HASIL DAN PEMBAHASAN Transformation and Mixing of Water Masses in Alor Strait in July 2011

35

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Topografi Dasar Perairan Selat Alor merupakan celah penghubung antara Laut Flores di sebelah utara dengan Laut Sawu di sebelah selatan. Area perairan selat ini berada pada posisi 123,55 o -124,05 o BT dan 8,20 o -8,60 o LS. Orientasi arah celah kanal selat ini sekitar 65 o dengan acuan 0 o adalah utara pada posisi 8,25 o -8,30 o LS; dan sekitar 40 o pada posisi 8,30 o -8,45 o LS. Hasil pengukuran kedalaman dan pemetaan topografi dasar perairan Selat Alor menunjukkan bahwa garis kedalaman yang menghubungkan Laut Flores pada bagian utara dengan Laut Sawu pada bagian selatan adalah sekitar 300 meter pada mulut kanal antara Pulau Lembata dan Pulau Rusa, dengan lebar celah sekitar 9195 meter panah dua arah ‘A’ pada Gambar 4.1. Pintu selatan selat ini selanjutnya disebut dengan kanal utama dalam ulasan selanjutnya. Adapun mulut kanal antara Pulau Rusa dengan Pulau Kambing panah dua arah ‘B’ pada Gambar 4.1 memiliki garis kedalaman penghubung kedua lautan sekitar 200 meter, dengan lebar celah sekitar 5303 meter. Gambar 4.1 Topografi dasar perairan Selat Alor yang menghubungkan Laut Flores pada sisi utara dengan Laut Sawu pada sisi selatan. Panah dua arah A dan B berturut-turut menunjukkan mulut selatan selat dengan garis kedalaman penghubung 300 meter dan 200 meter. A B 36 Identifikasi profil topografi di Selat Alor juga memperlihatkan keberadaan ambang dijumpai pada bagian mulut selat, baik di sisi utara maupun selatan Gambar 4.2. Pada mulut selat bagian utara, ambang yang relatif tinggi sekitar 365 meter berada pada kanal sebelah barat, sedangkan pada kanal sebelah timur memiliki kedalaman sekitar 525 meter. Pada mulut selat bagian selatan, ambang pada kanal sebelah barat memiliki kedalaman sekitar 270 meter; sedangkan pada kanal sebelah timur memiliki kedalaman sekitar 221 meter. Keberadaan ambang pada suatu medan aliran dapat memicu terbentuknya turbulensi yang mengolak massa air dan mengakibatkan percampuran vertikal Hautala et al., 1996; Hatayama et al., 2004 . Gambar 4.2 Penampang melintang topografi Selat Alor. Tanda panah menunjukkan keberadaan ambang, A dan B pada mulut utara selat; B dan C pada mulut selatan selat. 4.2 Arus Berdasarkan hasil perata-rataan terhadap kedalaman dari pola arus di perairan Selat Alor, di sebelah utara selat pada lapisan 50 meter dan 50-100 meter menunjukkan dominasi aliran yang mengarah masuk ke dalam selat Gambar 4.3 a, b. Pada kedalaman 100-150 meter, aliran yang mengarah masuk ke dalam selat hanya teridentifikasi pada celah masukan antara Pulau Lembata dan Pulau Lapan Gambar 4.3 c. Adapun pada celah masukan antara Pulau Jarak km A A B B C D C D 37 Batang dengan Pulau Pantar, arus mengarah keluar selat. Kondisi ini diduga terkait dengan alur masukan yang relatif tidak terbuka atau langsung sebagaimana pada celah masukan di sebelah Pulau Lapan. Celah masukan antara Pulau Batang dengan Pulau Pantar memiliki rute yang berkelok sehingga benturan arus dengan kontur topografi dekat daratan Pulau Pantar menghasilkan pembelokan arah arus pada lapisan bawah. Memasuki bagian dalam kanal selat, pada lapisan 50 meter dan 50-100 meter kondisi arus tampak persisten mengikuti alur kanal selat hingga mulut keluaran selat di sebelah selatan. Kecepatan arus tampak meningkat pada mulut keluar selat antara Pulau Pantar dan Pulau Rusa, seiring dengan penyempitan kanal selat. Pada lapisan 100-150 meter dan 150-200 meter teridentifikasi balikan arah arus Gambar 4.3 c, d. Kondisi pembalikan arah pada lapisan bawah ini mengindikasikan pengaruh gesekan alur topografi dasar selat. Mendekati bagian keluar pada mulut selat di dekat Pulau Rusa, tampak arus kembali mengarah keluar selat menuju Laut Sawu yang diduga terkait dengan penyempitan kanal serta pengaruh amplifikasi aliran lapisan di atasnya yang mengarah keluar selat. Di samping itu, fitur cekungan yang dalam 500 meter di sebelah barat laut Pulau Rusa Gambar 4.1 diduga memperkecil pengaruh gesekan dekat dasar. Pada perairan sebelah selatan selat, berdasarkan orientasi arah arus, tampak pengaruh aliran Selat Alor masih dirasakan hingga posisi sekitar 8,6 o LS pada lapisan 50 meter. Seiring mengecilnya pengaruh aliran keluaran selat terhadap kedalaman, pada lapisan 50-100 meter teridentifikasi adanya arus dari arah barat menuju ke timur. Pada lapisan 50 meter, arus ini hanya teridentifikasi di sebelah selatan Pulau Lembata. Intensitas arus ini terpantau membesar seiring bertambahnya kedalaman sebagaimana tampak pada lapisan 100-150 meter dan 150 meter Gambar 4.3 c, d. Diduga arus ini merupakan susupan arus selatan Jawa South Java current, SJC, di mana berdasarkan data mooring di selatan Cilacap, Sprintall et al. 1999 memperlihatkan bahwa pada kedalaman 175 meter pada bulan Juli teridentifikasi arus yang mengarah ke timur meskipun pada lapisan di atasnya terdapat arus terpicu angin musim tenggara yang mengarah ke 38 barat. Arus pada kedalaman 175 meter ini mengarah ke timur hingga awal Nopember. Adapun di perairan sebelah selatan Pulau Pantar, pada lapisan 50 meter teridentifikasi arus dari arah tenggara dan tampak persisten hingga di sebelah selatan Pulau Rusa. Diduga arus ini merupakan arus pengaruh angin muson tenggara. Pada lapisan 50-100 meter, intensitas dugaan arus musim ini tampak mengecil Gambar 4.3 b, dan mulai menghilang pada lapisan kedalaman 100- 150 meter dan 150-200 meter Gambar 4.3 c, d. Gambar 4.3 Pola arus pada beberapa lapisan kedalaman: a 50 meter, b 50- 100 meter. 39 Gambar 4.3 lanjutan: c 100-150 meter, dan d 150-200 meter. Profil spasial arus yang ditampilkan dalam Gambar 4.3 adalah arus yang sudah dikoreksi pasut arus non pasut, dengan demikian teridentifikasinya dominasi aliran hingga kedalaman sekitar 100 meter yang mengarah ke dalam selat merupakan indikasi aliran yang terpicu perbedaan tinggi muka laut antara Laut Flores dengan Laut Sawu. Sebagaimana dinyatakan Wyrtki 1961, transpor dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia proporsional dengan perbedaan tekanan antara kedua samudera, di mana pada musim timur Mei hingga September mengakibatkan transpor maksimum dari Samudera Pasifik menuju ke Samudera Hindia. Intensifnya aliran dari Laut Flores menuju Laut Sawu berdasarkan hasil observasi ini sekaligus juga memverifikasi hasil kajian model 40 Potemra et al. 2003 yang menyatakan bahwa tinggi permukaan Laut Sawu berdasarkan data Topex Poseidon mencapai minimum pada musim timur. Dengan ungkapan lain, resultan aliran massa air di perairan Selat Alor pada bulan Juli adalah menuju ke Laut Sawu. Berdasarkan data arus dari transek lintasan antara Pulau Lembata dengan Pulau Marisa atau di bagian tengah kanal selat, diperoleh estimasi transpor hingga kedalaman sekitar 190 meter pada saat observasi sebesar 1,07 ± 0,03 Sv 1 Sv = 10 6 m 3 s -1 mengarah masuk ke dalam selat menuju mulut keluar selatan selat. Profil transpor yang dirata-ratakan per 20 meter kedalaman diperlihatkan pada Gambar 4.4. Gambar 4.4 a Profil menegak transpor per 5 meter kedalaman, dan b Transek pengukuran arus yang digunakan dalam perhitungan transpor garis merah. Analisis lebih lanjut atas profil vertikal arus dengan menampilkan struktur shear arus S 2 Gambar 4.5 menunjukkan bahwa nilai dan intensitas shear arus meningkat seiring memasuki alur selat serta pada area topografi yang dangkal. Nilai rata-rata shear perairan Selat Alor sebesar 5,9 x 10 -4 s -2 atau dalam orde O10 -4 . Meningkatnya shear arus berpotensi mendistorsi stabilitas massa air yang mengarah pada terbentuknya turbulensi yang mengakibatkan percampuran massa air. 41 Gambar 4.5 a Profil menegak shear arus di Selat Alor. Garis kontur hitam tebal adalah nilai S 2 = 5 x 10 -4 dan b Rata-rata nilai S 2 per stasiun. Stasiun-stasiun dinyatakan dengan gradasi warna. b a 42 4.3 Profil Menegak Temperatur, Salinitas, dan Densitas Kedalaman dalam tekanan, dbar lapisan permukaan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan dalam di masing-masing stasiun disajikan pada bagian Lampiran 5. Berdasarkan profil menegak temperatur Gambar 4.6, lapisan permukaan tercampur surface mixed layer pada perairan sebelah utara Selat Alor lebih tebal dibandingkan pada perairan dalam dan selatan selat. Lapisan permukaan tercampur memiliki temperatur yang relatif homogen akibat pengadukan yang dipicu oleh gesekan angin Stewart, 2003. Lapisan permukaan tercampur pada perairan sebelah utara Selat Alor Stasiun 1 dan 2 atau Laut Flores memiliki temperatur rata-rata 27,46 o C di Stasiun 1 dan 27,48 o C di Stasiun 2 . Nilai ini tampak mendekati perolehan Ilahude dan Gordon 1996 pada saat musim tenggara Agustus-September, 1993 sebesar 26,10-27,50 o C di Laut Flores, Laut Banda bagian barat, dan Laut Timor. Memasuki perairan dalam selat Stasiun 3 dan 4, temperatur rata-rata lapisan permukaan tercampur relatif tidak berbeda, sebesar 27,31 o C Stasiun 3 dan 27,41 o C Stasiun 4. Salinitas dan densitas di lapisan permukaan tercampur perairan sebelah utara Selat Alor atau Laut Flores memiliki rata-rata 33,70 PSU; 21,60 kg m -3 Stasiun 1 dan 33,86 PSU; 21,70 kg m -3 Stasiun 2. Memasuki perairan dalam selat Stasiun 3 dan 4, salinitas dan densitas rata-rata lapisan permukaan tercampur adalah 33,76 PSU; 21,68 kg m -3 Stasiun 3 serta 33,85 PSU dan 21,72 kg m -3 Stasiun 4. Pada perairan sebelah selatan selat, kisaran nilai temperatur, salinitas, dan densitas lapisan permukaan tercampur berturut-turut adalah 24,39- 26,14 o C; 33,88-33,97 PSU; dan 22,20-22,71 kg m -3 . 43 Gambar 4.6 Profil menegak temperatur a, salinitas b, dan densitas σ θ c di perairan Selat Alor. 44 Di bawah lapisan permukaan tercampur, terdapat lapisan termoklin yang dikarakterisasi oleh penurunan temperatur yang tajam terhadap kedalaman. Secara keseluruhan, pita lapisan termoklin memiliki pola yang hampir sama berhimpitan dengan pita lapisan piknoklin. Pada perairan Laut Flores, lapisan ini berada pada rentang tekanan 26-324 dbar di Stasiun 1 dan 13,5-289 dbar di Stasiun 2; dengan pita temperatur dan densitas 9,80-27,48 o C; 21,61-26,63 kg m -3 di Stasiun 1 dan 9,83-27,43 o C; 21,72-26,63 kg m -3 di Stasiun 2. Keberadaan struktur penurunan temperatur yang berundak step like diduga merupakan indikasi adanya percampuran turbulen yang kuat sehingga profil temperatur dan densitas pada lapisan termoklin tidak menurun tajam terhadap kedalaman Matsuno et al., 2005. Salinitas pada lapisan termoklin di Laut Flores sebelah utara perairan Selat Alor memiliki kisaran 33,73-34,55 PSU di Stasiun 1 dan 33,86-34,55 PSU di stasiun 2. Nilai salinitas maksimum tampak mendekati temuan Ilahude dan Gordon 1996 di Laut Flores sebesar 34,50 PSU. Seiring memasuki perairan dalam Selat Alor, pita temperatur dan densitas di Stasiun 3 adalah 9,39-27,41 o C; 21,70-26,69 kg m -3 dan 10,03-27,40 o C; 21,74- 26,59 kg m -3 di Stasiun 4. Salinitas lapisan termoklin perairan dalam selat memiliki kisaran 33,79-34,56 PSU di Stasiun 3 dan 33,88-34,54 PSU di Stasiun 4. Pada perairan sebelah selatan Selat Alor batas atas lapisan termoklin berkisar 5-10 dbar. Relatif dangkalnya lapisan termoklin serta tipis dan terdistorsinya lapisan permukaan tercampur ditandai dengan struktur penurunan temperatur yang landai diduga berkaitan dengan melemahnya pengaruh angin muson tenggara di perairan Selat Alor. Temperatur dan densitas lapisan termoklin keseluruhan stasiun pada perairan selatan Selat Alor berada pada kisaran pita 8,84-26,56 o C; 22,04-26,84 kg m -3 . Salinitas lapisan termoklin memiliki kisaran 33,88-34,61 PSU. Lapisan dalam yang diidentifikasi dengan penurunan temperatur namun tidak setajam lapisan termoklin, yakni sekitar 0,009 o C per dbar di Stasiun 2. Nilai densitas menurun dengan gradien penurunan sekitar 0,002 kg m -3 per dbar. Pada lapisan dalam perairan dalam selat, nilai temperatur menurun dengan gradien penurunan 0,002 o C di Stasiun 3 dan 0,006 o C per dbar di Stasiun 4. Nilai densitas 45 menurun dengan gradien penurunan sekitar 0,001 kg m -3 per dbar di kedua stasiun tersebut. Pada lapisan dalam di perairan sebelah selatan Selat Alor, batas atas lapisan dalam bervariasi pada tekanan 240-430 dbar. Temperatur dan densitas keseluruhan stasiun pada perairan selatan Selat Alor memiliki kisaran gradien penurunan temperatur dan densitas berturut-turut sekitar 0,005-0,015 o C; 0,001- 0,003 kg m -3 per dbar. Profil menegak temperatur, salinitas, dan densitas pada setiap stasiun disajikan berturut-turut pada bagian Lampiran 1, Lampiran 2, dan Lampiran 3. 4.4 Karakteristik Massa Air 4.4.1 Tipe Massa Air Identifikasi tipe massa air dilakukan dengan menganalisis profil diagram TS Gambar 4.7. Tabulasi hasil identifikasi tipe massa air disajikan pada Tabel 4.1. Pada Gambar 4.7 tampak terdapat massa air pada lapisan permukaan tercampur dengan salinitas dan densitas rendah, serta temperatur yang relatif tinggi dibandingkan dengan lapisan lainnya. Massa air ini diduga merupakan massa air perairan lokal. Massa air dengan salinitas maksimum pada lapisan atas termoklin yang mencirikan Massa Air Subtropis Pasifik Utara North Pacific Subtropical Water, NPSW teridentifikasi di perairan sebelah utara Selat Alor pada σ θ = 23,00-24,50 kg m -3 . Massa air ini diidentifikasi sebagai massa air dari Pasifik Utara yang masuk sebagai Arus Lintas Indonesia Arlindo melalui dorongan arus Mindanao dan masuk ke Selat Makassar. Sebagian dari massa air ini diteruskan keluar melalui Selat Lombok, dan sebagian diteruskan masuk ke Laut Flores. Atmadipoera et al. 2009 menyatakan bahwa massa air NPSW dicirikan oleh σ θ 24,50; di mana pada selat keluaran arlindo memiliki salinitas sekitar 34,53 PSU. Massa air lapisan Pertengahan Pasifik Utara North Pacific Intermediate Water, NPIW yang dicirikan oleh salinitas minimum tidak teridentifikasi secara jelas keberadaannya pada waktu penelitian ini. Lemahnya ciri khas massa air salinitas minimum NPIW diduga karena pengaruh percampuran dengan massa air 46 salinitas tinggi yang berasal dari Pasifik Selatan pada σ θ = 26-27 di Laut Flores bagian timur. Massa air Pasifik selatan sampai di Laut Banda melalui jalur timur, yakni dari Laut Halmahera melalui dorongan arus ekuator selatan South Equatorial Current, SEC Ilahude dan Gordon, 1996. Gambar 4.7 Identifikasi tipe massa air di perairan Selat Alor dan sekitarnya dari seluruh stasiun. Massa air bersalinitas maksimum yang mencirikan NPSW teridentifikasi di di sebelah utara selat, sedangkan massa air NISW dan NIIW teridentifikasi di sebelah selatan selat. Pada perairan sebelah selatan Selat Alor teridentifikasi Massa Air Subtropis Hindia Utara North Indian Subtropical Water, NISW. Dalam penelitian ini, diperoleh salinitas maksimum NISW tampak menjangkau pada permukaan isopiknal sekitar σ θ = 24,50-25,80; dengan inti salinitas maksimum tertinggi di Stasiun 14. Pada kedalaman menengah, diidentifikasi adanya Massa Air Lapisan Menengah Samudera Hindia Utara North Indian Intermediate Water, NIIW 47 dengan inti salinitas maksimum 34,70 PSU; σ θ = 26,99 kg m -3 di tekanan 532 dbar. NIIW yang teridentifikasi di perairan selatan Selat Alor ini merupakan massa air dari Samudera Hindia yang diduga terdorong oleh arus bawah ke arah timur SJC. Temuan NIIW ini sekaligus mengindikasikan eksistensi aliran arus selatan Jawa yang sampai hingga Laut Sawu. SJC dan SJUC South Java Under Current ini bahkan teramati hingga di Selat Ombai sebagaimana dinyatakan oleh Sprintall et al. 2009b dari data mooring INSTANT di sisi sebelah utara Ombai. Tabel 4.1 Tipe dan karakter massa air perairan Selat Alor dan sekitarnya. Tekanan dbar Massa Air Temperatur Potensial o C Salinitas PSU Densitas σ θ , kg m -3 23-138 Northern Pacific Subtropical Waters NPSW 18,82-24,24 33,98-34,56 23,00-24,50 103-181 Northern Indian Subtropical Waters NISW 15,05-19,27 34,22-34,55 24,50-25,50 340-592 Northern Indian Intermediate Waters NIIW 7,57-9,12 34,59-34,70 26,80-27,05 4.4.2 Transformasi Massa Air dari Laut Flores Menuju Laut Sawu Berdasarkan hasil identifikasi aliran arus dan perhitungan nilai volume transpor pada saat observasi, diperoleh bahwa resultan transpor massa air di Selat Alor adalah dari Laut Flores menuju ke selatan masuk ke dalam Selat Alor dan keluar pada kanal masuk perairan Laut Sawu. Hal ini mengindikasikan bahwa kemungkinan besar adanya transformasi massa air adalah perubahan karakteristik massa air Laut Flores yang dicirikan dengan salinitas maksimum massa air NPSW, seiring alirannya menuju Laut Sawu. Namun demikian, menurut Sprintall 2009b, terdapat kemungkinan aliran yang berbalik arah ke Laut Flores sewaktu lewatnya gelombang Kelvin, sehingga transformasi massa air juga akan berbalik. 48 Gambar 4.8 Profil diagram TS pada stasiun-stasiun di mana masih dapat diidentifikasi jejak salinitas maksimum NPSW beserta kedalamannya. Hasil pengamatan secara visual menunjukkan bahwa massa air salinitas maksimum NPSW secara jelas teridentifikasi pada Stasiun 2 masukan selat Alor bagian timur dan dalam kanal selat 3 dan 4. Melewati mulut keluaran selat dan memasuki perairan Laut Sawu, ciri salinitas maksimum NPSW tampak semakin mengecil dan hanya dapat dijejaki di Stasiun 6, 8, 9, 10, dan 14. Profil TS di Stasiun 1, 2, 3, 4, 6, 8, 9, 10, dan 14 beserta kedalaman di mana masih teridentifikasi jejak lapisan inti massa air salinitas maksimum NPSW diperlihatkan pada Gambar 4.8. Masih teridentifikasinya jejak NPSW pada kedalaman-kedalaman tersebut konsisten dengan net transpor yang mengarah ke Laut Sawu Gambar 4.4. Secara spasial, terdeteksinya massa air salinitas maksimum NPSW hanya pada stasiun-stasiun tersebut diduga berkaitan dengan posisinya yang relatif 49 terbuka atau berada pada alur aliran Selat Alor. Di Stasiun 5, meskipun berada di dekat alur selat, salinitas maksimum yang mencirikan NPSW tidak dapat terdeteksi secara visual. Kondisi ini diduga berkaitan dengan kuatnya turbulensi yang memicu percampuran massa air yang relatif merata dikaji lebih lanjut pada sub bahasan 4.5, sehingga menghilangkan ciri utama NPSW salinitas maksimum. Modifikasi massa air NPSW dari Laut Flores menuju Laut Sawu melalui Selat Alor diestimasi secara kualitatif menggunakan metode lapisan inti core layer sebagaimana Mamayev 1975. Analisis dilakukan dengan pendekatan percampuran tiga massa air Gambar 4.9, yakni: I massa air lapisan atas 27,46 o C; 33,88 PSU, II massa air salinitas maksimum NPSW 22,02 o C; 34,56 PSU, dan III massa air lapisan bawah 11,48 o C; 34,52 PSU dari stasiun acuan Stasiun 1. Persentase massa air NPSW hasil perhitungan sketsa transformasi pada masing-masing stasiun yang masih teridentifikasi secara visual jejak salinitas maksimumnya disajikan dalam Tabel 4.2. Menurunnya persentase massa air NPSW di Stasiun 2 hingga Stasiun 4 diduga berhubungan dengan reduksi seiring perjalanannya ke arah timur dan ke dalam selat serta kaitannya dengan turbulensi aliran yang memicu terjadinya percampuran massa air. Tampak pula persentase NPSW di Stasiun 6 jauh lebih kecil dibandingkan di Stasiun 8, 9, 10, dan 14. Diduga di atas dan di bawah lapisan inti NPSW pada Stasiun 6 terjadi turbulensi dan percampuran yang intensif, sehingga menyisakan salinitas maksimum NPSW yang lebih pekat di antaranya. 50 Gambar 4.9 Sketsa transformasi massa air salinitas maksimum NPSW II dari Stasiun 1 merah yang digunakan untuk menghitung porsi massa air I, II, dan III di titik pertemuan ketiga garis pada Stasiun tertentu inset : i Stasiun 1 dan Stasiun 2, ii Stasiun 1 dan Stasiun 3, iii Stasiun 1 dan Stasiun 4, iv Stasiun 1 dan Stasiun 6. Huruf a dan b, c dan d, serta e dan f berturut-turut menyatakan jarak proporsional massa air I, II, dan III terhadap massa air satu dengan lainnya. 51 Gambar 4.9 lanjutan : v Stasiun 1 dan Stasiun 8, vi Stasiun 1 dan Stasiun 9, vii Stasiun 1 dan Stasiun 10, iv Stasiun 1 dan Stasiun 14. Grafik persentase kontribusi massa air I, II, dan III pada titik salinitas maksimum NPSW yang teridentifikasi di masing-masing stasiun disajikan pada Gambar 4.10. Tampak bahwa kontribusi massa air lapisan atas I lebih tinggi dibandingkan dengan massa air lapisan bawah III dalam merubah karakter 52 massa air NPSW II. Kondisi ini berkaitan dengan relatif besar dan kontinyunya pasokan massa air yang keluar selat pada lapisan atas Gambar 4.3 dan Gambar 4.4. Pengamatan secara visual pada stasiun-stasiun lainnya di perairan selatan Selat Alor tidak ditemukan lagi jejak salinitas maksimum massa air NPSW. Dengan demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa terobosan massa air NPSW telah mengalami transformasi dan mulai kehilangan karakternya seiring menjauhi alur Selat Alor. Di samping itu, dari identifikasi jejak massa air NPSW di perairan selatan Selat Alor diperoleh bahwa massa air yang menerobos ini hanya berpengaruh pada permukaan isopiknal, σ θ sekitar 23-24. Pada σ θ 24, massa air NISW tampak mulai memberikan pengaruh dengan intensitas yang meningkat seiring menjauhi mulut selat. Tabel 4.2 Karakter massa air salinitas maksimum NPSW dan persentase relatifnya terhadap stasiun 1. NPSW Stasiun Temperatur Pot. o C Salinitas PSU σ θ kg m -3 Kedalaman m 1 22,000 34,560 23,885 131 100,0 2 22,390 34,440 23,685 127 76,4 3 21,120 34,490 24,071 123 76,6 4 22,770 34,200 23,393 95 31,2 5 tt tt tt tt tt 6 23,060 34,080 23,222 102 2,9 7 tt tt tt tt tt 8 22,710 34,110 23,341 82 10,0 9 22,270 34,140 23,491 75 19,6 10 22,070 34,170 23,570 61 21,0 11 tt tt tt tt tt 12 tt tt tt tt tt 13 tt tt tt tt tt 14 23,280 34,130 23,198 48 17,6 15 tt tt tt tt tt tt – tidak teramati secara visual. 53 Gambar 4.10 Persentase massa air lapisan atas I, NPSW II, dan lapisan bawah III pada masing-masing stasiun yang dihitung dengan metode lapisan inti core layer Mamayev, 1975. Stasiun 1 merupakan stasiun referensi atau asal massa air, di mana inti salinitas maksimum massa air II NPSW ditetapkan 100. 4.5 Stabilitas Kolom Air 4.5.1 Frekuensi Brunt Väisälä N Ketidakstabilan dalam kolom air yang berpotensi memicu terjadinya percampuran massa air dapat diungkapkan dengan menghitung nilai frekuensi daya apung atau frekuensi Brunt Väisälä. Hasil perhitungan frekuensi Brunt Väisälä N 2 dari keseluruhan stasiun. Profil menegak N 2 berkaitan dengan profil menegak temperatur dan densitas diperlihatkan pada Gambar 4.11. Nilai N 2 meningkat dengan tajam seiring memasuki lapisan termoklin atau piknoklin lapisan termoklin dalam penelitian ini berhimpit dengan lapisan piknoklin. Pola seperti ini serupa dengan yang diperoleh Guo et al. 2006 di Laut Cina Selatan bagian utara dan Wallace et al. 2008 di Teluk Marguerite, semenanjung Antartika barat. Nilai N 2 yang tinggi pada lapisan termoklin disebabkan karena pada lapisan ini terdapat juga lapisan piknoklin yang merupakan lapisan dimana gradien densitas meningkat secara tajam terhadap kedalaman tekanan Pond dan 54 Pickard, 1983. Dengan ungkapan lain, lapisan termoklin merupakan lapisan yang paling stabil dibandingkan lapisan permukaan tercampur dan lapisan dalam. Dinyatakan pula bahwa jika nilai N 2 semakin tinggi maka stabilitas statik suatu kondisi di mana massa air dengan densitas rendah berada di atas massa air dengan densitas tinggi suatu lapisan akan semakin besar. Sebaliknya, nilai N 2 yang negatif merupakan indikasi adanya ketidakstabilan massa air. Pada Gambar 4.12 diperlihatkan profil N 2 yang diperbesar dari profil N 2 Gambar 4.11 untuk nilai- nilai N 2 0 negatif beserta latar profil topografi. Tabulasi kisaran nilai N 2 pada setiap lapisan disajikan pada Lampiran 5. Stasiun-stasiun di sepanjang alur kanal Selat Alor 1, 3, dan 4 tampak memiliki kondisi ketidakstabilan kolom air yang tinggi, ditandai dengan relatif banyaknya nilai N 2 yang bernilai negatif Gambar 4.12 a. Konsentrasi ketidakstabilan kolom air terjadi pada lapisan dalam di Stasiun 1, dan tampak merambah hingga lapisan dekat permukaan seiring memasuki kanal selat. Memasuki mulut selatan selat, N 2 yang bernilai negatif masih terlihat di Stasiun 5 dan 6. Tingginya intensitas kolom air yang tidak stabil pada alur kanal selat diduga berkaitan dengan kondisi arus, di mana pada sistem kanal, nilai arus yang cukup tinggi serta interaksinya dengan dasar perairan dapat berpotensi mendistorsi kestabilan kolom air. Adapun di perairan sebelah selatan Selat Alor, intensitas N 2 yang bernilai negatif tampak relatif jauh lebih sedikit dibandingkan pada bagian dalam kanal selat dan di dekat mulut keluaran selat. Seiring menjauhi mulut selat, intensitas ketidakstabilan massa air juga menurun Gambar b, c, dan d. Kondisi ini menyiratkan bahwa terganggunya stratifikasi massa air diakibatkan oleh turbulensi aliran yang dipicu oleh topografi ambang dalam selat. Dengan ungkapan lain, diduga kondisi latar shear arus yang tinggi berpotensi menghasilkan aliran turbulensi yang mengganggu stabilitas massa air dikaji lebih lanjut pada sub bagian 4.5.2. 55 Gambar 4.11 Profil menegak frekuensi Brunt Väisälä N 2 , s -2 yang ditumpangtindihkan dengan profil temperatur biru dan densitas σ θ , hijau: Stasiun 1, 2, 3, dan 4 56 Gambar 4.11 lanjutan: Stasiun 5, 6, 7, dan 8. 57 Gambar 4.11 lanjutan: Stasiun 9, 10, 11, dan 12. 58 Gambar 4.11 lanjutan: Stasiun 13, 14, dan 15. 59 Gambar 4.12 Profil menegak frekuensi apung, hanya menampilkan N 2 0: a Stasiun 1, 2, 3, dan 4. celah barat a celah timur 60 Gambar 4.12 Profil menegak frekuensi apung, hanya menampilkan N 2 0: b Stasiun 5, 9, dan 14. b 61 Gambar 4.12 lanjutan: c Stasiun 6, 8, 10, dan 13. c 62 Gambar 4.12 lanjutan: d Stasiun 7, 11, dan 12. d d 63 4.5.2 Gradien Richardson Ri Indikasi stabilitas kolom air dapat diketahui pula dari proporsi hubungan antara frekuensi Brunt Väisälä dalam kondisi tak terganggu dihitung dari densitas yang sudah di-reorder dengan shear arus S 2 , atau yang biasa dikenal dengan gradien Richardson Ri Bruno et al., 2006. Cara untuk menginvestigasi struktur vertikal intensitas percampuran adalah dengan melihat statistik distribusi Ri≤0,25 dari rata-rata N 2 dan S 2 untuk setiap harinya pada masing-masing bin Shaffer, 1986. Namun, mengingat pengukuran arus dalam penelitian ini hanya bersifat sesaat, maka profil menegak Ri akan dianalisis dinamikanya secara vertikal untuk mengidentifikasi lapisan-lapisan yang diduga berpotensi terjadi turbulensi yang dapat memicu percampuran massa air Ri≤0,25. Profil menegak Ri keseluruhan stasiun diperlihatkan pada Gambar 4.13. Kendala teknis pengukuran SADCP yang mengakibatkan jangkauan efektif pengukuran hanya hingga kedalaman sekitar 200 meter menjadikan analisis karakteristik Ri dalam penelitian ini hanya merepresentasikan kondisi lapisan permukaan tercampur dan lapisan termoklin bagian atas. Berkaitan dengan aliran massa air dari perairan Laut Flores menuju Laut Sawu melalui Selat Alor, diperoleh kesesuaian antara karakteristik susupan massa air salinitas maksimum NPSW dengan profil Ri. Estimasi secara visual dilakukan dengan asumsi bahwa masih dapat diidentifikasinya jejak salinitas maksimum NPSW pada kedalaman tertentu di stasiun-stasiun sebagaimana pada Gambar 4.8 merupakan indikasi bahwa pada kedalaman tersebut potensi turbulensi yang dapat memicu percampuran massa air sangat kecil, sehingga tidak dapat merubah ciri khas massa air NPSW salinitas maksimum. Dengan ungkapan lain, pada titik kedalaman tersebut nilai Ri0,25. Bertolak dari asumsi ini, diperoleh kesesuaian nilai Ri0,25 pada kedalaman di mana teridentifikasi jejak salinitas maksimum NPSW tanda panah biru pada Gambar 4.13 di Stasiun 1, 2, 3, 4, 6, 8, 9, 10, dan 14. Kendati demikian, asumsi ini hanyalah pendekatan yang bersifat deskriptif berdasarkan pengamatan visual. Artinya, jika masih dapat diidentifikasi dengan relatif jelas jejak massa air maka dimungkinkan akan bersesuaian dengan nilai 64 Ri0,25. Sebaliknya jika sudah tidak dapat diidentifikasi dengan jelas atau bahkan hilang maka dimungkinkan akan bersesuaian dengan nilai Ri ≤ 0,25. Gambar 4.13 Profil menegak gradien Richardson Ri merah yang ditumpangtindihkan pada profil menegak salinitas biru: Stasiun 1 hingga 9. Tanda panah biru menunjukkan kedalaman di mana jejak NPSW yang dideduksi dari profil TS Gambar 4.8 masih teridentifikasi. St 01 St 02 St 03 St 04 St 06 St 08 St 09 St 05 St 07 65 Gambar 4.13 lanjutan: Stasiun 10 hingga 15. Nilai Ri merupakan representasi proporsi hubungan yang menggabungkan antara pengaruh stabilitas massa air efek struktur densitas dengan kekuatan mekanik penggerak massa air tersebut. Terbentuknya turbulensi memerlukan adanya gradien kecepatan arus Pond dan Pickard, 1983. Ketidakstabilan dinamik dapat terjadi apabila terdapat peningkatan atau penurunan kecepatan dari satu tingkat ke tingkat lainnya. Masih menurut Pond dan Pickard 1983, secara empirik ketika Ri0,25 maka turbulensi tidak dapat terbentuk meskipun terdapat gradien vertikal kecepatan. Dengan demikian, distribusi secara vertikal medan massa kaitannya dengan variasi kekentalan viscosity massa air juga akan menentukan modifikasi turbulensi mekanik yang timbul. Hasil identifikasi susupan massa air salinitas maksimum NPSW yang dijumpai sangat kecil di Stasiun 6 2,9 dibandingkan di Stasiun 8, 9, 10, dan 14 di perairan Laut Sawu tampak bersesuaian dengan pola Ri di Stasiun 6, di mana lebih dari 50 kolom air hingga kedalaman 150 meter didominasi oleh Ri≤0,25. St 14 St 10 St 11 St 12 St 13 St 15 66 Di Stasiun 5, tidak dapat diidentifikasi jejak salinitas maksimum NPSW; dan tampak bersesuaian dengan Ri≤0,25 pada rentang kedalaman 95-110 meter. Dengan ungkapan lain, pada rentang kedalaman ini terdapat potensi turbulensi yang dapat memicu percampuran. Merujuk sebagaimana dinyatakan oleh Bruno et al. 2006 bahwa nilai Ri di bawah batas kritis 0,25 mengindikasikan bahwa percampuran dapat terjadi dalam suatu porsi kolom air tersebut. Hal serupa juga dinyatakan oleh Yoshida dan Oakey 1996 bahwa ketika Ri lebih rendah dari nilai kritis, maka lapisan fluida menjadi lebih turbulen dan memicu terjadinya percampuran. Di perairan sebelah selatan Selat Alor pada permukaan isopiknal σ θ 24 massa air NISW tampak mulai memberikan kompetisi pengaruh. Berbeda dengan estimasi susupan NPSW yang mendasarkan pada pola arus atau aliran terobosan dari Selat Alor sebagai pembawa massa air, estimasi pengaruh NISW didasarkan pada kondisi arus pada stasiun-stasiun pengamatan sebagai sumber informasi asal massa air. Secara visual tingkat turbulensi-percampuran massa air didasarkan pada kedekatan rentang secara profil diagram diagram TS sebagaimana sebelumnya, yakni argumentasi deskriptif bahwa masih dapat diidentifikasinya salinitas maksimum NISW mengindikasikan pada kedalaman tersebut potensi turbulensi yang dapat memicu percampuran massa air sangat kecil, sehingga tidak dapat merubah ciri khas massa air. Dengan menjadikan Stasiun 14 sebagai titik awal sebelum terjadinya modifikasi nilai salinitas maksimum NISW tertinggi sebesar 34,57 PSU dan σ θ 25,77 kg m -3 , serta pola arus pada kedalaman 50 meter relatif mengarah ke timur Gambar 4.3, diperoleh kesesuaian antara profil Ri dengan profil TS pada kedalaman yang terindikasi turbulensi yang lemah Ri0,25 atau kuat Ri≤0,25 di stasiun-stasiun lainnya. Di Stasiun 13, pada kedalaman permukaan hingga sekitar 70 meter serta kedalaman 175 meter diperoleh indikasi kuat adanya potensi percampuran Ri0,25. Kondisi ini sejalan dengan reduksi salinitas diagram TS Stasiun 14 merah muda menuju Stasiun 13 merah hati pada rentang kedalaman tersebut Gambar 4.14 kotak a dan kotak c. Lemahnya potensi percampuran mencapai 67 optimum pada kedalaman sekitar 105-170 meter yang ditandai dengan tingginya nilai Ri. Di Stasiun 11, mendasarkan pada pola arus sebagaimana pada Gambar 4.3, pada lokasi ini berlaku arus terpicu angin musim dari arah timur. Dengan demikian, karakteristik massa air di stasiun ini dimungkinkan merupakan transformasi dari massa air Stasiun 12 pada kedalaman 100 meter dan massa air Stasiun 13 pada kedalaman 100 meter. Pada Gambar 4.15 diperlihatkan transformasi massa air di stasiun 11 hijau kebiruan dari Stasiun 12 abu-abu kebiruan dan 13 merah hati. Pada kedalaman 15-50 meter tampak reduksi salinitas pada kedalaman ini kotak a bersesuaian dengan Ri 0,25. Pada kedalaman 80-120 meter tampak adanya kondisi TS yang tidak jauh berbeda antara Stasiun 11 dengan Stasiun 12. Kondisi ini juga bersesuaian dengan nilai Ri0,25. Pada kedalaman 135-165 meter terjadi reduksi salinitas yang sangat kecil massa air Stasiun 13 di Stasiun 11 kotak c sehingga masih menyisakan jejak salinitas maksimum NISW. Kondisi ini tampak bersesuaian dengan tingginya nilai Ri pada rentang kedalaman tersebut. Gambar 4.14 Sketsa kesesuaian antara potensi turbulensi dari profil gradien Richardson Ri dengan dugaan percampuran secara isopiknal massa air di Stasiun 14 merah muda dan 13 merah hati pada diagram TS. Area arsiran pada profil Ri adalah nilai Ri0,25. Notasi a, b, dan c adalah rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil Ri kanan. 68 Gambar 4.15 Sketsa kesesuaian antara potensi turbulensi dari profil gradien Richardson Ri dengan dugaan percampuran secara isopiknal massa air dari Stasiun 13 merah hati menuju Stasiun 11 hijau kebiruan, serta dari Stasiun 12 abu-abu kebiruan menuju Stasiun 11 pada lapisan permukaan hingga kedalaman 120 meter pada diagram TS. Area arsiran pada profil Ri adalah nilai Ri0,25. Notasi a, b, dan c adalah rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil Ri kanan. Di Stasiun 7, pada lokasi ini berlaku arus balik counter current dan arus terpicu angin musim dari arah tenggara Gambar 4.3. Dengan demikian, dimungkinkan massa air di Stasiun 7 merupakan modifikasi dari massa air di Stasiun 11 sebelah selatannya. Tampak pada Gambar 4.16, di kedalaman sekitar 25-45 meter dan 135 meter diperoleh indikasi kuat adanya potensi percampuran Ri0,25. Kondisi ini bersesuaian dengan modifikasi massa air di Stasiun 7 hitam dari Stasiun 11 hijau kebiruan yang relatif kuat kotak a. Sedangkan pada kedalaman di antara keduanya, tampak relatif tidak terdapat perbedaan karakteristik TS kotak b, yang ditandai pula dengan tingginya nilai Ri pada lapisan tersebut. Di samping itu, tampak bahwa ciri khas massa air NISW sudah hilang pada Stasiun 7. 69 Gambar 4.16 Sketsa kesesuaian antara potensi turbulensi dari profil gradien Richardson Ri dengan dugaan percampuran secara isopiknal massa air di Stasiun 11 hijau kebiruan dan 7 hitam pada diagram TS. Area arsiran pada profil Ri adalah nilai Ri0,25. Notasi a dan b adalah rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil Ri kanan. Di Stasiun 10, pada kedalaman 50 meter terdapat pembalikan aliran yang bertemu dengan arus dari arah timur hingga kedalaman 100 meter Gambar 4.3. Pada kedalaman 100 meter, terdapat aliran dari arah barat yang mendominasi. Dengan mendasarkan pada kemungkinan percampuran secara isopiknal dan dominan arus adalah arus dari arah barat, maka kemungkinan massa air di Stasiun 10 ini merupakan transformasi dari massa air Stasiun 14. Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4.17, di kedalaman 30 meter diperoleh indikasi kuat adanya potensi percampuran Ri0,25. Kondisi ini bersesuaian dengan modifikasi massa air di Stasiun 10 hijau dari Stasiun 14 merah muda kotak a. Pada kedalaman 100-160 meter, terjadi reduksi salinitas yang sangat kecil kotak b massa air Stasiun 14 di Stasiun 10. Kondisi ini tampak relatif bersesuaian dengan tingginya nilai Ri pada rentang kedalaman tersebut. 70 Gambar 4.17 Sketsa kesesuaian antara potensi turbulensi dari profil gradien Richardson Ri dengan dugaan percampuran secara isopiknal massa air di Stasiun 10 hijau dan 14 merah muda pada diagram TS. Area arsiran pada profil Ri adalah nilai Ri0,25. Notasi a dan b adalah rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil Ri kanan. Adapun di Stasiun 5, 6, dan 8; jejak salinitas maksimum NISW tampak mulai hilang. Diduga, kuatnya aliran keluaran Selat Alor yang membawa massa air dari Laut Flores mendominasi kolom air sehingga mendistorsi karakter massa air NISW. Profil TS di Stasiun 5, 6, 8, dan 9 yang berada pada alur keluaran Selat Alor, serta di Stasiun 14 dan 15 kedua stasiun ini memiliki karakteristik TS yang hampir mirip sebagai stasiun referensi sumber massa air NPSW, dan Stasiun 4 sebagai referensi sumber massa air yang keluar dari mulut selat Gambar 4.18. Tampak bahwa pada σ θ = 24-26, massa air di Stasiun 5, 6, 8, dan 9 merupakan massa air transisi antara Stasiun 4 dan Stasiun 14. Sulit diidentifikasi kesesuaian antara profil Ri dengan profil TS pada Stasiun 5, 6, dan 8 mengingat kompetisi pengaruh antara massa air keluaran selat Stasiun 4 dengan massa air di Stasiun 14. Jejak NISW masih jelas teridentifikasi pada stasiun 9 123,642 BT; 8,524 LS, dan tampak bersesuaian dengan profil Ri. 71 Terdapat beberapa keterbatasan atas estimasi kemungkinan terjadinya percampuran dengan pendekatan gradien Ri dalam penelitian ini. Pertama adalah tidak tercakupnya profil Ri dalam satu periode pasang-surut pasut. Sebagaimana dinyatakan oleh Bruno et al. 2006 pasut berperan dalam evolusi Ri kaitannya dengan fenomena pasut internal yang dapat memodifikasi profil nilai kritis serta jangkauannya. Kedua, relatif kasarnya resolusi vertikal data shear arus yang digunakan 5 meter sehingga tidak dapat mendeteksi aktivitas turbulensi yang memiliki resolusi di bawah resolusi vertikal shear arus ini. Sebagaimana dinyatakan Johnson dan Garrett 2004, dalam perhitungan laju percampuran idealnya menggunakan peralatan microstructure. Di samping itu, keterbatasan jangkauan kedalaman pengukuran SADCP menjadikan estimasi potensi turbulensi dengan metode Ri ini hanya merepresentasikan stabilitas kolom air lapisan atas lapisan permukaan tercampur dan lapisan termoklin bagian atas saja. Gambar 4.18 Profil TS di stasiun-stasiun yang berada pada alur keluaran Selat Alor, memperlihatkan adanya transformasi massa air pada σ θ = 24- 26. Pada profil Stasiun 9 cokelat teridentifikasi keberadaan NISW yang tampak kesesuaiannya dengan struktur Ri 0,25 a. Area arsiran pada profil Ri adalah nilai Ri0,25. Notasi a adalah rentang kedalaman yang diamati kesesuaiannya dengan profil Ri kanan. 72 4.6 Estimasi Skala Thorpe Berdasarkan ulasan sebelumnya diperoleh bahwa profil menegak densitas dari pengukuran CTD memiliki struktur ketidakstabilan massa air yang ditandai dengan nilai negatif frekuensi Brunt Väisälä. Dengan demikian, perpindahan displacement parsel massa air yang disebabkan oleh suatu kondisi di mana terdapat parsel massa air yang berdensitas tinggi berada di atas parsel massa air yang berdensitas lebih rendah dimungkinkan terjadi. Pada Gambar 4.19 diperlihatkan contoh kondisi ketidakstabilan massa air di Stasiun 3. Tampak bahwa jika densitas awal hasil pengukuran warna biru disusun ulang reordered ke dalam kondisi yang stabil secara gravitasi densitas rendah berada di atas densitas tinggi warna merah maka dalam pita kolom air yang tidak stabil tersebut akan terjadi perpindahan dari posisi awal menuju posisi baru tanda panah hijau Gambar 4.19 atas. Konfirmasi atas inversi densitas untuk memastikan apakah perpindahan yang terjadi bukan merupakan inversi palsu dilakukan dengan mengidentifikasi profil temperatur pada pita parsel massa air tersebut Gambar 4.19 bawah Peters et al., 1995. Jarak perpindahan titik-titik nilai densitas yang menyesuaikan ke kondisi stabil inilah yang dikenal dengan perpindahan Thorpe Thorpe displacement, d. Di samping diberlakukan uji non zero inversi densitas-temperatur, guna menghilangkan pengaruh gangguan noise dari instrumen CTD yang dapat menjadi rancu dengan nilai d yang sebenarnya, dilakukan penapisan ulang pada nilai d sebagaimana dilakukan oleh Galbraith dan Kelley 1996 atau dikenal dengan metode GK. Kemungkinan noise ini dapat timbul juga akibat pergerakan naik-turun kapal selama pengambilan data Johnson dan Garrett, 2004. Dengan resolusi vertikal data densitas sebesar 0,5 dbar ~0,5 meter, maka nilai minimum d yang dikategorikan sebagai overturn adalah ≥2,5 dbar ~2,5 meter. dengan ungkapan lain, nilai d yang berada di bawah 2,5 meter akan dianggap sebagai noise. Profil d sebelum dan sesudah diberlakukan metode GK untuk keseluruhan stasiun disajikan pada Lampiran 5. 73 Gambar 4.19 Perbandingan densitas atas dan temperatur bawah hasil pengukuran biru dengan setelah disusun ulang reorder, merah di Stasiun 3 yang memperlihatkan adanya ketidakstabilan secara gravitasi. Gambar pada sisi kanan adalah perbesaran gambar pada sisi kiri pada area kotak. Tanda panah mengindikasikan arah relokasi parsel massa air menuju posisi stabil. Dalam penelitian ini, nilai d yang digunakan untuk analisis lebih lanjut adalah nilai yang telah diberlakukan metode GK. Nilai d positif negatif menunjukkan bahwa dalam porsi kolom air tersebut massa air bergerak naik 74 turun sebesar jarak tersebut untuk menyesuaikan ke kondisi yang stabil secara gravitasi. Kondisi demikian terjadi apabila massa air yang berdensitas rendah tinggi berada di bawah massa air yang berdensitas lebih tinggi rendah. Profil vertikal d beserta latar topografi dasar perairan disajikan pada Gambar 4.20. Pada bagian utara Selat Alor, yakni Stasiun 1 dan 2, nilai d pada lapisan permukaan tercampur berada dalam kisaran masing-masing -13 sampai 12,5 meter dan -3 sampai 4 meter. Pada lapisan termoklin, nilai d berada dalam kisaran masing-masing -11,5 sampai 16 di Stasiun 1, sedangkan di Stasiun 2 nilai d berada dalam kisaran -14,5 sampai 7,5 meter. Tingginya kisaran perpindahan d pada lapisan ini tampak dikonfirmasi dengan baik oleh profil Ri yang rendah di kedua stasiun, terutama pada kedalaman 100 meter pada profil Ri Gambar 4.13. Tidak dapat dikonfirmasi kesesuaiannya dengan profil Ri pada kedalaman 150 meter karena berada di luar jangkauan kedalaman perhitungan Ri ~150 meter. Pada lapisan dalam, nilai d untuk Stasiun 1 dan 2 masing-masing berada dalam kisaran -22 sampai 29,5 meter dan -24,5 sampai 28,5 meter. Jika dibandingkan dengan lapisan permukaan tercampur dan lapisan termoklin, tampak nilai d pada lapisan dalam paling tinggi. Kondisi ini diduga akibat rendahnya nilai stabilitas massa air pada lapisan ini Gambar 4.11. Pada bagian dalam kanal Selat Alor Stasiun 3 dan 4, nilai d pada lapisan permukaan tercampur Stasiun 3 berada dalam kisaran -3,5 sampai 2,5 meter, sedangkan di Stasiun 4 tampak tidak terdeteksi adanya nilai d yang ≥2,5 meter. Pada lapisan termoklin, di Stasiun 3 dan 4 masing-masing nilai d berada dalam kisaran -5 sampai 11,5 meter dan -8 sampai 6,5 meter. Kondisi ini tampak relatif bersesuaian dengan nilai profil Ri pada lapisan termoklin 16-295 meter di Stasiun 3 dan 8-262 meter di Stasiun 4, di mana terdapat porsi kolom air dengan nilai Ri ≤0,25 pada kedua stasiun Gambar 4.12. Namun, tampak pula bahwa di Stasiun 3 pada kedalaman sekitar 75-155 meter nilai Ri sangat tinggi, mengindikasikan tingginya stabilitas massa air. Keadaan inilah yang diduga memberikan kontribusi pada rendahnya kisaran nilai d Stasiun 3 dibandingkan Stasiun 4. 75 Gambar 4.20 Profil perpindahan Thorpe, d: a Stasiun 1, 2, 3, dan 4. celah timur celah barat a 76 Gambar 4.20 lanjutan: b Stasiun 5, 9, dan 14. b 77 Gambar 4.20 lanjutan: c Stasiun 6, 8, 10, dan 13. c 78 Gambar 4.20 lanjutan: d Stasiun 7, 11, dan 12. d 79 Pada lapisan dalam, nilai d untuk Stasiun 3 dan 4 masing-masing berada dalam kisaran -22 sampai 17 meter dan -8,5 sampai 18,5 meter. Jika dibandingkan dengan lapisan permukaan tercampur dan lapisan termoklin, tampak nilai d pada lapisan dalam paling tinggi. Kondisi ini diduga akibat rendahnya nilai stabilitas massa air pada lapisan ini Gambar 4.11. Lebih dari itu, tampak bahwa di Stasiun 3 dan 4 perpindahan tertinggi yang terjadi berada di kedalaman sekitar 300 meter atau dekat dasar perairan. Merujuk sebagaimana dinyatakan Polzin et al. 1997, nilai perpindahan yang tinggi di dekat dasar perairan dapat disebabkan adanya interaksi antara topografi dasar perairan dengan arus yang melintas di atasnya. Pada bagian selatan Selat Alor dan dekat dengan pintu kanal keluaran selat Stasiun 5, 6, dan 7; perpindahan pada lapisan permukaan tercampur tampak tidak terdeteksi di Stasiun 5 dan 6. Di Stasiun 7 terdeteksi nilai d berkisar 0 sampai 3,5 meter. Pada lapisan termoklin, nilai d hanya terdeteksi di Stasiun 5 dan 6 masing-masing berkisar -10,5 sampai 8 meter dan -6,5 sampai 9 meter. Konfirmasi dengan profil Ri pada lapisan ini 5-314 meter di Stasiun 5, dan 5,5- 315 meter di Stasiun 6 menunjukkan bahwa terdapat nilai Ri yang dekat dan di bawah batas kritis dengan intensitas yang jauh lebih besar terdapat di Stasiun 6. Kondisi ini tampak bersesuaian dengan profil d yang relatif lebih merata di Stasiun 6 dibandingkan di Stasiun 5. Adapun di Stasiun 7 nilai d berkisar -3 sampai 3 meter, dengan intensitas yang relatif rendah. Kondisi ini tampak bersesuaian dengan profil Ri pada lapisan termoklin di Stasiun 7 yang memiliki nilai sangat tinggi. Pada lapisan dalam, nilai d untuk Stasiun 5, 6, dan 7 masing-masing berada dalam kisaran -5 sampai 4,5 meter; -8,5 sampai 11 meter; dan -26 sampai 27,5 meter. Secara keseluruhan, perpindahan pada lapisan dalam ini memiliki kisaran tertinggi dibandingkan dengan dua lapisan di atasnya. Kondisi ini diduga akibat rendahnya nilai stabilitas massa air pada lapisan ini Gambar 4.12. Profil d di Stasiun 7 juga memperlihatkan intensitas tertinggi inversi densitas terjadi pada lapisan dalam 400 meter. Fenomena ini diduga terkait dengan posisi stasiun 7 yang berada di dekat perairan pantai yang curam Gambar 4.1 sehingga interaksi antara arus dan topografi dasar perairan akan meningkatkan turbulensi pada 80 lapisan dekat dasar. Polzin et al. 1997 menyatakan bahwa tingginya nilai L T pada lapisan dalam juga dapat disebabkan oleh hamburan gelombang internal karena interaksinya dengan topografi dasar perairan. Menjauhi pintu kanal, di Stasiun 8 hingga 15 nilai perpindahan d makin mengecil. Di Stasiun 8, inversi densitas hanya terjadi pada lapisan termoklin dan lapisan dalam, keduanya memiliki kisaran perpindahan -11,5 sampai 5 meter; dan -9,5 meter sampai 7,5 meter. Di Stasiun 9, tidak terdeteksi adanya perpindahan parsel massa air baik pada lapisan permukaan tercampur, sedangkan pada lapisan termoklin memiliki kisaran -3 meter sampai 0 meter. Pada lapisan dalam di Stasiun 9, perpindahan memiliki kisaran -6 sampai 6,5 meter. Meskipun teridentifikasi nilai Ri≤0,25 di kedalaman 80 meter Gambar 4.13, namun diduga hanya menghasilkan turbulensi yang sangat kecil sehingga menghasilkan inversi densitas 2,5 meter tidak lolos setelah diberlakukan metode GK. Di Stasiun 10 dan 11, perpindahan parsel massa air teridentifikasi hanya pada lapisan termoklin dengan kisaran d masing-masing -5,5 sampai 5,5 meter dan -7,5 sampai 6 meter. Hasil konfirmasi dengan profil Ri diperoleh adanya kesesuaian, di mana di Stasiun 10 kedalaman lapisan termoklin 6-330 meter pada kedalaman 30 meter Ri di bawah batas kritis. Sedangkan di Stasiun 11 kedalaman lapisan termoklin 10-275 meter, nilai Ri pada kedalaman 50 meter juga di bawah batas kritis. Pada lapisan dalam, nilai d untuk Stasiun 10 dan 11 masing-masing berada dalam kisaran -2,5 sampai 3,5 meter; dan -6 sampai 6 meter. Relatif jarangnya distribusi perpindahan pada kedua stasiun ini diduga terjadi akibat tingginya stabilitas massa air Gambar 4.12. Di Stasiun 12, 13, dan 14; perpindahan parsel massa air teridentifikasi hanya pada lapisan termoklin dan lapisan dalam. Pada lapisan termoklin kisaran d masing-masing -2,5 sampai 2,5 meter; -3 sampai 3 meter; dan -2,5 sampai 3 meter. Meskipun teridentifikasi adanya nilai Ri di dekat dan di bawah batas kritis pada kedalaman 50 meter di ketiga stasiun Gambar 4.13, namun diduga shear arus S 2 yang bekerja tidak mampu menekan kuatnya stabilitas massa air N 2 , sehingga perpindahan d yang ditimbulkan sangat kecil 2,5 meter. Adapun di Stasiun 15, karena lokasi stasiun ini yang relatif tertutup dari pengaruh aliran Selat 81 Alor, maka dimungkinkan memiliki stabilitas massa air cukup tinggi Gambar 4.11 dan Gambar 4.12 tidak mampu diimbangi oleh kecilnya shear arus di lokasi ini. Akibatnya, nilai Ri di stasiun ini Gambar 4.13 tampak jauh di atas batas kritis atau tidak memungkinkan terbentuknya turbulensi. 4.7 Disipasi Energi Kinetik Turbulen Estimasi nilai rata-rata energi kinetik turbulen pada lapisan permukaan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan dalam di masing-masing stasiun disajikan dalam Tabel 4.3. Adapun nilai pada setiap lapisan ditampilkan pada Gambar 4.21. Tingginya nilai disipasi energi kinetik turbulen mengindikasikan dilepaskannya sejumlah energi kinetik turbulen untuk memodifikasi struktur massa air yang terjadi dalam proses percampuran. Tabel 4.3 Nilai rata-rata disipasi energi kinetik turbulen eddy pada lapisan tercampur, lapisan termoklin, lapisan dalam di masing-masing stasiun. Disipasi Energi Kinetik Turbulen Eddy, ε W kg -1 Stasiun Lapisan Tercampur Lapisan Termoklin Lapisan Dalam 1 3,77 x 10 -7 2,29 x 10 -6 1,15 x 10 -6 2 7,57 x 10 -8 3,65 x 10 -6 1,89 x 10 -7 3 4,75 x 10 -8 1,65 x 10 -6 9,30 x 10 -7 4 1,72 x 10 -6 5,34 x 10 -7 5 1,41 x 10 -6 3,97 x 10 -8 6 1,29 x 10 -6 2,62 x 10 -7 7 1,15 x 10 -7 3,63 x 10 -8 3,21 x 10 -7 8 7,22 x 10 -7 1,09 x 10 -8 9 9,06 x 10 -9 3,26 x 10 -9 10 2,71 x 10 -7 3,82 x 10 -10 11 2,45 x 10 -7 2,97 x 10 -9 12 6,09 x 10 -9 2,56 x 10 -10 13 - 3,95 x 10 -8 2,57 x 10 -9 14 2,05 x 10 -8 5,34 x 10 -9 15 1,26 x 10 -7 4,32 x 10 -9 82 Gambar 4.21 Profil disipasi energi kinetik turbulen eddy: a Stasiun 1, 2, 3, dan 4. celah timur celah barat a 83 Gambar 4.21 Profil disipasi energi kinetik turbulen eddy: b Stasiun 5, 9, dan 14. b 84 Gambar 4.21 lanjutan: c Stasiun 6, 8, 10, dan 13. c 85 Gambar 4.21 lanjutan: d Stasiun 7, 11, dan 12. d 86 Dari keseluruhan stasiun, nilai disipasi energi kinetik turbulen yang tinggi tampak terdapat pada alur Selat Alor, yakni di stasiun 1, stasiun 3 dan 4 bagian dalam kanal, dan stasiun 5 pintu selat sebelah selatan. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam sistem aliran kanal selat, jumlah energi kinetik dalam aliran turbulen yang dilepaskan terdisipasi lebih besar dibandingkan pada lokasi-lokasi di luar alur kanal. Identifikasi lebih lanjut terhadap profil disipasi energi kinetik turbulen eddy kaitannya dengan kondisi topografi dasar perairan memperlihatkan bahwa intensitas pelepasan energi yang tinggi terjadi di lapisan bawah dekat dasar dan pada area di dekat ambang Gambar 4.21. Dengan ungkapan lain, keberadaan ambang memicu pelepasan energi kinetik turbulen eddy. Secara umum, nilai ε pada alur kanal Selat Alor juga relatif lebih tinggi dibandingkan pada stasiun- stasiun di luar selat. Hal ini diduga berkaitan dengan interaksi aliran dengan dasar perairan yang lebih dangkal, di mana akan terjadi peningkatan nilai shear arus. Finnigan et al. 2002 menyatakan bahwa topografi dasar pada ridge perairan memiliki peran terhadap meningkatnya nilai percampuran. 4.8 Estimasi Difusivitas Eddy Vertikal Tingginya disipasi energi kinetik turbulen pada bagian utara dan dalam Selat Alor merupakan indikasi kuatnya percampuran vertikal massa air. Tabulasi nilai K ρ setiap lapisan dan rata-ratanya di masing-masing stasiun disajikan pada Tabel 4.4. Pada lapisan termoklin, untuk stasiun-stasiun di sebelah utara selat hingga mulut selatan selat Stasiun 1 hingga 6 memiliki O10 -3 m 2 s -1 Stasiun 6 K ρ = 9,2 x 10 -4 ≈ 10 -3 . Kisaran orde inilah yang diduga mampu mereduksi massa air NPSW seiring memasuki perairan Selat Alor hingga hanya tersisa 31,2 di Stasiun 4, dan hilang di Stasiun 5 Tabel 4.2. 87 Tabel 4.4 Nilai rata-rata difusivitas eddy vertikal pada lapisan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan dalam di masing-masing stasiun. Difusivitas Eddy Vertikal, K ρ m 2 s -1 Stasiun Lapisan Tercampur Lapisan Termoklin Lapisan Dalam 1 3,8 x 10 -3 1,8 x 10 -3 7,6 x 10 -3 2 6,1 x 10 -4 2,9 x 10 -3 2,8 x 10 -3 3 4,1 x 10 -4 1,2 x 10 -3 1,1 x 10 -2 4 1,6 x 10 -3 4,0 x 10 -3 5 1,9 x 10 -3 2,7 x 10 -4 6 9,2 x 10 -4 2,0 x 10 -3 7 9,4 x 10 -4 3,5 x 10 -5 3,9 x 10 -3 8 9,6 x 10 -4 1,6 x 10 -4 9 1,1 x 10 -5 5,9 x 10 -5 10 3,6 x 10 -4 7,0 x 10 -6 11 2,8 x 10 -4 5,9 x 10 -5 12 1,1 x 10 -5 5,0 x 10 -6 13 - 4,6 x 10 -5 3,2 x 10 -5 14 3,0 x 10 -5 9,0 x 10 -5 15 1,5 x 10 -4 4,2 x 10 -5 Profil vertikal difusivitas eddy vertikal dengan latar topografi dasar disajikan pada Gambar 4.22. Konsentrasi nilai difusivitas berada pada lapisan dekat dasar dan di dekat ambang menandakan bahwa difusivitas vertikal ini diduga dipicu oleh turbulensi akibat adanya interaksi antara topografi dasar yang mendangkal serta ambang dengan aliran selat. Pola seperti ini mirip dengan yang didapat oleh Finnigan et al. 2002 dan Hatayama et al. 2004. 88 Gambar 4.22 Profil difusivitas eddy vertikal: a Stasiun 1, 2, 3, dan 4. celah timur celah barat a 89 Gambar 4.22 lanjutan: b Stasiun 5, 9, 14. b 90 Gambar 4.22 lanjutan: c Stasiun 6, 8, 10, 13. c 91 Gambar 4.22 lanjutan: d Stasiun 7, 11, dan 12. d d 92 Pengamatan lebih jauh terhadap profil difusivitas vertikal kaitannya dengan kondisi shear arus pada kedalaman hingga ~200 meter di dalam selat juga mengindikasikan bahwa pada kedalaman dengan shear tinggi bersesuaian dengan tingginya difusivitas vertikal. Pada Gambar 4.23 diperlihatkan profil S 2 yang ditumpangtindihkan dengan profil K ρ . Secara keseluruhan, nilai rata-rata K ρ di perairan Selat Alor dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, kelompok pertama adalah perairan sebelah utara dan dalam selat stasiun 1 hingga 7 yang memiliki nilai K ρ dengan O10 -3 di Stasiun 6, K ρ = 8.82 x 10 -4 ~10 -3 ; dan perairan sebelah selatan yang memiliki orde bervariasi antara 10 -4 , 10 -5 , dan 10 -6 . Lebih tingginya orde di Stasiun 7 diduga juga berkaitan dengan lokasinya yang berada di dekat landas kontinen, di mana gangguan karena arus yang menabrak perairan dangkal mengakibatkan massa air menjadi tidak stabil Gambar 4.12. Terdapat keterbatasan atas estimasi nilai K ρ dalam penelitian ini, yakni tidak tercakupnya profil K ρ dalam satu periode pasang-surut pasut, sehingga tidak dapat dikonfirmasi lebih lanjut dinamika temporal kaitannya dengan pasut internal di perairan Selat Alor. Gambar 4.23 Profil difusivitas eddy vertikal di Stasiun 1, 3, 4, dan 5 yang ditumpangtindihkan pada profil shear arus di Selat Alor. 93

5. KESIMPULAN DAN SARAN