DESKRIPSI DATA Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Gadai Kebun Cengkeh Di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali.

(1)

20 BAB IV DESKRIPSI DATA

A. Gambaran Umum 1. Letak Geografis

Desa Pegayaman berada di ketinggian antara 450 sampai 1.200 meter dari permukaan laut dengan kemiringan tanah 33% dan dengan curah hujan normal. Luas wilayah desa yang dalam bahasa daerah bali disebut dengan “palemahan desa” seluas 15.84 km2 atau 1.584 Ha dengan penduduk sebanyak 1.155 KK.

Pada tahun 2010, desa ini dihuni oleh 5.600 jiwa dengan 90% diantaranya beragama Muslim. Hubungan kerjasama anatara masyarakat Muslim di Pegayaman dan orang-orang Hindu disekitarnya telah terjalin sejak abad ke-17 Masehi.

Dalam sistem pengaturan desa, Pegayaman menerapkan sistem banjar dengan membagi desa menjadi lima banjar, yaitu Dauh Margi (Barat Jalan), Dangin Margi (Timur Jalan), Kubu Lebah, Kubu, dan Amertasari.

2. Keadaan Masyarakat

Menilik dari sejarah, Desa Pegayaman merupakan tempat persinggahan para pelaut dari bugis, makanya di Desa Pegayaman ini sebagian penduduknya merupakan keturunan campuran antara bali dengan bugis.


(2)

Masyarakat Pegayaman yang merupakan mayoritas penduduknya menggeluti profesi sebagai petani cengkeh, cengkeh merupakan sumber mata pencaharian bagi warga Desa Pegayaman. Cengkeh merupakan tanaman yang dulunya dibawa oleh para pelaut dari Bugis, dan kemudian dikembangkan di Desa Pegayaman, dari sinilah asal mula adanya perkebunan cengkeh di desa Pegayaman yang merupakan mata pencaharian bagi masyarakat Desa Pegayaman.

B. Data PrimerPelaksanaan Gadai Kebun Cengkeh di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali

Dari hasil penelitian dan pengamatan penulis dalam praktek gadai tanah yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pegayaman, diketahui bahwa rukun-rukun dan syarat-syaratnya masih jauh dari kata sempurna seperti yang dikemukakan dalam rukun dan syarat sah gadai dalam hukum Islam. Hal ini akan penulis kupaslebih detailnya pada bab V terkait analisis penulis terhadap gadai kebun cengkeh di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali.

Proses gadai di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali penulis gambarkan dimana rāhinmenggadaikan kebun cengkeh dengan teknis rāhin akan memperoleh sejumlah uang yang telah disepakati dalam akad tersebut, selain ditentukan pula beberapa lama waktu akad gadai akan berlangsung. Selama akad gadai tersebut berlangsung, kebun cengkeh berada dalam kekuasaan murtahin serta ia pulalah yang berhak dalam hal penggunaan kebun cengkeh tersebut kaitannya dengan pengambilan


(3)

manfaatnya, semua kebijakan/keputusan (dalam perawatan, pengolahan dan pemanfaatan) atas lahan tersebut diserahkan kepadanya. Sementara rāhintidak mempunyai hak untuk memanfaatkan kebun cengkeh tersebut, bahkan ia tidak dapat sekedar mengambil sebagian kecil manfaat dari kebun cengkeh tersebut sampai ia dapat mengembalikan uang yang dipinjamnya dulu dari murtahin

sesuai dengan waktu yang telah disepakati.

Meskipun masih jauh dari kata sempurna, akad gadai yang terjadi di Desa Pegayaman ini terdapat sebuah penyimpangan yaitu dalam prosesnya rāhin harus menyerahkan barangnya(marhūn) kepada murtahin dengan syarat-syarat yang diberikan oleh murtahin yang mana nantinya akan memberatkan sebelah pihak yaitu penggadai(rāhin).

Pada proses transakasi ini, rāhin akan mendatangi murtahin untuk mengajukan sebuah pinjaman, dan kemudian dalam proses ini rāhin akan menjelaskan maksud kedatangannya untuk meminjam uang kepada murtahin

dengan memberikan surat kebun cengkeh sebagai jaminannya, dan kemudian pihak penerima gadai (murtahin) akan memberikan syarat-syarat kepada penggadai (rāhin) berupa syarat yaitu pihak penerima akan bersedia memberikan pinjaman apabila penggadai (rāhin) bersedia memberikan seluruh hasil panen kebun cengkeh (marhūn) tersebut kepada penerima gadai

(murtahin) selama waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, jika

rāhin tidak berkenan untuk memenuhi syarat-syarat tersebut maka pihak

murtahin tidak akan bersedia memberikan pinjaman kepada rāhin. Hasil cengkeh tersebut akan terus menjadi hak milik penerima gadai (murtahin)


(4)

selama masih dalam kurun waktu yang telah disepakati tanpa memberikan bagian sepeserpun kepada pemilik kebun (rāhin) , dan selama waktu yang telah disepakati tersebut berakhir rāhintidak diperbolehkan untuk menebus barang gadai (marhūn) tersebut.

Hukum telah menetapkan bahwa pemanfaatan barang gadai adalah oleh

rāhin (pemilik barang) bukan oleh murtahin, karena akad yang terjadi bukan akad pemindahan hak milik, dimana orang yang menerima barang dapat memiliki sepenuhnya. Akad gadai bukan akad pemanfaatan dimana barang tersebut dapat dimanfaatkan, akad gadai hanya berkedudukan sebagai jaminan.

Murtahin baru dapat mengambil manfaat barang tersebut apabila

membutuhkan biaya perawaan dan pemeliharaan, sebatas biaya yang dibutuhkan. Penerima gadai (murtahin) tidak boleh mengambil manfaat atau hasil dari barang gadaian sedikitpun, kecuali dari yang bisa di tunggangi atau diperah sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Nafkah yang diambil dari barang gadaian adalah sekedar atau ongkos yang dikeluarkan untuk biaya perawatan dan pemeliharaan. Dan tidak boleh lebih atau berlebih-lebihan, karena hal tersebut bisa dikategorikan kepada riba yang dilarang oleh syariat Islam.

Kebun cengkeh merupakan barang gadai yang tidak membutuhkan biaya perawatan seperti mencangkul, memberi pupuk urea, penyemprotan, upah buruh tani dan lain sebagainya. Untuk itu kebun cengkeh sebagai barang gadaian tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin. Karena kebun cengkeh sama sekali tidak menggunakan perawatan, baik itu pengairan,pupuk, dan lain


(5)

sebagainya, melainkan hanya menggunakan pengairan dari air hujan saja. Untuk menjaga agar murtahin tidak mengalami kerugian atas barang gadai itu, maka hak murtahin harus dijaga jangan sampai menderita kerugian, tetapi dalam hal ini hak rāhin sebagai pemilik barang tidak boleh diabaikan. Jadi solusinya adalah murtahin tidak boleh mengambil manfaat dari marhūn

(barang gadai) tersebut karena murtahin tidak dikenakan biaya untuk perawatan atas marhūn (barang gadai) tersebut. Namun kebiasaan dalam masyarakat Desa Pegayaman tidak ada sistem bagi hasil antara rāhin dan

murtahin. Semua hasil dari marhūnmenjadi milik murtahin.

Umumnya para penggadai merasa keberatan dengan sistem gadai yang telah berlangsung selama ini. Namun dikarenakan sistem gadai ini telah berlangsung secara turun-temurun, masyarakat setempat beranggapan bahwa sistem ini telah sesuai dengan ajaran Islam. Masyarakat setempat merasa keberatan dengan sistem gadai ini karena hanya akan memberikan keuntungan kepada pihak penerima gadai (murtahin) saja, dan tidak memerikan sedikitpun keuntungan bagi pihak rāhin. Segala sesuatu yang berkaitan dengan marhūn,

pemilik barang (rāhin) sama sekali tidak boleh ikut campur dalam pengelolaannya dan sedangkan apabila terjadi gagal panen, maka jangka waktu yang telah disepakati akan di perpanjang kembali sebagai ganti dari gagal panen tersebut. Seperti halnya bapak Gus sani yang pernah menerima gadai kebun cengkeh dari ibu siti mashitoh. Beliau mengaku telah melakukan transaksi gadai ini sejak 25 tahun yang lalu. Menurutnya akad gadai ini telah dia lakukan secara turun temurun dari orang tuanya yang merupakan salah satu


(6)

orang yang juga melakukan praktek sistem gadai ini, dia juga mengatakan hanya meneruskan tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan oleh orang tuanya.

Tiang sampun ngelaksanayang gade ne niki sampun uling imaluan nike, niki nak tuan tange sampun uling pida ngajain tiang care kene see gade di desa ne ne, tiang tah nerusang ki manten see nike tradisi ane ajaine jak nak tuan tiange, nak nike see ane ajaine imaluan jak tuan guru ne wenten deriki. Tiang biasane lamun wenten nak nagih nyilih pipis ketakenin dumun kudang mekelo lakar kebaang ento abian cengkehe? Biasane nike lamun wenten nak nyilih care kenten paling enggal maang telunng tiban, nike hasil cengkehne tiang sampun ane medue, ane ngelah cengkehe biane dados nike nunas hasilne, napi malih nike cengkehne biane dados tebus lamun durung telas waktu ngade ane

sampun janjiange”(Saya sudah melakukan praktek gadai ini sejak dulu, ini semua sudah dari dulu orang tua saya mengajarkan saya seperti ini, dan seperti inilah sistem gadai yang diajarkan kedua orang tua kepada saya. Saya biasanya kalau ada yang mau minjem uang pasti saya tanya dulu mau berapa lama kebun cengkehnya di gadaikan sama saya? Biasanya kalau orang minjem itu biasanya ngasi kebunnya ke saya paling sebentar tiga tahun, dan itu hasil cengkehnya sudah saya yang punya, yang punya kebun tidak boleh minta hasilnya, dan cengkehnya itu tidak boleh ditebus sebelum habis waktu yang sudah disepakati, misalnya 3 tahun).1

Sedangkan dari pihak penggadai (rāhin) merasa dirugikan dengan kebun cengkeh yang telah dijadikan jaminan kepada murtahin. Tanah yang digadaikan tersebut tidak boleh di garap oleh pihak penggadai (rāhin). Mereka pun merasa sangat dirugikan, karena apabila kebun tersebut (marhūn) boleh di garap oleh rāhin, maka rāhin akan dapat menanam tanaman lain yang bisa mendatangkan penghasilan. Lain halnya dengan pihak penggadai, pihak penggadai sama sekali tidak mengizinkan pihak pemberi gadai (rāhin) untuk mengelola kebun cengkeh tersebut, padahal pihak murtahin sama sekali tidak melakukan aktivitas (menggarap) kebun cengkeh tersebut. Selain itu, selama

1


(7)

ini pihak juga rāhin merasa bahwa setelah mereka menggadaikan cengkeh tersebut, mereka merasakan sedikit manfaat dan juga merasakan beberapa kekurangan yaitu berkurangnya pendapatan yang mereka miliki. Seperti yang dipaparkan oleh ibu Maizum,

“Imaluan tiang taen nike megae numbas cengkeh kenang nak len,

tiang numbas cengkeh e nike ken agak maal, terus pas tiang sampun alap nike cengkeh e tiba-tiba ki manten hargan cengkeh e malah tuun nike, adanne nak megae nggih tiang inguh gati see nike wak modal pulih nyilih jak rentenir, terus nikelamun tiang durung ngadol cengkeh e ken tiang durung ngidayang mayah utang ane tiang silih jak bank e wauh? Akhirne tiang nyilah lah nike jinah kenang nake jumah, tapi tiang kekanggeang manten see nike lamun tiang lat mayahne utang jak rentenir ngedeang kii manten, kanggeang kii manten see nike tiang ngadeang abian cengkeh Tiang e nike, tapi pas tiang sampun ngadeang nike tiang malah mase biane medue penghasilan malih, wak cengkeh tiang biane dados tebus lamun durung telas waktu ane sampun sepakatine di awal. Terus tiang ken biane icene bagian akidik kii manten

biane pulih” (Dulu saya pernah kerja jual beli cengkeh, tapi baru merintis bisnis saya itu harga cengkeh tiba-tiba anjlok sedangkan saya beli cengkehnya itu dengan harga mahal. Namanya orang merintis kerja saya kan pinjam modal kan dari rentenir, terus itu kan cengkeh yang saya beli kalo belum dijual berarti saya tidak bisa bayar hutang saya ke rentenir itu. Akhirnya saya pinjam uang lah dengan orang disini dengan mengagadaikan kebun cengkeh yang saya punya,tapi stelah lama saya merasa kok penghasilan saya jadi gak ada, soalnya kan kebun cengkeh saya itu tidak boleh saya garap dan hasilnya itu kan di minta sama orang yang saya pinjami uang dan saya juga kan tidak diberi bagian dari hasil kebun cengkeh saya itu, sedangkan nanti saya masih punya kewajiban untuk mengembalikan uang yang saya pinjam itu, disnilah saya kesusahan mas, punya kewajiban mengembalikan tapi gak punya penghasilan).2

Bersadarkan pembahasan-pembahasan sebelumnya dapatlah diketahui bahwa dalam praktek gadai kebun cengkeh di masyarakat Desa Pegayaman terdapat manfaat atau maslahat yang dirasakan oleh rāhin dan murtahin, juga terdapat mudharat atau mafsadatnya. Dengan kata lain, ada dampak positif dan

2


(8)

dampak negatif dari transaksi gadai kebun cengkeh ini bagi salah satu pihak yaitu rāhin.

Dampak positif dari sisi rāhin antara lain :

1. Teratasinya masalah rāhin, yaitu ia memperoleh pinjaman uang untuk membayar hutang modal kepada rentenir tersebut tanpa harus membuat hutang rāhin kepada rentenir menjadi berlipat ganda.

2. Ketenangan yang dirasakan oleh rāhin dengan adanya transaksi ini.

Rāhin tidak lagi harus merasakan kekhawatiran karena hutangnya akan menumpuk kepada rentenir.

Sementara dampak negatif yang diterima oleh rāhin sebagai konsekuensi dari diadakannya atau dilakukannya gadai kebun cengkeh itu ialah rāhin tidak dapat menggarap kebun cengkeh tersebut dan dia tidak memperoleh bagi hasil dari kebun cengkeh gadainya karena semua hasil tersebut telah menjadi milik

murtahin selama waktu yang telah disepakati,sedangkan rāhin masih memiliki kewajiban untuk mengembalikan uang pinjaman kepada murtahin.

Sementara pada murtahin, sejauh pengamatan dan penelitian penyusun, banyak yang mengeluh tentang dampak negatif dari adanya transaksi gadai kebun cengkeh ini bagi mereka. Mereka selalu mencari kesepakatan bagaimana caranya agar transaksi ini bisa menguntungkan bagi mereka. Mereka (murtahin) juga tidak selalu mencari kesepakatan secara musyawarah dan kekeluargaan jika pemberi gadai (rāhin) merasa dirugikan.

Warga di Desa Pegayaman lebih memilih untuk menggadaikan kebun cengkehnya dibandingkan pilihan lainnya. Menurut beberapa penduduk Desa


(9)

Pegayaman, mereka lebih menyukai tradisi ini karena di samping rāhin tidak kehilangan kepemilikan atas tanah kebunnyayang digadaikan, mereka juga tidak dipusingkan atau diributkan dengan urusan-urusan yang lainnya. Mereka lebih memilih menggadaikan kebun menurut tradisi yang ada dibandingkan dengan cara lain.

Disamping itu, transaksi gadai kebun cengkeh ini menurut beberapa warga dulunya untuk saling meyenangkan satu sama lain. Murtahin mendapat keuntungan berupa hasil panen dari pemanfaatan gadai kebun cengkeh dan

rāhin mendapat pertolongan untuk mengatasi kesulitannya untuk menutupi hutangnya. Transaksi gadai ini dilakukan dalam rangka meneruskan tradisi yang telah diturunkan oleh pendahulu-pendahulu Desa Pegayaman.


(1)

selama masih dalam kurun waktu yang telah disepakati tanpa memberikan bagian sepeserpun kepada pemilik kebun (rāhin) , dan selama waktu yang telah disepakati tersebut berakhir rāhintidak diperbolehkan untuk menebus barang gadai (marhūn) tersebut.

Hukum telah menetapkan bahwa pemanfaatan barang gadai adalah oleh rāhin (pemilik barang) bukan oleh murtahin, karena akad yang terjadi bukan akad pemindahan hak milik, dimana orang yang menerima barang dapat memiliki sepenuhnya. Akad gadai bukan akad pemanfaatan dimana barang tersebut dapat dimanfaatkan, akad gadai hanya berkedudukan sebagai jaminan.

Murtahin baru dapat mengambil manfaat barang tersebut apabila

membutuhkan biaya perawaan dan pemeliharaan, sebatas biaya yang dibutuhkan. Penerima gadai (murtahin) tidak boleh mengambil manfaat atau hasil dari barang gadaian sedikitpun, kecuali dari yang bisa di tunggangi atau diperah sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Nafkah yang diambil dari barang gadaian adalah sekedar atau ongkos yang dikeluarkan untuk biaya perawatan dan pemeliharaan. Dan tidak boleh lebih atau berlebih-lebihan, karena hal tersebut bisa dikategorikan kepada riba yang dilarang oleh syariat Islam.

Kebun cengkeh merupakan barang gadai yang tidak membutuhkan biaya perawatan seperti mencangkul, memberi pupuk urea, penyemprotan, upah buruh tani dan lain sebagainya. Untuk itu kebun cengkeh sebagai barang gadaian tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin. Karena kebun cengkeh sama sekali tidak menggunakan perawatan, baik itu pengairan,pupuk, dan lain


(2)

sebagainya, melainkan hanya menggunakan pengairan dari air hujan saja. Untuk menjaga agar murtahin tidak mengalami kerugian atas barang gadai itu, maka hak murtahin harus dijaga jangan sampai menderita kerugian, tetapi dalam hal ini hak rāhin sebagai pemilik barang tidak boleh diabaikan. Jadi solusinya adalah murtahin tidak boleh mengambil manfaat dari marhūn (barang gadai) tersebut karena murtahin tidak dikenakan biaya untuk perawatan atas marhūn (barang gadai) tersebut. Namun kebiasaan dalam masyarakat Desa Pegayaman tidak ada sistem bagi hasil antara rāhin dan

murtahin. Semua hasil dari marhūnmenjadi milik murtahin.

Umumnya para penggadai merasa keberatan dengan sistem gadai yang telah berlangsung selama ini. Namun dikarenakan sistem gadai ini telah berlangsung secara turun-temurun, masyarakat setempat beranggapan bahwa sistem ini telah sesuai dengan ajaran Islam. Masyarakat setempat merasa keberatan dengan sistem gadai ini karena hanya akan memberikan keuntungan kepada pihak penerima gadai (murtahin) saja, dan tidak memerikan sedikitpun keuntungan bagi pihak rāhin. Segala sesuatu yang berkaitan dengan marhūn, pemilik barang (rāhin) sama sekali tidak boleh ikut campur dalam pengelolaannya dan sedangkan apabila terjadi gagal panen, maka jangka waktu yang telah disepakati akan di perpanjang kembali sebagai ganti dari gagal panen tersebut. Seperti halnya bapak Gus sani yang pernah menerima gadai kebun cengkeh dari ibu siti mashitoh. Beliau mengaku telah melakukan transaksi gadai ini sejak 25 tahun yang lalu. Menurutnya akad gadai ini telah dia lakukan secara turun temurun dari orang tuanya yang merupakan salah satu


(3)

orang yang juga melakukan praktek sistem gadai ini, dia juga mengatakan hanya meneruskan tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan oleh orang tuanya.

Tiang sampun ngelaksanayang gade ne niki sampun uling

imaluan nike, niki nak tuan tange sampun uling pida ngajain tiang care kene see gade di desa ne ne, tiang tah nerusang ki manten see nike tradisi ane ajaine jak nak tuan tiange, nak nike see ane ajaine imaluan jak tuan guru ne wenten deriki. Tiang biasane lamun wenten nak nagih nyilih pipis ketakenin dumun kudang mekelo lakar kebaang ento abian cengkehe? Biasane nike lamun wenten nak nyilih care kenten paling enggal maang telunng tiban, nike hasil cengkehne tiang sampun ane medue, ane ngelah cengkehe biane dados nike nunas hasilne, napi malih nike cengkehne biane dados tebus lamun durung telas waktu ngade ane sampun janjiange”(Saya sudah melakukan praktek gadai ini sejak dulu, ini semua sudah dari dulu orang tua saya mengajarkan saya seperti ini, dan seperti inilah sistem gadai yang diajarkan kedua orang tua kepada saya. Saya biasanya kalau ada yang mau minjem uang pasti saya tanya dulu mau berapa lama kebun cengkehnya di gadaikan sama saya? Biasanya kalau orang minjem itu biasanya ngasi kebunnya ke saya paling sebentar tiga tahun, dan itu hasil cengkehnya sudah saya yang punya, yang punya kebun tidak boleh minta hasilnya, dan cengkehnya itu tidak boleh ditebus sebelum habis waktu yang sudah disepakati, misalnya 3 tahun).1

Sedangkan dari pihak penggadai (rāhin) merasa dirugikan dengan kebun cengkeh yang telah dijadikan jaminan kepada murtahin. Tanah yang digadaikan tersebut tidak boleh di garap oleh pihak penggadai (rāhin). Mereka pun merasa sangat dirugikan, karena apabila kebun tersebut (marhūn) boleh di garap oleh rāhin, maka rāhin akan dapat menanam tanaman lain yang bisa mendatangkan penghasilan. Lain halnya dengan pihak penggadai, pihak penggadai sama sekali tidak mengizinkan pihak pemberi gadai (rāhin) untuk mengelola kebun cengkeh tersebut, padahal pihak murtahin sama sekali tidak melakukan aktivitas (menggarap) kebun cengkeh tersebut. Selain itu, selama

1


(4)

ini pihak juga rāhin merasa bahwa setelah mereka menggadaikan cengkeh tersebut, mereka merasakan sedikit manfaat dan juga merasakan beberapa kekurangan yaitu berkurangnya pendapatan yang mereka miliki. Seperti yang dipaparkan oleh ibu Maizum,

“Imaluan tiang taen nike megae numbas cengkeh kenang nak len, tiang numbas cengkeh e nike ken agak maal, terus pas tiang sampun alap nike cengkeh e tiba-tiba ki manten hargan cengkeh e malah tuun nike, adanne nak megae nggih tiang inguh gati see nike wak modal pulih nyilih jak rentenir, terus nikelamun tiang durung ngadol cengkeh e ken tiang durung ngidayang mayah utang ane tiang silih jak bank e wauh? Akhirne tiang nyilah lah nike jinah kenang nake jumah, tapi tiang kekanggeang manten see nike lamun tiang lat mayahne utang jak rentenir ngedeang kii manten, kanggeang kii manten see nike tiang ngadeang abian cengkeh Tiang e nike, tapi pas tiang sampun ngadeang nike tiang malah mase biane medue penghasilan malih, wak cengkeh tiang biane dados tebus lamun durung telas waktu ane sampun sepakatine di awal. Terus tiang ken biane icene bagian akidik kii manten biane pulih” (Dulu saya pernah kerja jual beli cengkeh, tapi baru merintis bisnis saya itu harga cengkeh tiba-tiba anjlok sedangkan saya beli cengkehnya itu dengan harga mahal. Namanya orang merintis kerja saya kan pinjam modal kan dari rentenir, terus itu kan cengkeh yang saya beli kalo belum dijual berarti saya tidak bisa bayar hutang saya ke rentenir itu. Akhirnya saya pinjam uang lah dengan orang disini dengan mengagadaikan kebun cengkeh yang saya punya,tapi stelah lama saya merasa kok penghasilan saya jadi gak ada, soalnya kan kebun cengkeh saya itu tidak boleh saya garap dan hasilnya itu kan di minta sama orang yang saya pinjami uang dan saya juga kan tidak diberi bagian dari hasil kebun cengkeh saya itu, sedangkan nanti saya masih punya kewajiban untuk mengembalikan uang yang saya pinjam itu, disnilah saya kesusahan mas, punya kewajiban mengembalikan tapi gak punya penghasilan).2

Bersadarkan pembahasan-pembahasan sebelumnya dapatlah diketahui bahwa dalam praktek gadai kebun cengkeh di masyarakat Desa Pegayaman terdapat manfaat atau maslahat yang dirasakan oleh rāhin dan murtahin, juga terdapat mudharat atau mafsadatnya. Dengan kata lain, ada dampak positif dan

2


(5)

dampak negatif dari transaksi gadai kebun cengkeh ini bagi salah satu pihak yaitu rāhin.

Dampak positif dari sisi rāhin antara lain :

1. Teratasinya masalah rāhin, yaitu ia memperoleh pinjaman uang untuk membayar hutang modal kepada rentenir tersebut tanpa harus membuat hutang rāhin kepada rentenir menjadi berlipat ganda.

2. Ketenangan yang dirasakan oleh rāhin dengan adanya transaksi ini. Rāhin tidak lagi harus merasakan kekhawatiran karena hutangnya akan menumpuk kepada rentenir.

Sementara dampak negatif yang diterima oleh rāhin sebagai konsekuensi dari diadakannya atau dilakukannya gadai kebun cengkeh itu ialah rāhin tidak dapat menggarap kebun cengkeh tersebut dan dia tidak memperoleh bagi hasil dari kebun cengkeh gadainya karena semua hasil tersebut telah menjadi milik

murtahin selama waktu yang telah disepakati,sedangkan rāhin masih memiliki

kewajiban untuk mengembalikan uang pinjaman kepada murtahin.

Sementara pada murtahin, sejauh pengamatan dan penelitian penyusun, banyak yang mengeluh tentang dampak negatif dari adanya transaksi gadai kebun cengkeh ini bagi mereka. Mereka selalu mencari kesepakatan bagaimana caranya agar transaksi ini bisa menguntungkan bagi mereka. Mereka

(murtahin) juga tidak selalu mencari kesepakatan secara musyawarah dan

kekeluargaan jika pemberi gadai (rāhin) merasa dirugikan.

Warga di Desa Pegayaman lebih memilih untuk menggadaikan kebun cengkehnya dibandingkan pilihan lainnya. Menurut beberapa penduduk Desa


(6)

Pegayaman, mereka lebih menyukai tradisi ini karena di samping rāhin tidak kehilangan kepemilikan atas tanah kebunnyayang digadaikan, mereka juga tidak dipusingkan atau diributkan dengan urusan-urusan yang lainnya. Mereka lebih memilih menggadaikan kebun menurut tradisi yang ada dibandingkan dengan cara lain.

Disamping itu, transaksi gadai kebun cengkeh ini menurut beberapa warga dulunya untuk saling meyenangkan satu sama lain. Murtahin mendapat keuntungan berupa hasil panen dari pemanfaatan gadai kebun cengkeh dan rāhin mendapat pertolongan untuk mengatasi kesulitannya untuk menutupi hutangnya. Transaksi gadai ini dilakukan dalam rangka meneruskan tradisi yang telah diturunkan oleh pendahulu-pendahulu Desa Pegayaman.


Dokumen yang terkait

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PRAKTEK GADAIKEBUN CENGKEH DI DESA PEGAYAMAN, KECAMATAN SUKASADA, KABUPATEN BULELENG, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Gadai Kebun Cengkeh Di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali.

0 5 18

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK GADAI KEBUN CENGKEH DI DESA PEGAYAMAN, KECAMATAN SUKASADA, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Gadai Kebun Cengkeh Di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali.

0 5 16

PENDAHULUAN Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Gadai Kebun Cengkeh Di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali.

0 5 4

LANDASAN TEORI Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Gadai Kebun Cengkeh Di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali.

0 5 12

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM GADAI TANAH DI KECAMATAN TAWANGMANGU Tinjauan Hukum Islam terhadap Sistem Gadai Tanah di Kecamatan Tawangmangu.

0 3 10

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGGARAPAN SAWAH DI DESA GEDONGAN KECAMATAN Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Penggarapan Sawah Di Desa Gedongan Kecamatan Baki Kabupaten Sukoharjo.

0 2 18

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGGARAPAN SAWAH DI DESA GEDONGAN KECAMATAN Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Penggarapan Sawah Di Desa Gedongan Kecamatan Baki Kabupaten Sukoharjo.

0 4 18

Tinjauan hukum Islam terhadap praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.

0 3 77

UNSUR KEBALIAN DALAM KEHIDUPAN KOMUNITAS ISLAM PEGAYAMAN, DI KABUPATEN BULELENG, BALI. Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 9

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK GADAI KEBUN KELAPA DI DESA JAYA BHAKTI KECAMATAN ENOK KABUPATEN INDRAGIRI HILIR PROVINSI RIAU

0 1 74