HUKUM VAKSIN

HUKUM VAKSIN
Pertanyaan dari Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Majelis Kesehatan dan Lingkungan Hidup,
tentang status hukum vaksin, khususnya untuk imunisasi polio yang dicurigai memanfaatkan
enzim dari babi.
Jawaban:
1.

Dasar Pemikiran
a. Virus polio adalah virus yang masuk ke tubuh manusia melalui mulut, yang jika tidak
ditanggulangi akan menyebabkan cacat fisik (kaki pincang) atau kelumpuhan pada mereka
yang menderitanya.
b. Terdapat sejumlah anak balita yang menderita kelainan sistem kekebalan tubuh yang
memerlukan vaksin khusus yang diberikan secara injeksi (IPV). Jika anak-anak yang
menderita kelainan sistem kekebalan tubuh tersebut tidak diimunisasi, mereka akan
menderita penyakit polio serta sangat dikhawatirkan pula mereka akan menjadi sumber
penyebaran virus polio.
c. Vaksin adalah sebuah senyawa antigen yang terbuat dari virus yang telah dimatikan atau
dilemahkan Pada dasarnya vaksin berfungsi untuk meningkatkan sistem kekebalan
(imunitas) pada tubuh terhadap virus, yang biasanya dilakukan pada bayi, balita, dan ibu
hamil. Adapun usaha memberikan vaksin ke dalam tubuh untuk menghasilkan sistem
kekebalan tubuh terhadap penyakit/virus disebut vaksinasi. Di Indonesia praktik vaksinasi

yang dilakukan terutama pada bayi dan balita adalah hepatitis B, BCG, polio, dan DPT.
d. Banyak jenis vaksin yang bersumber dari bahan-bahan yang diharamkan, terutama enzim
tripsin yang berasal dari pangkreas babi. Menurut keterangan Prof. Dr. H. Jurnalis Uddin,
bahwa dalam proses pembuatan vaksin polio diperlukan bahan dari babi yang disebut
enzim tripsin. Tanpa enzim tripsin tersebut tidak mungkin vaksin polio dapat dibuat. Enzim
tripsin babi bukanlah bahan baku vaksin, namun hanya dipakai sebagai enzim katalisator
pemisah sel.
e. Tidak digunakannya enzim tripsin sapi atau domba, menurut PT. Biofarma perusahaan
yang memproduksi vaksin di Indonesia, karena memerlukan waktu penelitian yang cukup
lama dan dana yang besar. Belum ada satu pun perusahaan farmasi di dunia yang memakai
enzim tripsin selain babi. Artinya tidak ada pilihan lain, sementara untuk membentengi
anak-anak dari serangan virus polio merupakan satu keharusan. Jika tidak, akan terjadi
malapetaka yang akan diderita seumur hidup.

2.

Dalil-dalil
Beberapa ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw yang dapat dijadikan sandaran
untuk menghukumi masalah vaksin polio ini adalah sebagai berikut:
]591 :2 ، ‫ا ت ْقوا بأيْ ي مْ إلى التّ ْ ة [ال قر‬

Artinya: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, …” [QS. alBaqarah (2): 195]
‫عنْ ج بر عنْ رسو الّه صّى الّه ع يْه سّم أنّه ق ل لّ داء د اء فإ ا أصيب د اء ال ّاء برأ بإ ِْ الّه [ر ا مس م أحم‬
]‫ال س ئي ال فظ لمس م‬

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir, dari Rasulullah saw, bahwasanya beliau bersabda: Setiap
penyakit ada obatnya, maka penyakit telah dikenai obat, semoga sembuh dengan izin Allah.” [HR.
Muslim, Ahmad dan an-Nasai]
‫عنْ أبي ال ّرْداء ق ق رسو اه صّى اه ع يْه سّم إِّ اه أنْز ال ّاء ال ّ اء جعل ل لّ داء د اء فت ا ْا ا ت ا ْا بحرا‬
]‫[ر ا أبو دا د‬
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Darda’, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya
Allah telah menurunkan penyakit dan obat. dan menjadikan bagi setiap penyakit akan obatnya.
Maka hendaklah kamu berobat, tetapi janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram.”
[HR. Abu Dawud]
3.
Analisis hukum
Mencermati dalil-dalil di atas, dapat diambil pengertian bahwa manusia harus senantiasa
menjaga diri agar tidak terkena penyakit yang bisa merusak tubuhnya, dan sudah seharusnya
berobat jika menderita sakit, sepanjang tidak berobat dengan sesuatu yang haram.
Dalam kasus polio, penyakit ini cukup berbahaya bagi manusia. Di sisi lain, vaksin yang
merupakan sarana untuk menghindarkan diri dari penyakit yang berbahaya ini, mengandung unsur

babi, - yang jelas haram dimakan dagingnya, - meskipun bukan merupakan bahan baku, melainkan
sekedar alat (perantara) untuk memisah sel.
Dalam kajian hukum, menghindarkan diri dari penyakit polio merupakan hajah (kebutuhan),
meskipun harus menggunakan vaksin yang memanfaatkan enzim tripsin dari babi. Hal ini sesuai
dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
‫الح جة ت ْز م ْزلة الضّر ر‬
Artinya: “Kebutuhan itu menduduki tempat darurat.”
Demikian pula, babi adalah mafsadah, polio juga mafsadah. Menghadapi dua hal yang samasama mafsadah ini, harus dipertimbangkan mana yang lebih besar madlaratnya dengan memilih
yang lebih ringan madlaratnya. Oleh karena itu, dalam rangka membentengi penyakit polio
dibolehkan menggunakan vaksin tersebut. Hal ini sesuai dengan kaidah:
‫أخفّ م‬
‫إ ا تع رض مفْس ت ِ رعي أعْظم م ضررا ب رْت‬
Artinya: “Apabila bertentangan dua mafsadah, maka perhatikan mana yang lebih besar
madlaratnya dengan dikerjakan yang lebih ringan mafsadahnya.”
Sebagai kesimpulan, dapatlah dimengerti bahwa vaksinasi polio yang memanfaatkan enzim
tripsin dari babi hukumnya adalah mubah atau boleh, sepanjang belum ditemukan vaksin lain yang
bebas dari enzim itu. Sehubungan dengan itu, kami menganjurkan kepada pihak-pihak yang
berwenang dan berkompeten agar melakukan penelitian-penelitian terkait dengan penggunaan
enzim dari binatang selain babi yang tidak diharamkan memakannya. Sehingga suatu saat nanti
dapat ditemukan vaksin yang benar-benar bebas dari barang-barang yang hukum asalnya adalah

haram.
Wallahu a’lam bish-shawab. *fz)
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com
http://tarjihmuhammadiyah.blogspot.com