114 PRAMOEDYA ANANTA TOER cuma hati juga yang berat buat dibuka, meski tinggal memilih

114 PRAMOEDYA ANANTA TOER cuma hati juga yang berat buat dibuka, meski tinggal memilih

dan tinggal meminta. Ah, bapak. Bapak. Aku tak butuhkan se­ suatu dari dunia kita ini. Aku cuma butuhkan orang-orang ter­ cinta, hati-hati yang terbuka, senyum tawa dan dunia tanpa duka, tanpa takut. Ah, bapak. Bapak. Sia-sia kau kirimkan anak­ mu ke kota, j adi bini percobaan seorang pembesar.

Bagian Ketiga

Dari kamar mandi ia berjalan ke arah dapur. Berhenti se­ jenak di depan pintu. Itulah pintu yang sehari lebih sepuluh kali dilewati mBok tua yang kini entah ada di mana. Orang yang

pernah ia kasari karena perasaannya tersinggung, tapi yang kini

ia sesali pernah berbuat kasar itu. Waktu ingatannya tersentuh pada Mardinah. Ia terhenyak buru-buru ia tinggalkan tempat itu. Di situ ada Mardinah, pe­

Kita catat dari daerah ini, kawan kiknya dalam hati. Bodohnya aku, aku kenangkan orang sebaik

nelayan dimakan ikan itu, nyatanya orang yang kubenci yang ada di dalamnya. Ia

sedang di darat hanya tiga jam istirahat bersicepat menaiki jenjang ruang belakang, masuk ke kamar

dad segala yang didapat dan menguncinya dari dalam. Duduk termenung di kursi. sam­ untuk tengkulak dan pajak pai kemudian terdengar suara lirih, "Mas Nganten, tidurlah." nasi dan pukat

"Sahaya, Bendoro," tapi ia tak bergerak. dari: "Kampung Ne1ayan" Pinore Gangga

"Sudah malam tidurlah, kalau tidak, kau tak perlu pergi be­

sok. Aku khawatir kau masuk angin kelelahan." "Sahaya, Bendoro," dan Gadis Pantai berdiri naik kembali

I guk di jalan pos buatan tuan besar Guntur alias Daendels.

BLIS ITU MAU GIRING AKU SAMPAI KE NERAKA, TERIAKNYA DALAM

ke dalam ranjang. hati. Dan dokar sewaan berjalan tenang mengangguk-ang­

"Mengapa kau punggungi aku? Aku tak suka dipunggungi."

Gadis Pantai mengubah letak tidurnya. "Mas Nganten, ka­ Kuda kacang yang menarik dokar sarat muatan nampak seperti - lau kau sudah datang ke kampung," kata Bendoro dengan suara

sedang berjingkrak kepanasan. Sedang semak-semak bakau mengantuk, "sampaikan salamku pada orang tuan1u."

sepanj ang pantai nampak begitu hijau dan sunyi. Bau tembakau "Beribu terima kasih, Bendoro."

yang ke luar dari keranjang bergumul melawan bau laut yang "Jangan berlaku seperti orang kampung, kau istri priyayi."

abadi.

"Sahaya, Bendoro." Gadis Pantai menarik nafas panj ang. Sekejap diliriknya "Tidurlah, tidur."

Mardinah yang duduk di sampingnya. Mengapa Bendoro Sebentar kemudian seluruh alam pun tertidur Tinggal bin­

kirimkan dia untuk antarkan aku? Mengapa? Mengapa? Ben­ tang, ombak dan angin yang masih me!akukan tugasnya ....

doro lebih percaya padanya mungkin, pada kerabatnya sendiri.

116 PRAMOEDYA ANANTA TOER

117 "Surat itu mestinya Mas Nganten balas."

GADIS PANTAI

"Banyak cucumu, man?"

"Kau pernah ke kampung nelayan, man?" Gadis Pantai ber- '"Bukan banyak lagi, Bendoro Putri, lebih duapuluh." tanya pada kusir tanpa mengacuhkan kata-kata Mardinah.

"Jangan teruskan bicara dengannya. Aku adukan pada "Sahaya, Bendoro Putri, tentu saja. Sahaya lahir di pantai."

Bendoro."

"Kau tak suka ke laut rupanya."

"Ada yang kau sayangi, man?"

"Kalau semua ke laut siapa yang ke darat, Bendoro Putri? "Sahaya, sayangi? Semua, Bendoro Putri." Biarlah mereka mendapat makan dari ikan, sahaya lebih senang

"Kau tak pernah rodi di kebun coklat, man?" dari kuda. Cukup satu sajalah binatang sahaya:'

"Inilah sahaya, Bendoro Putri, sisa yang Illasih tinggal dari Udara bebas itu meniupkan bidup ke dalarn dada Gadis Pan­

hidup sahaya. Kiai sahaya dulu bilang, setiap orang dikaruniai tai. Buat pertama kali dalam lebih dua tahun ia tertawa puas,

hidup oleh Allah yang Maha Pengasih, tapi cunla segumpil saja tertawa terbuka.

hidup karunia Allah yang benar-benar sahaya miliki , Bendoro "Apa yang lucu?" Mardinah menegur. "Itu bukan layaknya

Putri. Inilah diri sahaya yang segumpil ini. Sebdgian besar habis seorang istri priyayi."

buat rodi di kebun coklat."

Gadis Pantai tersumbat.

"Mengapa tak lari?"

Angin darat yang kencang rnenyebabkan kusir tak dengar "Lari? Ke mana? Di sana kompeni. Di sini kompeni Bapak teguran itu. "Sahaya lebih suka darat, Bendoro Putri, kalau mati

sahaya seratus dua puluh tahun umurnya baru meninggal. Tapi ketahuan di mana bangkainya."

sahaya ini, baru �mpat puluh sudah begini reyot, kehabisan "Bangkai siapa maksudmu, man? Kudamu?"

tenaga, Bendoro Putri. Bapak sdhaya lari-Iarian saja kerjanya, "Bangkai sahaya sendiri tentu, Bendoro Putri. Sahaya . . . . "

tak mau kena rodi. Badannya besar, keberaniannya besar. Asal "Sayang benar kau rupanya pada bangkaimu sendiri," Gd-

ada huru-hara pasti ikut. Sahaya tidak berani. Sahaya takut dis Pantai memotong kernudian tertawa lepas lagi Dan lagi

mati. J adilah begini sahaya. Sarna laut takut, ikan besar takut. Mardinah menegur.

Berani cuma sarna kuda dan cucu-cucu.

"Kau tinggal di mana, man?" Kembali Gadis Pantai tertawa senang. Ia temukan dalam "Kauman Pantai," kuatir menjawab tanpa menengok pada

logat kusir bahasa yang selama ini ia rindukan , yang ia sendiri Iawan bicaranya sejak awal percakapan.

ingin ucapkan: kata-kata yang keluar dari hati yang lugu - dari "Di tempatmu apa orang tak boleh tertawa?"

hati yang tertindas.

"Masya' allaaaah, di mana ada di dunia ini orang tak boleh "Kalau ada nasib, mau kau jadi pembesar?" tertawa?"

"Nasib? Aiya-aiya, �udanya kelelahan, Bendoro Putri terla­ Gadis Pantai kembali terdiam. Aku masih terlalu muda, tapi

Iu banyak bawaannya. Biar lambat-Iambat saja, ya Bendoro aku lebih tahu dunia, pikirnya. "Berapa urnurmu, man?"

Putri? Kasihan dia. Kalau dia angkut tembakau, nl,tka diangkut­ "Empat puluh, Bendoro Putri."

nyalah tembakau tanpa pernah mendapat bagian. Kalau dia "Lebih baik kau terima surat itu daripada mencoba-coba

angkut limun, seteguk pun ia tak penah rninum. Aiya-aiya, seorang kusir."

mengapa tuhan takdirkan dia menjadi kuda, dan bukan jadi pembesar?"

118 PRAMOEDYA ANANTA TOER

119 Gadis Pantai tertawa lepas terbahak.

GADIS PANTAI

berdo' a dengan bahasanya sendiri .... bahasa kuda. Mungkin di "Mas Nganten benar-benar sudah keterlaluan. Apa kata ku­

dalam hati saja."

sir tentang Bendoro nanti? Jadi tertawaan tidak patut."

"Sayang . . . . "

"Kalau kuda itu jadi pembesar .... "

"Ya, sayang Bendoro Putri."

"Aiya, untung tidak, Bendoro Putri. Kosong terus kuali sa­

"Apa yang sayang."

haya nanti. Nasib jelek si kuda, Bendoro Putri, mell1buat sahaya "Apa? Do' anya tidak pernah terkabul, Bendoro Putri. Mung­ sekedar makan, kawin dan bercucu sebanyak itu, membuat sa­

kin ia berdo' a agar tidak ditakdirkan j adi kuda lagi seperti haya tidak menjadi kuda. Tapi dia, dial Aiya."

sekarang, tapi jadi kusir seperti sahaya ini. Tapi sahaya terus "Apa aiya itu?"

berdo' a keras agar sahaya tetap sehat seperti kuda. Kalau takdir "Sedap mengucapkannya, Bendoro Putri. Lepaslah segala

berubah, aiya, mungkin sahaya kudanya, dia kusirnYd. Cela­ sesak di dada."

kalah badan yang sudah tua ini, Bendoro Putri." "Dari mana aiya itu?"

"Menyebalkan," bisik Mardinah.

"Aiya, dulu sahaya pernah tumpangi seorang singkek. "Ya menyebalkan, ya man? Nasib dan takdir kuda?" Ngomong tak karuan, Bendoro Putri. Ngobrol banyak. Dari

"Begitulah. "

Rembang dia menuju Lasem. Dia bercerita, dahulu dialah yang Dan dokar berj alan kian perlahan, kian perlahan. Pada se­ j adi kuda - di Hongkong katanya - menarik kereta sewaan sam­

buah tanjakan kuda itu benar-benar kehabisan tenaga dan ber­ bil berlari. Begitulah Bendoro Putri, setiap ngomong mesti ke

henti. Kusir terpaksa lompat turun, mengambil dua buah batu luar aiya-nya yang ah, ah, senang sekali mengucapkannya.

dan mengganjal rodanya.

Cob a ucapkan Bendoro Putri."

"Biar dia mengaso, man."

"Aiya!"

"Terima kasih, Bendoro Putri."

"Enak?" "Nanti kemalaman kita pulang," Mardinah memperi­ "Sedap," dan Gadis Pantai terbahak lepas.

ngatkan.

"Tidak bisa, Mas Nganten. Ini tak bisa diteruskan. Sahaya Dan Gadis Pantai pun turun berdiri memunggungi kereta, akan adukan pada Bendoro."

menebarkan pandang ke laut lepas, menerobosi daerah pesisir "Kau punya Bendoro, man?"

yang dirimbuni tunggul-tunggul akar bakau. "Aiya. Semua orang Bendoro sahaya, Bendoro Putri. Cuma

"Dua tahun lamanya aku cuma dengar suaranya dari kamar." itulah susahnya. Tiap hari sahaya mendo' a moga-moga tak ada

"Lhah, mengapa Bendoro Putri di kamar saja selama dua penyakit menyerang kuda sahaya."

tahun? Sakit?"

Kembali Gadis Pantai tertawa terbahak, kemudian bertanya,

"Sakit?"

"Berdo' a buat kuda? lantas do'a apa yang buat anak dan cucu­

"Tentulah sakit parah "

mu, man?" "Kalau malam hembusan anginnya melalui genteng kamar­ "Mereka bisa berdo' a sendiri, Bendoro Putri. Itulah jeleknya

ku. Tambah malam deburannya tambah menyata. Dia memang­ takdir kuda. Dia do' a saja tak mampu. Aiya, barangkali dia

gil-manggil sini, sini, sini, nak. Mengapa kau lari dari pang-

12 1 kuanku? Semua nenek moyangmu telah kupangku, kuusapi,

1 20 PRAMOEDYA ANANTA TOER

GADIS PANTAI

"Mas Nganten," Mardinah berteriak kemudian melompat kubesarkan dan ku .... "

turun dari dokar dan memburu. "Ke mana? Banyak ular di akar­ " . ... kuburkan," kusir itu meneruskan. "Cerita-cerita nelayan

akaran bakau di pantai tanpa penghuni begini " selalu begitulah, Bendoro Putri, membuat sahaya ngeri turun ke

Tanpa memandang Mardinah Gadis P dntai berkata lelnah: ldut."

"Bukankah itu yang kau inginkan?"

Gadis Pantai membungkuk, menyendok segenggam pasir

"Duduk saja di dalam dokar."

dengan tangannya dari pinggir j alan. Kersik kerang nampak "Mungkin sekaIi kaIau ada takdir, seekor ular gigit aku, dan gemerlapan kena cahaya matahari. Ia taburkan pasir itu perIa­

kau bisa senang gantikan aku sebagai wanita utama." han ke tanah, dan j atuh miring tertiup angin.

"Tidak mungkin."

"Lihatlah kuda sahaya, Bendoro Putri."

"Mengapa tidak mungkin."

Tiba-tiba Gadis Pantai menjadi murung. Didorongnya pasir "Mas Nganten tahu sendiri sabaya cuma seorang janda." di bawah kakinya dengan sandal. Ia angkat muka menghampi­

"Tapi kau wanita bukan?"

ri kuda, memperhatikan matanya yang tertutup selembar kulit "Ah, Mas Nganten begitu lama di gedung tak jugd mengerti yang jadi satu dengan abah-abah.

para pembesar cuma mau terima wanita langsung ddri tangdn "Kasihan, buat apa punya mata?"

Gusti Allah."

"Kalau sedang dinas begini, matanya cuma jadi hiasan,

"Kau?"

Bendoro Putri. Kalau dibuka penutupnya, dia tahu nanti apa

"Sahaya bekas lelaki lain."

yang ditariknya: tembakau. Mungkin karen a tahu tenlbakau dia "Lantas. Mengapa surat itu kau paksa-paksa padaku?" tak mau kerja."

"Ayolah, naik ke at as Mas Ngdnten."

"Tapi, kau tak merokok kulihat, man?" "N aiklah. Aku lebih suka bicara dengan kusir." "Kuda sahaya juga tidak merokok, Bendoro Putri, tapi sa­

"Bendoro akan marah."

haya sendiri menyisik."

"Lebih baik buat kau kan?"

"N anti kuberi persen." "Tidak enak buat sahaya naik ke atas, sedang Mas N ganten Kusir itu menepuk-nepuk punggung kudanya. Seluruh tubuh

masih di bawah."

binatang itu sudah bermandikan keringat. "Kau sering membuat surat buat orang lain?" "Ayoh, Gombak, Gombak, ucapkan beribu terima kasih."

"Lantas, siapa yang mesti sahaya surati? Tetapi sahaya bisa "Dia tidak menyisik, kau yang menyisik, man?"

menuIis."

"Benar, Bendoro Putri, tapi kalau sahaya dapat menyisik, "Apakab semua keturunan pembesar begitu?" Bendoro Putri, dia dapat persen minum air gula-jawa" Kuda itu

"Begitu, bagaiman'a Mas Nganten?"

mengangkat kepalanya ke atas. "Dia minta istirahat lebih lama

"Ya, begitu seperti iblis."

dikit, Bendoro Putri. Diperkenankan, kan?"

"Sahaya akan adukan "

Gadis Pantai tak menjawab. Ia berjalan menjauh, mening­ "Pergilah. Adukan sekarang juga. Suruh kusir illl balik kc galkan j alan pos buatan tuan besar Guntur alias DaendeIs,

kota dengan seluruh rnuatan. Aku bisa jalan kaki." melompati semak-semak rendah menuju ke laut.

1 22 PRAMOEDYA ANANTA TOER

1 23 Gadis Pantai berjalan balik menuj u ke dokar, dan Mardinah

GADIS PANTAI

Sudah dua j am dokar kretek itu berjalan, belum juga mere­ mengikuti.

ka berpapasan dengan dokar lainnya. Grobak pun tak ada mere­ "Habis lelahnya si Gombak, man?"

ka papasi. Besok bukan hari pasaran. "Kalau kemalaman kau "Silakan ndik, Mas Nganten. Dia memang cerdik cepat be­

berani pulang ke kota, man?"

nar segamya kalau tuannya bakal kena tembakau." "Ini bukan perjalanan pertama, juga bukan terakhir, Bendoro "Tentang tembakau itu, man, aku tak lupa. Tapi kudamu

Putri. Lebih dari lima puluh kali sahaya pulang dari perjalanan sarna sekali tak membutuhkannya."

j auh. Kadang-kadang sampai di tempat ini Iaut sudah di ping­ "Memang tidak, tapi kusirnya membutuhkannya, Bendoro

giran darat itu, jadi sudah jam tiga pagi."

Putri," dan dengan suara senang ia berseru, "Silakan naik, Ben­

"Tidak takut?"

doro Putri. Angin sudah tak begitu kencang."

"Siapa tidak takut?"

Semua telah duduk di atas dan dokar berjalan ldgi.

"Takut, tapi be rani juga ya."

"Betapa besar dan luas laut itu. Tanpa batas." "Bagaimana takkan berani, Bendoro Putri. Malu sahaya "Sahaya Bendoro Putri," k�mudian kepada kudanya, "Aiya.

pada kuda sahaya nanti. Setan dia tak takut. Rampok did tak yoh, lebih cepat, Gombak! Hati-hati kalau sampai kemalaman

takut. Itulah untungnya kalau mata ditutup." di jalan."

KembaIi Gadis Pantai tertawa. Sebelum habis tertawanya "Pasti kemalaman," Mardinah memprotes.

selesai, disadarinya tertawanya tidak seperti dulu. Dahulu ter­ "B ukan sekarang saj a ada malam, bukan. man?"

dengar seperti loyang kuningan tersentuh batu. Ia perpanjang "Seumur-umur sahaya, Bendoro Putri, sahaya tahu saban

tawanya. Seperti apa suara tawaku? Ia bergeleng-geleng, tak hari ada malam, tidak sekarang saja. Aiya. Ayoh Gombak

mendapatkan perbandingan.

maj u !" dan dengan ujung cambuknya dikilik-kilik kudanya. Gadis Pantai terdiam. Waktu ia melirik dilihatnya Mardinah "Kau tak pernah cambuk dia."

tertidur senang bersandaran keranjang tembakau. Ia dwasi wa­ "Hanya orang dan binatang bodoh saja kena cambuk. Ben-

jah wanita muda itu. Bodohlah pria bila tak perhatikan dia. doro Putri."

Mukanya bulat, dan mulutnya begitu kecil, seakan sebuah "Kalau orang atau binatang jahil."

bawang merah menempeI pada sebuah cobek. Sepasang alisnya "Patutnya disrimpung saja kakinya."

hitam tebaI, hampir-hampir bersambung, sedang dagunya yang "Binatangnya atau orangnya? Kalau dia priyayiT'

begitu tumpul seakan merupakan bagian dari dasar mUkanya "Itulah susahnya, Bendoro Putri. Itulah susahnya ditakdir­

yang bulat. Wajah yang seindah itu. Tapi apa saja yang dikerja- kan jadi kuda dan jadi orang seperti sahaya. Dan hanya orang­

kan hatinya?

orang seperti sahaya kebagian cambuk seperti si Gombak. Teta­ Kini ia merasa mengantuk. Sekalinya diawasinya wajah pi kalau terus menerus dicambuk tentu siapa saja tidak bisa

bulat di sampingnya. Berapa pria yang telah dinikmatinya? Ah, terima. Macan sakit saja, biar sudah lemas kalau diusik-usik

mengapa akau punya pikiran sekotor itu?

terus, tentu akan melawan, Aiya," cambuknya digeletarkan di Ia dengarkan deburan ombak sepanjang pantai yang semakin udara. Begitu membelah suaranya dalam kesenyapan pantai

mendekati darat. Matahari makin condong ke barat, dan ombak utara.

1 25 tampak semakin besar. Apakah yang dikerjakan bapak sc­

124 PRAMOEDYA ANANTA TOER

GADIS PANT A!

"Man, dokar bisa membelok ke kanan?" karang? Dan emak?

"Jalannya tidak keras, Bendoro Putri, roda agak tenggelam Angin bebas meninabobokannya. Seperti emak meninabo­

dalam pasir, kasihan kudanya, tapi kita coba pelan-pelan saj a." bokan si adik. fa senang nikmat dalam buaiannya. la tertidur

"Tiga pal lagi."

pada keranjang tembakau juga. Dan kedua wanita itu baru ter­ "Benar, sesudah itu dokar tak bisa terus. Ada yang menjem- bangun waktu dokar berhenti. Kusir bertanya, "Benar, berhen­

put di sana nanti?"

ti di sini, Bendoro Putri?"

"Tidak."

Gadis Pantai menebar pandang ke luar jendela dokar, ia

''Tidak?''

masih hafal tempat itu. Tiga batang pohon j ati raksasa berdiri Gadis Pantai naik ke atas dokar kembali diikuti oleh kusir. beberapa meter di pinggir jalan, sedang pantai tidak nampak

Dokar membelok ke kanan. Roda dokar tenggelam beberapa sarna sekali, bahkan deru ombaknya pun tak terdengar, karena

sentimeter di dalam pasir dan dengan susah payah kuda me­ laut berada tidak kurang dari 5 kilometer dari tempat itu. Se­

narik bebannya. Kusir pun mulai menembang: mua orang di kampung nelayan tahu benar ten tang tigd pohon

duh-duh aduh bayi bocah jadi korban

jati itu. Seperti orang-orang sekampungnya, Gadis Pantai sete­

emak pikul tanah bapak babat hutan

lah turun dari dokar, langsung menuju ke tiga pohon jati itu, orang-orang kampung dilarang pulang

mengagumi batangnya yang perkasa dan lurus menjulang ke

kejamnya rodi tiada alang kepalang

atas, paling tinggi di an tara semua pohon. Ia pegang-pegang batang pohon itu, ia goyangkan tapi sedikit pun tak tergoyang­

waktu jalan besar sampai ke rembang kan, pindah pada batang yang lain dan juga pada yang ke tlga.

orang-orang kampung barulah pulang "Peninggalan nenek moyang yang tersisa," kata kusir.

oh nasib bayi bocah sungguhlah malang "Jadi kau tahu riwayat tiga batang jati ini?"

berserak sudah jadi tulang belulang Kusir tertawa senang mendapat kehormatan itu. "Sahaya

seluruh kampung dirundung duka sudah lebih dari sepuluh kali ke mari, Bendoro Putri."

di tengah malam pakai ohor pelita Mardinah mengawasi kedua-duanya, dari atas dokar.

tiga jati kenangan ditanam bersama "Waktu tuan Guntur perintahkan seluruh penduduk kam­

rodi celaka jangan sampai terlupa pung sini, laki dan perempuan, membuat jalanan ini, mereka

tiga harmal tak boleh pulang. Bayi-bayi pada mati kelaparan di "Orang kampung pun tak semua pUlang." rumah."

"Memang tidak semua, Bendoro Putri, lebih separohnya "Aku kira cuma di kampung nelayan sana saja orang tahu

terkubur sepanj ang j alan. Beruntung bapak sahaya kerj anya riwayatnya."

lari-Iarian dan berhuru-hara."

"Banyak orang yang tahu, Bendoro Putri, sampai-sampai Gadis Pantai ingat pada pelayan tua. Bukanlah kakeknya ada tembangnya."

juga selalu ikut setiap terbit huru-hara? Tapi tak ada keinginan­ "Mas Nganten, hari sudah hampir magrib," Mardinah me­

nya untuk bertanya. Ia terus membayangkan siapa saj a yang motong.

127 bisa dipinta pertolongannya bUdt angkut barang-barang

126 PRAMOEDYA ANANTA TOER

GADIS PANTAI

"Ayolah, kau bisa angkut yang mana, man?" bawaannya. Dan emak, bapak, saudara-saudara bagaimana

"Beras jelas sahaya tidak bakal kuat, Bendoro Putri." mereka akan sambut dia?

"Apa kau kira aku kuat."

"Ayoh, Gombak dua pal lagi. Kau boleh tidur nanti di bawah "Gombak tentu kuat, tapi ia bukan kuda beban, cuma kuda petecina! "

tarik."

Dan waktu dokar berhenti di depan sebuah dangau, di tem­

"Tepat, Bendoro Putri."

pat jalanan pasir berubah jalan setapak, hari sudah tambah "Cancang kudamu. Pergi kau ke kampung panggil empat magrib.

orang."

"Kalau bukan perintah Bendoro enggan sahaya pergi ke "Gombak bisa bawa sahaya lebih cepdt, Bendoro Putri." sini."

Dan sebentar kusir melepas aba-aba kuda, melompat ke atas­ "Aku tak perlukan kau, balik saja sekarang."

nya. Kuda dan kusir kemudian berjalan memasuki jaldn seta­ Mardinah terdiam.

pak dan lenyap di balik rumpun pepohonan petecina, kingkit Mendengar pertengkaran !cusir terkejut, mengawasi kedua

dan semak-semak.

wanita itu berganti-ganti. Keceriaannya tiba-tiba hilang. Mati­ Gadis Pantai menjauhkan diri dari dokar dan menuj u ke lah pelanduk bila dua ekor gaj ah sedang bertarung. Ia me­

dangau, ia duduk di atas bangku kayu. Mardindh melihat seke­ nyingkirkan diri dan menutup kuping, duduk di bangku kayu

lilingnya. Kemudian Mdfdinah pun menyusul. dangau dan memasukkan sejumput tembakau ke dalam mulut­

"B uat apa kau dekat aku?"

nya, dan memainkannya di antara gusi depan dengan dinding

"Takut."

bibir dalam.

"Kau ! Cuma aku tak kau takuti."

"Man !" Gadis Pantai memanggil. "Sahaya benci pada kdmpung. Kampung mana s��a." Kusir melompat dan segera menghadap. Sebelum sampai

"Pergi, cepat!"

dekat Gadis Pantai, ia dengar suara wanita lain mendesis,

"Bagaimana sahaya mesti pergi?"

"Dasar perempuan kampungan !" "Kau bukan orang kampung, tentu kau punya kelebihan." "Inilah kampung. Kampungku. Jangan inj akkan kakimu

"Tentu. Sahaya punya kelebihan, sahaya bukan orang kam- yang indah di atas pasir ini, nyonya janda, kalau tidak mau kena

pungo Bapak sahaya jurutulis dan lnasih kerabat Bendoro." kutukanku."

"Pergi pada Bendoromu. Roh-roh nenek moyang kami bakal Melihat kusir mendekat Mardinah terdiam.

cekik kau kalau berani memasukinya. Kau telah hinakan kam­ "Bawa dia balik ke kota, man!"

pungku, kampung kami kampung nelayan dengan nelayan-ne­ "Perintah Bendoro antarkan Mas N ganten Sahaya tak

layan yang gagah berani, yang saban hari pergi ke Idut hadapi mungkin pulang seorang diri."

maut." Ia menunjuk ke langit.

"Kampung nelayan bukan tempatmu. Pulang kau sendiri." "Gelap. Petir kampung kami selalu menyambar orang-orang "Memang tidak. mungkin, Bendoro Putri. Mari kita bereskan

kota yang tak tahu diuntung." DitunjuknYd Mardinah pada dulu bawaan ini."

dadanya. "Kau bakal celaka di kampungku. Pulang. Ayoh, ba-

129 Iik ke kota sebelum langit menjadi hitam." Dan mendadak se­

128 PRAMOEDYA ANANTA TOER

GADIS PANTAI

dapat kawin dengan wanita berbangsa, bukan? Ah, ah. Aku bisa pasang kilat mengintip dari balik awan gelap.

menetap di kampung ini, kampungku sendiri. Kau boleh pu­

"Ampuni sahaya, Mas Nganten."

lang. J angan ikut masuk ke kampung. .

"Pasangan matanya putih, kalau ia melompat dpi menyem­

"Sahaya takut, Mas Nganten."

bur. Kemudian dikeluarkannya dua bel as tangannya dari balik "Takut? Di mana kelebihan orang kota, ordng berbangsa? awan hitam, dan dibelahnya orang yang membenci kampung

Orang kampungan seperti aku ini tidak takut." nelayan dengan pisau kecilnya, kecil dan tumpul. Seminggu dia

"Jangan biarkan sahaya seorang diri, Mas Nganten." butuhkan buat membelah musuhnya."

"Lebih dua tahun aku tinggal di kota, sampai akhimya kau Nampak Mardinah begitu kecil seperti kucing kehabisan

datang. Dan baru sekarang ini aku tahu, orang-orang kota, mangsa. "Ampuni sahaya, ampuni. Sahaya cuma dapat titah

orang-orang berbangsa itu, begitu takutnya kalau orang tidak antarkan Mas Nganten."

lagi menghormatinya. Dan mereka begitu takutnya kalau ter­ "Benar kau dari Demak?"

paksa menghormati orang-orang kampung." "Sahaya, Mas Nganten."

Hari telah mulai gelap. Dalam kegelapan Gadis P dntai me­ "Tidak apa dari Demak sana?"

lihat Mardinah hanya menunduk di atas bangku di sampingnya, Suara Mardinah menggigil dan ragu-ragu tapi paksakan diri

kepalanya ditumpangkannya di atas kedua belah tangannya. bicara terus, "Panjang ceritanya Mas Nganten. Tapi sahaya

Kedua wanita itu masih mud a belia, namun berpengalaman cuma dapat perintah."

sudah dalam banyak hal, seperti umumnya wanita-wanita di "Perintah, buat usir aku?"

rumah-rumah gedung. Keduanyajadi dewasa dalam gembleng­ "Persaudaraan sekandung dan sepupu di Demak sangat

an kesulitan-kesulitan.

malu, Mas N ganten, karena sampai sekarang Bendoro masih "Dan Mas N ganten sendiri? Mau kembali ke kampung apa perjaka."

tak takut kehiIangan sesuatu?"

"Perjaka?" Jadi aku ini apanya?" "Segalanya telah lenyap dari tangan orung seperti aku, se­ "Apa mesti sahaya katakan? Bendoro masih perjaka sebe-

mua orang kampungan. Kanli cuma dapat mengimpi. Apa lagi lum beristrikan wanita berbangsa."

yang dapat hiIang dari kami? Impian itu?" "Kau berbangsa, apa kau ingin diperistri Bendoro."

"Apa yang Mas Nganten impikan?"

"Sahaya, Mas Nganten." "Segala-galanya yang tak pernah ada dalam kehidupan "Biarpun Bendoro pamanmu sendiri?"

kami."

"Sahaya, Mas Nganten, tapi saya cuma seorang janda." "Lantas, apa saja y,ang ada dalam kehidupan Mas Nganten?" Kembali Gadis Pantai bertanya, "Jadi aku bukan istri Ben-

"Setelah lebih dari dua tahun tinggal di gedung, tahulah aku. doro?"

kami cuma punya kemiskinan, kehinaan dan ketakutan teruta­ "Istri, ya, istri, Mas Nganten, cuma namanya istri per­

rna pada orang kota. Di kampung kami tahu benar tepung udang cobaan."

dibayar sebenggol, padahaI mestinya empat sen. Itu tidak layak. "Lantas kau dapat perintah mengusir aku : Biar Bendoro

tidak adil Tapi lihatlah diriku ini. Bukdn lagi tepung udang.

131 Manusia! Aku tak bisa dipungut begitu saja dari kampung, di­

130 PRAMOEDYA ANANTA TOER

GADIS PANTAI

"Berapa lama Mas Nganten akan tinggal di sini?" simpan di dalam gedung. Kau, kau orang kota, apa yang kau

"Seminggu, barangkali sebulan."

tahu tentang orang kampung?"

"Bendoro tak pemah bHang begitu."

Mardinah tak menjawab. "Kalau kau orang yang mengerti, sekarang ini kau mesti tahu "Aku kenaI seorang wanita tua. Dulu dia layani aku di ge­

akulah Bendoro."

dung sejak aku tinggal di sana. Tapi dia diusir karena tuduh "Tidak mungkin ! Tidak mungkin ! Sahaya masih punya ge­ agus-agus colong duitku."

lar Mas Nganten, biar pun cuma, Mas."

"Dia hams diusir." Mereka terdiam sejenak. Angin kencang tiba-tiba menero­ "Mengapa ?"

bosi tajuk-tajuk pepohonan dan semak-semak. "Dia harus berbakti, bukan menuduh."

"Dingin, Mas N ganten."

"Tapi ada yang colong duit di an tara agus-agus itu." "Kau tak pernah ingat pad a nelayan. Telanjdng dada mere- "Dia seorang abdi tak tahu lagi cara-cara mengabdi."

ka pergi ke laut."

"Pengabdian yang membo�ankan ! Tanpa mengabdi nenek

"Mengapa harus telanjang dada?"

moyangku juga hidup. Laut lebih kaya dari segala-galanya."

"Pakaiannya tak cUkup."

Kemudian, "Baliklah kau ke kota aku mau tinggal di kam­

"Oh."

pungku sendiri." "Apa yang oh? kau ini aku tertawa tak boleh, begini salah, "Apa sahaya harus katakan pada Bendoro?"

begitu salah, apa yang oh? Kami memang orang miskin, dan di "Mintalah ampun, dan serahkan dirimu, biar Bendoro masih

mata orang kota kemiskinan pun kesalahan. Aku masih ingat pamanmu sendiri, orang tuamu sendiri, kau s�ndiri saja jadi bini

pada hari-hari pertama. Bendoro bilang kami orang-orang percobaannya. Mau bukan?"

jorok, tak tahu iman, itu miskin, kau mengerti agama?" Dan kusir itu tak juga muncul.

"Sahaya tak pernah belajar ngaji, Mas Nganten." "Mengapa kau diam saja?"

"Aku pun, tidak."

"Sahaya kacau, Mas Nganten." Tanpa mereka sadari kusir telah datang, dan turun dari "Karena kampung ini yang mau kau hinakan? Coba pikir,

kudanya. "Empat ordng, Bendoro Putri, semua bawa pikulan." lebih dua tahun aku mesti tinggalkan kampungku, hidup di

"Uruslah semua pengangkutannya. Kau mau bahk ke kota?" gedung, di lingkungan orang-orang yang tak kukenal, kau baru

"Belum, Bendoro Putri. Si Gombak masih lelah, belum lagi beberapa saat di sini, sudah kelabakan seperti nenek kehilang­

mengasoh. Kota begitu jauh dan . . . . "

an susur." "Tembakau itu? Ambil satu bungkus dari keranjang itu." "Sahaya bisa jadi gila di sini."

"Beribu terima kasih Bendoro Putri. Cukuplah buat lima "Aku ingin tinggal agak lama di kampungku sendiri."

belas hari si Gombak minum air gula-jawa." "Tidak mungkin, Mas Nganten, sahaya tak sanggup tinggal

Kusir itu memerintahkan mengangkuti barang-barang, ke­ begitu lama."

mudian kembali datang pada Gadis Pantai "Kau boleh pulang sekarang pun, aku tak ada keberatan."

"Cukup orangnya, man?"

132 PRAMOEDYA ANANTA TOER

133 "Tentu tidak, Bendoro Putri. Cuma mereka, rupanya yang

GADIS PANT AI

"Bagaimana sahaya pulang, nanti?" kusir bertanya. nanti mal am tak turun ke laut. Apa boleh buat. Biarlah sahaya

"Man, mal am ini juga kau pulang."

ikut saja membantu."

"Sahaya Bendoro Putri."

"Wah-wah, banyak benar barangnya," salah seorang pe­

"Bawa pulang Bendoro ini, ya?"

nolong berkata. "Ini barang-barang siapa, Bendoro Putri?" se­ "Tidak Mas Nganten, sahay(J. diperintahkan nlengantarkan, orang lain bertanya.

dan sahaya akan terus antarkan."

"Ya, aku yang punya." "Kau dengar, Mardinah? Di sini, di temp at Bcndoro suamlku "Mau dibawa ke mana?"

tak ada, akulah Bendoromu. Aku yang perintahkan kau balik ke "Ke kampung nelayan."

kota, kalau kau tak suka, ya apa boleh buat, kau mesti mengi­ Tiba-tiba mereka tak bicara lagi, mulai mengangkuti barang­

nap. Suka atau tidak tanggunglah sendiri." barang dari dokar dan menyusunnya untuk dipikul.

"Kalau mengindp, maafkan sahaya, Mas Nganten, ah ...... "Tembakaumu sudah kau ambil, man? Jangan lupa."

ah . . . . "

Mereka mulai berjalan be.riringan memasuki kegelapan "Tentu kami akan perhatikan segal a keperluanmu." malam.

Dan mereka berjalan terus. Beberapa buah lampu llampak "Sahaya takut," Mardinah berbisik.

berkelap-kelip dari kejauhan. Tiba-tiba angin kencang datang "Lebih baik kau bawa botol-botol itu Aku sendiri keberat­

meniup. Mardinah menghampiri Gadis Pantai dan mencoba an dengan bawaanku."

berpegangan padanya.

"Ah, Mas Nganten .... " "Mas Nganten, sahaya .... " Gadis Pantai berjalan terus. "Ya, ya, aku tahu, kerja memang hina, tapi dpd salahnya

"ltulah rumah orang-orang yang menolong angkut barang menolong aku?" Dan dengan ragu-ragu Mardinah n1enjinjing

Bendoro Putri."

empat botol yang telah diikat dua-dua. Gadis Pantai masih dapat mengingat-ingat rumah itu - ru­ Mereka berjalan. Cabang dan ranting semak antara sebentar

mah-rumah penghabisan kampung ne1ayan. Kedua-duanya tak menyangkut pad a baju, dan pasir di bawah kaki begitu empuk­

pemah punya perahu sendiri seumur hidupnya, dan terpaksa nya seperti lumpur hangat. Para pemikul telah jauh luendahu­

membantu nelayan-nelayan lain dengan tenaganya. Id pun ingat lui. Tertinggal dua wanita dan kusir di belakang.

namanya. Suli dan Kardi, tapi ia tak pernah bicara dengan "Cepat benar, Mas N ganten, tak bisa lebih perlahan?"

mereka. Anak mereka banyak dan kecil-kecil dan kelja anak­ "Lebih baik kau berdo'a semoga tak turun hujan." Mereka

anak itu sehari-harian mencari kayu bakar untuk emdknya berjalan terus dan malam kian menghampiri.

masing-masing dan bermain-main di pantai. "Masih jauh, Mas Nganten?"

Waktu sampai di depan rumah mereka, Suli dan Kardi ber­ "Kau mau tinggal sendirian di sini?" Dan nlcreka bcrjalan

henti menunggu. "Sekarang ke mana Bendoro Putri?" kusir terus.

bertanya.

"Mas Nganten sendiri mestinya juga capek " Suli dan Kardi sengaja hendak menatap wajdh kcdua wan i­ "Siapa yang tidak capek, tapi ada yang kita tuju, dan kita

ta itu. Dan kala Gadis Pantai muncul kena cahaya Jampu peli- belum lagi sampai."

135 ta, mereka berpandang-pandangan kemudian mengawa.;;i Gadis

134 PRAMOEDYA ANANTA TOER

GAD IS PANTAI

Sampai yang masih menetek pun mau ikut. Suli dan Kardi Pantai lama-lama tapi tak bieara sesuatu pun keeuali dengan

telah mendahului. Dan rombongan belakang itu, berjalan sendi­ mata mereka.

ri seperti mengiringkan pengantin.

"Kalian kenaI aku pak? Pak Suli? Pak Kardi?" "Dulu tak dipanggil Bendoro," seorang anak berbisik nyata. "Rasa-rasanya Bendoro."

"Cantik, ya sekarang?"

"Bendoro? Mengapa aku dipanggil Bendoro, aku orang "Ah-ah, anak -anak ini," kusir memperingatkan. sini."

"Ayoh, nyanyi !" Gadis Pantai memberanikan "Sahaya, Bendoro."

"Apa? Menyanyi, Mas Nganten?"

"Bendoro ?"

"Nyanyi apa? Angin meniup?"

"Ayoh. Suli eepat." Kardi menganjurkan.

"Angin meniup, ya, ayoh !"

Sementara itu istri-istri dan anak-anak mereka keluar dan Suara bening kanak-kanak itu pun menembusi kegeJapan merubung. Salah seorang di antara mereka menuding Gadis

dan kesunyian pantai:

Pantai dan hendak menegur, tapi emaknya menarik jauh-jauh

dan menyuruhnya masuk ke dalam rumah kembali. Tinggal

menukik-nukik menukik-nukik

suaranya terdengar oleh semua, "ltu kan Gadis Pantai?"

menukik kau angin beliung

"Husy, diam kau. Jangan sekali lagi."

masuklah masuk masuklah mas uk

"Mengapa tak boleh?"

masuklah kau ke kawah gunung

"Biarlah, mak, biar dia ke luar," Gadis Pantai membe­

pergilah pergi pergilah pergi

ranikan.

pergilah kau ke dalam hutan

"Anak-anak ini memang susah diajar, Bendoro."

di sanalah sana di sanalah sana

"Tidak, aku bukan Bendoro. Mak sendiri kenaI aku waktu

berganda mangsa berkeliaran

keeil, kan?" Wanita itu keluar lagi dengan dnak keeilnya yang ditekap

Gadis Pantai mcnitikkan air mata. Terbayang olehnya bapak mulutnya. "Yang dahulu tinggal dahulu, Bendoro yang seka­

sedang menebarkan jala di dalam gelap. Angin beliung telah rang kan lain lagi?"

menderu-deru dari kejauhan. Langit gelap-gempita, dan jala "Ah, bisa saja omongnya ini mak."

tersangkut pada eabang karang. Ah, berapa kali saja bapak "Yang itu jangan diangkat sendiri, Bendoro. Biar anak-anak

pulang bawa eerita semaeam itu? Dan bapak bersama saudara­ yang bawa."

saudaranya melompat ke dalam air dingin, menyelam, melepas­ "Ayolah, kalau mereka mau." Dan anak-anak itu berebut

kan jala.

keras mau ikut menolong.

"N yanyi yang lain," kusir mengaearai.

"Ayoh, mari ikut semua. Ayoh, mak sarna-sarna ikut." Gadis Pantai tak dengar, ia bayangkan bapak. Kdrena dialah "Biarlah sahaya tunggu di rumah. Anak-anak saja yang

aku sekarang selamat ada di sini. Ah, bapak, dan ia bayangkan iringkan Bendoro."

emak. Apa yang sedang dikerjakan sekarang?

136 PRAMOEDYA ANANTA TOER

137 Suli dan Kardi telah jauh di depan. Tiba-tiba dari kejauhan

GADIS PANTAI

k a tak begitu dulu. Benar, tidak begitu dulu, i a yakinkan diri­ nampak berbagai obor bergerak menyambut, sedang lelatu daun

nya sendiri. Ia merdsa asing dan terpeneil iaksana seek�r kera kelapa kering bertebaran tertiup angin.

dalam kerangkeng. Ia berdiri dengan bantuan tangan perkasa "Siapa mereka itu Mas Nganten?"

bapak.

"Orang tuaku, tetanggaku, kenalanku." "Mari pulang, emak menunggu di rumah." Anak-anak keeil itu tiba-tiba mendahului menyerbu lari

Ia pandangi bapak dan dengan mata ragu-ragu bapak meng­ sambil berteriak-teriak, "Gadis Pantai datang, Gadis Pantai

hindarkan pandangnya.

datang." Bapak? Mengapa bapak pun segan menatap aku? Anaknya Obor dan lampu pun kian banyak dalam kegelapan, kemu­

sendiri. Dan bumi di bawah kakinya terasa goyah. Kampung dian muneul juga wajah-wajah mengkilat keringatan. "Gadis

nelayan ini telah kehilangan perlindungan y dng meyakinkan Pantai ! Gadis Pantai."

baginya. Sedang dari belakang terus jUgd mengikuti mdta-mata "Husy, diam! Jangan kurang ajar anak-anak !" seorang dari

Bendoro yang tak dapat dikebaskan dari bayang-bayangnya. Ia rombongan penjemput menggertak.

masih kenaI benar siapa-siapa yang menjemputnya - tetangga­ Gadis Pantai terbangun dari sendunya. Ia rasai sesuatu

tetangganya. Ada yang dahulu pernah menjewernya. Ada yang menggerumuti bulu tengkuknya. Dahulu tak pernah orang

pernah mendongenginya. Ada yang pernah mengangkat dan menyambutnya seperti sekarang. Ia merasa begitu asing. Dari

menggendongnya sewaktu ia habis jatuh dari pohon jambu. Ada kejauhan ia lihat bapak berjalan paling depan membawa obor

yang sering dibantunya menunggu dapur. Dan ada boeah-boeah daun kelapa kering. Ia bertelanjang dada. Dan otot-ototnya

keeil yang digendongnya dulu. Tapi semua tidaklah wajar lagi yang perkasa berkiiat-kilat setiap bergerak kena eahaya obor.

terhadapnya, tidak seperti dulu. Antara sebentar ia dengar kata Gadis Pantai lari, Iari, lari. Pasir di bawah kakinya berhdmbur­

Bendoro Putri ! Bendoro ! Bendoro ! Bendoro Putri ! Kata itu an. Gadis Pantai hanya melihat �atu sosok tubuh saja di antara

mendengung memburu. Mengiris dan meremas di dalam otak­ sekian banyak.

nya Bendoro ! Bendoro Putri ! Bendoro ! Bendoro Putri ! Dan "Bapak! Bapak!" dan ia pun menubruk kaki bapak, meme­

pasang-pasang mata yang menunduk hormat bila tertatap oIeh­ Iuknya dengan kedua belah tangannya.

nya seakan menyindirnya: semu, semu, semua semu ! Bapak mengusap-usap rambutnya. "Selamat kau, nak?"

Dalam iringan bapak ia berjalan lambat ragu-ragu. BenM, Seluruh obor turun ke bawah dan mengepung kedua bapak

kampung nelayan ini bukan kampungnya yang dulu lagi. Bah­ dan anak. "Pangestu, bapak."

kan kegelapan malam yang ditembusi eahaya obor-obor daun Tiada seorang pun bieara, berdiri pes on a laksana segerom­

kelapa kering rasa-rasanya juga bukan kegelapan malam kam­ bolan patung.

pung nelayan yang dUlu. Sedang riak yang menjilati pantai, dan "Berdiri, nak."

gemerlapan lemah kena eahaya obor, rasa-rasanya bukan Iagi Gadis Pantai berdiri mengawasi sekelilingnya, menatap se­

riak sejak sejuta tClhun yang lalu. Suara-suara yang terdengar tiap wajah yang melingkunginya. Dan setiap orang yang dipan­

sekalipun, dalam bisikan lemah pun, terdengar olehnya begitu dangnya segera nunduk gelisah. Gadis Pantai jadi keeut. Mere-

suram, begitu tak rela dan menyindir.

138 PRAMOEDYA ANANTA TOER

GAD IS PANTAI

Mardinah tiada buka mulut sarna sekali. Kusir pun segan rio Bapak membalikkan badan, dengan tergesa-gesa ke luar dari membuka bibir. Bocah-bocah kecil berloncatan mengelilingi

rumah, menyerahkan dirinya pad a kegelapan pantai. sambil memandangnya, seakan dia ikan duyung yang baru saja

"Kau baik, nak'!" emak bertanya terputus-putus. tertangkap.

"Pangestu, mak."

Di depan dan di belakangnya bOCdh-bocah kecil tak habis­ "Begitu lama kau tak nampak," dan emak terus tersedan- •

habisnya mengawasi setiap gerak -gerik, dan setiap benda yang

sedan.

lekat pada tu buhnya. Seorang bocah bahkan menahan tangan "Emak dan bapak tak pernah panggil aku pUlang." kirinya dan mengawasi cincinnya, beberapa orang bocah ber­

"Ah, terlalu, terlalu. Apakah hak kami memanggil istri se­ lari mendahului masuk ke dalam rumah. Ia mengerahkan selu­

orang Bendoro?"

ruh perhatiannya, untuk mendapatkan emak menyambutnya di

"Ampuni aku, mak, ampuni."

depan pintu. Tapi wan ita itu tidak nampak. Hatinya jadi kecut. Orang tua-tua dan orang dewasa seorang demi seorang ke Semua orang dewasa mengiringkannya di belakangnya.

luar rumah, mengikuti contoh bapak. Tinggal bocah-bocah Cuma bapak berjalan di sampingnya pun agak di belakangnya.

yang jadi saksi bagi anak dan emak di pojok rumah di kampung "Mengapa di belakang, bapak?"

nelayan.

Bapak terbatuk-batuk. "Mengapa mak sambut aku dengan tangis, mak?" "Mana emak, bapak?"

"Apakahj ahatnya air mata buat anaknya sendiri, biarpun dia "Di mana tempat perempuan kampung kalau tak di dapurT'

istri seorang Bendoro?"

"Ah, Emak," dan Gadis Pantai lari. Sandalnya yang sebelah

"Mak tak suka aku pulang, mak?"

melompat entah di mana ia menyerbu ke dalam rumah. "Emak,

Emak sekarang melolong.

mak! Emak, mak."

"Emak!"

Tapi tak terdengar suara menjawab. Cuma api di dapur men­ Kemudian wanita-wanita kampung nelayan pun pada masuk jilat-jilat belanga besar yang selama ini tak dipergunakan, terke­

ke dalam. Mereka berhenti tidak jauh dari anak-anak itu. cuali bila kampung mengadakan pesta. La berdiri di depan api.

"Pengabdianmu diterima Bendoro, nak?" Ia mencoba mendengarkan. Ya, ada sesuatu terdengar olehnya:

"Apa yang dikehendaki emak dan bapak kucoba lakukan angin dari laut. Ya, ada sesuatu lagi: suara lirih tertahan-tahan.

sebaiknya, mak."

"Mak!" ia menjerit waktu dilihatnya emak berlutut di pojok­ "Bukan bapakmu, bukan emakmu tapi Gusti Allah yang an rumah. "Ah, emak, emak."

menghendaki, nak."

Tapi emak Cuma menjawab dengan sedu-seddnnya Gadis

"Emak baik, mak?"

Pantai menyambut dengan sedu-sedannya juga. Keduanya ber­ "Cuma kau yang selalu terbayang, mengapa kau pulang?" lutut tanpa bicara.

"Aku masih anakmu, mak"

Dan orang-orang pun kini telah masuk semua ke dalam

"Kau tak kena murka?"

rumah.

"Tidak."

Melihat tamasya itu semua orang berhenti tak menghampi- "Kau tidak dikembalikan pada kami?"

1 40 PRAMOEDYA ANANTA TOER

141 "Tidak."

GADIS PANTAI

Barulah kini perhatian teralih pada Mardinah, wanita kota "Kau datang atas kehendak sendiri?"

bermuka bulat, bermulut kecil lak<;ana sebuah bawang merah "Benar "

menempel pada bawah cobek.

"Kau datang dengan seizin Bendoro suamimu?" Malam itu kampung nelayan bermandikan cahaya obor. Di "Tidak bisa lain, mak."

sana-sini terdengar orang menyanyi, dan menjelang subuh tia­ Emak menghapus air matanya, berdiri. "Betapa cantiknya

da satu pun yang tUfUn ke laut.

kau sekarang." "Jangan ikut masak, Bendoro Putri," orang-urang mencegah Dan wanita-wanita tetangga pun mulai mendekat. " Seperti

Gadis Pantai. Ternyata kusir pun ikut berpesta, lupa pada si bidadari," beberapa orang menyambung suara.

Gombak kudanya yang tercancang sebatang km a di penghu jung Dan Gadis Pantai merasai setiap orang mencoba kuat-kuat

jalan setapak.

untuk meniru kesopanan orang kota, menempatkannya di tem­ Cuma setahun sekali kegirangan dan kedamaian semaCam pat yang lain, membedakannya dari yang lain-lain seperti pada

- ini terjadi: di waktu lebaran haji, dan seluruh kc1uarg.l nclayan penderita kusta. Setiap pandangannya bertatap pada wajah,

turun ke laut, menyerahkan ketupat pada dewa laut, mcminta segera wajah itu pun tunduk sambi! tersenyum, dengan kedua

berkah dan memohon j angan hendaknya diganggu dalam pe­ belah tangdn tergantung tanpa tenaga! Tangan-tangan yang bia­

kerjaan sehari-hari.

sa lumatkan biji-biji jagung keras, yang biasa mengeping­ Setiap orang merasa bangga, seorang gadis dari kampung ngeping kayu bakar yang keras ulet seperti berasal di jaman

mereka telah jadi orang kota, jadi bangsawan, jadi Bendoro. purba.

Dan setiap orang merasa bangga kampung mereka dikunjungi "Kita, masak !" Gadis Pantai mencoba mengubah suasana.

seorang bangsawan turunan: Mardinah.

Tanpa membuka mulut orang-orang itu pun menuju ke da­ Si Dul pendongeng dengan rebana di tangan sedang asyik pur. Sejurus sunyi. Tiba-tiba seorang nenek melengking, "Mana

mendongeng ketika orang-orang pada sibuk melayani Gadis orang-orang lelaki? Ayoh, kerja!" Hore, bocah-bocah bersorak.

Pantai. Ia menyanyikan cerita waktu tuan besar Guntur dlias Karung beras dibongkar. Botol-botol kecap lari ke dapur.

Daendels membangun jalan raya menerjang selatan daerah Oleh-oleh digelar di atas ambin. Kaum lelaki mulai masuk

mereka.

kembali ke dalam rumdh. Gadis Pantai mengeluarkan dua lem­

oh, oh dewa sejagad kalah bengisnya

bar sarung pelekat dan diserahkan pada kakck tertua kampung

matilah dia berani tolak perintahnya

nelayan, selembar lainnya pada lurah.

bupati mantri semua priyayi apalagi

"Yang lain-lain," kakek tua angkat bicara, "cukup makan

orang kecil yang ditakdirkan jadi kuli

kenyang-kenyang saja, ya." "Beras sekarung takkan habis buat orang sebanyak ini."

dia sandang pedang tipis di ping gang kiri Gadis Pantai menyusul suaranya.

tapi titahnya wah wah wah lebih dahsat lagi "Terima kasih, Bendoro Putri."

laksana geledek sambar perahu dan tali-temali "Mengapa Bendoro Putri? Inilah Bendoro yang tulen !" Ga­

sehela nafas sedepa jalan harus jadi dis Pantai menunjuk dengan jempolnya pad a Mardinah.

1 42 PRAMOEDYA ANANTA TOER

1 43 menggigil semua dengar namanya guntur

GADIS PANT AI

gadis tercantik kampung nelayan

semua pada takluk gunung kali dan raWll

idaman pemuda pujaan perawan

pantai dan jalan berjajar panjang membujur

kekasih tua-muda laki-perempuan

kepala kawula jadi titian orang yang kuasa . . . .

gadis pantai 'duhai cantik rupawan

"Bukan main, tuan besar Guntur," seorang menyela. "Kalau

orang-orang kota penasaran

ada empat orang seperti dia, habislah orang J awa."

bunga mekar di kampung nelayan bendoro pun cepat kirim utusan

waktu jalan panjang sempurna jadi

bawa lamaran orang kasmaran

kereta-kereta indah jalan tiap hari bawa tuan-tuan nyonya-nyonya dan putri-putri

bunga dipetik menghias gedongan tuan besar gubernur jenderal dan para abdi

dimandikan mawar disunting herlian tiada lupa orangtua dan kenalan

"Ganti saja ceritanya !" seseorang lain menyela. manis budi gadis pantai jadi teladan . . . .

"Ya, ya, ganti ! Ceritakan saja kisah Gadis Pantai," seseorang mengusulkan. Pendongeng itu berhenti sebentar. Manarik nafas

Rebana makin keras dipukul, giring-giringnya makin dan mereguk kopinya, kemudian memulai dengdn cerita baru.

menggerincing. Dongeng semakin asyik menggelitik, suara laut semakin mendekat, dan malam semakin larut. Keriuhan men­

Laut tenang angin pun damai capai puncaknya waktu hidangan tersedia, lengkap dengan se­

"Panggil Bendoro Putri biar ikut dcngdrkan." gala lauk-pauk dan bumbu-bumbu dari kota. Beberapa orang "s uruh dia mendongeng lebih keras - tak usah dipanggil."

mulai menjelepoh di pasir, di bawah-bawah pohon karena "Ya, nyanyinya keras sedikit."

mabuk tuak, sedang ruas-ruas bambu tempat bekas tuak berte­ Pendongeng memukul rebananya keras-keras dan mengen­

baran di mana-mana. Perut yang kenyang membuat keriuhan cangkan suaranya:

semakin lama semakin surut. Obor-obor makin pudar dan pa­ dam. Bocah-bocah pada kehabisan tenaga bergolek di teritis

laut tenang angin pun damai rumah, bahkan di bawah ambin. Akhirnya padam sarna sekali nelayan pulang melepas dahaga

kampung nelayan. Yang ronda pun lupa pada kewajibdnnya. tiada tandingan cantiknya gadis pantai

"Mas Nganten," Mardinah berbisik, "di mana sahaya tidur?" laksana nawangwulan turun ke telaga

"Tidurlah bersama aku." "Tidak ada kamar?'"

"Bendoro Putri mari keluar - ke sinilah!" seorang berseru. "Menggeletak bersama dan seperti yang lain." "Mari ikut dengarkan." Pendongeng memukul rebana lebih

"Mas Nganten .... "

kencang dan bersemangat. Matahari merangkak cepat tanpa disadari. Baru setelah ada

bocah menjerit bangun karena boroknya dipatuk ayam, orang-

1 45 orang mulai membuka mata, mengucek-ngucek, terbatuk­

1 44 PRAMOEDYA ANANTA TOER

GADIS PANTAI

"Lhah, di mana sahaya mandi Bendoro Putri?" batuk, kemudian mencari tempat-tempat kelindungan untuk

"Tanyalah pada kudamu."

melepas air Laut telah lama menjauh dari pantai dan perahu­ Dengan demikian di pagi hari itu juga Mardinah kembali ke perahu yang kemarin telah disediakan kini pada kandas di pasir.

kota. Ternyata cuma segumpil kccil saja kelegaan yang dipero­ Bocah-bocah berebutan pada menyerbu dapur mencari sisa­

leh Gadis Pantai. Pasang-pasang Inata yang menyinarkan pan­ sisa semalam. Dan mendadak saja kampung nelayan sibuk

dang tak wajar padanya, kesopanan yang dibuat-buat, kekakuan kembali.

yang menjengkelkan. Terutama orang tuanya yang begitu jauh "Di mana sahaya mesti mandi Mas Nganten?"

terhadapnya, menyebabkan ia merasa scpcrti batu karang tung­ "Di kulah, tentu."

gal, tak punya sesuatu hubungan dengan dirinya, terkecuali laut "Air asin tentu. Sabun tak bakal mudah lenyap terbasuh."

yang mengandung kesepian.

"Jangan dengan sabun." Bila ia masuk ke dalam rumah bukan lagi cIHak yang ramah "Sehabis perjalanan kemarin? Tanpa mandi semalam?"

dan selalu melindunginya yang didapatkan, tapi tetangganya "Kami hanya orang kampung miskin. Kadang-kadang sarna

yang dengan sukarela bekerja buat menyenc.tngkanny d. Se­ sekali tak mandi air, lebih banyak mandi keringat dan laut."

karang bapaknya hampir-hampir tak berani nlasuk kc dalc.lm "Seminggu saja di sini, jadi ikan asinlah sahaya."

bila ia tidak di luar rumah. Berapa kali sudah dalanl sepagi itu, "Man, Man !" Gadis Pantai berseru-seru.

ia panggil bapak. Tapi ia muncul hanya sampai di pintu men­ Sambil mengerudungi badan bawahnya kusir segera meng-

dengarkan suaranya, mengangguk dalam, dan kcmudian pergi hadap. "Ah, Bendoro Putri, lupa sahaya pada kuda sahaya."

lagi.

"Jangan kuatir tak ada baj ak semalam." Semua orang menahannya dari bekerja. Semua orang memu­ "Tak ada memang. Bagaimana kalau kakinya digigit ular?"

satkan perhatian padanya. Setiap langkah dan gerak -geriknya "Terpaksa kau turun juga ke laut."

diperhatikan. Maling kesiangan pun tak sejanggal nasibku de­ "Tak ada binatang yang lebih menyenangkan daripada kuda,

wasa ini. Rumah kelahirannya kini tak lagi kuasa melindungi­ Bendoro Putri. Makannya cuma dedak dan rumput, tapi dia beri

nya lagi.

anak bini sahaya segala yang kami butuhkdn. Sahaya tak perlu "Bapak," akhirnya ia memanggil. Dan seperti selmTIa sepa­ cari dia, tidak seperti ikan, Bendoro Putri."

gi itu, kini Bapak kembali muncul di pintu. "Mengapa bapak "Tak lupa tembakaumu?"

tak terus masuk pak?"

"Semalam sahaya pergunakan jadi bantal, Benduro Putri, "Di sini lebih senang, panas di dalmTI." sayang benar kalau jadi asap tanpa lewat hidung sahaya

"Ah, bapak, aku t,\hu karena aku di sini. Bapak tak mau sendiri."

masuk."

"Bawa Bendoro Putri ini pulang ke kota.·' "Tidak benar, itu tidak benar. Apakah yang bisa kuperbuat "Sahaya Bendoro."

untukmu?"

"Mas Nganten juga mesti balik."

"Dekatlah sini."

"Kapan kau punya hak memerintah aku? Man, bersiap-siap

"Panas di dalam "

kau, cepat."

1 46 PRAMOEDYA ANANTA TOER

147 "Panggil namaku pun bapak tak sudi lagi."

GAD IS PANTAI

nampan? Ayoh bubar!" dan dengan tampang mengancam ba­ "Bukan galibnya lagi anak terhormat dipanggil pada nama-

pak melototi bocah terbesar.

nya." Rombongan bocah itu pun mundur dan menggerombol, ber­ "Ah, bapak dekatlah, sini."

henti di suatu jarak dan mengawasi anak dan bapak berjdlan "Biarlah, aku di sini saja."

terus menelusuri pantai.

Gadis Pantai melangkah ke pintu menghampiri bapak. Dan "Mengapa tidak seperti waktu aku belum kawin? Kampung­ bapak meninggalkan bendul pintu menyingkir keluar.

nya tak berubah, tapi orang-orangnya semua berubah." "Aku ingin seperti dulu lagi, bapak, seperti dulu. Orang talc

"Kita semua semakin jadi tua."

perhatikan aku." "Lihatlah," ia menuding pada laut, "dia tak berubah," kemu­ "Tak ada yang perhatikan."

dian membalik badan menuding ke kampung. "Dia pun tak "Mari jalan-jalan bapak. Lihat-lihat sepanjang pantai."

berubah. Atap-atap rumbainya tak ada yang baru. Pohon-pohon "Apa yang mau dilihat di pantai?"

kelapa itu kulihat tak bertambah. Ada yang mati sepening­ "Dua tahun lebih aku tak jnj ak pasirnya yang basah dan

"Tinggal saja di rumah, masih lelah dari perjalanan ke- "Cuma bocah-bocah semakin besar, dan banyak." marin."

Bapak mendaham.

Gadis Pantai melangkah keluar, berJalan lambat-Iambat

"Sedikit sekali perubahannya."

menuju ke pantai. Bocah-bocah segera menyerbu dan mengiku­

"Sedikit sekali memang."

ti riuh rendah suara mereka, dan semua orang ke luar rumah "Tapi orang-orangnya jelas berubah. Terhadap dku. Bahkan menghantarkannya dengan pandang. Bapak mengiringkan dari

bapak sendiri. Seakan mereka pada menuding padaku: pergilah belakang.

lekas, pulang kau ke kota."

"Mengapa bapak selalu di belakangku? Bukankah bapak "Tidak benar. Tidak benar." Bapak mengulang-ulang dengan masih bapakku?"

jerit tertahan.

Bocah-bocah pada berkicau mengenalkan keanehan pantai. "Aku datang dan tak seorang pun turun ke laut." Waktu Gadis Pantai lebih jauh lagi berjalan, yang nampak dan

"Tak patutkah mereka ikut gembira bersama bapak yang tercium masih yang dulu juga: ampas manusia yang berbaris

ditinggalkan dua tahun tanpa kabar tanpa berita?" sepanjang pantai, berbaris tanpa komando. "Ingin dku mandi di

"Dua tahun lebih sedikit. Tapi tak ada kulihat bapak ber- laut."

gembira."

"Tak jelas, apakah patut." "Tak patutlah orang setua ini berjingkrak seperti bocah." "Memang tak patut, tapi aku ingin."

"Betapa bodohnya aku mengharapkan bapak berjingkra" ,.

"Tidak mungkin." la menuding ke arah laut. "Nampaknya itu bukan pcrahu kalll "Memang tidak mungkin."

pung kita."

"Ai, bocah-bocah mengapa meriung-riung seperti udang di Bapak mengikuti arah tudingan, menggeleng.

1 49 " Aku bawakan benang jala."

PRAMOEDYA ANANTA TOER

GADIS PANTAI

"Buat apa uang? Barang tak bisa dibeli di sini. Lagi semua "Ya, setiap orang bawa benang jala dari kota."

orang seperti itu rumahnya. Dan kita sarna dengan yang lain­ "Dan tasbih."

lain "

"Tasbih?"

"Barangkali buat beli perahu."

"Dari Bendoro, buat bapak saja. Hitam. Dari kayu keras, "Kita tetap bikin perahu-perahu sendiri seperti dulu." buatan Mekah."

"Apa mesti kujawab pada Bendoro?"

"B uat apa tasbih?" "Laut tetap kaya. Dia berikan kepada kita segala-galanyd "Bendoro menyampaikan salam. Kalau kampung belum

sampai yang terindah di dunia: mutiara."

punya surau, Bendoro bersedia membiayai pendiriannya." "Bapak tak pemah bicara tentang mutiara." "Betapa mUlianya "

"Buat apa? Dia takkan buat tenaga kita lebih berharga." "Tapi orang di sini tentu tak ada waktu buat itu. Semua si-

"Aku dibelikan seperdngkat mutiara oleh Bendoro." buk ke laut dan ikan tak semudah itu ditangkap."

"Mutiara sangat berharga, memang. Tapi tenaga kita tidak. "Jangan menyindir."

Cuma orang pili han dihiasi mutiara. Yang menyelam mengaduk "Ah, bapak. Mana bisa aku sindir bapak? Kita semua tahu,

lautpun tak bermutiara."

buat dapatkan jagung pun tenaga tak cukup, jangankan dirikan "Panggilah aku pada namaku seperti dulu, bapak." surau, jangankan membuka-buka kitab !"

"Memanggil kadang-kadang cukup dalam hati." "Masih ingat kata kakek semalam?"

"Ah, bapak seakan-akan aku bukan anak kampung nelayan "Aku tak dengar apa-apa."

ini lagi."

"Dia bilang, kita ini tak sempat apa-apa. Kaya tidak, cukup Bakau di pantai kampung nelayan ini sangat tipis, karena tidak, surga tidak, mati pun cuma dapat neraka. Habis segala­

terlalu sering ditebang, dijemur buat kayu bakar. Tapi di suatu galanya tak sampai."

temp at semak bakau sangat subur nampak tak pernah terjamah. "N asib nelayan."

Jangan ganggu bakau di sini, pernah kata seorang asing dulu. "Ah, ingat aku," kat a bapak. "Waktu si Dul pendongeng

Biar kelak kalau aku ada keberuntungan, aku akan dapat kemari buka cerita, dia bilang: Kalau kakek tua masuk neraka, kita

lagi. Aku akan tahu, tanah ini tempat aku injak setelah ditolong semua masuk neraka. Cuma dia paling tahu di antara kita."

perahu nelayan kampung sini, dibawa ke sini, dipelihara di sini "Bendoro bilang bisa dikirim guru ngaji."

dan diantarkan ke kota. Orang asing itu tak pemah datang lagi, "Bagaimana kita mesti upahi dia?"

tapi semak bakau itu tetap tak terjamah.

"Bendoro yang upahi." "Barang siapa pern�h minum air setengah asin kampung ini, "Barangkali ikan akan lebih jinak kalau kitd ngaj i, ya?"

dia takkan bakal lupa. Dan barang siapa dilahirkan di kampung "Barangkali. Belum dicoba."

sini, dia tetap anak kampung sini."

"Kita tanyakan pada kakek. Cuma kakek tahu menjawab." "Abang-abang sarna sekali tak bicara padaku lagi." "Bapak, bendoro berpesan, gdnti rumah itu dengan kayu.

"Mereka sedang membikin pol a ukiran." Aku bawakan uang buat biaya "

"Nampaknya adik-adikku dilarang mendekati aku."

1 50 PRAMOEDYA ANANTA TOER 151

GADIS PANTAI

"Itulah yang dicitakan setiap orang."

"Mereka diajar menghormati kakaknya dari kota." "Ah, bapak, bapak. Sekarang aku seperti pertama kali bapak

"Kalau bapak tahu bagaimana mereka hid up di sana .... " ' 'Setid ak-tidaknya mereka tak mengadu untung setiap hari.

antarkan masuk ke rumah Bendoro."

Bapak menunduk terharu. Setldak-tIdaknya mereka tidak berlumuran kotor setiap hari."

"Ah, aneh benar pikiran bapak."

"Barangkali aku harns segera balik ke kota kembali." "Karnpung ini memang mengecewakan, terlalu hina."

"Aneh dan tak guna. Kita hidup dan bekerja berat dan akan begini terus sampai tak bisa kerj a scsuatu lagi. Terkecudli kasih

"Ah, bapak aku cuma ingin diperlakukan seperti dulu. Pukullah aku kalau aku bersalah. Tapi jangan cabarkan hatiku

nasehat seperti kakek tua."

"Mari kita lihat orang-ordng mcmperbaiki jala." semacam ini. Apa tak cukup penanggunganku di kota? Apa

kurang banyak yang kuberikan buat penuhi keinginan orang tua "Hari ini semua pada mengasoh. Tak ada yang kerj a." jadi bini priyayi? Mengapa sesudah seumur ini bapak sendiri

"Kita Iihat empang." "Nanti terlalu lelah, sakit. Bibit sudah ditanmll delapdn pe­

bersikap begitu? Dan emak hampir-hampir tak mau bicara padaku? Apa dosaku?"

kan yang baru lalu."

"Siapa sangka anaknya sendiri yang diserahkannya ke ta­ Gadis Pantai tertawa. "Tahun ini banyak yang beli bibit dari sini ?"

ngan priyayi tinggi menanggung?" Tiba-tiba bapak tak dapat te­ ruskan bicaranya. Dan dengan suara sayup-sayup dan sebagi­

"Berkah, berkah. Anak-anak kampung sudah pada besar. dn lenyap tertiup angin ia berbisik, "Berapa kali aku telah puku­

Penghasila n bibit lebih banyak. Adik-adikmu saja dapat kum­

pUlkan leblh 1 .000 ekor dalam seminggu !" Ii anakku, kadang di subuh hari ..... "

Gadis Pantai berhenti, meneleng ke belakang. Mengawasi Dan Gadis Pantai teringat pada masa beberapa tahun dulu,

d gan telanjang diri bersenjatakan rumah karang ia sendoki bapak yang berjalan menunduk dengan pandang menggaruk

pasir. Pemberani itu yang menentang laut melawan badai, blblt bandeng dari tepian laut, dimasukkan ke dalam belanga mengaduk laut, menangkap ikan setiap hari .... betapa j adi kecil

kecil yang diisi air dan dedaunan bakau.

hatinya kini cuma karena di dekat anaknya sendiri, dan anak "Aku tak lihat orang membuat trasi lagi." yang jadi bini kecil priyayi.

"Trasi kita tak laku. Sedikit sekali pedagang datang ke mari "Ah, buat apa menyesali diri. Kapan aku dikaruniai seorang

cari trasi kita."

"Di kota orang lebih suka trasi buatan Lasem " cucu?"

"Kehendak Allah belum tiba, bapak." "B ukan salah kita. Kata orang-orang trasi kita dibawa ke "Belum pernah rumah kita dihiasi dengan cucu."

kota sudah dicampur dengan lempung."

"Ya, banyak trasi

p enuh lempung di kota "

"Apa bapak harapkan dari cucu bapak?"

"Kesejahteraan, keselamatan, jangan seperti kita."

"Bukan kita yang mencampuri." "Tentu saJa bukan kita. Kita bukan keturunan penlpu, bapak.

"Seperti priyayi?"

"Kalau lelaki dia - akan jadi priyayi tulen." DI kota kudengar itu buatan seorang pedagang. Dia punya istri kedua dan ketiga di kampung nelayan dekat kota. Pedagang itu

"Kalau ada nasib, bapak suka jadi priyayi?"

1 52 PRAMOEDYA ANANTA TOER

GADIS PANTAI

mengaku diri haji. Dia rusak trasi kita biar kampung istri-istri­ Ii karena perhiasanku, ia mencoba menarik kesimpulan. Aku nya saja dapat laku."

harus lepas perhiasan ini nanti sore. Ia menghampiri en1ak yang "Dari bibit bandeng saja tak banyak yang kita peroleh."

sedang membuat sambal. Juga emak berhenti kerjd, "Jangan ke "Sedikit sekali?"

mari nanti kotor."

"Tapi kita masih tetap hidup segar, sehat." Kotor! Tiba-tiba ia ingat pada hukuman Bendoro pada Mereka berjalan menuju ke rumah. Bapak tetap saja diam­

orang-orang kampung nelayan ini. Mereka kotor kurang beri­ diam bila tak ditanyai. "Bapak masih juga tak nlau panggil

man, karena itu miskin kata Bendoro. Kalau semua nlau serba namaku?"

bersih terus siapa yang lenyapkan kotoran? ia bertanya lugu Gadis Pantai merasai bapak tersiksa karena kata-katanya.

pada Bendoro.

Tapi ia sendiri pun tersiksa. Dan laut semakin jauh dari kam­ Kotor! Miskin ! Kurang beriman! Neraka! Ia tak pernah de­ pungo Dataran pasir nampak begitu jauh, begitu Ienggang,

ngar kata-kata itu sebelum ke kota. Dan kata-kata baru itu ba­ coklat muda, datar dan kosong. Laut nampak seperti garis biru

nyak mengacaukan otaknya. Bagaimana ikan dsin bisa dibuat tipis dengan garis lamat -lamat putih di atasnya. Sarna �ekali tak

kalau orang tak berani tarik ludes isi perut setiap ikan yang menandakan ada perahu di atas garis biru putih itu. Angin tiada

menggeletak di atas nampan? Binatang-binatang itu akan busuk teras meniup. Sedang tunggul-tunggul bakau nampak begitu

dan sia-sia saja kerja kepahlawanan bapak dan dbang-abang. kaku, coklat, hitam tak mengandung hidup, bahkan cuma ke­

Dan bau amis jala. Dan seluruh laut! Minyak wangi? Memang matian melulu. Burung-burung camar yang biasa nampak ter­

menyenangkan, tapi dia tak kuasa panggil ikan datang ke ru­ gantung-gantung di udara, kini tiada mengisi kelenggangan

mah manusia dengan suka rela.

cakrawala. Dan langit di atas sana putih, cuma putih, seperti "Mengapa kalau aku kotor?" Gadis Pantai menukas. kapas tanpa setitik pun warna lain.

"Tidak baik orang kota kotor. Biarlah kami yang sudah bia­ "Emak sediakan sate ayam siang ini."

sa sajd melakukannya istirahatlah di ambin. Lelah dari perjalan­ Kata-kata itu membuat Gadis Pantai seakan terasa Iengang.

an kemarin. Mak Pin bisa pijit kalau mau dan kalau suka." Tak pernah seumur hidup emak buatkan dia sate. Ayam yang

"Mau ! mau aku dipijiti"

hanya beberapa ekor, hanya diambil telurnya buat obat kUdt

"Rah panggil Mak Pin."

bapak. Entah berapa ekor dari yang sedikit itu kini harus mem­ Baru sekali ini dalam seumur hidup seorang dhli pijat me­ buktikan, bahwa ia memang lain daripada seluruh penduduk

letakkan tdngannya yang berbakat itu di atas punggungnya, kampung selebihnya.

pinggangnya, mengendurkan urat-urat yang tegang. Dengan langkah gontai dan hati bimbang ia mas uk ke rumah

"Sudah lama memijit, Mak Pin?" ,

kembali. Waktu ia menengok ke belakang diketahuinya bapak

"Sahaya."

tak ikut mas uk. Bapak! Bapak! serunya dalam hati. Ia dapati

"Mak Pin pernah tinggal di kota?"

beberapa orang wanita tetangganya masih sibuk bekelja mem­

"Sahaya."

bantu emak. Waktu melihatnya, mereka berhenti bekelja me­

"Mengapa tinggal di sini?"

nekur ke tanah dan mundur-mundur memberi jalan. Barangka-

"Sahaya. "

1 54 PRAMOEDYA ANANTA TOER "Ha?"

GADIS PANTA!

Gadis Pantai tertawa. Bukan karena kebengalan boeah­ "Sahaya?"

boeah, tapi pada nada yang bicara itu ! La rasai nada suara itu Gadis Pantai tersenyum, lenyap hasratnya hendak biedra.

tak mengandung pembedaan diri Idgi, itu suara manusia kam­ pungnya. Bukan suara budak terhadap Bendoro.

Mak Pin tak pernah dikenalnya sebelum ini. Pendatang, pikirnya. Ia telengkan kepala dan melihat ke arah dapur.

Tiba-tiba Mak Pin mengeluarkan suara aneh. "Dari mana Mak Pin ini?" ia bertanya pada siapa saja yang

"Apa dia bilang?" Orang-orang tertawa bergegar-gegaran. Gadis Pantai meng­

mau menjawab. "Siapa tahu? Tahu-tahu sudah ada saja di sini," seseorang

hela nafas, itu tertawa manusia kampungnya: lepas, bebas, menjawab.

bukan tertawa budak di depan Bendoro.

"Di mana tinggalnya?" "Mak Pin ini ada-ada saja," seseorang menjcril suka. "Di mana saja."

"Apa dia bilang?"

Gadis Pantai tersenyum. Dalam waktu dua tahun lebih ting­

"Bendoro belum berputra, katanya."

gal di gedung menyebabkan i;t terbiasa memandang setiap

"Haa?" "Belum segala-galanya. Dia bertanya, Bendoro tak ingin se­

orang punya tempat tetap buat tinggalnya. Dan ia sudah terbia­ sa memandang setiap orang tinggal aman bila pintu rumah te­

gera berputra?"

lah terkunci, tiada orang asing datang mengganggu, mende­

"Haa?" Kembali Mak Pin mengeluarkan bunyi aneh dan riuh

ngus. Di kampung nelayan, kampung kelahirannya ini pelan­ pel an tapi pasti ia mulai belajar kembali tentang masa silam­

rendah, seperti suara keluar dari kerongkongan binatang buas nya dulu. Ia tersenyum. Ia menyesal telah menjadi begitu pelu­

sedang menanggung lapar. Kembali orang tertawa bergegar­ gegaran.

pa. Di sini tak ada rumah terkunei pintunya, siang ataupun malam. Di sini pintu bukanlah dibuat untuk menolak manusia,

"Apa dia bilang?"

tapi menahan angin. Di sini semua orang tidur di ambin di "Katanya pinggang ini keeil benar -juga pinggulnya," sese­ malam atau di siang hari, termasuk para tdmu yang tak pemah

orang memperbaiki, kemudian tertawa melengking. dipedulikan dari mana datangnya. La mendengus sekali lagi. Di

Gadis Pantai mengangkat kepala untuk melihat benar-benar bagaimana Mak Pin bieara. Ternyata suara-suara aneh itu

kota setiap orang baru selalu ditetak dengan tanya: Siapa nama? Dari mana? Di sini, orang tak peduli Mak Pin �datang dari mana.

dibantu oleh gerak-gerik tangannya yang lineah. Tak peduli Mak Pin gagu. Tak peduli sekalipun dia kelahiran

"Mengapa kalau keeil pinggang dan pinggul?" neraka.

Seseorang mengharppiri Mak Pin, menyentilnya pada ping­ "J adi bagaimana orang tahu dia bernama Mak Pin?"

gangnya. Mak Pin terlompat terkejut sambil berteriak nleleng­ "Lihat saja kakinya."

king, kemudian tertawa terkekeh-kekeh. Wanita yang menyen­ "Mengapa kakinya?"

til bieara dengan bahasa isyarat, tapi Mak Pin terus tawa eeki­ "Pineang." Ah, anak-anak bengal itu sudah namai dia pada

kikan. Gadis Pantai pantai memperhatikan, tapi tak mengerti. eaeatnya.

Ia lihat Mak Pin menggeleng-geleng dan kembali tangannya bergerak memberi isyarat.

1 56 PRAMOEDYA ANANTA TOER

157 "Apa dia bilang?"

GADIS PANTAI

Gadis Pantai mengulurkan tangan ke belakang dan bapak "Ah, ada-ada saja, Mak Pin ini," kata orang yang 'iedang

menangkapnya.

mengaduk gulai di tungku sambil tertawa malu cekikikan. "Siapa dia?" Gadis Pantai menuding Mak Pin. "Keterlaluan memang Mak Pin ini," orang lain lagi berderai

"Mak Pin. Kita kenaI dia."

dengan suara keras. "Bukan ! Dia lelaki!" suara Gadis Pantai melengking sekuat­ "Memangnya ada apa?"

kuatnya.

"Itu lho, Bendoro, katanya, ah, itu . . .itu . . . kalau begitu, "Lelaki?" semua orang berseru, heran. itu .... jadi, ininya .... "

Mak Pin yang tiba-tiba saja dalam kepungan semua orang "Ah, apa sih ngomong seperti itu?"

mencoba bicara dengan matanya. Tapi semua mata tertuju "Mak Pin ini memang ada-ada saja bicaranya."

padanya justru minta jawaban darinya.

"Ya, tapi apa yang dibicarakan aku tak tnengerti." "Mak Pin, kau lelaki atau perempuan?" tiba-tiba bapak "Itu lho, Bendoro Putri, begitu, katanya, kata dia, sudah bisa

melompat maju mencekam Iengan Mak Pin. Mak Pin meng­ punya anak."

gigil.

Tiba-tiba Gadis Pantdi terlonjak dari bantalnya, melihat pada "Lima belas hari kau sudah di sini, ya?" Mak Pin, wajahnya bersungguh-sungguh, dan seperti orang

"Mana bisa dia jawab? Dia gagu."

baru engah ia bertanya, "Mak Pin benar gagu? Tadi bisa sebut­ "Tidak," Gadis Pantai mcraung. "Dia bisa bilang sahaya." kan sahaya."

"Ayoh, katakan sahaya," bapak meraung. "Cuma itu yang dia bisa katakan. Entah berapa tahun lama­

"Sa-ha-ya," Mak Pin berkata gugup

nya dia pelajari sahayanya. Mungkin dia bisa ucapkan sesudah "Dia tak gagu. Ayoh, katakan lelaki atau perempuan?" seratus kali dikepruk kepalanya."

Mak Pin mencoba menggerak-gerakkan tangannya. Tapi de- "Sahaya."

ngan tangannya yang bebas bapak menampar pipinya. Gadis Pantai mengawasi Mak Pin, yang dengan tangannya

"Kau mengerti omonganku? Kau tak gagu. Laki at au perem­ memberi isyarat agar ia rebah lagi. Tapi Gadis Pantai tetap

puan?" bapak menggertak. "Buka pakaiannya." mengawasinya. Tiba-tiba Gadis Pantai merasa takut. wajahnya

Pengepung-pengepung mengulurkan tangan mau menelan­ mendadak kecut. Gelak tawa di dapur terlienti. Senlua mata

jangi. Mak Pin meronta lepas, menerobos kepungan dan mela­ melihat Gadis Pantai, kemudian pada Mak Pin.

rikan diri. Beberapa orang lompat berlari.

Gadis Pantai turun dari bale, berdiri, mengawasi Mak Pin

"Tangkap," bapak berteriak.

sambil melangkah mundur-mundur. Suasana tiba-tiba berubah. Mak Pin telah berc,tda di luar rumah, hilang. Semua orang Ketegangan merayapi setiap pojok rumah.

lelaki lari meninggalkan rumah.

"Bapaaak!" Gadis Pantai memekik sekuat-kuatnya. "Bawa tali," seseorang berseru dari rumah. Yang tertinggal Pandang liar ketakutan berkilauan pada mata Gadis Pantai.

semua wanita, melihat ke arah lubang pintu. Beberapa orang lelaki lari masuk ke dalam. Bapak mengham­

"Tidak disangka," seorang nenek mendesis ptri anaknya, dan tanpa menengok ke helakang pada bapak,

"Siapa sangka?"

158 PRAMOEDYA ANANTA TOER

1 59 "Kemarin dia tidur di rumahku. Ah, tidak kemarin dulu "

GADIS PANT AI

"Inilah aku," sahut emak dari sampingnya. "Kemarin dulunya lagi?"

"Sudah lima belas hari dia di sini?"

"Di rumahku, tapi aku benar-benar tidak tahu." "Lima belas hari? Belum, belum sdmpai." "Semalam, semalam di mana dia tidur?" tak ada yang men-

"Dia ditemukan waktu orang-orang mau turun ke laut " Jawab.

"Ya, sedang menggigil kedinginan."

"Dia tak ikut pesta semalam?" Tak berjawab. "Dibawa ke rumah Lurah. Dimasakan kopi." "Kemarin siang, di mana dia kemarin siang."

"Ya, lantas tidur. Nggak mau ngomong." "Sahaya tak lihat, Bendoro Putri."

"Besoknya orang barn tahu dia gagu."

"Siapa yang lihat?" Tak berjawab. "Ah, ah, ingat aku waktu tidur di rumahku dia ngigau. N gi­ "Heran sekali, Bendoro Putri. Kita semua tidak tahu."

gau benar-benar, tidak gagu."

"Mau apa dia sebenarnya kalau dia benar lelaki?"

"Ngigau apa dia?"

"Yah, namanya saja lelaki." Diam sejurus. "Kurang terang Bendoro Putri. Terlalu pelan, tapi tidak gagu "Jadi dia tak gagu?"

memang."

"Pura-pura barangkali."

"Di mana barang bawaannya?"

"Mengapa pura-pura?" Tak berjawab.

"Tidak punya. Tidak bawa apa-apa."

Gadis Pantai melangkah ke pintu, melihat ke luar, tapi tiada "Makanlah," emak mencoba memutuskan perhatian dari sesuatu pun dilihatnya. Wanita-wanita lain segera mengikuti

Mak Pin. Tak seorang pun ingin makan.

dan merubungnya.

"Ada yang pernah kehilangan di sini1"

"Mata-mata baj ak laut," orang memutuskan. "Apa yang bisa hilang di sini? Paling-paling tulang ikan " "Ya ampun, ya ampun."

"Sudah lama, lama sekali, tak pemah ada bajak." Mendengar kata bajak laut, dengan sendirinya orang menu­

"Apa yang mau dibajak dari kita?"

tup pintu dan mengunci dengan palang. "Apa yang mau diba­ "Mereka takkan bajak kita. Orang kota lebih kaya, di sana j ak di sini? Di sini tak ada apa-apa."

menumpuk harta."

Tiba-tiba orang mengawasi Gadis Pantai, dan semua mata

"Ya, di sini ada apa?"

itu membelainya dari ujung rambut ke seluruh tubuh, antara "Pasti di kota sana semua orang punya emas berlian. sebentar berhenti, pada perhiasan-perhiasan di leher, di kuping

Bagaimana Bendoro Putri?"

jari, pinggang, dada. Tak lama kemudidn semua pada menun­ "Diamlah, diam. Buat apa ngomong yang bukan-bukan?" duke Seseorang menggandeng tangan Gadis Pantai, dan dira­

Sate ayam menumpu� dingin tak terbakar di atas tungku. sainya tangan itu menggentar.

Waktu matd.hari mulai condong ke barat, barulah para pria "Ambillah minum, buru ! Silakan duduk saja, Bendoro Pu­

kampung nelayan datang ke kampung. Beberapa orang lelaki tri. Lelaki-Ielaki kita akan bereskan, jangan kuatir orang itu

langsung menuju rumah bapak. Seorang di antaranya bapak mesti tertangkap."

sendiri. Dengan wajah muram ia mendekati Gadis Pantai. Wa­ "Mak, di mana mak."

nita-wanita lain datang merubung.

1 61 "Laki apa perempuan dia bapak?"

PRAMOEDYA ANANTA TOER

GADlS PANTAl

"Di mana dia semalam?" seorang lain menyerbu bertanya. "Memang bukan perempuan."

"Tak ada orang lihat dia ikut makan-makan. Barangkali me­ "Mana dia sekarang?"

mang mata-mata bajak, cuma tinggal di darat saja." "Dia takkan kemari lagi."

Mata bapak jadi beringas. Ditatapnya pembicara itu, kemu- "Di mana?"

dian menunduk lagi, kepalanya menggeleng. '40Dia tak mau mengaku, itu salahnya."

"Lantas siapa dia?"

"Ya, tapi di mana dia sekarang?"

"Siap namanya?"

"Dia bilang, dia dari Demak."

"Mardikun. "

"Demak?" Gadis Pantai terperanjat. Sekaligus ia teringat pada Mardi­ "Ya, Demak. Siapa percaya dari Demak? Bajak laut takkan

nah. Abang Mardinah? Mengapa namanya Mardikun? Menga­ pernah berasal dari pedalaman apalagi dari pegunungan. Dia

pa dua-duanya pakai Mardi? Ia mencoba bayangkan kembali, berkukuh tak ngaku mata-mata baj ak laut. Dia tak mau ngaku

tapi tak dapat. Dalam bayangannya selalu sajd. orang itu menun­ kapan bajak-bajak itu mau meoyerbu ke mari. Jadi dia diadili­

duk bila ditatapnya.

di tempat dari mana induk baj ak bakal datang." "Mardikun?" desisnya kemudian. "Apd. ada yang nlasih bisa "Disuruh berenang?"

ingat wajah Bendoro Mardinah?"

"Ya, ditelanjangi, digiring dengan enam biduk."

"Bendoro Mardinah?" orang berseru.

Gadis Pantai teringat pada cerita yang dikenal semua orang Bapak menatap emak, kemudian pada wanita-wanitd lain. di kampung: setiap bajak yang tertangkap digiring ke tengah

"Ya, memang ada. Ada persamaan sedikit." laut dengan biduk, sampai tak kuat lagi berenang dan tengge­

"Mukanya bulat, Mardikun itu?"

lam kalau tak terburu disambar hiu. , "Ya, ya hampir bulat, seperti Bendoro Mardinah." "Berapa ribu depa dia bisa berenang?"

"Juga Mardinah berasal dari Demak," Gadis Pantai mengi­ "Tidak sampai ribuan."

ngat -ingat. Barangkali memang abang Mardinah. Barangkali "Berapa ratus?"

bapaknya. Lantas mau apa dia datang ke mari?" 4O'Tak sampai ratusan."

"Kakek pengetua sudah tahu peristiwa ini?" "HaT'

"Masih tidur dia."

"Segera tenggelam setelah dilempar dari perahu."

"Benar, cuma dia yang mengerti."

"Tidak berenang? Kalau begitu bukan bajak." Dan waktu kakek datang, matanya segar, tiada tanda-tanda "Entahlah. Salah sendiri mengapa menyaru jadi perempuan."

mengantuk atau habis tidur. Seluruh mata ditujukan padanya. "Bapak salah, salah, bapak, mungkin dia tak bersalah." Ba-

Tongkat kayu bakaunya yang setengah membatu itu seperti pak menunduk menekuri lantai.

memerintah menuding pada emak, sedang suaranya yang ga­ "Mengapa dia pura-pura gagu?" emak membela bapak.

rang terdengar terengah-engah kecewa, "Berapa kali aku mesti "Mengapa dia pura-pura jadi perempuan?" seorang me­

bHang? Emas ! Emas itulah sumber bencana." nguatkan.

"Apa hubungannya semua ini dengan emas?" bapak mem­ bantah.

1 62 PRAMOEDYA ANANTA TOER

1 63 "Apa hubungannya? Kan aku sudah berulangkali bilang,

GADIS PANTAI

tongkatnya pada tanah dan, "Ingat-ingatlah, berapa kali aku emas itu bikin perahu-perahu pada kandas, tenggelam dalam

ajari kalian? Emas itu biang keladi di daratan - mutiara biang lumpur. Sudah berapa kali aku bilang emas, emas, emas !"

keladi di lautan. Tambah banyak barang emas masuk kemari, matanya meluneur dan membelai perhiasan - perhiasan pada

tambah banyak kemungkinan bajak datang ke mari." tubuh Gadis Pantai. "ltu semua membuat perempuan ini mem­

"Mardikun bukan bajak." •

bedakan diri dari yang lain-lain. Padahal apa beda kita di sini?

"Kalau begitu dia bajak darat."

Apa beda aku dari kau? Semua hidup berkat kemurahan laut."

"Tapi belum terbukti."

"Kau tak suka aku tinggal di sini, kek?" Gadis Pantai berta­ "Tunggu saja. Tak ada bajak laut maupun darat, bisa beker­ nya lemah.

ja seorang diri. Tunggu saja nanti bakal muncul kanea-kanea­ "Bukan aku yang bilang begitu, kau sendiri," kakek meraung

nya. Tunggu saja! Tunggu saja." Dan sekali lagi kakek mem­ gerang. Hati Gadis Pantai terguneang. Kini ia mulai mengerti,

bentak gemas, "Lihat saja nanti."

mengapa sikap semua orang jadi berubah terhadapnya. Ia sa­ "Bajak tak peduli siapa yang puny a, pinjam atau tidak, dia dari diri bukan lagi penduduk kilmpung nelayan, hanya karena

euma tahu emasnya, yang mengenakan boleh ditcbang lehern­ perhiasan.

ya kalau perlu." Gadis Pantai mengeriut.

"Lantas, apa hUbungannya emas dan anakku, dan Mardikun "Ya, jadi kau ngeri, kan? Tak ada gunanya seluruh kampung yang menyaru jadi Mak Pin?"

gendadapan euma karena mau lindungi emas-emas itu. Tahu­ "Jadi kau tak mengerti?" raung kakek dengan marahnya

tahu luput semua itu darimu. Bodoh semua ! Begitulah polisi­ pada bapak. "Baik, ayoh jawah, ke mana perginya luak kalau

polisi kota. Mereka digaji buatjaga emas priyayi, saudagar-sau­ bukan kepada mangsanya?"

dagar Tionghoa, Belanda dan haji-haji. Goblok! Bodoh ! Cuma "Siapa mangsanya? Aku? Siapa luaknya? Aku?" juga Gadis

kerb au tidak mengerti."

Pantai meraung. "Kau tak pemah pergi ke kota," seseorang menuduh. Rumah itu tambah lama tambah gelap, karena lubang pintu

"Berapa umurmu ploneo? Waktu makmu belum lagi bisa seluruhnya tertutup oleh penduduk kampung yang menonton.

buang ingusnya, aku sudah malang-melintang ke Kedah, Treng­ Anak -anak keeil tak seorang hadir, lari ketakutan pada bersem­

ganu, Mengkasar."

bunyi di rumah masing-masing di dekat emak mereka. "Jadi bukan nelayan?" seseorang bertanya. "Diam," pekik kakek.

"Bukan nelayan tadinya. Bajak aku !" kakek berkata bangga. "Kau kami panggil ke mad bukan buat berteriak-teriak se­

Tiba-tiba orang-orang mengambil sikap lain terhadap kakek. perti monyet gila, kek," bapak meraung marah. "Kami ingin da­

"Mengapa terkejut?" Kakek menetak dengan suaranya. pat penjelasan dari kau, apa artinya semua ini."

"Apa yang aneh? Kaiau orang sudah habis kesabaran kumpulkan "Mana aku tahu?"

ikan, kalau orang sudah habis kesabaran karena jerih payahnya "Kau tak tahu, tetapi mengapa marah-marah kayak kese­

'nggak laku di darat, apa diperbuat seorang nelayan kalau tak tanan?"

' mbaj ak? Kau mau nantang?" teriaknya sambi! menudingkan Dengan suara menyurut-nyurut reda kakek memukul-mukul

tongkat bakaunya yang setengah membatu. "Tahu dpa kau tentang jaman dulu? Jaman sekarang lain - jauh lcbih baik."

1 64 PRAMOEDYA ANANTA TOER

1 65 "Barangkali kakek pernah membajak kampung kita," sese­

GADIS PANTAI

Demikianlah tak pernah selama ini kampung nelayan jadi orang menguJar.

guncang. Setiap orang terlibat dalam kecurigaan dan dugasang­ "Kampung ini? Hei, plonco ! Kau tak tahu akulah yang sela­

ka. Lenyap kedamaian, lenyaplah kctentraman. Di malam hari matkan kampung ini dari bajak. Empat puluh tahun yang lalu.

tiada seorang pun bermaksud I11cnyiapkan perahu dan turun ke Waktu itu jadi ingus pun kau belum lagi, plonco, kau tak tahu

laut. Bulan waktu itu tak ada - cunla hintang-bintang gemerlap­ apa?'

an tanpa makna, angin pun tiada mcniup.

"Apa maunya si kakek ini sih?" Dan di malam gelap gulita sayup-sayup, antara gonggongan "Mau ku? Selamatkan kampung ini. Jangan terjadi apa-apa.

anj ing liar, terdengar nyanyian pcrlahan si Dul pendongeng Kalian yang sudah agak tua-tua tahu apa itu marsose. Kalian

dengan iringan sayup pada rebananya.

pernah lihat satu kampung disembelih marsose? Semua bayi­

tiada perahu turun ke laut

bayi yang baru lahir kemarin? Marsose bakal tahu ada orang

tiada ikan bermukim ke darat

digiring ke laut, dikira bajak nyatanya tak bisa berenang, Apa

nelayan sekampung pada kalut

kalian mau bilang kalau mars,!se datang? Uh, uh-uh," kakek terbungkuk-bungkuk dalam batuknya. semua terlibat urusan berat

" Mardikun sudah mati. Mau apa kita sekarang ini?" Rebana dan giring-giringnya berbunyi pel lahan sayup­ "Baik, uh-uh, balik uh-uh-uh. Balik kau kota !" Kakek

sayup.

menunjuk Gadis Pantai dengan tongkatnya. "Dia cuma mau bertemu orang tuanya. Sudah dua tahun

cring-cring duk-duk-duk - cring-cring duk-duk-duk tidak bertemu."

ombak segan membanting diri

"Buang itu perhiasan ke laut!"

menyulam pantai riak pun ragu

"Bukan aku punya,"Gadis Pantai meyakinkan kakek.

nelayan sekampung pada jeri

"Kau tak punya apa-apa memang. Semua kepunyaan Ben-

dikutuk dewa karamlah perahu

doro. Kembalikan saja semua pada Bendoro." "Jangan kasari dia," seseorang menyela. "Dia orang kita

cring-cring duk-duk duk - cring-cring duk-duk duk sendiri datang kemari buat tengok orang tua dan kampungnya.

cring-cring duk-duk duk - cring-cring duk-duk duk Dan kau sendiri girang dapat sarung bugis dari dia."

Keesokan harinya, kembali orang lelaki pada berkumpul­ Kakek terdiam.

kumpul meneruskan persoalan. Umumnya pada nlenyodl dalam "Mengapa kau terima sarung itu?"

nada peringatan.

"Bagaimana takkan kuterima," kakek mendayu-dayu. "Apa "Siapapun tak boleh bicara tentang Mardikun." kah layak aku kedinginan terus sampai matiku? Apa itu tcrlalu

"Marsose tak boleh tahu."

banyak?"

"Juga polisi kota tak boleh tahu."

"Setiap orang mau dapatkan sarung bigis, bukan kau saja,

"Bendoro juga tidak."

kek." "Apalagi Mardinah, sudah jelas ada apa-apanya. Mardinah

1 66 PRAMOEDYA ANANTA TOER

GADIS PANT AI

juga berasal dari Demale Mardikun berasal Demak. N amanya nah bekerja selain mendongeng. Orangnya malas, padahal pun sarna-sarna mulai pakai Mardi."

badannya sehat dan kekar. Di kampung nelayan tak ada kamus­ Suasana pembicaraan tak lagi sepanas kemarin. Juga kakek

nya orang malas. Kemalasan adalah barang paling aneh di kam­ tak dipanggil datang. Ia pergi berjalan-jalan dengan hati pena­

pungo Katanya, si Dul pendongeng paling takut turun ke laut, saran sepanjang pantai, di balik-balik semak bakau.

sampai-sampai bapaknya mem.biarkan ia pergi mengembara "Ya, ya panggil dia! Urun rembuk, semua kasih pendapat !"

meninggalkan kampung. Ia pulang bila matahari pun telah lenyap Si Dul dipanggil, muncul membawa rebananya. "Bagaima­

dari langit. Tahu-tahu orang mendapatkannya tidur di depan pin­ na pendapatmu?" seseorang bertanya.

tu. Bila bapaknya akan turun ke laut, selamanya hati-hati ia Si Dul pendongeng memukul rebananya dan mulai dengan

membuka pintu agar tidak mengagetkan anaknya dari tidumya. dongengnya:

Kini si Dul pendongeng berumur tiga puluh tahun sudah, namun tak ada wanita mau jadi istrinya. Sebenarnya si Dul

riuh rendah hati pada cemburu! pendongeng cukup ganteng, tetapi malasnya tidak ketolongan. "Rusy, lempar rebana itu kita tak mau dengar dongeng

Nenek pun, maulah aku, cring-cring-cring, sering ia pukul sekarang. Apa pendapat dan saranmu ten tang semua ini?"

rebananya di malam hari, perlahan-Iahan, lebih buat dongeng Seseorang merenggut rebana dari tangannya, dan dengan

dirinya sendiri. Tapi nenek-nenek pun tiada sudi jadi bini lela­ hati-hati diletakkan di atas ambin, tepat di tempat Gadis Pantai

ki malas.

semalam tidur. Si Dul pendongeng menganga mulutnya meli­ Dalam riuhnya orang mencari pikiran, tiba-tiba si Dul pen­ rik ke rebananya. Sungguh aneh sikapnya.

dongeng membunyikan rebananya:

"Bicaralah, apa pendapatmu?" Tetap diam, muiut masih cring-cring duk-duk-duk - balik-baliklah bendoro putri menganga, matanya terus melirik ke arah rebana.

"Mengapa dia?" "Husy," orang membungkamnya. Tapi si Dul pendongeng "Mengapa kau ini?" seorang bertanya langsung.

tak peduli:

"Ah, dia cuma bikin-bikin diri aneh." Kembali si Dul hanya

balik-baliklah bendoro putn

melirik ke arah rebana. Membisu seribu bahasa. Orang pada he­

ke kota tempat harta ditampung

ran melihat si Dul menjadi aneh kalau bercerai dari rebananya.

bawa-bawa emas berlian ke mari

Tetapi orang tak sempat memberikan perhatian lebih lama.

oh oh celakalah seluruh kampung

"Berikan kembali rebananya," seorang memerintah. Waktu si Dul pendongeng menerima kembali rebananya,

"Suruh diam pemalas gila itu !" seseorang berteriak gemas. sekaligus nampak wajahnya berseri-seri. Gadis Pantai adalah

"Bungkam mulutn Y a."

satu-satunya yang terus memperhatikan si Dul pendongeng. Ia "Tapi ia dipanggil buat ikut berunding." men genal si Dul pendongeng sejak kecil. Semua orang bilang

"Ya, tapi bukan untuk mendongeng."

dia edan Orang sering mengatainya si Dul gendeng, di samping "Mau apa lagi, bisanya cuma mendongeng." panggilannya sehari-hari si Dul pendongeng, karena ia tak per-

1 68 PRAMOEDYA ANANTA TOER

1 69 "Rebana? Gendang apa tak bisa?"

GAD IS PANTAI

"Kurang ajar! Aku tendang kau !" seseorang mengancam. "Ah, gendang cuma ditetak di rumah-rumah priyayi "

Cring-cring duk-duk-duk, si Dul pendongeng memukul "Apa dia pernah ke kota?"

rebana.

"Orang tak pernah pulang begitu, ke mana Iagi kalau bukan "Otakmu itu, otakmu, cuma penuh duri sembllang, pemalas ! ke kota?"

Pura-pura edan begitu."

"Hai, Dul gendeng, benar kau sering ke kota?"

"Sembilang pun bukan !"

"Orang tak pernah tanya dari mana dia dapat rebdna."

"Belanak!" seorang memperbaiki.

"s udah, sudah, kita bukan berunding urusan dia."

"Otak udang."

"} adi apa sebenarnya mau dirundingkan?" semua tercenung

"Udang? Teri busuk!"

diam Suasana tiba-tiba menjadi riang gembira. Orang tertawa riuh Tiba-tiba si Dul pendongeng memukul rebananya lagi dan

rendah. Pendongeng jadi sasaran.

menarik suara: "Otak begitu apa isinya? Tahu enggak? Ubur-ubur !" Ejekan kontan membal kembali pad a yang mengejek.

kembali kembalilah ke kota •

emas berlian bawalah serta

kalau marsose datang dar-der-dor

di sana kesenangan menanti

seisi kampung digedar-gedor

di sini bukan tempat benduro putrz

pembual-pembual pada meriut

berani sesumbar cuma ditengah laut

"Mengapa aku harus kembali ke kota? Aku lahir di sini, or dng tuaku di sini."

Tiba-tiba gebrakan keras membungkam setiap orang, terke­ cuali si Dul pendongeng, mengarahkan pandangan pada pintu kampung nelayan gelap gulita

Di sana kakek muncul dengan megahnya, "Begitu ya, tingkah pakai obor minyak kelapa

orang yang sudah kenaI kota?" tongkatnya sehabis memukul kalau hidup cuma pikirkan harta

daun-pintu menuding si Dul pendongeng. "Nggak bisa hargai sudah pasti datang malapetaka

kerja nelayan di laut! Pendongeng edan ! Pemalas ! Bukan reba­ "Hei, Dul gendeng, tak usahiah kasih-kasih nasehat. Urus

na yang kasih kita makan, tahu ! Ikan, ikan di Iaut yang bikin saja dirimu sendiri. Cari kerjd sana !"

seluruh kampung tetap bisa bernafas. Tapi kau mengejek sep­ "Mana bisa dia? Nangkap selar saja tak mampu." Rebana

erti orang kota! "

segera gemerincing - kata berjawab gayung bersaInbut:

"Dia tak pernah ke kota." "Siapa bilang? Lihat saja rebananya. Dulu dia pakai kaleng

nangkap selar menyombong-nyombong rombeng. Hei, mana kalengmu sekarang?" kakck tertawa omongnya besar kepalanya kosong

menghinakan, kemudian menyambung, "itu tanda dia suka seumur-umur rnakannya cuma ikan

mengemis di kota. Kaleng rombeng tak bolch dckati Inasjid dan pantas otak buntu perut cacingan

surau, ngerti. Tapi reb ana di kota boleh masuk Illcsj iu - mdsuk

171 sampai ke dekat khotib di samping mimbar. Ngemisnya lebih

1 70 PRAMOEDYA ANANTA TOER

GADIS PANT AI

emaknya mencabut hidup-hidup kaki-kaki kepiting. Jadinya dia gampang pakai rebana ! Jejaka malas tak tahu diuntung !"

kayak orang tak berkaki tak bertangan, tak berdaya. Enggak bisa kerja apa-apa."

memang gede-gedenya beduk "Bagaimana dia kalau mati? Masuk neraka dtau surga?" obraL amanat muluk-muluk "Siapa tahu? Berdo'a dia tak pernah, bisanya cuma mendo­ di depan khalayak beralim-alim

ngeng."

di belakang-belakang paling lalim "Kita sebenarnya sedang berunding apa sih?"

"Jadi pintar nyindir begitu dia." Sekali lagi orang tercenung membisu. "Enggak ada yang "Jual saja ceritamu ke kota sana Tanpa dongengmu ordng­

dirundingkan sebenarnya. Kemarin kita minta pendapat kakek, pun bisa bernafas di sini." Tapi berbisik-bisik orang saling ber­

tapi seperti orang kesetanan kakek ' nggebah sini, 'nggebah tanya, siapa gerangan beduk gede? "Hei, Dul gendeng, siapa

sana. Naik pitamlah semua orang jadinya." yang lalim pura-pura alim?"

"Lantas apa lagi mesti diributkan sekarang?" Cring-cring duk-duk duk, k�mudian tiba-tiba iranla rebana­

"Ah, dengar! Sst dengar .... indah sekali did nleny�lllyi." nya berubah, merangsang, melawan, nlembangkang, menl­

"Memang si gendeng itu berbakat, tapi sayang, malasnya protes, cring-cring dung-dung cring dung-dung cring.

minta ampun."

"Sst, dengar."

"Ceritanya dia sedang marah." Orang-orang terdiam dan sepdntun suara lembut, lundk, "Kau marah, ya?" menghiba-hiba sayup-sayup terdengar di luar rumdh, indah.

dung-cring dung -cring dung-cring ...

ombak mengombak riak meriak

"Ah, layani orang edan, ikut edan."

perahu nelayan menembus kelam

"Usir saja, dia!"

orang kampung tak kenai tamak

Seseorang mengusir si Dul pendongeng dengan satu ten­

peras keringat sepanjang malam

dangan mantap. Si Dul pendongeng tertelungkup, rebananya mengguling menggelinding menuju pintu. Seperti orang sete­ seia-sekata ikan cakalang

ngah lumpuh si pendongeng melirik dan merangkak laju menu­

satu hilir semua hilir

ju rebananya. hidupi keluarga banting tulang

kerja keras rezeki mengalir

"Kok gendengnya menjadi-jadi dia sekarang?" "Dasar pemalas ! Lebih suka dikatai gendeng, asal tak be-

angin keras menghempas burztan kerja."

udang-udang dijemur bertebaran "Bandeng kena tuba pun tidak begitu menjijikkan."

lelakl semalu perempuan seresan "Tahu kalian mengapa dia jadi begitu?"

"Sia p a tidak tahu? Waktu emaknya membuntingkan dia,

sepakat sekampung tahan cobaan

1 72 PRAMOEDYA ANANTA TOER

1 73 "Ha, sedang waras dia, ceritanya sudah nggak ngawur Dia

GAD IS PANTAI

lum lagi habis orang mengenangkan kembali segal a kejadian barangkali mau ikut bicara."

sesiang tadi, kampung nelayan tiba-tiba jadi hidup lagi. Mardi­ "Sekali ngawur, tetap ngawur!"

nah, Mardinah datang. Kali ini dengan beberapa orang pengi­ "Biar dia ikut bicara. Suruh masuk lagi dia."

ring - semua pria. Langsung ia masuk ke dalam rumah Gadis Seseorang menjenguk keluar dan menyilakan masuk, tapi

Pantai. Dan langsung menyampaikan, "Bendoro perintahkan yang dipanggil tak mau datang, cuma mengeraskan bunyi re­

Mas Nganten pulang malam ini juga."

bana dan mengeraskan suaranya sendiri .

"Mana tandanya?" Dari dalam kutangnya Mardinah mengeluarkan sepucuk

dasar peruntungan nelayan surat bersampul. Ragu-ragu sambil menatap Mardinah Gadis harta benda tak mampu cari Pantai menerimanya. Waktu itu emak, saudara-saudara dan jangankan peroleh emas-berlian bapak masih tinggal di rumah. Mereka semua berdiri tanpa gembira sudah dapat sesuap nasi menyilakan duduk tamu-tamu tak diundang itu.

biar bendoro putri ambil .sendiri "Mas N ganten tak bisa baca. Mari sahaya bacakan." putusan terbaik buat diri pribadi

"Siapa di kampung ini yang bisa baca, bapak?" dua tahun sudah bermukim di kota

"Siapa? Tak ada."

serasa tujuh turunan di kampung kita Sebelum Mardinah mendapatkan kembali surat itu, orang­ orang kampung nelayan ramai-ramai telah berkerumun di

Orang-orang pada mencuri pandang pada Gadis Pantai. "Ya,

depan pintu rumah.

aku akan putuskan sendiri !" "Barangkali, sahaya bisa," seseorang berkata. "Tapi sudah Cring-cring, duk-duk-duk cring-cring, duk-duk-duk, suara

lama sekali tidak membaca sahaya ini."

rebana makin lama makin terdengar sayup dan jauh, akhirnya "Biar sahaya bacakan," dan Mardinah mengambil kembdli padam sarna sekali.

surat itu, menyobek sampul dan membacakan, "Mas Ngdnten "B arangkali dia berangkat ke kota."

pulanglah." Mardinah terdiam. Ia tak teruskan bacaannya. "Ke kota? Tangkap dia, Ikat ! Kita semua celaka nanti."

"Cuma itu?"

"Dia mau ngadu pada masose? Barangkali ke polisi?"

"Cuma itu."

"Tangkap dia, ayoh lari, buru."

"Tulisan itu panjang."

"Bendoro, apakah mungkin Bendoro .... "

"Tapi bunyinya dikit."

"Diam! Aku anak kampung sini." "Mari sahaya bacakan," orang ydng mengusulkan diri tadi "Maaf, Bendoro Putri."

berkata lagi.

"Jangan apa-apakan si Dul itu."

"Tak perIu," gertak Mardinah.

"Tidak, pasti tidak Bendoro, dia dicancang cuma. Biar tak "Baiklah tak perIu. Kalau Bendoro Putri l11csti pulang lari melapor ke kota."

malam ini juga, kita antarkan beramai-rdmai." Hari itu perjalanan sangat cepat, malam pun cepat tiba. Be-

"Ha? Bendoro tak sediakan dokar buat orang 'ichilnyak itu. Cuma dua."

1 74 PRAMOEDYA ANANTA TOER

1 75 "Semua mesti jalan kaki kalau begitu."

GADIS PANT AI

pendayung, golok, kampak. Y dng tak dapat ma�uk tinggal di "Jalan kaki?"

luar mengepung.

"Ya, atau semua mesti naik dokar," "Anakku pergi kalau benar ada bukti. Berikan surat itu !" "Ya, jangan lupa kudanya." Orang terdiam.

"Ya, berikan"

"Mestikah aku berangkat, bapak?" Pria-pria pengiring itu pun mengundurkan diri ketakutan "Kalau tergantung pada emakmu ini, kau mesti pergi nak."

melihat orang ban yak masuk. Dan Mardinah terpdksa menye­ Empat pengiring itu tak juga buka mulut. Salah seorang di

rahkan surat itu pada bapak.

antaranya mendaham. Dan orang-orang pun segera memandang

"Siapa tadi bilang bisa baca?"

padanya. Baru waktu itulah orang melihat nyala aneh pada mata "Aku. Tapi dua puluh tahun aku tak pernah baca. Mari ku­ mereka. Dan orang-orang kampung pun semakin curiga.

baca." Orang itu pun mendekati pelita. Ia pandang-pdndang "Sini suratnya," Bapak meminta.

surat itu, mencoba membacanya.

"Apa gunanya? Bapak tak bisa baca."

"Ayoh. Apa katanya?"

"Surat ini buat anakku, bul\an buat Bendoro."

"Lama benar."

"Ya, berikan surat itu." "Aku bilang, dna puluh tahun aku tak men1baca." Melihat Mardinah dalam keadaan terancam, keempat orang

"Kami sudah dengar, tapi apa katanya?" pengiringnya pun maju melindunginya. "Surat ini tak kuserah­

"Tapi ini bukan tulisan Jawa."

kan," katanya sambil hendak menyelinapkannya kembali di

"Lantas tulisan apa?"

balik kutangnya.

"Tulisan iblis kali."

"Kalau begitu anakku tak perlu berangkat. Pulang saja ke Mardinah mendengus menghinakan. "Tadi sudah ku baca- kota kalian." Bapak berkata tegas memutuskan.

kan, tapi kalian tak percaya."

"Tidak bisa," Mardinah membantah. "Mas Nganten harus "Hi tung ada berapa baris surat itu," bapak meminta. pulang malam inj_."

"Satu, dua, tiga, .... dua puluh."

"Tidak ada bukti." "Yang dibaca cuma sebaris tadi. Mengapa baris-baris lain "Surat ini buktinya."

tidak?"

"Kalau Bendoro perintahkan pulang, itu berarti pulang," "Apa gunanya? Itu cuma alamat tempat tinggal Bendoro, salah seorang pengiring Mardinah menengahi.

dan alamat Mas Nganten di sini."

"Pergi kalian, aku bisa antarkan sendiri. Malam ini juga."

"Bagaimana bunyi alamatku di sini?"

"Tak ada temp at di dokar buat kau !" salah seorang pengi- Belum pernah sel�ma ini kedua wanita itu berpandangan ring mengancam.

sedemikian tajam. Para pengiring mengawasi bapak - juga "Tak ada tempat buat kalian di rumah ini. Pergi !"

dengan mata tajam. Mardinah tak minta surat itu kembali, juga "Jangan, jangan pergi," emak menengahi percekcokan

tak membacanya.

Tiba-tiba kentongan bambu dipukul bertalu-talu, dan semua "Aku perintahkan kau baca yang lengkap !" Gadis Pantai lelaki kampung nelayan menyerbu ke dalam membawa tongkat,

menuding Mardinah.

1 76 PRAMOEDYA ANANTA TOER

1 77 "Tidak perIu, ayoh pergi saja kalian dari sini !" Mardinah

GADIS PANTAI

"Ke mana kita mesti sembunyi."

mengusir orang-orang kampung yang berkerumun.

"Ikut sarna yang lain-lain."

"Ada apa ini? Ah-ah orang kota lagi !" Kakek masuk dengan

"Ikut ke mana?"

tergopoh-gopoh. Tongkatnya kayu bakau yang setengah mem­

"Pertahankan kampung."

batu menuding orang-orang kota. "Asal ada orang kota datang, "Tidak. Lebih baik buru-bu�u pulang ke kota " selalu mesti ribut."

"Jalan-j alan tidak mungkin aman sekarang." "Baik, kita balik saja," Mardindh mengisyaratkan para

"Biarlah aku bebenah," Gadis Pantai memutuskan. pengiringnya. "Kami akan datang lagi bawa polisi."

"Mereka akan segera datang," bapak memperingatkan. "Polisi ?"

"Tiup itu pelita."

"Ya, polisi, polisi. Biar kalian didrel habis."

"Jangan dulu."

"Ya, ya, benar polisi," salah seorang pengiring n1enguatkan. Tiba-tiba dari luar terdengdr. "Dud mata-mata baJak ter­ Waktu sedang tegang-tegangnya suasana, ndmpak sekali

tangkap."

bapak sedang keras berpikir. Ken1udian ia membisikkan se­

"Bawa sini !" bapak berteriak.

suatu pada seseorang. Lama betul bapak berbisik. Sesudah itu Dua orang laki-Iaki itu di dorong ke dalam. Mukanya babak orang itu pun lari keluar rumah, tak kembali lagi. Ah, sebodoh­

belur ken a pukulan. Terhuyung-huyung mereka didekatkan bodoh orang kampung, dalam kepepet dkal mereka selalu jalan.

pada pelita.

"Jangan, jangan datangkan polisi ke mario Silakan duduk "Masya' allah. Itu kusir kami," Mardinah memekik. kita berunding lebih baik lagi. Jangan marah," kata bapak me­

"Benar, kusir kami."

nyabarkan.

"Kusir?"

"Sekarang juga Mas Nganten mesti pulang," kembali Mar­ "Tidak ! Dua orang biangkeladi ini mata-mata bajak." dinah mendesak garang.

"Tidak!" Salah seorang kusir membela diri. "Kami berdua "Ya, sekarang juga anakku akan ken1bali ke kota. Tapi tung­

cuma kusir. Segerombolan bajak sudah serang dokar ddn kuda gu sebentar anakku belum siap." Suasana tegang menjadi surut

kamL Waktu dilihatnya dokar kosong merekd bunuh kuda sedikit. Dan para pengiring pun nampak mendapatkan kepri­

kami. Dan kami lari ke mari."

badiannya kembali.

"Jadi bagaimana kuda itu?"

Mendadak seluruh kentongan bambu di seluruh kampung "Mati. Dua-duanya kita temukan dekat semak-semak, berbunyi bartalu-talu. Orang-orang terdiam mendengarkan.

dikampak kepala dan kakinya," kata seorang kampung. Terdengar seseorang berseru. "Baj ak laut! Mereka sudah men­

"Kalian tak di buru?"

darat mau menyerang. Lari ! Orang-orang pun bersiaga, melom­ "Mereka mengejar, mereka terus memburu ke mari." pat ke luar rumah membawa senjata masing-masing.

"Tiup pelita itu !"

"Mereka datang." Gelap gempita. "Keluar semua!" Scmlla lari keluar. Di kc­ Mardinah mcnjadi pucat. Para pengiringnya menjadi

jauhan terdengar seorang bayi menangis.

bingung. "Mereka sudah dekat !" seseorang bcrhis i k . Dan lllalam pun semakin guli tao

1 78 PRAMOEDYA ANANTA TOER

1 79 "Ayoh kita semua lari ke tengah laut."

GADIS PANT AI

"Jadi bagaimana?"

"Ayoh, ayoh." "Ya, begitulah, semua menurut rencana." "Bendoro Putri siapa ganti kuda kami?" Kusir bertanya.

"Benar dua kuda itu dibunuh?"

"Diam!" "Tidak. Cuma dipindahkan ke tempat lain." "Uh."

"Tapi kusir-kusir itu .... "

"Sudah bagus kalian sendiri nggak digorok." "Cuma ruji gerobaknya kami gergaji tandas." Seluruh kampung lari meninggalkan rumah. Ke tepi laut dan

"Kusir-kusir itu .... katanya kuda-kuda dibunuh." mendekati muara kali kecil temp at pencalang-pencalang nela­

"Ah, memang kuda-kuda itu terpaksa dipukuli agak keras." yan ditambat.

"Di mana kuda-kuda itu sekarang?"

"Selamatkan Bendoro Putri. Bawa ke laut!" "Di bawa ke hutan, ditinggalkan di sana." "Ya, dua-dua Bendoro Putri."

"Anakku sudah mendarat?"

"Satu perahu saja. Pengiring-pengiring di dua perahu lain-

"Sudah, tapi ditahan dulu."

nya."

"Bagaimana pengiring-pengiring itu?" "Benar. Jangan sampai kita kena. Salah nanti."

"Mereka semua bersenj ata tajam, dalam kegelapan kami "Tapi, apa bajaknya tak ada yang jaga di tengah laut?"

pukuli mereka dengan dayung."

"Laut lebih lebar dari darat."

"Apa kata mereka?"

"Naik. Silakan. Cepat-cepat." Dalam kegelapan itu terde­ "Anak bapak akan dibunuh di tengah jalan." ngar bunyi kecibakan kaki-kaki yang turun ke air. "Jangan

"Apa alasannya?"

takut-takut orang kota. Di sini tak ada buaya." "Mereka tidak tahu. Mereka hanya tahu melaksanakan pe- "Benar. Di sini tak ada buaya. Buaya lebih suka di muara

rintah dari Demak."

kota."

"Sarna dengan Mardikun, jadi?"

"Kok kalian tak takut kelihatannya?" tanya salah seorang

"Sarna."

pengiring Mardinah.

"N ggak bisa berenang, tentu."

"Biasa. Kita semua sudah biasa. Enam bulan sekali bajak

"Tentu saja tidak."

turun ke marL"

"Kau lempar ke laut?"

"Dari mana?"

"Dua-duanya. "

"Dari mana? Barangkali dari kota."

"Yang di perahu lainnya?"

"Husy. Jangan ngobrol. Cepat! " Dalam kegelapan itu pun

"Mungkin sarna saja nasibnya."

tiga buah perahu meluncur ke laut lepas.

"Mardinah? Bagaimana Mardinah."

"Dia cari-cari abangnya."

Waktu matahari sudah menjalankan dinasnya, orang-orang pria

"Orang-orang itu yang bHang?"

telah kumpul kembali di rumah bapak.

"Ya." "Siapa orangnya di Demak yang kasih perintah nlereka."

1 80 PRAMOEDYA ANANTA TOER

181 "Mereka tak tahu."

GADIS PANTA!

ke mana pun si kecil pergi

"Jadi mereka cuma tahu Mdrdinah?"

ke sana pun penipu menanti

"B arangkali."

orang kampung sifatnya lugu

"Rupa-rupanya cuma Mardinah yang tahu segalanya."

sasaran empuk para penipu

"Kita paksa dia. Kita tahan dia di sini." tetapi tetapi - dung-dung-cring dung-dung-cring

"Bukan main perempuan itu, seperti lelaki." "Mengapa dia sampai begitu? Siapa yang atur semua itu?"

Suara rebana tiba-tiba berubah. "Tetapi mengapa! ?" seren- "N anti kita periksa."

tak orang memotong.

"Celakanya tak ada yang bisa baca."

tetapi tetapi - dung-dung-cring

"Sialan." siapa sangka siapa nyana - dung-dung-cnng

"Ah, barang kaIi si Dul pendongeng pernah belajar baca. Kita sudah lupakan dia."

"Mengapa, oi gendeng?" teriak seorang tak sabar. "Selama ini masih dicancang dia?"

"Masih di bedeng sero."

sejak petang layar terkembang

"Dia tak bertemu kusir-kusir itu?"

ikan terperangkap dalam langgai

"Tidak mungkin."

aih aih orang kampung sekarang

"Lepaskan dia. Coba ambil dia ke mari."

menipu pun sudah pandai ....

Dan waktu si Dul pendongeng muncul membawa rebana, "Setan! Siapa yang kita tipu?" seorang membentak dengan

semua mata tertuju padanya. Dipukulnya tepi rebananya lam­ marah. "Kau jangan mengada-ada, gendeng." Tapi si Dul pen­ bat-Iambat. Ia sedang memperhatikan apa yang bakal mungkin

dongeng meneruskan tanpa peduli:

terjadi. "Kau bisa baca?" bapak berteriak.

bajak mana mau singgah di kan'IPung

Si Dul pendongeng terkejut dan dengan sendirinya membuat

cuma udang kering berkarung-karung

pukulan kencang pada rebananya, sedang seperti tersentak dari

bajak mana mau datang menggempur

mulutnya meluncur kata-katanya:

cuma perawan dekil di dapur-dapur

"Tidak ! Tidak! Ai-ai Tidak!" - dung-dung-dung-cring !

harta tidak - benda tidak

"Jelas nggak bisa baca juga."

ubur-ubur pun segan mendekat

Cancang lagi dia. Pukulan rebana itu tiba-tiba keras memprotes. Dan orang­

orang pun memberikan kesempatan padanya berbicara. Puku­ Ian rebananya kini kembali jadi tenang, dan dengan suara man­

Kali ini si Dul pendongeng tak sempat 111cny 'I 'saikan nya­ tap dia bawakan pantunnya:

nyiannya. Dia didorong keluar rumah, "cnyah J.. .. 1 I I" SCllllla marah, tak tahu harus diapakan si pcnoongl'u ' y,mg

I C rLa :-.

1 83 mengoceh tak keruan. Sekarang tinggal rebananya masih ter­

1 82 PRAMOEDYA ANANTA TOER

GADIS PANTAI

"Husy, husy, jangan menyesali. Beginilah kita sekarang. dengar lambat-Iambat gelisah, sayup-sayup karen a orangnya

Kita mesti dapatkan akal, lain tidak. Bagaimana pengiring yang sudah menjauh.

dua lagi itu?"

"Tak pemah dia seaneh ini," seorang memecah kesenyapan. "Tin ! Coba cari keterangan kau." Seseorang segera pergi "Benar kata kakek. Kota merusak semua-mua. Betul-betul

meninggalkan rumah.

sudah gendeng dia." Mereka menunggu, menunggu, menunggu. Tapi yang di­ "Selusin iblis sudah bersarang di otaknya."

tunggu tiada muncul.

"Dua lusin." Di hari-hari akhir ini mereka hidup seakan begitu lamd. Tak "Ah, tidak," bapak menyela, "dia cuma kelihatannya saja

ada ikan tertangkap. Lebih duapuluh jam perut tak dilalui ma­ gendeng, tapi matanya jeli, otaknya jalan."

kanan. Orang-orang hampir tak sempat terlelap. Sedang saraf "Wah, bahaya kalau begitu. Lantas kita apakan dia?"

terus juga dalam keadaan tegang. Minyak tanah pun telah habis. "Mulutnya tak boleh mencelakakan kita semua. Cancang

Kini orang mempergunakan minyak kelapa, dan nyalanya yang lagi dia. Ambil rebananya! Simpan di rumah siapa saja, 'asal tak

tak berpribadi membuat suasana semakin teras muram. dirusakkan anak-anak," perintah bapak.

Tak lama setelah dapat kabar kedua penglring lainnya juga Seorang segera meniggalkan rumah, bertugas sekali lagi

tewas dan kedapatan bersenjata tajamjuga, muncul Gadis Pan­ mencancang kedua kaki si Dul gendeng, kalau perlu tangannya

tai dan Mardinah diiringkan beberapa orang. Kedua wanita sekalian.

nampak layu kehabisan darah.

Pukulan-pukulan rebana sekarang len yap sarna sekali. Tapi "Bendoro Putri takkan mungkin pUlang." Bapak memulai. suasana dalam rumah masih terasa mencekik. Udara kian lama

"Bajak telah hancurkan dokar. Kedua-dua dokar. Tak ada kian merangsang dengan panasnya, seakan angin enggan

dengar apa-apa waktu di laut."

menyentuh tubuh manusia. Mardinah cuma setengah mendengarkan. Menj awab, "Tiada selembar rumbia bergerak di atas rumah. Kesaksian

"Tidak."

hidup cuma panas udara dan sesaknya dada.

"Benar tidak?"

"Apa kita lakukan sekarang?" seseorang berkata.

"Tidak."

"Mengapa kepala kampung tak juga bicara?"

"Ingat-ingatlah lagi."

"Mesti bicara apa lagi dia T' "Beberapa mayat nelayan kami ditemukan di pantai pagi inL "Setidak-tidaknya keselamatan dirinya juga terancam "

Juga keempat pengiring Bendoro Putri."

"Bukan dia sendiri, kita semua." Wajah Mardinah �erubah. Matanya menyala serta tangan­ "Cuma kakek saja yang tenang-tenang."

nya dan bibirnya menggigil.

"Bagi dia cuma tinggal cari tempat buat mati." "Pada mereka terdapat luka-luka senjata tajam. Past i mere­ "Iblis tua itu, dia cuma pikirkan dirinya sendiri."

ka terkena kepung bajak di tengah laut "

"Itu tidak benar. Dia pikirkan keselamatan kita semua." "Benar Bendoro Putri tak dengar apa-ap,l waktu ti l 1.llIt?" "Mengapa sampai terjadi begini sekarang?"

"Aku ada dengar teriakan," Gadis Pantai herhlsl).. Jal llat-i,l-

1 85 mat sayup-sayup. Gelap gulita waktu itu. Perahu-perahu kami

1 84 PRAMOEDYA ANANTA TOER

GADIS PANTAl

Kami tak bisa panggilkan dokar lain kami cuma mau menolong berpisahan. Kami tak berlampu."

kalau kami pun ditolong. Kami orang-orang miskin saja, se­ "Beruntunglah Bendoro tak ikut terpelosok dalam kepungan

tahun sekali saja makan nasi. Biasanya kami makan jagung. baj ak. Mereka tak kenai kasihan. Tak kenai ampuri. Seperti

Kami tak mampu sediakan apa-apa pada Bendoro Putri. Cuma orang-orang yang dendam pada kelahirannya sendiri. Syukur

sekali ini saja kami sediakan makan. Mulai besok Bendoro Putri Bendoro Putri, syukur Bendoro masih selamat. Bukankah be­

silakan cari makan sendiri, mu�gkin ikut mcnangkap ikan di gitu kanca-kanca?"

laut, mungkin menjahit jala. Sahaya tak tahu apa Bendoro Pu­ "Ya, memang begitu. Syukurlah Bendoro Putri selamat. Kita

tri bisa kerjakan."

semua sudah begitu kuatir." "Aku? Aku mesti kerja? Kau tidak tahu siapa aku?" "Tapi sekarang Bendoro Putri tak mungkin bisa balik ke

"Tahu benar Bendoro Putri, karena itu sahaya bcritakdn se­ kota." Kemudian emak pun masuk ke dalanl rumah, juga

belumnya. Kami tak mampu sediakan makan lagi mulai besok, abang-abang dan saudara-saudara Gadis Pantai.

juga tak mampu sediakan ambin lagi. Juga tak mampu sedia­ "Bagaimana makan, emak? Tak ada?"

kan atap naungan lagi. Bendoro Putri bisa tidur di bawah-bawah "Ah, datang pun baru, kami ini."

pohon kalau suka."

"Masaklah. "

"Mengapa dulu bisa sekarang tidak?"

"Beras dari kota masih ada kan, mak?" "Karena masih tamu kami, mulai besok tidak lagi." "Beras masih ada, bajaknya yang sudah tak dda. Mdri masak

"Ah-ah aku tak biasa. Aku tak bisa kerja." perempuan-perempuan? ! "

"Ya, Bendoro Putri lebih baik pulang saja kalau begitu." Dengan tubuh layu, wanita-wanita pun lnulai menlasak.

"Kan tidak ada dokar ... "

Mardinah rubuhkan diri di atas balt�, dan sebentar kemudian tak

"J alan kaki."

bergerak -gerak lagi terkecuali alat -alat pernafasannya. Gadis

"Takut."

Pantai menyusul merebahkan diri di ambin. Pun sebentar ke­ "Kalau begitu harus tinggal di kampung sini." mudian terlelap. Orang-orang laki walaupun capek masih keli­

"Suruh orang antarkan aku, aku akan bayar dia." hatan berembuk. Bersama mereka mencari akal ten tang apa

"Tidak ada yang bisa. Bendoro terpaksa pulang sendiri." yang harus dilakukan selanjutnya.

"Ah-ah, aku takut dan aku tak bisa kerja, aku bayar semua, Seorang demi seorang meninggalkan rumah setelah IdIDa bi­

makanku, temp at tidurku, mandi, minum." cara berbisik-bisik. Akhirnya bapak pun pergi ....

"Berapa uang Bendoro Putri?"

Ketika makan tersedia dan dua wanita yang tertidur diba­ "Tidak banyak, barangkali mencukupi bUdt hcberapd hari ngunkan, makan sore menyusul, lambat tanpa senlangat. Dan

sampai ada dokar." .

waktu Mardinah hendak merebahkan diri kembali ke dmbin . ' "Dokar takkan datang ke nlari. Dia datang kalau kami seperti telah diperhitungkan sebelumnya bapak pun masuk ke

panggil."

dalam dan langsung membuka percakapan:

"Panggillah. "

"Bendoro Putri, Bendoro terpdksa tinggal di kampung sini.

"Tak mungkin. Berhari-hari sudah ka m i l,l� 111cnangkap ikan. Kami terlalu lelah. Terlalu banYdk rihu( dk l l l r-akhir ini "

1 86 PRAMOEDYA ANANTA TOER

1 87 "Ah-ah, biarlah kupikirkan besok."

GADIS PANT AI

"Aku bisa bayar berapa saja diminta." "Maaf Bendoro Putri, pagi besok Bendoro sudah harus cari

"Kalau begitu bayar saja dengan sawah, rumah dan dokar­ tempat lain dan cari makan sendiri. Bendoro sebaiknya tentu­

dokar itu. Buat biaya Bendoro Putri di sini. Setuju? Kepala kan sekarang. '

kampung besok bisa pergi ke kota. Berikan uang yang lima "Janganlah begitu keras padaku," Mardinah memohon

rupiah itu kepadanya. Dia akan. melihat sawah dan rumah dan "Seribu maaf, sahaya tak bisa lain."

juga delman-delman itu. Mengurusnya Pdda bendoro-bendoro "Aku akan bayar semua."

priyayi sampai semua diserahkan pada kami, sesudah itu Ben­ "Mau bayar?"

doro Putri kami antarkan pulang ke kota setuju?" "Ya! Minta berapa bayarannya?"

"Tidak mungkin. Mana bisa sawah-�awah diserahkan." Bapak agak mengangkat muka, berdiri, berjalan menjauh

"Beribu maaf, Bendoro Putri, itu kalau Bendoro Putri suka. menghampiri pintu, mendaham, kemudidn dengan ragu-ragu

Kalau tak suka, lebih baik sekarang saja Bendoro Putri cari mendekati Mardinah yang kehilangan kantuknya. "Ongkosnya

tempat menginap lain. Tak usah tunggu besok." tinggi sekali."

Mardinah menekur.

"Seringgit?"

"Dengar! "

Bapak tertawa. Mardinah mengangkat kepala kembali dan mendengarkan. "Kurang banyak? Tiga rupiah."

Sayup-sayup terdengar salak anjing.

Bapak tertawa. "Silakan pergi Bendoro Putri ! Ayoh silakan, silakan pergi ! "Lima? Enam? Sepuluh?"

Di semak-semak bakau sana ada tempat." Sementara itu di luar "Dari mana Bendoro punya uang sebanyak itu?"

sana suara-suara anjing masih terus melolong panjang. Gadis Pantai bangun dari ambin dan menyumbangkan suara,

Mardinah mencekam kedua belah tangan pada dadanya. "Di kota dia kerja melayani aku, bapak."

Waj ahnya pucat dan bibirnya j adi biru . Dalam kegelapan "Cuma pelayan? Tapi dari mana uang sebanyak itu Bendoro

malam berlampu pelita nampak seakan rambut kepalanya mem­ Putri?"

bumbung lebih tinggi.

"Mardinah menarik-narik tepi kainnya sambi! menunduk "Silakan Bendoro Putri, kalau tak suka pergi, terpaksa sa­ sedikit, kemudian dengan mata menyala menatap Gadis Pan­

haya seret keluar."

tai. "Tahu Mas Nganten tentang orangtuaku?"

"Ampun, bapak. Ampun."

"Bapakmu jurutulis." "Tidak ada ampun. Berapa uang Bendoro Putri bawa "Apa jurutulis tak mungkin kaya?"

sekarang? J awab lekas."

"Apa yang dimiliki orang tua Bendoro Putri?" Mardinah meriut ketakutan. Orang-orang yang kini masuk "Sawah puluhan bahu."

ke dalam membawa berbagai macam alat, membikin suasana "Apa lagi?"

semakin menyeramkan.

"Rumah, puluhan dokar-dokar sewaan " "Orang-orang ini datang buat carikan tempat buat Bendoro "Tapi Bendoro Putri tak bisa keluar dari kampung sini "

Putri di semak-semak bakau."

1 88 PRAMOEDYA ANANTA TOER

1 89 "Ampun, jangan aku harus tidur di sana."

GADIS PANTAI

"Tidak! Tidak ! Tidak! "

"Berapa uangnya? Sekarang ada?" "Kanea-kanea! Bawa pengiringnya yang masih hidup. Itu "Lima puluh rupiah."

yang bahunya belah ken a tombak bajak. Suruh dia ngaku di "Dari mana uang sebanyak itu? Serahkan !"

sini. Biar tatap muka. Sedia Bendoro Putri?" "Orang tuaku kaya."

Mardinah terdiam.

"Bohong !" beberapa orang sekaligus bersuara. "Pengiring itu bHang, kalau Bendoro Putri tak mau ngaku, Orang-orang yang baru masuk kini nampak menganeam

parang yang dibawanya dari Demak bakal ditebangkan pada sambi! menghampiri. Mardinah menutup matanya dengan ke­

leher Bendoro Putri sendiri."

dua belah tangan dan menangis. "Hei, para kane a, ikat kaki tangannya. Kita sendiri saja yang "Tidak ada gunanya, nanti di semak-semak bakau Bendoro

tebang lehernya. Nggak ada yang tahu dia ada di sini. Bendoro Putri bisa menangis sepuas-puasnya."

di kota pun tak tahu."

"Ampun ! " jeritan ngilu. Mardinah membalikan badan merangkul dataran ambin de­ "Dari mana uang ituT'

ngan kedua belah tangannya, melekat erat pada galar-galar "Ampuuuun !"

ambin.

"Angkat saja, bawa saja Bendoro ke semak bakau tepi laut."

"Tidak ada gunanya Bendoro Putri !"

Orang-orang semakin mendekat.

"Ah, bukan Bendoro dia!"

"Ampun. Uang itu, uang itu dari ..... " "Tidak ada gunanya, Bendoro Putri. Gampang saja tangan "Mengapa tak lekas-lekas diseret? Dibuang !"

itu ditebang, lepas sendiri Bendoro dari ambin." "Hayoh, kane a -kane a."

Mardinah menjerit minta-minta tolong. "Ampuuuun !" Mardinah berpegangan erat-erat pada galar

"Tak ada guna menjerit. Tak ada orang kota di sini, takkan ambin.

ada yang dengar. Takkan ada yang nolong." "Tak usah minta ampun ! Katakan saja dari mana uang seba-

Gadis Pantai terisak-isak. Mardinah melolong-Iolong. nyak itu?"

"N gaku eepat!"

"Aku akan katakan." "Bendoroku janjikan aku, aku ... jadi .... " "Katakan, eepat!"

Orang-orang terdiam mendengarkan. Mardinah masih me- "Dari Bendoro Demak."

lekatkan tubuh pada ambin.

"Bendoro apa? Patih? Mantri Kanjeng Bupati?" "Cepat ! Kalau tidak aku leeut dengan buntut pari." "Bendoro .... Bendoro .... Tidak, aku tidak akan katakan."

"Istri .... Istri, Istri, istri kelima, kalau .... "

"Bendoromu yang suruh kau ke mari?"

"Kalau apa?"

"Tidak." "Kalau, kalau, kalau aku dapat, dapat usahakan .... " "Siapa suruh kau?"

"Cepat !"

"Siapa? Siapa? Aku sendiri !" " .... putrinya, dapat .... dapat .... j adi istri Bendoro, Bendoro "Mengapa Gadis Pantai mau kau bunuh?"

suami Mas .... Mas Nganten."

1 90 PRAMOEDYA ANANTA TOER

191 "Tengik!"

GADIS PANTAI

"Baik, lebih dari baik."

"Berapa kau dapat duit dari Bendoro buat usir anakku?"

"Hebat!"

"Seratus rupiah."

"Asyik!"

"Mana sekarang?" "Jawablah, Bendoro. Bendoro Putri bukankah masih pe- "Tinggal tiga puluh lima."

rawan?"

"Berapa kau bagi pengiringmu?"

"Janda," Gadis Pantai membetulkan.

"Baru seringgit-seringgit" "Ya, ya, biar sekali ini si Dul punya kerja. Keljajadi lelaki." "Kalau berhasil pekerjaannya, ditambah berapa?"

"Benar, biar dia belajar jadi lelaki !" tertawa riuh. "Ampun ! Ampun !"

"Cepat !"

"Kita apakan perempuan eulas begini?" "Para kane a, Bendoro Putri diam saja, tak menolak - jadi "Aku ada usul, aku ada usul."

setuj u." Orang-orang mengawasi Mardinah, yang kini duduk "Bagaimana? Ayoh eepat apa usulnya?"

diam-diam di ujung ambin.

"Berikan dia pada si Dul gendeng biar kesampaian maksud- "Apa lagi yang ditunggu? Ayoh ! antarkan dia pada si Dul nya dapat lelaki."

pendongeng. "

"Bagus ! Bagus ! Setuju!" serentak orang menyambut.

"Ya, ya. Cari laki di sini tidak sulit."

"Betapa girang si Dul gendeng. Dia bakdl ileran." "Silakan berdiri, Bendoro Putri. Mereka akan antarkan Ben­ "Ah, ah, Bendoro - pergi jauh-j auh, tahu-tahu jadi bini

doro Putri." Ragu-ragu Mardinah berdiri

pendongeng gendeng." "Para kanea! Yang sopan ! Antarkan Bendoro ke bedeng sero "Cepat !" Orang pun pada tertawa sendng. Mardinah reda

-jangan tinggalkan sebelum kalian tahu pasti Bendoro selamdt sedikit. Ia terisak -isak.

sampai di tempat."

"Ai-ai, tak dapat Bendoro, pendongeng edan pun jadilah. Oi, Mardinah mulai berjalan meninggalkan ruangan, lambat­ sudah pernah lihat si Dul?"

lambat menuju ke pintu. Kepalanya menunduk dalam. Gadis "Hrnm, kalau malam bisa dengarkan dongengnya: duk-duk­

Pantai berlari-Iari menghadang jalan.

duk, cring !" Kembali orang gelak-gelak. Isak-isak Mardinah "Mardinah, bukan kehendakku semua ini." semakin surut mendengar gelak-gelak itu.

"Sahaya, Mas Nganten."

"Tak jadi dibawa ke semak bakau?" Tak bersambut. "Ini semua barangkali akibat niatmu sendiri." "Kasihlah dia pada si gendeng itu. Biar pesta dia Inalam ini."

Mardinah meneruskan langkah, dan Gadis Pantai me­ "Bagaimana Bendoro Putri,jawablah, tidur di semak-semak

nyingkir memberi jalp.n.

bakau atau ditemani si Dul pendongeng di bedeng sero. Jawab." "Kau tak keberatan mendampingi si Dul pendongeng?" Mardinah terdiam dari isak dan sedannya. Ia menekuri bumi

Ragu-ragu Mardinah mengangkat bahu dan terus melang­ sekarang.

kah, keluar dari pintu, hilang ke dalam kcgelapan malam, "Nggak susah, nggak susah. Ayoh jawab saja."

orang-orang pun mengiringkan di belakLlIlg. Sebagian di de­ "Para kanea! Itu usul baik, bukan?"

pannya.

1 92 PRAMOEDYA ANANTA TOER

1 93 "Timin ! " bapak berseru. Seorang pemuda berjalan sigap

GADIS PANTAI

Ia rebahkan diri di ambin. Matanya merenungi segala yang menghampiri bapak. "Sampai besok pagi kau bertugas menga­

telah terj adi Beberapa kali ia menarik nafas keluh, kemudian wasi si Dul pendongeng dan Mardinah. J angan sampai mereka

tertidur. Waktu, bapak dan emak datang ia telah tenggelam di lari ke kota. Lepaskan ikatan si Dul dan awasi mereka dari

dalam mimpi.

kejauhan saja. Jangan lupa kembalikan lebih dulu rebananya."

"Kasihan anak kita."

Pemuda itu pun segera ke luar rumah "Mestinya tak kau kawinkan dengan Bendoro." Dari luar terdengar riuh rendah pemuda-pemuda tertawa. "Si

"Diamlah, diam!"

Dul pendongeng masih perjaka!" seseorang memekik. Kedua-duanya pun merebahkan diri di ambin. Abang-abang "Baik-baiklah mengurus dia, Bendoro." Ordng pun bersorak.

Gadis Pantai telah keluar semua. Sedang adik -adik Gadis Pao­ Gadis Pantai terisak-isak. Bapak menatapnya sebentar ke-

tai menyusul orang tua mereka. Kampung itu pun terlelap mudian berjalan juga menuju ke pintu.

dalam embun pagi yang sejuk.

"Kau menangis," emak menghampiri. Jam sembilan pagi rumah bapak mulai ramai lagi, kedua "Kasihan dia."

orang kusir pun muncul, tapi kemudian dibawa ke rumah ke­ " Di sini tak seorang pun mau sarna si Dul gendeng. Kan baik

pala kampung untuk sarapan pagi dan didengar ceritanya. ada perempuan yang mengurusnya."

Pemuda Timin muncul untuk melapor ten tang tugasnya se­ "Tapi kita orang kampung, mak. Mardinah orang kota, ten­

malam, ia menarik bapak ke pojokan. "Luar biasa! Luar biasa!" tu lain kemauannya."

"Apa yang luar biasa?"

"Ah, hukuman itu tidak be rat. " Mata Timin menyala bangga, takjub heran. "Bagaimana tak "Tidak berat? Kawin dengan orang biasa pun sudah tak ter­

luar biasa! tanpa rebana si Dul gendeng bisa senyum, bisa tawa. tanggungkan, mak." Tiba-tiba Gadis Pantai teringat lagi pada

Dia waras, bisa ngobrol."

kejadian yang telah menggegerkan seluruh kampung, ia ber­

"Ngobrol? Ngobrol apa mereka?"

tanya, "Apa benar para pengiring mati diserbu bajak, mak?"

"Mana aku tahu?"

"Tanya saja pada bapak."

"Bagaimana Mardinah?"

"Benar ada pengiring belah punggungnya? Bahunya?" "Juga dia tertawa-tawa, mencubit dagu si pendongeng." "Tidurlah, nak."

"Dasar!" Cih, sebenggol ludah pun mendarat pada dinding "Dia tak berbicara sarna sekali ten tang Mardikun," berkata

bambu.

Gadis Pantai terheran-heran tentang Mardinah "Ada mereka sebut-sebut nama Mardikun?" "Mardikun?" Emak tersentak. "Si pendongeng tahu tentang

"Mana sempat? ¥ereka sibuk kok, ... berkasih-kasih." Mardikun. - Bapak! Bapak!" emak pun lari mendapatkan ba­

"Kau kembalikan rebananya?"

pak yang telah hilang di dalam kelam.

"Tak perlu lagi."

Keruyuk pagi ayam jago pantai mulai terdengar. Terdengar

"Kau lepaskan ikatannya?"

juga deru ombak menjilati pantai dan membanting diri. "Ya, sesudah lepas ikatan, ia bersila di tanah. Kami bertiga "Satu malam lagi mereka tak berangkat ke laut," Gadi� Pan­

kemudian mengobrol. Mardinah tak bicara apa-apa tentang tai berbisik sendiri. "Apa jadinya orang-orang ini semua?"

1 95 abangnya. Aku beranikan diri bertanya, 'kau senang ditemani

1 94 PRAMOEDYA ANANTA TOER

GADIS PANTAI

kota dan diupetikan pada seorang Bendoro. Tapi nampaknya putri cantik dari kota? Tidak semua orang kampung dapat ke­

Mardinah terima nasibnya dengan senang. Bagaimana bisa?

hormatan seperti k�u.'" Bagaimana bisa? Ia awasi orang-orang yang pada gelak terta­ "Iblis ! Kau sendiri kepingin?"

wa. Apakah orang-orang kampung ini tak tertawakan aku juga "Tidak! Mereka berdua memang sudah paling cocok. Wak­

waktu aku diseret ke kota? Tiba-tiba suatu sayatan menyerang tu aku tinggalkan bedeng sero dan keadaan sudah sepi sekali,

hatinya. Ia bangkit dari ambin, meninggalkan ruangan dan mereka malahan .... "

melalui pintu dapur memberanikan dirinya pada alam terbuka. "Malahan apa?"

Ia berjalan menuju pantaL Laut telah menjauh dari kampung, "Ya, begitu ... ," jawabnya sambil mengedip-ngedipkan ma­

sedang pasir pantai yang kuning keputihan itu mengisi hatinya tanya sebelah.

dengan kelapangan.

"Iblis kau ! Aku suruh mengawasi j angan sampai mereka lari Di de kat sebuah biduk bergaris biru jauh di sana, dua titik ke kota, bukan disuruh ngintip yang tidak-tidak !"

bergerak perlahan. Sekaligus ia tahu: Itulah Mardinah dan Si "Apa lagi kalau sudah begitu2"

Dul pendongeng. Ia berjalan cepat menghdmpiri mereka. Dan "Apa lagi? Mereka harus kawin baik-baik "

ia lihat titik satu lagi juga sedang bergerak menghampiri mere­ "Mau makan apa mereka nanti? Si Dul gendeng begitu takut

ka. Sekaligus ia tahu: Itulah pemuda Timin. pada ombak."

Tak pernah dua tahun ini ia berjalan cepat seperti sekarang "Barangkalai sekarang ia terpaksa harus berani. Di mana

ini. Kakinya yang tak bersandal merasa dibelai oleh pasir basah keduanya sekarang?"

yang hangat.

"Jalan-jalan di tepi laut." Bertambah cepat ia berjalan, bertambah membesar titik-ti­ "Oh, enaknya."

tik di hadapannya. Terus semakin besar sampai akhirnya nam­ "Memang. Itu bukan hukuman namanya."

pak resam tubuh mereka. Titik yang satu nampak bergerak se­ "Bukan. Perbaikan ! Barangkali baik buat dua-duanya."

makin cepat, akhimya menggabungkan diri dengan yang kedua. "Kapan mereka dikawinkan?"

Mereka kemudian nampak berjalan menuju ke arah kampung. "Tanya sendiri pada keduanya!"

Dan perjalanan mereka membuat tubuh mereka makin cepdt Pemuda Timin lari meninggalkan ruang run1ah bapak,

nampak menumbuh jadi jelas.

menyegarkan diri ke dalam cerah pagi. Hadirin lainnya ngobrol Akhirnya di bawah genggaman terik matahari pagi Gadis sambil tertawa-tawa. Antara sebentar terdengar nmna si Dul

Pantai menemui Mardinah berjalan bersama si Dul pendongeng pendongeng disebut -sebut.

sedang pemuda Tim!n mengiringkan di belakang. Ia n1elihdt "Tahu? Sekarang tidak ada bedanya Bendoro Putri dengan

pancaran bahagia pada mata si pendongeng, dan pancaran orang kampung seperti kita ini." Orang -orang pun gelak -gelak

menyerah pada mata Mardinah. Tiada terdapat pertarungdn tertawa

antara kedua pancaran mata itu.

Gadis Pantai mengawasi mereka dengan mata sayu. Men­ Nampaknya tak ada sesuatu pun patut di�csal i, ia berbisik dengar obrolan semua itu, justru yang sebaliknya terbayang

pada diri sendiri. Ia hampiri Mardinah, ia gLlI1lkllg tdngdnnya. dalam angannya: dirinya sendiri - orang kampung - diseret ke

Dan Mardinah tak menolak.

1 96 PRAMOEDYA ANANTA TOER

197 "Bagaimana kau Mardinah?" Tak berjawab.

GADIS PANTAI

"Kau takkan menyesal?"

"Mereka rupanya mau siapkan pesta," pemuda Timin me­

"Mau sesali apa lagi, Mas Nganten?"

nyambung dari belakang. "Nasib kita memang berlawanan, Mardinah." "Memang patut dirayakan," si Dul pendongeng mendengus

"Sahaya. "

ria tanpa rebananya. "Aku seperti kau, dipaksa. Aku dipaksa ke kota. KdU ke "Kau sendiri, bagaimana kau sendiri, Mardinah?" tetap tak

"Mas Nganten !" keluar lagi suara si Dul mendadak. "Tapi pendongeng pun sesama mahluk Tuhan, bukan? Dia "Ya?"

orang baik dan sekarang mau bekerja."

"Sahaya .... "

"Sahaya."

"Mengapa terdiam?" "Berbahagialah kau. Dia tak punya apa-apa terkecuali kasih "Ayoh," Timin memberanikannya dari belakang.

sayang .... "

"Bendoro Putri, sahaya akan ikut turun ke laut "

"Sahaya, Mas Nganten."

"Kau? Kau? Ke laut?" " .... yang ada dalam dada setiap nelayan." "Benar, Bendoro Putri !"

"Sahaya."

"Syukur! Mengapa baru sekarang? Sudah lupa pada reba­ "Bagaimana kau Timin, ada kasih sayang dalam hatimu?" namu sekarang?"

"Lebih daripada ikan yang bisa ditangkap, Bendoro Putri." "Tidak, Bendoro Putri, tapi sahaya akan turun ke laut. Ka­

"Kau dengar itu, Mardinah?"

pan saja. Besok boleh, lusa pun boleh."

"Sahaya."

"Ah, Dul, Dul, kau tak main-main?" "Aku senang kau sudah terima nasibmu." "Percumalah sahaya jadi lelaki, kalau tak herani turun ke

"Sahaya."

laut." "Kalau nanti lakimu turun kft laut, kau akan kerja seperti bini "Ya, ya Aku mengerti. Tapi mengapa baru sekarang?"

nelayan lainnya. Kau juga mesti menumbuk udang kering. "Ha, ha, ha."

Kalau subuh antarkan laki tinggalkan darat. Kalau angin ken­ "Si Dul pendongeng sudah menjadi anak nelayan sejati ,

cang, tinggalkan rumah meninjau laut. Dan kalau laki terlam­ Bendoro." Timin bersuara.

bat datang, kau tunggu dia di pantai, sampai dia datang dengan "Ya, anak nelayan sejati!" si Dul pendongeng membenarkan.

perahunya."

"Kau bahagia Du} !"

"Sahaya, Mas Nganten."

"Anak nelayan harus jadi nelayan." "Tidak seperti di gedung sana, Mardinah." Timin terbahak-bahak dari belakang mendengar jawaban

"Sahaya."

jantan si Dul gendeng. ·"Orang disekap dalam kamar, dalam rumdh. Berapa tahun "Kau sendiri bagaimana Mardinah? Kau sedia dikawinkan?"

aku di sana? Baru kali ini ldgi melihat laut, rasai hangatnya Mardinah angkat bahu. Nasib tak dapat diraih, mujur tak

matahari, bertemu orang tua di sini. Mardinah di sini setiap hari dapat ditolak.

kau bertemu dengan setiap orang."

1 98 PRAMOEDYA ANANTA TOER

1 99 Si Dul pendongeng terdiam mengangguk-angguk lemah.

GAD IS PANTAI

"Ya, ya, dia sendiri jadi dongeng sekarang !" Mereka berempat terus berjalan, diam-diam menuju ke kam­

"Horeee !"

pung Dan ternyata seluruh kampung sedang menunggu mere­ Waktu iring-iringan sampai di depan rumah kepala kam­

ka, berbaris besar-kecil, tua, muda, laki-perempuan, di p antai

pung, kulit rebananya itu telah pecah. Barisan berhenti. Si Dul di bawah deretan pohon-pohon kelapa yang hijau melambai ria.

pendongeng meletakkan rebananya yang rusak di tanah. Mem­ Waktu mereka telah dekat orang-orang pun bersorak riuh­

bungkuk mengambilnya kembali . Semua orang terdiam rendah, sedang Timin dan Gadis Pantai mengiringkan di bela­

sekarang, melihat si Dul pendongeng hcrjalan ke luar dari ba­ kang mereka.

risan, matanya liar mencari ke kiri, ke kanan. merabai tanah di "Horeee !" anak-anak bersorak.

depannya. Akhirnya dia menemui sebuah batu besar, dan seka­ "Pengantin datang ! Pengantin datang !"

Ii hantam kayu bingkai rebana hancur berantakan. Dengan gaya "Horeee !"

seorang pemain sandiwara ia lemparkan bingkai itu tanpa me­ "Kanca-kanca, ayoh kita iringkan ke rumah kepala

lihatnya, matanya tertuju pada semua orang. Tiba-tiba id angkat kampung."

kedua belah tangannya. Dan seluruh pengiring itu pun bersorak: "Ayoh !"

"Horeee !" Gegap gempita seluruh pantai. Tiba-tiba rebana si Dul menderu-deru dari tengah-tangah

Dengan langkah tegap ia gandeng Mardinah memasuki be­ barisan. Si Dul pendongeng berhenti berj alan nlenengok ke

randa kepala kampung.

belakang, melambai-Iambaikan tang an meminta rebananya. "Kami ini yang datang .... ," serunya menantang. Dan rebana itu pun dilemparkan ke atas, melayang ke udara.

Dari dalam rumah terdengar sapa, "Siapa itu bikin ribut di Seperti ditarik tenaga gaib, benda itu menghampiri pcmiliknya.

sini ?"

Dengan cekatan ia menangkapnya, memeluknya, kemudian

"Aku si Dul pendongeng," ia � enyebut dirinya sendiri.

menciumnya. Dengan kasih sayang ia geletarkan jari-jari halus­

"Angkuh benar kamu sekarang."

nya di atas kulit benda itu, dan dengan kuping sebelah diletak­ "Aku telah rampas wanita buat jadi istriku." kan pada kayu bingkainya. "Oooh !" terdengar sayu suaranya

"Dari mana kau rampas dia?"

seperti merintih penuh sesal.

"Dari kota!"

Tiba-tiba dengan sekuat tenaga ia pukulkan jari-jari halus­ Kembali orang pun bersorak gegap gempita. Dan seperti ada nya pada rebana itu. Satu rentakan suara riuh-rendah, merc­

komando kemudian terdengar suara membenarkan, "Dia ram­ nung, merangsang, mengatasi pekik sorak yang segcra berhen­

pas wanita dari kota! Kami saksinya."

ti karenanya. Si Dul pendongeng terus membunyikan rebana­

"Siapa nama wanita kota itu?"

nya. Kadang diangkat tinggi-tinggi di udara, dan cuma bunyi

"Mardinah. "

kerincingannya yang terdengar. Kadang ia lemparkan benda itu

"Mana bUktinya."

ke atas untuk kemudian ditangkapnya kembali.

"Keluarlah ! Ini bUktinya."

"Mana dongengnya!" orang nlemekik. Kepala kampung keluar sanlbil melnandang Mardinah dan "Dia sudah kehabisan dongeng."

mengangguk-angguk. Kemudi an nlcngangkat tangan, meng-

200 PRAMOEDYA ANANTA TOER isyaratkan agar semua berhenti gaduh. Tinggal angin yang ter­

dengar kini. "Dul ! Si pendongeng kampung kita?" "Ya, betul."

"Bagus, bagus. Bawalah wanita itu pulang jadi kawan hi- dupmu."

Bagian Keempat

"Tentu." "Bawalah pulang. Kau punya rumah?"

" Tidak." "Kalau begitu, untuk sementara bawalah ke rumah siapa saja

yang mau terima." "Kami mau terima," hampir setiap orang berteridk. "Pergilah pada mereka! K;:tlau sudah cukup ikan kau

tangkap, nanti kau bikin rumahmu sendiri." EHIDUPAN SEH � RI-HARI OJ R � MAH BESAR INI KlAN LAMA KlAN

Si Dul pendongeng menggandeng Mardinah. Dipunggungi­ teras a suny! oIehnya. Para kerabat Bendoro ydng ti­

nya kepala kampung dan dihadapinya para pengiring. Kepada dur di surau di sebelah kiri rumah dan yang ber­ orang banyak yang mengerumuninya ia berseru, "Inilah kami.

sekolah di siang hari, teras a oIehnya tidak punya persinggung­ Siapa mau pinjamkan bale dan atapnya?"

an dengannya sarna sekali. Mereka seakan mahluk-nlahluk dari . Orang melompat-Iompat girang menyambut permintaannya,

dunia lain, apalagi kalau mereka sudah b r cara dalam bahasa

para pengiring pun bersuka-ria. Sorak sorai berjdlan terus . . . . Belanda yang sepatah pun tak dikenalnya. Bendoro sendiri muncul dalam hidupnya hanya di waktu ia berada dalam se­ tengah tidur, setengah jaga. Bujang-bujang di dapur dirasainya seperti mahluk-mahluk aneh, hanya bicara kalau ditanya dan

bergerak seperti bayang-bayang di kala senja. Tamu id tak per­ nah menerima. Penj ual sayuran yang setiap pagi berdiri di emperan dapur, penjual daging yang duduk di anak tangga ru­ ang belakang - mereka seperti berasal dari alam lain. Sedang bila hari Jum' at tiba, dan para pengemis berbaris di depan ru mah, maka ia pun 'keluar memberikan sedekah mingguan.

Created by syauqy _arr@yahoo .. coJd

DlfaSalnya mereka seperti muncul begitu saja dari bawah tanah.

CKoleksi ··Pramudya Ananta loerll)

Cuma satu yang menemaninya dengan setia sejak pertama

Weblog" http://hanaokLwordpress .. com

kali tinggal di gedung besar ini: dcru dan derainya ombak laut

202 PRAMOEDYA ANANTA TOER

203 begitu nyata di malam hari, dan begitu lamat-lamat di siang

GADIS PANTAI

Bendoro tak pemah bertanya tentang Mardinah. Ia seperti hari. Bahkan bunyi angin yang setiap hari menggaruk genteng,

titik abu yang tertiup dari perapian, hilang terhisap oleh alam mengguncang dan membelai pepohonan terdengar begitu asing.

semesta. Pada mulanya kenyataan ini mengguncangkan Gadis Perabot rumah tangga yang indah-indah itu terkesan oleh­

Pantai. B ukankah Mardinah kerabat Bendoro? Mengapa tak nya laksana ikan-ikan yang sudah kemarin dulu tertangkap dan

ada perhatian pada nasibnya? Tentang Mardikun yang telah menggeletak kaku di penjemuran.

tewas dig iring ke laut, Bendoro tak pernah bicara sarna sekali. Kedatangannya kembali ke kota, ke dalam gedung, sarna

Pemah selama dua minggu beredar berita tentang serbuan ba­ sekali tak mendapat teguran dari Bendoro. Perhatian luar biasa

jak di kampung nelayan. Sumber berita adalah dua orang kusir pun tidak. Pertanyaan pertama waktu Bendoro mulai bicara:

yang pulang jalan kaki dari kampung nelaYdn tdpi pihak yang "Apa jawab bapakmu? Dibutuhkan surau itu?"

berwajib tak ambil peduli. Pemah j uga pada suatu mal am Ben­ "Tidak, Bendoro. Di sana sudah ada."

doro bertanya dari sampingnya, di tempat tidur: "Guru ngaji? Sudah ada?"

"Kau bilang bapak dan emakmu baik-baik saja di sana?" "Ada, Bendoro."

"Sahaya, Bendoro."

"Bagaimana menurut orang-orang? Cukup pandai dia

"Jadi tak ada apa-apa di sana?"

mengajar?"

"Tidak ada apa-apa Bendoro."

"Kata orang-orang memadailah." "Mereka bicara tentang baj ak yang menyerbu. Tidak ada?" "s udah ada yang bisa bahasa Arab'?"

"Tak ada, Bendoro."

"Beribu m'laf. Bendoro sahaya lupa tanyakan " "Syukurlah, mereka cuma omong kosong." Bendoro tak "Lain kali harus ditanyakan."

bertanya lebih lanjut.

"Sahaya, Bendoro." Pada suatu hari yang cerah datang seorang Tionghoa diteri­ "Suka bapakmu dengan sarung pemberianmu?"

rna menghadap Bendoro di pendopo Mereka berdua duduk di "Beribu terima kasih Bendoro. B ukan kepalang girangnya."

atas kursi goyang. Gadis Pantai sedang membersihkan perabot Setelah itu Bendoro tak ditemuinya lagi selama tidak kurang

di ruang tengah. Dan ia dengarkan percakapan dalam bahasa dari tiga harmaI.

Jawa tinggi yang kini sudah dikuasainya.

Sekarang setiap Bendoro pulang dari bepergian, hampir "Bendoro sahaya dengar ada bajak menyerbu kampung ne­ tidak pemah bawa oleh-oleh lagi. Ia pun tak mengharapkannya.

layan .... "

. Gedung ini lambat-laun membikin ia belajar tak mengharapkan

"Kampung nelayan mana?"

sesuatu apa. Dari mengontrol dapur ke pekerj aan batik, dari "Kampung ... beril?u ampun. Bendoro ... kanlpung nyony d berbelanj a di emper dapur sampai melayani Bendoro, dari

Bendoro."

malam-mal am J urn' at yang lowong sampai pada malam-malam "Nyonyaku?" Bendoro menjawab setengah berteriak. "Aku lainnya, semua itu terhampar di hadapan dan di belakangnya,

belum punya nyonya !"

laksana jalan-jalan sunyi-senyap. Hanya seorang saja yang "Beribu ampun, Bendoro. Beribu ampun. Sahaya diutus su­ menempuh jalan itu, dia sendiri.

rat kabar sahaya dari Semarang buat uatang ke mari, meng-

204 PRAMOEDYA ANANTA TOER

205 hadap Bendoro dan menanyakan soal ini. Kantor Pusat sahaya

GADIS PANTAI

"Seperti sehari-hari Bendoro. Orang-orang berangkat ke laut yang kasih keterangan."

di subuh hari at au tengah malam. Wanita-wanita yang tinggal "Pergi, sebelum aku marah."

menjemur ikan dan menumbuk udang kering." "Sahaya, Bendoro. Beribu-ribu ampun."

"Semua orang bicara tentang bajdk laut." Dan Gadis Pantai tak mendengar lagi orang Tionghoa itu. Ia

"Tak ada yang tinggal selarn�!t kalau bajak laut menyerbu, menduga Bendoro akan segera memeriksa dirinya kembdli ten­

Bendoro. Juga bayi-bayi dibinds .. lkan, dan wanita-wanita di­ tang peristiwa yang disangkalnya itu. Buru-buru ic.l tinggalkan

tawan. Sahaya tinggal selatnat hcrkat pangcstu Bendoro. Tak ruangan tengah, membawa serta sapu dan bulu ayam, langsung

ada bajak di kampung kami."

menuju ke kamar, duduk di kursi menunggu datangnya peme­ "B aiklah, dengar sekarang. Nanli m a l al l l akan datang se­ riksaan. Tidak, aku harus bilang tidak, terus, terus mnngkir. Va,

orang tamu. Bendoro dari Demdk."

Allah lindungilah seluruh kampung kami. J angan datangkan Jantung Gadis Pantai menggigil kcncang. K i n i aku harus marsose. Jangan datangkan polisi. Apakah mereka belum cu­

berhadapan sendiri dengan dia. Dia ! Dia yang tcrbit kan rang­ kup diganggu orang kota?

kaian bencana atas kampung kami. Dia ! Dia ! nlpi kan lpungku Yang terjadi kemudian tepat sebaliknya. Bendoro tak datang

harus tinggal selamat.

ke kamar untuk memeriksanya. Tapi sepantun suara yang di­ "Siapkan semua, jangan ada sesuatu yang koror. Ru"mg tc­ ngin, keras dan memerintah terdengar menggeletar berdem­

ngah mesti dicuci bersih dengan sabun. Kerahkan anak -dnak bam-dembam memenuhi seluruh ruangan gedung besar itu:

itu. Mereka tumbuh jadi begitu malas."

"Mas Nganten, sini !"

"Sahaya, Bendoro."

Jantung Gadis Pantai terguncang. Jdntung yang mcnjompak­ "Kamar ruang tengah sebelah belakang harus disusun rapi. jompak dirasainya memukuli dinding-dinding dadanya. Ia ter­

Lemari-Iemari harus dibenahi dengan kapur barus. Meja rias lompat bangkit, berjalan cepat menuju ke arah datangnya suara.

harns lengkap dengan bedak, minyak wangi, celak, sisir, mi­ Tidak, kampung kami harus selamat. Kampung kami harus

nyak rambut. Jangan ada terlupa satu pun." selamat. Harus selamat. Ia mempercepat jalannya, terlupa bah­

"Sahaya, Bendoro."

wa ia sedang ketakutan.

"Sahaya boleh berangkat, Bendoro?"

Bendoro duduk di kursi goyang di ruang tengah. Ia meng­

"Mulai ! Sekarang !"

hampiri dan berjongkok di hadapannya dengan kepala me­

"Sahaya, Bendoro."

nunduk. Bendoro terdiam, Gadis Pantai mengangkat sembah dan "Inilah sahaya, Bendoro."

meneruskan, "Ya sahaya pergi."

"Apa katamu perempuan? Benar tak terjadi apa-apa di kam­ Gadis Pantai bergerak mundur sambil berjongkok sampai pung nelayan?"

menempuh jarak beberapa meter, kemudian baru berdiri, ma­ "Benar, Bendoro. Tak terjadi sesuatu pun di sana. Sahaya

suk ke dalam salah sebuah kamar ruang tengah. tinggal selamat dalam hndungan Tuhan, Bendoro."

Setelah wanita tua pelayannya diusir Bendoro, ia mulai ker­ "Apa yang sudah terjadi di sana?"

jakan sendiri segala-galanya di dalam gedung ini. Kamar-kamar

206 PRAMOEDYA ANANTA TOER

207 ruang tengah ini tak lagi asing baginya. Di sebuah pojokan

GADIS PANTAI

ia sarna sekali tidak berkesempatan istirahat. Kepalanya terasa berdiri sebuah bupet segitiga. Sebuah buku tebaI berdiri di sana.

be rat dan besar, seakan teIah membesar dua-tiga kali lipat. Sering ia buka-buka buku itu untuk meIihat gambar-gambar­

Keringat dingin terus mengucur sepanjang hari dan antara se­ nya. Tapi ia tak mengerti siapa yang tergambar dalam buku itu.

bentar matanya berkunang-kunang.

Ia banyak meIihat gambar berbagai benda aneh yang tak dike­ Ia teruskan kerjanya waktu didengarnya daham Bendoro tahui namanya pun, juga gunanya. SeIaIu bila ia membawa sapu

dari ruang tengah. Tapi ia masih tak beranjak dari depan cer­ dan lap atau bulu ayam ke dalam kamar di ruang tengah ia buka

min. Dan waktu Bendoro masuk ke dalam ia masih menatap buku itu. BarangkaIi saja anakku nanti bisa membacanya. Bisa

wajahnya. Sedang tang an kirinya mengusap-usap rambutnya. menerangkan padaku gambar-gambar ini. Dan selaIu ia berha­

Ia kaget waktu bayangan Bendoro muncul di cermin di samping dapan dengan buku itu timbul dalam hatinya pertanyaan yang

bayangannya.

menyiksa: Apakah sampai mati aku cuma pegang lap, bulu

"Mengapa kau?"

ayam dan sapu? Canting, sayuran dan piring-piring bekas ma­

"Ampun, Bendoro."

kan Bendoro? Dan ia pun menyesal tak belajar baca tulis atau­ "Kau leIah? Mengapa tak kau suruh bujang-bujangmu?" pun mengaji.

"Biarlah sahaya kerjakan sendiri."

Dan seperti terjadi tiap hari, tangannya pun muIai bergerak Tanpa melihat ia dapat mengetahui Bendoro sedang berg anti melepas debu pada perabot, mengeIuarkan permadani dan

sarung, mengenakan topi hajinya seperti biasa, dan tanpa meli­ menjemurnya untuk kemudian memukulinya dengan pemukul

hat ia pun tahu Bendoro meninggalkan rumah, berjalan menu­ kasur.

runi jenjang depan, turun ke pasir peIataran depan, menempuh Sekarang suasana dirasainya lain. Seorang musuh akan da­

gang pasir dan masuk ke daIam mesjid.

tang dengan kebesarannya, memasuki perbentengan yang seIa­ Gadis Pantai menarik nafas panjang. Perabot-perabot di rna ini dianggapnya masih bisa lindungi hatinya. -Tapi dengan

hadapannya semua nampak besar-besar, nampaknya begitu ra­ keresahan tak menentu ia teruskan kerjanya menyeka seluruh

puh baginya. Bahkan rumah batu sebesar itu dirasainya tidak perabot terkecuali senjata-senjata pusaka - sederetan tombak

pernah sekukuh pondok orang tuanya di kampung neIayan. Ia yang berdiri di atas jagangnya, karena yang demikian diharam­

menuju ke jendela, dilemparkan pandangnya ke arah surau. kan oIeh Bendoro. Waktu ia sedang menyeka kaca cermin

Pemuda-pemuda kerabat Bendoro pada duduk-duduk di beran­ bundar teIur yang terpasang pada lemari pakaian Bendoro, ia

da surau membacai buku pelajaran mereka lihat wajahnya begitu pucat, letih dan kehijauan.

Seseorang melihatnya, tapi segera menundukkan muka dan Sakitkah aku? Mengapa pipiku begitu aneh? Mengapa nadi­

meneruskan bacaannya.

nadi pada pipinya bersaluran membayang di kulitnya yang Seakan-akan ia tak pernah ada di dunia. Seakan dia dan langsat? Ia tantang matanya sendiri. Mata itu kehiIangan sinar­

mereka pun tak pernah ada!

nya. Sakitkah aku? Tiba-tiba dirasainya sesuatu seperti selelnbar jarum Ia masih berdiri seorang diri di hadapan bayangannya sendi­

menusuk huIu hatinya. Ia tertegun. Apakah ini? Bcnar-benar rio Ya, aku IeIah. Limabelas hari seteIah meninggaIkan kampung

aku sakit? Dengan sendirinya tangan kirinYd Incraba tempat

209 yang terserang sakit. la berjalan menuju ranjang Benaoro, ber­

208 PRAMOEDYA ANANTA TOER

GADIS PANTAI

"Ya, pijiti," dan Gadis Pantai menengkurapkan dirinya de­ pegangan pada tepinya dan duduk di lantai. Ingin ia rebahkan

ngan kepala mencekung di luar kasur, mulutnya mengarah pada diri di atas kasur itu, tapi ia tak berani. Dan waktu serangan

paidon di lantai.

sakit itu berhenti, ia buru-buru berjalan ke luar kamar. Dipang­

"Mas Nganten, mengandung."

gilnya dua orang bujang wanita untuk meneruskan pekerjaan­

"B arangkali."

nya: menyabun lantai. la sendiri duduk di atas bangku kecil "Syukurlah, Mas Nganten. Semoga Tuhan mengaruniai Mas dengan mata berkunang-kunang sedang serangan j arum itu

Nganten seorang putra."

antara sebentar datang berulang. Dirasainya jarum itu berjalan­

"Ya, seorang putra."

jalan dengan lamban di dalam tubuhnya, dan selalu ulu-hati itu

"Diselimuti Mas Nganten?"

juga sasaran kesukaannya. Setiap serangan pada ulu-hati "Ya, selimuti aku, kakiku. Selimutnya lipat biar tebal." dibarengi dengan mengucumya keringat dingin yang merem­

"Sahaya, Mas Nganten. '

bes berbareng dari pori-pori kulinya.

"J angan tinggalkan dulu aku."

Tak kurang dari dua jam ia ij1engawasi bujang-bujang itu

"Sahaya jaga, Mas Nganten."

bekerja sampai kamar-kamar ruang tengah bersih dan kering Tiba-tiba Gadis Pantai merasa malu. Tak ada wani ta kam­ seluruhnya. Baru kemudian ia bangkit, meninggalkan kamar­

pung nelayan dimanjakan seperti ini bila mengandung. "Tidak, kamar itu serta menguncinya dan langsung menuju ke kamar­

tak usah, pergi kau membersihkan ruang belakang. N anti nya sendiri. Buru-buru direbahkannya dirinya di ranjang. Dira­

malam akan ada tamu."

sainya sekepal-sekepal udara yang padat membumbung ke atas "Sahaya, Mas Nganten. Siapa yang datang?" dari dasar perutnya - mendorong seluruh isi perutnya ke atas

"Husy, mulai kapan kau belajar lancang bertanya?" pula. Kadang-kadang udara itu keluar tanpa berhasil mendo­

"Beribu-ribu ampun, Mas Nganten."

rong isi perutnya, tapi tak jarang satu dua kepal dapat memom­ Dan malam itu waktu tamu yang diharapkan datang, ia pa benda-benda cair dari bawah sampat ke tenggorokan, ke

tergeletak tanpa daya di dalam kamar. Kepalanya dirasainya lidah dan dirasainya udara yang tak sedap dan taj am laksana air

sangat berat seakan tak mau diangkat lagi buat selama-Iamanya. asam bercampur pahit empedu. Aku mengandung, bisiknya.

Dan waktu Bendoro masuk ke dalam kamamya untuk mene­ la panggil seorang bujang masuk ke dalam kamar dan disu­

gurnya, ia hanya menutup wajahnya dengan bantal. Bendoro ruhnya mengambil paidon 1, kuningan besar yang tersimpan

mengangkat bantal itu dan meraba keningnya. dalam gudang.

"Kau mengandung," bisiknya kemudian dan segerd mening- "Jangan pergi dulu, pijiti aku. Bukan di bawah, tengkukku

galkan kamar.

saja." la memanggil-manggil pemuda kerabatnya. Dan sebentar "Seribu ampun, Mas Nganten."

kemudian menyusul suara perintah bertubi-tubi. Tigd jam ke­ mud ian waktu Bendoro menghadapi meja makan bersama

tamunya, baru diketahuinya tamu itu seor,mg wanita. "Adi Mas," ia dengar wanita itu bicard. �uaranya tinggi dan

1 . paidon (Jawa), tempolong.

211 mengandung perintah. "Aku senang, Adi Mds, melihat tak ada

210 PRAMOEDYA ANANTA TOER

GADIS PANTAI

tangan seorang wanita. Siapa dia? Siapa? Ia tersedan-sedan perempuan tinggal di rumah ini."

kembali. Ia rasai nasibnya sendiri pun berada di tangan wanita "Sahaya, Mas Ayu."

kuasa itu. Sia-sia kekukuhan dan kebesaran rumah batu ini Ada "Dan aku lupa melihat si Mardinah. Di mana dia?"

kekuasaan lebih perkasa daripada kekukuhan perbentengan "Kurang terang sahaya di mana dia."

batu ini. Ia teriak-teriak dalam hati. Akhirnya ia diantarkan oleh "Ha? B ukankah dia kukirim ke mari?"

sedan dari isaknya.

"Beribu ampun, Mas Ayu, sahaya tidak pernah mengurusi Subuh hari waktu ia terbangun, didengarnya suara Bendoro bujang-bujang."

yang sedang mengaji. Suamiku ! Ah, suamiku ! Tidak, dia bu­ "Adi Mas priyayi sejati. Pantas banyak orang mengha­

kan suamiku, dia Bendoroku, ydng dipertuanku, rajaku. Aku rapkan."

bukan istrinya. Aku cuma budak sahaya yang hina-dina. "Apa yang diharapkan orang dari sahaya, Mas Ayu?"

Dan sepagi itu kepalan-kepalan udara sudah mulai memom­ Tamu itu tertawa mengerti. Percakapan terhenti, sebentar.

pa di dalam perutnya. Ia merasa malu, sangat malu, Di kam­ Gadis Pantai berkunang-kunang pemandangannya. Kembali

pung nelayan sana tak ada wanita tergeletak seperti ini waktu kepalan-kepalan udara memompa isi perutnya ke atas. Ia mi­

mengandung. Dan ayam-ayam yang berkeruyuk seakan berso­ ringkan kepalanya, dan ia dorong kepala itu dengan lehernya

rak riuh-rendah menganjurkan kepalan-kepalan udara itu me­ keluar tepian kasur. Tak ada sesuatu yang berhasil didorong

mompa lebih cepat, lebih gesit dan lebih sering. Ia teringat pada oleh kepalan-kepalan udara itu terkecuali udara itu sendiri yang

jagonya. Dia juga berkeruyuk setiap bapak berangkat ke laut. mengeluarkan bunyi tahak serta beberapa sendok cairan kuning

Tapi suaranya jago-jago kota ini kini dirasanya begitu aneh yang rasanya asam dan pahit sekaligus dan segera jatuh ke

bunyinya, begitu menyindir.

dalam paidon. Waktu ia geletakkan kembali kepalanya di atas Waktu matahari terbit dan seorang bujang wanita masuk ke kasur, ia dengar lagi suara percakapan disambung. Tapi juga

dalam, ia mendapat kabar bahwa tamu wanita itu malam itu tdIl1U itu rupanya sempat mendengar suara sendawa dari dalam

juga terus pergi. Gadis Pantai mengucap syukur. Ia tahu, se­ kamar.

orang Bendoro takkan usir istrinya yang sedang mengandung.

"Siapa itu? Mardinah? Dan dengan demikian ia menggeletak tiga bulan di dalam "Bukan, Mas Ayu."

kamar yang selalu tertutup pintu dan jendelanya. Ia merasa "Aa, mengerti aku sekarang !" dan diteruskan dengan nada

seperti hidup di dalam gua. Dan ia pun merasa malu, sangat menggugat, "mengapa tak kau taruh dia di kamar dapur? Tidak

malu. Tak ada wanita kampung mengandung seperti dirinya. patut! Tidak patut! Lihatlah aku. Kau kira patut kau tempatkan

Mereka bangun setiap suami mereka turun ke laut. Mereka dia di bawah satu atap dengan aku?"

selalu hadir waktu p�rahu suami mereka berldbuh di muara. "Beribu ampun, Mas Ayu."

Dan mereka selalu turun ke dapur mema�ak buat anak -anak dan Gadis Pantai tersedan-sedan. Buat pertama kali dalam ham­

suami mereka. Tapi ia seorang diri menggeletak tanpa daya. pir tiga tahun ini ia mengetahui ada kekuasaan yang lebih ting­

Waktu tiga bulan telah lewat, baru ia bisa bangun dan­ gi daripada kekuasaan Bendoro. Dan kekuasaan itu berada di

melakukan kewajibannya sehari-hari, tapi sementara itu Ben-

2 13 doro sangatjarang di rumah. Orang bilang Bendoro selalu ting­

2 12 PRAMOEDYA ANANTA TOER

GADIS PANTAI

Dan pada suatu hari yang baik, tanpa saksi Bendoro, bayi itu gal di mesjid. Makanannya pun diantarkan dari rumah. Dalam

lahirlah dengan pertolongan seorang dukun bayi mashur. masa mengandung itu Gadis Pantai selalu diamuk rasa rindu.

Dengan kelelahan dan terengah-engah Gadis Pantai me­ lngin ia duduk atau tinggal lama-lama dengan suaminya, tapi

nolong mahluk barn itu lahir ke dunia. Satu, dua, tigd, empat, ia hanya seorang budak sahaya. Kadang-kadang ia menangis

lima menit tiada didengamya mahluk baru itu bersuara. Mati? seorang diri tanpa sesuatu sebab. Ah, seperti anak di bawah

uMana, mana suaranya?" ia berbisik dan tangannya meraba­ jantungnya ini bukan anaknya, tapi calon musuhnya.

raba tubuh si jabang bayi. ld rasai gumpalan daging yang ha­ la ingin berdoa pada Tuhan, mengadu tentang ketidak-adil­

ngat. uMana, suaranya?" ia berbisik dengc.ln mata masih dipe­ an yang dirasai, tapi ia tak mampu melakukannya. Ia tak tahu

j amkan karena terlalu lelah.

doa mana yang tepat buat itu. la tak pernah teruskan ngaji dan

Tak berJawab.

pelajarannya dengan naik. Dan ia menyesal. Ia serahlan segal a­ Suatu serangan ketakutan menyebabkan jantung Gadis Pan­ nya pada nasibnya.

tai berdebaran. Ia ingin bangkit dan meniupkan hidup ke dalam Tapi anak ini, anak ini, dia a�an bernasib lebih baik dari

dada bayinya.

ibunya. Dan takkan dilahirkan di sebuah kampung nelayan. Dia Bayi itu sarna sekali tak bersuara, tak bergerak. Ia ingin takkan diantarkan dari kampung pada seseorang Bendoro di

menjerit mengguneangkan pendengaran si bayi supaya bangun, kota. Dia akan dilahirkan di sebuah gedung besar y dng kukuh,

tapi tenaga itu tak ada padanya. Dan waktu ia buka matanya dan tak sepotong pun angin menerobosinya. Dia akan dilc.lhirkan

perhatikan si dukun, dilihatnya wanita itu sedang mengangkat­ dalam kerajaan Bendoro, bapaknya sendiri. Dia akan ikut

angkat kaki bayinya ke atas. Begitu putih kulit si bayi, begitu berkuasa bersama bapaknya, dia akan ikut memerintah. Dan dia

keeil. Itulah anakku, anakku ! Tapi mana suaranya, mana tangis­ akan turunkan bendoro-bendoro barn, tanpa perlu turun ke laut

nya?

menangkap ikan, menantang ombak ddn kegelapan malam, tak Mulut si dukun berkomat-kamit membaea mantra. Gadis perlu rasai jilatan air laut pada kakinya.

Pantai ingin menjerit. Matikah anakku diangkat-angkat begitu? Apabila perasaan kesunyian serta murung menyerangnya

Tapi tiada suara yang keluar dari mulutnya terkeeuali lenguh dengan mendadak tanpa sesuatu sebab, dengan sendirinya saja

kecil yang segera tenggelam dalam nafasnya sendiri. tangannya mengelus-elus mahluk barn yang aman terlindung di

uSabar, Mas Nganten, sabar," dukun bayi berbisik. bawah j antungnya. Selamatlah kau, anakku. Selamatlah kau,

uYa, Allah, selamatkan dia."

bawalah emakmu ini ikut selamat denganmu.

uDemi allah, dia akan selamat."

UMana suaranya?" uAir tuban terlalu oanyak Mas Nganten," sambil terus meng-'

Masa-masa yang gelisah mengguneangkan telah lewat. Di depannya membentang masa indah, masa keibuan. Seorang

angkat-angkat kedua belah kaki si bayi dengan tangannya. Tiba-tiba terdengar bayi itu merintih, kemudian muneul je­

mahluk kecil menghembus-hembuskan nafas di dalam pelukan­ nya, seorang mahluk keeil akan menghisap dadanya. Yang kecil

rit lemahnya.

ini kelak akan menjadi besar, tapi dia harus dilahirkan dulu.

uAnakku !"

214 PRAMOEDYA ANANTA TOER

215 "Dia sudah menangis Mas Nganten."

GADIS PANTAI

Sekarang kepada siapa anak ini kuserahkan kalau tidak pad a Gadis Pantai menarik nafas dalam, kemudian ia terlena,

bapaknya sendiri? Barangkali Bendoro tak pedulikan anaknya matanya tertutup dan tertidur kelelahan.

sendiri? Tidak, tidak mungkin, dia bapaknya, bdpaknya sendi­ Beberapa menit kemudian waktu ia terbangun, seorang

rio Tapi mengapa tak j uga datang, sekalipun cuma buat mene­ mahluk kecil tidur di sampingnya. Dengan sendirinya saja ta­

ngok?

ngannya meraba-rabanya. Kedua tangannya lengkap, bisiknya. Dukun bayi itu turun dari kursinya, menghampiri Gadis Kedua kakinya lengkap tanpa cacat. Hatinya lega. Kedua ku­

Pantai dan menyeka air mata dari wajahnya. pingnya pun lengkap. Matanya, bibirnya. Semua baik. Dan hi­

"Bendoro akan datang."

dungnya ini, begini sederhana seperti hidungku.

"Sekarang sudah begini siang."

Bayi itu tidur.

"Barangkali banyak pekerjaan."

Di hadapannya dukun bayi itu masih menunggu duduk ter­ Sore itu Bendoro datang membuka pintu kamar belakang menung di atas kursi rendah. Ia tersenyum padanya.

Gadis Pantai, berhenti di samping daun pintu. "Lelaki atau perempuan?" G�dis Pantai berbisik, dengan

"Bendoro, ampunilah sahaya, inilah dnak Bendoro .... ," tapi cemas-cemas berharap anaknya lelaki.

suara itu tak ke luar dari mulutnya. Ia terlalu takut. "Perempuan !" jawab dukun bayi.

"J adi sudah lahir dia. Aku dengar perempuan bayimu, "Bendoro sudah lihat?"

benar?"

"Belum."

"Sahaya, Bendoro."

"Sudah keras nangisnya?"

"J adi cuma perempuan?"

"Belum."

"Seribu ampun, Bendoro."

Gadis Pantai menarik nafas panjang. Sekarang ia tunggu Bendoro membalikkan badan, keluar dari kamar sambil kedatangan Bendoro, dan seperti halnya dengan wanita-wanita

menutup pintu kembali.

kampung nelayan, ia akan bilang: Inilah anakmu, sembilan Gadis Pantai memiringkan badan, dipeluknya bayinya dan bulan lamanya aku besarkan dia di bawah ulu-hatiku. Terimalah

diciumnya rambuL,ya ....

dia, ini anakmu sendiri, aku cuma sekedar mengandungnya. Empat puluh hari kemudian si bayi membuka mata. Dan Pagi sebelum matahari terbit bayi itu mandi. Kini sudah jam

Gadis Pantai mengagumi matanya sendiri di mat a bayinya: sembilan pagi. Dan Bendoro belum j uga datang menengok. Di

agak sipit seperti matanya. Bibirnya pun ada di wajah bayi itu, kampungnya sana, seorang bapak takkan turun ke laut tiga hari

hidungnya, resam tubuhnya yang kecil. Anak ini akan bertubuh sebelum anaknya lahir, dan tiga hari sesudahnya. Si bapak akan

kecil seperti aku, see�teng kapas.

tunggu anaknya, akan jaga keselamatannya dan ibunya. Ia ingat Kini tak lagi ia merindukan Bendoro. Mata yang meman­ tetangganya - baru sekali istrinya melahirkan. Ia berjaga siang

dang dengan sopannya itu - apakah Bendoro tak ingin melihat­ malam di luar rumah. Dan waktu bayinya lahir menangis ken­

nya? Ia ingin mempersembahkan anak ini pada bapaknya. Ia cang, ia tubruk pintu, lupa pada wajahnya yang bercorengan air

ingin anak dan bapak berpandang-pandangan mesra. Tapi Ben­ mata.

doro tak pemah menengoknya.

216 PRAMOEDYA ANANTA TOER

217 Demikianlah bulan demi bulan meluneur dengan eepatnya.

GADIS PANTAI

"Mengapa tak dibilangkan tak ada yang sempat ngaji di Ia tak lakukan lagi pekerjaan-pekerjaanya yang dahulu.

sana? Sampai boeah-boeah kecil pun turun ke laut." Tungku-batiknya sudah padam. Hanya kadang-kadang ia turun

"Aku takut."

ke dapur memeriksa makanan.

"Apa boleh buat."

Dan pada suatu hari tanpa diduga-dugdnya, bapak datang "Jadi emak belum tahu, dia sudah bereueu sekarang." seorang diri dari kampung nelayan.

"Belum, dia akan girang. Dia akan selamati eueunya." Segera sang bapak mengangkat, menggendong dan men-

"Bapak akan lama tinggal di kota?"

cium eueunya.

"Mungkin. Apalagi di dekat eueu."

"Jadi sudah lebih tiga bulan umur bayimu?"

"Bapak naik dokar?"

"Tiga setengah, bapak." "Kemarin dokar dari kota datang. Kusir yang menydffipai­ "Tak ada yang kasih kabar."

kan panggilan Bendoro. Dia nginap di sana, pagi-pagi kami "Aku kira bapak datang buat lihat eueu."

berangkat ke mari."

"Tentu, tentu, kalau aku tahu. S�karang aku datang buat me- "Bendoro sekarang jarang tinggal di rumah, bapak." lihatnya. "

"Apakah bapakmu sendiri sering tinggal di rumah?" "Mau beli benang jala?"

"Sudah makan, bapak?"

"Tidak." "Sudah. Sudah. Emakmu bawakan aku nasi timbal." "Damar?"

"Apa yang kau bawa, bapak?"

"Juga tidak." "Bandeng. Di dapur sana. Bandeng sedang baik-baiknya "Jarum?"

sekarang."

"Kau sudah kirimi kami sebanyak itu dulu. Tak perIu beli Seseorang memberitakan Bendoro memanggil bapak.. Bapak lagi."

menyerahkan si bayi pada Gadis Pantai dan menghadap. Tidak. "Emak, bagdimana emak?"

terdengar suara mereka di kamar belakang. Si bayi diletakkan "Baik. Baik semua baik."

kembali di ranjang oleh emaknya. Gadis Pantai kemudian "Mardinah?

duduk tepekur di kursi. Ia merasa bahagia dapat memberikan "Sedang mengandung."

seorang eueu pada bapak. Kebahagiaan itu pun akan meningkat "Syukur, Benar-benar si pendongeng turun ke laut?"

bila emak pun tahu akan kelahiran ini. Dan juga seluruh kam­ "Ya, benar. Dia ikut perahu kepala kampung sekarang. Se­

pungo Mereka akan bangga: seorang di antara mereka telah di­ mua orang suka padanya. Tapi sayang dia tak mau mendongeng

lahirkan dalam gedun� besar di kota, jadi keturunan Bendoro. lagi."

Tak lama bapak pergi menghadap. Sebentar kemudian ia "Ada urusan datang ke kota, bapak?"

masuk kembali ke dalam kamar. Wajahnya suram, langsung ia "Ada, tentu. Bendoro memanggil aku."

menuju ke ranjang si bayi dan meneiuminya. "Mungkin soal surau. Aku sudah bilangkan pada Bendoro,

"Ada apa, bapa k?"

di sana sudah didirikan surau, guru ngajinya eukupan dan anak­ Bapak meletakkan telapak tangannya ICJubut -lembut pada anak sudah mulai belajar ngaji dan bahasa Arab."

perut bayi.

218 FRAMOEDYA ANANTA TOER

219 "Mengapa bapak., mengapa diam?"

GADIS PANTAI

"Sahaya belum lagi mempersembahkan anak ini kepada "Maafkan aku. Kumpulkan semua pakaianmu "

Bendoro. Inilah putri tuanku Bendoro. Putri tuanku sendiri, "Ada apa, bapak?"

bukan anak orang lain."

"Jangan bertanya, nak, j angan bertanya. Kita akan pergi

"Tidurkan dia di tempatnya."

sekarang. " "Sahaya adalah emaknya, sahaya yang hina ini, tuanku. "Ke mana, bapak?"

Bagaimana sahaya harus urus dia di kampung nelayan sana? la "Pulang."

anak seorang bangsawan, tak mungkin diasuh secara kam­ "Pulang?"

pung."

"Ya, pulang. Kau tak suka lagi pada kampungmu sendiri "Aku tak suruh kau mengasuh anakku." sekarang?"

"Haruskah sahaya pergi tanpa anak sahaya sendiri, tuanku?" "Mengapa tidak?"

"Kau tak pernah sebanyak itu bicara."

"Mari pulang, nak. Ini bukan tempatmu lagi." "Apakah yang takkan diperbuat seorang ibu buat anaknya?" "Mengapa, bapak?"

"Kau tinggalkan rumah ini ! Bawa seluruh perhiasan dan "Mengapa? Kau telah dicerai."

pakaian. Semua yang telah kuberikan padmnu. BdpakmU sudah Gadis Pantai menggigil di samping bapak. Bapak pun segera

kuberikan uang kerugian, cukup buat membeli dUd perahu berdiri memapahnya. "Tawakal, nak, Tawakal."

sekaligus dengan segala perlengkapannya. Kau sendiri, ini ... ," "Bapak!"

Bendoro mengulurkan kantong berat berisikan mata uang ... . "Nak?"

pesangon. "Carilah suami yang baik, dan lupakan segala dari "Aku belum persembahkan anak ini kepadanya."

gedung ini. Lupakan aku, ngerti?"

"Persembahkanlah. Mari aku antarkan."

"Sahaya, Bendoro."

"Ini anak Bendoro sendiri, bukan anak orang lain." "Dan ingat. Pergunakan pesangon itu baik-baik. Dan ... tak "Aku antarkan. Mari."

boleh sekali-kali kau menginjakan kaki di kota ini. Terkutuklah Dengan bayi dalam gendongan, dengan bapak mengiringkan

kau bila melanggarnya. Kau dengar?"

dari belakang mereka menghadap Bendoro yang sedang duduk "Lantas ke mana dia boleh pergi Bendoro?" bapak mem- di kursi goyang di ruang tengah. Segera Gadis Pantai duduk

protes.

bersimpuh di atas lantai. "Ke mana saja asal tidak di bumi kota ini." "Seribu ampun Bendoro. Sahaya dengar tuanku telah cerai­

"Sahaya, Bendoro."

kan sahaya." Gadis Pantai terlupa pada ketakutannya demi "Apa lagi mesti kukatakan? Dokar itu sudah lama me-

bayinya.

nunggu."

"Apa kau tak suka?" "Anak ini, tuanku, bagaimana nasib dnak ini?" Gadis Pantai "Sahaya cuma seorang budak yang harus jalani perintah

memekik rintihan.

Bendoro." "Anak itu? Apa guna kau pikirkan? Banyak orang bisa urns "Apalagi ?"

dia. J angan pikirkan si bayi."

220 PRAMOEDYA ANANTA TOER

22 1 "Mestikah saya pergi tanpa dnak sendiri? Tak boleh balik ke

GADIS PANTAI

"Maafkan aku, nak," bapak berkata perlahan dari samping kota untuk melihatnya?"

ranjang, "tiada kuduga sebelumnya seperti begini bakal jadi­ "Lupakan bayimu. Anggap dirimu tak pernah punya dna1e"

nya."

Gadis Pantai tersedan-sedan "Ah, bapak, bapak orang baik. Bapak tidak salah, tidak ke­ "Sahaya harus berangkat, Bendoro, tanpa anak sahdya sen­

liru."

diri?"

"Kau menangis tapi."

"Aku bilang kau tak punya anak. Kau belum pernah punya "Apa yang dapat bapak perbuat? Bapak cuma menangis anak."

begini."

"Sahaya, Bendoro."

"Ah, siapa tak sayang pada anak?"

"Pergilah. "

"Ini anakku yang pertama, bapak."

"Tanpa anak ini perhiasan dan uang pesangon tanpa artinya, "Maafkan bapakmu yang bodoh ini, nak." Bendoro."

"Kita maafkan semua dan segalanya, bapak, terkecuali "Kau boleh berikan pada si b,!yi."

satu .... "

Baik bapak maupun Gadis Pantai te�diam kehabisan kata. "Kau bijaksana, nak. Memang tak patut seorang ibu dibatal­ Dan Bendoro menggoyang-goyangkan kursinya.

kan haknya sebagai ibu. Tidak patut. Tidak patut ! Tapi cucuku Gadis Pantai pun berjalan berlutut mundur-mundur kemu­

itu, nak, dia bisa jadi priyayi, tidak seperti kita." dian pergi diikuti oleh Bapak. Sesampainya di kamar ia segera

"Mengerikan, bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini. Ah, memeluk bayinya.

ah, mengapa bocah ini tak mau minum?"

"Maafkan aku, anakku, tiada kusangka akan begini akhir- "Tidak patut kita lebih lama tinggal di sini, nak. Kita tak nya."

puny a sesuatu pun hak lagi di sini."

"Kalau aku bersalah, apakah salahku, bapak?" "Bapak benar, bapak benar. Anak ini, anak ini anakku. Ku­ Bayi itu membuka matanya dan menangis.

lahirkan dia dengan kesakitan. Lihat hidungnya. B apak, itu "Kita pergi sekarang, nak."

hidungku. Dia anakku. Apa kurang darah yang telah kucucur­ "Ya, bapak, biarkan anakku minum dari dadaku buat peng­

kan? Duh-duuuh anak semanis ini - anak semanis ini ! Pak, habisan kali."

bapak, bapak kakeknya. Mengapa diam saja?" " Ya, biar dia minum. Barangkali buat penghabisan kali."

"Apa mesti aku katakan, nak. Apa kurang cukup renlasan di Gadis Pantai membuka kutangnya membenkan dadanya

da1am hati melihat anak, anaknya sendiri seperti kau nasibnya. pada bayinya.

Seperti dia nasibnya? ,Kurang cukup itu?" "Minum, nak, minum!" bisiknya. Dan waktu bayi itu me­

"Anakku, anakku, bayiku. Apa aku mesti bHang paddffiu?" nyentuh kemudian menghisap ujung dadanya, diusap-usapnya

Kedua-duanya terdiam. Tapi keriuhan mengalllUk di dalam rambut jarang si bayi dengan tangannya yang lain. Berbisik,

hati masing-masing.

"Apa yang takkan kuberikan kepadamu, nak? Apa yang takkan

"Seperti kuburan rumah ini."

kukurbankan? Sekarang, sekarang hakku sebagai ibumu pun

"B atu tanpa persaan."

kurelakan buat kau !"

222 PRAMOEDYA ANANTA TOER

223 "Untuk ini mungkin kita harns dirikan surau?"

GADIS PANTAI

"Tidak, bapak, kita tidak mengerti, tapi anak ini, anak ini .... " "Mari kita berangkat."

"Dia akan dididik untuk tak mengenal kemiskinan, nak. Dia "Anakku ini .... bagaimana anakku ini?"

akan dididik untuk rnemerintah Dia akan dididik untuk meme­ Seseorang mernanggil di depan pintu, kemudian:

rintah kau juga."

"Dokar sudah tersedia di depan, Mas Ngdnten." "Bayi ini anakku, bapak. Aky rela diperintahnya." Gadis Pantai tersedan-sedan.

"Ah, bukan perintah itu yang menakutkan, nak. Kau tahu "Pakaianmu, nak, biar aku bereskan."

sendiri selain itu. Sayang aku baru tahu sesudah kejadian." "Biar, bapak. Biarlah. Tambah banyak yang tertinggal di sini

"Ini bayiku, bapak. Aku yang lahirkan dia. Biarlah aku le­ barangkali saja bertambah sering dia terkenang pada emaknya

bih lama tinggal dengan dia. Biarlah dosaku pada Bendoro ku­ kelak."

perbanyak barang sedikit. Dia butuhkan dada emaknya. Ah, "Apa kau pakai di kampung nanti?"

besok dia takkan minum susu emaknya lagi. Bapak tak me­ "Biarlah aku jadi seperti yang lain-lain."

ngerti ini?"

"Ah, anakku." Bapak tak menj awab, hanya mondar-mandir gelisah. Sekali lagi suara di depan pintu terdengar rnemanggil-mang­

Akhirnya Gadis Pantai bangkit dari ranjang menghampiri gil, "Dokar sudah tersedia di depan, Mas N ganten."

bdpak.

Bapak menatap Mas Nganten yang rnasih juga tergolek di "Biar aku menghadap lagi, bapak. Bapak turunlah dulu dari ranjang memeluk bayinya.

rumah ini. Tunggu aku di depan rnesjid, di alun-alun sana, di "Jadi, bagaimana, nak, maksudmu?"

bawah pohon-pohon tanjung." Dilihatnya bapak jadi ragu-ragu, "Dia ini bayi, bapak, bayi. Biarlah dia minum dulu. Biarlah

Gadis Pantai meneruskan, "J angan kuatir, bapak. Turunlah." dia kenyang barang sedikit. Siapa tahu ini penghabisan kali dia

Dengan pandang mernerintah Gadis Pantai mengikuti gerak­ menyusu emaknya sendiri."

gerik bapak. Akhimya bapak meninggalkan kamar, dan hilang "Tapi ini bukan rumahmu lagi, nak. Mari bawa si bayi ke

dari pemandangannya.

luar rumah. Susui dia di bawah pohon tanj ung di tepi alun­ Gadis Pantai mengambil selembar selendang. Digendong­ alun."

nya anaknya. Beberapa kali diciumnya pada pipi, kening, jari­ "Anak ini bel urn turun burnie bapak, belum potong rambut,

jarinya yang putih rnungil. Tiba-tiba ia tersedan-sedan seorang mana dia kuat menahan angin laut?"

diri. Anak ini, anak ini bagaimana kau bakalnya, nak? Lambat­ "Aku ngerti, nak, sangat ngerti. Tapi kita tidak ada hak ting­

lambat ia melangkah ke pintu, menyeberangi ruang belakang gal di sini lebih lama. Kau dengar sendiri, kuda dokar sudah

memasuki ruang teng�h. Dilihdtnya Bendoro Inasih duduk di siap menolong kita menjauhi tempat ini."

tempatnya dengan buku Hadith di tangdn. la menghampiri tan­ "Bagaimanapun dia pemah suamiku, bapak. Sebentar tadi

pa meninggalkan suara, kemudian duduk di lantai di belakang dia masih suamiku. Mana mungkin dia begitu angkuh terhadap

kursi Bendoro.

emak dari anaknya sendiri?"

"Seribu ampun, Bendoro."

"Kita tak mengerti perangai bendoro-bendoro, nak. Kita tak Tanpa menengok Bendoro menurunkan Hadithnya. la ngerti."

mendaham.

224 PRAMOEDYA ANANTA TOER

GADIS PANTAI

"Seribu ampun, sahaya datang buat serahkan anak sahaya Seperti sebuah peleton serdadu, bujang-bujang - laki dan ini, anak sahaya sendiri, bukan anak orang lain, Bendoro. Ter­

perempuan - lari menahan dan mengepung Gadis Pantai. imalah dia Bendoro."

"Bukan pencuri aku !" teriak Gadis Pantai dengan lantang. "Letakkan di ranjang!"

"Semua kutinggalkan di kamar. Aku cuma bawa anakku "Tidak mungkin, tuan."

sendiri. Cuma anakku sendiri," f.akinya menyepak tapi bujang­ "Kau tak dengar perintahku?"

bujang lain mendesak.

"Sahaya ini emak si bayi. Kalau bapaknya pegang pun tak "Maling!" bentak Bendoro. "Ayoh. Lepaskan bayi itu dari mau, apa pula merawatnya, Bendoro. Sebaiknya sahaya bawa

gendongannya. Kau mdU kUPdllggil polisi? Marsose?" pulang ke kampung."

"Aku cuma bawa bayiku sendiri. Bayi aku ! Bayi yang kula­ Bendoro meronta bangun. Dan kursi goyang itu pun terayun­

hirkan sendiri. Dia anakku, bapaknya seorang setan, iblis. Le­ ayun tanpa penghuni. Ia berdiri menghadapi Gadis Pantai yang

paskan !"

menunduk menekuri lantai. Seseorang memukul mulutnya hingga berdarah. Masih ter­ "Murkailah sahaya ini, Bendoro. Bayi bukan perhias.an,

dengar orang berbisik ke telinganya, "Kau hanya dipukul se­ bukan cincin, bukan kalung yang bisa dilemparkan pada setiap

dikit."

orang." Ia tak tahu kepala tongkat Bendoro yang mengucurkan ddfah "Mulai kapan kau punya ingatan mau larikan bayi ini?"

pada bibirnya. Bayi itu tahu-tahu telah lepas dari tubuhnya, dan Gadis Pantai mengangkat muka, menantang mata Bendoro.

selendang itu tergantung kosong di depan perutnya. Perlahan-lahan ia berdiri tegak dengan bayi dalam gendongan­

"Anakku sendiri dia!" raungnya.

nya. "Lempar dia keluar!" Bendoro berteriak. "Ayam pun bisa membela anaknya, Bendoro. Apalagi sa­

Satu gabungan tenaga telah mendorongnya ke pelataran te­ haya ini - seorang manusia, biar pun sahaya tidak pernah

ngah. Ia memberontak dan meraung. Waktu diangkatnya mu­ mengaji di surau."

kanya ke arah langit, dilihatnya pada jendela rumah tingkat di "Pergi !"

samping gedung seorang wanita melemparkan pandang kosong Gadis Pantai memunggungi Bendoro, dan dengan bayi

padanya. Dan Gadis Pantai mangadu:

dalam gendongannya ia melangkah cepat menuju pintu. "Dia bayiku sendiri ! Biar bapaknya setan, biar iblis nerc.lka, "Tinggalkan anak itu !"

dia bayiku sendiri !"

Gadis Pantai telah keluar dari pintu ruang tengah. Wanita di jendela itu menghapus matanya, membalikkan diri Bendoro meraih tongkat, meletakkan Hadith di atas meja

dan menutup jendela.

kecil di sampingnya, lari memburu Gadis Pantai dan menda­ "Buat apa dia mesti rampas anakku? Selusin ant-it... dia bisa patkannya di jenjang ruang belakang di tentang dapur rumah.

buat dalam seminggu. Dia cuma siksa aku ! Dia, Bendoromu itu. Dan bujang-bujang telah berderet di depan pintu dapur dengan

Dia cuma mau siksa bayiku, Bendoroll111 itu. Sini, mc.lna bayiku.

mata ketakutan.

Berikan padaku."

"Tahan dia !" seru Bendoro sambil mengayun-ayunkan Ia telah didorong melewdti pintll pcl(.ltaran tengah. tongkatnya.

22 6 PRAMOEDYA ANANTA TOER

22 7 "Bayiku ! Nak, anakku. Sini, kau, nak!"

GADIS PANTAI

perhatian semua yang ada di dalam dokar. Rutan-hutan jati dan Dengan kekuatan yang tersisa berusaha berjalan bdlik. Sese­

bakau yang bergandeng-gandengan terkesan seakan gumpalan­ orang mendorongnya dengan kasar. Sebelum j atuh rubuh di

gumpalan mendung yang melintas tanpa makna di malam hari. pasiran ia masih sempat melihat pintu masuk ke pelataran te­

"Apa mesti kukatakan pada emak?"

ngah telah tertutup - tertutup buat selama-Iamanya bdginya. Ia "Seorang emak, nak, biar tak Jihat anaknya dia tahu apa yang dengar seseorang berbisik, "Maafkan kami, Mas Nganten."

ditanggungkannya !"

"Aku tak boleh masuk ke sana lagi?" "Aku tahu penanggungan bayiku, bapak." "Tidak boleh, Mas Nganten, maafkan, beribu maaf. Kami

"Diamlah, tidurlah, nak. Tidur."

telah berbuat kasar." Ada masanya Gadis Pantai berusaha keras agar tak jatuh Gadis Pantai tersedan-sedan di atas pasiran.

tertidur, menunggu kedatangan Bendoro. Kini bapak menyu­ "Putri Mas N ganten akan kami rawat. Percayalah."

ruhnya tidur, dan ia tak mampu. Sedang bunyi telapak kuda "Sahaya akan gendong, sahaya bawajalan-jalan kalau sore."

yang berirama mengetuki daratan jalan raya yang keras itu, ber­ "Sahaya akan tunggui kalau Il}alam."

gaung dalam hatinya, seperti ketukan-ketukan martil pada din­ "Terima kasih. Terima kasih."

ding-dinding jantungnya.

"Mari sahaya antarkan ke dokar, Mas Nganten." Dokar macam ini juga yang menyeret aku dari orang tuaku Seseorang menolongnya berdiri Gadis Pantai tak melawan.

dan kampungku. Dan dokar macam ini pula yang menyeret aku Ia sandarkan diri pada orang-orang yang selama itu melaya­

dari perkawinanku dan anakku.

ninya sebagai bujang. Mereka membimbingnya keluar dari Ia rasai pelupuk matanya terlalu berat. Apa mesti aku kerja-: pelataran depan, turun ke jalan raya, ke tepian alun-alun. Dan

kan di kampung sana? Buat siapa aku mesti kerja? bapak yang duduk bersandaran dengan lamanya pada pohon

"Bapak?"

tanj ung segera berdiri, terburu-buru menghampiri anaknya,

"Ya?"

kemudian memapahnya menaiki ke atas dokar. Tapi Gadis Pantai tak meneruskan. Ia teringat pada pen­ Waktu dokar mulai berj alan, bapak berbisik menghibur.

duduk kampung yang menyusulnya dengan obor waktu ia pu­ "Nasib kitalah memang, nak. Nasib kita. Seganas-ganas laut,

ldng setelah kawin, ia ingat pada orang-orang yang menyebut­ dia lebih pemurah dari hati priyayi."

nya Bendoro Putri. Ia ingat pada Mardinah? Tapi segera "Kita ke mana, bapak?"

ingatannya berbalik pada anaknya.

"Ke mana? Ke tempat kau dilahirkan. Ke tempdt leluhurmu Sedang menangiskah dia sekarang, manisku itu ? la raba dikuburkan."

dadanya yang sederhana. Dan kutangnya rasanya bdsah kena "Tak sanggup aku tentang mata mereka lagi, bapak."

tetesan air susu. Betapa sia-sia buah dada ini dibcrikan ke­ "Tak ada tempat lain yang lebih pemurah dari kampung kita,

padaku. Ah-ah, mengapa aku sesali buah dad'l yang telah di­ nak."

hisap anakku?

Dan dokar berjalan terus menggelinding di atas jalan pos Kemudian ia teringat pada Bendoro: orang yang tinggi se­ buatan Daendels. Cemara yang berkejar-kejaran tiada menarik

mampai tanpa otot - betapa besar kcku,lsa,mnYd. biar pun tak

229 pernah melihat laut ! Disuruh apakah anakku kelak? Aku

228 PRAMOEDYA ANANTA TOER

GADIS PANTAI

basah hal us itu membelai telapak kakinya Ditengoknya pasir­ emaknya sendiri? Disuruh kelak hinakan emaknya sendiri? Ah­

an di bawah kakinya. Ia terhenti.

ah, dia bakal jadi serupa dengan bapaknya. Bekas telapak kaki yang ditinggalkan di pasiran itu, ruang "Barangkali ini yang memang sebaiknya, bapak?"

jejaknya jauh lebih besar daripada yang pernah dicapkannya "Nak"

pada pasir kampungnya hampir empat tahun yang lalu. Sekali "Kalau anakku besar nanti - kalau dia tahu emaknya cuma

lagi buah dadanya mendenyut ngilu, sekuj ur punggungnya orang dusun dari kampung nelayan - barangkali dia malu pu­

menggigil sedikit. Kembali ia dengar tangis bayinya. nya emak seperti aku ini."

Dia akan jadi priyayi. Dia anakku. Dia akan tinggal di ge­ "Ah, anakku. Mengapa kau bilang begitu?"

dung. Dia akan memerintah. Ah, tidak. Aku tak SUkd pada "Aku, pikir, barangkali ini memang sebaiknya, biar begini

priyayi. Gedung-gedung berdinding batu itu neraka. Neraka. berat rasanya. Biarlah ia tak perlu tahu emaknya. Dia akan jadi

Neraka tanpa perasaan. Tak ada orang mau dengarkan tangis­ seperti bapaknya. Dia akan memerintah. Dia akan tinggal di

nya. Kalau anak itu besar kelak, dia pun takkan dengarkan ke­ gedung - tak perlu melihat Iaut. Ap, bapak, aku harus berikan

luh-kesah ibunya. Dia akan perintah dan perlakukan aku seperti semua itu. Aku harus berikan."

orang dusun, seperti abdi. Dia pelakukan aku seperti bapaknya Matahari di atas sudah melewati puncak ketinggiannya

memperlakukan aku kini dan selama ini. Ya, Allah, pergundkan­ sekarang. Beberapa gumpal mendung an tara sebentar menutup

lah kekuasaaanMu, buatlah dia tidak mengenal emaknya. Buat­ matahari dan menyuramkan dunia. "Hari sepanas ini dan hawa

lah aku takkan bertemu dengannya kelak. Tapi lindungilah dia. seberat ini. Hujan bakalnya."

Dia anakku yang tak mengenal emaknya, tak kenal lagi air susu Betapa senang tinggal di gedung bila hujan jatuh. Tak seti­

emaknya.

tik tampias menyinggung tubuh. Kembali ia merenungi tanah dan mengamati bekas teldpak Dan mendung di langit semakin teba!. Kini guruh mulai

kakinya yang begitu besar. Waktu diangkat kepalanya i(.\ lihat menderu-deru berselingan dengan deburan laut. Waktu hujan

bapak berdiri di hadapannya.

turun kuda yang nampak kelelahan itu menjadi segar dan kuat "Kampung kita akan terima kau seperti dahulu wdktu kau kembali, lari gesit kedinginan. Waktu hujan reda, dokar telah

dilahirkan, nak. Semua orang datang dan memberikdn berkah­ sampai di ujung jalan yang tak dapat lagi ditempuh oleh dokar.

nya."

Gadis Pantai turun. Ia tebarkan pandangnya keliling. Ia masih Indahnya orang-orang kampung di pinggir pantai itu. Gadis hafal pohon-pohon yang tumbuh di sekitarnya. Tak ada sesuatu­

Pantai kembali teringat pada bayinya: tiada seorang lnenyam­ pun perubahan pada pohon-pohon itu. Cuma air hujan membuat

but kedatangannya t�rkecuali emaknya scndiri. 8dpaknya daun-daunnya nampak jadi lebih berat dan lebih hijau.

sendiri pun tak acuh terhadap kelahirannya Ia dengar suara tangis bayinya. Buah dadanya dirasainya

"Memang berat di kampung, nak. Kau pcrnah mengalami keras menekan dadanya, mendenyut. Ia mulai melangkah tan­

hidup yang lain di kota."

pa tenaga, kakinya telah lupa mengenakan sdndal yang biasa Gadis Pantai melangkah dua tindak lagi. Tiba-tiba berseru dikenakan dalam tahun-tahun belakangan ini. Dirasainya pasir

pada kusir, "Jangan jalan dulu, mdn !"

230 PRAMOEOYA ANANTA TOER

23 1 "Mengapa kau, nak?"

GAOlS PANTAI

Bapak juga masih tak tahu apa mesti diperbuat. Gadis Pan­ "Tidak, bapak, aku tak kembali ke kampung. Aku mau per­

tai mengambil cambuk dan melecut kuda dari bawah perutnya. gi jauh! "

Kuda pun melompat dan lari. Roda-rodanya menggilas jalanan "Nak."

pasir, lari laju menuju jalan pos. Tanpa menengok ke belakang Gadis Pantai bersimpuh mencium kaki bapak. Kainnya

lagi Gadis Pantai memusatkap mat a ke depan. bergelimangan pasir basah.

Dalam satu bulan setelah itu sering orang melihat sebuah dokar "Ampuni aku, bapak. Aku tak dapat ten tang mata emak, para

berhenti di depan pintu pekarangan depan Bendoro dan sebuah tetangga dan semuanya. Ampuni aku, bapak. Aku akan pergi

wajah mengintip dari kiraian jendela dokar, tapi tak ada teljadi bawa diriku sendiri."

apa-apa di pekarangan itu. Selewat sebulan, tak pernah lagi ada "Kau sudah janji takkan balik ke kota, nak?"

dokar berhenti, tak ada lagi wajah mengintip dad kirainya. "Aku akan balik ke kota, bapak, tapi tidak menetap. Besok

aku pergi ke selatan." "Kau mau ke mana?" "Ke Blora, Bapak." "Kau, mau ikut siapa?"

Created by syauqy _arr@yahoo .. coJd

"Dulu aku punya pelayan. Dia sudah diusir. Mungkin ke

CKoleksi IIPramudya Ananta loer")

sana dia pergi, bapak." "Jangan, nak, mari tinggal di kampungmu sendiri. Kau tak

Weblog" http://hanaokLwordpress .. com

kenaI temp at lain." "Beribu ampun, bapak. B apak pulanglah sendiri ke kam­ pungo Belilah perahu besar model baru buatan Lasem. Dia akan gantikan aku sebagai anak bapak. Mintakan maafku pada emak, pada semua saudara, tetangga dan siapa saja. Anggaplah anak bapak sudah tiada lagi. Perahu buatan Lasem itu bakaI jadi anak bapak yang paling ceria." Gadis Pantai berdiri, kemudian merangkul bapak.

" Beri aku uang sekedarnya, bapak." Bapak masih berdiri termangu tak tahu apa mesti diperbuat.

Gadis Pantai merogoh kantong bapak, mengambil beberapa mata uang perak, kemudian tanpa ragu-ragu menuJu dokar dan naik ke atasnya.

"Kembali ke kota, man !" "Bagaimana ini, kanca!" seru kusir itu pada bapak.

Segera menyusul terbitan u l a n g

karya-karya besar Pramoedya Ananta Toer!

Kwartet Buru :

Bumi Manusia Anak Semua Bangsa Jejak Langkah

Rumah Kaca

dan

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I & II Arus Balik