1973) dalam Widiana (2007), besarnya toksisitas merkuri berbanding lurus dengan konsentrasi. Makin besar konsentrasinnya maka makin besar tingkat toksisitasnya.


(66)

e. Jenis Aktivitas PETI

Aktivitas atau jenis kegiatan yang dilakukan oleh PETI terdiri dari menambang dan mengolah emas hasil dari kegiatan pertambangan. Pengolahan emas tersebut dibagi lagi menjadi kegiatan mengerakkan gelundung sehingga menjadi serbuk emas, membuat amalgram dimana terjadi proses pencampuran merkuri dan pemerasan emas yang telah dicampur dengan air dan merkuri dengan menggunakan kain, pemijaran atau pembakaran, dan penumbukkan emas menjadi lempengan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Trilianty Lestarisa (2010), diketahui bahwa sebagian besar penambang yang mempunyai aktivitas berupa pencampuran merkuri dan membakar amalgram mempunyai presentase tertinggi terkena keracunan merkuri. Hal ini disebabkan karena pada pencampuran merkuri terjadi kontak langsung dengan penambang melalui kulit. Hal tersebut dapat diperparah apabila penambang tidak menggunakan sarung tangan. Selain itu, uap hasil dari pembakaran amalgram dapat langsung terhirup oleh penambang melalui saluran pernapasan akan masuk kedalam paru-paru. Setelah itu, merkuri tersebut dapat berikatan dengan darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh (Lestarisa, 2010)


(67)

43

2.3.3. Faktor Perilaku a. Konsumsi Ikan

Konsumsi ikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya keracunan merkuri pada manusia. Hal tersebut karena merkuri merupakan logam berat yang tidak dapat didegradasi sehingga dapat menimbulkan bioakumulasi pada mahluk hidup yang salah satunya adalah ikan. Menurut Arsentina (2008) dalam Agustina (2010), definisi dari bioakumulasi yakni peningkatan zat kimia yang terjadi pada tubuh mahluk hidup dalam waktu yang cukup lama dibandingkan dengan konsentrasi zat kimia yang berada di alam.

Dalam perairan dan sedimen, merkuri dabat berubah menjadi bentuk organik, yaitu metilmerkuri (CH3Hg) karena adanya aktivitas bakteri. Bentuk senyawa metilmerkuri (CH3Hg) dapat dengan mudah berdifusi dan berikatan dengan protein biota akuatik. Hal tersebut termasuk pada protein jaringan otot ikan (Bureau of Nutritional Sciences, Food Directorate, Health Products and Food Branch Canada, 2007; Athena dan Inswiasri, 2009). Diketahui pula ion metil merkuri yang telah termakan akan larut dalam lipida dan ditimbun dalam jaringan lemak pada ikan. Metil merkuri dapat ditimbun dalam jaringan lemak pada ikan sampai kadar 3000 kali dari kadar yang ada di air, namun ikan tersebut tidak menunjukkan gangguan merkuri atau menderita sakit (Polii dan


(68)

Sonya, 2002). Sehingga apabila manusia mengkonsumsi ikan yang terkontaminasi oleh merkuri maka dapat terjadi peningkatan risiko untuk terjadinya keracunan merkuri.

Ada berbagai macam faktor yang mempengaruhi kadar merkuri yang terkandung dalam ikan, salah satunya adalah umur ikan tersebut. Kandungan merkuri akan meningkat sesuai dengan umur ikan. Hal tersebut berarti ikan-ikan yang berukuran besar sebagai ujung dari rantai makanan memiliki konsentrasi merkuri yang paling tinggi (Athena dan Inswiasri, 2009).

Biomarker berupa rambut dapat digunakan untuk mengetahui pajanan metilmerkuri (UNEP, 2008). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh R. Kowalski dan J. Wierciński (2006) yang berjudul Determination of Total Mercury Concentration in Hair of Lubartów-Area Citizens (Lublin Region, Poland)., diketahui bahwa konsentrasi merkuri dari rambut masyarakat tersebut menegaskan adanya pengaruh frekuensi konsumsi ikan dengan konsentrasi merkuri. Tingginya konsentrasi merkuri ditemukan pada rambut individu yang banyak mengkonsumsi ikan.

Selanjutnya, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Andri et.al. (2011) pada masyarakat sekitar PETI di Kecamatan Mandor, diketahui


(69)

45

bahwa variabel konsumsi ikan >3 kali/minggu memiliki hubungan yang signifikan terhadap kadar merkuri pada rambut masyarakat dengan p value sebesar 0,007.

b. Kebiasaan Mandi di Sungai

Masuknya merkuri ke dalam tubuh dapat disebabkan karena melakukan kegiatan yang memiliki risiko untuk terpapar merkuri. Beberapa masyarakat yang tinggal di desa terkadang memiliki kebiasaan mandi di sungai. Pada saat mandi, air sungai yang terkontaminasi merkuri dapat masuk ke tubuh dengan adanya kontak langsung melalui kulit. Rutinitas menggosok gigi pada saat mandi juga dapat menjadi alur masuk merkuri ke dalam tubuh . Selain itu, akibat dari adanya reaksi penguapan merkuri dalam air dapat berisiko untuk masuk ke tubuh melalui saluran pernafasan (Andri DH et al., 2011).

c. Konsumsi air yang terkontaminasi merkuri

Seperti yang telah dijelaskan bahwa masuknya merkuri ke dalam tubuh dapat melalui saluran pencernaan. Menurut Andri DH et al. (2011), masyarakat yang mengkonsumsi air sungai yang telah terkontaminasi oleh merkuri dengan konsentrasi yang tinggi, cenderung memiliki kadar merkuri yang tinggi juga dalam tubuhnya.


(70)

d. Pemakaian Kosmetik

Pemakaian kosmetika yang mengandung merkuri dapat menyebabkan terjadinya penyerapan merkuri melalui kulit, sehingga dapat mempengaruhi kadar merkuri pada tubuh. Penambahan bahan merkuri pada kosmetika tersebut bertujuan untuk memutihkan atau mencerahkan kulit (W. Hartono, 2003). Produk pencerah kulit termasuk sabun dan krim memiliki perkiraan kadar merkuri yang berbeda-beda. Untuk sabun, mengandung sekitar 1-3% iodida merkuri dan mempunyai konsentrasi merkuri sebesar 31 mg/kg. Sedangkan untuk krim terdiri dari 1-10% ammonium merkuri dan mempunyai konsentrasi merkuri sebesar 33.000 mg/kg (WHO, 2011).

Walaupun peredaran kosmetik yang mengandung merkuri telah dilarang peredarannya di Indonesia, tetapi pada peredarannya masih ditemukan merk tertentu yang mengandung merkuri. Beberapa merk terdaftar yang mengandung merkuri adalah; chiumien pearl cream, cupid pearl nourishing cream, albani cream, jeany pearl cream, contra B, ultra cream dosha, fair check pearl cream, deluxe dosha, dan UE cream. Selain itu terdapat pula beberapa merk kosmetika yang tidak terdaftar, yaitu: UB formula 99 AA whitening pearl cream, AQL cream, BQL cream,dan chiumin bleaching pearl cream (W. Hartono, 2003).


(71)

47

2.3.4. Faktor Lainnya

a. Kebijakan Pemerintah

Merkuri yang terdapat di lingkungan, baik di udara, tanah, air, maupun makanan dapat disebabkan oleh penggunaannya yang tidak terkendali. Penggunaan merkuri ini dapat berasal dari aktifitas PETI (Nimitch, 2012). Kebijakan pemerintah terkait merkuri erat kaitannya dengan peraturan yang menjadi landasan guna mengendalikan pencemaran serta dampak yang ditimbulkan dari kegiatan PETI tersebut. Aspek yang dibahas pada peraturan yang berlaku di Indonesia tersebut baik dari segi peredaran dan penggunaanya, baku mutu pada lingkungan, keterpaparan terhadap pekerja, maupun batas aman yang diterima tubuh. Peraturan tersebut diantaranya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan LH, PP RI No. 74 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Kepmen LH No. 02/ 1998 Tentang Penetapan Pedoman Baku Mutu Lingkungan, dan sebagainya.


(72)

2.5. Kerangka Teori

Bagan 2.1. Paradigma Pajanan Merkuri (Teori Simpul)

Sumber: Teori Modifikasi dari Achmadi (2011), Lestarisa (2010), Fergusson (1991), Maywati (2011), Athena dan Inswiasri (2009), R. Kowalski dan J. Wierciński (2006), Andri DH et al. (2011), W. Hartono (2003), Nimitch (2012).

Merkuri (Hg)

 Udara

 Air

 Pangan

 Tanah

Faktor internal: umur, status gizi (IMT) Faktor pekerjaan: masa

kerja, jam kerja, penggunaan APD,

kadar pemakaian merkuri/ hari, jenis

aktivitas PETI Faktor perilaku:

konsumsi ikan, kebiasaan mandi di sungai, konsumsi air,

pemakaian kosmetik

Keracunan Merkuri / tidak

(Biomarker: rambut, darah.

jaringan dan darah plasenta,

urin, kuku dan air susu manusia (ASI))


(73)

BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konsep

Mengacu pada tinjauan pustaka yang telah dijelaskan sebelumnya, diketahui bahwa terdapat berbagai macam faktor-faktor yang mempengaruhi keracunan merkuri. Faktor-faktor tersebut terdiri dari faktor internal, faktor pekerjaan, faktor perilaku dan faktor lainnya. Adapun faktor internal terdiri dari: umur dan status gizi. Faktor pekerjaan terdiri dari: lama kerja, masa kerja, penggunaan APD, kadar pemakaian merkuri/ hari, dan jenis aktivitas pekerja. Faktor perilaku terdiri dari: konsumsi ikan, kebiasaan mandi di sungai, konsumsi air yang terkontaminasi merkuri, dan pemakaian kosmetik. Sedangkan faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap keracunan merkuri adalah kemiringan dan jenis aliran sungai, serta jenis tanah.

Dengan berbagai pertimbangan, maka peneliti menetapkan beberapa variabel saja yang akan diteliti dari PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor. Variabel yang dimaksud adalah untuk variabel independen berupa: umur, status gizi, masa kerja, lama kerja, jenis aktivitas, dan konsumsi ikan. Sedangkan untuk variabel dependen berupa keracunan merkuri. Ada berbagai macam pertimbangan atau alasan yang mendasari pengambilan keputusan tersebut. Variabel


(74)

penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) tidak diteliti karena dari hasil studi pendahuluan terhadap 10 responden, diketahui bahwa tidak ada pekerja yang menggunakan APD dalam melakukan aktivitas pengolahan emas. Dari hasil studi pendahuluan tersebut juga diketahui bahwa tidak ada pekerja yang mandi di sungai. Sedangkan, alasan variabel konsumsi air tidak diteliti karena dikhawatirkan data yang didapat bias. Hal tersebut dikarenakan peneliti tidak mengukur sample air minum yang dikonsumsi pekerja. Variabel pemakaian kosmetik tidak diteliti karena semua PETI berjenis kelamin laki-laki. Variabel kebijakan pemerintah tidak diteliti tetapi hanya dijadikan acuan penelitian.

Bagan 3.1. Kerangka Konsep

Faktor internal:

 Umur

 Status Gizi (IMT)

Faktor pekerjaan:

 Masa kerja

 Jam Kerja

 Jenis Aktivitas

Faktor perilaku:

 Konsumsi Ikan

Merkuri Total Keracunan merkuri :

> 2ppm Normal: ≤ 2ppm (WHO, 1990)


(75)

51

3.2. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat

Ukur Hasil Ukur Skala

1. Keracunan merkuri

Kadar merkuri total responden yang melebihi batas normal dengan biomarker rambut, yaitu >2ppm (WHO, 1990)

Dengan mengambil sample rambut responden Flow Injection Mercury System

Keracunan: > 2ppm Normal: ≤ 2ppm

(WHO, 1990)

Ordinal

2. Umur

Usia responden yang tertera di Kartu Tanda Penduduk dalam hitungan tahun sampai dengan waktu dilakukan wawancara.


(76)

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat

Ukur Hasil Ukur Skala

3. Status gizi

Keadaan gizi responden yang ditetapkan berdasarkan nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) Observasi Microtoise dan timbangan berat badan

Skor Rasio

4. Masa kerja

Rentang waktu responden bekerja mulai dari menjadi pekerja PETI sampai dengan waktu penelitian berlangsung yang dinyatakan dalam hitungan tahun (Rianto, 2010)

Wawancara Kuesioner …..tahun Rasio

5. Jam kerja

Jumlah jam responden per hari dalam melakukan pekerjaan sebagai PETI (Lestarisa, 2010)


(77)

53

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat

Ukur Hasil Ukur Skala

6. Jenis aktivitas

Jenis kegiatan yang dilakukan oleh responden yang termasuk dari proses pengolahan emas

Wawancara Kuesioner

0: melakukan salah satu kegiatan yang kontak langsung dengan merkuri (tahap pencucian/ pemerasan, atau pembakaran amalgam)

1: tidak melakukan kegiatan yang kontak langsung dengan merkuri. (Lestarisa, 2010)

Ordinal

7. Konsumsi ikan

jumlah berat ikan yang

dikonsumsi dalam 1 minggu Wawancara

Kuesioner dan food model


(78)

3.3. Hipotesis

1. Risiko keracunan merkuri lebih besar terjadi pada pekerja PETI yang berusia lebih tua dibandingkan dengan yang muda di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013.

2. Risiko keracunan merkuri lebih besar terjadi pada pekerja PETI yang memiliki status gizi tidak normal dibandingkan dengan yang normal di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013. 3. Risiko keracunan merkuri lebih besar terjadi pada pekerja PETI yang

memiliki masa kerja lebih lama dibandingkan dengan yang tidak lama di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013. 4. Risiko keracunan merkuri lebih besar terjadi pada pekerja PETI yang

memiliki jam kerja lebih lama dibandingkan dengan yang tidak lama di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013. 5. Risiko keracunan merkuri lebih besar terjadi pada pekerja PETI yang

memiliki aktivitas kontak langsung terhadap merkuri dibandingkan dengan yang tidak kontak langsung di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013.

6. Risiko keracunan merkuri lebih besar terjadi pada pekerja PETI yang sering mengkonsumsi ikan dibandingkan dengan yang tidak sering di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013.


(79)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional yang bersifat kuantitatif, dimana peneliti ingin mengetahui keterkaitan antara variabel independen terhadap variabel dependen melalui uji hipotesis dengan melakukan penyebaran kuesioner dan uji laboratorium dan menganalisis hasilnya. Cara pendekatan yang digunakan adalah dengan rancangan cross sectional (potong lintang), dimana variabel sebab (risiko) dan akibat (kasus) yang terdapat dalam penelitian tersebut diukur atau dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2010).

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di laboratorium ALS Indonesia dan pengambilan sampel dilakukan di Desa Cisarua, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari-September 2013.

4.3. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor. Jumlah pekerja PETI tidak diketahui secara pasti. Hal ini dikarenakan pekerja bersifat illegal sehingga tidak terdata secara resmi. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pekerja PETI yang masih aktif bekerja hingga saat diwawancara dengan masa kerja minimal 1 tahun.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kadar Merkuri Dalam Rambut Masyarakat Sekitar Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Malasari, Kec. Nanggung, Kab. Bogor

4 43 140

Keracunan Merkuri (Hg) pada Unggas

0 6 64

Analisis residu merkuri (Hg) pada ikan mas (Cyprinus carpio) berdasarkan jarak pusat pencemaran di desa Cisarua, kecamatan Naggung, kabupaten Bogor

0 10 59

Analisis Buangan Berbahaya Pertambangan Emas di Gunung Pongkor (Studi Kasus : Desa Cisarua, Malasari, dan Bantarkaret di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor )

11 48 219

Pola Kesempatan Kerja di Daerah Pertambangan Emas Gunung Pongkor ( Studi Kasus : Desa Bantar Karet, Desa Cisarua, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor )

0 4 10

Analisis buangan berbahaya pertambangan emas di Gunung Pongkor (Studi kasus : Desa Cisarua, Desa Malasari, dan Desa Bantarkaret, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor)

0 29 429

Eksternalitas Negatif Pencemaran Sungai Kampar Akibat Kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI)

0 11 100

Dampak Industri Pertambangan Emas Tanpa Izin terhadap Kehidupan Sosial dan Ekonomi Gurandil (Kasus Desa Pangkal Jaya, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor)

1 7 89

Studi Pencemaran Logam Berat (Pb, Cd, Cu, Fe, dan Hg) pada Daun Singkong di Daerah Pengolahan Emas Tanpa Izin, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor

0 6 80

Peranan Pemerintah Kabupaten Dalam Penertiban Penambangan Emas Tanpa Izin (Studi : penambangan Emas Tanpa Izin Di Nagari Lubuk Gadang Kecamatan Sangir Kabupaten Solok Selatan).

0 0 6