Pembagian Waris Menurut Hukum Adat Harta Waris Adat

b Hibah, adalah perbuatan hukum yang dimana seseorang tertentu memberikan sutau barangkekayaan tertentu kepada seseorang yang diingkan, menurut kaidah hukum yang berlaku. Hibah dibagi emnajdi dua yaitu hibah biasa pembagian barang milik seseorang yang langsung diikuti dengan pnyerahan seketika barang, dan hibah wasiat pembagian barang milik seseorang yang tidak selalu diikuti penyerahan seketika itu, juga barang-barang itu kepada yang mendapat barang masing-masing dan abru akan diserahkan apabila si pemberi sudah meninggal dunai. Dengan kata lain hibah wasiat berlaku setelah si pemberi meninggal.

B. Pembagian Waris Menurut Hukum Adat

Dalam hal pembagiannya yaitu anak-anak dan atau keturunannya serta janda, seluruh harta menurut pasal 852 BW harus di bagi sebagai berikut [6] : 1. Apabila anak-anak dari si wafat masih hidup, anak-anak itu dan janda mendapat masing-masing suatu bagian yang sama, misalnya ada 4 anak dan janda maka mereka masing-masing 15 bagian. 2. Apabila salah seorang anak sudah meninggal lebih dahulu, dan ia mempunyai anak jadi cucu dari si peninggal warisan, misalnya 4 cucu, maka mereka semua mendapat 15 bagian selaku pengganti ahli waris plaatsvervulling menurut pasal 842 BW. Jadi masing –masing cucu mendapat 120 bagian. Dalam hal ini tidak diperdulikan apakah anak-anak itu adalah lelaki maupun perempuan, anak tertua atau termuda zonder onderscheid van kunne of eerstegeboorte [7] . Menurut ketentuan Hukum Adat yang berkembang di dalam masyarakat, secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistem pembagianya hukum waris adat terdiri dari tiga sistem, yaitu [8] : 1. Sistem Kolektif, Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalian harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya seperti Minangkabau, Ambon dan Minahasa. 2. Sistem Mayorat, Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso atau perempuan tertua Semendo Sumatra Selatan, anak laki-laki termuda Batak atau perempuan termuda atau anak laki-laki saja. 3. Sistem Individual, berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat di Jawa dan masyarakat tanah Batak. [9]

C. Harta Waris Adat

Harta waris adalah harta yang ditinggalkan atau yang diberikan oleh pewaris kepada warisnya, baik yang dapat dibagi maupun yang tidak dapat dibagi. Harta waris dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu : harta asal, harta pemberian, harta pencaharian, hak dan kewajiban yang diwariskan. 1. Harta asal Harta asal adalah harta yang diperoleh atau dimiliki oleh pewaris sebelum perkawinan yang dibawa kedalam perkawinan, baik harta itu berupa harta peninggalan maupun harta bawaan. Harta peninggalan dapat dibedakan harta peninggalan yang tetap tak terbagi dan harta peninggalan yang dapat dibagi, demikian juga harta bawaan ada harta bawaan di isteri dan harta bawaan suami. Harta peninggalan ada harta peningggalan yang tak terbagi dan harta peninggalan yang dapat dibagi. Dalam pewarisan yang banyak membawa persoalan adalah harta peninggalan yang tak terbagi, karena terhadap harta ini ada seolah-olah waris kehilangang haknya untuk memiliki secara perseorangan atau menguasai secara penuh.Suatu harta peninggalan tidak terbagi dalam hukum adat kita disebabkan karena sifat dan kedudukan dari harta itu. Dalam masyarakat bilateral di Jawa, harta peninggalan dapat menjadi harta peninggalan yang tak terbagi bilamana misalnya seorang janda atau anak- anaknya yang belum dewasa harus mendapat nafkahnya daripadanya dan pemberian nafkah ini tidak akan terjamin bila diadakan pembagian. Di Minangkabau dikenal harta pusaka tinggi seperti rumah gadang, sawah atau peladangan. Dalam masyarakat matrilinial ini harta pusaka adalah kepunyaan kaum dimana ibu sebagai pusat pengusaannya. Harta peninggalan ini tidak mungkin dimiliki secara perseorangan melainkan secara bersama memilikinya bagi para anggota kerabat dari pihak ibu tersebut. Terhadap harta kerabat di Minangkabau atau di Hitu Ambon penguasaannya dipimpin oleh mamak kepala waris di Minangkabau, kepala dati di Hitu. Selain faktor-faktor di atas, harta peninggalan tak terbagi karena harta tersebut hanya diperuntukkan penguasaannya untuk diurus seperti dalam masyarakat patrilinial beralih-beralih di Bali harta peninggalan dikuasai oleh anak laki-laki yang tertua yang menggantikan kedudukan orang tua untuk mengurusi dan memelihara saudara-saudaranya, atau di Semendo yang menganut sistim matrilinial harta peninggalan hanya dikuasai dan diurus, tidak dapat dipindah tangankan, pada umumnya banyak harta peninggalan tetap tinggal tidak dibagi-bagi dan disediakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan materiil keluarga yang ditinggalkan”. R,Soepomo, 1980 : hlm.81. Sedangkan harta peninggalan yang dapat dibagi pada umumnya terdapat pada masyarakat patrilinial di Batak, dan masyarakat bilateral di Jawa, dan tidak menutup kemungkinan di daerah-daerah yang harta peninggalan tersebut di atas karena pergeseran zaman dan merenggangnya sistim kekerabatan harta tersebut dibagi, namun pada prinsipya tidak dapat dibagi. Demikian juga di Semende yang menjadi harta yang tak terbagi atau tetap terbagi-bagi hanya harta tunggu tubang saja, sedangkan harta diluar harta tubang dapat dibagi. Harta yang dapat dibagi biasanya merupakan harta pencaharian atau harta bawaan. Harta bawaan adalah harta yang dimiliki oleh suami atau isteri sebelum perkawinan. Oleh sebab itu dibagi antara harta bawaan suami dan harta bawaan isteri. Harta bawaan itu ada yang terikat dengan kerabat dan ada yang tidak terikat dengan kerabat. Harta bawaan yang terikat dengan kerabat seperti harta pihak suami yang dibawa pihak suami yang dibawa ke tempat kediaman isterinya matrilokal dalam masyarakat matrilinial di Minangkabaum harta yang diberikan kepada anak perempuan selagi masih gadis di Batak yang dibawa menetap di tempat kediaman suaminya patrilokal yang dinamakan tano atau saba bangunan. Harta bawaan yang tidak terikat dengan kerabat, karena harta itu hasil pencaharian si suami selagi masih bujang harta pembujangan, Sumatera Selatan, harta penantian bagi si isteri semasa gadis atau guna kaya di Bali baik harta perempuan ataupun harta laki-laki. Kedua harta ini dalam masyarakat kita mempunyai kedudukan yang berbeda sesuai dengan bentuk masyarakat itu. 2. Harta pemberian Harta pemberian adalah harta yang dimiliki oleh pewaris karena pemberian, baik pemberian dari suami bagi si isteri, pemberian dari orang tua, pemberian kerabat, pemberian orang lain, hadiah-hadiah perkawinan atau karena hibah wasiat. Harta pemberian dibedakan dengan harta asal, sebab harta asal telah ada sebelum perkawinan sedangkan harta pemberian ada setelah perkawinan. Harta pemberian orang tua, dalam beberapa masyarakat terikat dengan kerabat, seperti harta pemberian si bapak kepada anak perempuannya sewaktu gadis ini Batak atau selagi anak tersebut dalam perkawinan saba bangunan, pauseang, indahan arian, bila si isteri ini meninggal dan tidak mempunyai anak, maka harta ini akan kembali pada kerabatnya. Harta pemberian orang lain, seperti pemberian dari teman sekerja. Bila harta pemberian tersebut ditujukan kepada salah satu pihak suami-isteri, sama halnya dengan pemberian kerabat hanya saja motif pemberiannya berbeda. Pemberian kerabat biasanya didasarkan rasa kasihan, welas asih atau tolong-menolong, sedangkan pemberian orang lain karena rasa persahabatan dan sebagainya. 3. Harta pencaharian Harta pencaharian adalah harta yang diperoleh oleh suami-isteri, suami saja atau isteri saja dalam perkawinan karena usaha dari suami-isteri atau salah satu pihak. Secara umum harta yang diperoleh dalam perkawinan adalah harta bersama suami-isteri, tetapi dalam beberapa masyarakat ada harta pencaharian suami saja, atau harta pencaharian si isteri saja disebabkan bentuk perkawinan dan sistim kekerabatannya. Di Minangkabau harta bersama dikenal harta suarang, di Jawa gono-gini, di Kalimantan harta perpantanganm di Bugis dan Makasar dikenal cakkara. Harta bersama dapat bertambah karena harta bawaan, harta pemberian, dan harta lain yang diperuntukkan untuk keluarga yang diberikan tersebut.

D. Hukum Waris Adat Patrilineal