Contribution of Organic Material from White Mangrove (Avicennia marina) as Evaluation of Mangrove Ecosystem Management: Case Study of Labuhan Maringgai, East Lampung

KONTRIBUSI BAHAN ORGANIK DARI MANGROVE
API-API (Avicennia marina) SEBAGAI BAHAN EVALUASI
PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE
(Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur)

YULMA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini, saya menyatakan bahwa Tesis dengan judul ―Kontribusi Bahan Organik
dari Mangrove Api-api (Avicennia marina) sebagai Bahan Evaluasi Pengelolaan
Ekosistem Mangrove (Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten
Lampung Timur)‖ adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir Tesis ini.


Bogor, November 2012

Yulma
C252100011

ABSTRACT

YULMA. Contribution of Organic Material from White Mangrove (Avicennia
marina) as Evaluation of Mangrove Ecosystem Management: Case Study of
Labuhan Maringgai, East Lampung. Under direction of ENAN M. ADIWILAGA
and YUSLI WARDIATNO.
The purpose of this study was to determine the potential contribution of
organic matter (C, N and P) of mangrove forest litter production in Labuhan
Maringgai to marine environment as well as evaluating the mangrove
rehabilitation program conducted by the University of Lampung, Lampung
program Mangrove Center. Lampung Mangrove Centre providing litter
productivity of 4.53 g/m2/day with the biggest contributor from leaf litter and
twigs, while flowers and fruit not found. Dry weight of the remaining mangrove
leaf litter on day 56 ranged between 5-2.5 g. Lampung Mangrove Centre has the

potential production of organic material that can be used litter amounted to
0.76164 GC/m2/day; 0.00628 GN/m2/day; 0.00331 GP/m2/day. Mangrove
rehabilitation that involves three parties including the Government of East
Lampung regency, Lampung University and the community is very effective in
conservation of mangrove forests in Lampung Mangrove Centre with an area of
1000 ha of mangrove ranges.
Keywords:

organic material, Avicennia
management, East Lampung

marina,

mangrove

ecosystem

RINGKASAN

YULMA. Kontribusi Bahan Organik dari Mangrove Api-api (Avicennia marina)

sebagai Bahan Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove: Studi Kasus
Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. Di bimbing oleh
ENAN M. ADIWILAGA dan YUSLI WARDIATNO.
Bahan organik memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan
organisme perairan. Keberadaan mangrove dengan produksi serasahnya setelah
mengalami dekomposisi merupakan salah satu sumber masukan bahan organik
bagi perairan sekitarnya, baik itu di dalam sedimen maupun pada kolom perairan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kontribusi potensi bahan organik
(C, N dan P) dari produksi serasah hutan mangrove di Kecamatan Labuhan
Maringgai ke lingkungan perairan serta mengevaluasi program rehabilitasi hutan
mangrove yang dilakukan oleh Universitas Lampung dalam program Lampung
Mangrove Center.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari – April 2012 di kawasan
Lampung Mangrove Center (LMC) Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten
Lampung Timur. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian yaitu 1)
Analisis vegetasi, 2) Analisis laju dekomposisi serasah, 3) Analisis produksi
potensial bahan organik serasah 4) Analisis karakteristik fisika kimia perairan
dengan PCA dan 5) Analisis evaluasi pengelolaan ekosistem mangrove. Data
dikumpulkan melalui pengambilan sampel dan pengukuran langsung di lapangan,
kemudian dilanjutkan dengan pengukuran di laboratorium.

Hasil analisis data principal component analysis (PCA) bahwa kontribusi
satu komponen utama terhadap ragam total adalah sebesar 64.10% dan satu
komponen utama sebesar 84.40%. Matriks korelasi data fisika kimia perairan
Lampung Mangrove Centre memperlihatkan bahwa ragam pada komponen utama
adalah tinggi. Stasiun 3 (3.1 dan 3.2) dan stasiun 2 (2.1 dan 2.2) dikarakteristikkan
oleh suhu, kecepatan arus, kecerahan, salinitas, TSS dan TOM yang cukup tinggi.
Kemudian stasiun 1 (1.1 dan 1.2) dicirikan oleh kandungan DO dan pH.
Produksi serasah Lampung Mangrove Centre sebesar 4,53 g/m2/hari
dengan penyumbang terbesar berasal dari serasah daun dan ranting, sedangkan
komponen dari buah/bunga tidak ditemukan. Produktivitas serasah terbesar
berasal dari stasiun 2 sebesar 270 g/m2/56 hari kemudian stasiun 3 sebesar 257
g/m2/56 hari dan yang paling sedikit dihasilkan dari stasiun 1 sebesar 233 g/m2/56
hari. Stasiun 1 memiliki kerapatan pohon paling tinggi tetapi tergolong masih
muda sehingga produksi serasah yang dihasilkan sedikit. Sedangkan stasiun 2
memiliki kerapatan pohon paling rendah tetapi memiliki pohon yang lebih tinggi
dan tajuk yang lebih rimbun sehingga produksi serasah yang dihasilkan lebih
banyak.
Pada penelitian ini, waktu pengamatan dekomposisi serasah hanya
dilakukan selama 56 hari. Dari semua lokasi penelitian tidak ada stasiun yang
serasah daunnya mengalami dekomposisi 100%. Berat kering sisa serasah daun

yang paling banyak pada hari ke 56 adalah stasiun 3 yaitu sebesar 5 g dan paling
sedikit adalah stasiun 1 sebanyak 2,5 g. Bobot kering dari sisa serasah daun

mangrove menjelaskan bahwa proses dekomposisi pada stasiun 3 lebih rendah
bila dibandingkan dengan stasiun yang lainnya. Stasiun 1 yang terletak di Muara
Kali Kepinding mengalami proses dekomposisi paling cepat karena adanya
asupan air tawar dan lama waktu pasang surut. Sedangkan stasiun 3 mengalami
proses dekomposisi paling lama karena waktu terkena pasang surut hanya terjadi
pada saat pasang tertinggi yaitu pada musim timur sekitar bulan Mei - Juni.
Lampung Mangrove Centre memiliki produksi potensial bahan organik
serasah yang dapat dimanfaatkan masing-masing sebesar 0,76164 g-C/m2/hari;
0,00628 g-N/m2/hari; 0,00331 g-P/m2/hari. Kandungan bahan organik serasah
pada stasiun 1 menunjukkan nilai yang paling tinggi yaitu 1,21890 g-C/m2/hari;
0,00938 g-N/m2/hari; 0,00520 g-P/m2/hari. Hal ini disebabkan oleh substrat
mangrove di stasiun 1 lebih banyak mendapatkan bahan organik dari kolom air
melalui mekanisme pasang surut yang selanjutnya akan dimanfaatkan oleh
tumbuhan mangrove hingga terjadinya guguran serasah.
Pengelolaan Lampung Mangrove Centre melibatkan tiga pihak yang terdiri
dari masyarakat, pemerintah Kabupaten Lampung Timur dan Universitas
Lampung. Kondisi hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai

menunjukkan hasil semakin baik dan bertambah luas menjadi 1.000 ha pada tahun
2012. Selain itu, keberhasilan lain yang ditunjukkan yaitu mendapatkan
penghargaan pada tahun 2004 dan tahun 2011 dalam kategori pelestarian hutan
mangrove tingkat nasional. Estimasi produksi ikan berdasarkan jumlah produksi
serasah, diperkirakan Lampung Mangrove Centre dapat menghasilkan produksi
ikan sebesar 1.083 kg/th dan dengan luas sekitar 1.000 ha akan mampu
menyumbang produksi ikan sebesar 1.083,33 ton/th. Sedangkan berdasarkan
luasan, Lampung Mangrove Centre dengan luas 1.000 ha diperkirakan dapat
menghasilkan produksi ikan dan udang sebesar 430,46–596,60 ton/th atau 430–
596 kg/ha/th.
Kata Kunci: bahan organik, Avicennia marina, pengelolaan ekosistem mangrove,
Lampung Timur

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KONTRIBUSI BAHAN ORGANIK DARI MANGROVE
API-API (Avicennia marina) SEBAGAI BAHAN EVALUASI
PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE
(Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur)

YULMA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012


Penguji luar komisi: Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis

:

Kontribusi Bahan Organik dari Mangrove Api-api
(Avicennia marina) sebagai Bahan Evaluasi Pengelolaan
Ekosistem Mangrove (Studi Kasus Kecamatan Labuhan
Maringgai Kabupaten Lampung Timur)

Nama

: Yulma

NIM

: C252100011


Program Studi

: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui :
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga
Ketua

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc
Anggota
Diketahui :

Ketua Program Studi

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Tanggal Ujian: 13 November 2012


Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr

Tanggal Lulus:……………

PRAKATA

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT, Penulis ucapkan atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penulisan Tesis ―Kontribusi Bahan Organik dari
Mangrove Api-api (Avicennia marina) sebagai Bahan Evaluasi Pengelolaan
Ekosistem Mangrove (Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten
Lampung Timur)‖ dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini Penulis
ingin menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan yang tinggi kepada:
1.

2.
3.


4.

5.

6.
7.

8.

Bapak Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga selaku ketua komisi pembimbing dan
Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing
yang telah mencurahkan waktu dan tenaga untuk membimbing dan
mengarahkan selama proses penyusunan dan penulisan tesis.
Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si, yang telah bersedia menjadi penguji
luar komisi pembimbing pada saat ujian tesis.
Bapak dan Ibu staf pengajar PS Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
(PS-SPL) IPB yang telah banyak memberikan pemikiran-pemikirannya
kepada penulis selama menempuh proses pendidikan.
Ayahanda Mawardi dan Ibunda Zarni tercinta yang senantiasa mencurahkan
kasih sayang, doa, semangat dan keteladanan hingga Ananda dapat
menyelesaikan penulisan tesis.
Saudara tercinta Aida Marliza, Aktos, Aldes serta keponakan tersayang Okta
Ilmawan Mahgenta, Merchytio Larichie, Denendra Kenzie dan Akio Alfan
Alfarizki, terima kasih buat dorongan dan semangatnya.
Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan (Proling) beserta staf yang telah
membantu penyelesaian penelitian.
Masyarakat Desa Margasari, Universitas Lampung, Pemerintah Kabupaten
Lampung Timur serta pihak-pihak yang telah membantu pengambilan data di
Lampung Mangrove Centre.
Teman-teman SPL 2010 (PS-SPL) atas kebersamaan dan kerjasamanya yang
baik.

Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat
khususnya kepada penulis sendiri dan kepada semua pihak.

Bogor, November 2012

Yulma
C252100011

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Balai Tengah, Kabupaten Tanah Datar – Sumatera
Barat pada tanggal 11 Juli tahun 1986, sebagai anak ketiga dari empat bersaudara
dari ayahanda Mawardi dan ibunda Zarni. Penulis menyelesaikan pendidikan
Sekolah Dasar di SD Negeri 12 Patar pada tahun 1999, kemudian melanjutkan
pendidikan di MTsN Bukit Surungan, Padang Panjang. Pada tahun 2002 penulis
melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Lintau Buo selesai pada tahun 2005.
Melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) tahun 2005 penulis
diterima di Universitas Riau, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Jurusan Ilmu
Kelautan dan lulus tahun 2009.
Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan magister pada Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ...........................................................................................

xxi

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................

xxv

PENDAHULUAN
Latar Belakang ...........................................................................................
Perumusan Masalah ...................................................................................
Tujuan Penelitian .......................................................................................
Manfaat Penelitian ....................................................................................

1
3
6
6

TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Mangrove ................................................................................
Produktivitas dan Serasah Mangrove .......................................................
Proses Dekomposisi Serasah ...................................................................
Bahan Organik (C, N dan P) ....................................................................
Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove ............................................

7
9
11
12
14

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat .....................................................................................
Bahan dan Alat ...........................................................................................
Prosedur Penelitian.....................................................................................
Penentuan Stasiun Penelitian .................................................................
Pengambilan Sampel dan Data................................................................
Pengambilan Sampel Untuk Analisis Vegetasi Mangrove ..................
Pengambilan Sampel Guguran Serasah (Litter-fall) ............................
Pengkuran Laju Dekomposisi Serasah Daun .......................................
Pengambilan Sampel Air......................................................................
Pengukuran Bahan Organik Kontrol (C, N dan P) Air Laut ................
Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove ........................................
Analisis Data ..........................................................................................
Analisis Vegetasi Mangrove ...............................................................
Analisis Laju Dekomposisi Serasah .................................................
Produksi Potensial Bahan Organik Serasah.........................................
Analisis Karakteristik Habitat Mangrove Berdasarkan Variabel
Fisika Kimia Perairan ....................................................................
Analisis Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove ........................
Hasil dan Pembahasan................................................................................
Gambaran Umum Daerah Penelitian ...................................................
Karakteristik Fisika Kimia Perairan ...................................................
Sebaran Parameter Fisika Kimia Perairan ...........................................
Gambaran Umum Kondisi ekosistem Mangrove ................................
xix

19
19
20
20
20
20
22
23
23
24
24
24
24
25
25
26
28
29
29
30
32
33

xx
Produktivitas Serasah Mangrove ..............................................
Dekomposisi Serasah Mangrove ..............................................
Produksi Potensial Bahan Organik (C, N dan P) ......................
Kandungan Bahan Organik (C, N dan P) Pada Air Laut ..........
Keterkaitan antar Parameter......................................................
Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove .............................
Keterkaitan Produksi Perikanan Dengan Ekosistem
Mangrove ......................................................................
Kesimpulan dan Saran .........................................................................
Kesimpulan ...............................................................................
Saran .........................................................................................

35
41
45
47
48
51

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
LAMPIRAN ..........................................................................................

61
70

56
59
59
59

DAFTAR TABEL

Halaman
1

Letak geografis lokasi pengamatan ...........................................................

20

2

Nilai rata-rata parameter fisika-kimia perairan Lampung Mangrove
Centre ........................................................................................................

31

3

Vegetasi mangrove di setiap stasiun pengamatan .....................................

33

4

Produksi total serasah Avicennia marina di Lampung Mangrove
Centre selama 56 hari ...............................................................................

37

5

Produktifitas serasah mangrove di beberapa lokasi penelitian .................

39

6

Rata-rata laju dekomposisi serasah daun mangrove secara berkala..........

43

7

Produksi potensial bahan organik serasah Lampung Mangrove Centre ...

45

8

Kontribusi produksi potensial bahan organik serasah Lampung
Mangrove Centre dan beberapa kawasan mangrove lain ..........................

46

Keterkaitan produksi dan laju dekomposisi serasah dengan
karakteristik fisika kimia perairan dan biologi mangrove........................

49

10 Produksi perikanan Lampung Mangrove Centre (kg/hari) .......................

57

9

xxi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Kerangka pemikiran penelitian ...............................................................

5

2

Peta stasiun penelitian kawasan hutan Lampung Mangrove Centre .........

19

3

Transek garis dengan plot dari pinggir perairan ke arah darat
untuk pengamatan vegetasi mangrove ......................................................

21

Ilustrasi petak contoh (plot) pengambilan sampel vegetasi mangrove
untuk tingkat semai, anakan dan pohon ...................................................

21

5

Jaring serasah (Litter-trap) untuk menangkap serasah mangrove ............

22

6

Litter-bag yang diikatkan pada batang mangrove ....................................

23

7

Bahan organik kontrol (C, N dan P) air laut ............................................

24

8

Grafik analisis komponen utama karakteristik fisika kimia air ................

33

9

Jumlah tegakan vegetasi mangrove tiap stasiun .....................................

34

10 Produktivitas serasah tiap stasiun penelitian selama 56 hari ..................

35

11 Bobot kering sisa serasah daun mangrove pada 3 Stasiun Penelitian
setelah 56 hari ...........................................................................................

42

12 Estimasi laju dekomposisi serasah daun 100% ........................................

43

13 Kandungan bahan organik (C, N dan P) air laut tiap stasiun
pengamatan ...............................................................................................

47

14 Kandungan bahan organik kontrol air laut hari ke- ..................................

48

4

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1

Hasil pengukuran parameter fisika kimia air tiap sub stasiun...................

72

2

Data hasil principal component analysis (PCA) .......................................

73

3

Jumlah tegakan mangrove dalam luasan 10 m x 10 m..............................

75

4

Produktifitas serasah selama pengamatan .................................................

76

5

Produktifitas serasah daun dan ranting selama pengamatan .....................

76

6

Bobot kering serasah daun mangrove .......................................................

77

7

Laju dekomposisi serasah daun mangrove ................................................

78

8

Persentase daun mangrove yang terdekomposisi .....................................

78

9

Sumbangan produksi potensial bahan organik serasah di lokasi
pengamatan ..............................................................................................

80

10 Sejarah perkembangan Lampung Mangrove Centre .................................

82

xxv

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan mangrove sebagai ekosistem khas daerah pantai tropik, mempunyai
fungsi strategis sebagai penyambung dan penyeimbang ekosistem darat dan laut.
Tumbuh-tumbuhan, hewan dan berbagai nutrisi ditransferke arah darat atau laut
melalui mangrove. Secara ekologis mangrove berperan sebagai daerah pemijahan
(spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan sebagai daerah mencari
makan (feeding ground) berbagai jenis ikan, kerang serta spesies lainnya (Bengen
2004). Selain itu serasah mangrove berupa daun, ranting dan biomassa lainnya
yang jatuh menjadi sumber pakan biota perairan serta bahan organik yang sangat
menentukan produktivitas perikanan laut (Mahmudi et al. 2008).
Mangrove sebagai ekosistem produktif di pesisir menghasilkan serasah
sebagai potensi hara yang mendukung produktivitas primer tinggi di ekosistem
ini. Produksi serasah mangrove yang tinggi secara langsung berhubungan dengan
struktur komunitas mangrove yang juga didukung oleh faktor-faktor lingkungan
antara lain musim dan suhu udara (Soenardjo 1999). Struktur komunitas yang
terdiri dari banyak jenis mangrove akan menghasilkan serasah dalam jumlah yang
besar dibandingkan dengan komunitas yang mempunyai jenis mangrove sedikit,
hal ini dikarenakan tegakan mangrove yang memiliki kerapatan tinggi akan
menghasilkan produksi serasah yang tinggi pula. Demikian juga dengan
dekomposisi, hasil dekomposisi yang berupa bahan organik tergantung pada
jumlah serasah yang ada. Jumlah serasah yang besar akan menghasilkan
dekomposisi yang tinggi dan ini didukung oleh kondisi lingkungan seperti
lamanya genangan, salinitas dan temperatur air. Kerapatan mangrove yang tinggi
akan menghalangi intensitas cahaya matahari masuk ke dasar hutan karena
terhalang oleh rimbunnya tajuk daun mangrove, hal ini menyebabkan kelembaban
di permukaan tanah tinggi, sehingga meningkatkan laju dekomposisi oleh bakteri
dan jamur.
Hutan mangrove mempunyai produktivitas bahan organik yang sangat
tinggi, namun hanya sekitar 5% dari total produksi daunnya yang dapat langsung
dimakan oleh herbivora, sedangkan sisanya masuk kedalam ekosistem dalam
bentuk detritus (Saparinto 2007). Sebagian besar dari produksi tersebut

dimanfaatkan oleh bakteri, algae dan protozoa sebagai detritus atau bahan organik
mati seperti daun-daun mangrove yang gugur sepanjang tahun dan melalui
aktivitas mikroba dekomposer dan hewan-hewan pemakan detritus kemudian
diproses menjadi partikel-partikel halus (Odum dan Heald 1975). Selanjutnya
detritus tersebut merupakan suatu fraksi penting dari rantai makanan yang
terdapat di ekosistem mangrove dan estuaria. Partikel-partikel organik tersebut
menjadi tempat hidup bagi bakteri, jamur dan mikroorganisme lainnya yang
merupakan sumber makanan utama bagi organisme omnivora seperti udang,
kepiting dan sejumlah ikan (Saparinto 2007).
Serasah mangrove yang tertimbun di dasar hutan mengalami dekomposisi
oleh jasad renik untuk menghasilkan detritus dan mineral bagi kesuburan tanah
serta sumber bagi kehidupan fitoplankton yang berkedudukan sebagai produsen
primer. Zooplankton, ikan dan krustasea memanfaatkan fitoplankton dan detritus
sebagai sumber energi dalam kedudukannya sebagai konsumen primer pada siklus
makanan, sebelum manusia sebagai konsumen puncak memanfaatkannya
(Soenardjo 1999).
Pada dasarnya, serasah yang dihasilkan oleh hutan mangrove antara lain
mengandung N (Nitrogen), P (Fosfor) dan C (Karbon) yang tinggi dan akan
terlarut dalam air sehingga dapat menunjang proses pertumbuhan fitoplankton.
Oleh karenanya, diduga terdapat hubungan yang erat antara N dan P serasah
dengan N dan P yang terdapat di dalam air, produktivitas perairan dan jumlah
individu fitoplankton, zooplankton dan makroorganisme (Mahmudi et al. 2008).
Fitoplankton sebagai produsen utama (autotrof) di perairan memfiksasi C
(karbon) lewat fotosintesis dan sekaligus menyediakan energi bagi organisme
konsumen (heterotrof). Pada jenjang trofik (trophic level) berikutnya yang lebih
tinggi, konsumen primer akan berlaku sebagai sumber makanan bagi konsumen
sekunder dan seterusnya sampai pada konsumen puncak. Proses tersebut apabila
berjalan dengan baik merupakan kemampuan daya dukung ekosistem mangrove
terhadap perikanan melalui fungsinya sebagai penyedia sumber energi dan habitat
nursery. Dengan mengetahui laju dekomposisi serasah (pelepasan bahan organik
dan nutrien), dapat digunakan untuk mengestimasi daya dukung ekosistem
mangrove bagi perikanan melalui rantai makanan.

Status kawasan hutan mangrove di Pantai Timur Lampung merupakan
hutan negara yang dalam pengelolaannya dilakukan oleh beberapa pihak, yaitu:
pemerintah (BKSDA/Taman Nasional Way Kambas), swasta (hutan produksi
tetap dan tambak), masyarakat (hutan produksi yang dapat dikonversi dan APL),
dan perguruan tinggi negeri (Universitas Lampung). Vegetasi mangrove yang ada
di Kabupaten Lampung Timur memiliki ketebalan yang bervariasi antara 50
hingga 400 meter. Hutan mangrove di daerah ini membujur dari daerah Way
Sekampung bagian selatan hingga ke utara daerah Kuala Penet (perbatasan
kawasan Taman Nasional Way Kambas).
Penurunan kualitas mangrove di Pantai Timur Lampung sudah sampai
pada tingkat mengkhawatirkan dari luasan 17.000 ha dan sekarang tersisa lebih
kurang 3.000 ha dengan presentase penurunan 82% (Kustanti 2011). Hutan
mangrove di Lampung Timur salah satunya di Kecamatan Labuhan Maringgai,
merupakan hutan mangrove hasil rehabilitasi Dinas Kehutanan Provinsi Lampung
pada tahun 1995 dan 1997 dengan luas hutan mangrove 700 ha. Jenis mangrove
yang ditanam adalah Avicennia marina, Rhizophora mucronata dan Nypa
fruticans. Kerusakan hutan mangrove yang terjadi di Kecamatan Labuhan
Maringgai sekitar tahun 1987 sampai tahun 1994 disebabkan oleh pembukaan
lahan tambak, areal pertanian dan pemukiman penduduk.
Pengelolaan terpadu hutan mangrove berbasis masyarakat secara
kolaboratif dengan melibatkan peran masyarakat, pemerintah daerah Kabupaten
Lampung Timur dan Universitas Lampung di Lampung Mangrove Centre (LMC)
telah berjalan selama 5 tahun (2005-2010). Faktor kekuatan dalam pengelolaan
terpadu meliputi keberadaan lahan 700 ha, dukungan masyarakat, adanya dasar
hukum pengelolaan dan pengelolaan terpadu. Namun, masih ada dijumpai
beberapa kelemahan dalam pengelolaan terpadu yaitu tidak keseluruhan program
yang disepakati dilaksanakan stakeholder, kurangnya koordinasi dan kurangnya
dukungan perkembangan ilmu dan teknologi.
Perumusan Masalah
Serasah mangrove merupakan bahan penting untuk berlangsungnya siklus
bahan organik dan merupakan bahan dasar untuk kehidupan organisme yang
terdapat pada ekosistem mangrove. Menurut Noer (2006) ada tujuh subsistem

yang terkait dalam rantai makanan pada ekosistem mangrove yaitu: gugur serasah
mangrove, bakteri, kepiting, detritus, fitoplankton, zooplankton dan ikan pelagis.
Boonruang (1984) menjelaskan bahwa produktivitas mangrove merupakan
sumber bagi produktivitas perikanan di estuari dan penyumbang unsur hara pada
perairan pantai terdekat. Hal ini menjadikan mangrove memegang peranan yang
unik dan tidak dapat digantikan oleh hutan maupun ekosistem lainnya, yaitu
sebagai mata rantai siklus unsur hara yang penting artinya bagi organisme
perairan (Amarangsinghe dan Balasubramanian, 1992 in Feliatra 2001).
Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial dalam berbagai
bentuk bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove. Berbeda dengan
ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem
mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari
tumbuhan mangrove (Bengen 2004).
Bahan organik memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan
organisme perairan. Keberadaan mangrove dengan produksi serasahnya setelah
mengalami dekomposisi merupakan salah satu sumber masukan bahan organik
bagi perairan sekitarnya, baik itu di dalam sedimen maupun pada kolom perairan.
Hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai didominasi oleh
Avicennia marina, A. alba, Rhizopora mucronata dan Nypa fruticans. Seiring
dengan

meningkatnya

pertumbuhan

penduduk

dan

pesatnya

kegiatan

pembangunan di sekitar daerah Labuhan Maringgai bagi berbagai peruntukan
seperti pertambakan, areal pertanian dan pemukiman maka tekanan ekologis
terhadap ekosistem mangrove di kawasan Labuhan Maringgai juga meningkat.
Meningkatnya tekanan ini terlihat dari penurunan produksi perikanan tahun 2004
sebesar 42.159,8 ton menjadi 39.028,5 ton pada tahun 2005 (Dinas Perikanan dan
Kelautan Kabupaten Lampung Timur 2006). Jumlah total rata-rata produksi
serasah mangrove jenis Avicennia marina di hutan mangrove Labuhan Maringgai
adalah 1,36 gram/m2/hari, penyumbang terbesar adalah serasah yang berasal dari
bunga dan buah yaitu 1,09 gram/m2/hari (Annas 2004). Rehabilitasi hutan
mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai yang telah dilakukan oleh Dinas
Kehutanan akan mempengaruhi produktivitas serasah mangrove. Penelitian untuk
mengetahui kontribusi bahan organik ke perairan yang berasal dari serasah hutan

mangrove hasil rehabilitasi Dinas Kehutanan tersebut belum pernah dilakukan,
sehingga peneliti mencoba menganalisis hal tersebut. Secara umum kerangka
pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Hutan Mangrove

Pertambakan

Pemukiman

Pertanian

Masalah

Rehabilitasi Hutan Mangrove
Dampak

Kesuburan Perairan
Produksi Serasah

Kondisi mangrove
- Kerapatan Jenis (K)

Laju Dekomposisi Serasah

Kondisi lingkungan

A. Kondisi fisik-kimia air
- Salinitas
- Suhu
- pH

Kondisi iklim
- Curah hujan
- Suhu udara

B. Bakteri, kepiting,
detritus, ikan pelagis
dll

Analisis Laju
Dekomposisi
Serasah

Produksi
Potensial Bahan
Organik Serasah

Analisis PCA

Analisis
Data

Kontribusi Bahan Organik dari Hutan
Mangrove ke Perairan

Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Output

Tujuan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
a) Menghitung produktivitas, laju dekomposisi dan potensi bahan organik (C, N
dan P) dari serasah hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai ke
lingkungan perairan.
b) Mengevaluasi program rehabilitasi hutan mangrove yang dilakukan oleh
Universitas Lampung dalam program Lampung Mangrove Center.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan memberi informasi tentang produktivitas dan
dekomposisi serasah hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai serta
sebagai salah satu komponen informasi dasar untuk mempelajari siklus bahan
organik di lokasi penelitian.

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Mangrove
Ada beberapa definisi tentang mangrove yang disajikan oleh beberapa ahli,
diantaranya menurut Bengen (2004) yang mendefinisikan mangrove sebagai
komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis, yang didominasi oleh beberapa
jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang
surut pantai berlumpur. Hogarth (1999) mendefinisikan mangrove sebagai
tumbuhan berkayu maupun semak belukar yang menempati habitat antara darat
dan laut yang secara periodik tergenangi air pasang.
LPP Mangrove (2008) menyatakan bahwa ciri-ciri dari hutan mangrove,
terlepas dari habitatnya yang unik adalah: memiliki jenis pohon yang relatif
sedikit; memiliki akar yang unik misalnya seperti jangkar melengkung dan
menjulang pada bakau Rhizophora spp, serta akar yang mencuat vertikal seperti
pensil pada pidada Sonneratia spp dan pada api-api Avicennia spp; memiliki biji
(propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya
pada Rhizophora; memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon. Sedangkan
tempat hidup hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri
khusus, diantaranya adalah: tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap
hari atau hanya tergenang pada saat pasang; tempat tersebut menerima pasokan air
tawar yang cukup dari darat; daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus
pasang surut yang kuat; air bersalinitas payau (2-22‰) hingga asin (mencapai
38‰).
Spesies Avicennia marina yang sering disebut api-api merupakan
tumbuhan mangrove pada substrat berpasir atau berlumpur tipis, dengan salinitas
relatif tinggi (salinitas laut) pada kisaran yang sempit. Pohonnya dapat mencapai
tinggi 12 m. Daun Avicennia marina dilihat dari sisi sebelah atas berwarna hijau
muda, sedangkan pada sisi sebelah bawah berwarna abu-abu keperakan atau putih.
Daunnya berbentuk elips, panjang daun berkisar 5-11 cm. Buah berbentuk bulat
dan agak berbulu dengan panjang 1,5-2,5 cm dan berwarna hijau. Kulit batang
halus, berwarna putih keabu-abuan hingga hijau. Kulit batang halus, berwarna

putih keabu-abuan hingga hijau dan akar berbentuk cakar ayam berpneumatofora
untuk pernafasan (Bengen 2001).
Arief (2003) membagi zonasi mangrove berdasarkan jenis vegetasi yang
mendominasi, dari arah laut ke daratan berturut-turut sebagai berikut:
1. Zona Avicennia, terletak pada lapisan paling luar dari hutan mangrove. Pada
zona ini, tanah berlumpur lembek dan bergaram tinggi. Jenis Avicennia banyak
ditemukan berasosiasi dengan Sonneratia spp. Karena tumbuh di bibir laut,
jenis-jenis ini memiliki perakaran yang sangat kuat yang dapat bertahan dari
hempasan ombak laut. Zona ini juga merupakan zona perintis atau pioner,
karena terjadinya penimbunan sedimen tanah akibat cengkraman perakaran
tumbuhan jenis ini.
2. Zona Rhizophora, terletak di belakang Avicennia dan Sonneratia. Pada zona
ini, tanah berlumpur lembek dan berkadar garam lebih rendah. Perakaran
tanaman tetap terendam selama air laut pasang.
3. Zona Bruguiera, terletak di belakang zona Rhizophora. Pada zona ini, tanah
berlumpur agak keras. Perakaran tanaman lebih peka serta hanya terendam
pasang naik dua kali sebulan.
4. Zona Nypah, yaitu zona pembatas antara daratan dan lautan, namun zona ini
sebenarnya tidak harus ada, kecuali jika terdapat air tawar yang mengalir
(sungai) ke laut.
Kegunaan daun Avicennia marina yang muda dapat dimakan/disayur,
polen dari bunganya dapat untuk menarik koloni-koloni kumbang penghasil madu
yang diternakkan dan abu dari kayunya sangat baik untuk bahan baku dalam
pembuatan sabun cuci. Selain itu, Jenis Avicennia marina banyak digunakan
untuk kayu bakar, bahan bangunan kapal, balok, pancang, kayu untuk ikan asap
dan kertas (Saparinto 2007).
Ekosistem mangrove berbeda dengan ekosistem lainnya, komponen dasar
dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove
itu sendiri, tetapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting,
buah dan batang). Sebagian serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan
fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh
fitoplankton, algae, ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses

fotosintesis, sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh
ikan, udang, dan kepiting sebagai makanannya (Bengen 2004).
Ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber unsur hara untuk
kelanjutan proses ekologis dan biologis, dan merupakan penangkap sedimen yang
diperlukan untuk kelanjutan proses suksesi, pengendali erosi pantai, tempat
pemijahan dan pembesaran berbagai jenis ikan dan udang. Ekosistem mangrove
juga merupakan sumber produksi pangan, obat-obatan dan bahan baku industri
(Yunasfi 2006).
Produktivitas dan Serasah Mangrove
Produktivitas mangrove mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan
dengan beberapa ekosistem lain, yaitu 20 kali lebih tinggi dari nilai produktivitas
laut bebas dan sekitar 5 kali lebih tinggi dari nilai produktivitas perairan pantai.
Produktivitas mangrove dapat mencapai 5.000 g-C/m2/th (Lugo dan Snedaker
1974).
Mangrove memberikan sumbangan berarti terhadap produktivitas pada
ekosistem estuari dan perairan pantai melalui siklus materi yang berdasarkan pada
detritus atau serasah. Produktivitas merupakan faktor penting dari ekosistem
mangrove dan produksi daun mangrove sebagai serasah dapat digunakan untuk
menggambarkan produktivitas (Chapman 1976).
Serasah dalam ekologi digunakan untuk dua pengertian yaitu lapisan
bahan tumbuhan mati yang terdapat pada permukaan tanah dan bahan-bahan
tumbuhan mati yang tidak terikat lagi pada tumbuhan (Yunasfi 2006). Serasah
merupakan bahan organik yang mengalami beberapa tahap proses dekomposisi
dapat menghasilkan zat yang penting bagi kehidupan dan produktivitas perairan,
terutama dalam peristiwa rantai makanan (Arief 2003).
Produksi primer potensial hutan mangrove di Indonesia sekitar 40,40
sampai 45,50 kg C/ha/hari dan untuk tanaman Rhizophora mucronata produksi
primer bersihnya adalah 20,80 sampai 25,00 ton C/ha/tahun. Selanjutnya Sukardjo
(2002) menyatakan hutan mangrove di Indonesia melalui produktivitas serasah
sekitar 20,50 ton/ha/tahun sampai 29,35 ton/ha/tahun mensuplai makanan bagi
komunitas laut melaui rantai makanan detritus (detritus food chain).

Serasah dari pohon mangrove adalah sebagai sumber bahan organik yang
penting. Selanjutnya bahan organik tersebut melalui proses dekomposisi akan
dirombak oleh mikroba menjadi energi dan berbagai senyawa sederhana seperti
karbon, nitrogen, fosfor, belerang, kalium dan lain-lain (Alrasjid 1988).
Serasah adalah bahan organik dari berbagai pohon yang mati yang jatuh di
dasar hutan (daun, ranting dan alat reproduksi) sedangkan produksi serasah adalah
berat dari seluruh bagian material yang mati yang diendapkan di permukaan tanah
tanah pada suatu waktu. Kusmana et al. (2000) menyatakan bahwa besarnya
produktivitas serasah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
 Besarnya diameter pohon
 Produksi daun-daun baru sebagai adaptasi dari salinitas yang tinggi akibat
fluktuasi pasang surut
 Keterbukaan dari pasang surut dimana semakin terbuka semakin optimal.
Produksi serasah daun untuk setiap kawasan mangrove adalah berbeda.
Perbedaan jumlah serasah ini disebabkan oleh adanya beberapa faktor lingkungan
yang mempengaruhi produktivitas, kesuburan tanah, kelembaban tanah,
kerapatan, musim dan tegakan. Selain faktor-faktor tersebut ketipisan tajuk dan
morfologi daun juga ikut mempengaruhi besar kecilnya serasah. Semakin tipis
penutupan tajuk semakin berkurang produksi serasah (Lugo dan Snedaker 1974).
Lebih lanjut berdasarkan penelitian Sediadi dan Pramudji (1987) ditunjukkan
bahwa penimbunan serasah juga dipengaruhi oleh umur dan jenis tumbuhan
mangrove. Brown (1984) membedakan antara serasah pada suatu area
(litter-layer) dan yang dihasilkan dalam jangka waktu tertentu (litter-fall) sebagai
berikut:
 Litter-layer merupakan serasah yang ada pada suatu wilayah tertentu dan
dinyatakan dalam berat atau unit energi per area permukaan (misal g/m 2,
Kcal/ha).
 Litter-fall merupakan tingkat gugurnya serasah dalam jangka waktu tertentu
(misal g/m2/hari, Kcal/ha/tahun).
Turnover rate (rata-rata perputaran unsur hara) dinyatakan sebagai tingkat
total dari sejumlah zat yang dilepas atau dimasukkan dalam suatu bagian untuk
satu periode (misal g/hari). Konsep turnover rate berguna untuk membandingkan

tingkat atau nilai pertukaran diantara bagian yang berbeda dari suatu ekosistem.
Turnover rate didefenisikan oleh Brown (1984), sebagai rasio dari kandungan
yang ada (misal rasio produksi serasah litter-layer).
Serasah daun mangrove pada lingkungan estuaria merupakan bahan dasar
nutrisi penting. Walaupun miskin nutrisi ketika jatuh dari pohon, daun-daun
mangrove menjadi nutrisi yang diperlukan untuk proses-proses pengkayaan
mikroba (Odum 1993). Daun-daun mangrove yang gugur dan telah mengalami
penguraian akan menjadi makanan bagi organisme perairan. Serasah yang telah
terurai merupakan sumber utama unsur karbon, nitrogen dan fosfor baik untuk
ekosistem mangrove itu sendiri maupun ekosistem sekitarnya. Dengan demikian
mangrove berperan langsung dalam rantai perputaran energi dan zat-zat hara yang
penting artinya bagi kelangsungan hidup sumberdaya hayati perairan.
Tingginya bahan organik di perairan hutan mangrove memungkinkan
sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan pembesaran atau mencari makan dari
beberapa ikan atau hewan air tertentu. Ekosistem mangrove merupakan tempat
hidup sejumlah besar hewan-hewan air seperti kepiting, moluska dan invertebrata
lainnya. Selain itu ada pula diantara hewan-hewan air tertentu seperti
udang-udangan dan ikan yang hidupnya keluar masuk hutan mangrove bersama
arus pasang surut (Suprihartono 2000).
Proses Dekomposisi Serasah
Ekosistem

mangrove

memiliki

komponen-komponen

sebagaimana

ekosistem lain yaitu komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik yang
berperan di dalam suatu ekosistem adalah tumbuhan hijau sebagai produsen,
bermacam-macam kelompok hewan sebagai konsumen dan bakteri serta fungi
sebagai dekomposer (Collier et al. 1973). Terdapat tiga proses dasar yang
menyusun komponen biotik pada suatu ekosistem yaitu (a) proses produksi (b)
proses konsumsi dan (c) proses dekomposisi. Komponen abiotik meliputi unsur
hara dan senyawa anorganik, bahan organik dan parameter lingkungan berupa
temperatur, oksigen, nutrien dan faktor fisik lain yang membatasi kondisi
kehidupan. Proses dekomposisi menempati kedudukan yang sama dengan
komponen lain dalam bentuk ekosistem. Agen utama dalam dekomposisi adalah
dekomposer yang umumnya berasal dari kelompok bakteri dan fungi.

Dekomposisi merupakan kegiatan atau proses penguraian dan pemisahan
bahan-bahan organik menjadi bagian-bagian yang hancur. Dekomposisi bisa
berarti mekanisme penghancuran stuktur tanaman mati dari tahap masih melekat
pada kehidupan tumbuhan sampai menjadi tahap humus dengan stuktur sel yang
kasar menjadi bentuk yang hancur (Satchell 1974). Proses dekomposisi adalah
gabungan dari proses fragmentasi, perubahan stuktur fisik dan kegiatan enzim
yang dilakukan oleh dekomposer yang merubah bahan organik menjadi senyawa
anorganik. Definisi-definsi tersebut menggambarkan bahwa proses dekomposisi
bukan saja dilakukan oleh agen biologis seperti bakteri tetapi juga melibatkan
agen-agen fisika (Smith 1980).
Menurut Anderson dan Swift (1983), faktor-faktor yang mempengaruhi
dekomposisi serasah adalah (1) organisme penghancur (hewan dan jasad renik),
(2) kualitas serasah (sifat bahan organik serasah yang mempengaruhi kecepatan
dekomposisi) dan (3) lingkungan, baik fisik maupun kimia. Keadaan lingkungan
ekosistem mangrove yang selalu basah dan lembab serta suhu yang selalu tinggi
sepanjang tahun, menyebabkan proses dekomposisi serasah berlangsung sangat
cepat sehingga proses humifikasi (pembentukan humus) segera dilanjutkan
dengan proses mineralisasi (Manan 1978).
Crawford dan Rosenberg (1984) menyatakan laju dekomposisi tergantung
pada proses pencucian dari senyawa yang terdapat dalam subtrat, aktivitas bakteri,
fungi dan penghancuran serasah oleh makro invertebrata. Keberadaan bakteri dan
fungi dalam perairan mangrove mampu mengubah senyawa karbon dalam serasah
daun menjadi nutrisi secara enzimatik (Pascoal dan Cassio 2004).
Bahan Organik (C, N dan P)
Bahan organik merupakan suatu elemen yang masuk di dalam proses
kehidupan organisme. Bahan organik utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar
adalah Karbon (C), Nitrogen (N), Fosfor (P), Oksigen (O2), Silikat (Si),
Magnesium (Mg), Potassium (K) dan Kalsium (Ca). Sedangkan untuk trace
element dibutuhkan dalam konsentrasi yang sangat kecil, yakni Besi (Fe),
Tembaga (Cu), dan Vanadium (V). Lebih lanjut Parsons et al. (1984) menyatakan
bahwa elemen-elemen C, H, O, N, Si, P, Mg, K dan Ca juga termasuk dalam
kategori trace element.

Sebagian besar nitrogen yang terlibat dalam proses berasal dari atmosfir.
Nitrogen dari atmosfir yang difiksasi oleh makhluk hidup berada dalam
kesetimbangan dengan nitrogen yang dilepaskan oleh mikroba pada proses
dekomposisi. Nitrogen anorganik terdiri dari ammonia (NH2) dan nitrat (NH3)
sedangkan nitrogen organik terutama dalam bentuk protein, asam amino dan urea.
Umumnya senyawa-senyawa N organik dalam bentuk terlarut maupun partikulat
adalah hasil metabolisme bahari dan hasil proses pembusukan (Effendi 2003).
Serasah tumbuhan yang banyak kandungan nitrogen dan fosfornya akan
mengalami pelapukan dengan cepat tanpa penambahan unsur hara, terutama pada
keadaan aerobik. Berbeda halnya dengan bahan-bahan rendah kadar nitrogen
seperti jerami, tumpukan jerami dan sisa-sisa batang yang mengalami
dekomposisi secara lambat dan tidak sempurna dan kemungkinan masih tersisa
50-60% dari bobot awal setelah 3-10 bulan terdekomposisi (Moore-Landecker
1990).
Lama dekomposisi serasah daun berhubungan dengan tinggi kandungan
fenol dan tinggi nisbah C : N yang cenderung membuat serasah tidak disukai dan
tidak dapat dimanfaatkan sebagai makanan oleh hewan tanah. Berdasarkan hasil
percobaan diketahui bahwa, cacing tanah lebih menyukai daun-daun dengan
kandungan polifenol rendah dan nisbah C : N rendah (Dix dan Webster 1995).
Dekomposisi maksimum akan terjadi selama pasokan nitrogen, karbon dan unsur
hara penting lainnya (terutama fosfor) yang terdapat pada substrat atau tanah
berlimpah.
Serasah yang memiliki kandungan N tinggi cenderung disukai oleh
dekomposer karena lebih mudah dicerna (Choong et al. 1992 in Pribadi 1998).
Nilai nutrisi serasah juga berperan terhadap laju dekomposisi serasah. Menurut
Ashton et al. (1999) nilai nutrisi dapat ditentukan dengan rasio C : N, dimana nilai
rasio C : N yang lebih rendah menunjukkan konsentrasi N yang lebih tinggi serta
kualitas nutrisi yang juga lebih tinggi. Kualitas nutrisi yang tinggi umumnya akan
mengakibatkan proses dekomposisi yang lebih cepat.
Kumar et al. (2011) menyatakan bahwa mangrove dari jenis Avicennia
marina menyumbang nutrien lebih tinggi dari pada Rhizophora, yaitu nitrogen
sebesar 437,05 kg/ha/th dan fosfor sebesar 90,38 kg/ha/th. Hal ini karena daun

Avicennia marina mempunyai kandungan nutrien lebih tinggi dari pada daun
Rhizophora spp yang tinggi kadar taninnya, sehingga hutan mangrove di wilayah
pesisir lebih subur dari pada hutan tropis dilihat dari sumbangan nutrien dari
serasahnya.
Daun mangrove yang berwarna coklat dari jenis R. apiculata, S. caseolaris
dan A. alba lebih disukai oleh kepiting Perisesarma spp dan E. singaporense
daripada jenis daun berwarna hijau dan kuning. Hal ini menandakan bahwa daun
yang disukai oleh kepiting ditandai dengan jumlah kandungan nitrogen dan
komposisi kimia yang tinggi (Nordhaus 2011).
Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan salah satu upaya untuk
memelihara, melindungi, dan merehabilitasi sehingga pemanfaatan terhadap
ekosistem ini dapat berkelanjutan. Saenger et al. (1983) menyatakan pengelolaan
hutan mangrove harus mencakup wilayah yang lebih luas dari ekosistem tersebut
sehingga secara ideal merupakan bagian dari pengelolaan wilayah pesisir. Aspek
sosial dan ekonomi menghendaki setiap bentuk manfaat yang diperoleh dari
pengelolaan sumberdaya alam diprioritaskan kepada daerah dan masyarakat lokal
tempat sumberdaya alam itu berada. Pengelolaan hutan mangrove dengan
demikian tidak boleh mengucilkan masyarakat setempat, namun harus membuka
akses kepada masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara langsung
maupun tidak langsung. Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat
menyadari arti penting pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan
menjamin kelestarian sumberdaya tersebut.
Bengen (2001) menyatakan pelestarian hutan mangrove merupakan suatu
unit usaha yang kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut sangat
membutuhkan sifat akomodatif terhadap pihak-pihak terkait baik yang berada di
sekitar maupun di luar kawasan. Kegiatan pelestarian hutan mangrove pada
dasarnya dilakukan demi memenuhi kebutuhan berbagai kepentingan. Sifat
akomodatif tersebut akan lebih dirasakan manfaatnya bila keberpihakan pada
institusi yang rentan terhadap sumberdaya mangrove, diberikan porsi yang lebih

besar. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai
komponen penggerak pelestarian mangrove.
Kemudian Dahuri et al. (1996) menjelaskan bahwa pengelolaan multiguna
mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk kepentingan banyak pihak secara
seimbang sehingga terhindar dari orientasi tunggal yang sempit dan berjangka
pendek. Pengelolaan multiguna juga akan membawa jangkauan kegiatan yang
beragam, sehingga membuka pilihan yang lebih luas bagi masyarakat lokal untuk
terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove.
Kerangka dasar dalam pengelolaan hutan mangrove terdapat dua konsep
utama yang diterapkan. Kedua konsep tersebut adalah perlindungan hutan
mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove. Kedua konsep ini pada dasarnya
memberikan legitimasi dan pengertian bahwa sangat memerlukan pengelolaan
dalam perlindungan agar dapat terus lestari (Bengen 2001). Salah satu cara yang
dapat dilakukan dalam rangka upaya perlindungan terhadap keberadaan hutan
mangrove adalah dengan menetapkan suatu kawasan hutan mangrove sebagai
kawasan hutan konservasi dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan
tepi sungai. Bentuk perlindungan hutan ini cukup efektif dilakukan dan membawa
hasil yang baik.
1) Perlindungan Hutan Mangrove
Perlindungan terhadap hutan mangrove merupakan salah satu upaya
pengelolaan berkelanjutan terhadap ekosistem ini. Wujud nyata perlindungan
dimaksud dapat dilakukan melalui penetapan suatu kawasan konservasi sebagai
suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Konservasi
merupakan pemanfaatan biosfir oleh manusia sehingga dapat memberikan
manfaat yang sangat besar bagi generasi sekarang, juga menjaga potensinya agar
bisa digunakan dan bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Konservasi bersifat
positif yang mencakup pengawetan, pemeliharaan, pemanfaatan yang lestari,
pemulihan dan peningkatan lingkungan alami. Secara fungsional, konservasi
merupakan suatu proses dimana spesies dan habitat dikelola guna mendukung
eksplotasi lestari dan spesies tertentu tanpa melenyapkan kualitas atau
biodiversitas habitat (Carter 1994).

Upaya perlindungan ini berkaitan erat dengan Surat Keputusan Bersama
Menteri Pertanian dan Kehutanan Nomor: KB.550/264/Kpts/1984 dan Nomor:
082/Kpts-II/1984, tanggal 30 April 1964, dimana diantaranya disebutkan lebar
sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat keputusan bersama ini dibuat
selain dengan tujuan utama untuk memberikan legitimasi terhadap perlindungan
hutan mangrove, juga dibuat menyela