ABSTRAK PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN ANAK YANG BERMASALAH DENGAN HUKUM (Studi pada Balai Pemasyarakatan Bandar Lampung)

ABSTRAK

PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN
ANAK YANG BERMASALAH DENGAN HUKUM
(Studi pada Balai Pemasyarakatan Bandar Lampung)

Oleh
SULTON M. ARIEF PURWANTO
Pembinaan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum oleh Pembimbing
Kemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas II A Bandar Lampung
bertujuan untuk mempersiapkan diri anak sebagai terpidana untuk kembali
bersosialisasi di lingkungan masyarakat sehingga masyarakat dapat menerima
kehadiran mantan narapidana di lingkungannya dengan baik.

Pembimbing

Kemasyarakatan dituntut untuk mengupayakan perkembangan kepribadian anak
sebagai pelaku kejahatan sehingga mereka memiliki kepribadian yang baik.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah peranan Balai
Pemasyarakatan Bandar Lampung dalam pembinaan anak yang bermasalah dengan

hukum?” Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui peranan Balai

Pemasyarakatan Bandar Lampung dalam pembinaan anak yang bermasalah dengan
hukum.
Tipe penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara dan dokumentasi. Data selanjutnya dianalisis secara
kualitatif, dengan tahapan reduksi data, display data dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peranan Balai Pemasyarakatan dalam
pembinaan anak yang bermasalah dengan hukum di Balai Pemasyarakatan (Bapas)
Kelas II A Bandar Lampung adalah: (1) Melaksanakan pembinaan dan bimbingan
terhadap anak. Pembimbing Kemasyarakatan memberikan pembinaan dan bimbingan
kesadaran beragama, kepribadian dan keterampilan. Bimbingan kesadaran beragama
dilaksanakan dalam bentuk ceramah, diskusi dan kegiatan-kegiatan keagamaan
dimaksudkan

agar


narapidana

memiliki

kesadaran

beragama.

Bimbingan

kepribadian dilaksanakan agar anak memiliki kepribadian yang baik dan memiliki
kesadaran hukum sehingga mereka tidak mengulangi kesalahannya setelah
dinyatakan

bebas.

Bimbingan

keterampilan


dilaksanakan

dalam

bentuk

penyediaan sarana dan prasarana keterampilan seperti perbengkelan, servis
elektronik dan kerajinan tangan, yang dimaksudkan agar narapidana dapat bekerja
atau menciptakan lapangan pekerjaan setelah narapidana kembali ke dalam
kehidupan masyarakat.

(2) Melaksanakan pengamatan terhadap anak yang

bermasalah dengan hukum. Pembimbing Kemasyarakatan melaksanakan penelitian
kemasyarakatan kepada anak yang bermasalah dengan hukum sebagai laporan
perkembangan anak yang bermasalah dengan hukum selama mengikuti proses
pembebasan bersyarat pada Balai Pemasyarakatan Kota Bandar Lampung.

ABSTRACT
ROLE OF CENTRAL PENITENTIARY IN DEVELOPING CHILDREN

THAT CONFLICT WITH THE LAW WITH THE LAW
(Study on Correctional Center of Bandar Lampung)

By
SULTON M. ARIEF PURWANTO

Guidance to children in conflict with the law by Supervisor of Central Penitentiary
Class II A of Bandar Lampung aims to prepare inmates to return the child as
socialize in the community so that people can accept the presence of ex-prisoners in
their environment well. Community Advisors are required to pursue the development
of the child's personality as the perpetrators of the crime so that they have a good
personality.

Formulation of the problem in this research is: "How is role of Central Penitentiary
Class II A of Bandar Lampung in developing children that conflict with the law with
the law. The aim of this research was to determine role of Central Penitentiary Class
II A of Bandar Lampung in developing children that conflict with the law with the
law.

Type of research is qualitative. Data was collected through interviews and

documentation. The data were then analyzed qualitatively, with the stage of data
reduction, data display and conclusion.

The results of this study indicate that the role of Central Penitentiary Class II A of
Bandar Lampung in developing children that conflict with the law are: (1) Implement
coaching and guidance to children in trouble with the law. Community mentors
provide personal guidance and independence. Guidance personality meant that
prisoners have the religious consciousness, awareness and consciousness of nation
and state law. Guidance independence is so that inmates can work or create jobs after
the prisoners back into society, and not to repeat criminal acts in violation of the law
(2) Carry out observations of children in trouble with the law. Supervising Social
implement social studies to children in conflict with the law as a report on the
development of children in trouble with the law during the process of parole at the
Central Penitentiary Class II A of Bandar Lampung.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peningkatan kasus kriminalitas di Indonesia semakin meningkat, bahkan pelaku

kriminalitasnya tidak hanya dilakukan orang dewasa namun anak-anak pun saat
ini menjadi pelaku kriminalitas. Tindak kriminalitas yang melibatkan anak-anak
semakin menghawatirkan. Selain intensitasnya yang besar, jenis kriminalitasnya
semakin beragam dengan kualitas kriminalitas yang bertambah tinggi dan para
pelakunya semakin usia muda. Pertumbuhan anak seringkali dihadapkan pada
situasi di mana anak harus berhadapan dengan hukum, karena tindakannya yang
telah melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Anak-anak yang
melakukan pelanggaran aturan atau kepatutan dalam masyarakat inilah yang
sering dikatakan sebagai anak nakal. Namun yang terjadi akhir-akhir ini
kenakalan anak semakin menjurus kepada tindakan kejahatan. Bahkan cenderung
semakin meningkat kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur
(Achir, 2000: 46).
Anak-anak bermasalah dalam penelitian ini merupakan anak-anak yang
berperilaku nakal atau disebut juga dengan anak konflik hukum adalah anak yang
melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan
terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun
menurut peraturan hukum lainnya yang berlaku di masyarakat (Purnianti, 2002 :3)

2


Menurut Maidin Gultom (2008: 3), kenakalan anak dewasa ini semakin
meningkat dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini bukan hanya meresahkan
orang tua dari si anak pembuat kenakalan, tetapi masyarakat di lingkungan sekitar
anak tersebut juga menjadi terganggu keamanan, kenyamanan dan ketertiban
kehidupannya. Kenakalan anak pada akhirnya bukan sekedar merugikan orang tua
dan masyarakat di sekitarnya. Tetapi lebih jauh mengancam masa depan bangsa
dan negara, dimana anak merupakan generasi penerus masa depan bangsa dan
negara Indonesia. Atas dasar hal tersebut, anak perlu dilindungi dari perbuatanperbuatan yang merugikan dirinya sendiri maupun merugikan orang lain di
sekitarnya baik kerugian mental, fisik maupun sosial, mengingat kondisi dan
situasi anak yang pada hakikatnya masih belum dapat melindungi dirinya dari
berbagai tindakan yang menimbulkan kerugian.

Untuk dapat memperbaiki anak di bawah umur yang terlibat dalam berbagai kasus
atau tindak pidana maka dilaksanakanlah pembinaan pada Balai Pemasyarakatan.
Pembinaan narapidana anak pada Balai Pemasyarakatan bertujuan untuk
memperbaiki generasi muda yang terlibat dalam kasus hukum, melalui upayaupaya untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menanamkan kesadaran berbangsa dan bernegara, memperluas wawasan ke masa
depan, memperkokoh kepribadian dan disiplin, mempertinggi budi pekerti,
mengembangkan kemandirian, kepemimpinan, ilmu, keterampilan dan semangat
kerja keras dan kepeloporan serta partisipasi mengisi pembangunan (Soedjono,

1995: 16).

3

Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, pada Pasal 1 (1) disebutkan bahwa anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Adapun anak nakal menurut Pasal 1 (2) adalah anak yang melakukan
tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang
bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupuan menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menimbang
bahwa Setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama
untuk mendapatkan perlindungan hukum. Setiap anak merupakan tunas, potensi
dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis
dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi
bangsa dan negara ada masa depan. Setiap anak diharapkan mampu memikul
tanggung jawab tersebut dan untuk itu perlu mendapat kesempatan yang seluasluasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun

sosial serta berakhlak mulia sehingga perlu dilakukan upaya perlindungan dan
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan
tanpa diskriminasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, agar hak-hak anak dapat terjamin serta anak
merasa

terlindungi,

maka

seorang

anak

didampingi

oleh

pembimbing


kemasyarakatan, baik selama menjalani proses persidangan hingga ia dinyatakan
bersalah dan dimasukkan ke dalam penjara untuk kemudian dilakukan pembinaan.

4

Hal in disebabkan karena keberadaan seorang terpidana dalam Lembaga
Pemasyarakatan diharapkan hanya untuk sementara setelah masa pidana selesai
kembali ke tengah masyarakat dan keluarganya. Melalui sistem pemasyarakatan
diharapkan seorang narapidana yang telah kembali ke masyarakat tidak akan
melanggar hukum lagi, menjadi tenaga pembangun yang aktif serta dapat hidup
bahagia di dunia dan akhirat.

Pembimbing kemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas II A
Bandar Lampung sesuai dengan tugasnya dituntut untuk mengupayakan
perkembangan kepribadian anak sebagai pelaku kejahatan sehingga mereka
memiliki kepribadian yang baik. Pembinaan terhadap anak yang bermasalah
dengan

hukum


oleh

Pembimbing

Kemasyarakatan

bertujuan

untuk

mempersiapkan diri anak sebagai terpidana untuk kembali bersosialisasi di
lingkungan masyarakat sehingga masyarakat dapat menerima kehadiran mantan
narapidana di lingkungannya dengan baik. Selain dapat beradaptasi dengan baik,
diharapkan dengan bimbingan dan pengawasan, seorang narapidana dapat
menunjukan perubahan ke arah yang lebih baik pada masa-masa yang akan
datang.

Berdasarkan data prariset yang dilakukan pada tanggal 4 Juni 2012, maka
diketahui bahwa selama tahun 2011 terdapat 120 anak bermasalah dengan hukum
yang dibina pada Balai Pemasyarakatan Kelas II A Bandar Lampung, dengan
rincian kasusnya sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut:

5

Tabel 1. Anak Bermasalah dengan Hukum yang Dibina Balai Pemasyarakatan
Kelas II A Bandar Lampung Tahun 2011
No
1

Bulan
Januari

2

Februari

3

Maret

4

April

5

Mei

6

Juni

7

Juli

8

Agustus

9

September

10

Oktober

11

November

12

Desember

Total Kasus Tahun 2011

Jenis Kasus
Pencurian
Narkoba
Kekerasan
Perjudian
Penganiayaan
Curanmor
Asusila
Narkoba
Pencurian
Kekerasan
Pencurian
Asusila
Narkoba
Penipuan
Kekerasan
Narkoba
Senjata Tajam
Asusila
Pencurian
Narkoba
Perjudian
Narkoba
Pencurian
Perjudian
Asusila
Narkoba
Pencurian
Pencurian
Narkoba
Perkelahian
Pencurian
Perkelahian
Narkoba
Pencurian
Asusila
Pencurian
Narkoba
Perkelahian
Penipuan
Kekerasan
Narkoba
Senjata Tajam
Asusila

Rincian
4
2
2
2
1
3
3
5
4
4
6
3
3
3
4
2
3
2
5
2
1
2
2
2
2
2
1
4
1
1
4
2
3
5
2
4
3
3
2
4
2
3
2

Jumlah
11

20

12

14

8

8

3
6

6
10

10

13

120

Sumber: Balai Pemasyarakatan Kelas II A Bandar Lampung. Tahun 2012

6

Berdasarkan tabel di atas maka diketahui bahwa jumlah anak bermasalah dengan
hukum yang dibina pada Balai Pemasyarakatan Kota Bandar Lampung berjumlah
pada tahun 2011 berjumlah 120 orang, yang semuanya masih menjalani
pembinaan pada Balai Pemasyarakatan, karena masa hukumannya belum selesai.

Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak menyebutkan bahwa pembimbing kemasyarakatan bertugas
membantu memperlancar tugas penyidik, penuntut umum dan hakim dalam
perkara anak nakal serta membimbing, membantu dan mengawasi anak nakal
yang berdasarkan putusan pengadilan.

Permasalahan yang terjadi dalam proses pembinaan seorang narapidana adalah
secara ideal seorang narapidana yang telah menjalani proses bimbingan dan
pembinaan dari Balai Pemasyarakatan dan telah dinyatakan bebas untuk kembali
berintegrasi dengan masyarakat, maka ia tidak akan melakukan kejahatan atau
tindak pidana lagi karena ia telah mendapatkan pembinaan keagamaan, kesadaran
hukum dan keterampilan, namun pada kenyataannya narapidana masih berpotensi
mengulangi kejahatannya kembali dan menjadi seorang residivis. Hal ini dapat
disebabkan masih buruknya stigma masyarakat terhadap mantan narapidana,
sehingga ia merasa terkucilkan dari pergaulan masyarakat dan berpotensi kembali
mengulangi kejahatannya, sebagai bentuk kekecewaannya pada masyarakat yang
tidak mau menerima kehadirannya sebagai mantan seorang narapidana.

Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini dilaksanakan untuk
mengetahui peranan Balai Pemasyarakatan Bandar Lampung dalam pembinaan
anak yang bermasalah dengan hukum.

7

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka rumusan masalah penelitian ini adalah:
“Bagaimanakah peranan Balai Pemasyarakatan Bandar Lampung dalam
pembinaan anak yang bermasalah dengan hukum?”

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui peranan Balai Pemasyarakatan Bandar Lampung dalam pembinaan
anak yang bermasalah dengan hukum.

D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
dalam pengembangan disiplin ilmu Sosiologi, khususnya yang berkaitan
dengan pembinaan oleh Balai Pemasyarakatan terhadap anak yang bermasalah
dengan hukum.
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna:
a. Bagi Pembimbing Kemasyarakatan, hasil penelitian ini diharapkan
bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dalam mengembangkan
berbagai strategi atau metode dalam membina dan membimbing anak-anak
yang bermasalah dengan hukum, sehingga mereka kembali menjadi anak
yang baik dan bermanfaat ketika kembali ke masyarakat serta tidak
mengulangi kesalahan yang sama di masa mendatang.

8

b. Bagi Peneliti lain, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah
satu sumber informasi atau referensi mengenai peranan Pembimbing
Kemasyarakatan dalam pembinaan anak yang bermasalah dengan hukum.

ABSTRAK

PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN
ANAK YANG BERMASALAH DENGAN HUKUM
(Studi pada Balai Pemasyarakatan Bandar Lampung)

Oleh
SULTON M. ARIEF PURWANTO
Pembinaan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum oleh Pembimbing
Kemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas II A Bandar Lampung
bertujuan untuk mempersiapkan diri anak sebagai terpidana untuk kembali
bersosialisasi di lingkungan masyarakat sehingga masyarakat dapat menerima
kehadiran mantan narapidana di lingkungannya dengan baik.

Pembimbing

Kemasyarakatan dituntut untuk mengupayakan perkembangan kepribadian anak
sebagai pelaku kejahatan sehingga mereka memiliki kepribadian yang baik.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah peranan Balai
Pemasyarakatan Bandar Lampung dalam pembinaan anak yang bermasalah dengan
hukum?” Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui peranan Balai

Pemasyarakatan Bandar Lampung dalam pembinaan anak yang bermasalah dengan
hukum.
Tipe penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara dan dokumentasi. Data selanjutnya dianalisis secara
kualitatif, dengan tahapan reduksi data, display data dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peranan Balai Pemasyarakatan dalam
pembinaan anak yang bermasalah dengan hukum di Balai Pemasyarakatan (Bapas)
Kelas II A Bandar Lampung adalah: (1) Melaksanakan pembinaan dan bimbingan
terhadap anak. Pembimbing Kemasyarakatan memberikan pembinaan dan bimbingan
kesadaran beragama, kepribadian dan keterampilan. Bimbingan kesadaran beragama
dilaksanakan dalam bentuk ceramah, diskusi dan kegiatan-kegiatan keagamaan
dimaksudkan

agar

narapidana

memiliki

kesadaran

beragama.

Bimbingan

kepribadian dilaksanakan agar anak memiliki kepribadian yang baik dan memiliki
kesadaran hukum sehingga mereka tidak mengulangi kesalahannya setelah
dinyatakan

bebas.

Bimbingan

keterampilan

dilaksanakan

dalam

bentuk

penyediaan sarana dan prasarana keterampilan seperti perbengkelan, servis
elektronik dan kerajinan tangan, yang dimaksudkan agar narapidana dapat bekerja
atau menciptakan lapangan pekerjaan setelah narapidana kembali ke dalam
kehidupan masyarakat.

(2) Melaksanakan pengamatan terhadap anak yang

bermasalah dengan hukum. Pembimbing Kemasyarakatan melaksanakan penelitian
kemasyarakatan kepada anak yang bermasalah dengan hukum sebagai laporan
perkembangan anak yang bermasalah dengan hukum selama mengikuti proses
pembebasan bersyarat pada Balai Pemasyarakatan Kota Bandar Lampung.

ABSTRACT
ROLE OF CENTRAL PENITENTIARY IN DEVELOPING CHILDREN
THAT CONFLICT WITH THE LAW WITH THE LAW
(Study on Correctional Center of Bandar Lampung)

By
SULTON M. ARIEF PURWANTO

Guidance to children in conflict with the law by Supervisor of Central Penitentiary
Class II A of Bandar Lampung aims to prepare inmates to return the child as
socialize in the community so that people can accept the presence of ex-prisoners in
their environment well. Community Advisors are required to pursue the development
of the child's personality as the perpetrators of the crime so that they have a good
personality.

Formulation of the problem in this research is: "How is role of Central Penitentiary
Class II A of Bandar Lampung in developing children that conflict with the law with
the law. The aim of this research was to determine role of Central Penitentiary Class
II A of Bandar Lampung in developing children that conflict with the law with the
law.

Type of research is qualitative. Data was collected through interviews and
documentation. The data were then analyzed qualitatively, with the stage of data
reduction, data display and conclusion.

The results of this study indicate that the role of Central Penitentiary Class II A of
Bandar Lampung in developing children that conflict with the law are: (1) Implement
coaching and guidance to children in trouble with the law. Community mentors
provide personal guidance and independence. Guidance personality meant that
prisoners have the religious consciousness, awareness and consciousness of nation
and state law. Guidance independence is so that inmates can work or create jobs after
the prisoners back into society, and not to repeat criminal acts in violation of the law
(2) Carry out observations of children in trouble with the law. Supervising Social
implement social studies to children in conflict with the law as a report on the
development of children in trouble with the law during the process of parole at the
Central Penitentiary Class II A of Bandar Lampung.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peningkatan kasus kriminalitas di Indonesia semakin meningkat, bahkan pelaku
kriminalitasnya tidak hanya dilakukan orang dewasa namun anak-anak pun saat
ini menjadi pelaku kriminalitas. Tindak kriminalitas yang melibatkan anak-anak
semakin menghawatirkan. Selain intensitasnya yang besar, jenis kriminalitasnya
semakin beragam dengan kualitas kriminalitas yang bertambah tinggi dan para
pelakunya semakin usia muda. Pertumbuhan anak seringkali dihadapkan pada
situasi di mana anak harus berhadapan dengan hukum, karena tindakannya yang
telah melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Anak-anak yang
melakukan pelanggaran aturan atau kepatutan dalam masyarakat inilah yang
sering dikatakan sebagai anak nakal. Namun yang terjadi akhir-akhir ini
kenakalan anak semakin menjurus kepada tindakan kejahatan. Bahkan cenderung
semakin meningkat kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur
(Achir, 2000: 46).
Anak-anak bermasalah dalam penelitian ini merupakan anak-anak yang
berperilaku nakal atau disebut juga dengan anak konflik hukum adalah anak yang
melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan
terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun
menurut peraturan hukum lainnya yang berlaku di masyarakat (Purnianti, 2002 :3)

2

Menurut Maidin Gultom (2008: 3), kenakalan anak dewasa ini semakin
meningkat dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini bukan hanya meresahkan
orang tua dari si anak pembuat kenakalan, tetapi masyarakat di lingkungan sekitar
anak tersebut juga menjadi terganggu keamanan, kenyamanan dan ketertiban
kehidupannya. Kenakalan anak pada akhirnya bukan sekedar merugikan orang tua
dan masyarakat di sekitarnya. Tetapi lebih jauh mengancam masa depan bangsa
dan negara, dimana anak merupakan generasi penerus masa depan bangsa dan
negara Indonesia. Atas dasar hal tersebut, anak perlu dilindungi dari perbuatanperbuatan yang merugikan dirinya sendiri maupun merugikan orang lain di
sekitarnya baik kerugian mental, fisik maupun sosial, mengingat kondisi dan
situasi anak yang pada hakikatnya masih belum dapat melindungi dirinya dari
berbagai tindakan yang menimbulkan kerugian.

Untuk dapat memperbaiki anak di bawah umur yang terlibat dalam berbagai kasus
atau tindak pidana maka dilaksanakanlah pembinaan pada Balai Pemasyarakatan.
Pembinaan narapidana anak pada Balai Pemasyarakatan bertujuan untuk
memperbaiki generasi muda yang terlibat dalam kasus hukum, melalui upayaupaya untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menanamkan kesadaran berbangsa dan bernegara, memperluas wawasan ke masa
depan, memperkokoh kepribadian dan disiplin, mempertinggi budi pekerti,
mengembangkan kemandirian, kepemimpinan, ilmu, keterampilan dan semangat
kerja keras dan kepeloporan serta partisipasi mengisi pembangunan (Soedjono,
1995: 16).

3

Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, pada Pasal 1 (1) disebutkan bahwa anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Adapun anak nakal menurut Pasal 1 (2) adalah anak yang melakukan
tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang
bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupuan menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menimbang
bahwa Setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama
untuk mendapatkan perlindungan hukum. Setiap anak merupakan tunas, potensi
dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis
dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi
bangsa dan negara ada masa depan. Setiap anak diharapkan mampu memikul
tanggung jawab tersebut dan untuk itu perlu mendapat kesempatan yang seluasluasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun
sosial serta berakhlak mulia sehingga perlu dilakukan upaya perlindungan dan
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan
tanpa diskriminasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, agar hak-hak anak dapat terjamin serta anak
merasa

terlindungi,

maka

seorang

anak

didampingi

oleh

pembimbing

kemasyarakatan, baik selama menjalani proses persidangan hingga ia dinyatakan
bersalah dan dimasukkan ke dalam penjara untuk kemudian dilakukan pembinaan.

4

Hal in disebabkan karena keberadaan seorang terpidana dalam Lembaga
Pemasyarakatan diharapkan hanya untuk sementara setelah masa pidana selesai
kembali ke tengah masyarakat dan keluarganya. Melalui sistem pemasyarakatan
diharapkan seorang narapidana yang telah kembali ke masyarakat tidak akan
melanggar hukum lagi, menjadi tenaga pembangun yang aktif serta dapat hidup
bahagia di dunia dan akhirat.

Pembimbing kemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas II A
Bandar Lampung sesuai dengan tugasnya dituntut untuk mengupayakan
perkembangan kepribadian anak sebagai pelaku kejahatan sehingga mereka
memiliki kepribadian yang baik. Pembinaan terhadap anak yang bermasalah
dengan

hukum

oleh

Pembimbing

Kemasyarakatan

bertujuan

untuk

mempersiapkan diri anak sebagai terpidana untuk kembali bersosialisasi di
lingkungan masyarakat sehingga masyarakat dapat menerima kehadiran mantan
narapidana di lingkungannya dengan baik. Selain dapat beradaptasi dengan baik,
diharapkan dengan bimbingan dan pengawasan, seorang narapidana dapat
menunjukan perubahan ke arah yang lebih baik pada masa-masa yang akan
datang.

Berdasarkan data prariset yang dilakukan pada tanggal 4 Juni 2012, maka
diketahui bahwa selama tahun 2011 terdapat 120 anak bermasalah dengan hukum
yang dibina pada Balai Pemasyarakatan Kelas II A Bandar Lampung, dengan
rincian kasusnya sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut:

5

Tabel 1. Anak Bermasalah dengan Hukum yang Dibina Balai Pemasyarakatan
Kelas II A Bandar Lampung Tahun 2011
No
1

Bulan
Januari

2

Februari

3

Maret

4

April

5

Mei

6

Juni

7

Juli

8

Agustus

9

September

10

Oktober

11

November

12

Desember

Total Kasus Tahun 2011

Jenis Kasus
Pencurian
Narkoba
Kekerasan
Perjudian
Penganiayaan
Curanmor
Asusila
Narkoba
Pencurian
Kekerasan
Pencurian
Asusila
Narkoba
Penipuan
Kekerasan
Narkoba
Senjata Tajam
Asusila
Pencurian
Narkoba
Perjudian
Narkoba
Pencurian
Perjudian
Asusila
Narkoba
Pencurian
Pencurian
Narkoba
Perkelahian
Pencurian
Perkelahian
Narkoba
Pencurian
Asusila
Pencurian
Narkoba
Perkelahian
Penipuan
Kekerasan
Narkoba
Senjata Tajam
Asusila

Rincian
4
2
2
2
1
3
3
5
4
4
6
3
3
3
4
2
3
2
5
2
1
2
2
2
2
2
1
4
1
1
4
2
3
5
2
4
3
3
2
4
2
3
2

Jumlah
11

20

12

14

8

8

3
6

6
10

10

13

120

Sumber: Balai Pemasyarakatan Kelas II A Bandar Lampung. Tahun 2012

6

Berdasarkan tabel di atas maka diketahui bahwa jumlah anak bermasalah dengan
hukum yang dibina pada Balai Pemasyarakatan Kota Bandar Lampung berjumlah
pada tahun 2011 berjumlah 120 orang, yang semuanya masih menjalani
pembinaan pada Balai Pemasyarakatan, karena masa hukumannya belum selesai.

Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak menyebutkan bahwa pembimbing kemasyarakatan bertugas
membantu memperlancar tugas penyidik, penuntut umum dan hakim dalam
perkara anak nakal serta membimbing, membantu dan mengawasi anak nakal
yang berdasarkan putusan pengadilan.

Permasalahan yang terjadi dalam proses pembinaan seorang narapidana adalah
secara ideal seorang narapidana yang telah menjalani proses bimbingan dan
pembinaan dari Balai Pemasyarakatan dan telah dinyatakan bebas untuk kembali
berintegrasi dengan masyarakat, maka ia tidak akan melakukan kejahatan atau
tindak pidana lagi karena ia telah mendapatkan pembinaan keagamaan, kesadaran
hukum dan keterampilan, namun pada kenyataannya narapidana masih berpotensi
mengulangi kejahatannya kembali dan menjadi seorang residivis. Hal ini dapat
disebabkan masih buruknya stigma masyarakat terhadap mantan narapidana,
sehingga ia merasa terkucilkan dari pergaulan masyarakat dan berpotensi kembali
mengulangi kejahatannya, sebagai bentuk kekecewaannya pada masyarakat yang
tidak mau menerima kehadirannya sebagai mantan seorang narapidana.

Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini dilaksanakan untuk
mengetahui peranan Balai Pemasyarakatan Bandar Lampung dalam pembinaan
anak yang bermasalah dengan hukum.

7

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka rumusan masalah penelitian ini adalah:
“Bagaimanakah peranan Balai Pemasyarakatan Bandar Lampung dalam
pembinaan anak yang bermasalah dengan hukum?”

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui peranan Balai Pemasyarakatan Bandar Lampung dalam pembinaan
anak yang bermasalah dengan hukum.

D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
dalam pengembangan disiplin ilmu Sosiologi, khususnya yang berkaitan
dengan pembinaan oleh Balai Pemasyarakatan terhadap anak yang bermasalah
dengan hukum.
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna:
a. Bagi Pembimbing Kemasyarakatan, hasil penelitian ini diharapkan
bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dalam mengembangkan
berbagai strategi atau metode dalam membina dan membimbing anak-anak
yang bermasalah dengan hukum, sehingga mereka kembali menjadi anak
yang baik dan bermanfaat ketika kembali ke masyarakat serta tidak
mengulangi kesalahan yang sama di masa mendatang.

8

b. Bagi Peneliti lain, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah
satu sumber informasi atau referensi mengenai peranan Pembimbing
Kemasyarakatan dalam pembinaan anak yang bermasalah dengan hukum.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Peranan

1. Pengertian Peranan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998: 381), peranan diartikan sebagai
seperangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di
masyarakat. Kedudukan dalam hal ini diharapkan sebagai posisi tertentu di dalam
masyarakat yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan
adalah suatu wadah yang isinya adalah hak dan kewajiban tertentu, sedangkan hak
dan kewajiban tersebut dapat dikatakan sebagai peranan. Oleh karena itu, maka
seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu dapat dikatakan sebagai
pemegang peran (role accupant). Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang
untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.

Menurut Soerjono Soekanto (2002: 220), peranan adalah aspek yang dinamis dari
kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban
sesuai dengan kedudukannya maka ia menjalankan suatu peranan. Peranan paling
sedikit mencakup tiga hal, yaitu:
a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian
peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.

10

b. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu
dalam masyarakat sebagai organisasi.
c. Peranan juga dapat diartikan sebagai perilaku individu yang penting bagi
struktur sosial masyarakat.

Menurut Prajudi Admosudirjo (2001: .68), secara umum peran adalah kehadiran
di dalam menentukan suatu proses keberlangsungan. Peranan merupakan
dinamisasi dari statis ataupun penggunaan dari pihak dan kewajiban atau disebut
subyektif. Peran dimaknai sebagai tugas atau pemberian tugas kepada seseorang
atau sekumpulan orang. Peranan adalah aspek dinamis yang berupa tindakan atau
perilaku yang dilaksanakan oleh seseorang yang menempati atau memangku suatu
posisi dan melaksanakan hak-hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya.
Jika seseorang menjalankan peranan tersebut dengan baik, dengan sendirinya akan
berharap bahwa apa yang dijalankan sesuai dengan keinginan dari lingkungannya.

Menurut Toha (2001: 10), pengertian peranan adalah suatu rangkaian perilaku
yang teratur yang ditimbulkan karena suatu jabatan tertentu atau karena adanya
suatu kantor yang mudah dikenal. Dalam bahasa organisasi peranan diperoleh dari
uraian jabatan. Uraian jabatan itu merupakan dokumen tertulis yang memuat
persyaratan-persyaratan dan tanggung jawab atas suatu pekerjaan“. Dengan
demikian dapat dijelaskan bahwa hak dan kewajiban dalam suatu organisasi
diwujudkan dalam bentuk uraian jabatan atau uraian tugas. Oleh karena itu, maka
dalam menjalankan peranannya seseorang/lembaga, uraian tugas/uraian jabatan
merupakan pedomannya.

11

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka yang dimaksud dengan peranan
dalam penelitian ini adalah serangkaian kegiatan atau tindakan yang dilakukan
oleh seseorang atau lembaga dalam melaksanakan hak dan kewajiban sesuai
dengan kedudukannya dalam masyarakat.

2. Bentuk dan Dimensi Peranan

Menurut Soerjono Soekanto (2002: 224), peranan merupakan dinamisasi dari
statis ataupun penggunaan dari pihak dan kewajiban atau disebut subyektif. Peran
dimaknai sebagai tugas atau pemberian tugas kepada seseorang atau lembaga.
Peranan yang dilakukan oleh lembaga berkaitan dengan tugas, fungsi dan
wewenangnya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bentuk-bentuk peranan
dalam hal ini terbagi menjadi:
1. Peranan normatif adalah peranan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga
yang didasarkan pada seperangkat norma yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat
2. Peranan ideal adalah peranan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga
yang didasarkan pada nilai-nilai ideal atau yang seharusnya dilakukan sesuai
dengan kedudukannya di dalam suatu sistem.
3. Peranan faktual adalah peranan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga
yang didasarkan pada kenyataan secara kongkrit di lapangan atau kehidupan
sosial yang terjadi secara nyata

Menurut Horoepoetri dkk (2003: 23-24), peranan menyangkut pelaksanaan sebuah
tanggung jawab seseorang atau organisasi untuk berprakarsa dalam tugas dan
fungsinya. Beberapa dimensi peran sebagai berikut:

12

a. Peran sebagai suatu kebijakan
Penganut paham ini berpendapat bahwa peran merupakan suatu kebijkasanaan
yang tepat dan baik untuk dilaksanakan.
b. Peran sebagai strategi Penganut paham ini mendalilkan bahwa peran
merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat (public
supports). Pendapat ini didasarkan pada suatu paham bahwa bilamana
masyarakat merasa memiliki akses terhadap pengambilan keputusan dan
kepedulian masyarakat pada tiap tingkatan keputusan didokumentasikan
c. Peran sebagai alat komunikasi. Peran didayagunakan sebagai instrumen atau
alat

untuk

mendapatkan

masukan

berupa

informasi

dalam

proses

pengambilam keputusan. Persepsi ini dilandaskan oleh suatu pemikiran bahwa
pemerintahan dirancang untuk melayani masyarakat, sehingga pandangan dan
preferensi dari masyarakat tersebut adalah masukan yang bernilai guna
mewujudkan keputusan yang responsif dan responsibel.
d. Peran sebagai alat penyelesaian sengketa, peran didayagunakan sebagai suatu
cara untuk mengurangi atau meredam konflik melalui usaha pencapaian
konsesus dari pendapat-pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi persepsi
ini adalah bertukar pikiran dan pandangan dapat meningkatkan pengertian dan
toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan (mistrust) dan kerancuan
(biasess)
e. Peran sebagai terapi. Menurut persepsi ini, peran diakukan sebagai upaya
”mengobati” masalah-masalah psikologis masyarakat seperti halnya perasaan
ketidakberdayaan (sense of powerlessness), tidak percaya diri dan perasaan
bahwa diri mereka bukan komponen penting dalam masyarakat.

13

B. Balai Pemasyarakatan dan Pembimbing Kemasyarakatan

Menurut Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan yang dimaksud dengan Balai pemasyarakatan adalah adalah
pranata untuk melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan. Bimbingan
kemasyarakatan adalah suatu usaha atau cara memberikan bimbingan (personal
care) terhadap anak serta orang dewasa.

Menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan
Anak, Balai Pemasyarakatan mempunyi tugas pokok dan wewenang yaitu:
1. Melaksanakan penelitian kemasyarakatan untuk disajikan dalam sidang
peradilan anak.
2. Melaksanakan penelitian kemasyarakatan atas permintaan dari pihak Rutan
atau Lembaga Pemasyarakatan bagi napi yang diusulkan untuk mendapatkan
program Pembebasan Bersyarat (PB), atau Cuti Menjelang Bebas (CMB).
3. Melakukan Bimbingan dan Pengawasan serta pembinaan terhadap napi di luar
Lembaga Pemasyarakatan atau Rutan yang memperoleh Program Pembebasan
Bersyarat (PB) atau Cuti Menjelang Bebas (CMB).
4. Melaksanakan registrasi klien binaan Balai Pemasyarakatan.
5. Mengikuti sidang peradilan anak di pengadilan dalam rangka penyajian
Penelitian Kemasyarakatan dalam sidang peradilan anak.
6. Mengikuti sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan baik di lembaga
pemasyarakatan maupun di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM
7. Memberikan bimbingan lanjutan bagi para klien Balai Pemasyarakatan yang
masih memerlukan.

14

Tugas Balai Pemasyarakatan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman
No. M.07.PR.07.03 Tahun 2003 Tanggal 16 April 2003 Tentang Organisasi dan
Tata Kerja Bapas di Lampung adalah:
1. Melakukan kunjungan dalam rangka pengumpulan data dalam penyusunan
Penelitian Kemasyarakatan untuk memenuhi permintaan dari penyidik dalam
hal tindak pidana di bawah umur atau memenuhi permintaan, Rutan atau
Lembaga Pemasyarakatan bagi napi yang diusulkan untuk mengikuti program
Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Asimilasi.
2. Memanggil

keluarga

maupun

klien

untuk

menghadap

ke

Balai

Pemasyarakatan dalam rangka mengadakan konsultasi yang berhubungan
dengan proses bimbingan, pembinaan, dan pengawasan
3. Mengadakan koordinasi pada instansi terkait lainnya
4. Membuat laporan kepada Kantor Wilayah dalam hal perkembangan klien pada
Balai Pemasyarakatan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Pasal 8 Ayat (1) tentang Pemasyarakatan
dijelaskan bahwa yang dimaksud petugas kemasyarakatan adalah pejabat
fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan,
pengamanan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan.

Kemudian dalam Pasal 33 Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997
tentang Peradilan Anak disebutkan bahwa Pembimbing kemasyarakatan
merupakan seorang petugas yang terdiri dari:
1. Pembimbing kemasyarakatan dari departemen kehakiman;

15

2. Pekerja sosial dari Departemen Sosial; dan
3. Pekerja sosial sukarela dari organisasi sosial kemasyarakatan.

Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997 menyatakan
pembimbing kemasyarakatan harus mempunyai kecakapan dan keahlian tertentu
yang harus dipenuhi sesuai dengan tugas dan kewajibannya atau mempunyai
keterampilan teknis dan jiwa pengabdian di bidang usaha kesejahteraan sosial.
Adapun tugas dari pembimbing kemasyarakatan adalah sebagai berikut:
a. Membantu memperlancar tugas penyidik, penuntut umum dan hakim dalam
perkara anak nakal, baik di dalam maupun di luar sidang anak dengan
membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan.
b. Membimbing, membantu dan mengawasi anak nakal yang berdasarkan
putusan pengadilan dijatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana
denda, diserahkan kepada negara dan harus mengikuti latihan kerja atau anak
yang memperoleh pembebasan bersyarat dari lembaga pemasyarakatan.

C. Anak yang Bermasalah dengan Hukum

1. Pengertian Anak

Menurut Hariyadi (2001: 32), secara umum anak adalah sebutan yang diberikan
kepada keturunan sepasang suami istri dalam suatu sistem keluarga yang tidak
akan terputus meskipun sang anak tersebut telah memasuki usia remaja, dewasa,
berkeluarga atau bahkan tua sekalipun, sang “anak” tersebut tetap merupakan
anak dalam artian keturunan dari kedua orang tuanya, demikian pula apabila
dilihat status sosialnya sebagai kehidupan bermasyarakat.

16

Anak merupakan bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang
memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan
pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 ayat (1), bahwa dimaksud dengan anak anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan YME, yang senantiasa harus dijaga
karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang
harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia
yang termuat dalam UUD 1945 dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak. Dari
sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan
generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan
dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

2. Anak-Anak Bermasalah dengan Hukum

Menurut Pasal 1 Butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak bahwa yang dimaksud dengan anak nakal adalah:
a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang_undangan maupun menurut peraturan hukum
lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

17

Anak-anak bermasalah dalam penelitian ini merupakan anak-anak yang
berperilaku nakal atau disebut juga dengan anak konflik hukum adalah anak yang
melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan
terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun
menurut peraturan hukum lainnya yang berlaku di masyarakat (Purnianti, 2002 :3)

Selanjutnya menurut Purnianti (2002: 4-5), yang dimaksud dengan anak nakal
atau bermasalah mengandung dua pengertian, yaitu:
a. Anak yang melakukan tindak pidana
Anak yang melakukan tindak pidana, perbuatannya tidak terbatas kepada
perbuatan-perbuatan yang melanggar peraturan KUHP saja melainkanjuga
melanggar peraturan-peraturan di luar KUHP, misalnya ketentuan pidana
dalam Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Hak Cipta, UndangUndang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan sebagainya.
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang
Perbuatan terlarang bagi anak adalah baik menurut peraturan perundangundangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku
dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini peraturan tersebut baik
yang tertulis maupun tidak tertulis, seperti hukum adat, aturan kesopanan dan
kepantasan dalam masyarakat.

Berdasarkan dua kelompok anak nakal di atas, yang dapat diperkarakan untuk
diselesaikan melalui jalur hukum hanyalah anak nakal dalam pengertian huruf a di
atas, anak yang melakukan tindak pidana. Anak-anak bermasalah dalam konteks
penelitian ini adalah anak yang melakukan tindak pidana, atau melakukan

18

perbuatan yang dinyatakan terlarang menurut hukum formal maupun hukum yang
berlaku di masyarakat.

3. Jenis-Jenis Pelanggaran oleh Anak-Anak Bermasalah dengan Hukum

Kenakalan anak diambil dari istilah asing Juvenile Delinquency. Juvenile artinya
young, anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda sifat-sifat khas
pada

periode

remaja,

sedangkan

Delinquency

artinya

doing

wrong

terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, anti
sosial, kriminal, pelanggaran aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak
dapar diperbaiki lagi, durjana, dursila dan lain-lain. Dasar pengertian kenakalan
anak adalah perbuatan atau tingkah laku yang bersifat anti social (Wagianti
Soetojo , 2010:9)

Menurut Fuad Hassan (dalam Romli Atmasasmita, 1983: 22) yang dikatakan
Juvenile Delinquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan remaja, yang
apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan sebagai kejahatan.
Demikian dapat disimpulkan bahwa Juvenile Delinquency adalah suatu tindakan
atau perbuatan perlanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial
yang dilakukan anak-anak yang masih muda.

Menurut Adler (dalam Kartini Kartono, 1922: 21-22) tingkah laku yang menjurus
kepada masalah Juvenile Delinquency adalah:
a. Kebut-kebutan

dijalan

yang

mengganggu

membahayakan jiwa sendiri dan orang lain

keamanan

lalulintas

dan

19

b. Perilaku

ugal-ugalan,

berandalan,

urakan,

mengacaukan

ketenangan

lingkungan sekitar. Tingkah ini bersumber pada kelebihan energi dan
dorongan primitif yang tidak terkendali serta kesukaan meneror lingkungan
c. Perkelahian antar geng, antar kelompok, antar sekolah, antar suku, sehingga
kadang-kadang merenggut korban jiwa
d. Kriminalitas anak berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras,
mencuri,

memcopet,

merampas,

menjambret,

menyerang,

merampok,

mengganggu, menggarong, pembunuhan dengan jalan mencekik, meracun
e. Berpesta pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas, atau
mabuk-mabukan yang menimbulknan keadaan kacau dan mengganggu sekitar
f. Perkosaan,
g. Kecanduan narkoba
h. Gangguan seksualitas pada anak
i. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan
j. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis
k. Tindakan radikal dan ekstrim dengan jalan kekerasan, penculikan, dan
pembunuhan yang dilakukan oleh remaja
l. Perbuatan anti soaial yang disebabkan gangguan kejiwaan pada anak-anak
Gejala kenakalan akan terungkap apabila kita meneliti bagaimana ciri-ciri khas
atau ciri umum yang amat menonjol pada tingkah laku dari anak-anak puber,
antara lain:
a. Rasa harga diri yang semakin menguat dan gengsi yang terlalu besar serta
kebutuhan untuk memamerkan diri

20

b. Energi yang berlimpah-limpah memaniftasikan diri dalam bentuk keberanian
yang condong melebih-lebihkan kemampuan diri
c. Senang mencari perhatian dengan jalan menonjolkan diri, misalnya jalan
mabuk-mabukan minuman keras
d. Sikap hidup nya bercorak a-sosial dan keluar dari pad dunia objektif kearah
dunia subjektif mereka lebih suka hidup berkelompok atau bergerombol
dengan teman sebaya. Dengan demikian mereka merasa lebih kuat, aman, dan
lebih berani untuk berjuang dalam melakukan eksplorasi dan ekperimrn hidup
dalam dunianya yang baru.
e. Pencarian suatu identitas kedewasaan

4. Penyebab Terjadinya Kenakalan Anak

Menurut Wagianti Soetedjo (2010:17), sebab-sebab timbulnya kenakalan anak
atau faktor-faktor yang mendorong anak melakukan kenakalan atau dapat juga
dikatakan latar belakang dilakukannya perbuatan kenakalan perlu diketahui
motifnya.

Menurut Romli Atmasasmita (1983:46) dikutip dari Wagianti Soetedjo (2010:17),
faktor penyebab terjadinya kenakalan anak adalah sebagai berikut:
a. Motivasi intrinsik
Motivasi intrinsik adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang
tidak perlu disertai perangsang dari luar. Motivasi intrinsik terdiri dari:
1) Faktor itelegentia
Faktor itelegentia adalah kesanggupan seseorang untuk menimbang dan
memberi keputusan. Anak-anak Delinquency pada umumnya mempinyai

21

itelegensia verbal lebih rendah dan ketinggalan dalam penyampaian hasilhasil skolastik (prestasi sekolah yang rendah). Dengan kecerdasan yang
rendah dan wawasan sosial yang kurang tajam, mereka mudah sekali
terseret oleh ajakan buruk untuk menjadi delikuen jahat.
2) Faktor usia
Faktor usia adalah faktor yang paling penting dalam sebab musabab nya
terjadi kejahatan. Usia anak yang sering melakukan kenakalan atau
kejahatan adalah berkisar diantaranya usia 15 sampai dengan 18 tahun.
3) Faktor jenis kelamin
Kenakalan anak dapat dilakukan oleh anak laki-laki maupun perempuan,
sekalipun dlam prakteknya jumlah anak laki-laki yang melakukan
kenakalan jauh lebih banyak daripada anak perempuan pada batas usia
tertentu. Adanya perbedaan jenis kelamin, mengakibatkan pula timbulnya
perbedaan, tidak hanya dalam segi kuantitas kenakalan remaja sematamata akan tetapi juga segi kualitas kenakalannya. Perbuatan kejahatan
pada anak laki-laki seperti pencurian, penganiayaan, pemalakan, dan
pemerkosaan. Sedangkan perbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh anak
perempuan seperti pelanggaran terhadap ketertiban umum, pelanggaran
kesusilaan misalnya melakukan persetubuhan diluar perkawinan akibat
pergaulan bebas.
4) Faktor kedudukan anak dalam keluarga,
Kedudukan seseorang anak dalam keluarga menurut kelahirannya
misalnya anak tunggal, anak pertama danseterusnya. Kebanyakan
deliquency dan kriminalitas dilakuakn oleh anak pertama dan anak tunggal

22

pria maupun wanita. Hal ini dapat dipahami karena kebanyakan anak
tunggal sangat dimanjakan oleh orang tuanya dengan pengawasan yang
minimal, pemenuhan kebutuhan yang berlebih-lebihan dans egala
keinginan atau permintaan dikabulkan. Perlakuan orang tua terhadap anak
akan menyulitkan anak itu sendiri dalam pergaulan dengan masyarakat dan
sering timbul konflik, didalam jiwanya, apabila suatu ketika keinginannya
tidak dikabulkan oleh orang tuanya atau anggota masyarakat lain, ahir nya
akan mengakibatkan frustasi dan cenderung mudah berbuat jahat.

b. Motivasi ekstrinsik
Motifasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar diri seseorang.
Motivasi ekstrinsik terdiri dari:
1) Faktor keluarga
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang terdekat untuk membesarkan,
mendewasakan dan didalamnya anak mendapatkan pendidikan yang
pertama kali. Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan
tetapi merupakan lingkungan paling kuat dalam membesarkan anak dan
terutama bagi anak yang belum sekolah. Keluarga memiliki peran yang
penting dalam perkembangan anak. Keluarga yang baik anakn
berpengaruh positif bagi perkembangan anak sedangkan keluara yang
jelek akan berpengaruh negatif. Adapun keluarga yang dapat menjadikan
sebab timbulnya deliquency dapat berupa keluarga yang tidak normal
(broken home) dan keadaan keluarga yang kurang menguntungkan. Pada
umum nya keluarga broken home ada kemungkinan besar bagi terjadinya

23

kenakalan anak, dimana terutama perceraian atau pemisahan orang tua
mempengaruhi perkembangan anak.

2) Faktor pendidikan dan sekolah
Sekolah adalah sebagai media atau perantara bagi pembinaan jiwa anakanak atau dengan kata lain, sekolah ikut betanggungjawab atas pendidikan
anak-anak, baik pendidikan keilmuan maupun pendidikan tingkah laku
(character). Banyaknya atau bertambahnya kenakalan anak secara tidak
langsung menunjukkan kurang berhasilnya sistem pendidikan disekolahsekolah. Sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua setelah
lingkungan keluarga bagia anak. Selama menempuh pendidikan disekolah
terjadi interaksi antar anak dengan sesamanya, juga interaksi antar anak
dengan guru.
3) Faktor pergaulan anak
Harus disadari bahwa betapa besar pengaruh yang dimainkan oleh
lingkungan pergaulan anak, terutama sekali disebabkan oleh konteks
kulturalnya. Dalam situasi sosial yang menjadi longgar, anak-anak
kemudian menjauhkan dirinya dari keluarga untuk kemudian menega