Perkembangan Hubungan Antar Negara

multilateral atau hubungan internasional adalah hubungan antara 3 negara atau lebih yang tidak dibatasi oleh jarak dan letak teritorial negara anggotanya. Contoh adalah hubungan di bidang ekonomi WTO dan hubungan di bidang politik PBB.

2.3 Perkembangan Hukum Keimigrasian Indonesia Terkait Lalu Lintas

Orang Asing Di Indonesia Pada pokok bahasan di atas yang membahas hubungan antar negara dengan subyek negara sebagai individu sebagaimana yang dimaksud dalam subyek hukum internasional. Hubungan antar negara memandang negara sebagai satu organisasi yang berhubungan dengan negara lain yang terorganisir pula. Sementara keimigrasian memandang lalu lintas orang per orang yang melintasi batas negara dan tinggal di wilayah yang bukan negaranya. Jika seseorang ingin memasuki wilayah negara lain maka dia harus tunduk kepada hukum keimigrasian yang berlaku di negara tersebut yang bersumber dari ada tidaknya hubungan dari negara yang bersangkutan dan negara yang dituju. Di Indonesia pemeriksaan keimigrasian telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Pada saat itu, terdapat badan pemerintah kolonial Belanda bernama Immigratie Dienst yang bertugas menangani masalah keimigrasian untuk seluruh kawasan Hindia Belanda. 7 7 Abdullah Sfahriful, 2005, Memperkenalkan Hukum Keimigrasian, Grafika Indonesia, Jakarta, h. 50. Hukum keimigrasian di Indonesia berkembang dari zaman ke zaman 8 . Pada zaman penjajahan 1913-1945, bidang keimigrasian dijalankan oleh Kantor Sekretaris Komisi Imigrasi pada tahun 1913. Komisi ini dibentuk untuk mengatur arus kedatangan warga negara asing yang akan masuk ke wilayah Hindia Belanda dalam rangka mengembangkan bisnis perdagangan komoditas perkebunan. Namun karena tugas dan fungsinya yang semakin berkembang pada tahun 1921 Kantor Sekretaris Komisi Imigrasi diubah menjadi Immigratie Dients Dinas imigrasi. Dinas Imigrasi pada masa pemerintahan penjajahan Hindia Belanda berada di bawah Direktur Yustisi. Kebijakan keimigrasian ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda adalah politik pintu terbuka opendeur politiek. Melalui kebijakan ini, pemerintah Hindia Belanda membuka seluas-luasnya bagi orang asing untuk masuk, tinggal, dan menjadi warga Hindia Belanda. Struktur organisasi Dinas Imigrasi pemerintah Hindia Belanda relatif masih sederhana karena lalu lintas kedatangan dan keberangkatan orang asing masih sedikit. Bidang keimigrasian yang ditangani semasa pemerintahan Hindia Belanda hanya 3, yaitu bidang perizinan masuk dan tinggal orang, bidang kependudukan orang asing dan bidang kewarganegaraan. Pada zaman revolusi kemerdekaan 1945-1949 ada empat peristiwa penting terkait dengan keimigrasian yaitu : 1. Repatriasi APWI dan serdadu Jepang, dalam peristiwa ini ditandai dengan pengangkutan eks-APWI dan pelucutan serta pengangkutan serdadu Jepang 8 http:www.imigrasi.go.id , diunduh,22 Desember 2015. khususnya yang berada di Jawa Tengah, kemudian di wilayah lain di Pulau Jawa dan terakhir di wilayah lain di seluruh Indonesia. 2. Kegiatan barter, pembelian senjata dan pesawat terbang. Pada masa ini pula para pejuang sering bepergian ke luar negeri terutama ke Singapura dan Malaysia masih tanpa paspor. 3. Perjuangan diplomasi, diawali dengan penyelenggaran Inter Asian Conference di New Delhi. Dalam kesempatan itu Kementrian Luar Negeri Indonesia akhirnya berhasil mengeluarkan “Surat Keterangan dianggap sebagai paspor” sebagai dokumen perjalanan antar negara yang pertama setelah kemerdekaan bagi misi pemerintah Indonesia yang sah dalam konferensi tersebut. Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh H. Agus Salim ikut memperkenalkan “paspor diplomatik” pemerintah Indonesia kepada dunia internasional. 4. Keimigrasian di Aceh, sejak tahun 1945 telah didirikan kantor imigrasi di 5 kota yang dipimpin oleh Amirudin. Peristiwa cukup penting pada masa ini adalah jawatan imigrasi yang semula berada di bawah Departemen Kehakiman, pada tahun 1947 beralih menjadi di bawah Departemen Luar Negeri. Zaman Republik Indonesia Serikat 1949-1950 merupakan momen puncak dari sejarah pembentukan lembaga keimigrasian Indonesia. Pada era inilah Dinas Imigrasi produk Hindia Belanda diserahterimakan kepada pemerintah Indonesia pada tanggal 26 Januari 1950. Struktur organisasi dan tata kerja serta beberapa produk hukum pemerintah Hindia Belanda terkait keimigrasian masih dipergunakan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan bangsa Indonesia. Kepala Jawatan Imigrasi untuk pertama kalinya dipegang oleh orang asli Indonesia yaitu Mr. H.J. Adiwinata. Struktur organiasi jawatan imigrasi masih sederhana dan berada di bawah koordinasi Menteri Kehakiman. Pada periode transisi ini jawatan imigrasi masih menggunakan pegawai berkebangsaan Belanda. Dari 459 orang yang bekerja di jawatan imigrasi di seluruh Indonesia, 160 orang adalah orang Belanda. Dalam masa yang relatif singkat ini jawatan imigrasi telah menerbitkan tiga produk hukum yaitu : 1. Keputusan Menteri Kehakiman RIS Nomor JZ23912 tanggal 12 Juli 1950 yang mengatur mengenai pelaporan penumpang kepada pimpinan bea cukai apabila mendarat di pelabuhan yang belum ditetapkan secara resmi sebagai pelabuhan pendaratan. 2. Undang-Undang Darurat RIS Nomor 40 tahun 1950 tentang surat perjalanan Republik Indonesia. 3. Undang-Undang Darurat RIS Nomor 42 tahun 1950 tentang bea imigrasi. Era demokrasi parlementer 1950-1960. Pada era ini pemerintah Indonesia mengakhiri kontrak kerja pegawai keturunan Belanda pada akhir tahun 1952. Pada masa ini juga jawatan imigrasi berusaha membuka kantor-kantor dan kantor cabang imigrasi, serta penunjukan pelabuhan-pelabuhan pendaratan yang baru. Pada tanggal 26 Januari 1960 jawatan imgrasi telah berhasil mengembangkan organisasinya dengan pembentukan Kantor Pusat Jawatan Imigrasi di Jakarta, 26 kantor imigrasi daerah, 3 kantor cabang imigrasi, 1 kantor inspektorat imigrasi dan 7 pos imigrasi di luar negeri dengan jumlah total pegawai