LKP : Rancang Bangun Alat Pengukur Panjang Terpal P.E Berbasis Mikrokontroller.

(1)

TERPAL P.E BERBASIS MIKROKONTROLLER

Nama : HERY SETIA WARDANA Nim : 11.41020.0002

Program : S1 (Strata Satu) Jurusan : Sistem Komputer

SEKOLAH TINGGI

MANAJEMEN INFORMATIKA & TEKNIK KOMPUTER SURABAYA


(2)

viii

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

MOTTO ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 2

1.2. Perumusan Malasah ... 2

1.3. Batasan Masalah ... 2

1.4. Tujuan ... 2

1.5. Kontribusi ... 2

1.6. Sistematika Penulisan ... 3

BAB II. Profil PT.Gita Pacific ... 4

2.1. Uraian Tentang Perusahaan ... 4

2.2. Produk Yang Diproduksi ... 4

2.3. Mesin Yang Digunakan Untuk Proses Produksi ... 5

BAB III. LANDASAN TEORI ... 7

3.1. Perkembangan Teknologi Pengukur Panjang ... 7

3.2. Atemga32 ... 13

3.3. Push Button... 18

3.4 Motor... ... 18

3.5 Photodioda... ... 19

3.6 Motor Driver L298 ... 26

3.7 Potensiometer ... 27

3.8 LED (Light Emitting Diode) ... 28


(3)

ix

4.1.2 Desain Mekanik ... 35

4.1.3 Rancangan Alat Penghitung Panjang Terpal ... 37

4.1.4 Cara Kerja Alat ... 38

4.2. Komponen Pengukur Panjang Terpal P.E ... 39

4.2.1 Minimum System ... 39

4.2.2 Program Downloader ... 41

4.2.3 Rangkaian Reset ... 42

4.2.4 Rangkaian Power ... 43

4.3. Pembahasan Program ... 44

4.3.1 Proses Pembuatan Progam ... 44

4.3.2 Proses Pemindahan Program kedalam Atmega ... 46

4.2.3 Uji Coba Alat ... 49

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

5.1. Kesimpulan ... 58

5.2. Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60


(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan teknologi semakin hari semakin meningkat, kebutuhan manusia atas teknologi juga semakin meningkat. Dulu teknologi menjadi kebutuhan tersier untuk kehidupan manusia, tapi sekarang berubah teknologi sudah menjadi kebutuhan primer bagi manusia. Bayangkan saja hampir semua aktivitas manusia membutuhkan teknologi.

Dalam dunia industri misalnya, aktivitas manusia hampir semuanya dilakukan dengan teknologi. Di perindustrian pekerjaan manusia hanyalah menjadi user yang mana, hanya menginputkan atau memasukkan data yang di inginkan. Mengenai pekerjaannya semua sudah di kerjakan oleh mesin industri yang dirancang khusus untuk melakukan aktivitas tersebut.

Di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan lain-lain, perusahaan yang bergerak di bidang industri telah menggunakan mesin yang otomatis yang mana dapat membantu pekerjaan manusia, misalnya dalam produksi barang manusia hanya menjadi user yang mana semua pekerjaanya dilakukan oleh mesin industri. PT. Gita Pacific contohnya perusahaan ini bergerak dalam bidang manufaktur. Perusahaan ini memproduksi terpal yang mesin industrinya hampir semuanya di kerjakan secara otomatis.

Dengan fasilitas yang memadai seperti ini sangat mempermudahkan bagi perusahaan untuk memproduksi barang yang baik dan sesuai dengan kebutuhannya. Tapi mesin yang digunakan untuk menghitung panjang terpal yang di produksi pada PT. Gita Pasific masih kurang baik, yang mana untuk peletakan sensor seharusnya di tempatkan pada motor agar terpal yang di produksi sesuai dengan data yang di inputkan oleh user atau pengguna.

Selain itu, apabila motor berputar dalam kecepatan tinggi sensor yang digunakan untuk menghitung tersebut menjadi error. Hal inilah yang menyebabkan mesin tersebut tidak berjalan dengan baik.


(5)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : Bagaimana cara mengintegrasikan dengan baik komponen sensor, mikrokontroler dan komponen aktuator untuk membuat rancang bangun alat pengukur panjang terpal P.E berbasis mikrokontroller.

1.3. Batasan Masalah

Agar permasalahan yang dikaji lebih terarah dan mendalam, maka masalah yang akan dibahas adalah:

1. Menggunakan LED sebagai penanda terpal selesai diukur. 2. Menggunakan photodioda sebagai sensor pengukur panjang. 3. Menggunakan potensiometer sebagai pengatur kecepatan motor. 4. Pengujian sensor pencacah panjang dilakukan menggunakan

photodioda, phototransistor dan LDR.

1.4. Tujuan

Tujuan dalam membuat rancang bangun alat pengukur panjang terpal P.E sebagai berikut :

1. Kebutuhan untuk meminimalkan sumber daya manusia 2. Dapat menghemat waktu dalam pengukuran panjang terpal. 3. Pengukuran panjang terpal yang diukur dapat lebih presisi.

1.5. Kontribusi

Beberapa hal yang dapat diperoleh dari kegiatan kerja praktek di PT. Gita Pacific yang diantaranya :

1. Membantu dalam memperbaiki alat yang mengalami gangguan pada bagian sistem.

2. Meningkatkan experience diri dalam dalam bidang industri.

1.6. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan laporan kerja praktek digunakan untuk menjelaskan penulisan laporan per bab. Sistematika penulisan kerja praktek dapat dijelaskan pada alinea di bawah ini.


(6)

BAB I : PENDAHULUAN

Menjelaskan tentang latar belakang masalah, inti dari permasalahan yang disebutkan pada perumusan masalah, pembatasan masalah yang menjelaskan tentang batasan-batasan dari sistem yang dibuat agar tidak menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan. Tujuan dari kerja praktek adalah pembuatan alat pengukur panjang yang kemudian dilanjutkan dengan penulisan laporan.

BAB II : GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

Menjelaskan tentang gambaran umum PT. Gita Pacific. Gambaran umum ini digunakan untuk menjelaskan kepada pembaca tentang sejarah, produk yang diproduksi serta mesn industri yang digunakan.

BAB III : LANDASAN TEORI

Berisikan tentang landasan teori menjelaskan tentang teori-teori penunjang ini berisi tentang penjabaran yang akan di jadikan sebagai acuan analisa dan pemecahan permasalahan yang dibahas, sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan masalah.

BAB IV : PEMBAHASAN

Bagian ini memuat uraian tentang pembahasan laporan selama kerja praktek mengenai analisa sistem yang akan dibuat dan bagaimana merancangnya sehingga menjadi sebuah sistem.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Berisi kesimpulan serta saran sehubungan dengan adanya kemungkinan pengembangan sistem pada masa yang akan datang.


(7)

BAB II

GAMBARAN UMUM PT. GITA PASIFIC

2.1 Uraian Tentang Perusahaan

PT. Gita Pacific adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur, perusahaan ini adalah produsen plastik terpal. PT. Gita Pasific ini merupakan perusahaan yang paling terkemuka di Surabaya, indonesia dan telah menjadi salah satu pemimpin pasar dalam bidang ini. Produk yang di produksi oleh PT. Gita Pasicifik ini telah memenuhi pasar domestik dan ekspor

PT. Gita Pacific ini tidak pernah berhenti mengupdate mesin dan teknologi baru untuk memperoleh kualitas produk dan efisien produk yang tinggi. PT. Gita Pacific dapat memproduksi terpal plastik hingga mencapai 600 ton/ bulannya.

Dengan pengalaman, PT. Gita Pacific berkomitmen penuh untuk pelanggan dengan menawarkan produk – produk yang berkualitas, layanan yang baik dan harga yang kompetitif.

PT. Gita pacific ini memiliki kantor di Jl. Raya Lingkar Timur Kebonsari – Candi Sidoarjo 61271, East Java Indonesia, telp : 62 – 31 – 8926150, Fax : 62 – 31 – 8926754.

2.2 Produk Yang Di Produksi

PT. Gita pasific memproduksi beberapa macam terpal contohnya sebagai berikut :

Gambar 2.1 Hasil Produksi


(8)

Produk yang diproduksi oleh PT. Gita Pacific ini memiliki spesifikasi sebagai berikut yaitu:

1. Waterproof 2. UV Resistant

3. Rip - Stop / Tear - Proof 4. Rot - Proof

5. Rope Reinforced Hems

Terpal yang diproduksi oleh PT. Gita Pacific cocok untuk digunakan sebagai Cover perahu, Truck penutup, Tikar piknik, dll.

2.3 Mesin Yang Digunakan Untuk Proses Produksi

Mesin adalah fasilitas penunjang dalam proses pemroduksiaan barang. Baik buruknya barang yang diproduksi tergantung dengan mesin yang digunakan. Apabila mesin yang digunakan menggunakan mesin yang tidak canggih tidak menutup kemungkinan barang yang dihasilkan oleh mesin tersebut juga tidak akan bagus kualitasnya.

PT. Gita pacific perusahan yang memproduksi terpal plastik, semua proses produksi dikerjakan secara otomatis. Disini mesin yang digunakan adalah mesin yang canggih semua serba terorganisir dan saling berhubungan dengan mesin produksi yang lain. Selain canggih mesin juga tahan lama hampir 24 jam mesin tidak pernah dimatikan, terus digunakan untuk proses produksi terpal.

Mesin ini juga selalu diupdate karena mesin yang digunakan tidak pernah berhentik melalukan proses pemroduksian. Hal ini menunjukkan bahwa PT. Gita Pacific ingin memproduksi barang dengan sebaik-baiknya, dengan dukungan mesin yang sangat canggih.

Mesin yang digunakan dalam produksi terpal ini antara lain, Flat Yarn Manufacturing, Weaving, Laminating, Welding dan Sewing. Ini semua saling berhubungan antara Flat Yarn Manufactur, Weaving, Laminating, Welding dan Sewing untuk menghasilkan produksi tepal yang memiliki kualitas yang bagus. Mesin tersebut memiliki spesifikasi sebagai berikut :


(9)

1. Flat Yarn Manufactur

a) Tape Yarn

b) Yarn Colors As per order

UV & FR Treatnebt available

2. Weaving

a) Circular Looms

b) Width: Up to 220 cm

3. Laminating

a) Laminating Machines

b) Any Color & Thickness available c) Width : Up to 215 cm

4. Welding & Sewing

a) Automatic hot wind welding with reinforced hems

dibawah ini adalah gambar mesin Produksi yang digunakan oleh PT. Gita pacifik untuk memproduksi terpal dengan kualitas yang bagus.


(10)

BAB III

LANDASAN TEORI

3.1 Perkembangan Teknologi Pengukur Panjang

Semenjak ilmu pengetahuan manusia mulai berkembang, maka pengukuran menjadi hal yang sangat penting dan mendasar. Bahkan mungkin saja pengukuran merupakan ilmu tertua di dunia, hal ini didasarkan bahwa pengetahuan tentang pengukuran menjadi syarat mutlak dalam semua profesi yang berbasis ilmu pengetahuan.

Sejarah mencatat, berbagai bangunan monumental menakjubkan sepanjang sejarah peradaban manusia dihasilkan dengan pengukuran yang sangat teliti. Piramid di Mesir misalnya, bangunan yang sangat masyhur itu beralas kubus dengan jarak nominal 230 meter dengan ketepatan ± 14 mm (sedikit lebih kecil dari kecermatan alat ukur yang dipakai). Bahkan ketepatan kesikuan bangunan ± 12 detik.

Berikut sekilas sejarah pengukuran yang menggambarkan perjalanan satuan ukuran. Peninggalan berupa bangunan dan tata kota yang terencana menunjukkan pengetahuan di bidang pengukuran telah berkembang dan terstandar.

Mesir

Gambar 3.1 Pengukur mesir kuno

Sekitar 3000 tahun sebelum Masehi, Fir’aun sebagai penguasa Mesir, berkehendak membuat piramid-piramid untuk menunjukkan kebesaran


(11)

kekuasaannya. Untuk menyukseskan pembangunan piramid-piramid tersebut Fir’aun membuat ukuran yang akan dijadikan sebagai standar panjang semua komponen pembentuk piramid. Ukuran tersebut adalah satuan yang disebut dengan ‘cubit’ atau ‘hasta’ dan dijadikan standar resmi kerajaan. Satu hasta sama dengan panjang lengan Fir’aun dari siku sampai ujung jari tengahnya. Satuan panjang ini kemudian direkam dengan cara ditatah pada batu granit hitam, yang kemudian diperbanyak dengan granit dan kayu yang dibagikan kepada para pekerja. Sebagai ukuran panjang standar kerajaan maka semua orang bisa membuat batang ukuran sesuai dengan standar kerajaan.

Untuk mengukur panjang yang lebih kecil diperlukan subdivisi dari ukuran hasta kerajaan. Meskipun mungkin berpikir ada logika tak terhindarkan dalam membagi secara sistematis, ini mengabaikan cara mengukur tumbuh dengan orang mengukur panjang pendek menggunakan bagian lain dari tubuh manusia. Digit adalah unit dasar terkecil, yang luasnya jari. Ada 28 digit dalam satu hasta, 4 digit sama dengan 1 palm, 3 palm (12 digit) sama dengan 1 span kecil, 14 digit (atau satu hasta setengah) sama dengan 1 span besar, 24 digit sama dengan satu hasta kecil, 28 digit sama dengan 1 hasta dan beberapa pengukuran serupa lainnya. Apabila salah satu menginginkan ukuran lebih kecil dari digit, maka untuk ini Mesir menggunakan langkah-langkah terdiri dari pecahan satuan.

Hal ini tidak mengherankan bahwa matematika paling awal yang turun sampai sekarang, menitikberatkan pada masalah tentang berat dan ukuran. Papirus Mesir, misalnya, berisi metode untuk memecahkan persamaan yang timbul dari masalah tentang berat dan ukuran.

Babilonia

Peradaban selanjutnya yang memiliki standar berat dan sistem ukuran, dan memiliki pengaruh luas adalah Babilonia sekitar 1700 SM. Unit panjang dasar mereka, seperti Mesir, yaitu hasta. Ukuran hasta bangsa Babilon (530 mm), satuan ukuran ini sedikit lebih panjang daripada ukuran hasta Mesir (524 mm). Ukuran hasta bangsa Babilonia disebut Kus. Kus kemudian dibagi menjadi 30 bagian


(12)

yang disebut shusi (1 kus = 30 shusi). Selain ukuran hasta bangsa Babilon juga memiliki satuan panjang kaki (foot) yang besarnya 2/3 satuan hasta.

Harappa

Peradaban Harappa (Harappan Civilisation) berkembang di Punjab (dikenal juga dengan Peradaban Lembah Indus) antara 2500 SM sampai 1700 SM. Masyarakat Lembah Indus tampaknya telah mengadopsi sistem yang seragam untuk ukuran berat dan ukuran panjang. Analisa bobot yang ditemukan pada penggalian situs bangsa Harappa menunjukkan bahwa mereka memiliki dua seri yang berbeda, dengan masing-masing angka desimal dikalikan dan dibagi dua. Seri utama memiliki rasio 0.05, 0.1, 0.2, 0.5, 1, 2, 5, 10, 20, 50, 100 200, dan 500. Beberapa skala untuk pengukuran panjang juga ditemukan selama penggalian. Salah satunya adalah skala unit pengukuran dengan panjang 1,32 inci (3,35 cm) yang disebut sebagai "Indus Inch". Skala ukuran panjang lain yang ditemukan adalah sebatang perunggu yang memiliki tanda di panjang 0,367 inci. Hal ini tentu mengejutkan keakuratan dengan yang skala ini ditandai. Sekarang 100 unit ukuran ini adalah 36,7 inci (93 cm) yang merupakan ukuran panjang sebuah langkah. Pengukuran reruntuhan bangunan yang telah digali menunjukkan bahwa satuan panjang yang akurat telah digunakan oleh Harappans dalam konstruksi mereka. Eropa

Sistem pengukuran di Eropa awalnya didasarkan pada ukuran Romawi, yang pada pada mulanya didasarkan kepada sistem ukuran bangsa Yunani. Orang Yunani menggunakan ukuran dasar adalah panjang lebar jari (sekitar 19,3 mm atau 0,76 inchi), dengan 16 jari sama dengan satu kaki, dan 24 jari sama dengan satu hasta Yunani. Satuan panjang Yunani kemungkinan besar berasal dari satuan Mesir dan Babilonia. Perdagangan adalah alasan utama karena pada saat itu pusat perdagangan di Mediterania jatuh ke tangan Yunani. Dan pada sekitar 400 SM Athena merupakan pusat perdagangan dari wilayah yang luas. Kebanyakan perselisihan akan timbul berkaitan dengan bobot dan ukuran barang yang diperdagangkan, dan ada satu set standar tindakan disimpan agar sengketa seperti itu sedapat mungkin diselesaikan secara adil. Ukuran wadah untuk mengukur kacang, kurma, kacang, dan barang-barang seperti lainnya, telah ditetapkan oleh


(13)

hukum dan jika ditemukan sebuah wadah yang tidak sesuai dengan standar, isinya disita dan wadah akan dihancurkan.

Bangsa Romawi mengadaptasi sistem Yunani. Mereka memiliki ukuran dasar kaki yang terbagi menjadi 12 inci. Bangsa Romawi tidak menggunakan hasta, tetapi, mungkin karena sebagian besar pengukuran basis ukuran mereka berasal dari gerakan, mereka memiliki lima kaki (feet) sama dengan satu langkah (pace). Kemudian 1.000 langkah sama dengan 1 mil Romawi yang cukup dekat dengan satu mil Inggris yang digunakan saat ini. Sistem Romawi kemudian banyak diadopsi dengan variasi lokal, ke seluruh Eropa sebagai penyebaran Kekaisaran Romawi.

Pada awal abad ke-13, kerajaan Inggris mengeluarkan peraturan mengenai satuan berat dan dan satuan panjang. Dalam peraturan tersebut diberikan definisi yang jelas tentang ukuran yang resmi digunakan di wilayah Britania Raya. Peraturan tersebut kemudian dikenal dengan The Magna Charta (1215). Selanjutnya pada masa pemerintahan King Edward I dikenal satuan inchi yang panjangnya sama dengan tiga buah biji jagung yang disusun berjajar.

Meter: Standar Panjang Internasional

Sementara itu di Perancis memiliki lebih dari 250.000 satuan yang berbeda. Diderot dan d'Alembert dalam Encyclopédie mereka sangat menyesali keragaman ukuran tersebut, tetapi tidak melihat solusi yang dapat diterima untuk masalah tersebut. Beberapa ilmuwan Perancis telah mengusulkan sistem ukuran yang seragam setidaknya 100 tahun sebelum Revolusi Perancis. Gabriel Mouton, pada tahun 1670, menyarankan bahwa dunia harus mengadopsi skala pengukuran seragam berdasarkan mille, yang didefinisikan sebagaiukuran panjang satu menit dari busur bumi. Ia mengusulkan bahwa subdivisi desimal harus digunakan untuk menentukan satuan panjang yang lebih pendek. Lalande, seorang astronom perancis, pada bulan April 1789, mengusulkan agar satuan ukuran yang digunakan di Paris harus menjadi yang satuan nasional. Proposal ini telah diajukan kepada Majelis Nasional pada Februari 1790, namun pada bulan Maret saran yang berbeda dibuat. Talleyrandmengajukan kepada Majelis Nasional proposal yang disebut dengan Condorcet, yaitu bahwa suatu sistem pengukuran baru yang


(14)

diadopsi berdasarkan panjang dari alam. Sistem harus memiliki subdivisi desimal, semua ukuran luas, volume, berat dan lainnya harus dihubungkan ke unit dasar panjang tersebut.

Proposal ini tidak hanya dirancang untuk sistem pengukuran Prancis tetapi untuk merancang sistem pengukuran internasional. Untuk tujuan tersebut maka kesepakatan juga melibatkan dari negara-negara lain. Mulai saat itulah dikenal istilah meter (berasal dari bahasa Yunani ‘metron” yang berarti dimensi), yaitu;

“satu meter adalah sepersepuluh juta dari seperempat keliling bumi, diukur dari kutub utara sampai khatulistiwa yang melalui kota Paris dari Dankirk (pantai utara Perancis) sampai Barcelona (Spanyol)”

Maka pada tahun 1792-1798 dilakukan pengukuran. Dan pada tahun 1799 hasil pengukuran tersebut diwujudkan dengan batang platinum berpenampang segi empat. Karena ukuran meter adalah jarak antara kedua ujung batang tersebut maka dinamakan dengan End-Standard.

Gambar 3.2 Pengukur Eropa

Pada tahun 1875 sebuah perusahaan di London (Jhonshon & Matthey) berhasil membuat 30 batang platinum-iridium dengan komposisi yang teliti. Batang tersebut berpenampang X (ukuran 20 x 20 mm, berat 3,3 kg), jika diukur antara garis di kedua ujungnya pada suhu 0°C panjangnya adalah satu meter. Karena menggambarkan jarak antara dua buah garis maka acuan panjang ini disebut juga dengan Line-Standard


(15)

Pada tahun 1889 International Committee on Weights and Measures, sebuah badan international untuk pengukuran panjang dan berat, menetapkan line-standard sebagai satu-satunya standar panjang yang sah. Meskipun demikian beberapa pihak merasa berkeberatan dengan berbagai alasan.

Albert Abraham Michelson, seorang ahli fisika Amerika kelahiran Jerman, berhasil mengukur panjang gelombang cahaya. Dengan interferometer ciptaannya Albert Michelson mampu mengukur panjang gelombang spektrum merah yang dipancarkan lampu Cadmium. Maka pada tahun 1906 beberapa ahli dari Perancis (Benoit, Farby & Perrot) berhasil menyempurnakan prosedur pengukuran panjang gelombang cahaya tersebut. Dan pada sidang ke-7 tahun 1927, CGPM (Conference Generale des Poits et Measures) menetapkan definisi meter sebagai:

satu meter adalah ukuran yang sama dengan 1.552.164,13 kali panjang gelombang spektrum merah dari sumber cahaya lampu berisi gas inert Cadmium yang diukur di atmosfer

Kemudian pada sidang ke-11 CGPM tahun 1960 disempurnakan dengan: ”satu meter didefinisikan sebanding dengan 1.650.763,73 panjang gelombang yang dipancarkan atom Kripton-86”

Dan pada tahun 1983 didefinisikan ulang dalam laju cahaya. Definisi baru ini menyatakan bahwa:

satu meter adalah panjang lintasan yang dilalui cahaya (laser helium-neon yang distabilkan dengan iodine) dalam hampa selama interval waktu 1/299.792.458 detik

Definisi yang terakhir ini dapat berlaku universal karena kecepatan laju cahaya dalam ruang hampa di manapun sama. Kecepatan cahaya juga tidak akan berubah karena pengaruh korosi sebagaimana batang meter yang pernah dibuat. 3.2 ATMEGA32

AVR Atmega32 merupakan sebuah mikrokontroler low power CMOS 8 bit berdasarkan arsitektur AVR RISC. Mikrokontroler ini memiliki karakteristik sebagai berikut.


(16)

Menggunakan arsitektur AVR RISC 1) 131 perintah dengan satu clock cycle 2) 32 x 8 register umum

a) Data dan program memori

3) 32 Kb In-System Programmable Flash 4) 2 Kb SRAM

5) 1 Kb In- System EEPROM a. 8 Channel 10-bit ADC b. Two Wire Interface

c. USART Serial Communication d. Master/Slave SPI Serial Interface e. On-Chip Oscillator

f. Watch-dog Timer g. 32 Bi-directional I/O

h. Tegangan operasi 2,7 5,5 V

Arsitektur AVR ini menggabungkan perintah secara efektif dengan 32 register umum. Semua register tersebut langsung terhubung dengan Arithmetic Logic Unit (ALU) yang memungkinkan 2 register terpisah diproses dengan satu perintah tunggal dalam satu clock cycle. Hal ini menghasilkan kode yang efektif dan kecepatan prosesnya 10 kali lebih cepat dari pada mikrokontroler CISC biasa. Berikut adalah blok diagram Mikrokontroler AVR ATMega32.

Gambar 3.3 Blok diagram AVR ATMega32 (Sumber : Atmel comporation, Agustus 2014)


(17)

Konfigurasi pin Mikrokontroler AVR ATMega32 Berikut ini adalah konfigurasi pin Atmega 32

Gambar 3.4 Pin-pin ATMega32

Gambar 3.3 Blok diagram AVR ATMega32 Secara fungsional konfigurasi pin ATMega32 adalah sebagai berikut:

a. VCC

1. Tegangan sumber b. GND (Ground)

2. Ground

c. Port A (PA7 PA0)

Port A adalah 8-bit port I/O yang bersifat bi-directional dan setiap pin memilki internal pull-up resistor. Output buffer port A dapat mengalirkan arus sebesar 20 mA. Ketika port A digunakan sebagai input dan di pull-up secara langsung, maka port A akan mengeluarkan arus jika internal pull-up resistor diaktifkan. Pin-pin dari port A memiliki fungsi khusus yaitu dapat berfungsi sebagai channel ADC (Analog to Digital Converter) sebesar 10 bit. Fungsi-fungsi khusus pin-pin port A dapat ditabelkan seperti yang tertera pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Fungsi khusus port A Port Alternate Function


(18)

d. Port B (PB7 – PB0)

Port B adalah 8-bit port I/O yang bersifat bi-directional dan setiap pin mengandung internal pull-up resistor. Output buffer port B dapat mengalirkan arus sebesar 20 mA. Ketika port B digunakan sebagai input dan di pull-down secara external, port B akan mengalirkan arus jika internal pull-up resistor diaktifkan.

Pin-pin port B memiliki fungsi-fungsi khusus, diantaranya : a) SCK port B, bit 7

Input pin clock untuk up/downloading memory. b) MISO port B, bit 6

Pin output data untuk uploading memory. c) MOSI port B, bit 5

Pin input data untuk downloading memory.

Fungsi-fungsi khusus pin-pin port B dapat ditabelkan seperti pada tabel 3.2. Tabel 3.2 Fungsi khusus port B

PA6 ADC6 (ADC input channel 6) PA5 ADC5 (ADC input channel 5) PA4 ADC4 (ADC input channel 4) PA3 ADC3 (ADC input channel 3) PA2 ADC2 (ADC input channel 2) PA1 ADC1 (ADC input channel 1) PA0 ADC0 (ADC input channel 0)

Port Alternate Function

PB7 SCK (SPI Bus Serial Clock)

PB6 MISO (SPI Bus Master Input/Slave Output) PB6 MOSI (SPI Bus Master Output/Slave Input) PB5 SS (SPI Slave Select Input)

PB3 AIN1 (Analog Comparator Negative Input)


(19)

e. Port C (PC7 – PC0)

Port C adalah 8-bit port I/O yang berfungsi bi-directional dan setiap pin memiliki internal pull-up resistor. Output buffer port C dapat mengalirkan arus sebesar 20 mA. Ketika port C digunakan sebagai input dan di pull-down secara langsung, maka port C akan mengeluarkan arus jika internal pull-up resistor diaktifkan. Fungsi-fungsi khusus pin-pin port C dapat ditabelkan seperti yang tertera pada tabel dibawah ini.

Tabel 3.3 Fungsi khusus port C

f. Port D (PD7 PD0)

Port D adalah 8-bit port I/O yang berfungsi bi-directional dan setiap pin memiliki internal pull-up resistor. Output buffer port D dapat mengalirkan arus sebesar 20 mA. Ketika port D digunakan sebagai input dan di pull-down secara langsung, maka port D akan mengeluarkan arus jika internal pull-up resistor

PB2 AIN0 (Analog Comparator Positive Input) INT2 (External Interrupt 2 Input)

PB1 T1 (Timer/Counter1 External Counter Input) PB0 T0 (Timer/Counter External Counter Input) XCK

(USART External Clock Input/Output)

Port Alternate Function

PC7 TOSC2 (Timer Oscillator Pin 2) PC6 TOSC1 (Timer Oscillator Pin 1) PC6 TD1 (JTAG Test Data In) PC5 TD0 (JTAG Test Data Out) PC3 TMS (JTAG Test Mode Select) PC2 TCK (JTAG Test Clock)

PC1 SDA (Two-wire Serial Bus Data Input/Output Line) PC0 SCL (Two-wire Serial Bus Clock Line)


(20)

diaktifkan. Fungsi-fungsi khusus pin-pin port D dapat ditabelkan seperti yang tertera pada tabel 3.4.

Tabel 3.4 Fungsi khusus port D

3.3 Push Button

Swich Push Button adalah saklar tekan yang berfungsi untuk menghubungkan atau memisahkan bagian bagian dari suatu instalasi listrik satu sama lain (suatu sistem saklar tekan push button terdiri dari saklar tekan start. Stop reset dn saklar tekan untuk emergency. Push button memiliki kontak NC (normally close) dan NO (normally open).

Prinsip kerja Push Button adalah apabila dalam keadaan normal tidak ditekan maka kontak tidak berubah, apabila ditekan maka kontak NC akan berfungsi sebagai stop dan kontak NO akan berfungsi sebagai start biasanya digunakan pada sistem pengontrolan motor – motor induksi untuk menjalankan mematikan motor pada industri – industry.

Gambar 3.5 Push Button Port Alternate Function

PD7 OC2 (Timer / Counter2 Output Compare Match Output) PD6 ICP1 (Timer/Counter1 Input Capture Pin)

PD6 OCIB (Timer/Counter1 Output Compare B Match Output) PD5 TD0 (JTAG Test Data Out)

PD3 INT1 (External Interrupt 1 Input) PD2 INT0 (External Interrupt 0 Input) PD1 TXD (USART Output Pin)


(21)

3.4 Motor DC

Motor listrik merupakan perangkat elektromagnetis yang mengubah energi listrik menjadi energi mekanik. Energi mekanik ini digunakan untuk memutar impeller pompa, fan atau blower, menggerakan kompresor, mengangkat bahan, dll. Motor listrik digunakan juga di rumah (mixer, bor listrik, fan angin) dan di industri. Motor listrik kadangkala disebut “kuda kerja” nya industri sebab diperkirakan bahwa motor-motor menggunakan sekitar 70% beban listrik total di industri.

Motor DC memerlukan suplai tegangan yang searah pada kumparan medan untuk diubah menjadi energi mekanik. Kumparan medan pada motor dc disebut stator (bagian yang tidak berputar) dan kumparan jangkar disebut rotor (bagian yang berputar). Jika terjadi putaran pada kumparan jangkar dalam pada medan magnet, maka akan timbul tegangan (GGL) yang berubah-ubah arah pada setiap setengah putaran, sehingga merupakan tegangan bolak-balik. Prinsip kerja dari arus searah adalah membalik fasa tegangan dari gelombang yang mempunyai nilai positif dengan menggunakan komutator, dengan demikian arus yang berbalik arah dengan kumparan jangkar yang berputar dalam medan magnet. Bentuk motor paling sederhana memiliki kumparan satu lilitan yang bisa berputar bebas di antara kutub-kutub magnet permanen (Ilyas, 2012).

Gambar 3.6 Motor DC Sederhana (Sumber : ilyas, 2012) 3.5 Photodioda

Photodioda adalah sebuah dioda yang dioptimasi untuk menghasilkan aliran elektron (atau arus listrik) sebagai respon apabila terpapar oleh sinar


(22)

ultraviolet, cahaya tampak, atau cahaya infra merah. Kebanyakan photodioda dibuat dari silikon, tetapi ada juga yang dibuat dari germanium dan galium arsenida. Daerah sambungan semikonduktor tipe P dan N tempat cahaya masuk harus tipis sehingga cahaya bisa masuk ke daerah aktifnya (active region) atau daerah pemisahnya (depletion region) tempat dimana cahaya diubah menjadi pasangan elektron dan hole.

Lapisan tipe-P yang dangkal terdifusi ke lapisan jenis-N yang berada pada gambar 3.7, menghasilkan sambungan PN didekat permukaan lapisan “wafer” tersebut. Lapisan tipe-P harus tipis sehingga bisa melewatkan cahaya sebanyak mungkin. Difusi tipe-N yang banyak ada di belakang lapisan “wafer” tersebut menempel dengan kontak logam.

Gambar 3.7 Photodioda : Simbol rangkaian dan penampang melintangnya Cahaya yang masuk ke bagian atas photodioda masuk ke dalam lapisan semikonduktor. Lapisan tipe-P yang tipis di atas membuat banyak foton melewatinya menuju daerah pemisah (depletion region) tempat dimana pasang elektron dan hole terbentuk. Medan listrik yang tercipta di daerah pemisah menyebabkan elektron tertarik ke lapisan N, sedangkan hole ke lapisan P. Sebenarnya, pasangan elektron dan hole bisa dibentuk pada semua daerah dari bahan semikonduktor. Namun, pasangan elektron dan hole yang tercipta di daerah pemisah akan terpisah ke daerah masing-masing yaitu daerah P dan N. Banyak pasangan elektron dan hole yang terbentuk di daerah P dan N mengalami rekombinasi. Hanya ada beberapa yang berekombinasi di daerah pemisah. Oleh karena itu, hanya ada sedikit pasangan hole dan elektron yang ada di daerah N dan


(23)

P, dan pasangan hole-elektron di daerah pemisah adalah yang menyebabkan terjadinya arus listrik pada saat photodioda terkena cahaya (photocurrent).

Tegangan dari photodioda bisa kita cek dengan melakukan percobaan. Penggunaan photodioda pada mode photovoltaic (PV) tidak linier dalam range yang sangat dinamis, selain itu juga sensitif dan memiliki noise yang rendah pada frekuensi di bawah 100 kHz. Mode operasi yang paling banyak digunakan adalah mode photocurrent (PC) karena arus yang dihasilkan lebih proporsional/linier terhadap jumlah fluks cahaya dengan intensitas tertentu, selain itu juga respon frekuensinya juga lebih tinggi. Kurva yang menunjukkan hubungan antara intensitas cahaya dengan arus yang dihasilkan oleh photodioda ditunjukkan pada gambar 3.8. Mode photocurrent bisa dicapai dengan menempatkan photodioda dalam kondisi bias terbalik (reverse bias). Penguat arus (penguat transimpedansi) harus digunakan dengan photodioda yang memiliki mode photocurrent. Linieritas pada mode photocurrent bisa dicapai selama photodioda tidak sampai dalam kondisi bias maju (forward bias).

Gambar 3.8Hubungan antara intensitas cahaya dengan arus yang dihasilkan pada photodioda

Photodioda juga sering digunakan untuk kecepatan tinggi. Masalah kecepatan respon maka erat kaitannya dengan efek kapasitansi parasit pada photodioda, dimana kapasitansi parasit ini bisa diminimalisir dengan mengurangi luas permukaan cell nya. Oleh karena itu, sensor pada sambungan fiber optik


(24)

berkecepatan tinggi memiliki luasan permukaan hanya sekitar 1 mm2. Kapasitansi parasit juga bisa dihilangkan dengan meningkatkan ketebalan daerah pemisahnya yang dilakukan pada saat proses manufakturnya. Selain itu juga bisa diperkecil dengan meningkatkan tegangan balik (reverse voltage) pada photodioda.

Dioda PIN adalah sebuah photodioda dengan lapisan tambahan diantara daerah P dan N nya seperti ditunjukkan pada gambar 3.9. Struktur intrinsik P dalam N meningkatkan jarak antara lapisan P dan N, sehingga kapasitansinya menurun, dan kecepatannya naik. Volume dari daerah yang sensitif terhadap cahaya (photo sensitive) juga meningkat, meningkatkan efisiensi konversi cahaya menjadi listrik. Bandwidth dari photodioda dapat ditingkatkan hingga 10 GHz. Photodioda PIN memiliki sensitifitas yang tinggi dan kecepatan yang tinggi dengan harga yang tidak terlalu mahal.

Gambar 3.9 Photodioda PIN : penambahan daerah instrinsik dapat meningkatkan ketebalan daerah pemisah sehingga menurunkan efek kapasitansi

parasit

Photodioda Avalence (APD) didisain untuk beroperasi pada tegangan bias terbalik (reverse bias) yang sangat tinggi menghasilkan efek melipatgandakan elektron sama seperti photomultiplier tube. Tegangan balik (reverse voltage) pada photodioda sekitar 10 V hingga 2000 V. Tegangan bias terbalik yang sangat tinggi ini mempercepat proses perubahan elektron menjadi pasangan elektron-hole pada daerah instrinsik sehingga memiliki kecepatan yang cukup pada pembawa tambahan (additional carriers) dari proses tumbukan dengan


(25)

kisi-kisi kristal. Sehingga lebih banyak elektron yang dihasilkan dari sebuah foton. Tujuan dari APD adalah melakukan penguatan di dalam photodioda sehingga mengatasi noise pada amplifier eksternalnya. Tetapi APD menghasilkan noise nya sendiri. Pada kecepatan tinggi, APD lebih unggul dari kombinasi penguat dioda PIN, tetapi tidak untuk aplikasi kecepatan rendah. APD sangat mahal, kira-kira hampir sama dengan tabung photomultiplier. Sehingga APD unggul terhadap photodioda PIN hanya untuk aplikasi-aplikasi khusus. Salah satunya adalah pada aplikasi penghitung foton tunggal pada fisika nuklir.

Cahaya memiliki energi berupa paket-paket energi yang disebut dengan foton. Energi foton ini bergantung pada frekuensi dari gelombang cahaya tersebut sesuai dengan persamaan

W = hf

dimana h adalah konstanta Planck yang memiliki nilai sebesar 6.624 x 10 -34 J/s. h adalah suatu konstanta, energi bergantung pada frekuensi gelombang cahaya yang merambat. Sebaliknya, frekuensi ditentukan dari panjang gelombang dari cahaya yang merambat sesuai dengan persamaan

= v/f dimana :

adalah panjang gelombang dalam meter v adalah kecepatan cahaya 3 x 108 m/s

f adalah frekuensi gelombang cahaya yang merambat dalam Hz

Umumnya panjang gelombang dinyatakan dalam satuan Angstrom (Å) atau mikrometer ( m). Konversi satuan ini kedalam meter adalah

1 Å = 10-10 m dan 1 m = 10-6 m

Panjang gelombang adalah penting karena ia akan menentukan material apa yang akan digunakan pada divais optoelektronik tersebut. Respon spektral relatif untuk Germaniun (Ge), Silikon (Si), dan selenium ditunjukkan pada gambar 3.10. Spektrum dari cahaya tampak juga dimasukkan dengan beberapa contoh warna.


(26)

Gambar 3.10 Respon spektral relatif untuk bahan bahan silikon, germanium, dan selenium

Jumlah elektron bebas yang dihasilkan dari masing-masing material linier dengan intensitas cahaya yang menerpa photodioda tersebut. Intensitas cahaya memiliki parameter fluks lumen per satuan luas. Fluks lumen diukur dalam satuan lumen (lm) atau watt. Kedua satuan tersebut memiliki hubungan

1 lm = 1.496 x 10-10 W

Intensitas cahaya biasanya diukur dengan satuan lm/ft2, footcandles, atau W/m2, dimana

1 lm/ft2 = 1 fc = 1.609 x 10-9 W/m2

Photodioda adalah semikonduktor jenis sambungan PN dimana daerah operasinya adalah pada mode bias terbalik (reverse bias). Rangkaian dasar dari photodioda, konstruksinya, serta simbolnya ditunjukkan pada gambar 3.11.

Gambar 3.11 (a) Cara melakukan bias pada photodioda. (b) Simbol photodioda


(27)

Prinsip kerja pada dioda bahwa arus saturasi dalam mode bias terbalik terbatas hanya beberapa mikro ampere. Arus tersebut disebabkan aliran dari pembawa minoritas yang terdapat pada meterial tipe P dan tipe N. Apabila ada cahaya yang mengenai sambungan PN nya, maka akan dihasilkan transfer energi dari rambatan gelombang cahaya (dalam bentuk foton) menjadi struktur atomik, menghasilkan peningkatan jumlah pembawa minoritas (minority carriers) dan meningkatkan level dari arus balik. Perhatikan grafik pada gambar 3.12 menujukkan hubungan antara arus dan tegangan photo dioda dalam mode bias terbalik untuk berbagai level intensitas cahaya. Arus gelap (dark current) adalah arus yang mengalir pada saat tidak ada cahaya yang mengenai photodioda. Perhatikan bahwa arus yang mengalir pada photodioda akan benar-benar menjadi nol hanya ketika photodioda tersebut diberi tegangan positif sebesar VT. Perhatikan juga gambar 5a, lensa cembung digunakan untuk mengkonsentrasikan cahaya agar jatuh pada daerah pemisah. Bentuk fisik dari photodioda yang dijual di pasaran ditunjukkan pada gambar 3.13.

Gambar 3.12 Hubungan arus dan tegangan pada photodioda dalam beberapa level intensitas cahaya


(28)

Salah satu penggunaan dari photodioda adalah pada sistem alarm sebagai keamanan, ditunjukkan pada gambar 3.14. Rangkaian tersebut terdiri dari sumber cahaya sebagai pemancar (Tx) dan photodioda sebagai penerima (Rx). Arus balik (reverse current) sebesar I akan dihasilkan oleh photodioda selama cahaya yang dipancarkan oleh Tx mengenai photodioda. Tetapi arus yang mengalir pada photodioda akan menjadi minimum mendekati nol apabila ada penghalang diantara Tx dan Rx sehingga photodioda tidak bisa menangkap cahaya dari Tx. Begitu arus yang mengalir pada photodioda mendekati nol, maka sinyal ini akan diproses oleh suatu rangkaian (misalkan rangkaian yang terdiri dari gerbang logika) untuk menyalakan alarm. Sehingga, apabila ada orang yang berjalan melewati pintu tersebut, alarm akan berbunyi. Model rangkaian seperti ini juga bisa diletakkan pada sabuk konveyor yang banyak digunakan di pabrik-pabrik untuk menghitung jumlah barang yang lewat.

Gambar 3.14 (a) Photodioda digunakan sebagai sensor pada sistem keamanan. (b) Photodioda digunakan sebagai sensor pada alat pencacah jumlah barang 3.6 MOTOR Driver L298

Ada beberapa macam driver motor DC yang biasa kita pakai seperti menggunakan relay yang diaktifkan dengan transistor sebagai saklar, namun yang demikian dianggap tidak efesien dan terlalu sulit dalam pengerjaan hardware-nya. Dengan berkembangnya dunia IC, sekarang sudah ada H-Bridge yang dikemas dalam satu IC dimana memudahkan kita dalam pelaksanaan hardware dan kendalinya apalagi jika menggunakan mikrokontroler, saya rasa akan lebih mudah lagi penggunaannya. IC yang familiar seperti IC L298 dan L293, kedua IC ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.


(29)

Modul yang menggunakan IC driver L298 yang memiliki kemampuan menggerakkan motor DC sampai arus 4A dan tegangan maksimum 46 Volt DC untuk satu kanalnya. Rangkaian driver motor DC dengan IC L298 diperlihatkan pada gambar 2.7. Pin Enable A dan B untuk mengendalikan jalan atau kecepatan motor, pin Input 1 sampai 4 untuk mengendalikan arah putaran. Pin Enable diberi VCC 5 Volt untuk kecepatan penuh dan PWM (Pulse Width Modulation) untuk kecepatan rotasi yang bervariasi tergantung dari level highnya. Ilustrasinya ditunjukkan pada gambar 3.15.

Gambar 3.15 Rangkaian Driver motor DC dengan L298 dan ilustrasi Timing enable pada IC

3.7 POTENSIOMETER

Potensiometer adalah sebuah resistor yang nilai hambatannya dapat diatur atau dapat dirubah. Simbol potensiometer atau simbol resistor variabel dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 3.16 variabel resistor

Nilai hambatan dari potensiometer ada beragam ada 50K, 100K, dll, sebagai contohnya dapat dilihat pada volume radio atau amplifier yang menggunakan tombol yang diputar. Didalam tombol tersebut sebenarnya adalah berisi potensio yang nilai hambatannya dapat digeser, jadi dengan berubahnya nilai tahanan dari resistor maka volume akan semakin tinggi atau semakin rendah.


(30)

Gambar 3.17 Potensiometer

Potensiometer merupakan salah satu jenis resistor variabel, ada tipe yang lainnya yaitu trimpot. Trimpot memiliki bentuk yang lebih kecil daripada potensio, memiliki 3 kaki dengan poros tengah yang dapat diputar. Fungsi trimpot adalah sama dengan potensiometer yaitu untuk mengatur besar-kecilnya tahanan atau sebagai penghambat yang bisa diatur.

3.8 LED (Light Emitting Diode)

Lampu LED atau kepanjangannya Light Emitting Diode adalah suatu lampu indikator dalam perangkat elektronika yang biasanya memiliki fungsi untuk menunjukkan status dari perangkat elektronika tersebut. Misalnya pada sebuah komputer, terdapat lampu LED power dan LED indikator untuk processor, atau dalam monitor terdapat juga lampu LED power dan power saving. Lampu LED terbuat dari plastik dan dioda semikonduktor yang dapat menyala apabila dialiri tegangan listrik rendah (sekitar 1.5 volt DC). Bermacam-macam warna dan bentuk dari lampu LED, disesuaikan dengan kebutuhan dan fungsinya Fungsi Lampu LED

LED (Light Emitting Diode) merupakan sejenis lampu yang akhir-akhir ini muncul dalam kehidupan kita. LED dulu umumnya digunakan pada gadget seperti ponsel atau PDA serta komputer. Sebagai pesaing lampu bohlam dan neon, saat ini aplikasinya mulai meluas dan bahkan bisa kita temukan pada korek api yang kita gunakan, lampu emergency dan sebagainya. Led sebagai model lampu masa depan dianggap dapat menekan pemanasan global karena efisiensinya. Lampu LED sekarang sudah digunakan untuk:

a) Penerangan untuk rumah b) Penerangan untuk jalan


(31)

c) Lalu lintas d) Advertising

e) Interior/eksterior gedung

Gambar 3.18 Cahaya Led

Kualitas cahayanya memang berbeda dibandingkan dengan lampu TL atau lampu lainnya. Tingkat pencahayaan LED dalam ruangan memang tak lebih terang dibandingkan lampu neon, inilah mengapa LED dianggap belum layak dipakai secara luas. Untungnya para ilmuwan di University of Glasgow menemukan cara untuk membuat LED bersinar lebih terang. Solusinya adalah dengan membuat lubang mikroskopis pada permukaan LED sehingga lampu bisa menyala lebih terang tanpa menggunakan tambahan energi apapun. Pelubangan tersebut menerapkan sistem nano-imprint litography yang sampai saat ini proyeknya masih dikembangkan bersama-sama dengan Institute of Photonics.

Sementara ini beberapa jenis lampu LED sudah dipasarkan oleh Philips. Anda bisa menemui beberapa model lampu LED bergaya bohlam yang hadir dalam warna putih susu dan juga warna-warni. Daya yang diperlukan lampu jenis ini hanya sekitar 4-10 watt saja dibandingkan lampu neon sejenis yang mencapai 12-20 watt. Jika dihitung secara seksama memang bisa diakui bahwa lampu LED menggunakan daya yang lebih hemat daripada lampu TL.

LED sebagai Sumber Cahaya Masa Depan

Sumber cahaya dari waktu ke waktu semakin berkembang, mulai dari penemuan lampu pijar oleh Edison dan dalam waktu yang hampir bersamaan ditemukan juga lampu fluorescence (TL) dan merkuri. Saat ini ada beberapa jenis


(32)

lampu yang digunakan manusia untuk berbagai keperluan, yaitu lampu pijar, TL, LED, Merkuri, Halogen, Sodium dan sebagainya. Namun masih ada kekurangan pada lampu generasi pertama sehingga lampu terus dikembangkan agar bisa menghasilkan cahaya yang terang, memberikan warna yang bagus, hemat energi, portable (mudah dibawa) dan lain sebagainya. Yang paling menarik dari beberapa jenis lampu adalah LED.

LED Sebagai Dioda Semikonduktor

Light Emitting Diode (LED) merupakan jenis dioda semikonduktor yang dapat mengeluarkan energi cahaya ketika diberikan tegangan.

Gambar 3.19 Struktur Dasar LED

Semikonduktor merupakan material yang dapat menghantarkan arus listrik, meskipun tidak sebaik konduktor listrik. Semikonduktor umumnya dibuat dari konduktor lemah yang diberi pengotor berupa material lain. Dalam LED digunakan konduktor dengan gabungan unsur logam aluminium-gallium-arsenit (AlGaAs). Konduktor AlGaAs murni tidak memiliki pasangan elektron bebas sehingga tidak dapat mengalirkan arus listrik. Oleh karena itu dilakukan proses doping dengan menambahkan elektron bebas untuk mengganggu keseimbangan konduktor tersebut, sehingga material yang ada menjadi semakin konduktif. Proses Pembangkitan Cahaya pada LED

Cahaya pada dasarnya terbentuk dari paket-paket partikel yang memiliki energi dan momentum, tetapi tidak memiliki massa. Partikel ini disebut foton. Foton dilepaskan sebagai hasil pergerakan elektron. Pada sebuah atom, elektron bergerak pada suatu orbit yang mengelilingi sebuah inti atom. Elektron pada orbital yang berbeda memiliki jumlah energi yang berbeda. Elektron yang berpindah dari orbital dengan tingkat energi lebih tinggi ke orbital dengan tingkat


(33)

energi lebih rendah perlu melepas energi yang dimilikinya. Energi yang dilepaskan ini merupakan bentuk dari foton. Semakin besar energi yang dilepaskan, semakin besar energi yang terkandung dalam foton.

Pembangkitan cahaya pada lampu pijar adalah dengan mengalirkan arus pada filamen (kawat) yang letaknya ada ditengah-tengah bola lampu dan menyebabkan filamen tersebut panas, setelah panas pada suhu tertentu (tergantung pada jenis bahan filamen), filamen tersebut akan memancarkan cahaya. Namun karena pada lampu pijar yang memancarkan cahaya adalah filamen yang terbakar, tapi jika suhu pada filamen melewati batas kemampuan filamen untuk menahan panas, akan mengakibatkan filamen lampu pijar sedikit demi sedikit meleleh dan selanjutnya putus sehingga lampu pijar tidak akan bisa memancarkan cahaya lagi. Umur dari lampu pijar kurang lebih sekitar 2000 jam. Sedangkan pada lampu flurescence atau lampu TL, proses pembangkitan cahaya hanya memanfaatkan ionisasi gas dalam tabung lampu lalu diberikan beda potensial diantara kedua ujung tabung lampu TL sehingga mengakibatkan loncatan-loncatan elektron dari ujung yang satu ke ujung yang lain dan saat terjadi loncatan elektron bersamaan dengan dipancarkannya cahaya dari loncatan tersebut. Kekurangan dari lampu TL adalah jika gas yang ada dalam tabung habis, maka cahayanya tidak bisa dipancarkan lagi. Umur dari lampu TL relatif lebih lama daripada lampu pijar.

Ketika sebuah dioda sedang mengalirkan elektron, terjadi pelepasan energi yang umumnya berbentuk emisi panas dan cahaya. Material semikonduktor pada dioda sendiri menyerap cukup banyak energi cahaya, sehingga tidak seluruhnya dilepaskan. LED merupakan dioda yang dirancang untuk melepaskan sejumlah banyak foton, sehingga dapat mengeluarkan cahaya yang tampak oleh mata. Umumnya LED dibungkus oleh bohlam plastik yang dirancang sedemikian sehingga cahaya yang dikeluarkan terfokus pada suatu arah tertentu.

Setiap material hanya dapat mengemisikan foton dalam rentang frekuensi sangat sempit. LED yang menghasilkan warna berbeda terbuat dari material semikonduktor yang berbeda pula, serta membutuhkan tingkat energi berbeda untuk menghasilkan cahaya. Misalnya AlGaAs - merah dan inframerah, AlGaP – hijau, GaP - merah, kuning dan hijau.


(34)

LED sebagai sumber cahaya

Lampu pijar lebih murah tapi juga kurang efisien dibanding LED. Lampu TL lebih efisien daripada lampu pijar, tapi butuh tempat besar, mudah pecah dan membutuhkan starter atau rangkaian ballast yang terkadang terdengar suara dengungnya.

LED mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan lampu pijar konvensional. LED tidak memiliki filamen yang terbakar, sehingga usia pakai LED jauh lebih panjang daripada lampu pijar, LED tidak memerlukan gas untuk menghasilkan cahaya. Selain itu bentuk dari LED yang sederhana, kecil dan kompak memudahkan penempatannya. Dalam hal efisiensi, LED juga memiliki keunggulan. Pada lampu pijar konvensional, proses produksi cahaya menghasilkan panas yang tinggi karena filamen lampu harus dipanaskan. LED hanya sedikit menghasilkan panas, sehingga porsi terbesar dari energi listrik yang ada digunakan untuk menghasilkan cahaya dan membuatnya jauh lebih efisien.

RGB (Red Green Blue) LED atau LED yang bisa mengeluarkan warna yang dipancarkan lebih dari satu warna sehingga memungkinkan aplikasi LED yang semakin luas, khususnya menambah keindahan dalam dunia desain interior dan eksterior.

Dalam terminologi teknik pencahayaan, LED dapat dikatakan memiliki tingkat efisiensi luminus (cahaya) atau efikasi yang tinggi, karena perbandingan banyaknya energi cahaya yang dikeluarkan LED dengan besarnya daya listrik yang dikonsumsinya cukup tinggi jika dibandingkan dengan lampu pijar konvensional.

Salah satu contoh produk dari LED adalah LedVision yang dikeluarkan oleh Philips sebagai traffic light (lampu lalu lintas) yang tersusun dari ribuan LED yang dipasangkan pada lampu lalu lintas dengan umur (life time) mencapai 100.000 jam atau sekitar 10 tahun lebih sehingga efektif dalam mengurangi biaya perawatan.Led Vision beroperasi pada tegangan rendah dan arus yang lebih kecil sehingga bisa menghemat sampai 90% energi listrik yang dikonsumsi oleh lampu pijar (yang sekarang banyak digunakan) dan umurnya 10 kali lebih panjang.


(35)

LED dengan cahaya monokromatiknya memiliki keunggulan kekuatan yang besar lebih dari cahaya putih ketika warna yang spesifik diperlukan. tidak seperti cahaya putih tradisional, LED tidak membutuhkan lapisan atau diffuser yang banyak mengabsorpsi cahaya yang dikeluarkan. cahaya LED mempunyai sifat warna tertentu, dan tersedia pada range warna yang lebar. salah satunya yang baru-baru ini warnanya diperkenalkan adalah emerald green (bluish green, panjang gelombangnya kira-kira 500nm) yang cocok dengan persyaratan sebagai sinyal lalu lintas dan cahaya navigasi. Cahaya LED kuning adalah pilihan bagus karena mata manusia sensitif pada cahaya kuning (kira-kira yang dipancarkan 500lm/watt).

Kelebihan LED dari lampu yang ada sekarang (lampu pijar, TL,dll) yaitu dalam hal efisiensi energi dan umur yang panjang menjadikan LED sangat berpotensi untuk dijadikan sumber pencahayaan pengganti lampu di masa depan. LED biru dan putih

Gambar 3.20 GaN LED ultraviolet

LED biru pertama yang dapat mencapai keterangan komersial menggunakan substrat galium nitrida yang ditemukan oleh Shuji Nakamura tahun 1993 sewaktu berkarir di Nichia Corporation di Jepang. LED ini kemudian populer di penghujung tahun 90-an. LED biru ini dapat dikombinasikan ke LED merah dan hijau yang telah ada sebelumnya untuk menciptakan cahaya putih.

LED dengan cahaya putih sekarang ini mayoritas dibuat dengan cara melapisi substrat galium nitrida (GaN) dengan fosfor kuning. Karena warna kuning merangsang penerima warna merah dan hijau di mata manusia, kombinasi


(36)

antara warna kuning dari fosfor dan warna biru dari substrat akan memberikan kesan warna putih bagi mata manusia.

LED putih juga dapat dibuat dengan cara melapisi fosfor biru, merah dan hijau di substrat ultraviolet dekat yang lebih kurang sama dengan cara kerja lampu fluoresen.

Metode terbaru untuk menciptakan cahaya putih dari LED adalah dengan tidak menggunakan fosfor sama sekali melainkan menggunakan substrat seng selenida yang dapat memancarkan cahaya biru dari area aktif dan cahaya kuning dari substrat itu sendiri.


(37)

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Masalah

Dalam proses produksi hal yang paling menonjol untuk menghasilkan suatu barang produksi yang memiliki kualitas yang bagus ialah bahan dan mesin yang digunakan. Bahan yang baik akan menghasilkan barang yang bagus, tetapi semua itu harus ditunjang dengan mesin produksi yang canggih atau memiliki kualitas yang bagus, agar barang yang dihasilkan dalam proses produksi tersebut menjadi barang yang memiliki kualitas unggulan. Supaya menjadi barang yang memiliki kualitas unggulan diperlukan kontrol dalam produksi. Hal yang perlu dikontrol otomatis dalam pembuatan terpal diantaranya penentuan panjang terpal. Untuk itu kerja praktek ini merancang sebuah prototype rancang bangun alat pengukur panjang terpal. Dalam merancang sebuah prototype diperlukan desain mekanik dan elektronik.

4.1.1 Rancangan alat Pengukur panjang Terpal

Gambar 4.1 Diagram Pengukur Panjang Terpal

Berikut ini akan disajikan tabel port yang digunakan pada rancangan sistem yang tergambar pada diagram blok diatas:

ATMega 32

(Kendali Kecepatan Dan Arah) Sensor Photodioda

MOTOR DRIVER

MOTOR DC Push Button

Potensiometer


(38)

Tabel 4.1 Port yang digunakan Rancang Bangun Pengukur Panjang Terpal

Pada saat alat dijalankan sebelumnya harus mengeset terlebih dahulu berapa panjang yang akan diukur oleh alat tersebut. Untuk mengeset panjang tersebut tekan tombol push button yang terhubung dengan PORTC.0 setalah selesai diset tekan tombol On yang bertujuan untuk mejalankan program sesuai dengan berapa meter harus mencacat. Setelah pencacahan selesai atau sesuai dengan apa yang telah di set alat akan berhenti secara otomatis dan memberikan tanda nyalahnya led agar user bisa mengetahui bahwa prosenya telah selesai dikerjakan.

4.1.2 Desain Mekanik

Dalam rancangan prototype alat pengukur panjang terpal P.E selain diperlukan rancangan sistem juga diperlukan rancangan untuk desain alat pengukur panjang terpal tersebut, dimana desain ini memiliki tujuan untuk mengetahui model dari prototype yang akan dirancang.

Pada gambar 4.2 adalah rancangan desain mekanik untuk pembuatan prototype rancang bangun alat pengukur panjang terpal P.E.

PORTA.0 In/Out Potensiometer

PORTD.0 Out Dir Motor +

PORTD.1 Out Dir Motor -

PORTD.5(OCR1A) Out (PWM Kanan) Motor

PORTC.0 In/Out Push Button Set Panjang


(39)

Keterangan Desain Mekanik Pengukur Panjang Terpal:

1. Balok : Balok ini berfungsi untuk menggulung terpal yang digerakkan oleh motor sehingga mempermudah untuk mengambilnya tanpa harus menggulung kembali setelah proses pencacahan selesai. Balok ini memiliki diameter 6 cm.

2. Pipa : Pipa ini berfungsi untuk penyekat terpal, agar terpal yang diukur dalam kecepatan tinggi tidak rusak.

3. Balok penggerak : Balok penggerak ini bertujuan saat proses pencacah panjang dapat bergerak lebih ringan.

4. Vanbel : vanbel ini berfungsi untuk menarik balok penggerak saat motor sudah bergerak agar lebih mudah dan lebih ringan saat prose pencacahan terpal.

5. Motor DC : motor DC ini berfungsi untuk menggerakkan seluruh sistem saat proses pencacahan dan disamping motor tersebut terdapat sensor photodioda yang berfungsi untuk mencacah panjang terpal yang telah diinputkan oleh pengguna.

25 cm 15 cm

Gambar 4.2 Desain Mekanik Pengukur Panjang Terpal 4

1

2

3 5


(40)

4.1.3 Rancangan alat Penghitung panjang terpal

Gambar 4.3 adalah gambar untuk pemasangan komponen sistem yang digunakan untuk rancangan bangun pengukur panjang terpal dari Atmega, Motor DC dan lain-lain.

Pada gambar 4.3 terdapat berbagai macam komponen yang diantaranya adalah :

1. Atmega 32A

Atmega ini adalah otak dari semuanya karena Atmega ini sudah berisi program yang bertujuan untuk memberikan perinta pada semua sistem yang ada pada rancang bangun pengukur panjang terpal tersebut.

2. Photodioda

Photodioda, photodioda ini berfungsi sebagai sensor pencacah panjang terpal, photodioda ini akan selalu mencacah jika input yang diberikan oleh user masih tidak sesuai, tetapi jika input user sudah sesuai maka photodioda akan berrhenti mencacah.

3. Push Button

Push Button pada rancang bangun pengukur panjang terpal ini berfungsi sebagai masukan input pencacah panjang terpal.

4. LCD

LCD berfungsi sebagai display dari semua proses yang sedang berjalan pada rancang bangun pengukur panjang terpal. LCD ini menampilkan pencacahan, kecepatan motor dan lain-lain.

5. LED

LED berfungsi sebagai indikator yang mana setelah proses pencacahan selesai led akan menyalah untuk memberitahukan pada user bahwa proses telah selesai dikerjakan.


(41)

6. Potensiometer

Potensiometer ini memiliki fungsi sebagai pengatur kecepatan motor saat proses pencacahan berlangsung.

7. Resistor

Gambar 4.3 Rancangan Elektornika Pengukur Panjang Terpal P.E 4.1.4 Cara Kerja Alat

Cara menggunakan atau menjalankan alat pengukur panjang terpal sebagai berikut :

1. Hubungkan dengan listrk bertegangan 5V.

2. Setalah dihubungkan dengan arus listrik, set terlebih dahulu berapa panjang alat ini menghitung.

3. Kemudian tekan push button yang satunya, dimana push button ini berfungsi untuk menjalankan program yang sudah tertanam di dalam Atmega32.

4. Alat akan berjalan selama alat tersebut tidak mengukur sesuai dengan input yang telah dimasukkan.

5. Setelah alat menghitung sesuai dengan yang telah diinputkan alat akan berhenti dan memberikan tanda atau led akan menyala. Untuk mengulangi kembali reset terlebih dahulu kemudian lanjutkan kelangkah yang pertama.


(42)

4.2Komponen Pengukur terpal P.E

Komponen adalah hal yang dibutuhkan dalam pembuatan rancangan bangun alat pengukur panjang terpal ini karena komponen-komponen akan dijadikan sebuah rangkaian. Rangkaian ini yang akan menggerakkan atau mengontrol tengangan dan lain-lain. Dibawah ini adalah penjelasan tentang komponen yang dibutuhkan dalam pembuatan pengukur panjang terpal P.E. 4.2.1 Minimum System

a. Arsitektur CPU ATMEGA32

Fungsi utama CPU adalah memastikan pengeksekusian instruksi dilakukan dengan benar. Oleh karena itu CPU harus dapat mengakses memori, melakukan kalkulasi, mengontrol peripheral, dan menangani interupsi.

Ada 32 buah General Purpose Register yang membantu ALU bekerja. Untuk operasi aritmatika dan logika, operand berasal dari dua buah general register dan hasil operasi ditulis kembali ke register. Status and Control berfungsi untuk menyimpan instruksi aritmatika yang baru saja dieksekusi. Informasi ini berguna untuk mengubah alur program saat mengeksekusi operasi kondisional. Instruksi dari flash memory. Setiap byte flash memory memiliki alamat masing-masing. Alamat instruksi yang akan dieksekusi senantiasa disimpan Program Counter. Ketika terjadi interupsi atau pemanggilan rutin biasa, alamat di Program Counter disimpan terlebih dahulu di stack. Alamat interupsi atau rutin kemudian ditulis ke Program Counter, instruksi kemudian dijemput dan dieksekusi. Ketika CPU telah selesai mengeksekusi rutin interupsi atau rutin biasa, alamat yang ada di stack dibaca dan ditulis kembali ke Program Counter.

b. Program Memori

ATMEGA 32 memiliki 32 KiloByte flash memory untuk menyimpan program. Karena lebar intruksi 16 bit atau 32 bit maka flash memori dibuat berukuran 16K x 16. Artinya ada 16K alamat di flash memori yang bisa dipakai dimulai dari alamat 0 heksa sampai alamat 3FFF heksa dan setiap alamatnya menyimpan 16 bit instruksi.


(43)

c. SRAM Data Memori

ATMEGA32 memiliki 2 KiloByte SRAM. Memori ini dipakai untuk menyimpan variabel. Tempat khusus di SRAM yang senantiasa ditunjuk register SP disebut stack. Stack berfungsi untuk menyimpan nilai yang dipush.

d. EEPROM Data Memori

ATMEGA32 memiliki 1024 byte data EEPROM. Data di EEPROM tidak akan hilang walaupun catuan daya ke sistem mati. Parameter sistem yang penting disimpan di EEPROM. Saat sistem pertama kali menyala paramater tersebut dibaca dan system diinisialisasi sesuai dengan nilai parameter tersebut.

e. Interupsi

Sumber interupsi ATMEGA32 ada 21 buah. Tabel 2 hanya menunjukkan 10 buah interupsi pertama. Saat interupsi diaktifkan dan interupsi terjadi maka CPU menunda instruksi sekarang dan melompat ke alamat rutin interupsi yang terjadi. Setelah selesai mengeksekusi intruksi-instruksi yang ada di alamat rutin interupsi CPU kembali melanjutkan instruksi yang sempat tertunda.

f. I/O Port

ATMEGA32 memiliki 32 buah pin I/O. Melalui pin I/O inilah ATMEGA32 berinteraksi dengan sistem lain. Masing-masing pin I/O dapat dikonfigurasi tanpa mempengaruhi fungsi pin I/O yang lain. Setiap pin I/O memiliki tiga register yakni: DDxn, PORTxn, dan PINxn. Kombinasi nilai DDxn dan PORTxn menentukan arah pin I/O.

g. Clear Timer on Compare Match (CTC)

CTC adalah salah satu mode Timer/Counter1, selain itu ada Normal mode, FastPWM mode, Phase Correct PWM mode. Pada CTC mode maka nilai TCNT1 menjadi nol jika nilai TCNT1 telah sama dengan OCR1A atau ICR1. Jika nilai top ditentukan OCR1A dan interupsi diaktifkan untuk Compare Match A maka saat nilai TCNT1 sama dengan nilai OCR1A interupsi terjadi. CPU melayani interupsi ini dan nilai TCNT1 menjadi nol.


(44)

h. USART

Selain untuk general I/O, pin PD1 dan PD0 ATMEGA32 berfungsi untuk mengirim dan menerima bit secara serial.

Pengubahan fungsi ini dibuat dengan mengubah nilai beberapa register serial. Untuk menekankan fungsi ini, pin PD1 disebut TxD dan pin PD0 disebut RxD. Gambar diatas menunjukkan bentuk frame yang dimiliki ATMEGA32. Nilai UBRR dan clock sistem menentukan laju bit pengirim dan penerima serial.

4.2.2 Program Downloader

DT-HiQ AVR-51 USB ISP mkII adalah In-System Programmer (ISP) untuk mikrokontroler AVR® 8-bit RISC dan MCS-51. Programmer ini dapat dihubungkan ke PC melalui antarmuka USB dan mengambil sumber catu daya dari target board. Untuk memprogram IC AVR, DT-HiQ AVR-51 USB ISP mkII dapat digunakan dengan perangkat lunak AVR Studio, CodeVisionAVR©,

AVRDUDE (WinAVR™), BASCOM-AVR, dan perangkat lunak lain yang

mendukung protokol ATMEL AVRISP MKII (USB). Untuk memprogram IC MCS 51, DT-HiQ AVR-51 USB ISP mkII dilengkapi dengan perangkat lunak berbasis Windows yang menyediakan antarmuka yang sederhana dan mudah digunakan pengguna.


(45)

Berikut fungsi-fungsi pin pada downloader :

Tabel 4.2 Tabel Fungsi PIN

Gambar 4.5 PINOUT Connection 4.2.3 Rangkaian Reset

Pin reset pada microcontroller adalah pin (kaki) 1. Reset dapat dilakukan secara manual atau otomatis saat power dihidupkan (Power reset ON).

NAMA NO.PIN I/O KETERANGAN

VTG 2 - Catu daya dari project board (2.7 – 5.5 V)

GND 4, 6, 8,10 - Titik referensi

LED 3 Output Sinyal control untuk LED atau multiplexer (opsional)

MOSI 1 Output Command dan data dari AVR USB ISP

mkII ke target AVR

MISO 9 Input Data dari target AVR ke AVR USB ISP

mkII

SCK 7 Output Serial clock, dikendalikan oleh AVR USB ISP mkII

RESET 5 Output Reset, dikendalikan oleh AVR USB ISP mkII


(46)

Gambar 4.6 Rangkaian Reset

Reset terjadi dengan adanya logika 1 selama minimal 2 machine cycle yang diterima pin reset dan akan bernilai low. Pada saat reset bernilai low, microcontroller akan melakukan reset program yang ada di dalam microcontroller dan mengakhiri semua aktivitas pada microcontroller (Pribadi,2014).

4.2.4 Rangkaian Power

Gambar 4.7 Rangkaian Power

Sumber tegangan input dari baterai 12 volt akan masuk ke transistor, tegangan langsung diturunkan dengan transistor 7806 sehingga tegangan menjadi 5,5 volt dengan arus 1 A. Output dari transistor 7806 akan masuk ke resistor 100

Ω untuk mengurangi 0,3 A, selanjutanya arus masuk ke input kaki base Tip 41.

Pada kaki collector Tip 41 yang dipasang secara pararel, sehingga outputnya arus menjadi 8 A, karena pada tiap-tiap Tip 41 mempunyai arus 4 A pada outputanya. Kapasitor di rangkaian power untuk menyimpan daya saat baterai dari sumber tegangan mati (Pribadi,2014).

reset

SW1 C1

10uF/16v R1 10k

R2

100


(47)

Rangakian diatas ini merupakan simulasi untuk perancangan alat, karena sebelum membuat alat seharusnya memiliki rancangan terlebih dahulu sebelum memprosesnya. Dalam gambar tersebut ada beberapa komponen yang digunakan, akan tetapi fungsi dari setiap komponen yang terpasang dalam rangkaian schematic diatas memiliki fungsi dan keunggulan masing – masing. Walaupun memiliki fungsin dan keunggulan masing - masing komponen itu saling berhubungan dengan komponen yang lain, agar menghasilkan suatu yang diharapkan oleh penggunanya.

4.3 Pembahasan Program

4.3.1 Proses Pembuatan Program

1. Instal terlebih dahulu CodeVisionAVR2.05.3 2. Setelah selesai di install buka code vision Avr

Gambar 4.8 Avr Pertama dibuka

3. Setelah proses tersebut selesai, kemudian akan masuk keinti program Avr yang tampilannya sebagai berikut :


(48)

Gambar 4.9 Tampilan Avr 4. Klik file , pilih new, pilih project kemudian Ok.


(49)

5. Setelah itu tulis program yang ada inginkan untuk dimasukkan ke dalam Atmega 32.

Jika program selesai di buat, setelah itu buatlah program yang dibutuhkan oleh rancang bangun pengukur panjang terpal dari pengaturan kecepatan motor, sensor photodioda dan lain-lain.

4.3.2 Proses Pemindahan Program kedalam Atmega 1. Pilih menu bar Tool, pilih Configure.

Gambar 4.11 Pemilihan menu Configure

2. Pilih bagian After Build, centang Program the Chip,kemudian tekan

OK. Beikut tampilan dari program Chip signature pada pada CodeVision AVR yang akan digunakan untuk menuliskan program dan melakukan percobaan terhadapat Minimum system.


(50)

3. Kemudian centang Check Erasure, lalu tekan OK.

Gambar 4.13 Proses centang Check Erasure

4. Kemudian “Run” program AVR, tekan Ctrl-F9, setelah muncul tampilan dibawah tekan Program the chip.


(51)

5. Terakhir download program, setelah proses download berhasil dapat dikatakan Minimum system dapat bekerja dengan baik.


(52)

4.3.3 Ujii Coba Alat

Dalam pembuatan rancang bangun ini terdapat beberapa uji coba yang mana uji coba ini bertujuan untuk mengetahui kinerja dari rancang bangun tersebut berjalan sesuai yang diinginkan apa tidak. Uji coba yang dilakukan adalah uji coba sensor photodioda , LDR, Phototransistor, yang mana hasil uji coba terdapat pada tabel 4.3, 4.4, 4.5, 4.6.

Tabel 4.3 Hasil Pengujian Rangkaian Sensor Cahaya pada Ruang Gelap Lampu Mati dan Tirai Tertutup

Pada hasil uji coba diatas saat posisi ruang gelap lampu mati dan tirai tertutup, tegangan yang dihasilkan pada percobaan 1 dan 2 dengan jarak 20 cm LDR menghasilkan output yang sama yaitu sebesar 2.23 V sedangkan pada percobaan 3 LDR menghasilkan output sebesar 2.24 V. Untuk photodioda pada percobaan 1 menghasilkan output sebesar 4.35 V. pada percobaan 2 photodioda menghasilkan output sebesar 4.73 V. Percobaan 3 photodioda menghasilkan output sebesar 4.75 V. Pada uji coba phototransistor, output yang dihasilkan pada percobaan 1 dan 2 sebesar 0.23 V sedangkan pada percobaan 3 phototransistror menghasilkan output sebesar 0.24 V. Sehingga rata-rata yang dihasilkan dari

Sensor Cahaya Jarak (cm) Tegangan (V) Rata - rata

V1 V2 V3

LDR

20 2.23 2.23 2.24 2.23

40 1.10 1.08 1.08 2.54

60 0.64 0.61 0.66 1.08

80 0.44 0.44 0.39 0.42

100 0.34 0.34 0.33 0.33

Photodioda

20 4.35 4.73 4.75 4.61

40 1.37 1.61 1.56 1.51

60 0.68 0.66 0.83 0.72

80 0.45 0.45 0.43 0.44

100 0.25 0.27 0.29 0,27

Phototransistor

20 0.23 0.23 0.24 0.23

40 0.06 0.06 0.06 0.06

60 0.03 0.02 0.03 0.02

80 0.01 0.01 0.01 0.01


(53)

percobaan 1, 2 dan 3 untuk LDR adalah 2.23 V, photodioda sebesar 4.61 V sedangkan pada phototransistor rata-rata output yang dihasilkan adalah 0.23 V.

Pada uji coba berikutnya LDR diletakkan pada jarak 40 cm dimana hasilnya, percobaan 1 LDR menghasilkan output sebesar 1.10 V sedangkan pada percobaan 2 dan 3 LDR menghasilkan output yang sama yaitu 1.08 V. Untuk photodioda pada percobaan 1 menghasilkan output sebesar 1.37 V. pada percobaan 2 photodioda menghasilkan output sebesar 1.61 V. Percobaan 3 photodioda menghasilkan output sebesar 1.56 V. Pada uji coba phototransistor, output yang dihasilkan pada percobaan 1, 2 dan 3 sama yaitu sebesar 0.06 V. Jadi rata-rata output yang dihasilkan LDR sebesar 2.54 V, photodioda sebesar 1.51 V sedangkan pada phototransistor nilai rata-rata output sebesar 0.06 V.

Pada jarak 60 cm, output yang dihasilkan LDR pada percobaan 1, 2 dan 3 mengalami penurunan. Pada percobaan 1 output yang dihasilkan LDR sebesar 0.64 V. Untuk percobaan 2 LDR menghasilkan output sebesar 0.61 V sedangkan pada percobaan yang 3 LDR hanya menghasilkan output sebesar 0.66 V. Sedangkan photodioda pada percobaan 1 menghasilkan output sebesar 0.68 V. pada percobaan 2 photodioda menghasilkan output sebesar 0.66 V. Percobaan 3 photodioda menghasilkan output sebesar 0.83 V. Pada uji coba phototransistor, output yang dihasilkan pada percobaan 1 dan 3 sama yaitu sebesar 0.01 V sedangkan pada percobaan 2 output yang dihasilkan adalah 0.02 V. Jadi Rata-rata keseluruhan dari percobaan 1, 2 dan 3 pada jarak 60 cm LDR menghasilkan output sebesar 1.08 V, photodioda menghasilkan output sebesar 0.72 sedangkan pada phototransistor output yang dihasilkan yaitu 0.02 V.

Untuk jarak 80 cm, pada percobaan 1 dan 2 output yang dihasilkan LDR sama yaitu sebesar 0.44 V. Sedangkan untuk percobaan 3 LDR hanya menghasilkan output sebesar 0.39 V. Untuk photodioda pada percobaan 1 dan 2 menghasilkan output yang sama yaitu sebesar 0.45 V sedangkan untuk percobaan 3 photodioda menghasilkan output sebesar 0.43 V. Pada uji coba phototransistor, output yang dihasilkan pada percobaan 1, 2 dan 3 sama yaitu sebesar 0.01 V. Jadi, hasil rata-rata output LDR pada jarak 80 cm yaitu 0.42 V, photodioda


(54)

menghasilkan rata-rata output sebesar 0.44 V sedangkan untuk phototransistor menghasilkan output sebesar 0.01 V.

Pengujian terakhir yaitu dengan jarak 100 cm, pada percobaan 1 dan 2 LDR menghasilkan output yang sama sebesar 0.34 V sedangkan pada percobaan 3 LDR menghasilkan output sebesar 0.33 V. Untuk photodioda pada percobaan 1 menghasilkan output sebesar 0.25 V. pada percobaan 2 photodioda menghasilkan output sebesar 0.27 V. Percobaan 3 photodioda menghasilkan output sebesar 0.29 V. Pada uji coba phototransistor, output yang dihasilkan pada percobaan 1, 2 dan 3 sama yaitu sebesar 0.01 V. jadi rata-rata keselurahan dari percobaan pada jarak 100 cm LDR menghasilkan output sebesar 0.33 V, photodioda menghasilkan rata-rata 0.27 V dan phototransistor 0.01 V.

Tabel 4.4 Hasil Pengujian Sensor Cahaya pada Ruang Gelap Lampu Nyala dan Tirai Tertutup

Pada hasil uji coba diatas saat posisi ruang gelap lampu nyala dan tirai tertutup, tegangan yang dihasilkan pada percobaan 1 dengan jarak 20 cm LDR menghasilkan output sebesar 3.60 V. Percobaan 2 LDR menghasilkan output sebesar 3.57 V sedangkan pada percobaan 3 LDR menghasilkan output sebesar 3.49 V. Untuk photodioda pada percobaan 1 menghasilkan output sebesar 4.78 V.

Sensor Cahaya Jarak (cm)

Tegangan (V)

Rata - rata

V1 V2 V3

LDR

20 3.60 3.57 3.49 3.55

40 3.46 3.47 3.47 3.46

60 3.46 3.46 3.46 3.46

80 3.46 3.46 3.46 3.46

100 3.46 3.46 3.46 3.46

Photodioda

20 4.78 4.79 4.80 4.79

40 2.50 2.46 2.50 2.48

60 1.30 1.38 1.58 1.42

80 1.00 1.03 1.10 1.04

100 0.84 0.90 0.94 0.89

Phototransistor

20 0.15 0.16 0.16 0.15

40 0.13 0.14 0.14 0.13

60 0.13 0.14 0.14 0.13

80 0.13 0.14 0.14 0.13


(55)

pada percobaan 2 photodioda menghasilkan output sebesar 4.79 V. Percobaan 3 photodioda menghasilkan output sebesar 4.80 V. Pada uji coba phototransistor, output yang dihasilkan pada percobaan 1 sebesar 0.15 V sedangkan pada percobaan 2 dan 3 phototransistor menghasilkan output yang sama yaitu sebesar 0.16 V. Sehingga rata-rata yang dihasilkan dari percobaan 1, 2 dan 3 untuk LDR adalah 3.55 V, photodioda sebesar 4.79 V sedangkan pada phototransistor rata-rata output yang dihasilkan adalah 0.15 V.

Pada uji coba berikutnya LDR diletakkan pada jarak 40 cm dimana hasilnya, percobaan 1 LDR menghasilkan output sebesar 3.46 V sedangkan pada percobaan 2 dan 3 LDR menghasilkan output yang sama yaitu 3.47 V. Untuk photodioda pada percobaan 1 dan 3 menghasilkan output yang sama yaitu sebesar 2.50 V sedangkan pada percobaan 2 photodioda menghasilkan output sebesar 2.46 V. Pada uji coba phototransistor, output yang dihasilkan pada percobaan 1 sebesar 0.13 V sedangkan pada percobaan 2 dan 3 menghsilkan output sama yaitu sebesar 0.14 V. Jadi rata-rata output yang dihasilkan LDR sebesar 3.46 V, photodioda sebesar 2.48 V sedangkan untuk phototransistor nilai rata-rata tegangan sebesar 0.13 V.

Untuk jarak 60 cm, pada percobaan 1, 2 dan 3 output yang dihasilkan LDR sama yaitu sebesar 3.46 V. Untuk photodioda pada percobaan 1 menghasilkan output sebesar 1.30 V. Pada percobaan 2 menghasilkan output sebesar 1.38 V sedangkan untuk percobaan 3 photodioda menghasilkan output sebesar 1.58 V. Pada uji coba phototransistor, output yang dihasilkan pada percobaan 1 sebesar 0.13 V sedangkan pada percobaan 2 dan 3 menghsilkan output sama yaitu sebesar 0.14 V. Jadi, hasil rata-rata output LDR pada jarak 60 cm yaitu 3.46 V, photodioda menghasilkan rata-rata output sebesar 1.42 V sedangkan untuk phototransistor menghasilkan output sebesar 0.13 V.

Pada jarak 80 cm, percobaan 1, 2 dan 3 output yang dihasilkan LDR sama yaitu sebesar 3.46 V. Untuk photodioda pada percobaan 1 menghasilkan output sebesar 1.00 V. Pada percobaan 2 menghasilkan output sebesar 1.03 V sedangkan untuk percobaan 3 photodioda menghasilkan output sebesar 1.10 V. Pada uji coba phototransistor, output yang dihasilkan pada percobaan 1 sebesar 0.13 V


(56)

sedangkan pada percobaan 2 dan 3 menghsilkan output sama yaitu sebesar 0.14 V. Jadi, hasil rata-rata output LDR pada jarak 80 cm yaitu 3.46 V, photodioda menghasilkan rata-rata output sebesar 1.04 V sedangkan untuk phototransistor menghasilkan output sebesar 0.13 V.

Pengujian terakhir yaitu dengan jarak 100 cm, pada percobaan 1, 2 dan 3 LDR menghasilkan output yang sama sebesar 3.46 V. Untuk photodioda pada percobaan 1 menghasilkan output sebesar 0.84 V. pada percobaan 2 photodioda menghasilkan output sebesar 0.90 V. Percobaan 3 photodioda menghasilkan output sebesar 0.94 V. Pada uji coba phototransistor output yang dihasilkan pada percobaan 1, 2 dan 3 sama yaitu sebesar 0.13 V. jadi rata-rata keselurahan dari percobaan pada jarak 100 cm LDR menghasilkan output sebesar 3.46 V, photodioda menghasilkan rata-rata 0.89 V dan phototransistor 0.13 V.

Tabel 4.5 Hasil Pengujian Sensor Cahaya pada Ruang Gelap Lampu Mati dan Tirai Terbuka

Pada hasil uji coba diatas saat posisi ruang gelap lampu mati dan tirai terbuka, tegangan yang dihasilkan pada percobaan 1 dengan jarak 20 cm LDR menghasilkan output sebesar 3.65 V. Percobaan 2 dan 3 LDR menghasilkan output yang sama yaitu sebesar 3.66 V. Untuk photodioda pada percobaan 1

Sensor Cahaya Jarak (cm) Tegangan (V) Rata - rata

V1 V2 V3

LDR

20 3.65 3.66 3.66 3.65

40 3.60 3.61 3.63 3.61

60 3.60 3.60 3.60 3.60

80 3.60 3.60 3.60 3.60

100 3.60 3.60 3.60 3.60

Photodioda

20 4.80 4.79 4.79 4.79

40 4.00 3.20 4.10 3.76

60 2.15 1.90 2.65 2.23

80 1.84 1.41 1.70 1.65

100 1.45 1.23 1.30 1.32

Phototransistor

20 0.55 0.50 0.52 0.52

40 0.37 0.36 0.38 0.37

60 0.34 0.34 0.34 0.34

80 0.33 0.33 0.33 0.33


(1)

phototransistor, output yang dihasilkan pada percobaan 1, 2 dan 3 sama yaitu sebesar 033 V sedangkan pada percobaan 2 dan 3 menghsilkan output sama yaitu sebesar 0.14 V. Jadi, hasil rata-rata output LDR pada jarak 80 cm yaitu 3.60 V, photodioda menghasilkan rata-rata output sebesar 1.65 V sedangkan untuk phototransistor menghasilkan output sebesar 0.33 V.

Pengujian terakhir yaitu dengan jarak 100 cm, pada percobaan 1, 2 dan 3 LDR menghasilkan output yang sama sebesar 3.60 V. Untuk photodioda pada percobaan 1 menghasilkan output sebesar 1.45 V. pada percobaan 2 photodioda menghasilkan output sebesar 1.23 V. Percobaan 3 photodioda menghasilkan output sebesar 1.30 V. Pada uji coba phototransistor output yang dihasilkan pada percobaan 1, 2 dan 3 sama yaitu sebesar 0.33 V. jadi rata-rata keselurahan dari percobaan pada jarak 100 cm LDR menghasilkan output sebesar 3.46 V, photodioda menghasilkan rata-rata 1.32 V dan phototransistor 0.33 V.

Tabel 4.6 Hasil Pengujian Sensor Cahaya pada Ruang Gelap Lampu Nyala dan Tirai Terbuka

Pada hasil uji coba diatas saat posisi ruang gelap lampu nyala dan tirai terbuka, tegangan yang dihasilkan pada percobaan 1 dan 3 dengan jarak 20 cm LDR menghasilkan output sama yaitu sebesar 4.05 V. Percobaan 2 LDR

Sensor Cahaya Jarak (cm) Tegangan (V) Rata - rata

V1 V2 V3

LDR

20 4.05 4.01 4.05 4.03

40 4.02 4.00 4.03 4.02

60 4.02 4.00 4.02 4.01

80 4.00 4.00 4.00 4.00

100 4.00 4.00 4.00 4.00

Photodioda

20 4.75 4.81 4.81 4.79

40 3.70 3.73 4.74 4.05

60 3.47 3.47 3.53 3.49

80 3.05 3.09 3.20 3.11

100 2.60 2.80 2.88 2.76

Phototransistor

20 0.66 0.73 0.67 0.68

40 0.54 0.52 0.50 0.52

60 0.52 0.48 0.49 0.49

80 0.51 0.48 0.48 0.49


(2)

menghasilkan output sebesar 4.01 V. Untuk photodioda pada percobaan 1 menghasilkan output sebesar 4.75 V. pada percobaan 2 dan 3 photodioda menghasilkan output yang sama sebesar 4.81 V. Pada uji coba phototransistor, output yang dihasilkan pada percobaan 1 sebesar 0.66 V sedangkan pada percobaan 2 menghasilkan output sebesar 0.73 V. Pada percobaan 3 phototransistor menghasilkan output yang sama yaitu sebesar 0.67 V. Sehingga rata-rata yang dihasilkan dari percobaan 1, 2 dan 3 untuk LDR adalah 4.03 V, photodioda sebesar 4.79 V sedangkan pada phototransistor rata-rata output yang dihasilkan adalah 0.68 V.

Pada uji coba berikutnya LDR diletakkan pada jarak 40 cm dimana hasilnya, percobaan 1 LDR menghasilkan output sebesar 4.02 V sedangkan pada percobaan 2 menghasilkan output sebesar 4.01 V. Pada percobaan 3 LDR menghasilkan output yang sama yaitu 4.03 V. Untuk photodioda pada percobaan 1 menghasilkan output sebesar 3.70 V. Percobaan 2 menghasilkan output sebesar 3.73 V sedangkan pada percobaan 3 photodioda menghasilkan output sebesar 4.74 V. Pada uji coba phototransistor, output yang dihasilkan pada percobaan 1 sebesar 0.54 V. Pada percobaan 2 menghasilkan output sebesar 0.52 V sedangkan pada percobaan 3 menghsilkan output sama yaitu sebesar 0.50 V. Jadi rata-rata output yang dihasilkan LDR sebesar 4.02 V, photodioda sebesar 4.05 V sedangkan untuk phototransistor nilai rata-rata tegangan sebesar 0.52 V.

Untuk jarak 60 cm, pada percobaan 1 dan 3 output yang dihasilkan LDR sama yaitu sebesar 4.02 V. Pada percobaan 2 LDR menghasilkan output sebesar 4.00 V. Untuk photodioda pada percobaan 1 dan 2 menghasilkan output sama sebesar 3.47 V sedangkan pada percobaan 3 menghasilkan output sebesar 3.53 V. Pada uji coba phototransistor, output yang dihasilkan pada percobaan 1 sebesar 0.52 V. Pada percobaan 2 phototransistor menghasilkan output sebesar 0.48 V sedangkan pada percobaan 3 output yang dihasilkan sebesar 0.49 V. Jadi, hasil rata-rata output LDR pada jarak 60 cm yaitu 4.01 V, photodioda menghasilkan rata-rata output sebesar 3.49 V sedangkan untuk phototransistor menghasilkan output sebesar 0.49 V.


(3)

Pada jarak 80 cm, percobaan 1, 2 dan 3 output yang dihasilkan LDR sama yaitu sebesar 4.00 V. Untuk photodioda pada percobaan 1 menghasilkan output sebesar 3.05 V. Pada percobaan 2 menghasilkan output sebesar 3.09 V sedangkan untuk percobaan 3 photodioda menghasilkan output sebesar 3.20 V. Pada uji coba phototransistor, output yang dihasilkan pada percobaan 1 sebesar 0.51 V. Pada percobaan 2 dan 3 menghasilkan output yang sama sebesar 0.48 V. Jadi, hasil rata-rata output LDR pada jarak 80 cm yaitu 4.00 V, photodioda menghasilkan rata-rata output sebesar 3.11 V sedangkan untuk phototransistor menghasilkan output sebesar 0.49 V.

Pengujian terakhir yaitu dengan jarak 100 cm, pada percobaan 1, 2 dan 3 LDR menghasilkan output yang sama sebesar 4.00 V. Untuk photodioda pada percobaan 1 menghasilkan output sebesar 2.60 V. pada percobaan 2 photodioda menghasilkan output sebesar 2.80 V. Percobaan 3 photodioda menghasilkan output sebesar 2.88 V. Pada uji coba phototransistor, output yang dihasilkan pada percobaan 1 sebesar 0.49 V. Pada percobaan 2 menghasilkan output sebesar 0.48 V sedangkan pada percobaan 3 menghasilkan output yang sama sebesar 0.47 V. jadi rata-rata keselurahan dari percobaan pada jarak 100 cm LDR menghasilkan output sebesar 4.00 V, photodioda menghasilkan rata-rata 2.76 V dan phototransistor 0.48 V.


(4)

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Dalam uji coba Photodioda, LDR dan Phototransistor dapat disimpulkan bahwa pada jarak 20 cm dalam segala kondisi yang telah diuji photodioda mendapatkan hasil rata-rata yang baik daripada phototransistor dan LDR. Nilai rata- rata yang dihasilkan dari uji coba dengan jarak 20 cm, pada saat ruang gelap lampu mati dan tirai tertutup photodioda menghasilkan output sebesar 4.61 V, LDR menghasilkan output sebesar 2.23 V sedangkan phototransistor menghasilkan output sebesar 0.23 V.

2. Pada uji coba berikutnya pada saat ruang gelap lampu nyala dan tirai tertutup photodioda menghasilkan output sebesar 4.79, LDR menghasilkan output sebesar 3.55 V sedangkan phototransistor menghasilkan output sebesar 0.15 V. Pada saat pengujian kondisi ruang gelap lampu mati dan tirai terbuka photodioda menghasilkan output sebesar 4.79, LDR menghasilkan output sebesar 3.65 V sedangkan phototransistor menghasilkan output sebesar 0.52 V. Pengujian terakhir kondisi ruang gelap lampu nyala dan tirai terbuka photodioda menghasilkan output sebesar 4.79 V, LDR menghasilkan output sebesar 4.03 V sedangkan untuk phototransistor menghasilkan output sebesar 0.68 V.

3. Dari hasil uji coba photodioda menghasilkan output yang baik dari beberapa uji coba yang telah dilakukan dengan jarak 20 cm, karena letak sebuah sensor pencacah panjang terpal tersebut terletak 20 cm dari motor DC yang digunakan sebagai penggerak terpal. Untuk mengintegrasikan sebuah sistem agar bekerja dengan baik, dibutuhkan desain elektronika serta desain mekanik yang baik. Jika desain elektronika dan desain mekanik baik, maka proses yang dihasilkan dari sebuah sistem tersebut akan terorganisir dengan baik.


(5)

5.2 Saran

1. Jika pencacah photodioda hasilnya kurang baik sebaiknya menggunakan sensor laser sebagai pencacah panjang terpal.

2. Motor DC cepat cepat panas, maka dari itu sebaiknya diberikan pendingin agar dapat bekerja lebih baik lagi.

3. Photodioda sangat rentan terhadap cahaya disekitar, maka dari itu saat proses pencacahan lampu diredupkan agar tidak mengganggu kinerja dari photodiada


(6)

60

Pribadi, Bayu Dadang. 2014. Obstacle Avoidance Robot using Hybrid Control System. Laporan Tugas Akhir.

Rangkuti, Syahban, 2011, ”Mikrokontroller ATMEL AVR”, Informatika,

Bandung.

Arif, Effendy, 2012, “Daun Kering Kakao Sebagai Sumber Energi Alternatif”, Teknik Mesin Dan Industri.

Zainun Achmad. 2006. Elemen Mesin 1 Edisi Kedua. Bandung: Refika Aditama.