MODEL PENURUNAN PONDASI KONSTRUKSI SARANG LABA-LABA DIMODIFIKASI DENGAN PERKUATAN TANAH LUNAK MENGGUNAKAN PASIR PADAT

(1)

(2)

ABSTRAK

MODEL PENURUNAN PONDASI KONSTRUKSI SARANG LABA-LABA DIMODIFIKASI DENGAN PERKUATAN TANAH LUNAK

MENGGUNAKAN PASIR PADAT Oleh

NURDIN

Penggunaan tangki timbun sangat luas di industri, terutama industri perminyakan. Pengolahan minyak mentah menggunakan tangki timbun sebagai sarana penyimpanan. Permasalahan yang terjadi pada tangki antara lain terjadinya kebocoran, oleh karena itu perlu adanya perbaikan rancangan tangki. Perancangan dan model pondasi yang digunakan untuk mendukung tangki mengalami perubahan sesuai kebutuhan dan menjadi target utama dalam peningkatan efisiensi dan keamanan tangki serta mampu memberikan informasi yang akurat terhadap kinerja tangki yang ada diatas pondasi. Karena itu penggunaan sistem pondasi konstruksi sarang laba-laba (KSLL) diharapkan mampu memenuhi kebutuhan daya dukung dalam kapasitas besar. Pemilihan sistem pondasi yang digunakan pada dasarnya merupakan studi alternatif ekonomis.

Pada penelitian ini sampel tanah yang diuji adalah tanah lempung lunak yang berasal dari Karang Anyar, Kabupaten Lampung Selatan yang dilakukan pengujian fisik tanah dilanjutkan dengan membuat pemodelan pondasi KSLL dimodifikasi dengan menghitung penurunan pondasi secara analisis dan melakukan pemodelan menggunakan plaxis.

Berdasarkan hasil perhitungan didapat daya dukung pondasi KSLL (qa) sebesar 261,5395 t/m2. Hasil pengujian model didapatkan penurunan pondasi

maksimumnya sebesar 6,9 mm sedangkan penurunan rata-ratanya terjadi sebesar 6,6 mm. Hasil penurunan menggunakan plaxis didapat penurunan total KSLL sebesar 49,859 cm sedangkan dari hasil penurunan dengan menggunakan pasir padat didapat penurunan total sebesar 19,98 cm.


(3)

(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR NOTASI ... xix

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Batasan Masalah ... 4

D. Tujuan Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konstruksi Sarang Laba-Laba ... 5

B. Keistimewaan Bentuk Konstruksi dan Bentuk Pondasi Sarang Laba-Laba ... 8

C. Tanah... 13

D. Klasifikasi Tanah ... 15

E. Tanah Lempung ... 23

F. Klasifikasi Pondasi... 29

G. Daya Dukung Pondasi... 30

H. Penurunan (Settelment) ... 32

I. Metode Soft Soil (Plaxis) ... 36

J. Metode Analisis Kekakuan Pondasi Pelat ... 46

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan Penelitian ... 49

B. Metode Pengambila Sampel Penelitian ... 49

C. Data Penelitian ... 49

D. Pelaksanaan Pengujian ... 50

1. Uji Kadar Air ... 51


(7)

3. Uji Batas Atterberg

a. Batas Cair (Liquid Limit) ... 53

b. Batas Plastis (Plastic Limit) ... 55

4. Uji Analisa Saringan ... 56

5. Uji Berat Volume ... 57

6. Uji Geser Langsung ... 58

7. Uji Konsolidasi ... 60

E. Metode Pemodelan Pondasi KSLL ... 61

F. Analisis Hasil Penelitian ... 65

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengujian Sampel Tanah Asli ... 67

B. Hasil Pengujian Sampel Tanah Distabilisasi ... 72

C. Klasifikasi Tanah Asli ... 77

D. Hasil Penurunan Pondasi KSLL Dimodifikasi ... 80

E. Menghitung Penurunan Pondasi KSLL ... 82

F. Menghitung Penurunan Pondasi KSLL G. Analisa Pemodelan dengan PLAXIS ... 92

V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 101

B. Saran ... 102 DAFTAR PUSTAKA


(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penggunaan tangki timbun sangat luas di industri, terutama industri perminyakan. Pengolahan minyak mentah menggunakan tangki timbun sebagai sarana penyimpanan. Permasalahan yang terjadi pada tangki adalah terkait dengan rancangan awal seperti terjadinya kebocoran, sedangkan masa pakai masih lama, oleh karena itu perlu adanya perbaikan rancangan tangki. PT. PERTAMINA selaku pengguna dan pengelola tangki timbun BBM yang ada di Provinsi Lampung khususnya, hal ini tentunya menjadi salah satu prioritas dalam meningkatkan sarana dan prasarana.

Sebagian besar tangki timbun yang ada saat ini memiliki kapasitas yang cukup besar dengan rata-rata tampungan sebesar 10.000 kilo liter. Dalam perkembangannya, perancangan dan model pondasi yang digunakan untuk mendukung tangki mengalami perubahan sesuai kebutuhan. Kebutuhan yang diinginkan dan menjadi target utama adalah peningkatan efisiensi dan keamanan tangki serta mampu memberikan informasi yang akurat terhadap kinerja tangki yang ada diatas pondasi.

Salah satu kendala terbesar yang dihadapi dalam perancangan konstruksi tangki timbun adalah tidak adanya keseragaman struktur atau pedoman teknis


(9)

tentang pola perencanaan dan perancangan yang ditetapkan. Satu hal yang tak kalah pentingnya adalah peningkatan kemampuan dari sisi keselamatan konstruksi tangki baik dari bahaya kegagalan konstruksi maupun bahaya kebakaran akibat kebocoran yang tidak terdeteksi.

Secara umum, pondasi dapat didefinisikan sebagai suatu bagian dari konstruksi bangunan yang berfungsi untuk menempatkan bangunan dan meneruskan beban yang disalurkan dari struktur atas ke tanah dasar pondasi yang cukup kuat menahannya tanpa terjadinya keruntuhan geser tanah dan

differential settlement pada sistem strukturnya.

Pemilihan jenis pondasi merupakan salah satu tahap penting dalam perencanaan sebuah bangunan. Pondasi konstruksi sarang laba-laba merupakan sistem pondasi dangkal yang lebih kaku dan hemat, bila dilhat dari segi materialnya. Kelebihan lain dari sistem ini merupakan daya tahan horizontal yang cukup bagus. Karena mempunyai kestabilan yang baik, dimana bila ada gerakan kearah horizontal sistem ini dapat ditahan oleh tahanan samping, dimana tekanan samping dari sistem ini cukup besar. Pondasi KSLL berbeda dengan dengan sistem konvensional seperti pondasi telapak atau pondasi rakit, di mana KSLL sangat kaku dalam memikul beban lentur, sehingga meminimalkan potensidifferensial settlement. Kelebihan inilah yang membuat KSLL lebih andal untuk digunakan pada kondisi tanah lunak maupun ekspansif.

Oleh karena itu penggunaan sistem pondasi konstruksi sarang laba-laba (KSLL) diharapkan mampu memenuhi kebutuhan daya dukung dalam


(10)

kapasitas besar. Pemilihan sistem pondasi yang digunakan pada dasarnya merupakan studi alternatif ekonomis.

Dalam penelitian (skripsi) ini yang menjadi dasar atau pijakan pemikiran yang digunakan adalah dengan membuat model pondasi kemudian melakukan uji kemampuan pondasi konstruksi pondasi sarang laba-laba dimodifikasi untuk mengetahui daya dukung dan penurunan pondasi pada tanah lunak menggunakan pasir padat yang diharapkan mampu meningkatkan daya dukung tanah dan memperkecil penurunan (settelment) yang terjadi untuk memberikan informasi dari hasil modifikasi.

Pada penelitian ini sampel tanah yang diuji adalah tanah lempung lunak yang berasal dari daerah Karang Anyar, Kabupaten Lampung Selatan yang kemudian dilakukan pengujian sampel tanah asli dan sampel tanah yang distabilisasi meliputi uji kadar air, uji berat jenis, uji berat volume, uji batas atterberg, uji analisa saringan,uji geser langsung dan uji konsolidasi.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya kapasitas daya dukung pondasi dan penurunan tanah dengan pemodelan pondasi konstruksi sarang laba-laba (KSLL) pada tanah lunak menggunakan pasir padat yang dimodifikasi untuk (studi kasus pemodelan pada tangki bbm) yang diharapkan mampu meningkatkan daya dukung tanah dan memperkecil penurunan yang terjadi demi tercapainya efisiensi dan efektifitas stuktur pada pondasi laba - laba tersebut.


(11)

C. Batasan Masalah

Adapun batasan - batasan masalah dalam pembahasan tugas akhir ini adalah sebagai berikut :

1. Menentukan model rancangan dan dimensi pondasi konstruksi laba - laba (KSLL) dimodifikasi.

2. Menganalisa dan menghitung perubahan penurunan (settelment) pondasi konstruksi laba - laba dimodifikasi.

3. Melakukan pemodelan yang dimodifikasi dengan skala laboratorium. 4. Melakukan pengujian untuk mengetahui deformasi dan perubahan

penurunan (settelment) pondasi konstruksi laba - laba dimodifikasi.

5. Melakukan perhitungan penurunan secara manual sebagai bahan perbandingan pengujian penurunan.

6. Melakukan pemodelan menggunakan PLAXIS.

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui kapasitas daya dukung tanah pondasi melalui uji pemodelan pondasi KSLL dimodifikasi.

2. Untuk mengetahui penurunan (settelment) yang terjadi pada pondasi tersebut.

3. Mengetahui Efisiensi penurunan dengan menggunakan pasir padat.

4. Mendapatkan model pondasi yang sesuai untuk mampu mendukung beban cairan dengan kapasitas besar ditinjau dari hasil perencanaan.


(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konstruksi Sarang Laba - Laba

Pondasi KSLL merupakan kombinasi konstruksi bangunan bawah konvensional yang merupakan perpaduan pondasi plat beton pipih menerus yang di bawahnya dikakukan oleh rib-rib tegak yang pipih tinggi dan sistem perbaikan tanah di antara rib-rib. Kombinasi ini menghasilkan kerja sama timbal balik yang saling menguntungkan sehingga membentuk sebuah pondasi yang memiliki kekakuan (rigidity) jauh lebih tinggi dibandingkan sistem pondasi dangkal lainnya.

Konstruksi Sarang Laba-Laba (KSLL) ditemukan pada tahun 1976 oleh Ir.Ryantori dan Ir. Sutjipto dari ITS dan telah dikembangkan bersama pakar Instut Teknologi Bandung pada tahun 1996. Kemudian paten perbaikannya tahun 2004 dengan Nomor Paten: ID 0018808 dipegang oleh PT. Katama Suryabumi sebagai pemegang paten dan pelaksana khusus Pondasi Konstruksi Sarang Laba-laba.

KSLL merupakan sistempondasi dangkal yang lebih kaku dan hemat, bila dilihat dari segi materialnya. Kelebihan lain dari sistem ini merupakan daya tahan horizontal yang cukup bagus. Karena mempunyai kestabilan yang baik, dimana bila ada gerakan kearah horizontal sistem ini dapat ditahan oleh


(13)

tahanan samping, dimana tekanan samping dari sistem ini cukup besar. Konstruksi sarang laba - laba lebih dikenal dengan sebutan pondasi rakit (raft foundation).

Pondasi laba - laba ini memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan pondasi konvensional yang lain diantaranya yaitu memiliki kekuatan lebih baik dengan penggunaan bahan bangunan yang hemat dibandingkan dengan pondasi rakit (full plate) lainnya, mampu memperkecil penurunan bangunan karena dapat membagi rata kekuatan pada seluruh pondasi dan mampu membuat tanah menjadi bagian dari struktur pondasi, berpotensi digunakan sebagai pondasi untuk tanah lunak dengan mempertimbangkan penurunan yang mungkin terjadi dan tanah dengan sifat kembang susut yang tinggi, menggunakan lebih sedikit alat-alat berat dan bersifat padat karya, waktu pelaksanaan yang relatif cepat dan dapat dilaksanakan secara industri (pracetak), lebih ekonomis karena terdiri dari 80% tanah dan 20% beton bertulang dan yang paling penting adalah ramah lingkungan karena dalam pelaksanaan hanya menggunakan sedikit menggunakan kayu dan tidak menimbulkan kerusakan bangunan serta tidak menimbulkan kebisingan disekitarnya.


(14)

Pada dasarnya pondasi laba - laba bertujuan untuk memperkaku sistem pondasi itu sendiri dengan cara berinteraksi dengan tanah pendukungnya. Seperti diketahui bahwa jika pondasi semakin fleksibel, maka distribusi tegangan/stress tanah yang timbul akan semakin tidak merata, terjadi konsentrasi tegangan pada daerah beban terpusat. Dan sebaliknya, jika pondasi semakin kaku/rigid, maka distribusi tegangan/stress tanah akan semakin merata. Hal ini mempengaruhi kekuatan pondasi dalam hal penurunan yang dialami pondasi.

Sesuai dengan definisinya, maka konstruksi laba - laba terdiri dari 2 bagian konstruksi, yaitu :

1. Konstruksi beton

1. Konstruksi beton pondasi KSLL berupa pelat pipih menerus yang dibawahnya dikakukan oleh rib - rib tegak yang pipih tetapi tinggi. 2. Ditinjau dari segi fungsinya, rib - rib tersebut ada 3 macam yaitu rib

konstruksi, rib settlement dan rib pengaku.

3. Bentuknya bisa digambarkan sebagai kotak raksasa yang terbalik (menghadap kebawah).

4. Penempatan / susunan rib - rib tersebut sedemikian rupa, sehingga denah atas membentuk petak - petak segitiga dengan hubungan yang kaku (rigid).

2. Perbaikan tanah / pasir

a. Rongga yang ada diantara rib - rib / di bawah pelat diisi dengan lapisan tanah / pasir yang memungkinkan untuk dipadatkan dengan sempurna.


(15)

b. Untuk memperoleh hasil yang optimal, maka pemadatan dilaksanakan lapis demi lapis dengan tebal tiap lapis tidak lebih dari 20 cm, sedangkan pada umumnya 2 atau 3 lapis teratas harus melampaui batas 90% atau 95% kepadatan maksimum (Standart Proctor). Adanya perbaikan tanah yang dipadatkan dengan baik tersebut dapat membentuk lapisan tanah seperti lapisan batu karang sehingga bisa memperkecil dimensi pelat serta rib - ribnya. Sedangkan rib - rib serta pelat KSLL merupakan pelindung bagi perbaikan tanah yang sudah dipadatkan dengan baik.

B. Keistimewaan Sistem Konstruksi dan Bentuk Pondasi Sarang Laba - Laba

Keistimewaan pondasi KSLL dapat dilihat dari aspek teknis, ekonomis dan dari segi pelaksanaan.

1. Aspek Teknis

a. Secara teknis, KSLL memiliki ketahanan terhadap beban gempa karena memiliki kekakuan yang tinggi (high rigidity), kokoh dan monolit. Disamping itu berdasarkan daya dukung struktur nya, KSLL memiliki kemampuan untuk menyebarkan beban ke permukaan lapisan tanah pendukung yang jauh lebih luas dan merata, sehingga mampu mengeliminer resiko terjadinya irreguler differential settlement.

b. Pelat pipih menerus yang di bawahnya dikakukan oleh rib - rib tegak, pipih dan tinggi. Bentuk konstruksi seperti ini, dengan bahan


(16)

yang relatif sedikit akan diperoleh pelat yang memiliki kekakuan /

tebal ekivalen yang tinggi. Pada umumnya te = 2.5 - 3.5 tb, dengan variasi tergantung desain. Bentuk ketebalan ekivalen tersebut tidak berbentuk merata, melainkan bergelombang.

c. Penempatan pelat di sisi atas rib dan sistem perbaikan tanah.

Dengan susunan konstruksi seperti di atas, akan dihasilkan penyebaran beban seperti pada gambar tersebut, di mana untuk mendapatkan luasan pendukung pada tanah asli selebar b cukup dibutuhkan pelat efektif selebar a. Hal ini disebabkan karena proses penyebaran beban dimulai dari bawah pelat yang berada pada sisi atas lapisan perbaikan tanah.

d. Susunan rib - rib yang membentuk titik - titik pertemuan dan penempatan kolom / titik beban pada titik pertemuan rib - rib. Dengan susunan rib seperti pada gambar, diperoleh ketebalan ekivalen yang tidak merata. Pada titik pertemuan rib - rib diperoleh ketebalan maksimum, sedangkan makin jauh dari titik pertemuan rib - rib ketebalan ekivalen makin berkurang. Dalam perencanaan pondasi KSLL sebagai pondasi bangunan gedung harus sedemikian rupa sehingga titik pertemuan rib - rib berhimpit dengan titik kerja beban / kolom - kolom tersebut. Hal ini menghasilkan grafik penyebaran beban yang identik bentuknya dengan grafik ketebalan ekivalen, sehingga dimensi konstruksi yang dihasilkan (pelat dan rib) lebih ekonomis. Susunan rib yang membentuk petak - petak segitiga


(17)

dengan hubungan yang kaku menjadikan hubungan antar rib menjadi hubungan yang stabil terhadap pengaruh gerakan / gaya horisontal. e. Rib - rib settlement yang cukup dalam.

Penempatan rib yang cukup dalam diatur sedemikian rupa sehingga membagi luasan konstruksi bangunan bawah dalam petak - petak segitiga yang masing - masing luasnya tidak lebih dari 200 m2. Adanya rib - rib settlement memberi keuntungan - keuntungan yaitu mereduksi total penurunan, mempertinggi kestabilan bangunan terhadap kemungkinan terjadinya kemiringan, mampu melindungi perbaikan tanah terhadap kemungkinan bekerjanya pengaruh- pengaruh negatif dari lingkungan sekitar, misalnya kembang susut tanah dan kemungkinan timbulnya degradasi akibat aliran tanah dan yang terakhir yaitu menambah kekakuan pondasi dalam tinjauannya secara makro.

f. Kolom mencengkeram pertemuan rib - rib sampai ke dasar rib. Hal ini membuat hubungan konstruksi bagian atas (upper structure) dengan konstruksi bangunan bawah (sub structure) menjadi lebih kokoh. Sebagai gambaran, misal tinggi rib konstruksi 120 cm, maka hubungan antara kolom dengan pondasi KSLL juga akan setinggi 120 cm. Untuk perbandingan, pada pondasi tiang pancang, hubungan antara kolom dengan pondasi hanya setebal pondasinya (kisarannya antara 50 - 80 cm).


(18)

g. Sistem perbaikan tanah setelah pengecoran rib - rib.

Pemadatan tanah baru dilakukan setelah rib - rib selesai dicor dan berumur sedikitnya 3 hari. Pemadatan sendiri harus dilaksanakan lapis demi lapis dan harus dijaga agar perbedaan tinggi antara petak yang sedang dipadatkan dengan petak petak yang bersebelahan tidak lebih dari 25 cm, sehingga mudah untuk mencapai kepadatan yang tinggi. Di samping hasil kepadatan yang tinggi pada lapisan tanah di dalam petak rib - rib, lapisan tanah asli di bawahnya akan ikut terpadatkan walaupun tidak mencapai kepadatan setinggi tanah yang berada dalam petak rib -rib. Hal itu pun sudah memberikan hasil yang cukup memuaskan bagi peningkatan kemampuan daya dukung dan bagi ketahanan kestabilan terhadap penurunan (settlement). h. Adanya kerja sama timbal balik saling menguntungkan antara

konstruksi beton dan sistem perbaikan tanah.

Rib - rib beton, di samping sebagai pengaku pelat dan sloof, juga sebagai dinding penyekat dari sistem perbaikan tanah, sehingga perbaikan tanah dapat dipadatkan dengan tingkat kepadatan yang tinggi (mencapai 100 % kepadatan maksimum Standar Proctor), dan setelahnya rib - rib akan berfungsi sebagai pelindung bagi perbaikan tanah terhadap pengaruh dari banjir, penguapan dan degradasi. Perbaikan tanah akan memberi dampak lapisan tanah menjadi seperti lapisan batu karang sehingga dapat memperkecil dimensi ribnya.


(19)

2. Aspek Ekonomis

a. Ramah lingkungan karena dalam pelaksanaan hanya menggunakan sedikit menggunakan kayu dan tidak menimbulkan kerusakan bangunan serta tidak menimbulkan kebisingan disekitarnya.

b. Menggunakan lebih sedikit alat - alat berat dan bersifat padat karya, lebih ekonomis karena terdiri dari 80% tanah dan 20% beton bertulang.

c. Berpotensi digunakan sebagai pondasi untuk tanah lunak dengan mempertimbangkan penurunan yang mungkin terjadi dan tanah dengan sifat kembang susut yang tinggi.

d. Mampu memperkecil penurunan bangunan karena dapat membagi rata kekuatan pada seluruh pondasi dan mampu membuat tanah menjadi bagian dari struktur pondasi.

e. pengerjaan pondasi yang memerlukan waktu yang singkat karena pelaksanaannya mudah dan padat karya serta sederhana dan tidak menuntut keahlian yang tinggi.

f. KSSL memiliki kekuatan lebih baik dengan penggunaan bahan bangunan yang hemat dibandingkan dengan pondasi rakit (full plate) lainnya.

g. KSLL memiliki kemampuan memperkecil differential settlement dan mengurangi irregular differential settlement apabila dibandingkan dengan pondasi rakit.


(20)

h. KSLL mampu membuat tanah menjadi bagian dari struktur pondasi karena proses pemadatannya akan meniadakan pengaruh lipat atau

lateral buckling pada rib.

i. KSLL berpotensi untuk digunakan sebagai pondasi untuk bangunan bertingkat rendah (2 lantai) yang dibangun di atas tanah lunak dengan mempertimbangkan total settlement yang mungkin terjadi. j. Pelaksanaannya tidak menggunakan alat - alat berat dan tidak

mengganggu lingkungan sehingga cocok diterapkan baik di lokasi padat penduduk maupun di daerah terpencil.

k. KSLL mampu menghemat pengunaan baja tulangan maupun beton. l. Waktu pelaksanaan yang diperlukan relatif lebih cepat.

m. KSLL lebih ekonomis dibandingkan pondasi konvensional rakit atau tiang pancang, lebih - lebih dengan pondasi dalam, sehingga cocok digunakan oleh negara - negara sedang berkembang sebab murah, padat karya dan sederhana.

C. Tanah

Tanah dapat didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral - mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang - ruang kosong diantara partikel - partikel padat tersebut (Das, 1995).

Tanah adalah kumpulan - kumpulan dari bagian - bagian yang padat dan tidak terikat antara satu dengan yang lain (diantaranya mungkin material organik)


(21)

rongga - rongga diantara material tersebut berisi udara dan air (Verhoef, 1994). Sedangkan menurut (Craig, 1991) tanah merupakan akumulasi partikel mineral atau ikatan antar partikelnya, yang terbentuk karena pelapukan dari batuan.

Tanah (soil) menurut teknik sipil dapat didefinisikan sebagai sisa atau produk yang dibawa dari pelapukan batuan dalam proses geologi yang dapat digali tanpa peledakan dan dapat ditembus dengan peralatan pengambilan contoh (sampling) pada saat pemboran (Hendarsin, 2000).

Menurut (Bowles, 1991), tanah adalah campuran partikel - partikel yang terdiri dari salah satu atau seluruh jenis berikut :

1. Berangkal (boulders), yaitu potongan batuan yang besar, biasanya lebih besar dari 250 mm sampai 300 mm. Untuk kisaran ukuran 150 mm sampai 250 mm, fragmen batuan ini disebut sebagai kerakal (cobbles) atau pebbes.

2. Kerikil (gravel), yaitu partikel batuan yang berukuran 5 mm sampai 150 mm.

3. Pasir (sand), yaitu batuan yang berukuran 0,074 mm sampai 5 mm. Berkisar dari kasar (3 mm sampai 5 mm) sampai halus (< 1mm).

4. Lanau (silt), yaitu partikel batuan yang berukuran dari 0,002 mm sampai 0,074 mm.

5. Lempung (clay), yaitu partikel mineral yang berukuran lebih kecil dari 0,002 mm. Partikel - partikel ini merupakan sumber utama dari kohesif pada tanah yang “kohesif”.


(22)

6. Koloid (colloids), partikel mineral yang “diam” yang berukuran lebih kecil dari 0,001 mm.

D. Klasifikasi Tanah

Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengaturan beberapa jenis tanah yang berbedabeda tetapi mempunyai sifat yang serupa ke dalam kelompok -kelompok dan sub-kelompok - sub-kelompok berdasarkan pemakaiannya. Sistem klasifikasi memberikan suatu bahasa yang mudah untuk menjelaskan secara singkat sifat-sifat umum tanah yang sangat bervariasi tanpa penjelasan yang terinci (Das, 1995).

Klasifikasi tanah berfungsi untuk studi yang lebih terinci mengenai keadaan tanah tersebut serta kebutuhan akan pengujian untuk menentukan sifat teknis tanah seperti karakteristik pemadatan, kekuatan tanah, berat isi, dan sebagainya (Bowles, 1989).

Sistem klasifikasi dimaksudkan untuk menentukan dan mengidentifikasikan tanah dengan cara sistematis guna menentukan kesesuaian terhadap pemakaian tertentu dan juga berguna untuk menyampaikan informasi tentang karakteristik dan sifat - sifat fisik tanah serta mengelompokkannya berdasarkan suatu kondisi fisik tertentu dari tanah tersebut dari suatu daerah ke daerah lain dalam bentuk suatu data dasar.

Sistem klasifikasi tanah dapat dibagi menjadi dua, yaitu : a. Klasifikasi berdasarkan tekstur dan ukuran


(23)

Sistem klasifikasi ini didasarkan pada keadaan permukaan tanah yang bersangkutan, sehingga dipengaruhi oleh ukuran butiran tanah dalam tanah. Klasifikasi ini sangat sederhana di dasarkan pada distribusi ukuran tanah saja. Pada klasifikasi ini tanah dibagi menjadi kerikil (gravel), pasir

(sand), lanau (silt) dan lempung (clay) (Das,1993). b. Klasifikasi berdasarkan pemakaian

Pada sistem klasifikasi ini memperhitungkan sifat plastisitas tanah dan menunjukkan sifat - sifat tanah yang penting. Pada saat ini terdapat dua sistem klasifikasi tanah yang sering dipakai dalam bidang teknik. Kedua sistem klasifikasi itu memperhitungkan distribusi ukuran butir dan batas -batas Atterberg.

Ada beberapa macam sistem klasifikasi tanah sebagai hasil pengembangan dari sistem klasifikasi yang sudah ada. Tetapi yang paling umum digunakan adalah:

a. Sistem Klasifikasi Tanah Unified (Unified Soil Classification System /

USCS)

Sistem klasifikasi tanah unified atau Unified Soil Classification System

(USCS) diajukan pertama kali oleh Prof. Arthur Cassagrande pada tahun 1942 untuk mengelompokkan tanah berdasarkan sifat teksturnya dan selanjutnya dikembangkan oleh United State Bureau of Reclamation

(USBR) dan United State Army Corps of Engineer (USACE). Kemudian

American Society for Testing and Materials (ASTM) memakai USCS sebagai metode standar untuk mengklasifikasikan tanah. Menurut sistem ini


(24)

tanah dikelompokkan dalam tiga kelompok yang masing - masing diuraikan lebih spesifik lagi dengan memberi simbol pada setiap jenis (Hendarsin, 2000), yaitu:

1) Tanah berbutir kasar, yaitu tanah yang mempunyai prosentase lolos ayakan No. 200 < 50 %.

2) Klasifikasi tanah berbutir kasar terutama tergantung pada analisa ukuran butiran dan distribusi ukuran partikel. Tanah berbutir kasar dapat berupa salah satu dari hal di bawah ini :

a) Kerikil (G) apabila lebih dari setengah fraksi kasar tertahan pada saringan No. 4

b) Pasir (S) apabila lebih dari setengah fraksi kasar berada diantara ukuran saringan No. 4 dan No. 200

3) Tanah berbutir halus, adalah tanah dengan persentase lolos ayakan No. 200 > 50 %.

Tanah berbutir ini dibagi menjadi lanau (M). Lempung Anorganik (C) dan Tanah Organik (O) tergantung bagaimana tanah itu terletak pada grafik plastisitas.

4) Tanah Organis

Tanah ini tidak dibagi lagi tetapi diklasifikasikan dalam satu kelompok Pt. Biasanya jenis ini sangat mudah ditekan dan tidak mempunyai sifat sebagai bahan bangunan yang diinginkan. Tanah khusus dari kelompok ini adalah peat, humus, tanah lumpur dengan tekstur organis yang tinggi. Komponen umum dari tanah ini adalah partikel - partikel daun,


(25)

rumput, dahan atau bahan - bahan yang regas lainnya. Tabel 1 Sistem Klasifikasi Tanah Unified.

Jenis Tanah Simbol Sub Kelompok Simbol Kerikil

Pasir Lanau Lempung Organik Gambut

G S M

C O Pt

Gradasi Baik Gradasi Buruk Berlanau Berlempung WL<50% WL>50%

W P M

C L H

Sumber : Bowles, 1989. Dimana :

W = Well Graded (tanah dengan gradasi baik), P = Poorly Graded (tanah dengan gradasi buruk), L = Low Plasticity (plastisitas rendah, LL<50), H = High Plasticity (plastisitas tinggi, LL> 50).

Faktor - faktor yang harus diperhatikan untuk mendapatkan klasifikasi yang benar adalah sebagai berikut :

a. Persentase butiran yang lolos saringan No. 200. b. Persentase fraksi kasar yang lolos saringan No. 40. c. Batas cair (LL) dan indeks plastisitas (PI).


(26)

Tabel 2. Sistem Klasifikasi Tanah USCS Ta na h be rb ut ir ka sa r≥ 5 0% b ut ira n te rt ah an s ar in g an N o . 2 0

0 Ker

ik il 50 %≥ fr ak si k as ar te rt ah an s ar in g an N o . 4 K er ik il b er si h (h an y a k er ik il ) GW

Kerikil bergradasi-baik dan campuran kerikil-pasir, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus

K la si fi k as i b er d as ar k an p ro se n ta se b u ti ra n h al u s ; K u ra n g d ar i 5 % l o lo s sa ri n g an n o .2 0 0 : G M, G P , S W, S P . L eb ih d ar i 1 2 % l o lo s sa ri n g an n o .2 0 0 : G M , G C , S M, S C . 5 % - 1 2 % l o lo s sa ri n g an N o .2 0 0 : B at as an k la si fi k as i y an g m em p u n y ai s im b o l d o b el

Cu = D60 > 4 D10

Cc = (D30)2 Antara 1 dan 3 D10 x D60

GP

Kerikil bergradasi-buruk dan campuran kerikil-pasir, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus

Tidak memenuhi kedua kriteria untuk GW K er ik il d en g an B u ti ra n h al u

s GM Kerikil berlanau, campuran

kerikil-pasir-lanau

Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI < 4

Bila batas Atterberg berada didaerah arsir dari diagram plastisitas, maka dipakai dobel simbol GC Kerikil berlempung, campuran

kerikil-pasir-lempung

Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI > 7

Pa si r≥ 5 0% fr ak si k as ar lo lo s sa ri n g an N o . 4 P as ir b er si h ( h an y a p as ir

) SW

Pasir bergradasi-baik , pasir berkerikil, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus

Cu = D60 > 6 D10

Cc = (D30)2 Antara 1 dan 3 D10 x D60

SP

Pasir bergradasi-buruk, pasir berkerikil, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus

Tidak memenuhi kedua kriteria untuk SW P as ir d en g an b u ti ra n h al u s

SM Pasir berlanau, campuran pasir-lanau

Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI < 4

Bila batas Atterberg berada didaerah arsir dari diagram plastisitas, maka dipakai dobel simbol SC Pasir berlempung, campuran

pasir-lempung

Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI > 7

T an ah b er b u ti r h al u s 5 0 % at au l eb ih l o lo s ay ak an N o . 2 0 0 La na u da n le m pu ng b at as c ai r ≤ 50% ML

Lanau anorganik, pasir halus sekali, serbuk batuan, pasir halus berlanau atau berlempung

Diagram Plastisitas:

Untuk mengklasifikasi kadar butiran halus yang terkandung dalam tanah berbutir halus dan kasar. Batas Atterberg yang termasuk dalam daerah yang di arsir berarti batasan klasifikasinya menggunakan dua simbol.

60

50 CH

40 CL

30 Garis A CL-ML

20

4 ML ML atau OH

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Garis A : PI = 0.73 (LL-20) CL

Lempung anorganik dengan plastisitas rendah sampai dengan sedang lempung berkerikil, lempung berpasir, lempung berlanau, lempung “kurus” (lean clays) OL

Lanau-organik dan lempung berlanau organik dengan plastisitas rendah La na u da n le m pu ng b at as c ai r ≥ 50% MH

Lanau anorganik atau pasir halus diatomae, atau lanau diatomae, lanau yang elastis

CH

Lempung anorganik dengan plastisitas tinggi, lempung “gemuk” (fat clays) OH

Lempung organik dengan plastisitas sedang sampai dengan tinggi

Tanah-tanah dengan kandungan organik sangat tinggi

PT

Peat (gambut), muck, dan tanah-tanah lain dengan kandungan organik tinggi

Manual untuk identifikasi secara visual dapat dilihat di ASTM Designation D-2488

Sumber : Hary Christady, 1996.

Batas Cair (%)

B at as P la st is (%)


(27)

b. Sistem klasifikasi AASHTO

Sistem klasifikasi AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Official) dikembangkan pada tahun 1929 dan mengalami beberapa kali revisi hingga tahun 1945 dan dipergunakan hingga sekarang, yang diajukan oleh Commite on Classification of Material for Subgrade and Granular Type Road of the Highway Research Board (ASTM Standar No. D-3282, AASHTO model M145). Sistem klasifikasi ini bertujuan untuk menentukan kualitas tanah guna pekerjaan jalan yaitu lapis dasar (sub-base) dan tanah dasar (subgrade).

Dalam sistem ini tanah dikelompokkan menjadi tujuh kelompok besar yaitu A1 sampai dengan A7. Tanah yang termasuk dalam golongan A-1 , A-2, dan A-3 masuk kedalam tanah berbutir dimana 35% atau kurang dari jumlah butiran tanah yang lolos ayakan No.200, sedangkan tanah yang masuk dalam golongan A-4, A-5, A-6 dan A-7 adalah tanah lanau atau lempung. A-8 adalah kelompok tanah organik yang bersifat tidak stabil sebagai bahan lapisan struktur jalan raya, maka revisi terakhir oleh AASHTO diabaikan (Sukirman, 1992). Percobaan yang dibutuhkan untuk mendapatkan data yang diperlukan adalah analisis saringan, batas cair, dan batas plastis.


(28)

Tabel 3. Klasifikasi Tanah Berdasarkan AASTHO Klasifikasi umum

Tanah berbutir

(35% atau kurang dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.200

Klasifikasi kelompok

A-1

A-3 A-2

A-1-a A-1-b A-2-4 A-2-5 A-2-6 A-2-7 Analisis ayakan (% lolos) No.10 No.40 No.200 Maks 50 Maks 30 Maks 15 Maks 50 Maks 25 Min 51 Maks 10 Maks 35 Maks 35 Maks 35 Maks 35 Sifat fraksi yang

lolos ayakan No.40

Batas Cair (LL) Indeks

Plastisitas (PI)

Maks 6 NP

Maks 40 Maks 10 Min 41 Maks 10 Maks 40 Min 11 Min 41 Min 41 Tipe material yang paling dominan Batu pecah, kerikil dan pasir Pasir halus

Kerikil dan pasir yang berlanau atau berlempung

Penilaian sebagai

bahan tanah dasar Baik sekali sampai baik

Klasifikasi umum Tanah berbutir

(Lebih dari 35% dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.200 Klasifikasi

kelompok A-4 A-5 A-6 A-7

Analisis ayakan (% lolos) No.10 No.40

No.200 Min 36 Min 36 Min 36 Min 36

Sifat fraksi yang lolos ayakan No.40

Batas Cair (LL) Indeks Plastisitas (PI) Maks 40 Maks 10 Maks 41 Maks 10 Maks 40 Maks 11 Min 41 Min 11 Tipe material yang paling dominan

Tanah berlanau Tanah Berlempung

Penilaian sebagai

bahan tanah dasar Biasa sampai jelek Sumber: Das (1995).


(29)

Sistem klasifikasi ini didasarkan pada kriteria di bawah ini : 1) Ukuran Butir

Kerikil : bagian tanah yang lolos saringan dengan diameter 75 mm dan tertahan pada saringan diameter 2 mm (No.10).

Pasir : bagian tanah yang lolos saringan dengan diameter 2 mm dan tertahan pada saringan diameter 0,075 mm (No. 200).

Lanau dan lempung : bagian tanah yang lolos saringan dengan diameter 0,075 (No. 200).

2) Plastisitas

Nama berlanau dipakai apabila bagian-bagian yang halus dari tanah mempunyai indeks plastis sebesar 10 atau kurang. Nama berlempung dipakai bilamana bagian-bagian yang halus dari tanah mempunyai indeks plastis, indeks plastisnya 11 atau lebih.

3) Apabila batuan (ukuran lebih besar dari 75 mm) di temukan di dalam contoh tanah yang akan ditentukan klasifikasi tanahnya, maka batuan-batuan tersebut harus dikeluarkan terlebih dahulu. Tetapi, persentase dari batuan yang dikeluarkan tersebut harus dicatat.

Data yang akan didapat dari percobaan laboratorium telah ditabulasikan pada Tabel 3. Kelompok tanah yang paling kiri kualitasnya paling baik, makin ke kanan semakin berkurang kualitasnya.


(30)

E. Tanah Lempung

1. Definisi Tanah Lempung

Tanah lempung terdiri dari berbagai golongan tekstur yang agak susah dicirikan secara umum. Sifat fisika tanah lempung umumnya terletak diantara sifat tanah pasir dan liat. Pengolahan tanah tidak terlampau berat, sifat merembeskan airnya sedang dan tidak terlalu melekat.

Tanah lempung merupakan partikel mineral yang berukuran lebih kecil dari 0,002 mm. Partikel-partikel ini merupakan sumber utama dari kohesi didalam tanah yang kohesif (Bowles, 1991).

Tanah lempung merupakan tanah yang berukuran mikroskopis sampai dengan sub mikroskopis yang berasal dari pelapukan unsur - unsur kimiawi penyusun batuan, tanah lempung sangat keras dalam keadaan kering dan bersifat plastis pada kadar air sedang. Pada kadar air lebih tinggi lempung bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak (Das, 1995).

2. Karakteristik Fisik Tanah Lempung Lunak

Tanah lempung lunak merupakan tanah kohesif yang terdiri dari tanah yang sebagian terbesar terdiri dari butir-butir yang sangat kecil seperti lempung atau lanau. Pada lapisan tanah lempung lunak, semakin muda umur akumulasinya, semakin tinggi letak muka airnya. Lapisan muda ini juga kurang mengalami pembebanan sehingga sifat mekanisnya buruk dan tidak mampu memikul beban.


(31)

Sifat lapisan tanah lempung lunak adalah gaya gesernya yang kecil, kemampatan yang besar, dan koefisien permeabilitas yang kecil. Jadi, bilamana pembebanan konstruksi melampaui daya dukung kritisnya maka dalam jangka waktu yang lama besarnya penurunan akan meningkat yang akhirnya akan mengakibatkan berbagai kesulitan.

Tanah lempung lunak mempunyai sifat - sifat sebagai berikut: 1. Kuat geser rendah

2. Kuat gesernya berkurang bila kadar air bertambah dan struktur tanahnya terganggu

3. Bila basah bersifat plastis dan mudah mampat 4. Kompresibilitasnya besar

5. Menyusut bila kering dan mengembang bila basah 6. Merupakan material kedap air

7. Volume tanah berubah seiring bertambahnya waktu akibat rangkak pada beban yang konstan

Tabel 4. Sifat - Sifat Umum Lempung Lunak (Toha, 1989)

Parameter Nilai

Batas cair Batas plastis Lolos saringan no. 200

Kuat geser

80 – 110 % 30 – 45 %

>90 % 20 - 40 kN/m2


(32)

3. Jenis Mineral Lempung

a. Kaolinite

Kaolinite merupakan anggota kelompok kaolinite serpentin, yaitu

hidrus alumino silikat dengan rumus kimia Al2 Si2O5(OH)4.

Kekokohan sifat struktur dari partikel kaolinite menyebabkan sifat -sifat plastisitas dan daya pengembangan atau menyusut kaolinite

menjadi rendah. b. Illite

Illite adalah mineral bermika yang sering dikenal sebagi mika tanah dan merupakan mika yang berukuran lempung. Istilah illite dipakai untuk tanah berbutir halus, sedangkan tanah berbutir kasar disebut mika hidrus.

Rumus kimia illite adalah KyAl2(Fe2Mg2Mg3)(Si4yAly)O10(OH)2.

c. Montmorilonite

Mineral ini memilki potensi plastisitas dan mengembang atau menyusut yang tinggi sehingga bersifat plastis pada keadaan basah dan keras pada keadaan kering. Rumus kimia montmorilonite adalah Al2Mg(SiO10)(OH)2 xH2O.

4. Sifat Tanah Lempung

Tanah lempung lunak mempunyai karakteristik yang khusus diantaranya daya dukung yang rendah, kemampatan yang tinggi, indeks plastisitas yang tinggi, kadar air yang relatif tinggi, dan mempunyai gaya geser yang


(33)

kecil. Kondisi tanah seperti itu akan menimbulkan masalah jika dibangun konstruksi diatasnya.

Sifat - sifat yang dimiliki tanah lempung adalah sebagai berikut (Hardiyatmo, 1999) :

a. Ukuran butir halus, kurang dari 0,002 mm. b. Permeabilitas rendah.

c. Kenaikan air kapiler tinggi. d. Bersifat sangat kohesif.

e. Kadar kembang susut yang tinggi. f. Proses konsolidasi lambat.

Tanah butiran halus khususnya tanah lempung akan banyak dipengaruhi oleh air. Sifat pengembangan tanah lempung yang dipadatkan akan lebih besar pada lempung yang dipadatkan pada kering optimum dari pada yang dipadatkan pada basah optimum. Lempung yang dipadatkan pada kering optimum relatif kekurangan air oleh karena itu lempung ini mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk meresap air sebagai hasilnya adalah sifat mudah mengembang (Hardiyatmo, 2001).

Sifat yang khas dari tanah lempung adalah dalam keadaan kering, tanah akan bersifat keras, jika tanah dalam keadaan basah akan bersifat lunak plastis dan kohesif, mengembang dan menyusut dengan cepat, sehingga mempunyai perubahan volume yang besar karena pengaruh air.


(34)

Tabel 5. Sifat Tanah Lempung (Hary Christady, 2002)

Tipe Tanah Sifat Uji Lapangan

Lempung

Sangat Lunak Meleleh diantara jari ketika diperas Lunak Dapat diperas dengan mudah

Keras Dapat diperas dengan tekanan jari yang kuat Kaku Tidak dapat diremas dengan jari, tapi dapat

digencet dengan ibu jari Sangat Kaku Dapat digencet dengan kuku ibu jari

Tabel 6. Nilai Angka Pori, Kadar Air dan Berat Volume Kering pada Tanah Lempung (Mitchell, 1976).

Tipe Tanah Angka Pori Kadar Air dalam Keadaan Jenuh

Berat Volume Kering (kN/m3) Lempung kaku

Lempung Lunak Lempung organik lembek

0,6 0,9 – 1,4 2,5 – 3,2

21 30 – 50 30 – 120

17 11,5 – 14,5

6 – 8

Faktor-faktor yang mempengaruhi plastisitas dan CBR tanah lempung (clay) adalah sebagai berikut :

1. Faktor lingkungan

Tanah dengan plastisitas tinggi dalam keadaan kadar air rendah atau hisapan yang tinggi akan menarik air lebih kuat dibanding dengan tanah yang sama dengan kadar air yang lebih tinggi. Perubahan kadar air pada zona aktif dekat permukaan tanah, akan menentukan besarnya plastisitas. Pada zona ini terjadi perubahan kadar air dan volume yang lebih besar. Variasi peresapan dan penguapan


(35)

mempengaruhi perubahan kedalaman zona aktif. Keberadaan fasilitas seperti drainase, irigasi, dan kolam akan memungkinkan tanah memiliki akses terhadap sumber air. Keberadaan air pada fasilitas tersebut akan mempengaruhi perubahan kadar air tanah. Selain itu vegetasi seperti pohon, semak, dan rumput menghisap air tanah dan menyebabkan terjadinya perbedaan kadar air pada daerah dengan vegetasi berbeda.

2. Karakteristik material

Plastisitas yang tinggi terjadi akibat adanya perubahan sistem tanah dengan air yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan gaya -gaya di dalam struktur tanah. Gaya tarik yang bekerja pada partikel yang berdekatan yang terdiri dari gaya elektrostatis yang bergantung pada komposisi mineral, serta gaya Van der Walls yang bergantung pada jarak antar permukaan partikel. Partikel lempung pada umumnya berbentuk pelat pipih dengan permukaan bermuatan listrik negatif dan ujung-ujungnya bermuatan positif. Muatan negatif ini diseimbangkan oleh kation air tanah yang terikat pada permukaan pelat oleh suatu gaya listrik. Sistem gaya internal kimia - listrik ini harus dalam keadaan seimbang antara gaya luar dan hisapan matrik. Apabila susunan kimia air tanah berubah sebagai akibat adanya perubahan komposisi maupun keluar masuknya air tanah, keseimbangan gaya -gaya dan jarak antar partikel akan membentuk keseimbangan baru. Perubahan jarak antar partikel ini disebut sebagai proses kembang susut.


(36)

3. Kondisi tegangan

Tanah yang terkonsolidasi berlebih bersifat lebih ekspansif dibandingkan tanah yang terkonsolidasi normal, untuk angka pori yang sama. Proses pengeringan dan pembasahan yang berulang cenderung mengurangi potensi pengembangan sampai suatu keadaan yang stabil. Besarnya pembebanan akan menyeimbangkan gaya antar partikel sehingga akan mengurangi besarnya pengembangan. Ketebalan dan lokasi kedalaman lapisan tanah ekspansif mempengaruhi besarnya potensi kembang susut dan yang paling besar terjadi apabila tanah ekspansif yang terdapat pada permukaan sampai dengan kedalaman zona aktif.

F. Klasifikasi Pondasi

Pondasi dapat didefinisikan sebagai suatu bagian dari konstruksi bangunan yang berfungsi untuk menempatkan bangunan dan meneruskan beban yang disalurkan dari struktur atas ke tanah dasar pondasi yang cukup kuat menahannya tanpa terjadinya keruntuhan geser tanah dan differential settlement pada sistem strukturnya.

Berdasarkan kedalaman tertanam di dalam tanah, maka pondasi dibedakan menjadi pondasi dangkal (shallow foundation) dan pondasi dalam (deep foundation) (Das, 1995).

1. Pondasi Dangkal (Shallow Foundation)

Pondasi dangkal digunakan apabila kedalaman tanah baik tidak begitu dalam antara 0.6 sampai 2.0 meter), serta kapasitas dukung tanah relatif


(37)

baik (> 2.0 kg/cm2). Faktor inilah yang menjadikan pondasi dangkal sebagai pondasi termurah. Pada umumnya pondasi dangkal adalah berupa pondasi telapak / footing yaitu pondasi yang mendukung bangunan secara langsung pada tanah pondasi, bilamana terdapat lapisan tanah yang cukup tebal dan berkualitas baik yang mampu mendukung suatu bangunan pada permukaan tanah.

2. Pondasi Pelat / Rakit ( Raft/Mat Foundation)

Merupakan pondasi gabungan yang sekurang-kurangnya memikul tiga kolom yang tidak terletak pada satu garis lurus. Jadi seluruh bangunan menggunakan satu telapak bersama. Jika jumlah luas seluruh telapak melebihi setengah luas bangunan, lebih ekonomis menggunakan pondasi rakit. Selain itu penggunaan pondasi rakit bertujuan mengatasi tanah dasar yang tidak homogen, sehingga tidak terjadi perbedaan penurunan yang cukup besar.

Secara struktur pondasi rakit merupakan pelat beton bertulang yang mampu menahan momen, gaya lintang dan gaya pons yang terjadi pada pelat beton, tetapi masih aman dan ekonomis.

3. Pondasi Dalam (Deep Foundation)

Menurut Dr.Ir.L.D.Wesley dalam bukunya Mekanika Tanah 1, pondasi dalam seringkali diidentikkan sebagai pondasi tiang yaitu suatu struktur pondasi yang mampu menahan gaya orthogonal ke sumbu tiang dengan menyerap lenturan. Pondasi tiang dibuat menjadi satu kesatuan yang


(38)

monolit dengan menyatukan pangkal tiang yang terdapat dibawah konstruksi dengan tumpuan pondasi.

G. Daya Dukung Tanah

Daya dukung adalah adalah gaya maksimum yang dapat dipikul / ditahan tanpa menyebabkan keruntuhan geser dan penurunan / settlement yang berlebihan untuk melawan gaya geser. Kombinasi dari kekuatan gesekan tanah terhadap pondasi (tergantung pada jenis tanah, massa jenisnya, nilai kohesi adhesinya, kedalamannya, dsb), kekuatan tanah dimana ujung pondasi itu berdiri, dan juga pada bahan pondasi itu sendiri.

Kapasitas daya dukung tanah dasar dipengaruhi oleh parameter φ, c dan γ serta bentuk alas pondasi. Terdapat berbagai metode untuk menghitung kapasitas dukung tanah dasar dan metode yang sering digunakan dalam mekanika tanah adalah analisis Terzaghi yang kemudian disempurnakan oleh

Schultse. Persamaan daya dukung batas yang disarankan oleh Terzaghi adalah sebagai berikut :

qult = c.Nc.Sc.ic.dc + γ.D.Nq.sq.iq.dq + 0,5.γ.ψ....

Dimana:

 D = Kedalaman rib settlement KSLL

 Diameter pondasi

 Tebal pelat pondasi


(39)

Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya daya dukung ialah : 1. Kedalaman pondasi

2. Lebar / alas pondasi

3. Berat satuan tanah (bila tanah terendam γ berkurang, maka daya dukung berkurang)

4. Apabila sudut geser dalam (Ø), kohesi (c) dan kedalaman (Df) makin besar, maka makin tinggi daya dukungnya.

H. Penurunan / Settlement

Penurunan pondasi akibat beban yang bekerja pada pondasi dapat diklasifikasikan dalam dua jenis penurunan, yaitu :

a) Penurunan Seketika / Immediately Settlement

Penurunan seketika adalah penurunan yang langsung terjadi begitu pembebanan bekerja atau dilaksanakan, biasanya terjadi berkisar antara 0 – 7 hari dan terjadi pada tanah lanau, pasir dan tanah liat yang mempunyai derajat kejenuhan (Sr %) < 90%.

Dalam perhitungan penurunan seketika /Immediately Settlement diperlukan factor pengaruh angka poisson ratio ( ), dan sifat elastisitas tanah (Es). Rumus yang digunakan untuk mencari penurunan segera :

Si =

Dimana: Si = Penurunan Segera

R = Jari-jari Lingkaran


(40)

Tabel 7. Angka Poisson Ratio ( ) Menurut Jenis Tanah

Jenis Tanah

Lempung Jenuh (Clay saturated) 0.4 – 0.5 Lempung Tak Jenuh (Clay unsaturated) 0.1 – 0.3 Lempung berpasir (Sandy clay) 0.2 – 0.3 Lempung Lanau (Silt) 0.3 – 0.35 Pasir Padat (Sand dense)

Pasir Kasar (Coarse)

0.2 – 0.4 0.15

Sumber : Rekayasa Fundasi II, Penerbit Gunadarma, hal 50

Tabel 8. Nilai Sifat Elastisitas Tanah (Es) Menurut Jenis Tanah

(Soil) Es

ksf mpa

Clay : Very soft

Soft Medium

Hard

50 – 250 100 – 500 300 – 1000 1000 – 2000

2 – 15 5 – 25 15 – 50 50 – 100 Sandy 500 – 5000 25 – 250

Sand : Silty Loose Dense

150 – 450 200 – 500 1000 – 1700

7 – 21 144 – 720

48 – 81


(41)

b) Penurunan Konsolidasi / Consolidation Settlement

Yaitu penurunan yang diakibatkan keluarnya air dalam pori tanah akibat beban yang bekerja pada pondasi, besarnya ditentukan oleh waktu pembebanan dan terjadi pada tanah jenuh (Sr = 100%), mendekati jenuh (Sr = 90% - 100%) atau pada tanah berbutir halus (K 10-6 m/s).

Terzaghi (1925) memperkenalkan teori konsolidasi satu arah (one way) untuk tanah lempung jenuh air. Teori ini menyajikan cara penentuan distribusi kelebihan tekanan hidrostatis dalam lapisan yang sedang mengalami konsolidasi pada sembarang waktu setelah bekerjanya beban. Beberapa asumsi dasar dalam analisis konsolidasi satu arah antara lain : 1. tanah bersifat homogen

2. derajat kejenuhan tanah 100 % (jenuh sempurna)

3. partikel / butiran tanah dan air bersifat inkompresibel (tak termampatkan) 4. arah pemampatan dan aliran air pori terjadi hanya dalam arah vertical

Ketebalan lapisan tanah yang diperhitungkan adalah setebal lapisan tanah lempung jenuh air yang ditinjau.

Gambar 2. Penurunan Konsolidasi (Consolidation Settlement) Sumber : Rekayasa Fundasi II, Penerbit Gunadarma, hal 49


(42)

Penurunan konsolidasi yang tejadi dibagi dua, yaitu : 1) Penurunan Konsolidasi Primer

Penurunan yang terjadi ketika gradien tekanan pori berlebihan akibat perubahan tegangan didalam stratum yang ditinjau. Pada akhir konsolidasi primer kelebihan tekanan pori mendekati nol dan perubahan tegangan telah beralih dari keadaan total ke keadaan efektif. Penurunan tambahan ini disebut penurunan sekunder yang terus berlanjut untuk suatu waktu tertentu, Penurunan konsolidasi primer dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :

1. Tanah Normal Konsolidasi

Apabila lengkungan bertambah secara tajam (patah) mendekati tekanan tanah efektif akibat beban yang berada diatasnya (Po), maka dapat dianggap bahwa tanah tersebut terkonsolidasi normal. Artinya struktur tanah terbentuk akibat akumulasi tekanan pada saat deposit yang ada bertambah d`alam.

S =

S = Penurunan / settlement ( cm ) Cc = Indeks kompresi tanah H = Tebal lapisan tanah eo = Angka pori

po = Tekanan efektif ( ton/m2 ) Δp = Perubahan tekanan ( ton/m2 ) Tv = Faktor waktu


(43)

2. Tanah over konsolidasi

Sedangkan apabila patahan yang terjadi pada tekanan yang lebih besar dari Po, maka dapat dianggap tanah tersebut mengalami over konsolidasi. Tanah over konsolidasi adalah tanah yang pernah menderita beban tekanan efektif yang lebih besar daripada tegangan yang sekarang.

Gambar 3. Grafik penyajian penurunan konsolidasi primer dan konsolidasi sekunder

Sumber : Sifat-Sifat Fisis dan Geoteknis Tanah (Mekanika Tanah) Edisi kedua, Joseph E. Bowles

2. Penurunan konsolidasi sekunder

Penurunan sekunder didefinisikan sebagai tekanan yang terjadi pada saat terdapatnya tekanan pori yang berlebih pada lapisan yang ditinjau (atau pada contoh di laboratorium). Pada tanah yang jenuh tidak akan mungkin terdapat pengurangan angka pori tanpa terbentuknya sejumlah tekanan pori yang berlebih. Tingkat penurunannya sangat rendah sehingga tekanan pori yang berlebih tidak dapat diukur. Tekanan sekunder merupakan penyesuaian kerangka tanah yang berlangsung beberapa saat sesudah tekanan pori yang berlebih menghilang.


(44)

I. Model Soft Soil (Plaxis)

Untuk menekankan pentingnya model Soft Soil, perlu diketahui bahwa mulai Versi 7 telah ada beberapa perubahan strategi pemodelan tanah dalam PLAXIS. Hingga Versi 6, model material dalam PLAXIS telah terdiri dari model Mohr-Coulomb, model Soft Soil dan model Hard Soil. Namun dalam versi 7, ide penggunaan model yang terpisah untuk tanah lunak dan tanah keras ditinggalkan. Sebagai gantinya, model Hard Soil telah dikembangkan lebih jauh hingga menjadi model Hardening Soil. Pada saat yang sama model

Soft Soil Creep juga dikembangkan untuk memodelkan beberapa sifat utama dari tanah lunak. Hasilnya, model Soft Soil dapat digantikan oleh model

Hardening Soil yang baru atau model Soft Soil Creep. Walaupun demikian agar pengguna tetap dapat menggunakan model yang telah dikenal dengan baik, maka diputuskan bahwa model Soft Soil tetap ada dalam Plaxis Versi 8. Beberapa sifat model Soft Soil adalah :

 Kekakuan bergantung pada tegangan

 Pembedaan antara pembebanan primer dan pengurangan pembebanan kembali

 Tekanan prakonsolidasi

 Perilaku keruntuhan mengikuti kriteria Mohr-Coulomb

1. Kondisi Isotropis Tegangan dan Regangan

Dalam model Soft Soil, diasumsikan bahwa hubungan antara regangan volumetrik (ℰv) dan tegangan efektif rata - rata (p’) berupa hubungan logaritmik yang dapat diformulasikan.


(45)

Agar persamaan diatas tetap berlaku, nilai p’ minimum diatur sebesar satu dimensi tegangan. Parameter * adalah indeks kompresi termodifikasi, yang menentukan kompresibilitas material dalam pembebanan primer. Perhatikan bahwa * berbeda dari indeks yang digunakan oleh ψurland (1965).

Perbedaannya adalah bahwa persamaan diatas merupakan fungsi dari regangan volumetrik dan bukan angka pori. Penggambaran persamaan diatas akan menghasilkan sebuah garis lurus seperti ditunjukkan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Hubungan Logaritmik Antara Regangan Volumetrik dan Tegangan Rata – Rata

Pengurangan dan pembebanan kembali secara isotropis akan menghasilkan lintasan tegangan yang berbeda. Parameter k* adalah indeks muai termodifikasi, yang menentukan kompresibilitas material saat pengurangan beban dan pembebanan kembali. Perhatikan bahwa k* berbeda dengan indeks k yang digunakan oleh Burland. Walaupun demikian, rasio adalah sama dengan rasio . Respon tanah selama pengurangan dan pembebanan kembali diasumsikan bersifat elastis dan dinotasikan dengan


(46)

notasi atas (superscript) Perilaku elastis dideskripsikan oleh hukum Hooke diatas menyatakan ketergantungan tegangan secara linier pada modulus bulk tangensial.

Modulus elastisitas bulk dan modulus elastisitas young tidak digunakan sebagai parameter masukan, melainkan vur dan k* yang digunakan sebagai konstanta masukan untuk bagian dari model yang menghitung regangan elastis. Kurva pengurangan / pembebanan kembali dalam jumlah yang tak terbatas dapat dibentuk dalam Gambar 4, dimana tiap kurva menyatakan nilai tekanan prakonsolidasi isotropis Pp tertentu, yaitu tegangan tertinggi yang pernah dialami oleh tanah. Selama pengurangan / pembebanan kembali, tekanan prakonsolidasi ini tidak berubah. Walaupun demikian, dalam pembebanan utama tekanan prakonsolidasi akan semakin meningkat sesuai dengan tingkat tegangan yang bekerja, dan menyebabkan regangan volumetrik yang tidak dapat kembali ke kondisi semula.

2. Fungsi Leleh Untuk Kondisi Tegangan Triaksial

Model Soft Soil Creep dapat memodelkan perilaku tanah pada kondisi tegangan secara umum. Namun demikian, agar lebih jelas maka dalam bab ini diambil batasan pada kondisi pembebanan triaksial dengan σ2 = σ3.

Untuk kondisi tegangan seperti itu fungsi leleh dari model Soft Soil. Fungsi leleh f mendeskripsikan sebuah elips dalam bidang p’-q, seperti ditunjukkan dalam Gambar 5. Parameter M menentukan tinggi dari elips. Tinggi dari elips akan menentukan rasio tegangan horisontal terhadap tegangan vertikal dalam kompresi primer satu dimensi. Kemudian


(47)

parameter M akan banyak menentukan nilai koefisien tekanan tanah lateral, . Dari sudut pandang ini, nilai M dapat dipilih sedemikian rupa sehingga nilai yang telah diketahui dapat sesuai dengan kompresi primer satu dimensi. Interpretasi dan penggunaan M semacam ini berbeda dengan ide dasar dari garis critical state, tetapi hal ini menjamin nilai yang sesuai.

Titik - titik puncak dari seluruh elips berada pada garis dengan kemiringan M dalam bidang p’-q. Pada model Modified Cam-Clay (Burland, 1965,1967) garis M disebut sebagai garis critical state dan menyatakan kondisi tegangan setelah puncak keruntuhan terlampui. Parameter M kemudian didasarkan pada sudut geser critical state. Namun demikian, dalam model Soft Soil, keruntuhan tidak harus berkaitan dengan kondisi kritis. Kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb adalah fungsi dari parameter kekuatan ᴓ dan c, yang mungkin tidak berkaitan dengan garis M.

Tekanan prakonsolidasi isotropis (Pp) menentukan besarnya elips sepanjang sumbu p’. Selama pembebanan, elips dalam jumlah tak terhingga dapat terbentuk dimana tiap elips berkaitan dengan nilai Pp

tertentu. Dalam kondisi tegangan tarik (p’ < 0) elips akan berkembang hingga mencapai c.cot

ø

dan dalam daerah kompresi (p’ > 0) maka

digunakan nilai minimum dari Pp sebesar c.cot

ø

. Untuk c = 0, nilai minimum Pp diambil sebesar 1 dimensi tegangan. Karena itu, terdapat suatu elips pembatas seperti dalam Gambar 5.


(48)

Nilai Pp ditentukan oleh regangan plastis volumetrik yang mengikuti hubungan yang bersifat hardening. Persamaan ini memainkan prinsip bahwa tekanan prakonsolidasi meningkat secara eksponensial dengan meningkatnya regangan plastis volumetrik (pemampatan), Pp° dianggap sebagai nilai awal dari tekanan prakonsolidasi. Nilai regangan plastis volumetrik awal diasumsikan sebesar nol.

Gambar 5. Bidang Leleh Dari Model Soft Soil Dalam Bidang p’-q

Gambar 6. Ilustrasi Dari Seluruh Kontur Bidang Leleh Dari Model


(49)

Dalam model Soft Soil, fungsi leleh menyatakan regangan volumetrik yang tidak dapat kembali ke kondisi semula dalam kompresi primer, dan membentuk “cap” dari kontur bidang leleh. Untuk memodelkan kondisi runtuh, digunakan fungsi leleh jenis Mohr-Coulomb yang bersifat plastis sempurna. Fungsi leleh ini berupa sebuah garis lurus dalam bidang p’-q seperti ditunjukkan pada Gambar 6. Kemiringan garis keruntuhan akan lebih kecil dibandingkan kemiringan garis M.

Seluruh bidang leleh, seperti ditunjukkan oleh garis tebal dalam Gambar 6, merupakan batas dari daerah tegangan elastis. Garis keruntuhan mempunyai lokasi tetap, tetapi “cap“ dapat meningkat dalam kompresi primer. Lintasan tegangan di dalam batas ini hanya akan menghasilkan peningkatan regangan elastis, dimana lintasan tegangan yang cenderung memotong batas umumnya akan menghasilkan peningkatan regangan elastis dan plastis.

Untuk kondisi tegangan secara umum, perilaku plastis dari model Soft Soil

didefinisikan oleh enam buah fungsi leleh; tiga buah fungsi leleh kompresi dan tiga buah fungsi leleh Mohr-Coulomb. Seluruh kontur bidang leleh dalam ruang tegangan utama yang dihasilkan oleh keenam fungsi leleh ini ditunjukkan dalam Gambar 6.

3. Parameter Model Soft Soil

Parameter model Soft Soil serupa dengan parameter dalam model Soft Soil Creep. Namun demikian, karena model Soft Soil tidak melibatkan waktu,


(50)

maka indeks rangkak termodifikasi

µ

* tidak diikutsertakan. Karena itu,

model Soft Soil membutuhkan konstanta - konstanta material berikut :

Parameter dasar

:

Indeks kompresi termodifikasi

:

Indeks muai termodifikasi

C : Kohesi [ KN/m² ]

Ø

:

Sudut geser

[ ° ]

Ψ

:

Sudut dilatansi

[ ° ]

Indeks muai termodifikasi dan indeks kompresi termodifikasi

Parameter - parameter ini dapat diperoleh dari uji kompresi isotropis termasuk pengurangan beban secara isotropis. Saat menggambarkan logaritma dari tegangan rata - rata sebagai fungsi dari regangan volumetric untuk material yang bersifat seperti lempung, hasil penggambaran dapat didekati dengan dua buah garis lurus (Gambar 6). Kemiringan dari garis pembebanan primer memberikan indeks kompresi termodifikasi, dan kemiringan dari garis pengurangan beban akan memberikan indeks muai termodifikasi.

Kohesi

Kohesi mempunyai dimensi tegangan. Setiap nilai kohesi efektif dapat digunakan, termasuk kohesi sebesar nol. Saat menggunakan pengaturan standart, kohesi ditetapkan sebesar 1 kPa. Memasukkan suatu nilai kohesi akan menghasilkan daerah elastis yang sebagian berada di daerah tegangan tarik, seperti ditunjukkan dalam (Gambar 6). Bagian kiri dari elips akan


(51)

memotong sumbu p’ pada nilai - c.cot ø. Untuk menjaga agar bagian kanan dari elips yaitu “cap” tetap berada dalam daerah tegangan kompresif dari ruang tegangan, maka tekanan prakonsolidasi isotropis Pp

harus mempunyai nilai minimum sebesar c.cot ø. Hal ini berarti bahwa dengan memasukkan kohesi yang lebih besar dari nol dapat mengakibatkan kondisi konsolidasi yang berlebih, tergantung dari besarnya nilai kohesi dan kondisi tegangan awal. Hal ini mengakibatkan perilaku yang lebih kaku pada awal pembebanan. Penentuan kuat geser tak terdrainase tidak mungkin dilakukan pada kohesi yang tinggi dan sudut geser nol. Masukan parameter model harus selalu didasarkan pada nilai - nilai efektifnya.

Sudut Geser

Sudut geser dalam efektif menyatakan peningkatan kuat geser terhadap tingkat tegangan efektif, dan dinyatakan dalam derajat. Sudut geser nol tidak diperbolehkan. Sebaliknya, pengguna harus berhati - hati dengan penggunaan sudut geser yang tinggi. Seringkali disarankan untuk menggunakan

ø

cv, yaitu sudut geser critical state, dan bukan nilai yang

lebih tinggi yang ditentukan berdasarkan regangan kecil.

Selain itu, penggunaan sudut geser yang tinggi akan secara signifikan meningkatkan kebutuhan komputasi.


(52)

Sudut Dilatansi

Untuk jenis material, yang dapat dideskripsikan oleh model Soft Soil, sudut dilatansi umumnya dapat diabaikan. Sudut dilatansi sebesar nol derajat digunakan dalam pengaturan staandar dari model Soft Soil.

Angka Poisson

Dalam model Soft Soil, angka Poisson murni merupakan konstanta elastisitas dan bukan konstanta pseudo-elastisitas seperti digunakan dalam model Mohr-Coulomb. Nilai angka Poisson umumnya berkisar antara 0,1 dan 0,2. Jika dipilih pengaturan standar untuk parameter model Soft Soil,

maka

v

ur = 0,15 akan digunakan secara otomatis. Untuk pembebanan material yang terkonsolidasi secara normal, angka Poisson hanya memegang peranan yang kecil, tetapi akan menjadi penting dalam masalah pengurangan beban. Sebagai contoh, untuk pengurangan beban dalam uji kompresi 1 dimensi (oedometer), angka Poisson yang relatif kecil akan menghasilkan penurunan tegangan lateral yang kecil dibandingkan dengan penurunan tegangan vertikal. Hal ini akan menyebabkan peningkatan rasio tegangan horisontal terhadap tegangan vertikal, yang merupakan suatu fenomena yang telah dikenal dengan baik pada material yang terkonsolidasi secara berlebih. Karena itu, angka Poisson seharusnya tidak didasarkan pada nilai pada kondisi yang terkonsolidasi secara normal, tetapi pada rasio dari peningkatan tegangan horisontal terhadap peningkatan tegangan vertikal dalam pengurangan dan pembebanan kembali pada uji oedometer.


(53)

J. Metode Analisis Kekakuan Pondasi Pelat

1. Metode Pondasi Kaku (rigid footing method) yaitu metode analisis suatu pondasi yang didasarkan pada anggapan bahwa distribusi reaksi tanah yang terjadi sepanjang penampang bawah pondasi adalah linier.

Menurut Bowles (1983), konsep dasar untuk menganalisis pondasi kaku, baik untuk pondasi pelat tunggal (kolom tunggal) maupun pondasi pelat gabungan dengan dua kolom adalah :

a. Pondasi Pelat Tunggal

Pondasi pelat tunggal bisa dianggap sebagai balok fleksibel, dengan beban kolom sebagai beban terpusat.

b. Pondasi Pelat Gabungan

Pondasi pelat gabungan adalah termasuk dalam kategori balok terhingga dengan ujung bebas yang dibebani dua buah beban terpusat.

Momen lentur dan gaya lintang yang terjadi pada pondasi didapat dengan memperlakukan pondasi tersebut sebagai balok menerus yang ditumpu oleh dua kolom.

2. Metode pondasi fleksibel (flexible footing method) yaitu metode analisis yang didasarkan pada distribusi reaksi tanah yang terjadi di bawah pondasi tidak linier atau bervariasi sepanjang bidang kontak pondasi.

Ada 2 metode untuk menyelesaikan masalah pondasi fleksibel pada penelitian ini, yaitu metode Hetenyi dan metode elemen hingga dengan SAP 2000.


(54)

a. Metode Hetenyi

Metode Hetenyi disebut juga metode eksak adalah metode penyelesaian masalah balok fleksibel dengan asumsi dasar bahwa material balok mengikuti hukum Hooke, penampang prismatis, gaya geser di sepanjang permukaan bidang kontak antara pondasi dan tanah dianggap kecil dan diabaikan. Sedangkan lendutan serta reaksi tanah diasumsikan arahnya vertikal pada tiap - tiap penampang dan mengikuti model

Winkler dimana lendutan dibawah pondasi berbanding langsung dengan tegangan tanah (q) yang terjadi pada setiap penampang pondasi tersebut.

b. Metode Elemen Hingga

Pada pemecahan numerik khususnya dengan metode elemen hingga, sistem struktur merupakan rangkaian yang dibangun dari sejumlah elemen hingga, dimana satu dengan lainnya terhubung hanya pada nodal - nodalnya (Bowles, 1983). Beberapa persamaan dibuat untuk mencari hubungan gaya dan lendutan pada nodal dimulai dengan mencari hubungan antara gaya – gaya luar pada nodal {P} dengan gaya-gaya element {F} berdasarkan prinsip kesetimbangan.


(55)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Sampel Penelitian

Sampel tanah yang dipakai dalam penelitian ini adalah tanah lempung yang berasal dari Desa Karang Anyar, Lampung Selatan. Tanah yang digunakan merupakan tanah lempung lunak yang berada pada kondisi tidak terganggu (undisturbed).

B. Metode Pengambilan Sampel Penelitian

Tanah lempung lunak pada kondisi tidak terganggu (undisturbed) diambil dengan menggunakan tabung berupa besi diameter 4 inch dan panjang 50 cm sebanyak 2 buah untuk 1 titik pengambilan. Caranya tabung sample ditekan perlahan - lahan sampai pada kedalaman kira - kira 200 cm, setelah tabung sample terisi penuh, tabung diangkat perlahan - lahan ke permukaan lalu ditutup rapat dengan plastik agar terjaga kadar air aslinya.

C. Data Penelitian

Data dalam penelitian ini merupakan hasil pengujian tanah asli dan tanah distabilisasi. Data yang akan didapat dari penelitian ini berupa :

a. Nilai Kadar Air b. Nilai Berat Jenis


(56)

c. Nilai Batas Atterberg

d. Nilai Analisa Saringan e. Nilai Berat Volume f. Nilai Uji Geser Langsung g. Nilai Konsolidasi

D. Pelaksanaan Pengujian

Pelaksanaan pengujian dilakukan di Laboratorium Mekanika Tanah Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Lampung. Pengujian yang dilakukan terdiri dari 2 bagian yaitu pengujian untuk tanah asli dan pengujian untuk tanah yang telah distabilisasi, adapun pengujian - pengujian tersebut adalah sebagai berikut :

 Pengujian Sampel Tanah Asli

Pada penelitian ini pengujian sifat fisik tanah yang dilakukan adalah : a. Pengujian Kadar Air

b. Pengujian Berat Jenis

c. Pengujian Batas - Batas Atterberg. d. Pengujian Analisa Saringan

 Pengujian pada tanah yang telah distabilisasi a. Pengujian Kadar Air

b. Pengujian Berat Volume c. Uji Geser Langsung d. Uji Konsolidasi


(57)

1. Pengujian Kadar Air (Water Content)

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kadar air tanah, yaitu perbandingan antara berat air yang terkandung dalam tanah dengan berat kering tanah tersebut yang dinyatakn dalam persen. Pengujian ini menggunakan standar ASTM D-2216.

Bahan-bahan :

1. Sampel tanah sebanyak 50 gram. 2. Air secukupnya.

Peralatan :

1. Cawan kedap udara dan tidak berkarat sebanyak 3 buah. 2. Oven yang dilengkapi dengan pengatur suhu sampai 110 °C. 3. Timbangan dengan ketelitian 0,01 gram.

4. Alat pendingin(desicator). Langkah kerja :

1. Menyiapkan cawan kosong lalu menimbang berat cawan yang digunakan dan mencatat beratnya.

2. Memasukan sampel uji ke dalam cawan, kemudian menimbang dan mencatat beratnya.

3. Mengeringkan sampel uji dalam oven dengan suhu 110 °C dalam keadaan terbuka selama 24 jam atau sampai berat contoh tanah konstan.

4. Mengeluarkan sampel uji dari oven dan menutup cawan kemudian mendinginkannya dalam desicator.


(58)

2. PengujianBerat Jenis (Spesific Gravity)

Pengujian ini dimaksudkan untuk menentukan berat jenis tanah yang lolos saringan No. 200 dengan menggunakan labu ukur.

Metode pengujian berat jenis tanah sesuai dengan ASTM D-854. Bahan-bahan :

1. Sampel tanah yang lolos saringan no.4 dan telah dikeringkan melalui oven selama 24 jam sebanyak 300 gram.

2. Air bersih secukupnya. Peralatan :

1. Picnometer (labu ukur) sebanyak 3 buah. 2. Timbangan dengan ketelitian 0,01 gram.

3. Boiler (tungku pemanas) dengan bahan bakar spritus. 4. Thermometer Celcius.

Langkah kerja :

1. Menimbang picnometer kosong dalam keadaan bersih dan kering (W1).

2. Memasukkan sampel tanah kering ke dalam picnometer. 3. Menimbang picnometer beserta tanah kering (W2).

4. Picnometer yang telah berisi tanah diberi air sebanyak 2/3 volume

picnometer kemudian memanaskan picnometer di atas tungku pemanas, ini dimaksudkan untuk menghilangkan udara di dalam butir-butir tanah.

5. Setelah mendidih (butir-butir udara hilang), mendinginkan picnometer


(59)

6. Menambahkan air ke dalam picnometer hingga mencapai garis batas. 7. Menimbang picnometer yang berisi air + tanah (W3).

8. Membersihkan picnometer dari sampel tanah.

9. Mengisi picnometer yang telah kosong dengan air hingga batas

picnometer dan menimbangnya (W4).

3. Pengujian Batas - Batas Atterberg a) Pengujian Batas Cair (Liquid Limit)

Pengujian ini bertujuan untuk menentukan kadar air suatu jenis tanah pada batas antara keadaan plastis dan keadaan cair. Pengujian ini menggunakan standar ASTM D 4318.

Bahan-bahan :

1. Sampel tanah yang telah dikeringkan sebanyak 300 gram. 2. Air bersih sebanyak 300 cc.

Peralatan :

1. Alat batas cair (mangkuk Cassagrande). 2. Alat pembuat alur (grooving tool). 3. Spatula.

4. Gelas ukur 100 cc. 5. Container 4 buah. 6. Plat kaca.

7. Timbangan dengan ketelitian 0,01 gram. 8. Alat pendingin(desicator).

9. Oven.


(60)

Langkah kerja :

1. Mengayak sampel tanah dengan menggunakan saringan no. 40 2. Mengatur tinggi jatuh mangkuk Cassagrande sebesar 10 mm. 3. Mengambil sampel tanah yang lolos saringan no. 40 sebanyak 150

gram, kemudian diberi air sedikit demi sedikit dan diaduk hingga rata, selanjutnya dimasukan ke dalam mangkuk Cassagrande. 4. Meratakan permukaan adonan sehingga sejajar dengan alas

mangkuk.

5. Membuat alur tepat ditengah - tengah adonan dengan membagi benda uji dalam mangkuk Cassagrande tersebut dengan mengunakan grooving tool.

6. Memutar tuas pemutar sampai kedua sisi bertemu (merapat) sepanjang 13 mm sambil menghitung jumlah ketukan yang berkisaran antara l0 - 40 ketukan.

7. Mengambil sebagian sampel dalam mangkuk untuk pemeriksaan kadar air.

8. Melakukan langkah kerja yang sama (langkah 4 - 7) untuk sampel dengan keadaan adonan yang berbeda sehingga diperoleh 4 macam sampel dengan jumlah ketukan yang berbeda-beda, yaitu dua buah dibawah 25 ketukan, dan dua buah di atas 25 ketukan.

Langkah Perhitungan :

1. Menghitung kadar air masing-masing sampel tanah sesuai dengan jumlah pukulan.


(61)

2. Mernbuat hubungan antara kadar air dan jumlah ketukan pada grafik semi logaritma yaitu sumbu x sebagai jumlah pukulan dan sumbu y sebagai kadar air.

3. Menarik garis lurus dari keempat titik yang tergambar.

b) Pengujian Batas Plastis (Plastis Limit)

Pengujian ini bertujuan untuk menentukan kadar air suatu tanah pada batas antara keadaan plastis dan keadaan semi padat. Pengujian ini menggunakan standar ASTM D 4318.

Bahan-bahan :

1. Sampel tanah sebanyak 100 gram. 2. Air bersih sebanyak 50 cc.

Peralatan : 1. Plat kaca. 2. Spatula.

3. Gelas ukur 100 cc. 4. Container 3 buah.

5. Timbangan dengan ketelitian 0,01 gram. 6. Oven.

7. Saringan no. 40 dan alat lainnya. Langkah kerja :

1. Mengayak sampel tanah yang sudah dihancurkan dengan saringan no. 40.


(62)

2. Mengambil sampel tanah sebesar ibu jari dan dibulatkan, kemudian digulung - gulung di atas plat kaca hingga mencapai diameter 3 mm hingga retak - retak atau putus - putus.

3. Memasukkan sampel tanah ke dalam container kemudian menimbangnya.

4. Mengeringkan sampel tanah dalam oven kemudian menimbang beratnya.

5. Menentukan kadar air sampel tanah.

6. Melakukan langkah kerja yang sama (langkah 2 - 6 sebanyak 3 kali).

Langkah Perhitungan :

1. Nilai batas plastis (PL) adalah harga kadar air rata - rata. 2. Menghitung Plastis Indeks (PI) dengan rumus : PI = LL – PL

4. Pengujian Analisis Saringan (Sieve Analysis)

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui persentase ukuran butir sampel tanah yang akan dipakai dan menghitung modulus kehalusannya. Pengujian ini menggunakan standar ASTM D-421.

Bahan-bahan :

1. Sampel tanah yang sudah dikeringkan sebanyak 1.000 gram. 2. Air bersih secukupnya.

Peralatan :

1. Saringan (sieve) 1 set.

2. Timbangan dengan ketelitian 0,01 gram. 3. Mesin penggetar (sieve shaker).


(63)

4. Oven yang dilengkapi dengan pengatur temperatur. 5. Alat pendingin(desicator).

6. Pan.

7. Talam, kuas, sikat kuningan dan alat lainnya. Langkah kerja :

1. Menimbang sampel yang akan diuji sebanyak 1.000 gram kemudian mencucinya di atas saringan no. 200 sampai bersih, sehingga yang tertinggal di atas saringan hanya butiran tanah kasar.

2. Mengeringkan sisa tanah yang tertahan di atas saringan no. 200 dalam oven pada suhu 110 °C selama 24 jam.

3. Mengeluarkan sampel tanah kemudian mendinginkannya dengan menggunakan desicator.

4. Meletakkan susunan saringan di atas mesin penggetar, kemudian memasukkan sampel tanah ke dalam susunan saringan paling atas dan menutupnya dengan rapat.

5. Menghidupkan mesin penggetar selama ± 5 menit, setelah itu dimatikan dan didiamkan selama 5 menit agar debu - debu mengendap. 6. Menimbang masing - masing sampel yang tertahan pada saringan

kemudian menghitung persentasenya terhadap berat total sampel uji.

5. Pengujian Berat Volume (Unit Weigth)

Pengujian ini bertujuan untuk menentukan berat volume basah dalam keadaan asli (undisturbed sample), yaitu perbandingan berat tanah dengan volume tanah.


(64)

Bahan-bahan :

Sampel tanah yang lolos saringan no.4 dan telah dikeringkan melalui oven selama 24 jam sebanyak 300 gram.

Peralatan : 1. Ring contoh.

2. Timbangan dengan ketelitian 0,01 gram. 3. Alat pendorong sampel.

4. Pisau. 5. Oli.

Langkah kerja :

1. Membersihkan dan menimbang ring contoh, serta diberikan oli agar tanah tidak melekat pada ring.

2. Mencatat tinggi dan mengukur diameter ring.

3. Mengambil sampel tanah dari tabung contoh dengan cara menekan ring ke sampel tanah sehingga ring masuk ke dalam sampel tanah, minimal sebanyak tiga buah sampel.

4. Meratakan permukaan sampel tanah dengan pisau. 5. Menimbang ring dan sampel tanah.

6. Uji Geser Langsung

Pengujian ini bertujuan untuk menentukan sudut geser dalam (Ø

)

dan nilai

kohesi (c) suatu jenis tanah. Bahan-bahan :

1. Sampel tanah asli yang diambil dari tabung contoh percobaan. 2. Air bersih secukupnya.


(65)

Peralatan :

1. Frame alat geser langsung beserta proving ring 2. Shear Box (sel geser langsung)

3. Extruder ( alat mengeluarkan sampel) 4. Cincin cetakan benda uji

5. Pisau pemotong 6. Dial pergeseran 7. Stopwatch

8. Beban 3320 gram, 6640 gram dan 9960 gram Langkah kerja :

1. Keluarkan sampel tanah dari tabung sampel, masukan cetakan benda uji dengan menekan ke sampel tanah, sehingga cetakan terisi penuh. 2. Potong dan ratakan kedua permukaan cetakan dengan pisau pemotong 3. Keluarkan benda uji dari cetakan extruder, timbang benda uji dengan

ketelitian 0,01 gram, masukan benda uji kedalam cincin yang masih terkunci dan tutup kedua cincin geser sehingga menjadi satu bagian, letakan cincin geser beserta sampel tanah di dalam shear box

4. Atur stang penekan pada posisi vertikal, putar engkol pendorong sampai menyentuh stang penggeser kemudian buka cincin geser. 5. Berikan beban pertam 3320 gram, putar engkol pendorong dengan

konstant dan stabil perlahan - lahan selama 15 detik, baca dial pergeseran menunjukan 12,5 detik pembcaan dial proving ring dapat dimulai.


(66)

6. Setelah pembacaan proving maksimum dan mulai menurun dua atau tiga kali pembacaan, percobaan dihentikan. Bersihkan cincin geser dan shear box dari kotoran sampel tanah didalamnya.

7. Ulangi lagi langkah kerja no.5 sampai dengan memberikan beban kedua (6640 gram) dan beban ketiga (9960 gram).

7. Pengujian Konsolidasi

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kecepatan kemampatan dan besarnya penurunan tanah akibat pembebanan. Pengujian ini menggunakan standar ASTM D-2435-90.

Bahan dan Peralatan :

1. Konsolidometer, yang terdiri dari tempat tanah 2. Batu pori atas dan bawah

3. Arloji pengukur perubahan tebal tanah 4. Perlengkapan pembebanan

5. Alat pengukur tanah (Extruder) 6. Stopwatch

Langkah kerja :

1. Persiapan benda uji sampel tanah.

2. Tempatkan sel konsolidasi yang sudah berisi benda uji pada tempatnya pada rangka pembebanan.

3. Atur penahan lengan beban dengan sekrup pengatur sehingga lengan terangkat keatas.

4. Atur alat penekan beban diatas benda uji dan atur arloji pengukur penurunan pada pembacaan dial.


(67)

5. Turunkan sekrup pengatur lengan beban, sehingga beban mulai bekerja diatas contoh tanah, kemudian jalankan stopwatch.

6. Baca dan catat arloji pengukur penurunan pada waktu – waktu yang telah ditentukan.

7. Jagalah agar selama percobaan, benda uji selalu terendam air, dengan muka air kira - kira sama tinggi dengan permukaan atas benda uji. 8. Setelah pembacaan 24 jam, tambahkan beban sehingga tekanan pada

tanah menjadi 0,50 kg/cm. Biarkan benda uji bekerja 24 jam, dan amati penurunan pada arloji pengukur.

9. Lanjutkan setiap kali penambahan beban, sehingga tekanan pada tanah berturut - turut menjadi 1,0 ; 2,0 ; 4,0 ; dan 8,0 kg/cm.masing - masing tahap beban ini di biarkan selama 24 jam.

10. Apabila deketahui sifat pengembangan tanah akibat beban, maka setelah beban 8 kg/cm, beban dikurangi secara bertahap berturut - turut dengan urutan kebalikan pembebanan. Kemudian catat arloji seperti tadi.

11. Setelah pelaksanaan pembebanan selesai dilakukan, keluarkan contoh tanah dari oedometer.

12. Timbang dan catat berat benda uji, kemudian keringkan dalam oven. Setelah kering timbang lagi untuk mengetahui berat butir - butir tanah.

E. Metode Analisa Pemodelan KSLL


(68)

1. Tahapan Awal

a. Melakukan review dan studi kepustakaan terhadap artikel, buku - buku dan jurnal terkait dengan pondasi konstruksi sarang laba - laba.

b. Pengumpulan data - data, bahan dan peralatan yang diperlukan dalam melakukan pengujian pemodelan berupa bak pondasi yang terbuat dari baja untuk pengujian dengan ukuran 1x1x0,5 m yang dilengkapi roda yang dapat bergerak horizontal, dan dial yang dibutuhkan untuk mengukur penurunan pondasi, dan peralatan penunjang lainnya. c. Menyiapkan tanah yang akan dijadikan media pengujian yang

selanjutnya akan distabilisasi dengan cara perendaman dengan air sampai kondisi tanah menjadi jenuh dan siap digunakan dalam pengujian

2. Tahapan Membuat Pemodelan

a. Merencanakan dan membuat model pondasi KSLL yang dimodifikasi. Perencanaan meliputi penentuan bentuk ukuran pondasi, kedalaman, dan diameter model pondasi.

b. Pembuatan media model rancangan menggunakan kaca acrylic dengan ketebalan 3 mm sebagai model dasar pondasi laba-labanya, Perekatan

acrylic menggunakan lem plastic yang digunakan untuk menyatukan pondasi laba-laba. Untuk diameter model pondasi sarang laba - laba sebesar 40 cm, tinggi dan lebar rib - rib disesuaikan dengan skala yang digunakan.

c. Penelitian ini menggunakan tanah lempung lunak yang berasal dari Desa Karang Anyar, Lampung Selatan serta ditambahkannya pasir


(1)

= = =

Jl. Sumantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung - Telp. (0721) 704947 UNIVERSITAS LAMPUNG

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK LABORATORIUM MEKANIKA TANAH

t90 17,64

1058

menit detik

PEMERIKSAAN KONSOLIDASI

FORM - B (SK SNI M 107 - 1990 - 03)

√t90 4,2

80 85 90 95 100 105 110 115 120

0 5 10 15 20 25

Penuru

na

n

Waktu (menit)

σ

= 0,2

20

23


(2)

= = = 1270 menit detik PEMERIKSAAN KONSOLIDASI

FORM - B (SK SNI M 107 - 1990 - 03)

√t90 4,6

Jl. Sumantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung - Telp. (0721) 704947 UNIVERSITAS LAMPUNG

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK LABORATORIUM MEKANIKA TANAH

t90 21,16

135 140 145 150 155 160 165

0 5 10 15 20 25

Penuru

na

n

Waktu (menit)

σ

= 0,4

14,2

16,33


(3)

Foto-Foto PENELITIAN

Lampiran

B

Model Penurunan Pondasi Konstruksi Sarang Lab-Laba Dimodifikasi dengan Perkuatan Tanah Lunak Menggunakan Pasir Padat


(4)

PROSES PEKERJAAN

Pengambilan Sampel

Pengujian Kadar Air

Pengujian Berat Jenis

Analisa Saringan

Pengujian Batas Cair


(5)

PROSES PEKERJAAN

Pengujian Berat Volume

Uji Geser Langsung

Uji Konsolidasi

Media Pemodelan

Tanah Lempung


(6)

PROSES PEKERJAAN

Pelunakan Tanah

Perataan Media Tanah

Perkuatan dengan Pasir

Pengujian KSLL

Pemasangan Dial & Pemberian Beban Pondasi