Pengaruh Vaksinasi kultur klebsiella pnemoniae hasil inaksivasi pemasaran dan radiasi sinar gamma terhadap kondisi fisik serta profil proten serum darah mencit

(1)

TERHADAP KONDISI FISIK SERTA PROFIL PROTEIN SERUM DARAH MENCIT

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Far)

Disusun Oleh : DIANA RAHMAWATI

105102003323

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2009 M / 1430 H


(2)

i

NAMA : Diana Rahmawati

NIM : 105102003323

JUDUL SKRIPSI : Pengaruh Vaksinasi Kultur Klebsiella pneumnoniae Hasil Inaktivasi Pemanasan dan Iradiasi Sinar Gamma Terhadap Kondisi Fisik dan Profil Protein

Serum Darah Mencit

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Zilhadia, M.Si.Apt. Irawan Sugoro, M.Si. NIP: 105408672 NIP:197610182012001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Drs. M. Yanis Musdja, M.Sc, Apt. NIP: 1956010619851010001


(3)

ii

HASIL INAKTIVASI PEMANASAN DAN IRADIASI SINAR GAMMA TERHADAP KONDISI FISIK DAN PROFIL PROTEIN

SERUM DARAH MENCIT

Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan penguji oleh DIANA RAHMAWATI

NIM 105102003323 Pembimbing

Zilhadia, M.Si.Apt. Irawan Sugoro, M.Si.

NIP: 105408672 NIP: 197610182012001

Penguji

Drh. Bhintari M. Biomed S. Hermanto, M. Si Drs. M. Yanis M, M. Sc, Apt Penguji I Penguji II Penguji III

Mengetahui,

Ketua Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Drs. M. Yanis Musdja, M. Sc, Apt

Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Prof. DR. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp. And Tanggal lulus : 26 Nopember 2009


(4)

iii

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Oktober 2009

Diana Rahmawati 105102003323


(5)

iv

Bismillahirrahmanirrahim....

“Kamu sekali

-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan

Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.

Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu

yang tidak seimbang

” (

QS.

Al-Mulk: 3)

“....

Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi

mimpi itu... (Arai)

Skripsi ini dipersembahkan

Teruntuk bapakku tercinta, mama dan adik ku tersayang

Terima kasih untuk segala doa, perhatian

dan semangat yang telah diberikan.


(6)

v

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat

menyelesaikan naskah skripsi yang berjudul “Pengaruh Vaksinasi Kultur

Klebsiella pneumnoniae Hasil Inaktivasi Pemanasan dan Iradiasi Sinar Gamma Terhadap Kondisi Fisik dan Profil Protein Serum Darah Mencit” dengan baik. Tidak lupa shalawat serta salam kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW, semoga kita akan selalu menjadi pengikutnya hingga akhir zaman.

Pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada banyak pihak yang memberikan bantuan baik berupa moril maupun material. Dengan ini penulis ingin sekali mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof.DR. dr. M.K Tadjudin, Sp.And, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. M. Yanis Musdja, M.Sc, Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Ibu Zilhadia, M.Si, Apt. dan Bapak Irawan Sugoro, M.Si, selaku pembimbing dan motivator penulis yang sudah banyak sekali memberikan bimbingan dan kontribusinya, semoga Allah membalas jasanya yang tiada terkira.

4. Kedua Orangtuaku tercinta atas kasih sayang, do’a, dukungan moral dan materi serta pengorbanan yang sudah banyak sekali diberikan tanpa pamrih, yang terus memberi semangat buat penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Kepada adik – adik ku tersayang (Abdul Aziz & Taufiqa Hidayati) yang telah memberikan dukungan dan semangat.


(7)

vi

Band Bulldozer, dan Taekwondo FORSA UIN yang mewarnai duniaku dan semua sahabat-sahabat terbaik yang selalu ada disetiap langkah perjuangan ini.

7. Teman-teman seperjuangan Farmasi khususnya angkatan 2005. Seluruh personil RS. Bhayangkara Selapa POLRI. Semoga persahabatan yang sudah terjalin tidak akan pernah berakhir.

8. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Semoga keikhlasan dan ketulusannya cukuplah Allah SWT yang membalas dengan sebaik-baiknya balasan. Penulis sadar masih banyak kekurangan dalam penulisan, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan skripsi ini. Semoga Skripsi ini bermanfaat dan bisa memberikan sumbangsih kemajuan Ilmu Pengetahuan.

Jakarta, Oktober 2009


(8)

vii

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bakteri Klebsiella pneumoniae ... 6

2.2 Mastitis... 9

2.3 Mencit (Mus musculus) ... 12

2.4 Vaksin ... 14

2.4.1. Vaksin Iradiasi ... 16

2.4.2. Vaksin Pemanasan ... 17

2.5 Sistem Imun... 19

2.5.1. Mekanisme Sistem Imun... 19

2.5.1. Antigen... 20

2.5.3. Antibodi... 22

2.5.4. Interaksi Antigen dan Antibodi... 25

2.6 Imunologi Darah... 26

2.6.1. Serum... 29

2.7 Protein... 30

2.7.1. Denaturasi Protein... 34

2.7.2. Penentuan kuantitas protein dengan metode Lowry... 35

2.8 Elektroforesis... 36

2.8.1. Gel Poliakrilamid... 39

2.8.2. SDS-Polyacrylamide Gel Electrophoresis... 40

BAB III KERANGKA KONSEP ... 45


(9)

viii

4.2.1 Alat Penelitian ... 46

4.2.2 Bahan Penelitian ... 47

4.3 Tahapan Penelitian ... 47

4.4 Prosedur Penelitian... 48

4.4.1 Pembuatan Medium TSB ... 48

4.4.2 Pembuatan Medium TSA ... 48

4.4.3 Inaktivasi K. pneumoniae dengan Pemanasan... 49

4.4.4 Iradiasi K. pneumoniae dengan Sinar Gamma ... 49

4.4.5 Persiapan Hewan Uji ... 50

4.4.6 Uji In vivo ... 51

4.4.7 Uji Tantang ... 51

4.4.8 Pengamatan Persentasi Mortalitas ... 51

4.4.9 Pengambilan Darah ... 51

4.3.10 Penghitungan Sel Darah Merah ... 52

4.3.11 Penghitungan Sel Darah Putih ... 52

4.3.12 Pengamatan Kondisi Fisik ... 53

4.3.13 Pengukuran Protein Serum Darah Mencit ... 53

4.3.14 Karakteristik Profil Protein Bakteri K. pneumoniae ... 53

4.6 Analisa Data ... 55

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ... 56

5.1.1 Persentase Mortalitas. ... 56

5.1.2 Kondisi Fisik ... 57

5.1.3 Analisa Sel Darah Merah & Sel Darah Putih ... 58

a. Hasil Jumlah Sel Darah Putih ... 58

b. Hasil Jumlah Sel Darah Merah ... 59

5.1.4 Analisa Kadar Protein Serum ... 60

5.1.5 Analisa Profil Protein Serum Mencit... 61

5.2 Pembahasan... 63

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 70

6.2 Saran ... 70


(10)

ix

Gambar Halaman

Gambar 1. Bakteri Klebsiella pneumoniae ... 6

Gambar 2. Mencit (Mus musculus) ... 12

Gambar 3. Mekanisme respon imun terhadap antigen ... 26

Gambar 4. Pemisahan protein serum dengan elektroforesis... 29

Gamber 5. SDS-Polyacrylamide Gel Electrophoresis ... 40

Gambar 6. Prinsip kerja SDS-PAGE ... 41

Gambar 7. Bagan kerangka konsep ... 45

Gambar 8. Grafik rata-rata jumlah sel darah putih ... 58

Gambar 9. Grafik rata-rata jumlah sel darah merah ... 59

Gambar 10. Grafik hasil analisa kadar protein serum mencit ... 60

Gambar 11. Hasil foto gel poliakrilamid dari serum mencit ... 61

Gambar 12. Bagan tahap penelitian... 75

Gambar 13. Kurva standar Lowry serum darah mencit... 76

Gambar 14. Standar marker protein ... 78

Gambar 15. Kurva standar marker protein ... 79

Gambar 16. Waterbath ... 104

Gambar 17. Irradiation gamma chamber ... 104

Gambar 18. Larutan Staining dan Destaining ... 104

Gambar 19. Bahan-bahan kimia ... 104

Gambar 20. SDS-PAGE ... 105

Gambar 21. Mikropipet ... 105

Gambar 22. Spektrofotometer ... 105

Gambar 23. Tips... 105

Gambar 24. Proses inaktivasi pemanasan ... 106

Gambar 25. Proses inaktivasi iradiasi ... 106

Gambar 26. Persiapan hewan uji ... 106

Gambar 27. Injeksi secara Intra Peritoneal... 106

Gambar 28. Pengumpulan sampel serum darah ... 107

Gambar 29. Loading sample ... 107

Gambar 30. Preparasi alat SDS PAGE... 107

Gambar 31. Proses staining gel... 107

Gambar 32. Kondisi mencit normal ... 108

Gambar 33. Perbedaan limpa kontrol negatif dan normal... 108

Gambar 34. Perbedaan limpa mencit kontrol negatif dan vaksinasi ... 108

Gambar 35. Mortalitas mencit setelah infeksi K.pneumonie aktif ... 108


(11)

x

Tabel Halaman

Tabel 1. Data bobot molekul immunoglobulin dalam serum ... 25

Tabel 2. Fungsi protein darah dalam tubuh ... 29

Tabel 3. Persentase mortalitas mencit ... 56

Tabel 4. Kondisi fisik mencit ... 57

Tabel 5. Rata-rata jumlah sel darah putih ... 58

Tabel 6. Rata-rata jumlah sel darah merah ... 59

Tabel 7. Hasil analisa kadar protein serum (Metode Lowry) ... 60

Tabel 8. Hubungan konsentrasi protein terhadap absorbansi serum darah mencit ... 76

Tabel 9. Hasil rata-rata kadar protein pada kedua jenis perlakuan ... 77

Tabel 10. Hubungan Log BM terhadap Rf pada kurva standar marker .... 80

Tabel 11. Konsentrasi akrilamid yang digunakan untuk SDS-PAGE ... 81

Tabel 12. Data bobot molekul immunoglobulin dalam serum ... 81

Tabel 13. Hasil analisa bobot molekul protein serum darah mencit kontrol normal & negatif ... 82

Tabel 14. Analisa berat molekul protein serum darah mencit setelah vaksinasi dan uji tantang pemanasan... 84

Tabel 15. Analisa berat molekul protein serum darah mencit setelah vaksinasi dan uji tantang iradiasi ... 87

Tabel 16. Analisa letak pita profil protein serum darah mencit pada vaksin pemanasan ... 91

Tabel 17. Analisa letak pita profil protein serum darah mencit pada vaksin iradiasi ... 92

Tabel 19. Tabel uji Homogenitas protein, SDM, dan SDP ... 94

Tabel 20. Hasil uji Anova analisa protein, SDM dan SDP... 95

Tabel 21. Hasil uji Deskriptif profil protein pemanasan ... 96

Tabel 22. Hasil uji Anova profil protein pemanasan ... 96

Tabel 23. Hasil uji Deskriptif profil protein iradiasi ... 97

Tabel 24. Hasil uji Anova profil protein iradiasi ... 98

Tabel 25. Hasil uji Duncan profil protein iradiasi ... 98

Tabel 26. Hasil uji Duncan pada profil protein iradiasi ... 100

Tabel 27. Hasil uji Anova profil protein pemanasan & iradiasi ... 101


(12)

xi

Lampiran Halaman

Lampiran 1. Bagan Tahapan Penelitian ... 70

Lampiran 2. Kurva Standar Lowry Klebsiella pneumoniae ... 71

Lampiran 3. Hasil Rata- Rata Kadar Protein Dengan Metode Lowry ... 72

Lampiran 4. Standar Marker ... 73

Lampiran 5. Kurva Standar Marker Protein ... 74

Lampiran 6. Hubungan Log BM terhadap Rf pada kurva standar ... 75

Lampiran 7. Konsentrasi akrilamid pada SDS-PAGE ... 76

Lampitan 8. Data Bobot Molekul Immunoglobulin dalam Serum ... 76

Lampiran 9. Hasil Analisa Bobot Molekul Protein Serum Darah Mencit Kontrol Normal & Negatif ... 77

Lampiran 10. Analisa Bobot Molekul Protein Serum Darah Mencit Setelah Vaksinasi dan Uji Tantang Pemanasan ... 79

Lampiran 11. Analisa Berat Molekul Protein Serum Darah Mencit Setelah Vaksinasi dan Uji Tantang Iradiasi ... 83

Lampiran 12. Analisa Letak Pita Profil Protein Serum Darah Mencit Pada Perlakuan Vaksin Pemanasan ... 88

Lampiran 13. Analisa Letak Pita Profil Protein Serum Darah Mencit Pada Vaksin Iradiasi ... 89

Lampiran 14. Hasil Statistik Pada Analisa Jumlah Kadar Protein, Sel Darah Merah dan Sel Darah Putih ... 90

Lampiran 15. Hasil Analisa Profil Protein Pada Perlakuan Vaksinasi dan Uji Tantang Pemanasan... 92

Lampiran 16. Hasil Analisa Profil Protein Pada Perlakuan Vaksinasi dan Uji Tantang Iradiasi ... 94

Lampiran 17. Hasil Analisa Profil Protein Pada Perlakuan Vaksinasi dan Uji Tantang Iradiasi dan Pemanasan... 97

Lampiran 18. Komposisi larutan Elektroforesis ... 100


(13)

xii

Judul : Pengaruh Vaksinasi Kultur Klebsiella pneumnoniae Hasil Inaktivasi Pemanasan dan Iradiasi Sinar Gamma Terhadap Kondisi Fisik serta Profil Protein Serum Darah Mencit

Mastitis adalah salah satu penyakit yang disebabkan oleh bakteri koliform.

K. pneumoniae adalah bakteri gram negatif yang termasuk famili

enterobacteriaceae yang berbentuk batang (basil), merupakan salah satu bakteri koliform penyebab mastitis dan pneumonia. Salah satu cara pencegahan mastitis adalah pemberian vaksin. Teknik nuklir dan pemanasan dapat digunakan untuk memperoleh bahan vaksin. Tujuan penelitian ini untuk memperoleh bahan vaksin dari K.pneumoniae hasil inaktivasi dengan sinar gamma dan pemanasan. Mencit dibagi dalam 4 kelompok, yaitu Kontrol negatif (infeksi kultur aktif

K.pneumoniae), Kontrol normal (injeksi larutan NaCl fisiologis), Perlakuan 800 Gy (infeksi K. pneumoniae hasil inaktivasi dengan iradiasi gamma dosis 800 Gy) dan Perlakuan Pemanasan (infeksi K. pneumoniae hasil inaktivasi dengan pemanasan 65 0C selama 30 menit). Mortalitas mencit pada kelompok Kontrol negatif sebesar 100%, sedangkan pada kelompok Perlakuan 800 Gy maupun pemanasan 65 0C selama 30 menit tidak ada mortalitas. K. pneumoniae hasil inaktivasi dengan sinar gamma dosis 800 Gy dan pemanasan yang diinfeksikan ke tubuh mencit tidak mempengaruhi kondisi fisik mencit, jumlah sel darah merah, jumlah sel darah putih pasca vaksinasi dan uji tantang. Secara statistik hasil profil protein terdapat perbedaan bermakna pada kelompok perlakuan (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa bakteri hasil inaktivasi dengan iradiasi 800 Gy dan pemanasan dapat digunakan sebagai bahan vaksin.


(14)

xiii

Title : Vaccination Influence of Klebsiella pneumonia inactivated by heating and gamma irradiation at Physical Condition and Protein profile of Mice Blood Serum

Mastitis is one of disease caused by coliform bacteria. Klebsiella pneumoniae is a gram-negative bacteria including enterobacteriaceae family which in form of bar (bacillus), is one of coliform bacteria causing mastitis and pneumonia. Vaccination is a method to prevent mastitis. Nuclear technique appears to be applicable to get vaccine material. The aim of this research is to get the K. pneumonia resulted from gamma ray that has been inactivated. Mice divided into 4 groups, negative control (infected by active cultur of K. pneumoniae), normal control (injection of fisiologis NaCl solution), 800 Gy treatment (infection of inactivated K. pneumoniae by gamma irradiation dose 800 Gy) and 65 0C heat treatment (infection of inactivated K. pneumoniae by 30 minutes heat treatment at 65 0C). Mortality rate on negative control reached 100%, whereas the treatment group and 800 Gy & 65 0C heat treatment there was no mortality. K. pneumoniae inactivation of the gamma ray dose of 800 Gy and 30 minutes heat treatment at 65 0C to the mice did not affect the physical condition of mice, amount of red blood cells, white blood cell of mice after vaccination and challenge tests. Protein profile are significant differences in the treatment group (p <0.05). This indicates that bacterial inactivation by irradiation 800 Gy and heating can be used as a candidate for vaccine and vaccine manufacture.


(15)

1

1.1 LATAR BELAKANG

Protein hewani merupakan suatu kebutuhan manusia yang sangat penting, salah satunya dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi susu. Susu yang paling banyak dikonsumsi masyarakat berasal dari sapi perah. Kendala yang dihadapi para peternak dalam usaha peningkatan produktivitas sapi adalah penyakit radang ambing atau disebut juga mastitis. Mastitis adalah penyakit radang ambing yang merupakan radang infeksi. Biasanya penyakit ini berlangsung secara akut, sub akut maupun kronis. Mastitis ditandai dengan peningkatan jumlah sel di dalam air susu, perubahan fisik maupun susunan air susu dan disertai atau tanpa disertai perubahan patologis dari kelenjarnya sendiri (Subronto, 2003).

Di Indonesia kasus mastitis masih banyak terjadi, berdasarkan penelitian terdahulu kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi (95-98%) dan menimbulkan banyak kerugian (Sudarwanto, 1999). Kasus terjadi terutama pada peternakan kecil yang kurang memperhatikan kondisi kandang maupun tingkat kebersihannya. Sehingga perlu dilakukan pengendalian ataupun pengobatan yang efektif untuk penyakit ini. Mastitis yang terjadi pada sapi perah dapat menurunkan tingkat produksi hingga 20%. Hal-hal yang menyebabkan kerugian begitu besar ini diantaranya karena produksi susu yang menurun, ongkos perawatan dan pengobatan, banyaknya air susu yang terbuang karena diafkir, serta kenaikan biaya penggantian sapi untuk kelangsungan produksi (Sugoro, 2004).


(16)

Mastitis dapat disebabkan oleh bakteri Streptococcus agalactiae, Str. dysgalactiae, Str. uberis, Str. zooepidemicus, dan Staphylococcus aureus, serta bakteri coliform, seperti Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli, dan berbagai spesies lain yang juga bisa menyebabkan terjadinya mastitis walaupun dalam persentase kecil. Bakteri koliform banyak menginfeksi ambing sapi karena banyak terdapat pada feses, sehingga ketika sapi duduk di lantai atau pada saat pemerahan, bakteri dapat masuk ke ambing melalui lubang atau kanal puting (Gibco, 2000).

Dilihat dari faktor penyebabnya yaitu bakteri, memang penggunaan antibiotik sangatlah tepat untuk pengobatan penyakit ini. Namun pemberian antibakteri yang tidak sesuai dengan aturan medis dapat menimbulkan dampak negatif seperti timbulnya residu pada produk ternak dan resistensi bakteri terhadap antibakteri. Residu antibakteri dapat mengganggu kesehatan manusia dan juga mengganggu proses pengolahan produk asal susu. Vaksinasi merupakan salah satu upaya mencegah penyakit serta terjadinya resistensi bakteri dan residu antibakteri. Jika paradigma kesehatan hewan dapat mengutamakan vaksinasi daripada kemoterapi maka secara bertahap residu antibakteri dan resistensi bakteri akan hilang (Soeripto, 2002).

Vaksin dapat diperoleh dengan cara konvensional yaitu metode kimia dan pemanasan atau menggunakan iradiasi. Vaksin konvensional yang umum digunakan adalah dengan menginaktivasi sel bakteri melalui pemanasan, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemanasan dengan suhu 65 0C selama 30 menit dapat menginaktivasi bakteri K. pneumoniae tanpa perubahan antigen protein (Indriastuti, 2008).


(17)

Radiovaksin adalah teknik pembuatan vaksin dengan cara iradiasi. Sumber radiasi yang digunakan untuk pembuatan radiovaksin adalah sinar gamma, sinar tersebut digunakan untuk menurunkan infektivitas, virulensi, dan patogenitas agen penyakit, tetapi diharapkan mampu merangsang timbulnya kekebalan pada tubuh terhadap infeksi penyakit (Sugoro, 2007). Dari penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa dosis yang diperlukan untuk menginaktivasi sel bakteri K. pneumoniae adalah antara 600 Gy – 1.500 Gy dengan antigen protein yang tidak berubah. Iradiasi mempengaruhi antigen protein dari sel K. pneumoniae pada kisaran berat molekul 35, 36, dan 60 kDa dengan peningkatan intensitas atau konsentrasi (Agustina, 2008).

Isolat yang digunakan dalam penelitian ini sebagai bahan vaksin yaitu

K. pneumoniae (K3) hasil isolasi dari susu sapi yang terinfeksi mastitis akut yang berasal dari daerah Garut, Jawa Barat. Isolat ini telah diuji menggunakan medium selektif bakteri koliform yaitu Mc Conkey Agar serta diuji patogenitas dan resistensinya terhadap antibiotik. K. pneumoniae

merupakan bakteri yang dominan setelah E. coli (Sugoro, 2007).

Dalam penelitian ini telah dilakukan pengujian lebih lanjut secara in vivo untuk memperoleh profil protein serum mencit yang telah divaksinasi dengan vaksin yang dibuat menggunakan metode berbeda yaitu pemanasan dan iradiasi. Pita protein immunologlobulin G yang berperan dalam imunisasi diharapkan dapat terlihat pada kisaran berat molekul 150 KDa. Penelitian dilakukan bersamaan dengan pengamatan persentase mortalitas, kondisi fisik, dan gambaran darah hewan uji, sehingga data tersebut akan menunjang pemahaman mengenai kinerja bahan vaksin. Diharapkan data


(18)

profil protein dapat memberikan informasi mengenai keberadaan protein antibodi yang terbentuk, sehingga dapat menentukan metode pembuatan vaksin yang terbaik serta mengetahui potensi bahan vaksin K. pneumoniae

inaktif.

1.2 PERUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana pengaruh vaksinasi K. pneumoniae hasil inaktivasi dengan pemanasan dan iradiasi pada mencit mempengaruhi hasil kadar protein serum ?

2. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara profil protein pada serum mencit yang diinfeksi K. pneumoniae hasil inaktivasi dengan pemanasan dan iradiasi ?

3. Bagaimana pengaruh vaksinasi K. pneumoniae hasil inaktivasi dengan pemanasan dan iradiasi dapat mempengaruhi kondisi fisik mencit ?

1.3 HIPOTESIS

1. Vaksinasi bakteri K. pneumoniae hasil inaktivasi pemanasan dan iradiasi dapat mempengaruhi hasil kadar protein serum.

2. Terdapat perbedaan antara karakterisasi profil protein pada serum mencit yang diinfeksi K. pneumoniae hasil inaktivasi dengan pemanasan dan iradiasi.

3. Infeksi K. pneumoniae hasil inaktivasi pemanasan dan iradiasi bakteri dapat mempengaruhi kondisi fisik mencit.


(19)

1.4 TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui hasil kadar protein serum dan karakterisasi profil protein serum mencit yang diinfeksi K. pneumoniae hasil inaktivasi pemanasan dan iradiasi.

2. Mengetahui pengaruh infeksi K. pneumoniae hasil inaktivasi pemanasan dan iradiasi terhadap kondisi fisik mencit.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui perubahan kondisi fisik dan respon imun yang ditimbulkan setelah mencit divaksinasi dengan bakteri K. pneumoniae hasil inaktivasi dengan pemanasan dan iradiasi, mengetahui persentase mortalitas mencit serta memperoleh informasi dari data kadar protein serum serta profil protein serum hasil elektroforesis

dengan SDS-PAGE sehingga dapat diketahui metode inaktivasi

K. pneumoniae yang paling sesuai dan tepat dalam pembuatan vaksin


(20)

6

2.1 BAKTERI Klebsiella pneumoniae

Gambar 1. Bakteri Klebsiella pneumoniae (Sugoro, 2004 ). Klasifikasi :

Kingdom : Bacteria Filum : Proteobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria Ordo : Eubacteriales

Famili : Enterobacteriaceae Suku : Escherichiae Genus : Klebsiella

Spesies : Klebsiella pneumoniae

Klebsiella pneumoniae pertama kali ditemukan oleh Carl Friedlander. Carl Friedlander adalah patologis dan mikrobiologis dari Jerman yang membantu penemuan bakteri penyebab pneumonia pada tahun 1882. Carl Friedlander adalah orang yang pertama kali mengidentifikasi bakteri K.


(21)

jasanya, K. pneumoniae sering pula disebut bakteri Friedlander. Bakteri K. pneumoniae tumbuh di bawah kondisi aerob pada suhu 12-43 0C dengan pertumbuhan optimum pada suhu 35-37 0C dan minimum di bawah kondisi anaerob. pH optimum untuk pertumbuhan adalah 7,2. Umumnya, bakteri ini dapat menggunakan sitrat dan glukosa sebagai sumber karbon satu-satunya dan ammonia sebagai sumber nitrogen (Sugoro, 2004).

K. pneumoniae adalah bakteri Gram negatif berukuran 0,3-1,5 μm × 0,6-6,0 μm yang berbentuk batang (basil). K. pneumoniae tergolong bakteri yang tidak dapat melakukan pergerakan (non motil). Berdasarkan kebutuhannya akan oksigen, K. pneumoniae merupakan bakteri fakultatif anaerob. K. pneumoniae dapat memfermentasikan laktosa. Pada uji dengan indol, K. pneumoniae akan menunjukkan hasil negatif. K. pneumoniae dapat mereduksi nitrat. K. pneumoniae banyak ditemukan di mulut, kulit, dan saluran usus, namun habitat alami dari K. pneumoniae adalah di tanah.

Mastitis dapat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu ternak itu sendiri, mikroorganisme penyebab mastitis, dan faktor lingkungan. Penyebab utama mastitis disebabkan oleh infeksi bakteri koliform, diantaranya Enterococcus aureus, E. faecium, E. faecalic, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, dan

Yersinia enterocolitica. Bakteri ini dapat menginfeksi kelenjar susu akibat adanya kontak antara kelenjar susu dengan feses, dimana feses merupakan sumber bakteri koliform (Sugoro, 2004). Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri yang dominan setelah Escherichia coli (Sugoro, 2007).

Penyakit mastitis yang disebabkan oleh bakteri koliform, seperti


(22)

< 15% dari binatang yang terinfeksi menunjukkan infeksi kronis. Mastitis yang disebabkan bakteri koliform umum terjadi di alam tetapi banyak hewan yang terinfeksi kurang menunjukkan tanda-tanda sistemik dari penyakit. Gejala klinis yang berhubungan dengan infeksi bakteri koliform adalah hasil dari endotoksin bebas dari dinding sel bakteri gram negatif. Sangat jarang ditemukan akibat jangka panjang dari infeksi bakteri koliform (Ruegg, 2001).

K. pneumoniae mampu memproduksi enzim ESBL (Extended

Spektrum Beta Lactamase) yang dapat melumpuhkan kerja berbagai jenis antibiotik. Hal ini dapat menyebabkan bakteri kebal dan menjadi sulit dilumpuhkan. Beberapa jenis K. pneumoniae dapat diobati dengan antibiotik, khususnya antibiotik yang mengandung cincin beta-laktam. Contoh antibiotik tersebut adalah ampisilin, karbenisilin, amoksisilin, dll (Sugoro, 2004).

Bakteri yang resisten dapat mengancam kehidupan manusia atau hewan karena dapat meningkatkan morbiditas penyakit dan mortalitas akibat kegagalan pengobatan. Selain itu, biaya pengobatan juga meningkat karena harus menggunakan antibakteri dosis tinggi atau lebih dari satu macam antibakteri, atau menggunakan antibakteri baru yang harganya lebih mahal (Soeripto, 2002).

K. pneumoniae memiliki dua tipe antigen pada permukaan selnya yang

dapat menyebabkan penyakit serta meningkatkan patogenitas K. pneumonia,

yaitu lipopolisakarida (antigen O) yang terdapat dalam sembilan varietas dan kapsul polisakarida yang dikelilingi oleh kapsula dengan lebih dari 80 varietas disebut sebagai (antigen K). Kedua jenis antigen ini berperan dalam patogenisitas tersebut (Umeh and Geffen, 2006).


(23)

2.2 MASTITIS

Mastitis berasal dari bahasa Yunani, kata mastitis [(masti’ (te) tis) mastos, breast, -itis, inflamation], adalah pembengkakan atau inflamasi pada jaringan internal kelenjar ambing, atau kelenjar mammae. Istilah tersebut dideskripsikan untuk mengindikasi perubahan karena penyakit pada kelenjar mammae, atau puting, yang dikarakterisasi dengan perubahan bentuk radang ambing, sehingga mengakibatkan perubahan pada produk yang disekresikan atau secara etiologi dapat dikatakan infeksi, perubahan suhu, kimiawi tubuh atau luka (Spangler, 1997). Mastitis adalah peradangan kelenjar ambing yang terjadi pada semua jenis mamalia. Mastitis dapat diklasifikasikan secara klinik sebagai penyakit akut, subklinik atau kronis, tergantung dari keganasan penyakit (Subronto, 2003).

Mastitis akut merupakan inflamasi yang terjadi pada seperempat atau keseluruhan puting diikuti dengan gangguan sistemik yang disertai dengan peningkatan suhu tubuh. Tipe mastitis ini mempengaruhi jaringan sekresi, sehingga hasil sekresi hanya sedikit dan mengandung darah (Spangler, 1997). Sedangkan mastitis subklinik biasanya diawali dengan perubahan karakter dari sekresi dan jaringan ambing yang kurang terlihat jelas. Pembengkakan atau iritasi sangat kecil sehingga tidak menunjukkan suatu gejala yang muncul (Wahyuni, 2005). Mastitis kronik berkembang secara pelan-pelan dan tidak menunjukkan gejala klinis. Ketika pembengkakan dan iritasi meningkat, karakter sekresi menjadi abnormal dan jumlahnya berkurang. Ini adalah bentuk paling umum dari mastitis (Ruegg, 2001).


(24)

Peradangan dapat terjadi pada satu kelenjar atau lebih dan mudah dikenali apabila pada kelenjar susu menampakkan gejala peradangan yang jelas. Kelenjar ambing membengkak, edematus berisi cairan eksudat disertai tanda-tanda peradangan lainnya, seperti suhu meningkat, kemerahan, rasa sakit dan penurunan fungsi. Akan tetapi seringkali sulit untuk mengetahui kapan terjadinya suatu peradangan, sehingga diagnosis terhadap mastitis sering dilakukan melalui pengujian pada produksi susu, misalnya dengan melakukan penghitungan jumlah sel somatik dalam susu (Paryati, 1997). Mastitis terjadi karena masuknya bakteri melalui saluran puting dan berkembang biak di dalam susu yang diproduksi jaringan sehingga menimbulkan radang. Biasanya mastitis disebabkan oleh bakteri seperti

Escherichia coli, Streptococcus agalactiae, Staphyococcus dysgaactiae,

Streptococcus uberis, Streptococus bovis, Enterococcus faecium,

Enterococcus faecium, Klebsiella pneumoniae, Klebsiella oxytoca, dan Enterobacter aerogenes (Sugoro, 2004). Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri yang dominan setelah Escherichia coli (Sugoro, 2007). Secara spesifik E.coli dan K. pneumonia adalah spesies bakteri koliform yang merupakan bakteri paling umum ditemukan pada infeksi intramammary dan mastitis klinis, infeksi intramammary yang disebabkan oleh K. pneumoniae

berkisar antara 21 hari (Hogan, 2002).

Mikroorganisme masuk melalui saluran puting dengan berbagai cara. Diantaranya pemerahan, di mana mikroorganisme masuk melalui saluran puting atau hasil perpindahan secara fisik dari ujung puting yang ditekan akibat pergerakan sapi. Selama pemerahan dengan mesin, mikroorganisme


(25)

mungkin terdorong masuk melalui saluran puting ke dalam puting sisterna (Sugoro, 2004).

Proses infeksi radang ambing terjadi melalui beberapa tahap, yaitu adanya kontak dengan mikroorganisme, kemudian dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme tersebut ke dalam kelenjar akibat lubang puting yang terbuka ataupun karena adanya luka. Tahap berikutnya, terjadi respon imun pada induk semang, dengan respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya leukosit-leukosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel ambing. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan mengalami multiplikasi dan sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam (Duval, 1997).

Pencegahan atau pengendalian penyakit mastitis dapat diakukan dengan vaksinasi. Pemberian vaksin pada prinsipnya dapat mencegah terjadinya infeksi (Syukur, 2000). Vaksin yang mengandung seluruh sel dapat mencegah efek infeksi. Pencegahan dengan vaksinasi akan memberikan dampak yang lebih baik daripada dengan kemoterapi, karena tidak menimbulkan resistensi dan tidak akan meninggalkan residu pada produk ternak (Soeripto, 2002).

Pengembangan vaksin bakteri untuk ternak diharapkan dapat memenuhi kriteria yang tidak memberatkan peternak khususnya nilai ekonomi, karena hal ini berkaitan erat dengan nilai jual ternak (Maroney, 2005). Secara teknis vaksin harus memenuhi kriteria dapat memberikan perlindungan semaksimal mungkin terhadap ternak yang divaksin dan


(26)

terhadap fetus melalui ”maternal immunity”, tidak menimbulkan sakit jika

diaplikasikan dan cara pemberiannya mudah serta tidak berulang-ulang agar dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya, serta tidak menimbulkan stress berulang pada ternak. Vaksinasi dapat menggunakan vaksin aktif dan inaktif (Soeripto, 2002).

2.3 MENCIT (Mus musculus)

Gambar 2. Mencit (Mus musculus) (Sugoro, 2004). Klasifikasi

Kingdom : Animalia Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Rodentia

Famili : Muridae

Suku : Murinae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

Mencit merupakan hewan percobaan yang dapat sering digunakan dalam penelitian in vivo. Tetapi karena hewan ini paling kecil di antara berbagai jenis hewan percobaan dan karena amat banyak galurnya, sehingga


(27)

hewan ini disebut mencit. Mencit liar atau mencit rumah adalah hewan semarga dengan mencit laboratorium. Hewan tersebut tersebar di seluruh dunia dan sering ditemukan di dekat atau di dalam gedung dan rumah yang dihuni manusia. Mencit juga banyak ditemukan di daerah lain yang tidak dekat dengan manusia, jika ada makanan dan tempat berlindung. Semua galur mencit laboratorium yang ada pada waktu ini merupakan turunan dari mencit liar sesudah melalui peternakan selektif (Yuwono, 1990).

Mencit laboratorium mempunyai berat badan yang hampir sama dengan mencit liar, yaitu 18-20 gram pada umur 4 minggu dan 30-40 gram pada umur 6 minggu atau lebih, tetapi setelah diternakkan secara selektif sejak tahun 1920, sekarang ada berbagai warna dan timbul banyak galur dengan berat badan berbeda-beda. Mencit laboratorium dapat di kandang dalam kotak sebesar kotak sepatu. Kotak dapat dibuat dari berbagai macam bahan, misalnya plastik (polipropilen atau polikarbonat), aluminium, atau baja tahan karat (stainless steel). Kadang-kadang mencit dapat ditempatkan di kandang yang mempunyai dinding dan lantai dari kawat (Yuwono, 1990).

Kualitas makanan berpengaruh pada kondisi mencit, di antaranya mata, hidung, gerak dan rambut yang dapat mempengaruhi kemampuan mencit mencapai potensi genetik untuk tumbuh, berbiak, umur, atau reaksi terhadap pengobatan dan lain-lain. Oleh karena itu status makanan hewan yang diberikan dalam percobaan biomedis mempunyai pengaruh nyata pada kualitas hasil percobaan. Persiapan dalam menyediakan makan mencit yang lengkap termasuk memperhatikan kira-kira 50 komponen penting. Persiapan ini meliputi membuat resep dan membuat makanan sehingga mengandung


(28)

komponen-komponen dengan kadar yang diperlukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mempunyai pengaruh terhadap kualitas makanan termasuk apakah bahan makanan mudah dicerna, lezat dan mencit berselera untuk makan, cara menyiapkan dan menyimpan makanan serta konsentrasi zat kimia atau bahkan bahan pencemar (Sugoro, 2007).

Jumlah eritrosit pada mencit betina umur 3 minggu lebih besar dari pada mencit jantan, tetapi pada umur 8 minggu jumlah eritrosit mencit betina lebih kecil dari pada mencit jantan. Hal ini karena adanya hormon testosteron yang merangsang eritroblast. Jumlah eritrosit mencit jantan umur 3 minggu adalah 6.490 ± 0,339 juta/mL dan pada mencit betina 6.690 ± 0,192 juta/mL. Sedangkan pada umur 8 minggu, jumlah eritrosit mencit jantan 7.072 ± 0,348 juta/mL dan pada mencit betina 6.864 ± 0,478 juta/mL. Jumlah leukosit mencit jantan umur 3 minggu adalah 6.800 ± 1.800 ribu/mL dan mencit betina adalah 7.200 ± 1.700 ribu/mL. Sedangkan pada umur 8 minggu, jumlah leukosit mencit jantan 5.500 ± 1200 ribu/mL dan pada mencit betina 5.900 ± 1500 ribu/ml (Farid , 2005).

2.4 VAKSIN

Menurut Farmakope Indonesia (edisi IV). Vaksin adalah sediaan yang mengandung zat antigenik yang mampu menimbulkan kekebalan aktif dan khas pada manusia. Vaksin dibuat dari bacteria, riketsia, atau virus dan dapat berupa suspensi organisme hidup atau inaktif atau fraksi-fraksinya atau toksoid (Ditjen POM, 1995). Empat macam tipe vaksin adalah : (1) vaksin inaktif dari organisme patogen yang dimatikan, (2) vaksin aktif dari


(29)

organisme yang dilemahkan, (3) vaksin dengan subunit protein hasil rekombinasi, dan (4) vaksin asam nukleat (Tetriana, 2007).

Vaksin diperoleh dari suspensi biakan mikroorganisme yang telah dimatikan atau yang hidup tetapi telah diatenuasi (memiliki virulensi yang sudah dilemahkan), sehingga tidak menimbulkan penyakit dan dapat merangsang pembentukan kekebalan atau antibodi bila diinfeksikan (Gibco, 2000).

Vaksin merupakan suatu sarana yang dapat mencegah terjadinya penyakit infeksi berat dengan cara membawa sistem imun tubuh ke dalam suatu keadaan siaga. Vaksin memiliki sebagian ciri antigenik organisme patogen atau toksin, tetapi tanpa membawa aktivitas biologis yang merugikan. Beberapa diantaranya dibuat dengan jalan melemahkan organisme patogen, misalnya dengan pemanasan atau dengan reaksi kimia tertentu. Vaksin lain berisi organisme sejenis yang kurang sifat patogennya. Tujuannnya adalah mendapatkan antigen dengan pengaruh buruk sekecil mungkin, tetapi tetap mengandung determinan patogen sehingga antibodi yang terbentuk dapat mengikat patogen (McGilvery, 1996).

Ketika vaksin diberikan, maka vaksin menstimulasi reaksi imun, sehingga akan memberikan kekebalan aktif pada penerima vaksin. Vaksin membantu mencegah terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh patogen yang sama ataupun patogen yang mirip antigennya. Vaksin digunakan sebagai

prophylactical (zat pencegah penyakit) untuk mencegah terjadinya penyakit yang mungkin dialami oleh penerima vaksin. Vaksin dipersiapkan untuk


(30)

melindungi tubuh dari serangan mikroba lain yang berbahaya, seperti halnya racun (Headon, 1994).

Pencegahan penyakit mastitis dengan menggunkan vaksin di Indonesia belum banyak digunakan, karena kurangnya informasi dan harga yang masih relatif mahal. Salah satu produk vaksin yang beredar di pasaran adalah

Somato staph dan Lysigen untuk mastitis yang disebabkan oleh bakteri

Sthaphylococus aureus, J5 Bacterin dan Mastiguard untuk bakteri koliform, dan Endovac bovi untuk bakteri Gram negatif (Sugoro, 2004).

Vaksin-vaksin tersebut ini telah banyak digunakan oleh para peternak di Amerika Serikat, Selandia Baru dan Australia serta dapat menurunkan kejadian mastitis sampai dengan 60% (Sugoro, 2007). Vaksin bekerja melawan bakteri penyebab mastitis, melalui mekanisme antigen-antibodi. Semua formula vaksin mastitis koliform menggunakan antigen dari bakteri Gram negatif untuk menghasilkan imunitas dalam melawan endotoksin (Ruegg, 2001).

2.4.1 Vaksin Iradiasi

Organisme dapat dimatikan atau diinaktivasi dengan berbagai macam bahan kimia atau dengan perlakuan fisik. Atenuasi secara normal dicapai dengan membiakkan organisme pada inang yang tidak biasa. Sediaan vaksin yang aman untuk melawan bermacam toksin bakteri dibuat dengan menginaktivasi toksin tersebut sehingga sifat racun dapat hilang, sementara imunogenitasnya masih ada (Headon, 1994).

Vaksin iradiasi adalah agen penyakit (antigen) yang telah dilemahkan dengan sinar radiasi (dalam hal ini sinar  dari sumber 60Co), sehingga


(31)

menurunkan infektivitas, virulensi atau patogenitasnya tetapi masih mampu merangsang tanggap kebal protektif pada hospes (induk semang) yang mengalami infeksi kemudian oleh agen penyakit tersebut. Hal yang penting selain mendapatkan dosis optimum iradiasi selama melakukan pengembangan vaksin adalah optimasi laju dosis. Laju dosis akan mempengaruhi proses kualitas vaksin yang diinaktivasi atau dilemahkan (Tetriana, 2007).

Pemanfaatan teknik nuklir radiasi yang dilakukan di bidang peternakan terutama di subbidang kesehatan ternak, yaitu untuk melemahkan patogenisitas penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus dan cacing. Pemanfaatan radiasi telah menghasilkan radiovaksin, reagen diagnostik, dan pengawetan (Sanakkayala, 2005). Radiovaksin adalah teknik pembuatan vaksin dengan cara iradiasi. Sumber radiasi yang digunakan untuk pembuatan radiovaksin adalah sinar gamma yang digunakan untuk menurunkan infektivitas, virulensi, dan patogenitas agen penyakit, tetapi diharapkan mampu merangsang timbulnya kekebalan pada tubuh terhadap infeksi penyakit (Sugoro, 2004).

2.4.2 Vaksin Pemanasan

Prinsip yang penting dalam pembuatan vaksin adalah metode inaktivasi harus memusnahkan inefektivitas organisme, tetapi sifat antigeniknya harus tidak berubah. Untuk inaktivasi, organisme memerlukan perlakuan khusus supaya inaktivasi dapat sempurna, kondisi tersebut akan dapat merusak antigen. Vaksin dapat diperoleh dengan cara konvensional, baik secara kimia maupun pemanasan. Vaksin konvensional yang umum


(32)

digunakan adalah dengan menginaktivasi sel bakteri melalui pemanasan (Suwandi, 1990).

Inaktivasi tersebut juga melibatkan perubahan konformasi protein. Protein merupakan suatu enzim yang berfungsi sebagai katalisator. Beberapa jenis protein sangat peka terhadap perubahan lingkungannya. Aktivitas protein ini banyak tergantung pada struktur dan konformasi molekul protein yang tepat. Apabila konformasi molekul protein berubah, misalnya oleh perubahan suhu, maka aktivitas biokimiawinya akan berkurang (Suwandi, 1990).

Heat Shock Protein (HSP) merupakan suatu tekanan pada protein di semua sel. Protein ini dibentuk ketika sel mengalami berbagai tekanan dari lingkungannya seperti panas, dingin dan kehilangan oksigen. HSP berperan dalam fungsi seluler dasar seperti pelipatan protein, lalu lintas protein, dan translokasi protein pada membran. Peran HSP secara umum adalah sebagi molekul chaperone (protein pengarah protein) (Goldman, 2005).

Perubahan konformasi alamiah menjadi suatu konformasi yang tidak menentu merupakan suatu proses yang disebut denaturasi. Proses denaturasi ini biasanya dapat berlangsung secara reversibel atau tidak reversibel. Penggumpalan protein biasnya didahului oleh proses denaturasi yang berlangsung dengan baik pada titik isoelektrik protein tersebut. Protein akan mengalami koagulasi apabila dipanaskan pada suhu 50 0C atau lebih. Selain oleh pH, suhu tinggi dan ion logam berat, denaturasi juga dapat pula terjadi oleh adanya gerakan mekanik, alkohol, aseton, eter dan deterjen (Poedjiadi, 1994).


(33)

2.5 SISTEM IMUN

2.5.1 Mekanisme Sistem Imun

Mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri dipengaruhi oleh struktur dan patogenitas bakteri. Pada sebagian besar infeksi, ada keseimbangan antara kemampuan sistem pertahanan tubuh untuk melawan infeksi dengan kemampuan mikroorganisme untuk menghindar dari sistem pertahanan tubuh. Namun demikian, manifestasi penyakit infeksi dapat terjadi bila respon imun pejamu terhadap infeksi tidak adekuat atau tidak tepat (innappropriate) (Baratawidjaja, 2004).

Respon imun sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenali molekul asing (antigen) yang terdapat pada patogen potensial dan kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan sumber antigen yang bersangkutan (Kresno, 2003).

Bila sistem imun terpapar pada zat yang dianggap asing, maka ada dua jenis respon imun yang mungkin terjadi, yaitu respon imun nonspesifik, dan sistem imun spesifik. Respon imun nonspesifik umumnya merupakan imunitas bawaan (innate immunity) dalam arti bahwa respon terhadap zat asing dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar pada zat tersebut, sedangkan respon imun spesifik merupakan respon didapat (acquired) yang timbul terhadap antigen tertentu, terhadap mana tubuh pernah terpapar sebelumnya (McGilvery, 1996).

Gambaran umum respon imun terhadap mikroba adalah sebagai berikut :


(34)

1. Pertahanan terhadap mikroba diperantarai oleh mekanisme efektor imunitas bawaan (nonspesfik) maupun imunitas didapat (spesifik). Berbagai jenis mikroba dapat melawan respon imun nonspesifik, dan dalam keadaan demikian proteksi terhadap mikroba tersebut sangat bergantung pada respon imun spesifik, dalam arti bahwa respon imun spesifik meningkatkan fungsi sistem imun nonspesifik

2. Respon imun non-spesifik terhadap mikroba memegang peranan penting dalam menentukan respon imun spesifik yang akan berlangsung

3. Dalam upaya melawan mikroba secara efektif, sistem imun mampu memberikan respon yang spesialistik dan berbeda terhadap berbagai jenis mikroba. Karena berbagai jenis mikroba berbeda satu dengan yang lainnya dalam pola invasi dan kolonisasi dalam pejamu, maka eliminasinya memerlukan sistem efektor yang berbeda-beda.

4. Survival dan patogenitas mikroba sangat dipengaruhi oleh kemampuan mikroba itu untuk menghindar dari sistem imun pejamu

5. Kerusakan jaringan dan penyakit sebagai konsekuensi infeksi pada umumnya disebabkan oleh respon pejamu terhadap mikroba bersangkutan (Kresno, 2003).

2.5.2 Antigen

Sistem alamiah tubuh ditunjang oleh suatu tanggapan yang amat spesifik sehingga terciptalah ketahanan tubuh terhadap senyawa asing, setelah perjumpaan awal dengan senyawa tersebut. Senyawa yang dapat menimbulkan tanggapan semacam ini disebut antigen (McGilvery, 1996). Antigen (Ag) merupakan suatu unsur yang dapat bereaksi dengan suatu


(35)

antibodi. Tidak semua antigen dapat menginduksi produksi antibodi, hal tersebut juga dapat disebut imunogen (Jawetz, 2004).

Antigen adalah bahan yang dapat merangsang respon imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada tanpa memperhatikan kemampuannya untuk merangsang produksi antibodi. Secara fungsional antigen dibagi menjadi imunogen dan hapten (Kresno, 2003).

Kompleks yang terdiri atas molekul kecil (disebut hapten) dan molekul besar (disebut karier atau molekul pembawa) dapat berperan sebagai imunogen. Contoh hapten ialah berbagai golongan antibiotik dan obat lainnya dengan berat molekul kecil. Hapten biasanya dikenal oleh sel B, sedangkan molekul pembawa oleh sel T. Molekul pembawa sering digabung dengan hapten dalam usaha memperbaiki imunisasi. Hapten membentuk epitop pada molekul pembawa yang dikenal sistem imun dan merangsang pembentukan antibodi (Baratawidjaja, 2004).

Epitop atau determinan antigen adalah bagian dari antigen yang dapat membuat kontak fisik dengan reseptor antibodi, menginduksi pembentukan antibodi, dan dapat diikat dengan spesifik oleh bagian dari antibodi atau oleh reseptor antibodi. Makromolekul dapat memiliki berbagai epitop yang masing-masing merangsang produksi antibodi spesifik yang berbeda. Respon imun dapat terjadi terhadap semua golongan bahan kimia seperti hidrat arang, protein dan asam nukleat (Martoharso, 1981).

Antigen poten alamiah terbanyak adalah protein besar dengan berat molekul lebih dari 40.000 dalton dan juga kompleks polisakarida mikrobial. Glikolipid dan lipoprotein dapat juga bersifat imunogenik, tetapi tidak


(36)

demikian halnya dengan lipid yang dimurnikan. Asam nukleat dapat bertindak sebagai imunogen dalam penyakit autoimun tertentu, tetapi tidak dalam keadaan normal (Baratawidjaja, 2004).

2.5.3 Antibodi

Antibodi (Ab) merupakan suatu protein yang diproduksi sebagai hasil interaksi dengan suatu antigen. Protein mempunyai kemampuan untuk berkombinasi dengan antigen yang dirangsang produksinya (Jawetz, 2004). Bila darah dibiarkan membeku akan meninggalkan serum yang mengandung berbagai bahan larut tanpa sel. Bahan larut tersebut mengandung molekul antibodi yang dapat digolongkan dalam protein yang disebut globulin dan sekarang dikenal sebagai immunoglobulin. Dua cirinya yang penting ialah spesifitas dan aktivitas biologik (Kresno, 2003).

Molekul antibodi muncul di alam serum darah dan jaringan tertentu spesies vertebrata tertentu sebagai reaksi terhadap injeksi suatu antigen, protein atau makromolekul asing lain kepada spesies tersebut. Tiap protein asing menimbulkan antibodi yang berbeda. Reaksi tubuh yang bersifat sangat spesifik terhadap protein yang diinjeksikan, disebut reaksi imunitas, dan hal ini merupakan dasar semua bidang ilmu imunologi. Molekul antibodi yang dibentuk oleh sel khusus yang dinamakan limfosit dapat bergabung dengan antigen yang menimbulkan pembentukannya, untuk membuat suatu kompleks antigen-antibodi (Lehninger, 1998).

Imunitas terhadap penyakit infeksi seringkali dapat terjadi, dengan menginjeksikan sejumlah kecil komponen makromolekul tertentu, yakni, antigen dari mikroorganisme atau virus penyebab penyakit. Antibodi


(37)

terhadap antigen asing ini lalu dibentuk oleh limfosit sel inang. Kalau mikroorganisme yang diberikan antigen ini kebetulan dapat mencapai darah atau limfa hewan yang diimunisasi setelah beberapa waktu kemudian, maka antibodi akan dibentuk oleh hewan tersebut, antibodi yang dibentuk oleh hewan menetralkan atau menginaktifkan mikroorganisme atau virus penyerang dengan cara bergabung dengan komponen antigenik. Reaksi imun diberikan hanya oleh vertebrata (Lehninger, 1998).

Immunoglobulin (Ig) dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B yang terjadi secara spesifik akan mengikat antigen baru lainnya yang sejenis. Bila serum protein tersebut dipisahkan dengan cara elektroforesis, maka immunoglobulin ditemukan terbanyak dalam fraksi globulin gama, meskipun ada beberapa immunoglobulin yang juga ditemukan dalam fraksi globulin alfa dan beta. Semua molekul imunoglobulin mempunyai 4 rantai polipeptida dasar yang terdiri atas 2 rantai berat (heavy chain) dan 2 rantai ringan (light chain) yang identik serta dihubungkan satu sama lain oleh ikatan disulfida (Baratawidjaja, 2004).

Antibodi (atau immunoglobulin) adalah protein yang disintesis oleh hewan sebagai respon terhadap substansi asing. Antibodi ini disekresi oleh sel plasma yaitu sel yang diturunkan oleh sel limfosit B (sel B). Protein yang dapat larut ini merupakan elemen pengenalan pada respon kekebalan humoral. Tiap antibodi mempunyai afinitas spesifik terhadap materi asing yang memicu sintesis antibodi itu. Suatu makromolekul asing yang mampu memicu pembentukan antibodi disebut antigen (atau imunogen). Protein polisakarida dan asam nukleat pada umumnya merupakan antigen yang


(38)

efektif. Afinitas spesifik suatu antibodi tidaklah untuk seluruh permukaan antigen makromolekul tetapi untuk situs khusus pada makromolekul yang

disebut “determinan antigenic”atau epitop (Stryer, 2002).

Sistem imun menggunakan dua sistim elemen pengenalan untuk membedakan dirinya dari zat asing yaitu antibodi terlarut dan reseptor sel T yang mengikat sel. Antibodi memiliki molekul protein berbentuk-Y yang mengandung empat rantai polipeptida. Molekul ini mempunyai sisi pengikat yang bersifat komplementer terhadap bentuk struktur spesifik molekul antigen. Molekul antibodi memiliki dua sisi pengikat, yang membuatnya mampu membentuk kisi-kisi tiga dimensi molekul antibodi dan antigen (Lehninger, 1998).

Antibodi merupakan populasi molekul protein (immunoglobulin) yang disintesis oleh binatang sebagai respon terhadap suatu makromolekul asing, yang disebut antigen atau imunogen. Antibodi mempunyai afinitas tinggi terhadap antigen yang menginduksi pembentukannya. Molekul kecil asing (hapten) menimbulkan pembentukan antibodi spesifik bila mereka menempel pada suatu makromolekul. Sintesis antibodi terjadi dengan seleksi dan tidak dengan instruksi. Suatu antigen terikat ke permukaan limfosit yang memang sudah disiapkan untuk pembuatan antibodi spesifik terhadap antigen tersebut. Penggabungan antigen dan reseptor permukaan memicu pembelahan sel dan sintesis sejumlah besar antibodi spesifik. Antibodi yang diarahkan melawan suatu determinan yang spesifik biasanya heterogen, karena merupakan produk dari banyak sel penghasil antibodi. Antibodi yang dihasilkan oleh suatu sel tunggal adalah homogen (Stryer, 2002).


(39)

Lima kelas antibodi dibuat, Immunoglobulin G (IgG) adalah antibodi utama dalam serum, tetapi IgM adalah kelas immunoglobulin yang pertama muncul setelah pemaparan terhadap suatu antigen. IgA adalah kelas yang paling banyak dalam sekret eksternal dan IgE melindungi terhadap parasit, sedangkan peran IgD belum diketahui. Antibodi terdiri dari rantai pendek dan rantai panjang (Stryer, 2002).

Kelas Immunoglobulin Massa (kDa)

IgG 150

IgA 180 – 500

IgM 950

IgD 175

IgE 200

Tabel 1. Data Bobot Molekul Immunoglobulin dalam Serum 2.5.4 Interaksi Antara Antigen-Antibodi

Antigen adalah bahan yang dapat diikat secara spesifik oleh molekul antibodi atau molekul reseptor pada sel T. Antibodi dapat mengenal hampir setiap molekul biologik sebagai antigen seperti hasil metabolik hidrat arang, lipid, hormon, makromolekul seperti kompleks hidrat arang, fosfolipid, asam nukleat dan protein (McGilvery, 1996).


(40)

Gambar 3. Mekanisme respon imun terhadap antigen McGilvery, 1996). Antibodi dapat bereaksi dengan antigen spesifik berkat adanya tempat pengikatan (combining site). Suatu antibodi tertentu akan bereaksi dengan antigen yang tertentu pula, dan tidak dengan antigen lain karena tiap antibodi memiliki untaian asam amino tersendiri yang khas pada ujung kedua lengannya. Antibodi sering disebut juga immunoglobulin, atau globulin gama. Istilah ini berasal dari sifat migrasi antibodi yang terbanyak jumlahnya, yakni IgG, pada elektroforesis. Bila serum dielektroforesis, fraksi yang terpisah sebagai globulin gama terutama terdiri atas antibodi ini (McGilvery, 1996).


(41)

Pengenalan antigen oleh antibodi melibatkan ikatan nonkovalen dan reversibel. Berbagai jenis interaksi nonkovalen dapat berperan pada ikatan antigen seperti faktor elektrostatik, ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik dan lainnya. Kekuatan ikatan antara satu antibodi dan epitop disebut afinitas antibodi. Antigen polivalen mempunyai lebih dari satu determinan. Kekuatan ikatan antibodi dengan epitop antigen keseluruhan disebut aviditas (Bratawidjaja, 2004).

Antibodi merupakan komponen imunitas didapat yang melindungi tubuh terhadap infeksi mikroorganisme dan produknya yang toksik. Interaksi antara antigen dan antibodi dapat menimbulkan berbagai akibat antara lain presipitasi (bila antigen merupakan bahan larut dalam cairan garam fisiologik), aglutinasi (bila antigen merupakan bahan tidak larut/partikel-partikel kecil), netralisasi (toksin) dan aktivasi komplemen. Kebanyakan reaksi tersebut terjadi oleh adanya interaksi antara antigen multivalen dan antibodi yang sedikitnya memiliki 2 tempat ikatan per molekul (Bratawidjaja, 2004).

2.6 IMUNOLOGI DARAH

Semua sel darah dibentuk dalam sumsum tulang. Proses pembentukan disebut hematopoesis. Semua sel darah memiliki fungsi masing-masing. Sel darah merah (eritrosit) memiliki reseptor komplemen yang dapat mengikat kompleks imun. Sel darah merah mengangkut kompleks imun ke hati untuk dilepas ke sel Kupffer yang memakannya. Jadi sel darah merah berperan penting dalam eliminasi kompleks imun dari sirkulasi terutama pada infeksi


(42)

yang persisten dan beberapa penyakit autoimun, sel darah merah tidak memiliki inti berbeda dengan sel darah putih (leukosit) (Baratawidjaja, 2004).

Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, berbentuk bulat dan berupa sel amoebid pleikorfik di dalam jaringan, berdasarkan jenis granula dalam sitoplasma dan bentuk intinya. Sel darah putih dibagi menjadi dua golongan yaitu granulosit (polimorfonuklear) dan agranulosit (mononuclear). Leukosit granulosit mencakup neutrofil dan basofil. Leukosit agranulosit mencakup limfosit dan monosit. Manfaat sesungguhnya dari sel darah putih ialah bahwa kebanyakan ditranspor secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan mengalami peradangan yang serius (Baratawidjaja, 2004).

Sel-sel sistem imun tersebar di seluruh tubuh dan ditemukan di dalam sumsum tulang, timus, darah, kelenjar getah bening, limpa, saluran nafas, saluran cerna, saluran kemih dan jaringan. Sel-sel tersebut berasal dari sel prekusor yang multipoten dalamsum-sum tulang yang kemudian berdiferensiasi menjadi dua golongan sel progenitor.

Golongan sel progenitor pertama berkembang menjadi : 1. Megakariosit, sel asal trombosit

2. Eritroid, sel asal eritrosit

3. Sel myeloid, sel asal granulosit, sel mast/basofil, eosinofil, monosit dan makrofag.

Golongan sel progenitor yang kedua berkembang menjadi sel limfoid, asal sel B dan sel T. Perkembangan sel B terjadi di sum-sum tulang, sedang sel T berkembang dalam timus dari prekusor timosit yang juga berasal dari sum-sum tulang. Sel myeloid kemudian berkembang menjadi sel-sel yang


(43)

berperan dalam sistem imun nonspesifik dan sel limfoid menjadi sel-sel yang berperan dalam sistem imun spesifik (Baratawidjaja, 2004).

2.6.1 SERUM

Di dalam darah, serum merupakan komponen yang bukan merupakan sel darah ataupun faktor pembeku darah, serum merupakan plasma darah dengan fibrinogen yang telah dipisahkan. Serum mengandung semua protein yang tidak digunakan dalam mekanisme pembekuan darah. Serum mengandung semua elektrolit, antibodi, antigen, hormon, dan substansi eksogen ( misalnya obat dan mikroorganisme) (Kresno, 2003).

Protein darah juga disebut protein serum (serum proteins), merupakan protein yang ditemukan dalam plasma darah . Total serum protein dalam darah adalah 7 g/dl, yang merupakan 7% dari total volume darah. Protein darah memiliki berbagai fungsi antara lain : (1) Tempat sirkulasi transpor molekul seperti lipid, hormon, vitamin dan mineral. (2) Enzim komplemen komponen, protease inhibitor, dan prekusor kinin. (3) Regulasi dari aktivitas acelular dan berperan penting dalam sistem imun.

Protein darah Level normal % Fungsi

Albumin 3.5-5.0 g/dl 60% Mengatur tekanan osmotik dan transport molekul yang lain Immunoglobulin 1.0-1.5 g/dl 18% Berperan penting dalam sistem

imun dalam tubuh

alpha 1-antitrypsin

Menetralkan tripsin yang telah diproses dalam sistem

pencernaan

Protein regulator <1% Regulasi ekspresi gen Tabel 2. Fungsi protein darah dalam tubuh (Hames, 1998).


(44)

Serum adalah salah satu bagian dari plasma darah yaitu pada protein. Protein memiliki molekul yang cukup besar. Jika darah diputar dalam sentrifuge, maka protein tersebut akan mengendap, sisanya berupa cairan bening dan jernih yang disebut serum. Dalam serum terdapat zat antibodi untuk membinasakan protein asing atau antigen yang merangsang pembentukan zat antibodi, yang masuk kedalam tubuh. Pemisahan protein serum dapat dilakukan dengan elektroforesis, pemisahan tersebut merupakan alat diagnosis yang sangat berharga untuk memantau kemajuan klinis. Sehingga serum juga digunakan dalam beberapa tes diagnostik (Hames, 1998).

Gambar 4. Pemisahan protein serum dengan elektroforesis (Hames, 1998). 2.7 PROTEIN

Protein adalah suatu makro-molekul. Yang terkecilpun mempunyai berat molekul dalam ukuran 6000 Da dan beberapa mempunyai berat molekul lebih besar dari 1 juta Da. Semua protein terdiri atas satu atau lebih polimer yang linier dan tak bercabang. Monomer yang membuat polimer ini disebut


(45)

asam amino. Dalam kebanyakan protein terdapat 20 jenis asam amino. Asam amino terikat menjadi satu rantai dalam jumlah 100 sampai 300 (Kimball, 1993).

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur- unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Molekul protein mengandung pula fosfor, belerang, dan ada jenis protein yang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno, 1992). Protein merupakan makromolekul polipeptida yang tersusun dari sejumlah L-amino yang dihubungkan oleh ikatan peptida, berbobot molekul tinggi dari 5000 sampai berjuta-juta. Suatu molekul protein disusun oleh sejumlah asam amino tertentu (Girindra, 1990).

Molekul protein merupakan molekul dengan tingkat kompleksitas atau kerumitan yang tinggi. Selain berbeda satu sama lain karena perbedaan muatan listriknya, protein mungkin pula berbeda karena berat molekul atau jumlah ukuran molekulnya. Ini berarti, perbedaan tersebut disebabkan oleh jumlah asam amino yang menyusun protein. Berdasarkan perbedaan berat atau ukuran molekul ini, protein dapat dipisahkan satu sama lain. Yaitu dengan tehnik elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid sebagai medium pemisah. Dalam cara ini, mula-mula protein didenaturasi dengan pemanasan dalam larutan dapar yang mengandung sodium dodesil sulfat (SDS). Denaturasi dalam SDS panas ini akan memberikan muatan negatif pada seluruh protein dalam larutan, karena terjadi interaksi hidrofobik antara molekul protein dengan molekul SDS. Interaksi ini sebanding dengan ukuran ukuran molekul protein. Jadi, makin besar ukuran molekul suatu protein,


(46)

makin banyak muatan listrik, kompleks protein terdenaturasi-SDS di dalam gel poliakrilamid akan berjalan satu arah, yaitu kutub positif (anoda). Jarak yang ditempuh ditentukan oleh ukuran molekul dalam menembus pori-pori gel. Makin kecil molekul tersebut, makin jauh jarak yang ditempuh. Dengan demikian terjadilah pemisahan protein berdasarkan berat molekul. Pada umumnya, teknik pemisahan protein dengan elektroforesis ini digunakan untuk tujuan analisis (Kurniati, 2002).

Protein memegang peran penting dalam hampir semua proses biologi. Peran dan aktivitas protein terlihat dalam contoh berikut ini :

1 Katalisis enzimatik.

Hampir semua reaksi kimia dalam sistem biologi dikatalisis oleh makromolekul spesifik yang disebut enzim. Sebagian reaksi seperti hidrasi karbondioksida bersifat sederhana, sedangkan reaksi lainnya seperti replikasi kromosom sangat rumit. Enzim mempunyai daya daya katalitik besar. Fakta menunjukkan bahwa hamper semua enzim yang dikenal adalah protein. Jadi protein merupakan pusat dalam menetapkan pola transformasi kimia dalam sistem biologis.

2 Transport dan penyimpanan

Berbagai molekul kecil dan ion ditransport oleh protein spesifik. Misalnya transport oksigen dalam eritrosit oleh hemoglobin, dan mioglobin suatu protein sejenis mentransport oksigen dalam otot.

3 Koordinasi gerak

Protein merupakan komponen utama dalam otot. Kontraksi otot berlangsung akibat pergeseran dua jenis filamen protein. Contoh lain


(47)

adalah pergerakan kromosom pada proses mitosis dan gerak sperma oleh flagela.

4 Penunjang mekanis.

Ketegangan kulit dan tulang disebabkan oleh adanya kolagen yang merupakan protein fibrosa.

5 Proteksi imun

Antibodi merupakan protein yang sangat spesifik dan dapat mengenal serta berkombinasi dengan benda asing seperti virus, bakteri dan sel yang berasal dari organisme lain. Protein berperan penting untuk membedakan dirinya dan zat asing yang masuk ke dalam tubuh.

6 Membangkitkan dan menghantar impuls saraf

Respon sel saraf terhadap rangsang spesifik diperantarai oleh protein reseptor. Misalnya rodopin suatu protein yang sensitif terhadap cahaya ditemukan pada sel batang retina.

7 Pengaturan pertumbuhan dan diferensiasi

Pengaturan urutan ekspresi informasi genetik sangat penting bagi pertumbuhan yang beraturan serta diferensiasi sel. Hanya bagian kecil genom dalam sel yang akan diekspresikan pada satu saat.

Bermacam-macam fungsi protein bagi tubuh, diantaranya sebagai enzim, zat pengatur pergerakan, pertahanan tubuh, alat pengangkut dan lain-lain tergantung sepenuhnya pada stuktur 3-dimensional protein tersebut. Pada suatu protein dapat dibubuhkan suatu zat yang dapat merubah struktur sekunder, tersier, dan kuartener dari protein tersebut (Stryer, 2002).


(48)

2.7.1 Denaturasi Protein

Denaturasi protein dapat diartikan suatu perubahan atau modifikasi terhadap struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul protein, tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen. Karena itu denaturasi dapat diartikan pula suatu proses terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam dan terbukanya lipatan molekul. Protein yang terdenaturasi berkurang kelarutannya. Denaturasi protein dapat dilakukan dengan panas, pH, bahan kimia dan mekanik (Kimball, 1993).

Ada dua macam denaturasi, yaitu pengembangan rantai peptida dan pemecahan protein menjadi unit yang lebih kecil tanpa disertai pengembangan moekul. Deterjen atau sabun dapat menyebabkan denaturasi protein, karena senyawa ini dapat membentuk jembatan antara gugus hidrofobik dengan hidrofilik sehingga praktis terdenaturasi (Winarno, 1992).

Rantai polipeptida sebuah molekul protein mempunyai satu konformasi yang sudah tertentu pada suhu dan pH normal. Konformasi ini disebut konformasi asli, sangat stabil sehingga memungkinkan protein bisa diisolasi dalam keadaan konformasi aslinya itu. Kebanyakan protein hanya berfungsi aktif biologis pada daerah pH dan suhu yang terbatas. Jika pH dan suhu berubah melewati batas-batas tersebut, protein akan mengalami denaturasi. Kebanyakan denaturasi terjadi sekitar suhu 50-60 0C (Girindra, 1990).

Sebagian besar molekul protein menampakkan aktivitas biologiknya pada kisaran pH dan suhu tertentu. Pada pH dan suhu yang tinggi maka protein globular mengalami perubahan fisik yang dinamakan denaturasi.


(49)

Salah satu sifat yang tampak adalah kelarutannya yang menurun. Struktur primer protein tidak mengalami perubahan. Denaturasi tidak lain adalah terbukanya lipatan alamiah struktur protein. Apabila yang mengalami perubahan struktur alamiah itu adalah enzim maka aktivitas biologiknya menghilang. Jika denaturasi protein itu belum lanjut maka polimer itu bisa melipat lagi dan kembali pada struktur alamiahnya (Martoharsono, 1981). 2.7.2 Penentuan Kuantitas Protein dengan Metode Lowry

Metode Lowry dikembangkan pada tahun 1951 dengan menggunakan reagen pendeteksi Folin-Ciocalteu. Reagen ini biasa digunakan untuk mendeteksi gugus-gugus fenolik. Dalam analisa protein reagen Folin-Ciocalteu dapat mendeteksi residu tirosin yang mengandung gugus fenolik melalui reaksi reduksi oksidasi dimana gugus fenolik tirosin akan mereduksi fosfotungstat dan fosfomolibdat yang terdapat pada reagen tersebut menjadi tungsten dan molibden yang berwarna biru. Hasil reduksi ini dapat dianalisa lebih lanjut dengan melihat puncak absorpsi yang lebar pada daerah panjang gelombang sinar tampak (600-800 nm) (Dennison, 2002).

Metode Lowry merupakan pengembangan dari metode Biuret. Dalam metode ini terlibat 2 reaksi. Awalnya, kompleks Cu(II)-protein akan terbentuk sebagaimana metode biuret, yang dalam suasana alkalis Cu(II) akan tereduksi menjadi Cu(I). Ion Cu+ kemudian akan mereduksi reagen Folin-Ciocalteu, kompleks phosphomolibdat-phosphotungstat (phosphomolybdotungstate), menghasilkan heteropolymolybdenum blue akibat reaksi oksidasi gugus aromatik (rantai samping asam amino) terkatalis Cu, yang memberikan warna biru intensif yang dapat dideteksi secara


(50)

kolorimetri. Kekuatan warna biru terutama bergantung pada kandungan residu tryptophan dan tyrosine-nya. Keuntungan metode Lowry adalah lebih sensitif (100 kali) daripada metode Biuret sehingga memerlukan sampel protein yang lebih sedikit. Batas deteksinya berkisar pada konsentrasi 0.01 mg/ml. Namun metode Lowry lebih banyak interferensinya akibat kesensitifannya (Dennison, 2002).

Spektrofotometer merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur energi yang diserap oleh suatu zat. Suatu sinar monokromatik yang dilewatkan pada suatu zat diserap oleh zat tersebut dan sisa sinar diteruskan. Penyerapan (absorban) suatu zat berbanding lurus dengan konsentrasinya. Pada penelitian ini spektrofotometer yang digunakan merupakan spektrofotometer visibel. Daerah visibel berada pada rentang 400-800 nm. Pada daerah visibel penentuan kadar protein dapat dilakukan dengan mereaksikan protein dengan suatu zat warna, misalnya coommassie brilliant blue G-250. Ikatan protein-coommassie mempunyai panjang gelombang maksimum pada 590 nm (Rodrigues, 2005).

Kadar protein dapat ditentukan dengan membaca pada kurva standar, kurva standar dibuat dengan larutan protein murni yang telah diketahui kadar proteinnya misalnya BSA (bovine serum albumin) yang memiliki rentang konsentrasi tertentu dimana konsentrasi sample protein berada di dalam rentang tersebut dengan konsentrasi yang semakin tinggi (Sudarmadji, 1981). 2.8 ELEKTROFORESIS

Elektroforesis merupakan tehnik pemisahan suatu molekul dalam suatu campuran di bawah pengaruh medan listrik. Molekul terlarut dalam


(51)

medan listrik bergerak atau migrasi dengan kecepatan yang ditentukan oleh rasio muatan dan massa. Sebagai contoh, jika dua molekul mempunyai massa dan bentuk yang sama, molekul dengan muatan lebih besar akan bergerak lebih cepat ke elektrode (Yuwono, 2005).

Elektroforesis melalui gel agarosa atau poliakrilamid merupakan metode standar untuk pemisahan, identifikasi, dan pemurnian fragmen DNA. Selain itu elektroforesis gel poliakrilamid dapat juga digunakan untuk pemisahan, identifikasi, dan pemurnian protein. Teknik ini merupakan teknik sederhana, cepat dan dapat memisahkan molekul yang diinginkan dari matriksnya yang tidak dapat dilakukan oleh prosedur lainnya, seperti sentrifugasi gradien (Sudjadi, 2008).

Suatu molekul yang bermuatan akan bergerak dalam medan listrik. Fenomena ini dikenal sebagai elektroforesis, dapat digunakan untuk memisahkan protein atau makromolekul lain seperti DNA dan RNA. Kecepatan migrasi (v) protein atau makromolekul lain dalam medan listrik tergantung pada kekuatan medan listrik tergantung pada kekuatan medan listrik (E), muatan protein (z) dan koefisien pergesekan (f)

v = Ez

f

Kekuatan listrik (Ez) yang menggerakkan molekul kearah elektroda yang bermuatan berlawanan dihambat oleh fv yang timbul akibat gesekan molekul pada medium. Koefisien pergesekan (f) tergantung pada massa dan bentuk molekul yang bergerak dan viskositas (�) medium (Lehninger, 1994).


(52)

Pemisahan secara elektroforesis hampir selalu dilakukan dalam gel, tidak dalam larutan dengan dua alasan, pertama gel mengurangi arus listrik yang timbul akibat perbedaan suhu yang kecil yang diperluan agar pemisahan menjadi efektif. Kedua, gel bertindak sebagai saringan molekul yang meningkatkan pemisahan. Molekul yang lebih kecil dibanding dengan pori-pori gel dapat bergerak dengan mudah di dalam sedangkan molekul yang lebih besar hamper tidak bergerak. Molekul dengan ukuran sedang dapat bergerak didalam gel sesuai ukuraannya. Media pilihan pada elektroforesis adalah gel poliakrilamida, sebab secara kimiawi bersifat inert dan dapat dengan mudah dibentuk dari polimerisasi akrilamida. Selain itu ukuran pori dapat diatur dengan memilih berbagai konsentrasi akrilamid dan metilenbisakrilamida (reagen pengikat) pada saat polimerisasi (Sudjadi, 2008).

Setelah didenaturasi protein dapat dipisahkan berdasarkan massanya dengan elektroforesis gel poliakrilamida. Campuran protein mula-mula dilarutkan dalam larutan natrium dodesil sulfat (SDS), suatu detergen anoinik yang akan memutus hampir semua interaksi kovalen dalam protein alami. Juga ditambahkan merkaptoetanol atau ditiotreitol untuk mereduksi ikatan disulfida. Anion SDS akan berikatan pada rantai utama dengan perbandingan satu SDS untuk tiap dua residu asam amino, sehingga terbentuk kompleks SDS dengan protein terdenaturasi yang bermuatan negatif tinggi yang secara kasar sebanding dengan massa protein. Muatan negatif akibat pengikatan SDS ini umumnya lebih besar dari pada muatan protein alami ini menjadi tidak penting lagi. Pada kompleks SDS-protein terdenaturasi kemudian


(53)

dilakukan elektroforesis pada gel poliakrilamida, dalam bentuk lempeng tegak lurus. Arah elektroforesis dari atas ke bawah. Setelah terjadi pemisahan, protein dalam gel dapat diperlihatkan setelah diwarnai dengan

Coommassie blue, yang akan terlihat sebagai pita-pita (Stryer, 2002).

Protein kecil bergerak cepat dalam gel, sedangkan protein besar tinggal di atas, berdekatan dengan titik aplikasi campuran. Pergerakan sebagian rantai polipeptida pada kondisi seperti ini berbanding lurus dengan logaritma massanya. Elektroforesis SDS-gel poliakrilamid bersifat cepat, peka dengan kemampuan resolusi yang tinggi. Proses elektroforesis dan pewarnaan berlangsung beberapa jam. Sejumlah 0,1 mikrogram (2 pmol) protein menghasilkan pita yang jelas dengan pewarnaan coommassie blue

dan dalam jumlah lebih sedikit (kira-kira 0,02 mikrogram) dapat dideteksi dengan pewarnaan perak (Stryer, 2002).

2.8.1 Gel Poliakrilamid

Akrilamid merupakan suatu monomer, yang jika ada radikal bebas, biasanya diberikan oleh amonium persulfat dan distabilkan oleh TEMED, terjadi reaksi berantai sehingga monomer terpolimerasi manjadi rantai panjang. Jika dalam reaksi itu ada bisakrilamid reaksi menjadi bersambung melintang menjadi gel yang pori-porinya ditentukan oleh panjang rantai dan jumlah sambungan silang. Panjang rantai ini ditentukan oleh konsentrasi poliakrilamid dalam reaksi ini (3,5 %- 20%) dan satu molekul sambungan silang terjadi pada setiap 29 monomer akrilamid (Stryer, 2002).


(54)

Gambar 5. SDS-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (Sudjadi, 2008) Gel poliakrilamid dibuat dengan cara menuangkan antara dua lempeng kaca yang dipisahkan dengan pembatas dengan ketebalan tertentu. Gel poliakrilamid dapat berukuran dari 5 cm samapai 50 cm panjangnya tergantung pada keperluannya dan dilakukan elektroforesis dengan cara vertikal. Sistem ini menunjukkan tiga keunggulan daripada gel agarosa : 1. Kekuatan pemisahannya sangat besar sehingga dapat memisahkan satu

pasang basa sampai 500 pasang basa

2. Sistem ini dapat menampung jumlah sample lebih besar daripada agarosa 3. DNA yang diperoleh kembali dari gel poliakrilamid sangat murni sehingga

dapat digunakan untuk keperluan percobaan mikroinjeksi embrio tikus (Yuwono, 2008).

2.8.2 SDS-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE)

Protein dapat dipisahkan berdasarkan ukuran massanya dengan elektroforesis gel poliakrilamid dengan sistem tegak. Sebelumnya campuran protein dipanasi dengan natrium dedosil sulfat (SDS), suatu detergen anionik untuk menyelubungi molekul protein. Penyelubungan ini menyebabkan


(55)

interaksi non-kovalen terganggu sehingga molekul protein dalam struktur primer. Anion SDS berikatan dengan rantai utama dengan rasio satu molekul SDS untuk dua residu asam amino (Sudjadi, 2008).

Gambar 6. Prinsip Kerja SDS PAGE (Stryer, 2002)

((1)Denaturasi sample dengan sodium dedocylsulfate (SDS menyelubungi protein. (2) Penempatan protein sampel pada gel kemudian dialiri listrik.

(3) Pewarnaan untuk visualisasi pemisahan pita).

Sistem dapar yang umumnya digunakan pada elektroforesis protein dengan gel poliakrilamid-SDS adalah sistem dapar diskontinu. Sistem ini menggunakan ion dapar yang berbeda dalam gel dan larutan dapar elektroda. Keunggulan sistem ini adalah pemisahan protein berlangsung lebih baik dan lebih tajam. Gel yang digunakan pada sitem ini terdiri dari gel penumpuk (stacking gel) yang berpori besar dan gel pemisah (separating/ resolving gel) yang berpori kecil. Gel penumpuk berada di atas gel pemisah dan (separating/ resolving gel) yang berpori kecil. Sedangkan sampel diletakkan diatas gel penumpuk. Molekul sampel yang


(56)

melewati gel penumpuk dengan cepat akan bertumpuk dalam suatu zona yang sangat sempit (stacks). Sampel yang tertumpuk itu akan bergerak sepanjang gel penumpuk yang berpori besar dan kemudian masuk ke gel pemisah berpori kecil sebagai suatu pita yang tipis setelah memasuki gel pemisah, molekul sampel terpisah berdasarkan muatan dan ukuran (Yuwono, 2008).

Untuk memisahkan protein berdasarkan berat molekul dapat dilakukan dengan menambahkan suatu detergen ionik pada tahap denaturasi. Pada proses persiapan sampel ditambahkan suatu detergen ionik seperti sodium dodesil sulfat (SDS). SDS akan menghilangkan konformasi di antara protein-protein tersebut dengan cara memberi muatan negatif. Agar seluruh rantai terpapar pada detergen dilakukan pemanasan pada suhu 100 0C selama 2 sampai 5 menit, dengan cara ini sebagian besar polipeptida akan diselubungi oleh SDS dengan rasio tertentu (1,4 gr per gram protein). Kompleks SDS-polipeptida berbentuk seperti batang dan bermuatan negatif, dan muatan ini tidak dipengaruhi oleh pH pada kisaran pH 7-10. Dengan demikian, migrasi polipeptida dalam gel poliakrilamid adalah berdasarkan berat molekulnya. Kecepatan migrasi protein selama elektroforesis akan berbanding terbalik dengan berat molekulnya. Makin besar molekul makin lambat migrasinya (Sudjadi, 2008).

Gel poliakrilamid dibentuk oleh polimerisasi akrilamid (CH2=CH-CO-NH2) dan bisakrilamid (N,N’-metilenbisakrilamid) (CH2=CH-CO-NH-CH2-NH-CO-CH=CH2). Reaksi pembentukan polimer ini diawali suatu sistem yang menghasilkan radikal bebas. Umumnya, polimerisasi diawali


(57)

dengan menambahkan amonium persulfat (APS), sebagai inisiator dan tetraetilendiamin (TEMED), sebagai akselerator. Pada sistem ini TEMED mempercepat pemecahan molekul APS menjadi sulfat radikal bebas, yang selanjutnya akan mengawali reaksi polimerisasi akrilamid yang panjang, yang menghasilkan larutan kental namun bukan berupa gel. Dengan penambahan bisakrilamid, pada rantai akrilamid tersebut akan terbentuk ikatan lintas silang (cross-link) pada interval tertentu sehingga terbentuk suatu jaringan dengan besar pori tertentu. Konsentrasi akrilamid menentukan ukuran pori-pori gel yang terbentuk sehingga ukuran pori dapat diatur dengan mengatur konsentrasi akrilamid. Makin rendah konsentrasi akrilamid yang digunakan, makin besar ukuran pori-pori gel, namun gel menjadi lunak dan mudah patah.

Merkaptoetanol atau ditiotreitol juga ditambahkan untuk mereduksi ikatan disulfida. Kompleks SDS dengan protein terdenaturasi mempunyai jumlah muatan negatif yang sebanding dengan ukuran protein. Muatan negatif yang terdapat pada ikatan SDS ini jauh lebih besar daripada mutan pada protein asli. Kompleks protein-SDS kemudian dielektroforesis sehingga semua molekul bergerak menuju kutub positif. Ketika elektroforesis selesai, protein dalam gel dapat ditampakkan oleh pewarnaan dengan perak atau zat warna seperti Coommassie blue, yang akan menampakkan beberapa pita. Coommassie blue berikatan dengan protein berdasarkan interaksi ionik antara gugus sulfit pada Coommassie blue

dengan asam-asam amino basa, dan interaksi hidrofobik cincin


(58)

Pewarna mampu menghasilkan pita pada jumlah protein 10-100 ng. Protein kecil akan bergerak cepat melewati gel, sedangkan protein besar bergerak lebih lambat. Mobilitas kebanyakan polipetida di bawah kondisi seperti ini berbanding lurus terhadap log ukurannya. Beberapa protein yang banyak mengandung karbohidrat dan protein membran tidak mengikuti aturan ini. Akan tetapi metode SDS-PAGE ini sangat cepat, peka dan dapat menghasilkan pemisahan yang baik. Sebanyak sekitar 0,1 mg (2 pmol) protein menghasilkan pita yang jelas dengan pewarna Coommassie blue. Pada jumlah yang kecil (0,02 mg) dapat dideteksi dengan pewarna perak. Protein dengan perbedaan ukuran seitar 2% (misalnya 40 dan 41 kD) biasanya dapat ditunjukan (Sudjadi, 2008).


(59)

45

BAB III

KERANGKA KONSEP

Gambar 7. Bagan Kerangka Konsep Kendala peningkatan

produksi ternak

Mastitits

Coliform

K. pneumoniae

Antibiotik

Vaksin Pengobatan

Alternatif

 Kurang efektif

 Resisten antibakteri

 Biaya mahal

Uji In vivo Inaktivasi Pemanasan

Analisa profil protein Terbentuk sistem imunitas Inaktivasi Iradiasi

Elektroforesis SDS PAGE Analisa Kadar

Protein Analisa Kondisi


(60)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN 4.1.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi, Kesehatan dan Reproduksi Ternak (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Pasar Jumat Jakarta Selatan.

4.1.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini berlangsung selama 5 bulan pada bulan Juni 2009 sampai dengan Oktober 2009.

4.2. ALAT DAN BAHAN PENELITIAN 4.2.1 Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan adalah Autoklaf (Tommy SS-325), Inkubator (Memmert), Inkubator shaker (SM 25), Laminar Air Flow (Enviromental Air Control, Inc.), Mikropipet (Gilson), Sentrifuge 10000 rpm (Hitachi), Sonikator (Branson 2210), Spektrofotometer (WPA &

Ultrospec 100 pro Amersham Biosciences), Mikropipet ukuran 100 ul,

1000 ul, dan 5000 ul, sarung tangan, kandang mencit, masker, botol semprot, tips, kain kassa, timbangan analitik, gelas ukur, gelas beker, labu Erlenmeyer, ose, pembakar spiritus, tabung sentrifus, tabung eppendorf,


(1)

Lampiran 17. Komposisi larutan Elektroforesis 1. 30% Acrylamid

 Acrylamid ... 29,2g  Bis (Metyl bis acrylamid) ... 0,8g  Akuades ... 100ml

2. Separating Gel Buffer (1,5 tris-HCl, pH 8,8)

 Tris ... 18,2g  SDS ... 0,4g  Akuades ... 100ml

3. Stacking Gel Buffer (0,5 M tris-HCl, pH 6,8)

 Tris ... 6,1g  SDS ... 0,4g  Akuades ... 100ml 4. 10% Ammonium Persulfate

 Ammonium Persulfate ... 0,1g  Akuades ... 1ml

5. Running Buffer

 Tris ... 1,5g  SDS ... 0,5g  Glysin ... 7,2g  Akuades ... 500ml


(2)

104

Lampiran 18. Foto-Foto Penelitian

Gambar 16.Water Bath Gambar 17. Irradiation Gamma Chamber


(3)

Gambar 20. SDS PAGE Gambar 21. Mikropipet


(4)

106

Gambar 24. Proses Inaktivasi Pemanasan Gambar 25. Proses Inaktivasi Iradiasi

Gambar 26. Proses Persiapan Hewan Uji Gambar 27. Proses Injeksi Secara I.P (Intra Peritoneal)


(5)

Gambar 28.Proses Pengumpulan Gambar 29. Proses Loading Sample

Sampel Darah


(6)

108

Gambar 32. Kondisi Mencit Normal Gambar 33. Perbedaan Limpa Mencit Normal dan Terinfeksi.

Gambar 34. Perbedaan Limpa Mencit Gambar 35. Mortalitas Mencit Setelah Kontrol Negatif dan Vaksinasi Infeksi K.pneumoniae aktif