ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAN PENAHANAN OLEH KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN

(1)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAN PENAHANAN OLEH KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DALAM

TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN Oleh

Rizky Septian Saputra

Penahanan pada dasarnya merupakan suatu tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia karena ditahannya seseorang sudah tentu mengurangi kemerdekaan atau kebebasan diri seorang tersebut. Namun perlu disadari bahwa penahanan terhadap seseorang perlu dilakukan karena orang tesebut telah merusak keseimbangan, ketertiban dalam masyarakat. Penahanan yang dilakukan terhadap seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dengan disengaja maupun tidak sengaja, maka orang tersebut layak untuk ditahan oleh pihak yang berwenang dan penahanan yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk melakukan penahanan terhadap seorang tersangka harus berdasarkan pada bukti yang cukup. Hal ini tercantum dalam Pasal 20 KUHAP. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah (a) Bagaimanakah pelaksanaan penahanan dan syarat sahnya suatu penahanan yang dilakukan oleh POLRI terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan dan (b) Apakah yang menjadi faktor penghambat penyidik POLRI dalam melakukan penahanan terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah menggunakan pendekatan secara empiris, jenis dan sumber datanya menggunakan data primer dan sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan lapangan, data diperoleh dengan cara melakukan wawancara dengan berbagai responden seperti anggota POLRI dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. Setelah data terkumpul diolah dengan cara editing, coding, dan sistematis setelah data terkumpul valid kemudian dianalisis dengan cara menyusun kalimat secara sistematis dan menurut klasifikasinya dan akan diuraikan secara kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa Penyidik POLRI dalam melakukan pelaksanaan penahanan terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan harus berdasarkan (a) Adanya laporan korban (b) Adanya keterangan saksi (c) Adanya barang bukti (d) Adanya petunjuk,


(2)

Rizky Septian Saputra

Selain itu dalam melakukan penahanan penyidik POLRI menemukan beberapa faktor penghambat antara lain (a) Faktor Undang-Undang (b) Faktor Masyarakat (c) Faktor Penegak Hukum (d) Faktor Kebudayaan.

Penulis memberikan saran agar pihak Kepolisian dapat meningkatkan kinerjanya terkait masalah penahanan terhadap tersangka pelaku penganiayaan, agar dapat ditegakannya hukum bagi para tersangka pelaku penganiayaan. Dan masyarakat dapat mentaati peraturan hukum, sehingga tidak ada lagi masalah penganiayaan. Karena inti dari adanya penganiayaan adalah niat dan perbuatan dari masyarakat sehingga dapat terjadinya suatu tindak penganiayaan dari tersangka terhadap korban yang merupakan anggota dari masyarakat.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penegakan hukum di lapangan oleh Kepolisian Republik Indonesia senantiasa menjadi sorotan dan tidak pernah berhenti dibicarakan masyarakat, selama masyarakat selalu mengharapkan hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan, kekeliruan atau kekurangtepatan maupun dampak lain yang meresahkan masyarakat dalam penegakan hukum akan cepat mendapat reaksi masyarakat. Tugas pokok dan fungsi POLRI untuk tercapainya polisi yang profesional, bermoral dan modern, Polri harus menjaga dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberi perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (Undang – Undang No. 2 tahun 2002 Tentang POLRI).

Penyidik merupakan pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 KUHAP). Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik harus memiliki pengetahuan yang mendukung karena pelaksanaan penyidikan bertujuan memperoleh kebenaran yang lengkap. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu penguasaan beberapa pengetahuan tambahan disamping pengetahuan tentang hukum pidana dan hukum acara pidana

Pelaksanaan tugas tersebut di atas merupakan suatu rangkaian dalam pemeriksaan tersangka sehingga pemeriksaan terhadap tersangka dapat memperoleh hasil yang maksimal sehingga dapat diajukan tuntutan oleh jaksa. Apabila proses penahanan yang dilakukan penyidik POLRI dalam


(4)

jangka waktu yang telah ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu jika dalam waktu 20 hari pemeriksaan belum selesai dan atau belum cukup bukti, maka penyidik POLRI dapat mengajukan penambahan penahanan kepada pihak kejaksaan.

Penyidikan dilaksanakan setelah diketahui bahwa suatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana, yang mana tindak pidana diketahui melalui laporan, pengaduan, tertangkap tangan dan diketahui langsung oleh petugas. Terhadap pelaku tindak pidana yang disidik dan telah mempunyai bukri yang cukup, penyidik berhak untuk melakukan penahanan sebagai tindak lanjut dari penyidikan.

Penahanan pada dasarnya merupakan suatu tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia karena ditahannya seseorang sudah tentu mengurangi kemerdekaan atau kebebasan diri seorang tersebut. Namun perlu disadari bahwa penahanan terhadap seseorang perlu dilakukan karena orang tesebut telah melakukan suatu tindak pidana. Penahanan yang dilakukan terhadap seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dengan disengaja maupun tidak sengaja maka orang tersebut layak untuk ditahan oleh pihak yang berwenang dan penahanan yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk menahan seseorang harus berdasarkan pada bukti yang cukup.

Penahanan hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 KUHAP yang menerangkan :

1. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan.

2. Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.


(5)

3. Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan

Alasan diajukan perpanjangan penahanan yang selama ini terjadi dikarenakan penyidik POLRI dalam melakukan penyidikan terhadap suatu tindak pidana kesulitan dalam mencari barang bukti yang cukup atau saksi-saksi yang kuat agar penyidikan dapat diselesaikan tepat dengan waktunya.

Tindak pidana terhadap tubuh dalam KUHP disebut dengan penganiayaan, namun secara definitif dalam KUHP tidak disebutkan arti dari penganiayaan tersebut. Penganiayaan dalam kamus umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai perlakuan yang sewenang-wenang, penyiksaan dan lain-lain.

Sedangkan menurut yurisprudensi, arti penganiyaan adalah perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka. Selanjutnya dalam Pasal 351 ayat (4) masuk dalam pengertian “penganiayaan” adalah perbuatan sengaja merusak kesehatan orang”. Dalam KUHP itu sendiri telah menjelaskan dan mengatur tentang macam-macam dari penganiayaan beserta akibat hukum apabila melakukan pelanggaran tersebut, pasal yang menjelaskan tentang masalah penganiayaan ini sebagian besar adalah Pasal 351 KUHP sampai dengan Pasal 355 KUHP, dan masih banyak pula pasal–pasal lain yang berhubungan dengan pasal tersebut yang menjelaskan tentang penganiayaan. Kejahatan terhadap tubuh atau penganiayaan dapat diartikan dengan kesengajaan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain dengan ancaman hukuman yang beraneka ragam sesuai dengan bentuk dari penganiayaan tersebut. Dapat dikatakan bahwa ada perumusan secara material, hal tersebut terlihat dalam Pasal 351 KUHP yang tidak menunjuk pada perbuatan tertentu seperti mengambil atau mencuri.


(6)

Akan tetapi perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan. Sementara dalam ilmu pengetahuan hukum pidana atau doktrin, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain. Berdasarkan doktrin diatas bahwa setiap perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiayaan yang terhadap pelakunya diancam pidana.

Undang - Undang tidak memberikan ketentuan apakah yang dimaksud dengan :

“penganiayaan”, namun menurut “yurispudensi” penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, luka, ataupun merusak kesehatan. Semuanya ini harus dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan. (R.Soesilo.KUHP:211)1

Dengan kata lain untuk menyebut sesorang telah melakukan penganiayaan, maka orang tersebut harus mempunyai kesengajaan dalam melakukan suatu perbuatan untuk membuat rasa sakit pada orang lain atau luka pada tubuh orang lain ataupun orang itu dalam perbuatannya merugikan orang lain (Pasal 351 KUHP).

Dari uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk membahas dan mengambil judul skripsi tentang : “Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanan Penahanan Oleh Kepolisian Republik Indonesia Dalam Tindak Pidana Penganiayaan”.

1


(7)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

Untuk mengetahui supaya jelas dan terarah penulisan skripsi ini, maka yang menjadi permasalahan dan ruang lingkup skripsi ini, sebagai berikut :

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian dan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah proses pelaksanaan penahanan oleh penyidik POLRI dalam tindak pidana penganiayaan ?

b. Apakah yang menjadi faktor penghambat pelaksanaan penahanan oleh penyidik POLRI dalam tindak pidana penganiayaan ?

2. Ruang Lingkup

Untuk menghindari penyimpangan dalam penulisan skripsi ini, maka perlu diadakan pembatasan dalam ruang lingkup hukum pidana. Dari penjelasan di atas penulis hanya membatasi penelitian tentang pelaksanaan penahanan oleh penyidik POLRI dalam tindak pidana penganiayaan. Adapun lingkup penelitian hanya terbatas pada Kepolisian Kota Bandar Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan permasalahan yang telah diajukan di atas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah :


(8)

a. Untuk mengetahui suatu pelaksanaan penahanan dan syarat sahnya suatu penahanan yang dilakukan oleh POLRI terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan.

b. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi faktor penghambat penyidik POLRI dalam melakukan penahanan terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan.

2. Kegunaan Penulisan

Kegunaan dari penulisan ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis antara lain : a. Kegunaan teoritis dari penulisan ini untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi

perkembangan ilmu hukum pidana terutama Hukum Pidana tentang Pelaksanaan Penahanan oleh Penyidik POLRI terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan.

b. Kegunaan praktis dari penulisan ini adalah :

Untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata 1 Sarjana Hukum (SH) pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dan sebagai bahan refrensi dan diharapkan agar hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan Mahasiswa Fakultas Hukum khususnya Mahasiswa Universitas Lampung.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka Teoritis adalah konsep–konsep yang sebenarnya yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan mengadakan identifikasi terhadap dimensi–dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti ( Soerjono Soekanto, 1986 : 124 ).2

2


(9)

Penegakan hukum dalam pelaksanaan penahanan oleh penyidik POLRI dalam tindak pidana penganiayaan ini mengacu pada :

1. Tata Cara Penahanan

Adapun tata cara penahanan yang dilakukan penyidik POLRI dalam melakukan penahanan terhadap tersangka/terdakwa antara lain :

a. Dengan surat perintah penahanan dari penyidik/penuntut umum/hakim yang berisi : 1. Identitas tersangka.

2. Menyebut alasan penahanan.

3. Uraian singkat kejahatan yang dilakukan

4. Menyebut dengan jelas ditempat mana tersangka ditahan (Pasal 21 butir (2) KUHAP). b. Menyerahkan tembusan surat perintah penahanan kepada keluarga tersangka.

Penahanan atas diri tersangka dan terdakwa dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Tersangka atau terdakwa harus dengan bukti yang cukup ada dugaan keras bahwa tersangka telah melakukan suatu tindak pidana.

b. Adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan mengulangi tindak pidana.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif


(10)

atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut

.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, menurut Soerjono Soekanto antara lain :3

1. Faktor hukumnya sendiri ( Undang-Undang ),

2. Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membetuk maupun menerapan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum, yakni pihak pihak yang

membentuk menerapkan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa

manusia di dalam pergaulan hidup.

Berdasarkan kelima faktor di atas tersebut, maka penulis menganggap sangat tepat apabila kelima faktor menurut Soerjono Soekanto diatas di gunakan sebagai faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penahanan oleh penyidik POLRI dalam tindak pidana penganiayaan.

2. Konseptual

Untuk menghindari terjadinya perbedaan pemahaman terhadap istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, maka akan diberikan penjelasan istilah antara lain :

a. Analisis Yuridis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan

pemahaman arti keseluruhan menurut hokum atau secara hukum. (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

3

Soerjono Soekanto,Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal.5


(11)

b. Pelaksanaan adalah suatu penerapan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan maupun nilai, dan sikap. (Susilo 2007:174)

c. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 1 butir (21) KUHAP).

d. POLRI merupakan alat negara yang berperan dalam memilihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpiliharanya keamanan dalam negara. (Pasal 5 ayat (1) UU No.2 Tahun 2002).

e. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang atau subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan (Sudarto, 1986:25).

f. Penganiayaan adalah kejahatan terhadap tubuh atau badan. (Tri Andresman, 2009:129).

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut :

1. Pendahuluan

Merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan, permasalahan serta ruang lingkupnya. Selain itu menerangkan tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis, dan konseptual serta sistematika penulisan.


(12)

2. Tinjauan Pustaka

Bab ini merupakan pengantar pemahaman terhadap pengertian yuridis terhadap pelaksanaan penahanan oleh penyidik kepolisian republic indonesia dalam tindak pidana penganiayaan.

3. Metode Penelitian

Pada bab ini menjelaskan mengenai langkah–langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah yang berkaitan dengan sudut pandang penulis, sumber dan jenis data, penentuan populasi, metode pengumpulan dan pengolahan data serta analisa data.

4. Pembahasan Hasil Penelitian

Pada bab ini merupakan jawaban dari permasalahan dalam skripsi ini, yang akan menjelaskan bagaimana Penyidik kepolisian Republik Indonesia melakukan pelaksanaan penahanan dalam tindak pidana penganiayaan.

5. Penutup

Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi ini, yang memuat dan menguraikan beberapa kesimpulan serta saran dari penulisan skripsi ini dalam kaitannya dengan permasalahan yang dibahas.


(13)

A. Pengertian Penahanan

Seorang terdakwa akan berusaha untuk menyulitkan pemeriksaan perkara dengan meniadakan kemungkinan akan dilanggar, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Terdakwa yang jahat tersebut tentunya berusaha untuk menghindar dari hukuman pidana, yaitu dengan cara melarikan diri atau menyembunyikan diri selama-lamanya. Terdakwa dapat juga menyulitkan pemeriksaan perkara dengan cara mempengaruhi saksi-saksi itu dengan ancaman atau paksaan agar mereka memberikan keterangan yang hanya menguntungkan terdakwa saja dan kalau perlu dengan cara berbohong.

Apabila ada kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi lagi perbuatan yang melanggar Hukum pidana, maka satu-satunya jalan untuk menghindarkan kesulitan tersebut agar melakukan :

“Menghentikan kemerdekaan tersangka atau terdakwa untuk pergi kemana-mana dan memerintahkan kepadanya supaya tinggal tetap di suatu tempat. Penghentian kemerdekaan tersangka atau terdakwa ini dalam KUHAP diatur dalam pasal 16 sampai dengan 19, yaitu tentang penangkapan dan pasal 20 sampai dengan 31 tentang penahanan.” (S.Ianusubroto, 1984 : 42)1

Dengan demikian pengertian penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

1


(14)

Menurut KUHAP, maka yang berwenang dalam melakukan penahanan terhadap seorang tersangka atau terdakwa adalah :

a. Penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik untuk kepentingan dalam penyidikan. b. Penuntut umum untuk kepentingan dalam penuntutan.

c. Hakim untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. (S.Ianusubroto, 1984 : 43)2

Penahanan dapat dibedakan dalam beberapa jenis penahanan yang diatur dalam Pasal 22 KUHAP antara lain :

a. Penahanan Rumah

Penahanan Rumah biasanya dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadap terdakwa untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan.

b. Penahanan Kota

Penahanan kota biasanya dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melaporkan diri pada waktu yang telah ditentukan.

Penahanan rumah dan penahanan kota maka tersangka atau terdakwa hanya boleh keluar rumah atau kota dengan seizin dari penyidik, penuntut umum, atau hakim yang telah memberi perintah penahanan. Untuk kepentingan orang yang ditahan maka masa penangkapan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan, sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan.

2


(15)

Adapun hambatan yang dapat mengganggu proses penahanan itu sendiri, dikarenakan hal-hal sebagai berikut:

1. Tersangka atau terdakwa tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam proses penahanan.

2. Hilangnya barang bukti.

3. Tersangka atau terdakwa melarikan diri. 4. Karena kurangnya alat bukti.

B. Dasar Hukum dan Sahnya Suatu Penahanan

Sejarahnya penahanan adalah sebuah pengekangan terhadap Hak Asasi Manusia yang berkaitan langsung dengan perampasan hak seseorang untuk beraktifitas seperti layaknya manusia sebagai makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain guna menyalurkan keinginan atau hasrat untuk bersoasialisasi dengan lingkungan bermasyarakat, akan tetapi disinilah letak dilemma sebuah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh manusia itu sendiri, namun pada kenyataannya manusia sangat membuthkan akan adanya sebuah peraturan perundang-undangan yang dapat mengarah kedalam keidupan yang tertib dan teratur.

Hal tersebut akan terwujud jika peraturan perundang-undangan dapat dijalankan dan dipatuhi sebagaimana untuk tujuan bersama yaitu kehidupan yang tertib dan teratur, maka dengan kata lain penahanan yang dilakukan terhadap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana dengan disengaja maupun tidak disengaja, maka orang tersebut layak untuk ditahan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini adalah kepolisian. Dan apa yang telah dilakukan oleh kepolisian


(16)

dengan menahan seseoarang harus berdasarkan pada bukti yang cukup untuk melakukan penahanan.

Dalam Bab I Pasal 1 butir 21 KUHAP diatur tentang pengertian “Penahanan”, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam gal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.(Martiman Prodjohamidjojo, 1988 : 43)3

Penyidik POLRI melakukan penahanan tersebut atas dasar Deskresi (kebijaksanaan) kepolisian. Penahanan harus berdasarkan Hukum dan keperluan. Dasar menurut Hukum ialah adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup bahwa orang itu melakukan tindak pidana. Terhadap tindak pidana itu diancam dengan hukuman penjara lima tahun ke atas, ataupun suatu tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh undang-undang, meskipun ancaman hukumannya kurang dari lima tahun.

Dasar hokum yang kongkrit untuk melakukan penahanan terhadap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana yaitu diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Hal-hal yang berkaitan dengan KUHAP BAB V tentang :

1. Penangkapan 2. Penahanan

3. Penggeledahan Badan 4. Pemasukan Rumah 3


(17)

5. Penyitaan dan Pemeriksaan Surat

Bagian kedua tentang Penahanan yaitu diatur dalam pasal 20 sampai pasal 31 yang merupakan pasal yang mengatur tentang syarat-syarat penahanan, yaitu sebagai berikut :

1. Pasal 20 (1) KUHAP

Untuk kepentingan penyidikan, penyidik, penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 11 berwenang melakukan penahanan.

2. Pasal 20 (2) KUHAP

Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.

3. Pasal 20 (3) KUHAP

Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di siding pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan.

Dasar hukum penahanan yang terdapat dalam pasal 7 dan 8 Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman antara lain berbunyi sebagai berikut :

1. Pasal 7 Undang-Undang nomor 14 tahun 1970

Tiada seorang pun dapat dikenai penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.


(18)

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan didepan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan, yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuasaan hokum yang tetap.

Apabila seseorang ditahan atau ditangkap tanpa dasar Hukum atau dasar keperluan serta ia berpendapat bahwa penangkapan dan penahanan atas dirinya tidak sah, yaitu tidak memenuhi persyaratan perundang-undangan, maka ia dapat meminta pemeriksaan dan putusan oleh hakim tentang sahnya penangkapan atas dirinya tersebut, serta berhak meminta ganti rugi .

Ganti rugi atau ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau Hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Lebih lanjut ketentuan tentang sahnya suatu penahanan dicantumkan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, sedangkan perlunya penahanan dalam pasal 21 ayat (1) KUHAP. Ketentuan tersebut diatur juga dalam pasal yang sama juga yaitu pasal 64 ayat (1) mengatur perlunya penahanan sedangkan ayat (2) tentang sahnya penahanan.

Untuk melakukan penahanan terhadap seorang tersangka atauterdakwa maka harus memenuhi syarat-syarat penahanan, yaitu:

1. Syarat Objektif/Yuridis, yaitu (Pasal 21 Butir 4 KUHAP) :

a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.

b. Tindak pidana dalam Pasal 282 ayat (3) (kesusilaan), Pasal 296 (perbuatan cabul) Pasal 335 ayat (1) (perbuatan tdk menyenangkan, pencemaran nama baik), Pasal 351 ayat (1)


(19)

(penganiayaan berat kecuali percobaan penganiayaan), Pasal 372 (penggelapan), Pasal 378 (penipuan), Pasal 379a (penipuan), Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 KUHAP, Pasal 25 dan Pasal 26 stbld 1931 no. 471 (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 UU TP Imigrasi.

c. Bagi tindak pidana yang disebutkan dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b meskipun ancaman kurang dari 5 tahun juga dapat dikenakan penahanan.

d. Percobaan dan pembantuan dari tindak pidana di atas. 2. Syarat Subjektif, yaitu :

a. Syarat ini yang menekankan pada keadaan tersangka atau terdakwanya.

b. Penahanan dilakukan dengan alasan menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP, bila penyidik, penuntut umum, atau hakim mempunyai kekhawatiran bahwa :

1. Tersangka atau terdakwa melarikan diri.

2. Tersangka atau terdakwa akan mengulangi melakukan tindak pidana. 3. Tersangka atau terdakwa akan menghilangkan barang bukti.

Penahanan terhadap seseorang dilakukan karena seseorang diduga keras telah melakukan salah satu delik yang memenuhi ketentuan Pasal 21 ayat (4) KUHAP”.7 “Namun berkaitan dengan ketiga syarat subyektif tersebut tidak perlu bersama-sama terpenuhi, tapi satu syarat saja sudah cukup.Walaupun pada kenyataannya semua surat perintah penahanan sudah mencantumkan secara baku ketiga syarat. Tersangka yang ditahan oleh penyidik atau polisi dalam waktu 1 hari setelah perintah penahanan itu dijalankan penyidik sejauh mungkin perintah penahanan terhadap diri tersangka.


(20)

1. Penyidik

Seorang penyidik dalam melakukan proses penyidikan diperlukan suatu teknik dan taktik untuk memperoleh keterangan dari tersangka, sdan seorang penyidik berwenang untuk menagdakan pemanggilan-pemanggilan secara resmi terhadap tersangka yang dianggap perlu untuk dilakukan pemerksiaan lebih lanjut dengan menggunakan surat panggilan yang sah. Menurut Pasal 1 ayat (1) KUHAP penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP di tentukan dua macam badan yang dibebani wewenang penyidikan adalah Pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, selain dalam ayat (1) undang-undang tersebut dalam ayat (2) ditentukan bahwa syarat kepangkatan pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang berwenang menyidik akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pengangkatan penyidik itu sendiri dilakukan oleh instansi pemerintah yang berbeda-beda, untuk penyidik Pejabat polisi Negara diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, yang dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat polisi lain.Sedangkan penyidik pegawai sipil diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usuldepartemen yang membawahi pegawai tersebut.Wewenag pengangkatan tersebut dapat dilimpahkan pula oleh Mneteri Kehakiman , dimana sebelum pengangkatan Menteri Kehakiman terlebih dahulu meminta pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Andi Hamzah, 2000 :78).4

4


(21)

Selain terdapat penyidik seperti yang telah di jelaskan di atas, berdasarkan Pasal 10 KUHAP terdapat pula penyidik pembantu.Penyidik pembantu berdasarkan Pasal 10 ayat (1) KUHAP adalah pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini disebutkan bahwa syarat kepangkatan diatur dengan peraturan pemerintah.

Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah PP Nomor 3 Tahun 1983 yaitu pada Pasal 3 yang memuat bahwa yang disebut penyidik pembantu adalah pejabat polisi Republik Indonesia yang berpangkat sersan dua dan pejabat Pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.

2. Penyidikan

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Menurut M. Yahya Harapan (1998 : 99-100) pengertian penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana.5

5

M. Yahya Harapan.✍ ✎✏✑ ✒ ✓ ✒san dan Permasalahan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan,Sinar


(22)

Bahasa Belanda penyidikan disejajarkan dengan pengertian opsporing. Menurut Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang setelah mereka dengan jalan apapun bahwa terjadi sesuatu pelanggaran hukum. Maka berdasarkan beberapa pengertian diatas disimpulkan bahwa penyidikan merupakan suatu tahapan yang sangat penting untuk menentukan tahap pemeriksaan yang lebih lanjut dalam proses administrasi peradilan pidana karena apabila dalam proses penyidikan tersangka tidak cukup bukti dalam terjadinya suatu tindak pidana yang di sangkakan maka belum dapat dilaksanakan kegiatan penuntutan dan pemeriksaan di dalam persidangan.

Penyidik dalam melakukan proses penyidikan tindak pidana, dimana dalam melakukan fungsi “Reserse” (Penyidik) perlu memperhatikan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyangkut hak-hak warga Negara, antara lain :

a. Praduga tak bersalah.

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan didepan sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

b. Persamaan di depan Hukum.

Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka Hukum dengan tidak adanya perbedaan dengan orang lain.

c. Hak pemberian bantuan aatau penasehat Hukum.

Setiap orang yang tersangkut perkara tindak pidana, wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan Hukum yang semata-mata memberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya. Sejak saat dilakukan penangkapan atau penahanan, sebelum dimulainya pemeriksaan, kepada tersangka wajib diberitahukan tentang apa yang


(23)

disangkakan kepadanya dan haknya untuk mendapat bantuan Hukum atau dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasehat Hukum.

d. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang, dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur di dalam undang-undang.

e. Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alas an yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau Hukum yang diterapkan, wajib diberi ganti kerugian, dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan. Para pejabat penegak Hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkannya dapat dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.

Penyidikan tindak pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya penegakan Hukum yang bersifat pembatasan atau pengekangan hak-hak warga Negara dalam rangka usaha untuk memulihkan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, penyidikan tindak pidana sebagai salkah satu tahap dari penegakan Hukum pidana yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan dan peraturan-peraturan yang berlaku.

D. Tugas Dan Wewenang Penyidik Polri

Tugas penyidik adalah melaksanakan penyidikan. Penyidikan yaitu serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan barang bukti yang membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.


(24)

a. Membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tentang hasil pelaksanaan tindakannya. b. Menyerahkan berkas-berkas perkara kepada penuntut umum atau jaksa.

Lebih lanjut dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dijelaskan bahwa tugas Kepolisian Republik Indonesia adalah :

a. Selaku alat Negara penegak Hukum memelihara serta meningkatkan tertib Hukum.

b. Melaksanakan tugas kepolisian selaku pengayom dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat nagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan. c. Bersama-sama dengan segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan Negara guna

ketentraman masyarakat dalam wilayah Negara guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat.

d. Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menunjang terselenggaranya usaha dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c.

e. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Untuk kepentingan umum Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Hal ini dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi kepolisian Negara Republik Indonesiaserta senantiasa bertindak berdasarkan norma Hukum dan memperhatikan norma agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mengutamakan tindakan pencegahan.


(25)

HIR dijelaskan bahwa hanya ada dua macam pejabat atau instansi yang berwenang melakukan penahanan yaitu jaksa (magistraat) dan pembantu jaksa (hulp magistraat) sedangkan hakim hanya memperpanjang penahanan yang dilakukan oleh jaksa, sedangkan KUHAP menentukan bahwa ada tiga macam pejabat atau instansi yang berwenang melakukan penahanan yaitu penyidik/penyidik pembantu, penuntut umum, dan hakim, menurut tingkatan pemeriksaan terdiri dari hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung (Pasal 20 sampai 31 KUHAP).

Setiap penahanan tersebut dapat diperpanjang dan perintah penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik sebagaimana dimaksud oleh pasal 20 KUHAP, hanya berlaku paling lama 20 hari. Ini sama dengan penahanan yang dilakukan oleh pembantu jaksa menurut HIR. Penahanan yang dilakukan oleh penyidik tersebut dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama empat puluh hari (Pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHP). Ini berbeda dengan system HIR dahulu, dimana penuntut umum tidak memperpanjang penehanan yang dilakukan oleh pembantu jaksa. Hanya dapat melakukan penahanan sendiri yang paling lama tiga puluh hari.

Pasal 24 ayat (4) KUHP ditentukan bahwa setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus mengeluarkan tersangka dari tahanan demi Hukum. Dengan demikian menurut pendapat penulis, penuntut umum tidak dapat mengeluarkan surat perintah sesuai dengan Pasal 25 yang berlaku paling lama dua puluh hari sebelum perkara dilimpahkan kepadanya.

Pasal 25 KUHAP ditentukan bahwa penuntut umum dapat mengeluarkan perintah penahanan yang berlaku paling lama dua puluh hari . Penahanan oleh penuntut umum ini dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan yang berwenang paling lama tiga puluh hari, yang menurut ayat (2) Pasal


(26)

25 KUHP dengan alasan “apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai”.

Selanjutnya, hakim Pengadilan Negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 84, berwenang mengeluarkan perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari, dengan alas an “guna kepentingan pemeriksaan”. Yang berarti penahanan yang dilakukan oleh hakim pada pemeriksaan tingkat pertama lamanya Sembilan puluh hari. Dalam Pasal 26 ayat (4) KUHP ditentukan bahwa apabila lewat sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum putus, terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi Hukum. Ini berarti dua ratus hari setelah tersangka (terdakwa ditahan oleh penyidik.

Untuk pemeriksaan tingkat banding, hakim pengadilan tinggi dapat melakukan penahanan untuk paling lama tiga puluh hari, dengan alas an “guna kepentingan pemeriksaan banding”. Penahanan hakimpengadilan tinggi dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan paling lama enam puluh hari. Alasan perpanjangan sama dengan pada tingkat yang pertama, yaitu “guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai”.

Terakhir Mahkamah Agung mempunyai wewenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama lima puluh hari guna kepentingan pemeriksaan kasasi. Dan jika peneriksaan belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama enam puluh hari.

Adanya ketentuan pengecualian tentang penahanan yang diatur dalam pasal 29 KUHP yang mengatakan bahwa jangka waktu penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang benar dan tidak dapat dihindarkan karena :


(27)

a. Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat,yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau :

b. Perkara yang sedang diperiksa diancam pidana penjara Sembilan tahun atau lebih.

Yang dijelaskan oleh pasal 29 itu ialah “kepentingan pemeriksaan”: pemeriksaan yang belum dapat diselesaikan dalam waktu penahanan yang ditentukan dan “gangguan fisik atau mental yang berat”, keadaan tersangka atau terdakwa yang tidak memungkinkan untuk diperiksa karena alasan fisik atau mental. Dalam pasal 29 ayat (2) KUHAP ditentukan lamanya perpanjangan yang dimaksud dalam ayat (1) tersebut, yaitu 30 (tiga puluh) hari yang dapat diperpanjang lagi 30 (tiga puluh) hari, jadi jumlahnya 60 (enam puluh) hari.

Perpanjangan tersebut berlaku pada kelima tingkat yaitu, penyidikan (Pasal 24), penuntutan (Pasal 25), pemeriksaan pengadilan negeri (Pasal 26), pemeriksaan banding (Pasal 27), pemeriksaan kasasi (Pasal 28). Dengan demikian bagi delik yang diancam pidana penjara sembilan tahun atau lebih dapat ditahan cukup lama.

Pejabat yang berwenang memperpanjang penahanan sesuai dengan pasal 29 ayat (3) berbeda dengan yang berwenang memperpanjang biasa. Dalam ayat ini ditentukan bahwa :

a. Pada tingkat penyidikan atau penuntutan diberikan oleh ketua Pengadilan Negeri. b. Pada tingkat pemeriksaan di Pengadilan Negeri diberikan oleh ketua Pengadilan Negeri. c. Pada tingkat pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung.

d. Pada tingkat kasasi diberikan oleh diberikan oleh ketua Mahkamah Agung. (Andi Hamzah, 1996 : 139)6

6


(28)

Dalam hal penggunaan wewenang perpanjangan penahanan tersebut KUHP memberi batas-batas sebagai berikut :

a. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi, pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada ketua Mahkamah Agung (Pasal 29 Butir 7 KUHAP).

b. Tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96, apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut dalam Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut dalam Pasal 29 ternyata tidak sah (Pasal 30 KUHAP tersebut : “apabila tenggang waktu penahanan”….”ternyata tidak sah”, kurang tepat, karena bukan tenggang waktunya yang tidak sah, tetapi dasarhukumnyaataucara melakukannya.

(Andi Hamzah, 1996 : 139)7

F. Pengertian dan Macam Tindak Pidana Penganiayaan.

Penganiayaan adalah merupakan suatu perbuatan tertentu yang dengan sengaja dapat menimbulkan rasa sakit atau luka sebagai tujuan atau kehendak dari pelaku. Apabila perbuatan yang menimbulkan rasa sakit pada orang lain dengan tujuan seperti, orang tua memukul anaknya untuk menjamin ketertiban lingkungan keluarga, seorang ahli bedah melakukan pembedahan pada orang lain berdasarkan pada undang-Undang, tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. (Moch. Anwar, 1982 : 103)8

7

Andi hamzah,Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 139

8


(29)

Disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maka kita dapat menggolongkan dalam beberapa jenis yaitu :

1 Penganiayaan Biasa

Mengenai penganiayaan biasa dapat dilihat dalam pasal 351 KUHP yang menerangkan :

a. Penganiayaan diancam dengan pidana pinjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

b. Jika perbuatan mengakibatkan luka berat tersangka dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.

c. Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. d. Dengan penganiayaan disamakan dengan merusak kesehatan.

e. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Penganiayaan pasal 351 ini sering dinamakan sebagai “Penganiayaan Biasa” diancam hukuman lebih berat jika penganiayaan ini mengakibatkan luka berat (ayat 2), atau mati (ayat 4), luka berat atau mati disini harus merupakan akibat yang tidak diinginkan pelaku, apabila luka berat tersebut adalah hal yang dimaksud pelaku, maka terhadapnya dapat dikenakan pasal 354 KUHP, sedangkan jika kematian yang tidak dimaksud oleh pelaku, maka terhadapnya dapat dikenakan pasal 338 KUHP (tentang pembunuhan).

2. Penganiayaan Ringan

Mengenai penganiayaan ringan ini diatur pasal 352 KUHP yang berbunyi :

a. Kecuali yang tersebut dalam pasal 352 dan pasal 356 KUHP, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk melakukan pekerjaan jabatan diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling


(30)

banyak tiga ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan ini terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.

b. Percobaan untuk melakukan tindak pidana ini tidak dipidana.

3. Penganiayaan Berencana.

Penganiayaan berencana ini diatur dalam pasal 353 KUHP yang isinya meneragkan :

a. Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun.

b. Jika perbuatan mengalami luka berat, tersangka dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

c. Jika perbuatan mengakibatkan mati, tersangka akan dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun (Moch. Anwar, 1982 : 105).9

Apabila penganiayaan (seperti disebutkan dalam pasal 351 KUHP) itu dilakukan dengan “direncanakan lebih dahulu” maka terhadap pelaku dapat dikenakan pasal 353 yang diancam dengan hukuman lebih berat dari pasal 351KUHP, jika berakibat “luka berat” atau “mati” (namun dengan catatan “luka berat” atau “mati” tersebut bukan yang dimaksud pelaku) dan dilakukan dengan “direncanakan lebih dahulu” akan dipidana lebih berat, tetapi jika “luka berat” tersebut merupakan tujuan yang dikehendaki pelaku dan dilakukan dengan “direncanakan lebih dahulu” maka terhadap pelakunya daoat dikenakan pasal 355 ayat 1 KUHP sedangkan jika matinya korban sebagai akibat dari perbuatan yang “direncanakan lebih dahulu” sebagai

9


(31)

maksudnya maka terhadap pelakunya dapat dikenakan pasal 430 KUHP tentang pembunuhan berencana.

4. Penganiayaan Berat

Tentang penganiayaan berat diatur dalam pasal 354 KUHP yang menerangkan :

a. Barang siapa melukai berat orang lain diancam karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

b. Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah akan dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pelaku tindak pidana dapat dikenakan pasal ini jika pelaku bermaksud “melukai berat” korbannya, tetapi jika luka berat tersebut hanya merupakan akibat Hukum sebagai maksudnya, maka hanya dikenakan pasal 351 ayat 2 KUHP.


(32)

III. METODE PENELITIAN

Untuk memecahkan masalah guna memberikan petunjuk pada permasalahan yang akan dibahas dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka dalam penelitian ini dperlukan metode tertentu. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam kerangka penulisan tersebut adalah :

A. Pendekatan Masalah

Penelitian terhadap akibat hukum perpanjangan penahanan yang diajukan oleh penyidik POLRI kepada Kejaksaan, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan dengan dua cara, antara lain :

1. Pendekatan secara Normatif

Dengan cara melakukan studi kepustakaan dengan cara melihat, mempelajari dan mencatat ketentuan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan pelaksanaan penahanan oleh penyidik POLRI dalam tindak pidana pasal penganiayaan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2. Pendekatan secara Empiris

Dimaksudkan untuk melihat kenyataan yang terjadi dalam praktek dilapangan, dimana pendekatan ini dilakukan dengan mengadakan wawancara dengan para pihak yang diangga ada hubungannya dengan permasalahan yang akan dibahas dengan menyebutkan tempat wawancara dengan menyiapkan daftar pertanyaan.


(33)

B. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Data primer

Data primer yaitu sejumlah keterangan atau fakta yang dapat memberikan informasi secara langsung mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan obyek penelitian. Dalam penelitian ini diperoleh melalui penelitian lapangan yang berupa wawancara dengan Penyidik Kepolisian Polda lampung dan Dosen Hukum Universitas Lampung.

2. Data Sekunder

Data Sekunder yaitu sejumlah keterangan atau fakta yang secara tidak langsung diperoleh melalui bahan-bahan tertulis atau bahan pustaka untuk melengkapi data primer.

C. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah : 1. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikuti berupa peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini bahan hukum primer yang digunakan adalah :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

c. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Bahan Hukum Sekunder


(34)

Bahan tersebut dapat berupa tulisan-tulisan atau karya-karya akademisi, ilmuwan atau praktisi hukum dan disiplin hukum lain yang relevan, antara lain meliputi buku-buku, jurnal. Literatur, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan pendukung data sekunder dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang memberikan petunjuk yaitu :

a. Kamus Hukum.

b. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

c. Data informasi yang diperoleh dari Internet dan media massa.

D. Penentuan Populasi dan Sampel

Narasumber merupakan orang yang member (mengetahui secara jelas atau menjadi sumber) informasi. Dalam penulisan proposal skripsi ini yang menjadi narasumber yaitu, dosen Fakultas hukum dan POLRIdengan klarifikasi sebagai berikut :

a. POLRI : 2 orang

b. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang Jumlah : 3 orang

E. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam sktipsi ini dilakukan dengan menggunakan cara studi kepustakaan (


(35)

sekunder dan tersier yang dilakukan melalui studi dokumen, yaitu dengan cara membaca, mencatat dan menganalisa buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

2. Studi Lapangan

Merupakan penelitian secara langsung terhadap obyek penelitian dalam rangka mengumpulkan data primer :

a. Pengamatan ( Observasi )

Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan secara langsung terhadap obyek yang diteliti, untuk diadakan pencatatan secara sistematis dan terarah.

b. Wawancara ( Interview )

Teknik wawancara yang dilakukan yaitu dengan bertatap muka dengan mengadakan tanya jawab langsung guna memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini.

3. Pengolahan Data

Pengolahan Data yang diperoleh dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Evaluasi (seleksi data), yaitu data yang telah diperoleh, diperiksa untuk mengetahui apakah masih terdapat kekurangan- kekurangan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi data, yaitu menyusun data yang telah dievaluasi menurut bahasanya masing-masing setelah dianalisis agar sesuai dengan permasalahan.

c. Sistematisasi data, yaitu menyusun data yang telah dievaluasi dan diklasifikasidengan tujuan agar tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.


(36)

F. Analisis Data

Tujuan dari analisis data adalah untuk menyederhanakan data kedalam bentuk yang mudah dibahas dan diinterprestasikan. Data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan cara analisis deskriptif, yaitu dengan cara menginterprestasikan kedalam bentuk kalimat-kalimat yang tersusun secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang jawaban dan permasalahan tersebut. Penganalisaan juga dilakukan dengan metode deduktif-induktif, yaitu menurut dari hal-hal yang bersifat umum beranjak ke hal-ha


(37)

A. Simpulan

1. Pelaksanaan penahanan oleh Penyidik POLRI dalam tindak penganiayaan harus berdasarkan prosedur dan proses sebagai berikut :

a. Adanya Laporan dari Korban

Laporan dari korban dalam hal ini adalah laporan penganiayaan kepada POLRI dengan menceritakan kronologis perkara penganiayaan dan identitas korban serta tersangka pelaku penganiayaan.

b. Adanya Keterangan Saksi-Saksi

Adanya keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri dapat membantu penyidikan dan penyelidikan serta memperkuat laporan korban penganiayaan.

c. Adanya Barang Bukti

Barang bukti dapat berupa benda atau barang, baik itu senjata tajam, senjata tumpul atau media lainnya yang diduga digunakan oleh tersangka untuk melakukan penganiayaan. Bukan hanya barang bukti milik tersangka yang dijadikan alat bukti, tetapi hasil kejahatan atau barang milik korban penganiayaan dapat dijadikan barang bukti.

d. Adanya Petunjuk

Petunjuk biasanya didapat adalah hasil visum korban terhadap penganiayaan maupun hasil Laboratorium Forensik Kepolisian terhadap segala macam


(38)

bentuk penganiayaan yang didapat oleh korban, baik itu luka maupun hasil dari penganiayaan.

e. Penahanan

Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, Kepolisian dapat melakukan penahanan atau penahanan lanjutan, Demi kepentingan penyidikan dan penyelidikan agar tidak menimbulkan kekhawatiran tersangka/terdakwa akan melarikan diri, merusak/menghilangkan barang bukti dan mengulangi tindak pidananya setelah adanya surat perintah penahanan oleh pejabat Kepolisian yang berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan.

2. Faktor penghambat pelaksanaan penahanan oleh penyidik POLRI dalam tindak pidana penganiayaan adalah :

a. Faktor Undang-Undang

Apabila pelaku penganiayaan adalah Anak dibawah umur, maka penanganan serta tindak lanjut dalam melakukan penahanan tidaklah bisa dilakukan, karena pelaku anak dibawah umur mengikuti Undang-Undang anak yang diberlakukan. (Undang-Undang No.3 Tahun1997)

b. Faktor Masyarakat

Adanya permohonan maaf dari pihak tersangka yang diterima oleh pihak korban menjadi alasan tidak dapat dilakukannya penahanan. Karena apabila telah terjadi kesepakatan damai secara kekeluargaan maka pihak korban akan mencabut laporan penganiayaan yang telah dilaporkan, secara otomatis maka kasus tersebut ditutup sehingga Kepolisian tidak dapat melakukan penahanan. c. Faktor Penegak Hukum


(39)

Pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Sebab, menyangkut petugas pasa strata atas, menengah dan bawah, artinya, dalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum, petugas seharusnya memiliki suatu pedoman diantaranya peraturan tertulis tertentu yang menyangkut ruang lingkup tugas-tugasnya.

d. Faktor Kebudayaan

Kebiasaan masyarakat yang menjadi suatu kebudayaan itu adalah terjadinya aksi balas dendam dari pihak korban penganiayaan karena anggota keluarganya telah menjadi korban penganiayaan menjadi alasan pihak korban melakukan aksi balas dendam diluar hukum sehingga menjadi kasus penganiayaan baru yang menyulitkan Kepolisian untuk menangkap dan menahan tersangka pelaku penganiayaan yang dilakukan tersangka sebelumnya.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan bab-bab terdahulu dan kesimpulan tersebut diatas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :

1. Penyidik harus lebih teliti dalam menyelidiki/mengintrogasi korban/tersangka dalam kasus pidana tersebut (penganiayaan) sehingga tidak ada pihak yang dirugikan atau di untungkan.

2. Perlu diadakan sosialisasi kembali secara menyeluruh dan merata kepada masyarakat agar lebih paham dalam prosedur pelaksanaan penahanan yang dilakukan penyidik POLRI khususnya tindak pidana penganiayaan.


(40)

3. Diharapkan untuk anggota POLRI, semua hal-hal yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan penyidikan janganlah menjadi kendala bagi penyidik POLRI sehingga pelaksanaan penahanan dapat berjalan sesuai dengan yang prosedur diharapkan.


(41)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN PENAHANAN OLEH PENYIDIK POLRI DALAM TINDAK

PIDANA PENGANIAYAAN

(Skripsi)

Oleh

RIZKY SEPTIAN SAPUTRA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG


(42)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ABSTRAK

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN RIWAYAT HIDUP

PERSEMBAHAN MOTTO

SANWACANA DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………. 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ………. 5

C. Tujuandan Kegunaan Penulisan .………..……….. 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ……….. 7

E. Sistematika Penulisan ……….. 10

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan ………. 12

B. Dasar Hukum dan Sahnya Suatu Penahanan………..…… 14

C. Pengertian Penyidik dan Penyidikan ……….. 19

D. Tugas Dan Wewenang Penyidik Polri………... 23

E. Pejabat yang Berwenang Melakukan Penahanan dan Lamanya Penahanan………... 25


(43)

F. Pengertian dan Macam Tindak Pidana Penganiayaan………….…... 29

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ………..…………. … 33

B. Jenis Data………. 34

C. Sumber Data ………..……….. ………..…… 34

D. Penentuan Populasi dan Sampel ...……..……..………... 35

E. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data……… 36

F. Analisis Data ………..……….…… 37

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden………. 38

B. Proses Pelaksanaan Penahanan dan Syarat Syahnya Suatu Penahanan……… 39

C. Faktor-Faktor Penghambat Kepolisian Dalam Melakukan Penahanan Dalam Tindak Pidana Penganiayaan……… 48

V. PENUTUP A. Simpulan....……….. 54

B. Saran……… 57 DAFTAR PUSTAKA


(44)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Moch. 1982.Hukum Pidana Bagian Khusus. Bandung: Alumni. Andi Hamzah. 1996.Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

………. . 2000.Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Andrisman, Tri. 2009.Delik Khusus Dalam KUHP. Fakultas Hukum. Universitas Lampung.

Harapan, M. Yahya. 2006.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

Iansubroto, S. 1984.Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana. Jakarta: Armico. Poerwadarminta, W.J.S. 1984.Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka.

Prodjohamidjojo, Martiman. 1988.Penangkapan dan Penahanan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press.

……….. 2007.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.

Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sudarto.1989.Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. 2005. Lampung. Universitas Lampung.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang POLRI www.google.com


(45)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN

PENAHANAN OLEH PENYIDIK POLRI DALAM

TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN

Oleh

RIZKY SEPTIAN SAPUTRA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagaian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(46)

Judul Skripsi :Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanaan Penahanan Oleh Penyidik Kepolisian Republik Indonesia Dalam Tindak Pidana Penganiayaan

Nama Mahasiswa :

Rizky Septian Saputra

No.Pokok Mahasiswa : 0742011296

Bagian : Hukum Pidana Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Firganefi, S.H., M.H. Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. NIP : 19631217 198803 2 003 NIP : 19620817 198703 2 003

1. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. NIP : 19620817 198703 2 003


(47)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Firganefi, S.H., M.H. ………

Sekretaris/Anggota :Diah Gustiniati Mauliani, S.H., M.H. ………

Penguji Utama :Tri Andrisman, S.H., M.H . ....………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP : 19621109 198703 1 003


(48)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada tanggal 21 September 1988. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, yang merupakan buah cinta kasih dari pasangan Bapak Chairul Anwar dengan Ibu Zauriah.

Penulis mengenyam jenjang pendidikan di Taman Kanak-Kanak Kartika II-II, dan dilanjutkan Sekolah Dasar Kartika II-V Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 25 Bandar Lampung pada tahun 2003, Sekolah Menengah Atas Perintis 1 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2006.

Pada tahun 2006 melanjutkan di Master Komputer, kemudian tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan untuk mematangkan ilmu hukum yang diperoleh, penulis mengkonsentrasikan diri pada bagian hukum pidana. Pada tahun 2010, penulis mengikuti Praktek Kerja Lapangan Hukum (PKLH) dalam bentuk magang pada Kepolisian Daerah Lampung.


(49)

MOTTO

Bekerja Keras dan Berdoa adalah Kunci

Keberhasilan


(50)

PERSEMBAHAN

BISMILLAHIRRAHMANNIRROHIM Puji syukur kupanjatkan kehadirat allah SWT

Dengan segala kerendahan hati kupersembahkan karya kecilku ini kepada Ayahanda Chairul Anwar dan Ibunda Zauriah yang tercinta, Sembah sujud Ku Haturkan atas Curahan dan Belaian Kasih Sayang yang Tulus dan Dengan Susah Payah dengan Segala Upaya telah Membesarkan dan Mendidik Ku hingga Aku Dapat Menyelesaikan Studi di Perguruan Tinggi. Aku tidak mungkin bisa

membalas semua yang kalian curahkan kepadaku, hanya do’a yang selalu

kupersembahkan dalam setiap sujudku kepadanya.

Serta kepada kakakku dan adikku tersayang Maulana Angga Saputra SE dan Yolanda, dan juga semua Keluarga Besarku terimakasih atas Do’a dan

semangatnya yang telah kalian berikan.


(51)

SANWACANA

Bismillahirrohmanirrohim.

Syukur allhamdulillah Penulis Panjatkan atas Kehadirat Allah SWT karena atas rahmad dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan Penulisan Skripsi ini, yang ,merupakan salah satu Syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Penulis menyadari bahwa didalam Pelaksanaan Pendidikan ini banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing maka penulis dapat menyelesaikan Penulisan Skripsi ini. Dalam Penulisan Skripsi ini Penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dari berbagai pihak untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr.Heryandi S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana sekaligus sebagai pembimbing II dan Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan sebagai pembimbing I;

3. Ibu Erna Dewi S.H., M.H. selaku dosen Pembimbing Akademik;

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembahas I dan Ibu Dona Raisa, S.H., M.H., selaku Pembahas II dalam skripsi ini yang telah banyak


(52)

memberikan saran, masukan serta keritik yang membangun untuk memperbaiki demi kesempurnaan skripsi ini;

5. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik dan memberikan ilmu yang sangat bermanfaat;

6. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung :

7. Kedua Orang tuaku, yang Telah Memberikan Dukungan Materiil dan Moril Selama Penyusunan Skripsi ini;

8. Kakak dan Adikku Tersayang, Maulana Angga Saputra SE dan Yolanda; 9. Buat seluruh keluarga besarku;

10. Sahabat dan teman seperjunaganku di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu;

Akhirnya, Penulis Mengucapkan terima kasih kepada Semuanya yang telah memberikan bantuan kepada penulis dan semoga Skripsi ini bermanfaat walaupun penulis menyadari bahwa Skripsi ini tidak lepas dari berbagai kekurangan.

Semoga Allah SWT Melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya Bagi Kita Semua Amin ya Robbalalamin.

Bandar Lampung, Februari 2013 Penulis


(1)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Firganefi, S.H., M.H. ………

Sekretaris/Anggota :Diah Gustiniati Mauliani, S.H., M.H. ………

Penguji Utama :Tri Andrisman, S.H., M.H . ....………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP : 19621109 198703 1 003


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada tanggal 21 September 1988. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, yang merupakan buah cinta kasih dari pasangan Bapak Chairul Anwar dengan Ibu Zauriah.

Penulis mengenyam jenjang pendidikan di Taman Kanak-Kanak Kartika II-II, dan dilanjutkan Sekolah Dasar Kartika II-V Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 25 Bandar Lampung pada tahun 2003, Sekolah Menengah Atas Perintis 1 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2006.

Pada tahun 2006 melanjutkan di Master Komputer, kemudian tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan untuk mematangkan ilmu hukum yang diperoleh, penulis mengkonsentrasikan diri pada bagian hukum pidana. Pada tahun 2010, penulis mengikuti Praktek Kerja Lapangan Hukum (PKLH) dalam bentuk magang pada Kepolisian Daerah Lampung.


(3)

MOTTO

Bekerja Keras dan Berdoa adalah Kunci

Keberhasilan


(4)

PERSEMBAHAN

BISMILLAHIRRAHMANNIRROHIM Puji syukur kupanjatkan kehadirat allah SWT

Dengan segala kerendahan hati kupersembahkan karya kecilku ini kepada Ayahanda Chairul Anwar dan Ibunda Zauriah yang tercinta, Sembah sujud Ku Haturkan atas Curahan dan Belaian Kasih Sayang yang Tulus dan Dengan Susah Payah dengan Segala Upaya telah Membesarkan dan Mendidik Ku hingga Aku Dapat Menyelesaikan Studi di Perguruan Tinggi. Aku tidak mungkin bisa membalas semua yang kalian curahkan kepadaku, hanya do’a yang selalu kupersembahkan dalam setiap sujudku kepadanya.

Serta kepada kakakku dan adikku tersayang Maulana Angga Saputra SE dan Yolanda, dan juga semua Keluarga Besarku terimakasih atas Do’a dan semangatnya yang telah kalian berikan.


(5)

SANWACANA

Bismillahirrohmanirrohim.

Syukur allhamdulillah Penulis Panjatkan atas Kehadirat Allah SWT karena atas rahmad dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan Penulisan Skripsi ini, yang ,merupakan salah satu Syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa didalam Pelaksanaan Pendidikan ini banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing maka penulis dapat menyelesaikan Penulisan Skripsi ini. Dalam Penulisan Skripsi ini Penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dari berbagai pihak untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr.Heryandi S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana sekaligus sebagai pembimbing II dan Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan sebagai pembimbing I;

3. Ibu Erna Dewi S.H., M.H. selaku dosen Pembimbing Akademik;

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembahas I dan Ibu Dona Raisa, S.H., M.H., selaku Pembahas II dalam skripsi ini yang telah banyak


(6)

memberikan saran, masukan serta keritik yang membangun untuk memperbaiki demi kesempurnaan skripsi ini;

5. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik dan memberikan ilmu yang sangat bermanfaat;

6. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung :

7. Kedua Orang tuaku, yang Telah Memberikan Dukungan Materiil dan Moril Selama Penyusunan Skripsi ini;

8. Kakak dan Adikku Tersayang, Maulana Angga Saputra SE dan Yolanda; 9. Buat seluruh keluarga besarku;

10. Sahabat dan teman seperjunaganku di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu;

Akhirnya, Penulis Mengucapkan terima kasih kepada Semuanya yang telah memberikan bantuan kepada penulis dan semoga Skripsi ini bermanfaat walaupun penulis menyadari bahwa Skripsi ini tidak lepas dari berbagai kekurangan.

Semoga Allah SWT Melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya Bagi Kita Semua Amin ya Robbalalamin.

Bandar Lampung, Februari 2013 Penulis