NILAI EKONOMI TOTAL HUTAN MANGROVE DESA MARGASARI KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

(1)

Oleh

RIA INDRIAN ARIFTIA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA KEHUTANAN

Pada

Jurusan Kehutanan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

Oleh

Ria Indrian Ariftia1), Rommy Qurniati2), Susni Herwanti2)

Selama ini pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang merupakan salah satu potensi hutan mangrove kurang mempertimbangkan aneka produk dan jasa yang dapat dihasilkan. Konversi lahan untuk pemanfaatan lain dipandang lebih menguntungkan daripada menggali potensi yang ada. Tujuan penelitian yang dilaksanakan pada bulan April – Mei 2013 adalah menghitung nilai ekonomi total hutan mangrove Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. Responden adalah 43 masyarakat sekitar hutan mangrove yang dipilih secara purposive sampling. Data dikumpulkan dengan pengamatan langsung di lapangan, wawancara dan dianalisis menggunakan formula nilai ekonomi total (Total Economic Value/TEV) secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ekonomi total hutan mangrove sebesar Rp 10.530.519.419,00 per tahun yang diperoleh dari (1) nilai guna langsung sebesar Rp 1.877.440.000,00 per tahun dari pemanfaatan rajungan, udang, kepiting, daun jeruju, buah pidada, kayu bakar dan ekowisata, (2) nilai guna tak langsung sebesar Rp 8.915.036.479,00pertahun dari penyedia pakan alami bagi biota laut, (3) nilai pilihan sebesar Rp 103.425.000,00 per tahun dari keanekaragaman hayati dan (4) nilai keberadaan Rp 1.580.000,00 per tahun dari kesediaan membayar masyarakat. Kata kunci: Hutan mangrove, nilai ekonomi total, nilai guna, nilai bukan guna.

1. Mahasiswa Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. 2. Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.


(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN……… i

KATA PENGANTAR……….…...… ii

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL.………...... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 3

C. Tujuan Penelitian... 3

D. Manfaat Penelitian... 3

E. Kerangka Pemikiran... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA... 7

A. Wilayah Pesisir... 7

B. Hutan Mangrove…………... 11

C. Konsep Penilaian Ekonomi...15

III. METODE PENELITIAN... 19

A. Lokasi dan Waktu Penelitian... 19

B. Alat dan Objek Penelitian...…….. 20

C. Definisi Operasional... 20

D. Metode Penelitian... 21

a. Jenis data... 21

b. Cara pengumpulan data...……….. 22

c. Metode pengambilan sampel... 23


(6)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 27

A.Kondisi Biofisik dan Tata Guna Lahan... 27

B.Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk………... 29

a. Jumlah Penduduk ………. 29

b. Tingkat Pendidikan ………...29

c. Mata Pencaharian ………..30

d. Suku dan Agama ………...31

e. Prasarana Ekonomi ………... 32

C.Kondisi Hutan Mangrove ... 33

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 35

A. Identifikasi Manfaat dan Potensi Hutan Mangrove………... 35

B. Penilaian Produk dan Jasa Hutan Mangrove………... 36

C. Nilai Ekonomi Total Hutan Mangrove ……….. 46

VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 49

A. Kesimpulan... 49

B. Saran... 49 DAFTAR PUSTAKA


(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan mangrove yang dikenal sebagai hutan payau merupakan ekosistem hutan yang memiliki ciri khas didominasi pepohonan yang mampu tumbuh di perairan asin. Komunitas pepohonan hutan mangrove diantaranya Rhizopora spp, Avicennia spp dan Soneratia spp. Pepohonan mangrove tersebut mampu tumbuh di daerah yang landai dan berlumpur, serta tahan terhadap hempasan ombak karena memiliki akar-akar yang kuat.

Ekosistem hutan mangrove mempunyai sifat dan bentuk yang khas serta mempunyai fungsi dan manfaat sebagai sumberdaya pembangunan baik sebagai sumberdaya ekonomi maupun ekologi yang telah lama dirasakan masyarakat yang hidup di sekitar wilayah tersebut. Oleh karena itu, ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem pendukung kehidupan yang penting dan perlu dipertahankan kelestariannya. Ditinjau dari aspek ekologinya, hutan mangrove memiliki kemampuan penghalang intrusi air laut, perluasan lahan kearah laut serta daerah mencari makanan bagi biota laut. Dari aspek sosial, hutan mangrove menjadi pendukung kehidupan masyarakat sekitar dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Banyaknya hasil hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan


(8)

langsung seperti udang, kepiting, rajungan, kayu maupun bukan kayu lainnya menjadi sumber pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Berdasarkan data ITTO (2012), luas hutan mangrove di Indonesia adalah 3.189.000 hektar. Luas hutan mangrove di Provinsi Lampung lebih kurang 10.533,676 hektar (Bakosurtanal, 2009; Saputro, 2009 dalam Kordi, 2012). Luas hutan mangrove Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur yaitu 700 hektar atau 6,65% dari luas hutan mangrove seluruh Provinsi Lampung (Monografi Desa Margasari, 2012).

Hutan mangrove di Desa Margasari merupakan ekosistem hutan mangrove yang memiliki potensi baik secara fisik, ekonomi dan ekologi. Namun sering kali, pemanfaatan hutan mangrove kurang mempertimbangkan aneka produk dan jasa yang dapat dihasilkan. Konversi lahan untuk pemanfaatan lain seperti tambak dipandang lebih menguntungkan daripada pemanfaatan lain yang tidak merusak mangrove. Terdapat kurang lebih 13 bidang bersertifikat dengan luas tanah 1,04 hektar yang dulunya merupakan tambak pada tahun 1980. Keberhasilan upaya pertambakan hanya bertahan sampai tahun 1990. Karena lokasi tambak berbatasan langsung dengan lautan, sehingga dari tahun ke tahun terjadi abrasi yang mengikis areal pertambakan dan kemudian menjadi lautan (Kustanti, 2011).

Masyarakat hanya menilai hutan mangrove dari segi ekonominya saja, tanpa memperhitungkan manfaat fisik dan ekologi dari hutan mangrove. Hasil penelitian Mayudin (2012) di Kabupaten Pangkajene menghitung nilai manfaat ekonomi tambak, meliputi luas tambak, jumlah produksi ikan bandeng dan udang serta harga jualnya diperoleh nilai sebesar Rp 1.607.600.070,00 per tahun. Nilai


(9)

ini belum memperhitungkan manfaat total dari hutan mangrove. Kondisi tersebut merupakan tantangan dalam pengelolaan sumberdaya alam pesisir dalam upaya pemanfaatan lahan yang tidak saja menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga ramah lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk menghitung nilai ekonomi total hutan mangrove di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur dengan memperhitungkan nilai produk dan jasa lingkungan hutan mangrove.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah berapa nilai ekonomi total hutan mangrove di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menghitung nilai ekonomi total hutan mangrove di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur.

D. Manfaat Penelitian

a. Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak yang berwenang dan berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya hutan mangrove yakni Pemerintah/BKSDA (Taman Nasional Way Kambas), Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, pihak swasta dan Perguruan Tinggi Negeri Universitas Lampung.

b. Sebagai informasi bagi masyarakat bahwa hutan mangrove memiliki nilai ekonomi yang penting bagi kehidupan.


(10)

E. Kerangka Pemikiran

Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan peralihan antara daratan dan lautan yang diketahui memiliki banyak manfaat. Hutan mangrove Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur merupakan sumberdaya alam yang tidak hanya memiliki fungsi ekonomi tetapi juga ekologi dan fisik yang tidak secara langsung dapat dinilai dengan uang karena belum dapat dipasarkan, sehingga dilakukan penelitian terkait nilai ekonomi total hutan mangrove. Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi sumberdaya hutan mangrove di Desa Margasari menggunakan analisis deskriptif guna mengetahui kondisi aktual hutan mangrove di daerah tersebut.

Identifikasi manfaat total hutan mangrove diperoleh dengan mewawancarai responden melalui panduan kuesioner. Manfaat hutan mangrove yang diperoleh terdiri dari nilai guna dan nilai bukan guna. Nilai guna (use value) dari hutan mangrove ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, nilai guna langsung yang diperoleh dari pemanfaatan langsung hutan mangrove yaitu daun jeruju, buah pidada, udang, kepiting, rajungan, ekowisata dan kayu bakar. Kedua, nilai guna tak langsung yang diperoleh dari jasa lingkungan hutan mangrove yaitu pencegah intrusi air laut ke darat, perluasan lahan kearah laut dan daerah mencari makanan bagi biota laut (feeding ground). Ketiga, nilai pilihan yang diperoleh dari nilai keanekaragaman hayati (Alam, Supratman dan Alif, 2009).

Nilai bukan guna (non use value) terdiri dari nilai keberadaan. Nilai keberadaan tersebut diperoleh dengan menggunakan metode valuasi kontingensi (contingent valuation method) yang menghitung nilai kesediaan membayar seseorang


(11)

(willingness to pay) dari keberadaan hutan mangrove (Susanti, Harianto dan Setiawan, 2006). Seluruh nilai manfaat hutan mangrove kemudian dikuantifikasi kedalam nilai uang sehingga diperoleh nilai ekonomi totalnya. Berdasarkan uraian diatas, maka bagan kerangka pemikirannya adalah sebagai berikut:


(12)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Nilai guna Nilai bukan guna

Kuantifikasi seluruh manfaat hutan mangrove kedalam nilai uang

Penilaian ekonomi Hutan mangrove

Identifikasi sumberdaya alam hutan mangrove

Identifikasi manfaat hutan mangrove

Nilai ekonomi total Pendekatan harga pasar dan biaya perjalanan. Biaya penggantian sumberdaya dan pendekatan harga pasar. Benefit transfer

Willingness to pay Langsung: Rajungan, udang, kepiting, daun jeruju, buah pidada, kayu bakar dan ekowisata. Tak langsung: Pencegah intrusi, penyedia pakan alami dan perluasan lahan kearah laut. Pilihan: Keanekaragaman hayati (biodiversity) Keberadaan: Ada tidaknya hutan mangrove


(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Wilayah Pesisir

Menurut Nontji (2002), wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut, ke arah darat meliputi bagian daratan yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang ada di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar serta daerah yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 27 tahun 2007, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Carlos, 2011).


(14)

Hal itu menunjukkan bahwa tidak ada garis batas yang nyata, sehingga batas wilayah pesisir hanyalah garis khayal yang letaknya ditentukan oleh situasi dan kondisi setempat. Definisi wilayah seperti diatas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem perairan pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi. Wilayah pesisir merupakan ekosistem yang mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem perairan pesisir (Dahuri, Rais, Ginting dan Sitepu, 1996).

Menurut Bengen (2002), hingga saat ini masih belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore). Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat suatu wilayah pesisir ditetapkan dalam dua macam, yaitu wilayah perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day to day management). Batas wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan dimana terdapat kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan, sehingga batas wilayah perencanaan lebih luas dari wilayah pengaturan.


(15)

Adapun definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah wilayah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Aqilah, 2011). Menurut Atmaja (2010) karakteristik khusus dari wilayah pesisir antara lain:

a. Suatu wilayah yang dinamis yaitu seringkali terjadi perubahan sifat biologis, kimiawi, dan geologis.

b. Mencakup ekosistem dan keanekaragaman hayatinya dengan produktivitas yang tinggi yang memberikan tempat hidup penting buat beberapa jenis biota laut.

c. Adanya terumbu karang, hutan bakau, pantai dan bukit pasir sebagai suatu sistem yang akan sangat berguna secara alami untuk menahan atau menangkal badai, banjir dan erosi.

d. Dapat digunakan untuk mengatasi akibat-akibat dari pencemaran, khususnya yang berasal dari darat.

Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami ataupun buatan (man-made). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun


(16)

(sea grass), pantai berpasir (sandy beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan agroindustri dan kawasan pemukiman (Dahuri, Rais, Ginting dan Sitepu, 2004).

Sumberdaya di wilayah pesisir terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih dan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih. Sumberdaya alam yang dapat pulih antara lain sumberdaya perikanan (plankton, benthos, ikan, molusca, crustacea, mamalia laut), rumput laut (seaweed), padang lamun, hutan mangrove dan terumbu karang. Sedangkan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih antara lain mencakup minyak dan gas alam, bijih besi, pasir, timah, bauksit dan mineral serta bahan tambang lainnya (Dahuri, Rais, Ginting dan Sitepu, 2004).

Desa pesisir adalah desa yang berada di dalam wilayah pesisir (UU Nomor 27 tahun 2007). Kondisi sosial ekonomi wilayah pesisir umumnya sangat memprihatinkan yang ditandai dengan rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas dan pendapatan. Ciri umum kondisi sosial ekonomi rumah tangga pesisir adalah:

a. Rumah tangga sebagai unit produksi, konsumsi, unit reproduksi dan unit interaksi sosial ekonomi politik.

b. Rumah tangga pesisir bertujuan untuk mencukupi kebutuhan anggota keluarganya sehingga tujuan ini merupakan syarat mutlak untuk menentukan keputusan-keputusan ekonomi terutama dalam usaha produksi.


(17)

c. Dalam keadaan kurang sarana produksi seperti alat tangkap, maka semua anggota keluarga yang sehat harus ikut dalam usaha ekonomi rumah tangga. d. Karena berada dalam garis kemisikinan, maka rumah tangga pesisir bersifat

safety first.

Mereka umumnya akan bersifat menunggu dan melihat terhadap introduksi teknologi baru dan pengaruhnya terhadap ekonomi keluarga. Sifat dan karakteristik masyarakat pesisir juga sangat dipengaruhi oleh jenis kegiatan usaha yang umumnya adalah perikanan. Karena usaha perikanan sangat bergantung kepada musim, harga dan pasar, maka sebagian besar karakter masyarakat pesisir tergantung kepada faktor-faktor tersebut. Lembaga sosial yang terbentukpun merupakan perwujudan dari prinsip safety first, seperti saling tolong-menolong, redistribusi hasil, dan sistem patron client (Paulus, 2011). Kemiskinan masyarakat pesisir dan pulau-pulau sangat ironi dan paradoks, karena data-data mengenai sumberdaya perikanan yang cukup besar. Disamping itu, sumberdaya pesisir dan lautan juga potensial untuk pengembangan berbagai sektor ekonomi seperti pariwisata, industri perikanan, perhubungan dan sebagainya (Kordi, 2012).

B. Hutan Mangrove

Hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Irwanto, 2008). Secara umum hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak


(18)

di garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut tepatnya di daerah pantai dan sekitar muara sungai (Alamendah, 2011).

Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya selain dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih seperti sediakala. Ciri-ciri hutan mangrove antara lain:

a. Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit.

b. Memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada Sonneratia spp., dan pada api-api Avicennia spp.

c. Memiliki biji (propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya pada Rhizophora spp.

d. Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon (Nazeriel, 2013).

Menurut Bengen (2001) flora mangrove umumnya tumbuh membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana dan zonasi yang kompleks tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Beberapa faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah:


(19)

a. Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water table) dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat menyebabkan kerusakan terhadap anakan.

b. Tipe tanah yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasi tanah, tingginya muka air dan drainase.

c. Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies terhadap kadar garam serta pasokan dan aliran air tawar.

d. Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari spesies intoleran seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia.

e. Pasokan dan aliran air tawar.

Menurut struktur ekosistem, dikenal tiga tipe formasi mangrove, yaitu:

a. Mangrove pantai: pengaruh air laut lebih dominan daripada air sungai. Struktur horizontal formasi ini dari arah laut ke arah darat adalah mulai dari tumbuhan pionir (Avicennia sp.), diikuti oleh komunitas campuran Soneratia alba, Rhizophora apiculata, selanjutnya komunitas murni Rhizophora sp. dan akhirnya komunitas campuran Rhizophora–Bruguiera. Bila genangan berlanjut, akan ditemui komunitas murni Nypa fructicans di belakang komunitas campuran yang terakhir.

b. Mangrove muara: pengaruh oleh air laut sama dengan pengaruh air sungai. Mangrove muara dicirikan oleh mintakat tipis Rhizophora spp. Di tepian alur, diikuti komunitas campuran Rhizophora-Bruguiera dan diakhiri komunitas murni Nipah fructicans.

c. Mangrove sungai: pengaruh oleh air sungai lebih dominan daripada air laut, dan berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara. Jenis-jenis mangrove banyak berasosiasi dengan komunitas daratan (Purnobasuki, 2005).


(20)

Menurut Bengen (2001), jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove, umumnya mangrove di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya dapat dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut:

a. Zona Api-api – Pidada (Avicennia–Sonneratia)

Terletak paling jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak lembek (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan kadar garam agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api dan pidada dan biasanya berasosiasi dengan jenis bakau.

b. Zona Bakau (Rhizophora)

Biasanya terletak di belakang api-api dan pidada, keadaan tanah berlumpur lembek (dalam). Pada umumnya didominasi bakau dan dibeberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang.

c. Zona Tanjang (Bruguiera)

Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya ditumbuhi jenis tanjang dan dibeberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain. d. Zona Nipah (Nipah fruticans)

Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini mengandung air laut dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di tepi-tepi sungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah dan beberapa spesies palem lainnya.

Ekosistem mangrove dapat berkembang dengan baik pada lingkungan dengan ciri-ciri ekologis sebagai berikut:


(21)

a. Jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir dengan bahan-bahan yang berasal dari lumpur, pasir atau pecahan karang.

b. Lahannya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan ini akan menentukan komposisi vegetasi ekosistem mangrove itu sendiri.

c. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai, mata air atau air tanah) yang berfungsi untuk menurunkan salinitas, menambah pasokan unsur hara dan lumpur.

d. Suhu udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 5ºC dan suhu rata-rata di bulan terdingin lebih dari 20ºC.

e. Airnya payau dengan salinitas 2-22 ppt atau asin dengan salinitas 38 ppt. f. Topografi pantai yang datar atau landai, arus laut tidak terlalu deras dan

terlindung dari angin kencang dan gempuran ombak yang kuat.

C. Konsep Penilaian Ekonomi

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan adalah bagaimana menilai suatu sumberdaya alam secara komprehensif. Penilaian tidak hanya mengenai harga pasar dari barang yang dihasilkan dari suatu sumberdaya, melainkan juga jasa yang ditimbulkan oleh sumberdaya tersebut. Pertanyaan yang sering timbul dalam proses penilaian misalnya bagaimana mengukur atau menilai jasa tersebut padahal konsumen tidak mengkonsumsinya secara langsung. Lebih lagi jika konsumen tidak pernah mengunjungi tempat dimana sumberdaya alam tersebut berada (Irmadi, 2004).


(22)

Pengelolaan sumberdaya hutan selalu ditujukan untuk memperoleh manfaat, baik manfaat yang terukur (tangible benefits) maupun manfaat tidak terukur (intangible benefits). Untuk memahami manfaat sumberdaya hutan ini maka perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya tersebut. Penilaian manfaat barang dan jasa sumberdaya sangat membantu seorang individu, masyarakat atau organisasi dalam mengambil suatu keputusan penggunaan sumberdaya alam (Gunawan, 2011). Penilaian merupakan upaya untuk menentukan nilai atau manfaat dari suatu barang atau jasa untuk kepentingan tertentu masyarakat (Alam, Supratman dan Alif, 2009). Pada prinsipnya penilaian ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut pandang masyarakat. Dengan demikian dalam melakukan valuasi ekonomi perlu diketahui sejauh mana adanya bias antara harga yang terjadi dengan nilai riil yang seharusnya ditetapkan dari sumberdaya yang digunakan tersebut (Baderan, 2013).

Salah satu cara untuk melakukan valuasi ekonomi adalah dengan menghitung nilai ekonomi total (Total Economic Value/TEV). Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai-nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan tepat sasaran. Nilai ekonomi total ini juga dapat diinterpretasikan sebagai nilai ekonomi total dari perubahan kualitas lingkungan hidup (Irmadi, 2004).


(23)

Menurut Fauzi (2002) nilai guna (use value) adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfataan aktual dari barang dan jasa seperti menangkap ikan. Nilai ini juga termasuk pemanfaatan komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam misalnya ikan dan kayu yang biasa dijual maupun untuk dikonsumsi langsung. Nilai guna secara lebih rinci diklasifikasikan kembali ke dalam nilai guna langsung dan nilai guna tak langsung.

Nilai guna langsung (direct use value) merujuk pada kegunaan langsung dari konsumsi sumberdaya seperti penangkapan ikan, pertanian, kayu sebagai bahan bakar dan lain sebagainya baik secara komersial maupun bukan komersial. Manfaat hutan mangrove yang dapat langsung dikonsumsi mencakup manfaat hasil hutan kayu, manfaat penangkapan hasil perikanan, serta manfaat pengambilan daun nipah (Benu, Timban, Kaunang dan Ahmad, 2011). Hutan mangrove di Pancer Cengkrong mempunyai fungsi dan manfaat ekonomi yaitu sebagai penghasil kayu, sebagai mata pencaharian penduduk sekitar, yakni pencari kepiting, kerang, udang putih, ikan konsumsi (belanak, kakap), ikan hias, dan biawak (Pertiwi, 2010). Nilai manfaat langsung hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan yaitu sebesar Rp 1.178.325.768.000,00 per tahun (Mayudin, 2012).

Nilai guna tak langsung (indirect use value) merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya alam dan lingkungan. Termasuk didalam kategori nilai guna tak langsung ini misalnya fungsi pencegahan banjir dan daerah asuhan bagi biota laut dari suatu ekosistem (misalnya mangrove). Nilai ekologi dari nilai guna tidak langsung memiliki nilai


(24)

lebih tinggi dari nilai lainnya yakni Rp 2.321.305.341,00 per tahun (Baderan, 2013). Nilai guna tidak langsung dari hutan mangrove sebagai pencegah intrusi air laut diestimasi melalui replacement cost dengan pembangunan bangunan pemecah gelombang (breakwater) (Benu, Timban, Kaunang dan Ahmad, 2011). Nilai manfaat fisik hutan mangrove sebagai peredam gelombang di Desa Tawiri, Ambon adalah sebesar Rp 6.270.277,50,00 per tahun (Hieriey, 2009).

Nilai bukan guna (non use value) merupakan nilai yang tidak berhubungan dengan pemanfaatan aktual dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Secara rinci, kategori non use value ini dibagi lagi kedalam beberapa subkelas yakni nilai keberadaan (existence value) dan nilai pilihan (option value). Nilai keberadaan pada dasarnya adalah penilaian yang diberikan atas keberadaan atau terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan meskipun masyarakat tidak memanfaatkan atau mengunjunginya. Nilai pilihan lebih diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh masyarakat atas adanya pilihan untuk menikmati barang dan jasa dari sumberdaya alam dimasa mendatang. Nilai pilihan keanekaragaman hayati hutan mangrove di Desa Penunggul, Kecamatan Nguling, Kabupaten Pasuruan adalah sebesar Rp 14.427.000,00 per tahun (Sofian, 2012).

Nilai ekonomi total sumberdaya alam adalah nilai ekonomi menyeluruh yang merupakan penjumlahan dari nilai guna (use values) dan nilai bukan guna (non use values) beserta komponen-komponennya (Fauzi, 2002). Nilai ekonomi total hutan mangrove di Pesisir Pantai Tlanakan pasca rehabilitasi adalah sebesar Rp 280.712.310.416,00 (Fatimah, 2012).


(25)

III.METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan

Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur pada bulan April – Mei 2013. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta Lokasi Desa Margasari. Lokasi Penelitian


(26)

B. Alat dan Objek Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, kamera, kuesioner dan seperangkat komputer. Objek dalam penelitian ini adalah hutan mangrove Desa Margasari dan masyarakat sekitar hutan mangrove.

C. Definisi Operasional

Batasan penelitian ini adalah:

a. Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai yang terkandung dalam sumberdaya mangrove, baik nilai guna maupun nilai bukan guna.

b. Nilai guna adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual barang dan jasa dari hutan mangrove.

c. Nilai bukan guna adalah nilai yang tidak berhubungan dengan pemanfaatan aktual barang dan jasa dari hutan mangrove.

d. Nilai guna langsung adalah nilai dari pemanfaatan secara langsung yang dihasilkan dari hutan mangrove.

e. Nilai guna tak langsung adalah nilai dari pemanfaatan secara tak langsung yang dihasilkan dari fungsi ekologis (jasa lingkungan) hutan mangrove.

f. Nilai pilihan adalah nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove untuk masa yang akan datang.

g. Nilai keberadaan adalah nilai kepedulian seseorang akan keberadaan sumberdaya hutan mangrove.

h. Kesediaan membayar adalah nilai rupiah yang bersedia dikorbankan oleh seseorang untuk mempertahankan keberadaan sumberdaya mangrove yang memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung baginya.


(27)

i. Biaya perjalanan adalah biaya yang dikeluarkan oleh pengunjung untuk kegiatan wisata, meliputi biaya transportasi sampai tujuan lokasi wisata, biaya konsumsi, biaya dokumentasi dan sebagainya.

j. Surplus konsumen adalah selisih antara jumlah yang konsumen sanggup membayar dengan yang harus dibayarkan.

k. Free rider adalah konsumen yang mendapat keuntungan atau manfaat tanpa harus mengeluarkan biaya apapun.

l. Benefit transfer adalah nilai moneter yang didapat dari literatur, per satuan luas, bagi ekosistem yang serupa dan nilai ini digandakan dengan luas fisik sumberdaya lokal yang sedang dinilai.

m. Harga pasar adalah nilai tukar menggunakan uang yang berlaku di lokasi penelitian.

n. Biaya penggantian sumberdaya adalah nilai jasa ekosistem berdasarkan biaya menyediakan jasa penggantian (substitusi) atau biaya menghindari kerusakan karena jasa yang hilang.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data. Data primer meliputi data mengenai harga pasar rajungan, udang, kepiting, daun jeruju, buah pidada dan kayu bakar, biaya perjalanan dari pengunjung ekowisata hutan mangrove, harga pasar pakan ikan yang berlaku di lokasi penelitian, harga


(28)

tanah per hektar yang berlaku di lokasi penelitian serta kesediaan membayar dari masyarakat untuk mempertahankan keberadaan hutan mangrove.

Data sekunder merupakan data penunjang penelitian. Data ini meliputi keadaan umum lokasi penelitian baik lingkungan fisik, sosial ekonomi masyarakat, data statistik identitas penduduk, buku literatur penunjang serta data lain yang berkaitan dengan penelitian yang bersumber dari pustaka ataupun instansi terkait.

2. Cara pengumpulan data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara: 1. Pengamatan langsung di lapangan

Pengamatan langsung di lapangan adalah pengamatan secara langsung oleh peneliti untuk mendeskripsikan keadaan ekosistem hutan mangrove yang akan diteliti guna mendapatkan data primer.

2. Wawancara dengan responden

Wawancara adalah pengambilan data dengan cara mengadakan tanya jawab dengan responden. Tanya jawab yang dilakukan menggunakan daftar pertanyaan umum atau kuesioner untuk memperoleh data primer.

3. Studi pustaka

Merupakan metode pengumpulan data dengan cara membaca dan mengutip teori yang berasal dari buku dan tulisan lain yang relevan dengan penelitian untuk mendapatkan data sekunder.


(29)

1

2 e N

N n

3. Metode Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang benar-benar memanfaatkan sumberdaya hutan mangrove di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur sebanyak 1.894 KK. Menurut Arikunto (2011) jika populasi kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Tetapi jika jumlah populasinya besar dapat diambil antara 10-15% atau 20-25%. Besarnya sampel responden ditentukan dengan mengambil 15% dari populasi di Desa Margasari karena menyesuaikan dengan kemampuan peneliti dilihat dari dana, waktu dan tenaga. Rumus penentuan sampelnya menurut Arikunto (2011) sebagai berikut:

Keterangan :

n : Jumlah responden

N : Jumlah total kepala keluarga (KK) di Desa Margasari e : Presisi 15%

n = 1.894 1.894 (0,15²) + 1 n = 43 responden

Dari 1.894 KK maka sampel dalam penelitian adalah 43 responden.

Data dari responden untuk tujuan ekowisata diambil selama penelitian berlangsung dikalikan jumlah kunjungan rata-rata yang akan dilakukan responden selama 1 tahun, karena belum tersedianya data pengunjung di lokasi penelitian dan diperoleh sebanyak 164 responden. Sampel dipilih dari populasi dengan cara purposive sampling yaitu metode pengambilan sampel tidak secara acak tetapi


(30)

berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Teknik tersebut untuk memilih responden berdasarkan tujuan penelitian, yaitu masyarakat yang memperoleh manfaat sumberdaya hutan mangrove baik manfaat langsung, tidak langsung, pilihan dan keberadaan.

4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

a. Identifikasi dan kuantifikasi fungsi dan manfaat ekosistem hutan mangrove

Bertujuan untuk memperoleh data tentang berbagai macam fungsi dan manfaat ekosistem hutan mangrove dan mengestimasi ke dalam nilai rupiah. Persamaan yang digunakan dalam menghitung nilai ekonomi total adalah (Alam, Supratman dan Alif, 2009):

1) Nilai guna langsung (direct use value/DUV)

Nilai guna langsung diperoleh secara langsung dari sumberdaya hutan mangrove. Nilai guna langsung tersebut dihitung dari jenis manfaat yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar hutan mangrove yaitu rajungan, udang, kepiting, daun jeruju, buah pidada dan kayu bakar yang dihitung menggunakan pendekatan harga pasar dan ekowisata yang dihitung menggunakan biaya perjalanan (travel cost method). Biaya perjalanan pengunjung akan diperoleh melalui wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner. Formulasinya sebagai berikut: DUV = DUV1 + DUV2 + DUV3 + DUV4 + DUV5 (dalam Rp per tahun)

Dimana: DUV : nilai guna langsung

DUV1 : nilai guna langsung rajungan, udang, kepiting DUV2 : nilai guna langsung daun jeruju

DUV3 : nilai guna langsung buah pidada DUV4 : nilai guna langsung kayu bakar


(31)

2) Nilai guna tak langsung (indirect use value/IUV)

Nilai guna tak langsung adalah nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya alam dan lingkungan (Fauzi, 2002). Nilai guna tak langsung yang dirasakan masyarakat sekitar hutan mangrove meliputi manfaat fisik dan ekologis. Nilai guna tak langsung hutan mangrove diestimasi menggunakan biaya penggantian sumberdaya (replacement cost) dan pendekatan harga pasar terkini. Manfaat fisik hutan mangrove yaitu sebagai pencegah intrusi air laut ke darat dan dihitung berdasarkan pendekatan biaya pengganti pembuatan tanggul pantai sebagai pencegah intrusi. Selain itu, manfaat fisik lainnya adalah perluasan lahan ke arah laut yang dihitung berdasarkan harga tanah per hektar yang berlaku di lokasi penelitian. Manfaat ekologis hutan mangrove yaitu penyedia pakan alami bagi biota laut di sekitar hutan mangrove. Nilai manfaat ekologis tersebut dihitung berdasarkan pendekatan harga pakan ikan di lokasi penelitian. Formulasinya sebagai berikut: IUV = IUV1 + IUV2 + IUV3 (dalam Rp per tahun)

Dimana: IUV : nilai guna tak langsung

IUV1 : nilai guna tak langsung penyedia pakan alami IUV2 : nilai guna tak langsung pencegah intrusi air laut IUV3 : nilai guna tak langsung perluasan lahan kearah laut

3) Nilai pilihan (option value/OV)

Nilai pilihan diperoleh dengan menghitung nilai keanekaragaman hayati (biodiversity) ekosistem hutan mangrove. Menurut Ruitenbeek (1991) dalam Hieriey (2009) hutan mangrove Indonesia memiliki nilai biodiversity sebesar US$


(32)

15 per hektar per tahun yang dapat digunakan untuk hutan mangrove di seluruh Indonesia. Nilai pilihan dapat dirumuskan sebagai berikut:

OV = US$ 15 per hektar per tahun x luas hutan mangrove Dimana: OV : nilai pilihan (dalam Rp per tahun)

4) Nilai keberadaan (existence value/EV)

Nilai keberadaan hutan mangrove dihitung dengan metode valuasi kontingensi (contingent valuation method). Metode ini didasarkan pada kesediaan membayar seseorang (willingness to pay) terhadap keberadaan hutan mangrove sehingga fungsi dan manfaat hutan mangrove bisa terus dirasakan sebagai warisan untuk generasi mendatang. Formulasinya sebagai berikut:

n

EV = ∑ (EVi) / n (dalam Rp per tahun) i=1

Dimana: EV : nilai keberadaan

EVi : nilai WTP dari responden ke-i n : jumlah responden (43 orang)

b. Nilai ekonomi total (Total Economic Value/TEV)

Merupakan penjumlahan dari seluruh manfaat yang telah diidentifikasi dari ekosistem hutan mangrove yang diteliti, dirumuskan sebagai berikut:

TEV = DUV + IUV + OV + EV (dalam Rp per tahun)

Dimana: TEV : nilai ekonomi total (Rp per tahun) DUV : nilai guna langsung (Rp per tahun) IUV : nilai guna tak langsung (Rp per tahun) OV : nilai pilihan (Rp per tahun)


(33)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Kondisi Biofisik dan Tata Guna Lahan

Desa Margasari terletak di Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung. Desa ini memiliki luas 1.702 hektar. Desa yang terdiri dari 12 dusun ini berbatasan langsung dengan wilayah-wilayah sebagai berikut: a. Sebelah utara : Desa Sukorahayu

b. Sebelah selatan : Desa Sriminosari c. Sebelah barat : Desa Srigading d. Sebelah timur : Laut Jawa

Desa Margasari termasuk tipologi desa pesisir yaitu desa yang berbatasan langsung dengan laut. Desa yang berada pada ketinggian 1,5 mdpl ini memiliki suhu rata-rata harian 28-40ºC dengan bentang wilayah yang datar. Desa Margasari memiliki bentuk tekstur tanah pasiran, dengan warna tanah sebagian besar adalah hitam (Monografi Desa Margasari, 2012).

Menurut pengunaannya, lahan di Desa Margasari terdiri dari perkebunan, sawah dan ladang, bangunan umum, empang, pemukiman/perumahan, jalur hijau dan pemakaman. Pembagian luas desa menurut tata guna lahannya dapat dilihat pada Tabel 1.


(34)

Tabel 1. Pembagian Luas Desa Margasari Menurut Tata Guna Lahannya No. Macam penggunaan lahan Luas (hektar/m²) % 1 Perkebunan 18,5 0,04 2 Sawah irigasi teknis 324 0,62 3 Sawah tadah hujan 4,5 0,01 4 Ladang 75 0,14 5 Fasilitas umum 50.026 96,10 6 Empang 180 0,35 7 Pemukiman/perumahan 230 0,44 8 Tanah kering (pekarangan) 420,5 0,81 9 Tanah yang belum dikelola

a. Hutan (jalur hijau) 700 1,34 b. Rawa 80 0,15 Jumlah 52.058,50 100 Sumber: Monografi Desa Margasari, 2012.

Lahan di Desa Margasari paling luas untuk penggunaan fasilitas umum (96,10%) dibandingkan dengan penggunaan lain seperti perkebunan, sawah irigasi teknis, sawah tadah hujan, ladang, empang, pemukiman, tanah kering dan tanah yang belum dikelola yaitu seluas 50.026 hektar per m². Penggunaan lahan untuk fasilitas umum terdiri dari kas kelurahan seluas 2,5 hektar per m², tempat pemakaman umum seluas 1,5 hektar per m², bangunan sekolah seluas 3,5 hektar per m², fasilitas pasar seluas 1,5 hektar per m², usaha perikanan seluas 2 hektar per m², jalan seluas 15 hektar per m² dan daerah tangkapan air seluas 50.000 hektar per m². Dan penggunaan lahan paling kecil adalah sawah tadah hujan yaitu 4,5 hektar per m². Rata-rata curah hujan di Desa Margasari berkisar 2.500 mm per tahun dengan jumlah hujan rata-rata 12 hari per bulan. Bulan hujan terjadi antara bulan November sampai bulan Maret, sedangkan bulan kering terjadi antara bulan April sampai bulan Oktober. Kondisi topografi Desa Margasari adalah dataran rendah dan pantai, dengan ketinggian tanah dari permukaan laut adalah ± 1,5 meter.


(35)

B. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk

a. Jumlah penduduk

Menurut monografi Desa Margasari tahun 2012, jumlah penduduk Desa Margasari adalah 7.537 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1.894 jiwa. Penduduk Desa Margasari terdiri dari laki-laki sebanyak 3.824 jiwa dan perempuan sebanyak 3.713 jiwa.

b. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan penduduk Desa Margasari dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2. Persentase Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Margasari No. Tingkat pendidikan Jumlah

Jiwa % 1. Tamat SD 1.784 63,11 2. Tamat SLTP 686 24,26 3. Tamat SLTA 309 10,93 4. Tamat D1-D3 31 1,10

5. Tamat S1-S3 17 0,60 Jumlah 2.827 100

Sumber: Monografi Desa Margasari, 2012.

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat pendidikaan penduduk Desa Margasari masih tergolong rendah. Sebagian besar masyarakat (63,11%) hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD). Salah satu faktor penyebab rendahnya tingkat pendidikan masyarakat adalah sarana dan prasarana pendidikan yang dimiliki Desa Margasari kurang memadai. Sarana pendidikan yang paling banyak tersedia adalah Sekolah Dasar (SD). Sedangkan SLTP dan Madrasah masih sangat sedikit, bahkan sarana pendidikan SLTA dan Perguruan Tinggi belum tersedia. Untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, penduduk harus


(36)

ke ibukota kecamatan atau ibukota provinsi. Berikut tabel jumlah guru dan sarana pendidikan Desa Margasari sebagai berikut:

Tabel 3. Jumlah Guru dan Sarana Pendidikan Desa Margasari

No. Sarana pendidikan Jumlah Jumlah guru % 1. Taman Kanak-kanak (TK) 3 8 10,67 2. SD 4 46 61,33 3. SLTP 1 16 21,33 4. SLTA - - - 5. Madrasah 1 5 6,67 6. Perguruan tinggi - - -

Jumlah 9 75 100 Sumber: Monografi Desa Margasari, 2012.

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah guru sebagai sarana pendidikan yang ada di Desa Margasari paling banyak adalah guru Sekolah Dasar (SD) yaitu 46 orang atau 61,33%. Sedangkan jumlah bangunan sekolah sebagai prasarana pendidikan di Desa Margasari paling banyak adalah Sekolah Dasar yaitu 4 buah.

c. Mata pencaharian

Mayoritas penduduk Desa Margasari bermatapencaharian sebagai nelayan (66,12%) yaitu 1.124 jiwa. Hal itu terkait dengan Desa Margasari sebagai desa pesisir yang berbatasan langsung dengan lautan, sehingga mendukung masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup dari hasil laut. Mata pencaharian yang dominan setelah nelayan adalah petani (22,17%) yaitu 377 jiwa. Luas total tanah sawah para petani adalah 328,5 hektar per m². Lahan yang cukup luas bagi para petani untuk menggantungkan hidup dari hasil sawah.

Sedangkan lainnya bermata pencaharian sebagai karyawan (0,58%), pedagang (0,64%) yaitu 11 jiwa. Masyarakat yang berdagang membuka warung kecil atau


(37)

toko sekitar desa guna menyediakan kebutuhan sehari-hari masyarakat lainnya karena pasar tradisional Desa Margasari hanya diadakan hari Selasa dan Jumat. Peternak (0,17%), montir (0,34%), bidan (0,17%), pembantu rumah tangga (3,24%), tukang kayu (1,59%), tukang batu (1,40%), guru honor (0,82%) dan wiraswasta (0,88%). Masyarakat yang berprofesi sebagai wiraswasta yaitu 15 jiwa. Beberapa diantaranya memanfaatkan hasil hutan mangrove sebagai bahan dasar usaha kecil yang dikelola masyarakat. Secara terperinci, jenis mata pencaharian penduduk Desa Margasari dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut: Tabel 4. Persentase Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Margasari

No. Mata pencaharian Jumlah Jiwa %

1 PNS 26 1,52 2 TNI/POLRI 5 0,28 3 Karyawan 10 0,58 4 Pedagang 11 0,64 5 Nelayan 1.124 66,12 6 Petani 377 22,17 7 Peternak 3 0,17 8 Montir 6 0,34 9 Bidan 3 0,17 10 Pembantu rumah tangga 55 3,24 11 Tukang kayu 27 1,59 12 Tukang batu 24 1,40 13 Wiraswasta 15 0,88 14 Guru honor 14 0,82 Jumlah 1.700 100 Sumber: Monografi Desa Margasari, 2012.

d. Suku dan Agama

Penduduk Desa Margasari terdiri dari beragam suku yaitu suku Minang, Sunda, Jawa, Madura dan Bugis. Mayoritas penduduk Desa Margasari adalah suku Jawa. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Indonesia. Sebagian besar penduduk Desa Margasari adalah beragama Islam yaitu sebanyak 7.357 jiwa atau


(38)

97,61% dari jumlah seluruh penduduk di desa tersebut. Sedangkan sisanya beragama Kristen sebanyak 109 jiwa (1,45%) dan Budha sebanyak 71 jiwa (0,94%). Sarana peribadatan yang ada di Desa Margasari antara lain adalah 6 buah masjid dan 13 mushalla.

e. Prasarana Ekonomi

Desa Margasari yang terletak di Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur dapat dicapai dengan baik menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Keadaan jalan khususnya jalan kecamatan kurang begitu baik karena masih terdapat banyak lubang diruas jalan. Hingga saat ini, tidak ada mobil angkutan umum yang menuju Desa Margasari. Tetapi hal ini teratasi dengan tersedianya jasa angkutan ojek yang siap mengantar ke Desa Margasari dengan biaya antara Rp 10.000,00 sampai Rp 15.000,00 dari depan kantor Kecamatan Labuhan Maringgai dan jasa travel dengan biaya Rp 25.000,00 sampai Rp 40.000,00 (Bandar Lampung-Margasari, Sukadana-Margasari). Terdapat beberapa alternatif jalur untuk mencapai lokasi, antara lain:

a. Bandar Lampung – Metro – Sukadana – Sribawono – Margasari dengan jarak 115 km.

b. Bandar Lampung – Tanjung Bintang – Sribawono – Margasari dengan jarak 121 km.

c. Pelabuhan Bakauheuni – Bandar Agung – Labuhan Maringgai – Margasari dengan jarak 155 km.

d. Bandar Branti – Bandar Lampung – Metro – Sukadana – Sribawono – Margasari dengan jarak 130 km.


(39)

e. Pelabuhan Bakauheuni – Bandar Lampung – Tanjung Bintang – Sribawono – Margasari dengan jarak 211 km.

Penduduk Desa Margasari melakukan kegiatan jual beli di pasar yang terletak di desa maupun yang terletak di ibukota kecamatan. Kegiatan ini tidak dapat dilakukan setiap hari karena pasar desa hanya diadakan pada hari Selasa dan Jumat, sedangkan pasar yang terletak di ibukota kecamatan diadakan pada hari Rabu dan Sabtu. Kecuali pada hari-hari tersebut, masyarakat belanja di warung atau toko yang terdapat disekitar rumah.

C. Kondisi Hutan Mangrove

Hutan mangrove Desa Margasari memiliki luas ± 700 hektar dengan ketebalan mencapai 2 kilometer. Status kawasan hutan mangrove Desa Margasari merupakan hutan negara yang dalam pengelolaannya diserahkan kepada beberapa pihak yaitu Pemerintah/BKSDA (Taman Nasional Way Kambas), Swasta (hutan produksi tetap dan tambak), masyarakat (hutan produksi yang dapat dikonversi dan APL) dan Perguruan Tinggi Negeri (Universitas Lampung). Hutan mangrove ini merupakan hasil rehabilitasi Dinas Kehutanan Provinsi Lampung pada tahun 1995 dan 1997. Hutan mangrove tersebut telah diserahkan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Timur untuk dikelola oleh Universitas Lampung berdasarkan Nota Kesepakatan bernomor 572.1/940/08/UK/2005 dan 4093/J26/KL/2005 tanggal 15 Desember 2005 sebagai upaya pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat (Kustanti, 2011).


(40)

Berdasarkan komitmen internasional dalam pengelolaan hutan mangrove dan perhatian terhadap lingkungan, maka kegiatan pengelolaan terpadu hutan mangrove mengagendakan pengembangan jejaring kerja (networking) secara nasional dan internasional. Secara nasional, telah dilakukan kerjasama dengan Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II, dan secara internasional telah dibuka jejaring kerjasama dengan SSPM-JICA (Sub Sectoral Program on Mangrove-Japan International Cooperation Agency). Kerjasama ini diawali dengan survei pendahuluan pada November 2007 oleh Tim JICA, BPHM II Departemen Kehutanan, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Provinsi Lampung dan Tim Universitas Lampung ke areal hutan mangrove 700 hektar di Lampung Mangrove Center (LMC) Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur (Kustanti, 2011).

Jenis vegetasi yang mendominasi hutan mangrove Desa Margasari adalah api-api (Avicennia marina). Adapun fauna yang ditemukan di hutan mangrove tersebut diantaranya kelas mamalia, aves, pisces, insekta dan reptilia. Fauna mamalia yang ditemukan di hutan mangrove salah satunya adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Sedangkan jenis burung yang dijumpai antara lain burung kuntul kerbau (Bulbucus ibis), burung belibis (Dendrocygna arcuata), burung bangau (Ciconiidae sp.), burung elang laut (Fregata ariel), burung raja udang biru (Alcedo caerulescens) dan burung blekok sawah (Ardeola speciosa).


(41)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa besarnya nilai ekonomi total hutan mangrove Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur adalah sebesar Rp 10.530.519.419,00 per tahun. Nilai tersebut diperoleh dari penjumlahan nilai guna langsung sebesar Rp 1.877.440.000,00 per tahun dari pemanfaatan rajungan, udang, kepiting, daun jeruju, buah pidada, kayu bakar dan ekowisata, nilai guna tak langsung sebesar Rp 8.915.036.479,00 per tahun dari penyedia pakan alami bagi biota laut, nilai pilihan sebesar Rp 103.425.000,00 per tahun dari keanekaragaman hayati dan nilai keberadaan sebesar Rp 1.580.000,00 per tahun dari kesediaan membayar masyarakat.

B. Saran

Nilai guna tak langsung hutan mangrove Desa Margasari cukup besar, sehingga perlu dilakukan penyuluhan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat bahwa hutan mangrove sangat penting untuk dilestarikan dan perlu upaya peningkatan nilai guna langsung diantaranya dengan pemanfaatan daun nipah untuk dijadikan atap rumah atau nira sehingga memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakat sekitar hutan mangrove.


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Alam, S., Supratman, dan Alif, M. 2009. Buku Ajar Ekonomi Sumberdaya Hutan. Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan. Universitas Hasanuddin

Anonim. 2007. Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU RI No.27 Tahun 2007)

Alamendah. 2011. Hutan Bakau Hutan Mangrove; Definisi dan Fungsi. http://alamendah.wordpress.com/hutanbakauhutanmangrovedefinisidanfun gsi. Diakses 18 Februari 2011

Aqilah, Z. 2011. Wilayah Pesisir dan Ekosistem Mangrove. http:// zalfaaqilah. wordpress.com/wilayahpesisirdanekosistemmangrove. Diakses 23 Mei 2011

Arikunto, S. 2011. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta

Atmaja, E. 2010. Wilayah Pesisir (Coastal Zone). http://sastrakelabu. wordpress.com/ wilayahpesisircoastalzone. Diakses 15 April 2010

Baderan, D.W. 2013. Model Valuasi Ekonomi Sebagai Dasar Untuk Rehabilitasi Kerusakan Hutan Mangrove di Wilayah Pesisir Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Disertasi. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lautan. Bogor. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Bengen, D.G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut Serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Benu, O. L, Timban, J., Kaunang, R., Ahmad, F. 2011. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Hutan Mangrove di Desa Palaes Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal. Volume 7 Nomor 2 : 29-38

Carlos, C. 2011. Konsep dan Definisi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Kelautan. http://carolinacarlos.mhs.upnyk.ac.id/pesisir/konsepdandefinisipengelolaan wilayahpesisirdankelautan. Diakses 18 Oktober 2011


(43)

Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir. PPLH-LP, IPB. Bogor

Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Cetajan ketiga. Jakarta: Pradnya Paramita

Fatimah, A. 2012. Nilai Ekonomi Total Hutan Mangrove Pasca Rehabilitasi di Pesisir Pantai Tlanakan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Fauzi, A. 2002. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Makalah

Pelatihan “Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan”

Universitas Diponegoro, Semarang, 4-8 Maret 2002

Gunawan, H. 2011. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Hutan Mangrove. http:// cucuhendra.blogspot.com/valuasiekonomisumberdayaalamhutanmangrov. Diakses 25 Maret 2013

Hiariey, L.S. 2009. Identifikasi Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Tawiri, Ambon. Jurnal. Volume 5, Nomor 1 : 23-34

Irmadi. 2004. Konsep Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam. http:// bungdanon.blogspot.com/konsepvaluasiekonomisumberdayaalam.

Diakses 25 Maret 2013

Irwanto. 2008. Pemanfaatan Hutan Mangrove Teluk Kotania Kabupaten Seram Barat, Maluku. www.irwantoshut.com. Diakses 25 Maret 2013

International Tropical Timber Organization (ITTO) Tropical Forest Update. 2012. Yokohama 220-0012. Japan

Johari, H. I.. 2007. Analisis Nilai Ekonomi Total Mangrove di Kabupaten Lombok Timur Bagian Selatan Nusa Tenggara Barat. Artikel. Universitas Muhammadiyah Malang

Kordi, K.M.G.H.. 2012. Ekosistem Mangrove: Potensi, Fungsi dan Pengelolaan. Cetakan pertama. Jakarta: Rineka Cipta

Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press

Mayudin, A. 2012. Kondisi Ekonomi Pasca Konversi Hutan Mangrove Menjadi Lahan Tambak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal. Volume 8, Nomor 2 : 90-104

Monografi Desa Margasari. 2012. Potensi Desa, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi lampung


(44)

Nazeriel. 2013. Pengertian Hutan Mangrove. http:// nazeriel. blogspot. com/ pengertianhutanmangrove. Diakses 6 Maret 2013.

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Cetakan ketiga. Penerbit Djambatan, Jakarta: 367 hal.

Nurdini. 2004. Analisis Permintaan Ekoturisme Hutan Mangrove Muara Angke Dengan Metode Biaya Perjalanan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor Paulus, C. 2011. Gambaran Umum Wilayah Pesisir Indonesia.

http://chaterinapaulus.blogspot.com/gambar. Diakses 29 April 2011. Pertiwi, G.H. 2010. Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Peran

Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Pancer Cengkrong Desa Karanggandu, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang

Purnobasuki, H. 2005. Tinjauan Perspektif Hutan Mangrove. Penerbit Airlangga University Press. ISBN: 979-3557-43-5

Sofian, A. 2012. Valuasi Ekonomi dan Pengelolaan Hutan Mangrove Desa Penunggul, Kecamatan Nguling, Kabupaten Pasuruan. Tesis. Universitas Brawijaya. Malang.

Susanti, Eka., Harianto, Sugeng., Setiawan, Agus. 2006. Nilai Keberadaan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) bagi Masyarakat Desa Sedayu Kecamatan Semaka Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Jurnal. Edisi 18: 69-83.


(1)

e. Pelabuhan Bakauheuni – Bandar Lampung – Tanjung Bintang – Sribawono – Margasari dengan jarak 211 km.

Penduduk Desa Margasari melakukan kegiatan jual beli di pasar yang terletak di desa maupun yang terletak di ibukota kecamatan. Kegiatan ini tidak dapat dilakukan setiap hari karena pasar desa hanya diadakan pada hari Selasa dan Jumat, sedangkan pasar yang terletak di ibukota kecamatan diadakan pada hari Rabu dan Sabtu. Kecuali pada hari-hari tersebut, masyarakat belanja di warung atau toko yang terdapat disekitar rumah.

C. Kondisi Hutan Mangrove

Hutan mangrove Desa Margasari memiliki luas ± 700 hektar dengan ketebalan mencapai 2 kilometer. Status kawasan hutan mangrove Desa Margasari merupakan hutan negara yang dalam pengelolaannya diserahkan kepada beberapa pihak yaitu Pemerintah/BKSDA (Taman Nasional Way Kambas), Swasta (hutan produksi tetap dan tambak), masyarakat (hutan produksi yang dapat dikonversi dan APL) dan Perguruan Tinggi Negeri (Universitas Lampung). Hutan mangrove ini merupakan hasil rehabilitasi Dinas Kehutanan Provinsi Lampung pada tahun 1995 dan 1997. Hutan mangrove tersebut telah diserahkan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Timur untuk dikelola oleh Universitas Lampung berdasarkan Nota Kesepakatan bernomor 572.1/940/08/UK/2005 dan 4093/J26/KL/2005 tanggal 15 Desember 2005 sebagai upaya pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat (Kustanti, 2011).


(2)

Berdasarkan komitmen internasional dalam pengelolaan hutan mangrove dan perhatian terhadap lingkungan, maka kegiatan pengelolaan terpadu hutan mangrove mengagendakan pengembangan jejaring kerja (networking) secara nasional dan internasional. Secara nasional, telah dilakukan kerjasama dengan Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II, dan secara internasional telah dibuka jejaring kerjasama dengan SSPM-JICA (Sub Sectoral Program on Mangrove-Japan International Cooperation Agency). Kerjasama ini diawali dengan survei pendahuluan pada November 2007 oleh Tim JICA, BPHM II Departemen Kehutanan, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Provinsi Lampung dan Tim Universitas Lampung ke areal hutan mangrove 700 hektar di Lampung Mangrove Center (LMC) Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur (Kustanti, 2011).

Jenis vegetasi yang mendominasi hutan mangrove Desa Margasari adalah api-api (Avicennia marina). Adapun fauna yang ditemukan di hutan mangrove tersebut diantaranya kelas mamalia, aves, pisces, insekta dan reptilia. Fauna mamalia yang ditemukan di hutan mangrove salah satunya adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Sedangkan jenis burung yang dijumpai antara lain burung kuntul kerbau (Bulbucus ibis), burung belibis (Dendrocygna arcuata), burung bangau (Ciconiidae sp.), burung elang laut (Fregata ariel), burung raja udang biru (Alcedo caerulescens) dan burung blekok sawah (Ardeola speciosa).


(3)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa besarnya nilai ekonomi total hutan mangrove Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur adalah sebesar Rp 10.530.519.419,00 per tahun. Nilai tersebut diperoleh dari penjumlahan nilai guna langsung sebesar Rp 1.877.440.000,00 per tahun dari pemanfaatan rajungan, udang, kepiting, daun jeruju, buah pidada, kayu bakar dan ekowisata, nilai guna tak langsung sebesar Rp 8.915.036.479,00 per tahun dari penyedia pakan alami bagi biota laut, nilai pilihan sebesar Rp 103.425.000,00 per tahun dari keanekaragaman hayati dan nilai keberadaan sebesar Rp 1.580.000,00 per tahun dari kesediaan membayar masyarakat.

B. Saran

Nilai guna tak langsung hutan mangrove Desa Margasari cukup besar, sehingga perlu dilakukan penyuluhan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat bahwa hutan mangrove sangat penting untuk dilestarikan dan perlu upaya peningkatan nilai guna langsung diantaranya dengan pemanfaatan daun nipah untuk dijadikan atap rumah atau nira sehingga memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakat sekitar hutan mangrove.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alam, S., Supratman, dan Alif, M. 2009. Buku Ajar Ekonomi Sumberdaya Hutan. Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan. Universitas Hasanuddin

Anonim. 2007. Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU RI No.27 Tahun 2007)

Alamendah. 2011. Hutan Bakau Hutan Mangrove; Definisi dan Fungsi. http://alamendah.wordpress.com/hutanbakauhutanmangrovedefinisidanfun gsi. Diakses 18 Februari 2011

Aqilah, Z. 2011. Wilayah Pesisir dan Ekosistem Mangrove. http:// zalfaaqilah. wordpress.com/wilayahpesisirdanekosistemmangrove. Diakses 23 Mei 2011

Arikunto, S. 2011. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta

Atmaja, E. 2010. Wilayah Pesisir (Coastal Zone). http://sastrakelabu. wordpress.com/ wilayahpesisircoastalzone. Diakses 15 April 2010

Baderan, D.W. 2013. Model Valuasi Ekonomi Sebagai Dasar Untuk Rehabilitasi Kerusakan Hutan Mangrove di Wilayah Pesisir Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Disertasi. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lautan. Bogor. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Bengen, D.G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut Serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Benu, O. L, Timban, J., Kaunang, R., Ahmad, F. 2011. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Hutan Mangrove di Desa Palaes Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal. Volume 7 Nomor 2 : 29-38

Carlos, C. 2011. Konsep dan Definisi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Kelautan. http://carolinacarlos.mhs.upnyk.ac.id/pesisir/konsepdandefinisipengelolaan wilayahpesisirdankelautan. Diakses 18 Oktober 2011


(5)

Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir. PPLH-LP, IPB. Bogor

Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Cetajan ketiga. Jakarta: Pradnya Paramita

Fatimah, A. 2012. Nilai Ekonomi Total Hutan Mangrove Pasca Rehabilitasi di Pesisir Pantai Tlanakan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Fauzi, A. 2002. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Makalah Pelatihan “Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan” Universitas Diponegoro, Semarang, 4-8 Maret 2002

Gunawan, H. 2011. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Hutan Mangrove. http:// cucuhendra.blogspot.com/valuasiekonomisumberdayaalamhutanmangrov. Diakses 25 Maret 2013

Hiariey, L.S. 2009. Identifikasi Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Tawiri, Ambon. Jurnal. Volume 5, Nomor 1 : 23-34

Irmadi. 2004. Konsep Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam. http:// bungdanon.blogspot.com/konsepvaluasiekonomisumberdayaalam.

Diakses 25 Maret 2013

Irwanto. 2008. Pemanfaatan Hutan Mangrove Teluk Kotania Kabupaten Seram Barat, Maluku. www.irwantoshut.com. Diakses 25 Maret 2013

International Tropical Timber Organization (ITTO) Tropical Forest Update. 2012. Yokohama 220-0012. Japan

Johari, H. I.. 2007. Analisis Nilai Ekonomi Total Mangrove di Kabupaten Lombok Timur Bagian Selatan Nusa Tenggara Barat. Artikel. Universitas Muhammadiyah Malang

Kordi, K.M.G.H.. 2012. Ekosistem Mangrove: Potensi, Fungsi dan Pengelolaan. Cetakan pertama. Jakarta: Rineka Cipta

Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press

Mayudin, A. 2012. Kondisi Ekonomi Pasca Konversi Hutan Mangrove Menjadi Lahan Tambak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal. Volume 8, Nomor 2 : 90-104

Monografi Desa Margasari. 2012. Potensi Desa, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi lampung


(6)

Nazeriel. 2013. Pengertian Hutan Mangrove. http:// nazeriel. blogspot. com/ pengertianhutanmangrove. Diakses 6 Maret 2013.

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Cetakan ketiga. Penerbit Djambatan, Jakarta: 367 hal.

Nurdini. 2004. Analisis Permintaan Ekoturisme Hutan Mangrove Muara Angke Dengan Metode Biaya Perjalanan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor Paulus, C. 2011. Gambaran Umum Wilayah Pesisir Indonesia.

http://chaterinapaulus.blogspot.com/gambar. Diakses 29 April 2011. Pertiwi, G.H. 2010. Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Peran

Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Pancer Cengkrong Desa Karanggandu, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang

Purnobasuki, H. 2005. Tinjauan Perspektif Hutan Mangrove. Penerbit Airlangga University Press. ISBN: 979-3557-43-5

Sofian, A. 2012. Valuasi Ekonomi dan Pengelolaan Hutan Mangrove Desa Penunggul, Kecamatan Nguling, Kabupaten Pasuruan. Tesis. Universitas Brawijaya. Malang.

Susanti, Eka., Harianto, Sugeng., Setiawan, Agus. 2006. Nilai Keberadaan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) bagi Masyarakat Desa Sedayu Kecamatan Semaka Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Jurnal. Edisi 18: 69-83.