Pramoedya Ananta Toer – Arus Balik

1. A bad ke enambelas Masehi

Bahkan juga laut Jawa di bawah bu lan purnam a sidhi itu gelisah. Ombak-om bak besar bergulung-gulung mem anjang

terputus, menggunung, melandai, mengejajari pesisir pulau Jawa. Setiap puncak ombak dan riak, bahkan juga busanya yang bertebaran seperti serakan mu tiara – semua – dikuningi oleh cahaya bulan.

Angin meniup tenang. Ombak-ombak m akin menggila. Sebuah kapal peronda pantai meluncur dengan

kecepatan tinggi dalam cuaca angin dam ai itu. Badannya yang panjang langsing, dengan haluan dan buritan meruncing, timbul-tenggelam di antara ombak-ombak purnama yang menggila. Layar kemudi di haluan menggelembung mem bikin lunas m enerjang serong gunung- gunu ng air itu – serong ke baratlaut. Barisan dayun g pada dinding kapal berkayuh berirama seperti kaki-kaki pada ular naga. Layarnya yang terbuat dari pilinan kapas dan benang sutra, mengkilat seperti emas, kuning dan menyilaukan.

Pada puncak tiang utama, di bawah lentera, berkibar bendera panjang merah dan putih – bendera kadipaten Tuban. D i bawahnya lagi, dud uk di atas tali-temali, seperti titik kelam, adalah jurutinjau.

Tepat di bawah layar utama berdiri nakhoda yang sebentar-sebentar meninjau pada jurutinjau di atas. Di samp ingnya berdiri Patragading, bertolak pinggang.

“Tetap tak ada yang m engejar, Tuanku!” seru juru tinjau. “Kita akan selam at sampai di temp at,” bisik nakhoda

pada Patragading sambil menyembah dad a. “Tak ada yang mengejar kita.”

Patragading mengangkat kain dan diikatkannya pada pinggang sehingga seluarnya dari sutera itu mengerjap- ngerjap terkena cahaya bulan. Kerisnya tertutup oleh kainnya – suatu gaya pembesar yang kehilangan kesabaran.

“Silakan mengaso. Sebentar lagi Tuban akan nampak.” “Lihat yang baik, barangkali ada iring-iringan

perompak.” “Tak pernah ada peromp ak berani mendekati kapal

sahaya.” “Lihat yang baik,” gertak Patragading. Tangannya

mem betulkan kain penutup dadanya. “Ahoo! Bagaimana dengan depan dan samping?” “Tiada sesuatu. Tuanku,” nakhoda itu meneruskan

laporan jurutinjau sambil menyembah dad a. “Sebaiknya Tuanku mengaso sebelum m endarat tengah m alam ini.”

Patragading melepas kain lagi sehingga seluar sutranya tertutup kembali. Ia tinggalkan tiang utama dan berjalan mo ndar-mandir di geladak, kemudian pergi ke haluan, mem eriksa sendiri senjata cetbang. Sebentar. Ia menjenguk Patragading melepas kain lagi sehingga seluar sutranya tertutup kembali. Ia tinggalkan tiang utama dan berjalan mo ndar-mandir di geladak, kemudian pergi ke haluan, mem eriksa sendiri senjata cetbang. Sebentar. Ia menjenguk

“Ahoi! Turun!” perintah nakhoda pada jurutinjau. Begitu kakinya sampai ke geladak, jurutinjau itu

mengh embuskan nafas besar. “Mati semua awak kapal kalau orang darat ikut campur

begini,” sambut nakhoda. “Ya, begitulah bila Tuanku majikan ada di kapal.”

“Pada putra G usti Adipati tak ada nakhoda berani mem bantah, biarpun putra ke dua ratus empat puluh satu!”

“Uh, bulan pun tersenyum melihat kita, Tuanku.” “Lebih gampang menumpas perom pak.” ‘Tengah malam ini tugas keparat ini akan selesai.” “Boleh jadi ada perintah kembali.” “D ewa Batara!” sebut nakhoda. “Itu berarti akan

terkapar ditelan hiu.” “Ts-te-ts.”

“Co ba lihat jurumudi, apakah dia masih ada di tempat.” “Tapi sahaya jurutinjau, Tuanku.” “Apa lagi yang hendak kau tinjau? Angin?” Juru tinjau pergi. N akhoda itu naik ke atas tiang utama,

hanya agar tidak berada di dekat Patragading, putra ke dua ratus empat puluh satu.

Juga di bawah bulan purnama sidhi itu pula, di sebuah botakan hutan seekor anjing hutan merenungi langit. Lehernya memanjang, kemudian menunduk pelan sambil mengeluarkan suara tenggorokan, pelahan . Kaki depannya berdiri, kaki belakangn ya bersim puh. Kepala itu diangkat lagi. Matanya semakin sayu. D ari mu lutnya keluar suara keras, mem baung, melolong. Kepalanya terangkat-angkat, kupingnya berdiri dan buntutnya berkibas-kibas pelahan ke kiri dan kanan. Ia mem anggil bulan dan yang dipanggilnya tak mau datang. Yang datan g justru berpuluh-p uluh yang lain, jantan betina dan anak-anaknya. Semua itu mem andang ke atas, mem anggil-manggil sang bulan, meraung, m elolong, m embaung.

Hutan yang senyap itu berubah jadi hiruk. Suaranya melayang, mengambang dalam cahaya bulan mencapai desa perbatasan kadipaten Tuban: Awis Krambil. M enusuk lebih dalam ke tengah-tengah desa, mem asuki balai-desa.

“D engar anjing-an jing mem baung!” oran g tua itu menuding ke arah atap . Alisnya yang putih terangkat.

Badann ya tetap tenang duduk di atas tikar m enghadapi para pendengarnya.

“Tak pernah anjing hutan membau ng seperti itu.” Sunyi-senyap

balai-desa. Semua mem anjangkan leher mendengarkan baung ratusan anjing

di

ruangan

di tengah hutan. R atusan sumbu damarsewu yang menyala di sepanjang dan seputar rumah um um itu bergoyang- goyan g terkena angin silir.

“Apakah gerangan yang akan terjadi, Rama?” kepala desa yang du duk agak di belakang orang tua itu bertanya.

“Bulan purnama begini. Semua indah. Hanya anjing- anjing pada menan gis. Bulan itu takkan menan ggapi mereka. Sejak dah ulu pun tidak. Tapi bulan penuh, menua “Bulan purnama begini. Semua indah. Hanya anjing- anjing pada menan gis. Bulan itu takkan menan ggapi mereka. Sejak dah ulu pun tidak. Tapi bulan penuh, menua

“Kita belum pernah tenggelam, Rama,” protes seorang gadis di tengah-tengah hadirin.

“Kau belum pernah tenggelam, gadis. Kau pun belum pernah terbit. Kita – kita pernah terbit, dan sekaran g sedang tenggelam. Lihat, sebagai bayi aku dilahirkan di sini. Kalian semua belum lagi lahir. Hutan dan alang-alang masih berjabat-jabatan. Sawah belum ada. Hanya huma, gadis.

D ulu desa ini dinamai Sum ber Raja…” Tiba-tiba suaranya terangkat naik, m elengking. “Kalian biarkan desa ini di hina

oleh orang kota, dan kalian sendiri setuju dengan nama Awis Kram bil.” Ia tertawa sengit.

“Bukan begitu Rama G uru,” bantah kepala desa gopoh- gapah dan menebarkan pandang minta sokongan hadirin. “N am a itu diberikan sebagai ucapan ikut prihatin terhadap sulitnya kelapa di sini. Lama-lam a jadi sebutan resmi di Tuban. Kami hanya mengikuti, Rama.”

“Apa saja kalian kerjakan dalam tujuh tahu n ini maka sebuah desa bisa kekurangan kelapa?” orang tua itu tak

menoleh pada kepala desa. “Apakah di mandala kalian sudah tak pernah diajarkan tentang kelapa dan tentang desa, bahwa kesejahteraan desa namp ak dari puncak- puncak pohon kelapan ya?”

Para hadirin berhenti mengu nyah sirih mendengar perselisihan sudah dimulai itu. “D engarkan kata-kata R ama Cluring ini,” orang tua itu meneruskan dengan tubuh tetap tidak bergerak dalam silanya. “D esa yang kekurangan kelapa…. adalah karena ada apa-apa kecuali kelapa di dalam kepala-kepala desanya. Ingat-ingat itu! Ada apa-apa kecuali kelapa.”

“Apakah apa-apa dalam kepalaku. Rama G uru?” tanya kepala desa tersiksa.

“Bukankah kau tahu juga dari orangtuamu, desa ini dah ulu mencukupi buat semua? Mem ang lain. D ahulu penduduk desa masih punya harga diri. N am anya tetap Sum ber Raja sebagaimana diberikan oleh leluhur para pendiri. Sekarang, bukan karena kelapa itu tidak tumbuh, cipta kalian yang merosot sampai ke telapak kaki. Maka kelapa pun tak kunjung berbiak, tinggal hanya peninggalan nenek-moyang.”

Tak ada yang menyanggah. D engan lunak ia mu lai bercerita tentang kelapa di desa-desa lain yang lebih tandus.

Para hadirin, tua dan mu da, laki dan perempuan, gadis dan perjaka memp erhatikan tubuh pembicara yang pendek- kecil, berkain dan berkalung kain batik pula, berdestar putih, berjanggut dan bermisai putih, seperti kepala Anom an dalam R amayana.

Mereka mendengarkan dengan diam-diam sambil mengu nyah sirih. Tak seorang pun mentertawakan

keputihannya. Mereka mengh ormati orang tua yang terkenal sebagai pemuja Ken Arok Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi, berlidah pedang dan berludah api itu.

“D engar, barangkali anjing-anjing itu akan mem baung sepanjang m alam. ”

Kembali orang mendengarkan baung yang sayup-sayup dari tengah hutan.

“N enek-m oyang kalian tidak sebebal kalian sekarang,” tiba-tiba orang tua itu m enetak kejam.

“Aku dan kami mu ngkin mem ang bebal,” seseoran g di tengah-tengah hadirin mem bantah. ‘Tapi para dewa, Rama

G uru, pada kami tak diberikan tanah yang cukup baik untuk kelapa. ”

“Puah !” seru Ram a Cluring. “Sewaktu kecilku takkan ada orang menyalahkan para dewa. Tak ada penghujatan semacam itu. Mandala masih berwibawa dan guru-gu ru dihorm ati, maka bocah yang belum terpanggil oleh Sang Buddh a pun tahu, bumi ini diberikan oleh Hyang Tunggal pada manusia dalam keadaan sebaik-baiknya. Tak ada seorang pun mengh inakan keadaannya, karena manusia diciptakan dalam keadaan sempurna. Lupakah kau pada ajaran, hewan takkan mengu bah apalagi alamn ya? Tetapi

manusia tanpa cipta merosot, terus merosot samp ai ke telapaknya sendiri, merangkak, melata, samp ai jadi hewan yang tak mengu bah sesuatu pun. Untuk mem punyai ekor pun m anusia demikian tidak berdaya.”

Sebentar ia diam. Tubuhnya tetap tak bergerak. D agunya tertarik ke depan seperti sedang menunggu tantangan. Yang ditunggu tiada kunjung datang. D an ia meneruskan, mengu langi ajaran Buddh a dan Syiwa tentang m anusia dan kebajikannya sebagai makhluk dewa, tentang alam dan kemungkinan-kemungkinannya.

Kemu dian menutup dengan nada tinggi meledak: “G uru-gurumu takkan lupa menyam paikan: yang buruk datang pada manusia yang salah menggunakan nalar, sehingga nalar yang buruk mem anggil keburukan untuk dirinya. Semua kalian me- lewatkan masa kanak-kan ak dan remaja di bawah petunjuk dan ajaran Sang G uru. Padaku ada wewenang menamai kalian bebal.”

“Kata-kata itu menyakitkan hati, Rama,” seseorang nenek mem protes.

“Berbahagialah kau yang bisa bersakit hati, pertanda masih ada hati, dan ada cinta di dalam nya. Tapi macam

cinta apa kau kandung dalam hatimu? Cinta pada cinta apa kau kandung dalam hatimu? Cinta pada

Rama Cluring berhenti bicara. Kembali baung beraturan anjing m engisi suasana.

“Tak ada seorang pun di antara pemuda desa ini pernah menginjakkan kaki di bum i Atas Angin . D i sana pun dah ulu kalian akan dengar gam elan kalian sendiri. Orang sana juga menggemari cerita-cerita Panji dari Jenggala seperti kalian. Mereka juga mencintai Panji Semirang, juga seperti kalian di desa ini. Sang Adipati tidak mem berikan kesempatan pada kalian. Tapi kalian terus juga mem bayar upeti, barang jadi dan baran g gubal. Tak seorang di antara kalian menyaksikan jauh-jauh di seberang sana bagaimana

D ewa Ruci dan Arjuna W iwaha didengarkan oran g.” Orangtua itu mu lai bercerita tentang negeri-negeri jauh

yang pernah dikunjunginya. Ia bercerita tentang kebesaran- kebesaran Majapahit. Para pendengarnya mu lai terbuai.

D an ia menyentakkan mereka dengan lidah parangn ya: “Ha! Mengantuk kalian terayun oleh keenakan-keenakan masa-la lu. Kalian, oran g-orang yang telah kehilangan harga diri dan tak punya cipta. Segala keenakan dan kebanggaan itu bukan hak kalian. Bahkan mem biakkan poho n kelapa pun kalian tak mamp u!”

Malam itu dingin. Semua mengenakan kain menutup dad a, laki dan perempuan. N am un ada juga perawan- perawan yang membiarkan buah dadan ya terbuka, dipermain-mainkan sinar dam ar sewu dan angin silir yang mengentalkan darah.

“D ulu, waktu Sang Adipati masih mu da, jadi pembesar berkuasa di W ilwatikta, tak ada sesuatu yang berharga telah dipersembahkannya pada Majapahit. D i tangannya juga Majapahit padam sinarnya. Sekarang dalam usia tuan ya, apakah yang bisa diperbuatnya? Untuk desa pinggiran ini pun tidak sesuatu ! Kalian ini kawula Sang Adip ati atau kah budaknya yang ditangkap di medan perang?”

“Kawula!” seseorang m emberikan jawaban. “Mengapa raja kalian tak berbuat sesuatu untuk kalian?” “Rama!” seorang lagi berseru tegang, “Rama telah….” “Rama!” tegur kepala desa di belakangn ya. Matanya

berbeliak menyemburkan

kemarahan. “Itu pemberontakan!” ia menuduh. “Paling tidak mengh asut

api

pembangkan gan. Tidak lain dari Rama sendiri yang lebih mengerti aturan darmaraja.”

Orangtua itu menoleh ke belakang dan tertawa. “Benar, pemberontakan, hasutan, ” dua-tiga oran g mu lai

berseru-seru. Para hadirin mu lai gelisah, berselisih satu dengan yang lain. Suasan a tak terkendali. Orang tua itu

sendiri tetap tenang bersila di atas tikarnya. “Katakan itu di Tuban!” seseorang meraung. Orang tua itu mengangkat telunjuknya, dan semua

terdiam. “Kalau aku tidak bicara di Tuban, semua tahu sebabnya kecuali binatang dan tum buh-tu mbuhan, semua, terdiam. “Kalau aku tidak bicara di Tuban, semua tahu sebabnya kecuali binatang dan tum buh-tu mbuhan, semua,

Juga di bawah bulan purnama itu beratus-ratus samp an mem bawa penduduk dewasa pesisir sedang menyisiri seluruh pantai Jepara, menyisiri Teluk Awur, pulau Kelor dan pulau Panjang.

Em pat ratus samp an telah mendarat di pulau Panjang, mem bawa pedang dan tom bak meneliti setiap sudut dan

lapan gan. Seorang prajurit bertombak meraung: “Semua penduduk nelayan pulau Panjan g supaya m enghadap!”

D i tempat-temp at lain suara itu diteruskan, sambung menyam but berkait-kaitan. D an tak ada seorang nelayan pun datang mengh adap. Tak ada yang tahu ke mana mereka melarikan diri.

D alam sebuah rumpun bakau yang lebat orang menem ukan sebuah arca G anesya yang belum lagi selesai.

Em pat buah besi pahat dan dua penohok tergeletak pada alas kaki arca. Ro mbongan penduduk pesiar Jepara itu terkesim a oleh pem andan gan itu.

Seorang prajurit berpedang m enghardik: “Mengapa ragu- ragu m enangkap?” ia lari menghampiri.

Ia sendiri terkejut m elihat arca belum jadi itu. Seorang prajurit lain datang, mem ekik: “Mengaku sudah

Islam. Mengapa pada batu takut? Ayoh, gulingkan. Ceburkan ke laut. ”

Tapi pendud uk pesisir Jepara dan prajurit pertam a itu ragu-ragu. Prajurit ke dua itu mendekati arca itu dan meludah inya.

“Lihat, dia diam saja aku ludahi,” kemudian ia menggoyang-goyan g kepala gajah yang belum jadi itu, “lihatlah, dia sama sekali tak ada kekuatan untuk melawan. Ayoh, gulingkan!” perintahnya kemu dian.

Prajurit pertama itu nampak malu dalam cahaya bulan.

D engan langkah goyah ia mendekati G anesya belum selesai itu dan dengan takut-takut menyentuh belalain ya dengan tulunjuknya. D an belalai G anesya itu tidak hangat, juga tidak m embuktikan diri punya sakti.

“Ludahi dia!” perintah prajurit kedua. Prajurit pertama melengos. Ia tak beran i. “Barangsiapa masih mengaku Islam, ayoh bantu aku

gulin gkan batu ini!” pekik prajurit kedua. Hanya sepuluh orang maju. Mereka mendorong kepala

arca itu sampai terguling ke tanah . Prajurit kedua bersorak, pengikutnya juga bersorak.

“G uling-gulingkan sampai ke teluk!” Makin lama makin banyak orang yang ikut serta. Tak

lama kemudian terdengar batu itu tercebur ke laut dan hilang dari pandangan bulan dan manusia.

D i Tegalsam bi, di pesisir selatan Jepara, penduduk kota yang dikerahkan hanya menem ukan sebuah gubuk. Di

depannya berdiri tunggul kayu setinggi sepuluh depa. Pada puncaknya terpahat sebuah arca yang telah rusak, pecah- pecah kepalanya terkena panas dan hujan. Tak dap at dikenali lagi arca apa. D i dalam gubuk itu sendiri hanya dap at ditemukan sebuah tempayan kecil berisi abu jenazah, depannya berdiri tunggul kayu setinggi sepuluh depa. Pada puncaknya terpahat sebuah arca yang telah rusak, pecah- pecah kepalanya terkena panas dan hujan. Tak dap at dikenali lagi arca apa. D i dalam gubuk itu sendiri hanya dap at ditemukan sebuah tempayan kecil berisi abu jenazah,

Seorang prajurit menghancurkan tempayan itu dengan punggung pedangnya sehingga abu itu buyar berham buran.

D engan mata pedangnya ia hancurkan lukisan itu berkeping-keping, kemudian menyepaknya berantakan. Sebuah kotak kayu tempat alat-lukis yang didapatkan di atas para-para dilemparkan keluar gubuk. Alat-alat yang telah berja mu r itu bergelatakan dalam cahaya bulan, diam, tidak bergerak lagi.

D i Jepara sendiri, di muara kali Wiso serombongan pembesar sedang turun dari sebuah kapal Tuban yang kena sergap. Begitu turun ke darat seorang di antaranya menengok ke belakang pada tiang utama kapal. Seorang pembawa

mendekati dan mem ayunginya. Payung kuning dari sutera itu mengkilat bermain-main dengan cahaya bulan. Tapi orang itu tidak mengindahkan. Ia bergumam: “Lebih bagus dengan bendera kita.”

payung

berlari-lari

“Semua ikut mem andangi bendera putih yang berkibar malas dalam angin silir lemah itu. G ambar kupu-tarung di tengah-tengahn ya kelihatan hanya sebagai setump ukan garis sambung-putu s. Juga bendera itu dari sutera.

“Kupu-tarung lebih bagus daripada merah-putih,” seseoran g m emberikan tanggapan.

“Seluruh merah-putih majapahitan itu akan tumpas dari mu ka bumi.”

‘Tentu.”

D engan sendirinya rombongan itu m engalihkan pandang pada sang bulan. N ampak semakin besar dan semakin kuning….

Juga di bawah bulan purnama itu beberapa puluh anak- anak, laki dan perempuan, sedang bernyanyi bersama di tanah lapang W ilwatikta, bekas ibukota Majapahit. Mereka sedang menyam paikan puji-pujian kepada sang bulan sebelum mem ulai dengan perm ainan malam. Mereka bergandengan satu dengan yang lain, merupakan lingkaran.

D i tengah -tengahnya berdiri seoran g anak yang memimpin perm ainan.

Malam purnama ini jumlah mereka semakin sedikit. Setiap minggu ada saja yang meninggalkan W ilwatikta untuk selam a-lam anya, pindah ke G resik atau kota-kota bandar lainnya.

Juga di bawah bulan purnama itu di tanah lapang di ibukota kerajaan Blam bangan ribuan bocah sedang bernyanyi bersama seperti di Wilwatikta. Hanya bukan seorang nenek mem impin mereka, tapi seorang pedanda pria setengah baya. Perawan dan perjaka, beratus-ratus m e- lingkari bocah-bocah yang sedang menyampaikan puji- bulan. Antara sebentar semua bertepuk-tepuk dan bersorak- sorai. Seluruh dunia seakan dalam keadaan tenang dan dam ai, seakan tak ada lagi setetes darah mem erahi medan perang.

ibukota kerajaan Blam bangan , mengelu-elukan bulan yang mem erangi langit tanp a nod a itu, karena cuaca seindah itu menjanjikan kemakm uran dan perdam aian. Pasuruan, kedudukan

Juga seluruh

D ahan apura,

D ahan apura, semakin lama semakin besar setelah Sri Bagin da Ranawijaya G irindraward hana, raja Blam bangan mem bariskan pasukannya mem asuki Majapahit yang telah runtuh, untuk mem buktikan pada dunia, bahwa tak ada D ahan apura, semakin lama semakin besar setelah Sri Bagin da Ranawijaya G irindraward hana, raja Blam bangan mem bariskan pasukannya mem asuki Majapahit yang telah runtuh, untuk mem buktikan pada dunia, bahwa tak ada

N am un orang tak meneteskan darah di wilayah Blam bangan

damai dan kemakm uran melimpah .

karena perang. Aman,

D i balai-desa Awis Kram bil antara Rama Cluring dan para hadirin ketegangan semakin m enjadi-jadi. Hal itu tidak pernah terjadi dengan guru pembicara lain yang pernah datang ke desa ini.

“Betul!” orang mem ekik di tengah-tengah hadirin, “tidak lain dari Rama G uru sendiri yang lebih tahu tentang

darmaraja. D ari Tuban datang pengayom an. Pengayom an itu yang mem buat Rama tidak tahu, setiap jengkal tanah yang kita pacul adalah milik G usti Adipati, dirampas dengan paran g dan tom bak dari tangan mu suh-m usuhnya dan dibenarkan oleh para dewa. Keringat kita, kita teteskan

di atasnya dan panen pun jadi. Itulah harga dari semua upeti kita. Pengayom an, Rama, sehingga tak ada mu suh datang menyerbu kami. Anak-anak dap at bermain-main dam ai setiap hari. Hujan jatuh mem bawa kesuburan. D an keringat jatuh mem bawa kesejahteraan. ”

Rama Cluring tak pernah memoton g kata-kata orang. Ia mendengarkan tanp a menggerakkan badan. Kemu dian: “Indah sekali kata-kata itu. Aku dapat lihat, kau tidak pernah ikut meneteskan keringat, tidak pernah ikut Rama Cluring tak pernah memoton g kata-kata orang. Ia mendengarkan tanp a menggerakkan badan. Kemu dian: “Indah sekali kata-kata itu. Aku dapat lihat, kau tidak pernah ikut meneteskan keringat, tidak pernah ikut

Pembicara itu tidak m enamp akkan mu kanya. “Sayang kau tak berani mu ncul. Kau, orangmu da, sama

halnya dengan perempuan pemalas yang merasa lebih beruntung jadi selir atau gundik di bandar-band ar daripada mendampingi seorang suami di sawah dan ladan g. Berbahagialah suami-istri yang sama-sama bekerja, maka haknya pun sama di hadapan para dewa dan manusia.

Rama Cluring berkom at-kamit dan mengo cok mata. Kemu dian ia tegakkan dad a, nampak menarik nafas

panjang, m enghimpun kekuatan dari seluruh alam ke dalam paru -paru untuk disalurkan ke dalam sikapnya.

“D ari mana datangnya pengayom an kalau bukan dari upeti?” seseoran g bertanya ragu-ragu.

“D ari mana?” Rama Cluring menjawab. “Kalau upeti tak mu ncul, bukan pengayoman yang datang, tapi balatentara Tuban akan menumpas dan mengh ancurkan kalian dan desa kalian. Kalau perang datang, tak seorang pun di antara kalian mendapat pengayom an. Balatentara Tuban tidak. Sebaliknya kalianlah yang diwajibkan mengayomi dia!” ia tertawa menunggu tantan gan.

D i sebelah pinggir di antara para hadirin, gadis Idayu menyikut pacarnya, G aleng, berbisik: “Jadi, apa maunya?”

“D engarkan saja,” kata G aleng. Pacarnya m encubit sengit, tapi pemuda itu tak peduli. “D engarkan kalian semua punggawa desa yang hidup

dari keringat orang lain, yang hidup dari penyisihan upeti. Kalian, apalagi kalian, sama sekali tak bisa berbuat apa-apa dari keringat orang lain, yang hidup dari penyisihan upeti. Kalian, apalagi kalian, sama sekali tak bisa berbuat apa-apa

Ketegangan sekaligu s berubah jadi ketakutan. “Apa kalian takuti? Akan datang masanya kalian akan

lebih, lebih ketakutan. Bukan karena kata-kataku. Mari aku ceritai: jam an ini adalah jaman kemerosotan. Raja-raja kecil bermunculan pada berdiri sendiri, karena rajad iraja tiada. Kekacauan dan perang akan mem buru kalian silih-berganti. Lelaki akan pada mati di medan perang. Perempuan akan dijarah-rayah dan kanak-kan ak akan terlantar. Kalian takkan ditump as karena kata-kataku. Kemerosotan jaman dan kemerosotan kalian sendiri yang akan menumpas kalian selam a kalian tak mampu menahan kemerosotan besar ini.”

Ia diam. Para pendengar terdiam. Mereka telah terbiasa

terpengaru h oleh ram alan orang tua-tua pengembara yang telah jauh langkah. Kakek-kakek mereka telah lama meram alkan akan datangn ya perang yang tiada kan habis- habisnya bila dewa-dewa telah berganti dan bila berbagai bangsa dengan berbagai warna kulit telah mu lai

berdatangan menjam ah bumi Jawa. “Rama G uru,” seorang wanita dengan suara mendayu-

dayu mem ohon , “bila kekacauan dan perang akan mem buru-buru kami silih berganti, bukankah akan sia-sia semua yang sudah kami kerjakan dan usahakan?”

“Jelas. Apalagi upeti-upeti ke Tuban itu. Sam a sekali tanp a guna. Sekarang dengarkan: di jaman Majapahit tak ada perang yang tidak selesai, tak ada kekacauan tak

diatasi,” ia mulai mengubah nada suaranya menjadi lunak dan ram ah. “D i masa itu semua orang boleh mem bikin bata. Setiap orang boleh mendirikan candi keluarga, tempat menyimpan abu para mendiang. Setiap orang boleh belajar mengecor besi dan mencetaknya. Tidak seperti sekarang. Menem pa besi dan baja pun tidak diperkenankan, kecuali atas perintah. D ahulu perawan-p erawan pada menenun sutra. Di mana-man a nampak pakaian gemerlapan bermain dengan sinar matari. Sekarang ulat sutra pun tumpas. Orang hanya menenun kapas. Ulat sutra yang tinggal hanya ditenun untuk layar perahu dan kapal besar dan untuk pengantin. Saluran yang dulu dibikin di mana-m ana sekarang sudah pada mendangkal. Kapal besar tak lagi dap at masuk ke pedalaman. Tak lagi riam dan sangkrah dibersihkan oleh pasukan-pasukan laut. Tak lagi sungai- sungai dipelihara. D i jaman Majapahit para punggawa disebarkan ke seluruh negeri bukan untuk mem ata-matai kawula. M ereka bicara dengan bocah-bocah. Bila anak-anak itu tak dap at menjawab pertanyaan mereka, baik kepala desa mau pun bapa-bapa mandala kena teguran. D engan demikian setiap bocah dapat membaca dan menulis, tahu akan dewa-dewa dan hafal akan banyak lontar.”

“Berap a um urm u. Rama G uru, maka tahu banyak tentang jaman kejayaan Majapahit?” seorang gadis

bertanya. “D ua ratus?” Rama Cluring mendeham dan

mem bersihkan kerongkongan.

“Tak ada oran g hidup sampai dua ratus. Lebih beberapa puluh tahun dari seratus. Menurut perhitungan surya.”

“Mengapa menurut perhitungan surya?” seorang lain bertanya.

“D i bandar-bandar ada oran g yang mulai menggunakan perhitungan rembulan – orang-orang gila itu. Mereka mem punyai dewa lain dari kita. Mereka hidup hanya dari berdagang, tidak menginjakkan kaki di sawah ataupun ladang. Mereka hanya hidup dari pantai dan dari laut. Mereka tak mem erlukan gunu ng. Mereka tak memerlukan surya. Mereka hanya mem erlukan harta dan kekayaan.”

“Mereka penyembah rembulan. Rama G uru?” “Aku belum lagi tahu . Barangkali. Mereka itu yang

mem bikin para bupati dan adipati pesisir hanya mengingat pada harta-kekayaan, lupa pada Bagin da Kaisar di

Majapahit. Mereka pengaru hi bupati dan adipati pesisir supaya tak mem bikin kapal-kapal lagi. Mereka menyuap dengan mas, tembikar, sutra, kain khasa, permadani…. Mereka petualang-petualang dari Atas Angin. D i pesisir Atas Angin sana m ereka sam a saja tingkahnya. Perhitungan rem bulan menjalar seperti wabah. Kemerosotan jaman, jaman gila. Orang mu lai tak dapat memilih apa yang baik untuk dirinya. Tak heran, di mana mandala tidak berdaya,

orangtua tak tahu sesuatu kecuali kesenangan sendiri…. Yang paling tidak horm at pada para dewa juga yang paling mu la jadi korban wabah dari Atas Angin ini. Bahkan tulisan kita, tulisan kita yang sempurna sandang dan sukunya…. boleh jadi…. sudah mu lai mu ncul tulisan yang sama sekali

tidak berbunyi…” “Adakah Rama Cluring pernah lihat tulisan itu?” Orang

tua pendek kecil itu tiba-tiba mengangkat telunjuk. “D engar!” perintahnya.

Semua terdiam. Baung dan salak dan lolong anjing, ratusan di tengah hutan, kembali menggelom bang.

‘Tak pernah binatang itu mem baung selam a itu, seram ai itu. Boleh jadi akan datang banjir – banjir air, banjir ‘Tak pernah binatang itu mem baung selam a itu, seram ai itu. Boleh jadi akan datang banjir – banjir air, banjir

Ia menoleh kepada kepala desa. Bertanya: “D arm araja? Pengayom an? Apakah yang sudah diperbuat oleh Sang Adip ati Tuban Tumenggung Wilwatikta waktu para bupati pesisir mu lai mem bangkang mempersembahkan upeti? Bukankah Sang Adipati itu rajam u sekarang? Bukankah sebagai Tum enggung W ilwatikta, penguasa tertinggi atas keamanan dan kesejahteraan ibukota Majapahit, W ilwatikta, justru ia bergabung dengan yang lain-lain, mem bangkang mempersembahkan upeti, malah tetap

mengu kuhi wilayah kekuasaan yang didapatnya dari darmaraja, membentan g dari Tuban samp ai Jepara – sebuah kadipaten dengan tidak kurang dari lima buah bandar?”

‘Tak pernah ada yang menggugat seorang raja!” bantah kepala desa, “karena hanya dengan karunia Hyang Widhi saja seseoran g bisa bertahta! Bukankah Ram a G uru dengan demikian menghujat Hyang Widhi?”

“Uah! Seperti kau tidak mengenal anak tani bernama Ken Arok. D itum bangkann ya akuwu dan raja, dan sendiri marak jadi raja, memerintahkan menjawakan kitab-kitab suci, mem erintah kan dilaksanakannya gaya baru dalam bangun an-bangunan suci.”

“Maka juga Ken Arok Rajasanagara ditumban gkan.” “D itum bangkan. Tapi darahnya telah bangun kan

kekaisaran Majapahit yang tiada tara. ” “D an M ajapahit pun tumbang.” “Tum bangnya gajah yang meninggalkan gading. Hyang

W idhi tidak pernah salah mem ilih wakilnya di atas bum i.

Hanya kaki yang kuat, bahu yang kukuh, mampu memikul pilihan Hyang Widhi.”

“N egarakertagama dan Pararaton tak bilang begitu.” “D an apa katanya tentang Adipati pembangkang yang

bersekutu dengan pedagan g-pedagang Atas Angin yang berdewa lain?”

“W aktu itu belum ada Sang Adipati.” “Maka akulah yang mengatakan, demi Hyang Widhi,

karena tugasku hanya mengatakan tentang kebenaran. Tulikah kau? Tiada kau dengar baung, lolong dan gonggong anjing-anjing hutan itu? Tak tahu kah kau itu pesta untuk haridepanku yang bakal cepat tiba, lebih cepat daripada yang kau sangka?”

Untuk menghindari pertengkaran kepala desa terdiam. Matanya berpendar-pendar dari wajah ke wajah di antara hadirin. Ia meminta pengertian, bantuan dan simp ati. Hadirin sendiri sedang tercengkam. Mereka tahu Rama CIuring sedang menggugat Sang Adipati, manusia pertama yang berani lakukan itu. D an ketegangan m enarik oto t-otot mu ka mereka sehingga seperti terbuat daripada kayu jati.

D an keseram an mewarnai wajah-wajah itu oleh berpuluh mata sum bu damar-sewu yang selalu berayun tak pernah tenang dan m enggeletarkan semu a bayang-bayang.

D i luar, di langit, bulan purnam a bertahta tanpa tand ingan dalam kebeningan. Ia hanya tersenyum melihat

ratusan anjing yapg menggonggonginya dalam kebotakan hutan.

‘Tak lain dari Hyang Widhi juga yang menggulingkan raja-rajan ya sendiri yang kaki dan bahunya lemah, tak mampu

memikul kebesaran-N ya, tak mampu menyum am brah kan dengan jari-jarinya yang kaku – karena memikul kebesaran-N ya, tak mampu menyum am brah kan dengan jari-jarinya yang kaku – karena

“Kata-kata itu tidak terdapat dalam lontar, Rama G uru ,” seorang di antara hadirin angkat bicara.

“Apa kau akan bilang kalau aku mem bubuhkannya pada lontar? Ambilkan lontar, besi penggurit dan jelaga, biar yang terpandai di antara kalian menuliskannya.”

“Belum perlu, R ama G uru,” kepala desa itu menegah. “Mem ang belum perlu,” pembicara itu meneruskan.

“Rama, kami nampak memang kurang harga diri, kurang kehorm atan, m ungkin juga mem ang bebal. Tapi kami hidup

dalam kesejahteraan, keamanan dan perdam aian. Sebaliknya, Rama G uru, kata-kata Ram a sendiri yang me- nempatkan kami semua dalam bahaya kemusnahan. Rama, tidak lain dari R ama!”

Rama CIuring mendengus meremehkan. Suaranya enteng mengamban g di udara malam yang hangat itu.

“Untuk mencapai desa ini, balatentara Tuban paling tidak membutuhkan satu-dua hari. Kalian tidak akan

ditump as. Setiap saat setiap orang di antara kalian yang tidak dungu bisa tinggalkan desa ini, menyeberan g perbatasan, mem ohon perlindun gan Sang Bupati Bojonegara.

Aku tidak menjerumu skan kalian. Lembah kebinasaan itu kalian galang sendiri di atas kedunguan. Masih juga kau

tidak mengerti, kepala desa? Pendud uk desa ini terus- menerus membayar upeti dan mem ikulnya sendiri ke Tuban Kota. Masih belum mengerti? Tak ada keadilan mengikat antara sang Adipati dengan kawulanya di sini. Kalau ikatan keadilan tidak ada, yang ada hanya ikatannya saja, ikatan perbudakan. Kalian semua ini bukan kawula, tapi budak!

Budak Tuban, budak Sang Adipati sama dengan mu suh- mu suhnya yang telah ditaklukkannya. D itaklukkan tanpa perang!”

“Baiklah kami ini budak tanpa dikalahkan dengan perang. Katakan pada kami. Rama G uru, bagaimana agar kami tidak jadi budak?”

“Rama Cluring yang bijaksana,” seorang lain lagi menyerondo l, “bukankah Rama G uru lebih dari tahu, setiap saat datang pengawal perbatasan berkuda?”

“D ia juga perlu mendengarkan kata-kataku ini.” “Tidakkah Rama G uru akan dibawanya ke Tuban dan

diadili?” “Bukan pertama terjadi kebenaran diadili. Bukankah

mandala kalian pernah mengajarkan: kebenaran tak dap at diadili, karena dialah pengadilan tertinggi di bawah Hyang W idhi. Kalian tahu kelanjutannya: Barangsiapa mengadili kebenaran , dia mem anggil Sang Hyang Kala, dia akan dilupakan orang kecuali kedunguan nya.”

Ia tersenyum dan menganggu k-angguk. “Juga Sang Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung

W ilwatikta tidak bebas dari ketentuan Maha D ewa. Sang Hyang W idhi merestui barangsiapa punya kebenaran dalam hatinya. Jangan kuatir. Kepala desa! Kurang tepat jawabanku, kiranya? Ketakutan selalu jadi bagian mereka yang tak berani mendirikan keadilan. Kejahatan selalu jadi bagian mereka yang mengingkari kebenaran maka melanggar keadilan. D ua-duanya busuk, dua-duanya sum ber keonaran di atas bumi ini…,” dan ia teruskan wejangannya tentang kebenaran dan keadilan dan kedudukannya di tengah-tengah kehidupan manusia dan para dewa.

Kapal peronda pantai dengan layarnya yang berkilat-kilat itu menyeberangi malam dan menyeberan gi Laut Jawa dengan cepat. Dari kejauhan nampak seperti naga laut yang tak kelihatan buntutnya. Puluhan pendayung yang seirama mem belah perm ukaan mem ercikkan air dan semburannya menari dengan cahaya bulan. Layar kemudi yang menggembung di atas haluan, bahkan lebih depan dari haluan itu sendiri, melengkung seperti busur yang sedang ditarik.

W aktu lampu menara bandar Tuban mu lai hilang- mu ncul di atas kepala om bak terdengar pekikan aba-aba.

Tak lama kemudian menyusul ledakan di belakang layar kemudi. Peluru cetbang meluncur ke udara dengan buntut api yang kuning merah meninggalkan asap yang segera lenyap.

Beberapa bagian dari detik, dan peluru itu meledak di langit. Api menyemburat melontarkan bunga api yang mem buat lonjakan ke atas, kemudian ke bawah, ke tiadaan. Ledakan itu menyebabkan perm ukaan laut gemerlapan beberapa detik, kemudian kembali jadi manis berm ain-main dengan cahaya bulan kembali. Ledakan di langit yang sebentar tadi menandingi bulan kini lenyap tanpa bekas.

Kapal itu terus melaju. Layar-layar mu lai diturunkan.

D engan cepat mem belok ke kanan, bergerak hanya dengan kekuatan dayun g. Juga layar kemudi tidak nampak lagi.

Lunas itu menerjang alun dan om bak pada sudut lebih besar daripada semula. D an semua alun dan om bak terus juga berkejar-kejaran, berebut dulu untuk mengh antam pesisir utara pulau Jawa.

0o-d w-o0

Rama Cluring segera mengambil cawan tanah yang diletakkan oleh anak gadis Kepala desa. Ia angkat tinggi, mem perlihatkan pada semua hadirin, ia hendak mem inumn ya. Ia baru habis menceritakan tentang ke- besaran Majapahit dengan angkatan lautnya, dengan ilmu dan ketrampilan mem bikin kapal-kapal samu dra, dengan wilayah kekuasaannya.

“Sekarang aku hendak teguk lagi tuak desa ini. Sebelumnya, dengarkan: jangan bandingkan Majapahit dengan Tuban ini. Kalian sendiri yang mengatakan: hanya sembilan hari dibutuhkan untuk mengedari seluruh wilayah Tuban – itu pun hasil pengkhianatann ya terhadap Majapahit. Pahami pergantian jaman, biar kalian tidak didera oleh perang. Tinggalkan kebebalan. D engarkan kebijaksanaan. Kalau perang sudah pecah, tak selembar dau n dapat kalian jadikan pengayoman. Ingat kata-kataku: Kalau kemerosotan ini tak dapat dicegah, takkan lama lagi, dan perang akan pecah di mana-mana. D ari desa dan kota petani-petani akan digiring, mati untuk raja-raja kecil yang tak pernah berbuat apa-apa untuk kalian.”

Ia rendahkan cawan, menaruhnya pada bibir dan meneguknya sekali habis.

“D ewa Batara!” sebutnya keras, berpaling cepat pada kepala desa, kemu dian menudingnya: “Lihatlah ini

tam pang kepala desamu , takut pada kebenaran, pada keadilan, agar dia tetap jadi kepala desa, dia telah racun aku!” Cepat ia tarik mu kanya dan berseru pada para hadirin: “D ia telah racun aku! D an kalian kenal siapa aku, hanya seorang pembicara yang menggaungkan kebenaran milik Maha D ewa.”

Cawan itu dibantingnya pecah di hadapannya. D engan kedua bolah tangan ia menekan perutnya. Bibirnya ia gigit.

Mu kanya pucat.

“Rama!” seseoran g berteriak dan lari ke depan hendak menolongnya.

Rama Cluring bangkit berdiri dengan susah-payah. Kepala desa menolongnya dari belakang, berseru lantang: “Tak ada seorang pun meracun Rama. Kami semua mengh ormati Rama.”

“D engar si mu lut palsu ini! D engarkan , kalian, semua penduduk Awis Kram bil!”

Ia lepaskan diri dari pegangan kepala desa, melom pat keluar dari balai desa.

Setiap guru-pembicara punya gaya dan cara sendiri dalam usaha mem pengaruhi dan mengetahui sampai di

mana pengaruhnya bekerja. Setengah hadirin menganggap tingkahn ya juga bagian dari gaya dan cara. Mereka masih terpaku pada tempatnya bersila.

Yang menganggap benar-benar Rama Cluring terkena racun cepat-cepat bangkit dan lari mem buru. Tak pernah terjadi seorang guru-pembicara mengalami penganiayaan di desa mana pun.

Orang tua itu terus juga berjalan sambil menekan perutnya dengan kedua belah tangan. Ia tak menoleh. Ia menolak tuntunan orang.

G aleng dan Idayu ikut lari mem buru. Tanpa mengindahkan protes Rama Cluring mereka berdua

menunjangn ya pada bahu dan pinggan gnya. D iam-diam mereka bertiga berjalan cepat. D i belakang mereka se- rombongan oran g berseru-seru m emohon amp unnya sambil berlari-lari kecil. G aleng dan Idayu merasai gigilan pada tubuh tua itu.

Idayu melepas kain dada dari bahu dan menyelim utkan pada dada R ama setelah menyembah m eminta ampun. D an Rama tidak menolak.

Tiba-tiba guru berhenti, mem bungkuk dan muntah. “Rama! Rama!” bisik G aleng. “Beri aku minyak kelapa!” pinta Rama Cluring. Ia

mu ntah lagi. “Cepat!” “Mem ang terkena racun !” di belakang orang mem beri

kom entar.

G aleng menyembahnya, cepatnya mengangkatn ya dan mem bawanya ke rumah Idayu, mem baringkannya di atas

am bin bambu. Idayu lari ke dap ur, kembali lagi dan menuangkan minyak kelapa ke mulut oran g tua itu.

meliuk-liuk gelisah pada pinggangn ya.

G uru-pembicara

itu

Ru angan sempit rumah Idayu segera jadi penuh. Orang dud uk berdesak-desak di lantai untuk menyatakan prihatin.

D an setiap oran g menyembah sambil mengu capkan perm ohonan ampun.

“D iam! D iam semua. Rama sedang sakit,” G aleng mem peringatkan. Ia tekan-tekan perut orang tua itu agar mu ntah.

“Air kelapa m uda, kelapa hijau,” seru seseorang. Tak ada poho n kelapa hijau di seluruh Awis Kram bil.

Idayu pergi keluar rumah dan datang lagi mem bawa cawan tanah besar, mengu aki punggung oran g banyak.

D alam cawan itu bukan air kelapa hijau, tapi air kelapa biasa. D ituan gkan seluruhnya ke mulut sang guru.

Mengetah ui bukan kelapa hijau, Rama bergum am: “Semua air adalah air kehidupan. Mati aku, D ewa Batara.” Matanya terbuka dan disapukan pandan gnya pada mereka yang dud uk berdesak di atas lantai. “Pulang, pulang kalian semua.”

“Mereka mencintai dan mengh ormati Ram a. Ampuni mereka yang jahil,” bisik Idayu.

“Terlambat, gadis.” “Mereka masih haus akan kata-katam u.” “Tak ada guna cinta dan hormat, ” Rama meliuk-liuk dan

meringis kesakitan. “Kalau kata-kataku bisa hidup dalam hati mereka, cukup sudah.” Ia mu ntah.

Air kelapa campur minyak keluar dari m ulut berjalurkan dengan benang darah hidup.

Idayu menyeka mu lut, leher dan bahunya yang basah dengan selembar kain.

“Batara!” sahut Idayu. “Mengapa jadi begini, Rama?”

G aleng mengh am piri orang banyak, bergumam mengancam: “Kalau tidak suka pada kata-katanya,

mengapa tak mengu sirnya saja? Atau mem berinya kecubung? Mengapa m esti diracun?”

“Rama G uru juga salah,” seseorang mem bantah. “D iam kau!” bentaknya. “Bagaimana bisa diam? Dia telah mem bahayakan kita

semua: balatentara Tuban itu….” “Siapa kiramu yang meracun?” seseoran g bertanya. “Siapa lagi?”

“Meracun seorang guru…. hanya orang keparat melakukannya. G andarwa pun lebih baik.”

Rama muntah lagi. W arnanya merah seluruhnya. Minyak dan air kelapa tidak mempan. Oran g berlarian mencari lagi di rumah-rum ah. W aktu telah didapatkan Rama Cluring telah tergolek pingsan.

“Terlalu, terlalu,” orang m enyesali.

D an pelita di tengah-tengah ruangan itu, berdiri di atas jagang bambu berkaki, berayun-ayun cepat. Baung anjing dari botakan hutan telah berkurang, kemudian padam sama sekali.

“Rama, Rama,” panggil Idayu, “jangan kutuki kami, jangan sumpahi kami, jangan tulah kami, demi Hyang W idhi, demi desa Rama sendiri, demi kesejahteraan kami semua, ya Rama, Rama…”

0o-d w-o0

Begitu kapal peronda pantai itu merapat pada derm aga bandar Tuban kota, bulan sudah mu lai menggeser ke titik

tertinggi dan kini mu lai agak condong. Seorang dengan menuntun kuda mengh ampiri kapal.

Patragading melompat turun. P enuntun kuda itu bersimp uh kemudian menyembah.

“D irgahayu,” katanya sambil menurunkan sembah nya. Patragading melom pat ke punggung kuda, berpacu,

menem puh jalanan yang diterangi bulan purnama. Beberapa bentar hanya dan sampai ia di hadapan prajurit- prajurit pengawal yang menahannya. Ia tak jadi mem asuki halam an rumah itu, turun, berseru: “Butakah kalian tak me- lihat siapa aku?”

“Tuanku Patragading Jepara. Ampuni kami.” Patragading melompat lagi ke atas kudan ya, mem asuki

halam an luas tertutup rumput pendek dengan pinggiran ditanami bunga-bungaan. Sampai di pendopo seseorang berlarian datan g padanya dan menyembah, kemudian mengambil-alih kuda tunggangannya. Seorang prajurit lain datang, bersimpuh dan menyembah: “Menunggu titah, Tuanku.”

“Bangunkan Sang Patih, sekaran g juga.” Patragading

pinggang tanpa mem pedulikan prajurit yang diperintahnya lari menjauh

berdiri

bertolak

darinya, melalui samping gedung besar itu dan hilang dari pemand angan.

Pendopo yang gelap itu kini diterangi dengan damarsewu pada tengah-tengahnya. Mata-m ata sum bu itu menyala berkibar-kibar dalam barisan seperti prajurit baris. Patragading segera mengh adap ke pendopo, bersimp uh di atas lantai tanah. Kumisnya yang tebal berkilat-kilat, juga camban g dan jenggot. Jelas benar telah diminyaki dengan minyak katel! Kain batiknya terbeber di selingkaran kaki. Kalung dan gelang masnya berkilat-kilat. Ia menunduk dalam .

“Anakanda Patragading!” Sang Patih mem asuki pendopo. Ia berpakaian kain batik, berdestar batik dan

berkerudun g kain batik pula pada dadanya. Patragading

mengangkat sembah. Kemu dian mem betulkan letak kerisnya.

Sang Patih berhenti di tengah-tengah pendopo, dekat pada damarsewu, m enegur “Dingin-dingin begini anakanda datang. Pasti ada sesuatu keluarbiasaan. Mendekat sini, anakan da.”

D an Patragading berjalan mendekat dengan lututnya sambil mengangkat sembah, merebahkan diri pada kaki Sang Patih.

“Ampuni patik, mem bangun kan Paduka pada malam buta begini Kabar duka, Paduka. Balatentara D emak di bawah Adipati Kudu^ memasuki Jepara tanpa diduga-duga, menyalahi aturan perang.”

“Allah D ewa Batara!” sahut Sang Patih. “Itu bukan aturan raja-raja! Itu aturan brandal!”

“Balatentara Tuban tak sempat dikerahkan, Paduka.” “Bagaimana Bupati Jepara?”

“Tewas enggan menyerah Paduka,” Patragading mengangkat sembah. “Sisa balatentara Tuban mundur ke timur kota. Jepara penuh dengan balatentara D emak. Lebih dari tiga ribu oran g.”

“D ari mana D emak dap at mengumpulkan brandal sebanyak itu?”

“Patik tidak tahu, Paduka.” “Apa saja kau kerjakan samp ai tidak tahu? Bukankah

D emak dukuh tidak berarti selama ini?” 1 “Inilah patik m enyerah kan hidup dan m ati patik.”

Sang Patih bertepuk tangan tigakali. Satu regu prajurit berlarian datang, bersenjata tom bak dan perisai.

[1] Minyak kelapa direbus dengan laba-laba tanah jenis besar berwarna dan berbulu hitam untuk penghitam ram but.

2. Setelah itu biasa disebut adipati Unus; setelah meninggal disebut Pangeran Sabrang Lor.

0o-d w-o0

2. Tuban

“Tahan dia ini, Patragading, putra Sang Adipati. Ayahandanya sendiri yang akan menentukan hidup dan

matinya.” Patragading digiring keluar pendopo. Begitu turun ke tanah ia memandangi bulan, mem ukul dadan ya,

bergum am: “Apakah masih patut aku mem bawa mukaku sendiri?”

“Jalan ke kiri, Paduka!” perintah kepala regu, dan berbarislah mereka meninggalkan halaman kepatihan.

Sang Patih masih tegak berdiri di tempatnya. Ia menggalang pelahan, kemudian berbalik dan masuk ke dalam rumah.

Palin g tidak telah seribu tahun perahu dan kapal-kapal berlabuh di bandar Tuban Kota. D ari barat, timur dan

utara. D ari timur orang membongkar rem pah-remp ah dari kepulauan yang belakangan ini mu lai disebut bernama Mameluk (N ama yang diberikan oleh pedagang-pedagang Arab, kemudian berobah jadi Maluku.) dan cendana dari N usa Tenggara. D ari Tuban sendiri oran g memu nggah beras, minyak kelapa, gula garam, minyak tanah dan minyak-minyak nabati lainnya, kulit binatang hutan.

D ari laut bandar Tuban Kota namp ak seperti sepoto ng balok, pepohonan dan tam an-taman. Bila lumut hijau hilang dan mu ncul coklat baru, itulah kamp ung-kamp ung nelayan. Hijau lagi, coklat lagi, dan itulah bandar Pasukan Laut dan galangan kapal. Hijau lagi, coklat lagi, dan itulah bandar alam lainnya yang dimiliki negeri Tuban.

D i atas balok coklat bermulut berdiri barisan perbukitan tebal, kuning, di sana-sini agak hijau. Itulah perbukitan kapur bernama Kendeng.

D an di atas perbukitan adalah langit para dewa. Bandar Tuban adalah bikinan alam yang pemurah,

disempurnakan oleh tangan manusia selam a paling tidak seribu tahun. Lautnya dalam dan dermaganya kokoh, indah, juga bikinan alam, sepoto ng jalur karan g yang menjorok ke laut. Pedagang-pedagang Atas Angin m enamai bandar ini Permata Bumi Selatan.

D an bila orang mendarat dari pelayaran, entah dari jauh entahlah dekat, ia akan berhenti di satu tempat beberapa puluh langkah dari dermaga. Ia akan m engangkat sembah – di hadapannya berdiri Sela Bagin da, sebuah tugu batu berpahat dengan prasasti peninggalan Sri Airlangga. Bila ia meneruskan langkahnya, semua saja jalanan besar yang dilaluinya, jalanan ekono mi sekaligus m iliter. Ia akan selalu berpapasan dengan pribumi yang berjalan tenang tanpa gegas, sekalipun di bawah m atari terik.

Kalau orang datang untuk pertama kali, segera ia akan terpikat melihat lalu lalang. Orang tak henti-hentinya mengangkuti barang dari dan ke bandar, dengan pikulan atau grobak beroda bulat dari potongan batang kayu. Kereta sangat sedikit, apalagi yang beruji kayu. Lebih banyak lagi gro bak beruji. G robak beroda kayu utuh berasal dari pedalaman, yang beruji dari kota sendiri. Penariknya adalah sapi atau kerbau. Seoran g pendatang boleh jadi akan bertanya, mengapa tak ditarik oleh kuda? D an dengan senang hati orang akan menerangkan: tak diperkenankan menggunakan kuda atau diri sendiri untuk penarik grobak

Kalau pendatang itu bertanya: mengapa terlalu sedikit kereta di sini? Ia akan mendapat jawaban: mem ang, tuan jum lahnya taklah lebih dari dua puluh – semua milik para pembesar negeri dan praja, dan milik para panglima Pasukan Pengawal, Pasukan Kaki, Pasukan G ajah dan

Pasukan L aut.

Bila kereta berkuda empat semacam itu lewat, lalu lintas berhenti, menyibakkan diri untuk mem beri penghormatan.