Peta Pengendalian Dan Ukuran Sasaran

KARYA TULIS

PETA PENGENDALIAN DAN UKURAN SASARAN

Disusun Oleh:
Tito Sucipto, S.Hut., M.Si.
NIP. 19790221 200312 1 001

DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2009

Tito Sucipto : Peta Pengendalian Dan Ukuran Sasaran, 2009

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan
keajaiban-Nya sehingga dapat menyelesaikan karya tulis mengenai “Peta
Pengendalian dan Ukuran Sasaran“.
Karya tulis ini berisi tentang gambaran umum mengenai peta pengendalian
dan ukuran sasaran untuk pengendalian kualitas, khususnya produk kayu papan

sambung. Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat memperkaya khasanah
wawasan dan pengetahuan di bidang ilmu dan teknologi kayu.
Tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan saran
dan masukan yang konstruktif demi menyempurnakan karya tulis.

Medan, Desember 2009

Penulis

Tito Sucipto : Peta Pengendalian Dan Ukuran Sasaran, 2009

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................................ ii
Kualitas ........................................................................................................................ 1
Pengendalian Kualitas.................................................................................................. 3
Peta Pengendalian ........................................................................................................ 4
Ukuran Sasaran ............................................................................................................ 7
Referensi ...................................................................................................................... 11


Tito Sucipto : Peta Pengendalian Dan Ukuran Sasaran, 2009

PETA PENGENDALIAN DAN UKURAN SASARAN

Kualitas
Menurut Kamal (2000), bahwa banyak pakar dan organisasi yang mencoba
mendefinisikan kualitas berdasarkan sudut pandangnya, antara lain:
1. Kinerja dari standar yang telah diharapkan oleh pelanggan/tuntutan tugas.
2. Memberikan pelanggan dengan produk dan pelayanan yang dibutuhkan dan
diharapkan.
3. Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang dianggap
merupakan kualitas baik saat ini, mungkin dianggap kurang berkualitas pada
masa mendatang).
4. Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan.
5. Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk,
jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.
Juran seorang pakar total quality management mendefinisikan, bahwa
kualitas adalah kecocokan penggunaan produk (fitness for use) untuk memenuhi
kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Kecocokan penggunaan itu didasarkan pada

lima ciri utama berikut:
1.

Teknologi, yaitu kekuatan atau daya tahan.

2.

Psikologis, yaitu citra rasa atau status.

3.

Waktu, yaitu kehandalan.

4.

Kontraktual, yaitu adanya jaminan.

5.

Etika, yaitu sopan santun, ramah atau jujur.

Kecocokan penggunaan suatu produk adalah apabila produk mempunyai

daya tahan penggunaan yang lama, meningkatkan citra atau status konsumen yang
memakainya, tidak mudah rusak, adanya jaminan kualitas (quality assurance) dan
sesuai etika. Khusus untuk bidang jasa diperlukan pelayanan kepada pelanggan
yang ramah, sopan, serta jujur sehingga dapat menyenangkan atau memuaskan
pelanggan (Nasution, 2001).
Montgomery (1990), menyatakan ada tiga ciri kualitas yaitu:
1. Fisik; panjang, lebar, tebal dan berat.

Tito Sucipto : Peta Pengendalian Dan Ukuran Sasaran, 2009

2. Indera; penampilan, warna.
3. Orientasi waktu; keandalan (dapat dipercaya), dapatnya dipelihara dan dirawat.
Menurut Nasution (2001), tidak ada definisi mengenai kualitas yang
diterima secara universal, namun memiliki persamaan dalam elemen-elemen
sebagai berikut:
1. Kualitas mencakup usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
2. Kualitas mencakup produk, jasa manusia, proses dan lingkungan.
3. Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang dianggap

merupakan kualitas saat ini mungkin dianggap kurang berkualitas pada masa
mendatang).
Feigenbaum (1992), mendefinisikan bahwa kualitas produk adalah
keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa,
pembuatan dan pemeliharan yang membuat produk dan jasa yang digunakan
memenuhi

harapan-harapan pelanggan. Nasution (2001), menambahkan bahwa

kualitas dapat dipandang dari dua sudut yaitu dari sudut manajemen operasional
dan manajemen pemasaran. Kualitas produk merupakan salah satu faktor penting
dalam meningkatkan daya saing produk, selain biaya produksi yang menentukan
harga jual produk dan ketepatan waktu produksi yang menentukan kemampuan
dalam pendistribusian produk dalam waktu yang tepat.
Menurut Nasution (2001), ada tiga bagian kualitas produk yang harus
diperhitungkan oleh industri, yaitu:
1. Kualitas desain, yaitu memenuhi keinginan dan harapan dan secara ekonomis
layak untuk diproduksi.
2. Kualitas konformitas (conformance), yaitu memenuhi spesifikasi yang telah
ditentukan.

3. Kualitas pemasaran dan pelayanan purna jual.
Peningkatan kualitas merupakan aktivitas teknik dan manajemen, melalui
pengukuran karakteristik kualitas produk, kemudian membandingkan hasil
pengukuran itu dengan spesifikasi produk yang diinginkan pelanggan, serta
mengambil tindakan peningkatan yang tepat apabila ditemukan perbedaan di
antara kinerja aktual dan standar (Gaspersz, 2001).

Tito Sucipto : Peta Pengendalian Dan Ukuran Sasaran, 2009

Pengendalian Kualitas
Tuntutan konsumen akan kualitas terus meningkat, dan kecenderungan ini
kiranya akan diperkuat oleh tekanan persaingan di masa datang. Teknologi baru
telah memungkinkan produk memberikan fungsi lebih baik dan tingkat
penampilan yang lebih tinggi (Montgomery, 1990).
Pengendalian kualitas adalah mengembangkan, mendesain, memproduksi
dan memberikan jasa produk berkualitas yang paling ekonomis, paling berguna,
dan selalu memuaskan bagi konsumen (Ishikawa, 1992). Tujuan pengendalian
kualitas menurut Montgomery (1990) adalah untuk mencegah terjadinya barang
bercacat, memenuhi suatu standar tertentu.
Menurut Grant dan Leavenworth (1989) dalam Sucipto (2002), ruang

lingkup pengendalian kualitas dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Pengendalian kualitas terhadap bahan baku dengan menggunakan metode
cuplikan keterimaan (acceptence sampling).
2. Pengendalian kualitas selama proses produksi dengan menggunakan metode
pengambilan cuplikan (sampling) sewaktu-waktu, penetapan ukuran sasaran
(target size) dan pembuatan peta pengendalian (control chart).
3. Pengendalian kualitas terhadap produk dengan menggunakan metode cuplikan
keterimaan (acceptance sampling).
Ruhendi (1986) menyatakan secara umum metode-metode yang digunakan
dalam pengendalian kualitas dapat digolongkan ke dalam dua golongan yakni
dengan

menggunakan

peta

pengendalian

(control


chart)

dan

dengan

menggunakan metode cuplikan keterimaan (acceptance sampling).
Grant dan Leavenworth (1989) dalam Sucipto (2002) menyatakan bahwa
metode keterimaan (acceptance sampling) merupakan metode berupa penerimaan
atau penolakan suatu partai barang hasil proses produksi yang didasarkan atas
kualitas rata-rata yang terkandung pada contoh barang tersebut yang diambil
secara acak dari seluruh partai. Barang yang diperiksa berupa barang yang sudah
jadi, sehingga cuplikan keterimaan merupakan pengendalian kualitas secara tidak
langsung. Lain halnya dengan peta pengawasan, dapat dilihat titik-titik yang
berada di luar batas pengawasan bisa ditelusuri penyebabnya, sehingga titik
tersebut menjadi terkendali. Prosedur cuplikan keterimaan dapat digunakan untuk

Tito Sucipto : Peta Pengendalian Dan Ukuran Sasaran, 2009

mengklarifikasikan partai barang, baik atau buruk (ciri kualitas atribut) atau

membuat beberapa macam pengukuran yang menunjukkan baik atau buruknya
partai (ciri kualitas variabel).
Menurut Ruhendi (1986), metode cuplikan keterimaan (acceptance
sampling) digunakan dalam keadaan:
1. Kemungkinan cacat artikel tidak besar dan biaya yang digunakan cukup besar
untuk pengawasan.
2. Membutuhkan pengawasan tentang kekuatan dari artikel-artikel yang
diproduksi, misalnya menentukan kekuatan tarik atau kekuatan pukul.
3. Kemungkinan untuk mengendalikan beberapa macam cacat atau keadaan fisik
dari artikel yang diproduksi.
Menurut Ariani (2004), ada beberapa keunggulan dan kelemahan cuplikan
keterimaan (acceptance sampling). Keunggulannya antara lain:
1. Lebih murah.
2. Dapat meminimalkan kerusakan dan perpindahan tangan.
3. Mengurangi kesalahan dalam inspeksi.
4. Dapat memotivasi pemasok bila ada penolakan bahan baku.
Sementara kelemahannya antara lain:
1. Adanya risiko peneriman produk cacat atau penolakan produk baik.
2. Sedikitnya informasi mengenai produk.
3. Membutuhkan perencanaan dan pendokumentasian prosedur pengambilan

sampel.
4. Tidak adanya jaminan mengenai sejumlah produk tertentu yang akan
memenuhi spesifikasi.

Peta Pengendalian
Peningkatan kualitas produk dapat menggunakan metode pengendalian
kualitas yaitu peta pengendalian (control chart) dan ukuran sasaran (target size).
Peta pengendalian digunakan agar produk yang dihasilkan tetap terjamin
kualitasnya dan penentuan ukuran sasaran digunakan agar ukuran produk akhir
yang didapat sesuai dengan yang diharapkan. Menurut Montgomery (1990), peta
pengendalian merupakan peragaan grafik suatu karakteristik kualitas yang telah

Tito Sucipto : Peta Pengendalian Dan Ukuran Sasaran, 2009

diukur atau dihitung dari sampel terhadap nomor sampel atau waktu.

Peta

tersebut memuat tiga garis mendatar yaitu garis tengah, batas pengendali atas
(BPA) dan batas pengendali bawah (BPB). Gaspersz (2001), menambahkan

bahwa penggunaan peta pengendalian harus efektif untuk pengendalian proses,
sehingga upaya peningkatan proses terus menerus yang telah menjadi komitmen
manajemen organisasi dapat sukses.
Pengendalian kualitas merupakan teknik penyelesaian masalah yang
digunakan

sebagai

pemonitor,

pengendali,

penganalisis,

pengelola

dan

memperbaiki proses (Ariani, 2004). Peta pengendalian yang digunakan ada dua
yaitu peta pengendalian nilai tengah (X) dan peta pengendalian selang (R). Kedua
peta pengendalian ini merupakan dua peta pengendali yang saling membantu
dalam mengambil keputusan mengenai kualitas proses.
Menurut Gaspersz (2001), peta pengendalian dapat digunakan untuk:
1. Menentukan apakah suatu proses berada pada pengendalian. Dengan demikian
peta pengendalian digunakan untuk mencapai suatu keadaan terkendali, semua
nilai-nilai rata-rata dan kisaran dari sub-sub kelompok (sub groups) contoh
berada pada batas-batas pengendalian (control limit), maka itu variasi
penyebab-khusus menjadi tidak ada lagi dalam proses.
2. Memantau proses terus menerus sepanjang waktu agar proses tetap stabil
secara statistik dan hanya mengandung variasi penyebab umum.
3. Menentukan kemampuan proses (process capability) setelah proses dalam
pengendalian, batas-batas dari variasi proses dapat ditentukan.
Montgomery (1990) menyatakan bahwa pada dasarnya, peta pengendalian
memiliki tiga garis mendatar yaitu:
1. Batas pengendali atas (BPA).
2. Garis tengah yang merupakan nilai rata-rata karakteristik kualitas yang
berkaitan dengan keadaan terkontrol (yakni, hanya sebab-sebab yang tak
tersangka).
3. Batas pengendali bawah (BPB).
Grant dan Leavenworth (1989) dalam Sucipto (2002) menyatakan bahwa
jarak antara batas atas dan batas bawah disebut juga batas pengawasan yaitu batas
maksimum dan batas minimum bagi penyimpangan proses produksi yang masih

Tito Sucipto : Peta Pengendalian Dan Ukuran Sasaran, 2009

dianggap wajar. Selama produk berada dalam batas-batas pengawasan tersebut,
maka proses produksi dinyatakan dalam keadaan terkendali. Begitu juga
sebaliknya jika proses produksi keluar dari batas pengawasan, maka proses
produksi tersebut mempunyai tingkat keragaman yang tinggi atau proses produksi
dalam keadaan tidak terkendali, sehingga perlu dicari faktor-faktor penyebabnya
untuk diperbaiki.
Batas pengawasan yang sering digunakan adalah 3σ dan 2σ. Batas 3σ
adalah batas tindakan sedangkan batas 2σ merupakan batas peringatan. Menurut
Wignjosoebroto (2002), batas pengendali atas dan batas pengendali bawah dalam
hal ini nilainya diambil 3σ terhadap nilai rata-rata ukuran yang ada. Daerah 3σ
bisa dikatakan 99,37 % berada dalam batas pengendali atas dan batas pengendali
bawah (daerah penerima).
Suatu proses produksi berada dalam keadaan terkendali apabila:
1. Dari 25 titik berturut-turut tidak ada yang terletak di luar batas pengendalian.
2. Dari 35 titik, hanya ada satu titik yang diperbolehkan keluar dari batas
pengendalian.
3. Dari 100 titik, hanya ada dua titik yang diperbolehkan keluar dari batas
pengendalian.
Bila garis pusat yang dijadikan rujukan, suatu proses dianggap tidak terkendali
apabila:
1. Dari 7 titik berurutan pada bagan kendali, semuanya berada pada sisi yang
sama dari garis pusat.
2. Dari 11 titik berurutan pada bagan kendali, sedikitnya 10 titik berada pada sisi
yang sama dari garis pusat.
3. Dari 17 titik berurutan pada bagan kendali, sedikitnya 14 titik berada pada sisi
yang sama dari garis pusat.
4. Dari 20 titik berurutan pada bagan kendali, sedikitnya 16 titik berada pada sisi
yang sama dari garis pusat.
Montgomery (1990) menyatakan bahwa proses produksi dikatakan tidak
terkendali apabila memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Satu atau beberapa titik berada di luar batas pengendalian.

Tito Sucipto : Peta Pengendalian Dan Ukuran Sasaran, 2009

2. Suatu giliran dengan paling sedikit tujuh/delapan titik, dengan macam giliran
dapat berbentuk giliran naik/turun, giliran di bawah/atas garis pusat, atau
giliran di bawah/atas median.
3. Pola tak biasa atau tak random dalam data.
4. Satu atau beberapa titik dekat dengan batas pengendalian.

Ukuran Sasaran
Ukuran sasaran merupakan ukuran bahan baku yang harus ditetapkan agar
ukuran akhir produk yang dihasilkan sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Adanya ukuran sasaran maka diharapkan produk yang dihasilkan akan seragam
dan juga dapat meningkatkan rendemen. Ukuran yang tepat diperoleh dengan
bantuan operator yang memiliki keterampilan yang tinggi dan alat yang baik.
Produk yang mempunyai ukuran yang sesuai dengan ukuran sasaran
menyebabkan konsumen tidak beralih perhatian kepada perusahaan lain. Karena
dengan adanya ketepatan ukuran maka tidak terjadi pemborosan bahan baku dan
dapat meningkatkan kualitas produk papan sambung, karena ukuran dimensi akhir
yang diperoleh sesuai dengan ukuran standar dimensi akhir yang diinginkan.
Ruhendi (1986) menyatakan bahwa untuk memperoleh ukuran yang tepat maka
diperlukan adanya operator yang punya pengalaman yang cukup, mempunyai
inteligensia yang tinggi dan menyenangi pekerjaannya.
Ukuran sasaran adalah ukuran kayu yang ditetapkan untuk dihasilkan oleh
mesin agar ukuran akhir yang diinginkan tidak mengalami kekurangan ukuran
(under size) maupun kelebihan ukuran (over size). Penentuan ukuran sasaran
suatu program yang sangat penting karena akan memberikan ukuran yang
homogen dan memperbaiki rendemen terutama pada kayu yang berukuran kecil.
Berdasarkan dari data-data yang diperoleh didapat bahwa nilai Sw dan Sb pada
dimensi panjang, lebar dan tebal dari satu tempat dengan tempat lainnya
sepanjang produk cukup beragam.

Menurut Whitehead (1978) dalam Saleh

(1993), besarnya nilai Sw dapat disebabkan oleh kondisi kelurusan mesin,
ketepatan mesin dan kecepatan pengumpanan. Sedangkan nilai Sb disebabkan
oleh keadaan operator dan pengaturan setwork.

Tito Sucipto : Peta Pengendalian Dan Ukuran Sasaran, 2009

Priasukmana et al (1989) dalam Sucipto (2002) menyatakan bahwa ukuran
sasaran kayu dapat didefinisikan sebagai ukuran kayu yang ditetapkan untuk
dihasilkan oleh mesin gergaji di sawmill agar ukuran akhir yang diinginkan tidak
mengalami kekurangan ukuran maupun kelebihan ukuran.

Ukuran sasaran

dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu ukuran akhir, tebal penyerutan, tebal
penyusutan dan keragaman keratan total.
1. Ukuran akhir (final size)
Ukuran akhir kayu gergajian hendaknya tepat seperti ukuran standar yang
di minta. Ukuran yang kurang dapat menyebabkan produk tersebut ditolak oleh
konsumen, sedangkan ukuran yang lebih berarti pemborosan bahan baku.
2. Spilasi penyusutan (shrinkage allowance)
Spilasi perlu ditambahkan pada kayu yang digergaji dalam keadaan basah
karena kayu akan menyusut di bawah kadar air 30% (titik jenuh serat).
Penyusutan tersebut akan terjadi pada arah longitudinal, radial dan tangensial.
Nilai penyusutan pada arah longitudinal berkisar 0,1-0,2 % dalam arah radial
angka penyusutan bervariasi 2,1-8,5 %, sedangkan dalam arah tangensial angka
penyusutan lebih kurang dua kali angka penyusutan radial yaitu bervariasi
4,3-14 % (Dumanauw, 1990).
Perhitungan spilasi penyusutan didasarkan atas penyusutan pada arah
tangensial (% ST), karena penyusutan pada arah ini adalah penyusutan yang
paling besar.

Perhitungan besarnya penyusutan dari basah ke kering tanur

menggunakan rumus:
Penyusutan (%) =

30 − Kadar air pemakaian
x % ST
30

3. Spilasi penyerutan (planing allowance)
Spilasi penyerutan yang dipakai untuk menentukan ukuran sasaran adalah
total serat kayu yang dipindahkan atau hilang akibat penyerutan. Dengan kata
lain, toleransi tebal bagi penyerutan yang dimaksud adalah sejumlah kayu yang
hilang akibat penyerutan yaitu di sisi atas, bawah dan samping. Hal ini berlaku
juga bila kayu diampelas.
4. Keragaman keratan (sawing variation)

Tito Sucipto : Peta Pengendalian Dan Ukuran Sasaran, 2009

Ukuran tebal atau lebar kayu gergajian bervariasi pada arah memanjang.
Hal ini disebut keragaman ukuran di dalam papan (within board variation) yang
diberi notasi Sw. Ukuran tersebut bervariasi juga diantara papan satu dengan
papan yang lainnya (between board variation) yang diberi notasi Sb. Keragaman
keratan total (total sawing variation) atau St dibentuk secara bersamaan oleh Sw
dan Sb. Dengan menggunakan nilai simpangan baku maka ukuran sasaran dapat
ditetapkan dengan menggunakan rumus:
T=

F+P
+ (Z x S t )
1 − S h / 100

Keterangan:
T = tebal sasaran; F = tebal akhir; P = tebal penyerutan; Sh = persen susut; Z =
faktor ukuran kurang = 1,65 (taraf nyata 5 %); St = keragaman keratan total
Tahapan perhitungan untuk menentukan ukuran sasaran adalah:
a. Menentukan persen penyusutan tangensial (% ST) menggunakan rumus:
% ST =

Dimensi awal − Dimensi akhir
x 100 %
Dimensi awal

Keterangan:
% ST

= persen penyusutan tangensial.

Dimensi awal

= rata-rata dimensi (panjang, lebar, tebal) sebelum dioven

Dimensi akhir

= rata-rata dimensi (panjang, lebar, tebal) setelah dioven

b. Menentukan nilai persen susut menggunakan rumus:
Penyusutan (%) =

30 − Kadar air pemakaian
x % ST
30

Keterangan:
Sh

= persen susut

30 %

= kadar air pada saat titik jenuh serat (TJS)

KA pemakaian

= kadar air contoh uji papan sambung

% ST

= persen penyusutan tangensial

c. Menentukan keragaman keratan dalam produk (Sw) menggunakan rumus:
Sw = Rw/d2
Keterangan:
Sw = keragaman keratan dalam produk.

Tito Sucipto : Peta Pengendalian Dan Ukuran Sasaran, 2009

Rw = kisaran dalam produk yaitu perbedaan nilai ukuran terbesar dan terkecil
dari enam/tiga titik pengukuran.
Rw = rata-rata kisaran dalam produk, yaitu nilai rata-rata dari 100 Rw
d2

= 2,534 untuk n = 6 (ulangan pengukuran dimensi tebal)

d2

= 1,693 untuk n = 3 (ulangan pengukuran dimensi lebar)

d. Menentukan nilai keragaman keratan antar produk (Sb) menggunakan rumus:
S b = ( Rb / d 2 ) 2 − ( S w ) 2 / n

Keterangan:
Sb

= keragaman keratan antar produk

Rb = kisaran antar produk, yaitu perbedaan nilai ukuran terbesar dan terkecil
dari 100 contoh uji produk
Rb

= rata-rata kisaran antar produk, yaitu nilai rata-rata dari 6 Rb atau 3 Rb

d2

= 3,078 untuk n = 10 (anak kelompok)

Sw = keragaman keratan dalam produk papan sambung
n

= 6 (ulangan pengukuran pada dimensi tebal)

N

= 3 (ulangan pengukuran pada dimensi lebar)

e. Menentukan nilai keragaman total (St) menggunakan rumus:
S t = (S w ) + (S b ) 2

Keterangan:
St

= keragaman total

Sw = keragaman keratan dalam produk papan sambung
Sb

= keragaman keratan antar produk papan sambung

f. Menentukan nilai ukuran sasaran (target size) menggunakan rumus:
T=

F+P
+ (Z x S t )
1 − S h / 100

Keterangan:
T = tebal sasaran; F = tebal akhir; P = tebal penyerutan; Sh = persen susut; Z =
faktor ukuran kurang = 1,65 (taraf nyata 5 %); St = keragaman keratan total
St = keragaman keratan total

Tito Sucipto : Peta Pengendalian Dan Ukuran Sasaran, 2009

Referensi

Ariani DW. 2004. Pengendalian Kualitas Statistik. Andi. Yogyakarta.
Feigenbaum, A. V. 1992. Kendali Kualitas Terpadu. Terjemahan. Jilid I. Edisi
III. Erlangga. Jakarta.
Gaspersz, V.

2001.

Metode Analisis Untuk Peningkatan Kualitas.

PT.

Gramedia. Jakarta.
Grant dan Leavenworth. 1996. Pengendalian Kualitas Statistis. Jilid I. Edisi VI.
Erlangga. Jakarta.
Ishikawa, K. 1992. Pengendalian Kualitas Terpadu. Terjemahan. PT. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Kamal, A. 2000. Pemahaman dan Penerapan TQM di Lingkungan Tugas. http://
buletin. Ditkesad. info/ modules. Php? name=news & file=print & sid=12 .
Montgomery, DC. 1990. Pengantar Pengendali Kualitas. Terjemahan. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Nasution, MN. 2001. Manajemen Kualitas Terpadu. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Ruhendi, S. 1986. Diktat Penggergajian. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Samosir, EDS. 2005. Penggunaan Peta Pengendalian Dan Ukuran Sasaran Untuk
Peningkatan Kualitas Papan Sambung Kayu Karet (Studi Kasus di PT.
Inkamex Makmur Tebing Tinggi). [Skripsi] Departemen Kehutanan
Fakultas Pertanian USU. Medan.
Saleh, M. 1993. Penentuan Ukuran Sasaran (Target Size) dan Studi Kasus
Produk Industri Moulding PT. Inhutani Bekasi-Jawa Barat. Skripsi Jurusan
Teknologi Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Sucipto, T. 2002. Upaya Peningkatan Akurasi Dimensi Produk Papan Sambung
(Studi Kasus di PT. Albasi Parahyangan Banjar Jawa Barat). [Skripsi]
Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Wignjosoebroto, S. 2002. Pengantar Teknik dan Mananjemen Industri. Edisi
Pertama. ITSP. Surabaya.

Tito Sucipto : Peta Pengendalian Dan Ukuran Sasaran, 2009