Tinjauan hukum Islam terhadap praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK GADAI

MOTOR DI DESA PEKIRINGAN KECAMATAN

KARANGMONCOL KABUPATEN PURBALINGGA

SKRIPSI

Oleh:

Mohamad Izat Furqoni NIM : C32213089

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syariah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Gadai Motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga”.

Hasil penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang: 1. Bagaimana praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga? 2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga?

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik

observasi dan wawancara (interview). Selanjutnya dianalisis dengan

menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yaitu pembahasan dimulai dengan mengumpulkan data yang diperoleh dari lapangan tentang praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga, kemudian dianalisis dengan menggunakan hukum Islam tentang gadai/rahn dan riba terhadap praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga diantaranya: penerimaan uang yang diberikan kepada penggadai (rahin) uang tersebut dikurangi 10% dari kesepakatan namun ketika pelunasan uang tersebut dibayarsesuai kesepakatan tanpa ada potongan 10%. Apabila penggadai (rahin) tersebut tidak bisa membayar bapak imron memberikan toleransi penambahan jangka waktu jika tetap tidak bisa membayar maka barang tersebut akan dijual kemudian sisa uang penjualan barang jaminan akan di berikan kepada penggadai.

Analisis hukum Islam terhadap praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga akad gadai yang dilakukan sudah memenuhi syarat dan rukun menurut hukum Islam yaitu rahn. Akan tetapi uang yang diberikan oleh penerima gadai (murtahin) dipotong 10% dari yang telah disepakati, sehingga membuat adanya tambahan uang pada saat pelunasan. Kejadian tersebut membuat gadai itu menjadi fasid. Potongan uang yang dilakukan penerima gadai (murtahin) tindakan yang tidak benar karena uang utang yang seharusnya dalam akad gadai adalah uang utang yang tetap tidak bertambah-tambah.

Dengan demikian, dari kesimpulan di atas maka kepada penerima gadai hendaknya menggunakan konsep gadai/rahn yang benar tanpa ada unsur-unsur yang dilarang dalam Islam. Agar tidak ada pihak yang dirugikan dan tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Kajian Pustaka ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11

G. Definisi Operasional ... 12

H. Metode Penelitian ... 12

I. Sistematika Pembahasan ... 29

BAB II TEORI GADAI DAN RIBA MENURUT HUKUM ISLAM ... 21

A. Gadai ... 21

1. Pengertian gadai dalam Islam ... 21

2. Dasar Hukum Gadai ... 22

3. Rukun Gadai ... 25

4. Syarat Gadai ... 37

5. Pendapat ahli fiqh muslim terhadap syarat-syart marhun bih ... 30

6. Hak dan Kewajiban Para Pihak ... 32

7. Berakhirnya Akad Gadai ... 34

B. Riba ... 36

1. Pengertian Riba dalam Islam ... 36


(8)

ix

3. Macam-macam Riba ... 40

4. Hikmah Diharamkannya Riba ... 43

BAB III PRAKTIK GADAI MOTOR DI DESA PEKIRINGAN KECAMATAN KARANGMONCOL KABUPATEN PURBALINGGA... 45

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 45

1. Letak Geografis desa Pekiringan kecamatan Karangmoncol kabupaten Purbalingga ... 45

2. Keadaan Sosial Ekonomi ... 47

3. Keadaan Sosial Keagamaan ... 47

4. Keadaan Sosial Pendidikan ... 48

B. Praktik Gadai Motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga ... 49

1. Latar belakang gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga ... 49

2. Praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga ... 50

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK GADAI MOTOR DI DESA PEKIRINGAN KECAMATAN KARANGMONCOL KABUPATEN PURBALINGGA ... 58

A. Praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga ... 57

B. Analisis hukum Islam terhadap praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga ... 58

BAB V PENUTUP ... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat, disadari atau tidak bahwa manusia selalu berhubungan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia membutuhkan pertolongan manusia lainnya untuk saling berkolaborasi dalam pemenuhan kebutuhan fungsi-fungsi sosial tersebut. Pergaulan hidup tempat setiap orang melakukan perbuatan dalam hubungannya dengan orang-orang lain disebut dengan muamalah1.

Muamalah merupakan konsep yang mengatur hubungan antar sesama manusia yang memiliki tujuan untuk menjaga hak-hak manusia, merealisasikan kemaslahatan dan menjauhkan segala kemudharatan yang terjadi. Konsep muamalah telah diatur oleh Islam dalam bentuk syariat yang memuat berbagai hukum, yaitu halal, haram, mubah, dan makruh. Di dalam

syariat terdapat prinsip-prinsip Islam yang berkaitan dengan kehidupan. Baik kaitannya dengan hubungan kepada Allah maupun hubungan kepada sesama manusia. Dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia memerlukan adanya batasan agar mereka tidak cenderung untuk menuruti hawa nafsu dan batasan tersebut ialah fiqh muamalah.

1

Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat(Hukum Perdata Islam),(Yogyakarta: UII Press, 2000), 11.


(10)

2

Fiqh muamalah adalah himpunan hukum-hukum yang mengatur hubungan interaksi antara manusia dengan manusia lain dalam bidang kegiatan Ekonomi2. Hukum tersebut ditetapkan demi terciptanya rasa aman, tegaknya undang-undang dalam Negara atau masyarakat Islam, juga agar tidak menghilangkan makna taat kepada Allah dan menjaga hak-Nya. Oleh sebab itu pemahaman dalam bidang fiqh muamalah amatlah penting, karena

fiqh muamalah merupakan pengarah kehidupan hubungan antar sesama manusia. Sehingga manusia harus senantiasa mengikuti aturan yang ditetapkan Allah SWT, sekalipun dalam urusan duniawi yang termasuk kegiatan bermuamalah karena setiap kegiatan manusia kelak akan diminta pertanggungjawaban di akhirat.

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dengan transaksi, Allah SWT telah menjadikan manusia saling melengkapi antara satu dengan yang lainya, agar mereka saling tolong-menolong, baik dengan tukar-menukar, sewa menyewa, bercocok tanam atau dengan cara yang lainya. Bentuk dari tolong menolong ini bisa berupa pemberian dan bisa berupa pinjaman dengan jaminan (gadai/rahn).

Gadai adalah menjadikan barang yang memiliki nilai menurut syariat sebagai jaminan hutang, hingga orang tersebut dibolehkan mengambil utang atau mengambil sebagian manfaat barang tersebut. Demikian definisi yang dikemukakan oleh para ulama.

2


(11)

3

Dalam hadist dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang berbunyi:

ﺣ

ﺪﹶﺛ

ﻨﺎ

ﻝﺎﻗ ﻡﺮﺸﺣ ﻦﺑ ﻲﻠﻋ ﻭ ﻲﻠﹶﻈﻨﹶﳊﺍ ﻢﻴﻫﺮﺑﺍ ﻦﺑ ﻕﺎﺤﺳﺍ

:

ﻦﺑ ﺲﻴﻋ ﺎﻧﺮﺒﺧﺃ

ﺖﻟﺎﻗ ﺔﺸﺋﺎﻋ ﻦﻋ ﺩﻮﺳﻻﺍ ﻦﻋ ﻢﻴﻫﺮﺑﺍ ﻦﻋ ﺶﻤﻌﻟﺍ ﻦﺑ ﺲﻧﻮﻳ

:

ﻝﻮﺳﺭ ﻯﺮﺘﺷﺍ

ﻪﹶﻠﻟﺍ

ﻰﻠﺻ

ﷲﺍ

ﻪﻴﻠﻋ

ﻢﻠﺳﻭ

ﻦﻣ

ﺩﻮﻬﻳ

ﺎﻣﺎﻌﻃ

ﻪﻨﻫﺭﻭ

ﹰﺎﻋﺭﺩ

ﻦﻣ

ﺪﻳﺪﺣ

)

ﻩﺍﻭﺭ

ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ

(

Artinya: “Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim

Al-Hanzhali dan Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin ‘Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari Aisyah berkata: bahwasanya Rasulullah saw membeli makanan dari seorang yahudi dengan menggadaikan baju besinya (sebagai jaminan/anggunan).(HR.

Bukhori).3

Rasulullah pernah mencontohkan praktik transaksi seperti contoh diatas, Rasulullah pernah membeli gandum dari seorang Yahudi dengan cara menangguhkan pembayarannya, lalu beliau menyerahkan baju besi beliau. Dengan perkembangan zaman, maka saat ini bukan hanya pakaian yang dicontohkan oleh Rasulullah tetapi segala macam harta benda dapat di tangguhkan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang Desa Pekiringan kecamatan Karangmoncol kabupaten Purbalingga.

Rahn mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi. Namun pada kenyataannya, dalam masyarakat konsep tersebut dinilai tidak adil. Dilihat dari segi komersil yang meminjamkan uang merasakan dirugikan misalnya karena inflasi atau pelunasan berlarut-larut sementara barang jaminan tidak laku. Di lain pihak barang jaminan mempunyai hasil.4

3

Bukhori, Shahih al-Bukhori,(Beirut al-Yamamah: Dar ibnu Katsir: 1987),jil. 2, 729.

4Chuzaimah T. Yanggo, A. Hafiz Anshori, Problematika Hukum Islam Kontemporer III, (Jakarta:


(12)

4

Bagi masyarakat mendengar kata gadai bukanlah hal yang tabu, mereka mengetahui bahwa gadai merupakan salah satu ajaran yang ada dalam agama Islam. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sebagian dari masyarakat Desa Pekiringan melaksanakan praktik gadai yang sangat sederhana yang dilakukan antar kerabat ataupun tetangga dekat. Mereka menganggap proses gadai tersebut lebih mudah dan efisien untuk mendapatkan pinjaman dibandingkan harus meminjam atau mengajukan pinjaman ke bank atau ke lembaga pegadaian. Meski begitu mereka menganggap bahwa barang gadaian tersebut sebagai antisipasi bilamana hutang tidak terbayar, maka barang gadai yang di gunakan dalam transaksi tetap barang yang bernilai setara dengan utang yang diminta.

Di Desa Pekiringan terjadi praktik gadai motor. Dalam praktiknya menunjukan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan salah satu pihak atau kurang sesuai dengan hukum Islam. Praktik dari gadai motor di Desa Pekiringan sebagai berikut, penerima gadai (murtahin) menerima barang yang akan di gadaikan oleh penggadai (rahin) dengan mentaksir harga untuk barang gadai yang setara dengan uang yang akan dipinjamkan, setelah terjadi kesepakatan antara penerima gadai (murtahin) dan penggadai (rahin) selanjutnya uang diberikan ke penggadai (rahin) dan barang diberikan kepada penerima gadai (murtahin) sebagai barang jaminan yang kemudian barang jaminan tersebut disimpan dalam jangka waktu yang telah di tentukan oleh penerima gadai (murtahin).


(13)

5

Dalam penerimaan uang, penerima gadai (murtahin) mengurangi pencairan uang 10% dari harga yang sudah disepakati sebagai keuntungan dari penerima gadai (murtahin). Akan tetapi pada saat penulasan penggadai (rahin) membayar sesuai kesepakatan tanpa ada potongan. Keuntungan dari penggadai (rahin) diperuntukan untuk diri sendiri tidak di peruntukan untuk perawatan barang gadai atau pemeliharaan barang gadai.

Perlu di ketahui menurut hukum Islam gadai adalah akad tabbaru’ di mana pada akad tabbaru’ tersebut merupakan sarana saling tolong mrnolong bagi umat islam tanpa adanya imbalan jasa.5 Tetapi yang terjadi praktik gadai di Desa Pekiringan menerapkan keuntungan 10% dari taksiran harga yang disepakati. Kalaupun ada penambahan uang dalam gadai itu di perbolehkan untuk perawatan barang jaminan.

Dari pemaparan di atas dapat diketahui permasalahan mengenai pratik gadai yang ada di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga. Bahwa adanya pemotongan 10% dari harga yang sudah disepakati sebagai keuntungan dari pihak penerima gadai (murtahin). Padahal menurut hukum Islam tidak ada penambahan dalam akad tabbaru’

yaitu rahn.

Dengan adanya kejadian seperti itu maka praktik gadai yang dilakukan sebagian masyarakat Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga penulis rasa masih belum menjadi solusi untuk

5

Muhammad Yazid, Hukum Ekonomi Islam(FIQH MUAMALAH), (Surabaya: UINSA Press: 2014), 122.


(14)

6

menyelesaikan masalah keuangan, akan tetapi justru akan menambah masalah baru karena pemberi gadai (rahin) harus mengembalikan uang pinjaman lebih banyak dari uang pinjaman yang diterimanya.

Hal ini yang menjadi menarik untuk di teliti dan di bahas pada bab selanjutnya oleh sebab itu peneliti akan membahasnya dalam karya ilmiah dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Gadai Motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga” yang bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan dan mendiskripsikan tentang analisis hukum Islam terhadap praktik gadai motor tersebut.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masaah di atas, maka penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut :

1. Konsep pengurangan uang dalam praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga

2. Keuntungan dan kerugian dalam pelaksanaan transaksi gadai di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga

3. Praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga

4. Analisis hukum Islam terhadap praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga


(15)

7

Supaya pokok permasalahan di atas lebih terarah mengenai praktek gadai motor, maka titik fokus permasalahan tersebut akan di batasi dengan hal-hal berikut :

1. Praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga

2. Analisis hukum Islam terhadap praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga

Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka bisa ditarik kesimpulan : Tinjauan hukum Islam terhadap praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga ?

2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga ?

D. Kajian Pustaka

Kajian terdahulu adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang diteliti


(16)

8

sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang pernah ada.6

1. Skripsi yang ditulis oleh Lina Nur dengan judul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Gadai Pohon Kelapa di Kecamatan Masalembu Kabupaten Sumenep.7 Dalam permasalahan yang diangkat oleh penulis adalah pemanfaatan dan seluruh hasil dari marhun menjadi hak murtahin

untuk jangka waktu yang telah ditentukan. Sedangkan yang akan ditulis adalah membahas tentang pengurangan uang oleh penerima gadai (murtahin) kepada penggadai (rahin).

2. Skripsi yang ditulis oleh Nur Rif’ati dengan judul Skripsi Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Gadai Sepeda Motor (Studi Kasus di Desa Karangmulyo Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal).8 Dalam skripsi tersebut disimpulkan bahwa gadai sepeda motor tersebut dalam akad gadai yang sah, namun setelah akad yang dilakukan dan dengan ditindaklanjuti, barang gadai tersebut dimanfaatkan untuk disewa oleh penerima gadai. Sedangkan yang akan ditulis adalah membahas tentang pengurangan uang oleh penerima gadai (murtahin) kepada penggadai (rahin).

3. Skripsi yang ditulis oleh Ratih Dwi Puspitasari dengan judul skripsi Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Gadai Motor di Bengkel,

6Tim Penyusun Fakultas Syari,ah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Penulisan Skripsi, (Surabaya:

UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016), 8.

7Lina Nur “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Gadai Pohon Kelapa di Kecamatan

Masalembu Kabupaten Sumenep’’,(Skripsi-UIN Sunan Ampel, Surabaya, 1991)

8Nur Rif’ati, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Gadai Sepeda Motor (Studi Kasus di

Desa Karangmulyo Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal)”, (Skripsi-IAIN Walisongo, semarang, 2008 )


(17)

9

“Tunggal Putra” Desa Maguwoharo Kecamatan Depok Kabupaten Sleman.9 Dalam skripsi tersebut disimpulkan bahwa gadai disini tolong-menolong. Akan tetapi, adanya syarat yang di jadikan sebagai akad, bahwa barang jaminan ini akan dipindahtangankan atau dimanfaatkan lagi. Adapun yang akan ditulis adalah membahas tentang pengurangan uang oleh penerima gadai (murtahin) kepada penggadai (rahin).

4. Skripsi yang ditulis oleh Ade Tri Cahyani dengan judul Skripsi Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Gadai Pada Masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok.10 Gadai yang berupa barang hutang tidak sesuai/ dengan hukum Islam, praktek gadai tersebut dilihat dari ma’qud alaih

(barang yang digadaikan), Sedangkan yang akan ditulis adalah membahas tentang pengurangan uang oleh penerima gadai (murtahin) kepada penggadai (rahin).

5. Skripsi yang di tulis oleh Adib Abdur Rohman dengan judul skripsi Tinjauan Hukum Islam Terhadap Gadai KTP di Kelurahan Simolawang Kecamatan Simokerto Surabaya.11 Dalam kasus ini barang jaminan dalam gadai yaitu KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang jelas jelas bukan barang yang bisa di tukar dengan uang bukan juga barang yang bisa di lelang. Sedangkan yang akan ditulis adalah membahas tentang

9 Ratih Dwi Puspitasari “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Gadai Motor di Bengkel,

“Tunggal Putra” Desa Maguwoharo Kecamatan Depok Kabupaten Sleman”,(Skripsi-UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,2012)

10Ade Tri Cahyani, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Gadai Pada Masyarakat

Kecamatan Tapos Kota Depok”, (Skripsi-UIN Syrif Hidayatullah, Jakarta, 2015)

11Adib Abdur Rohman “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Gadai KTP di Kelurahan Simolawang


(18)

10

pengurangan uang oleh penerima gadai (murtahin) kepada penggadai (rahin).

6. Skripsi yang ditulis oleh Mujahidah Muharroma Al-Karima dengan judul Skripsi Analisis Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Akad Gadai Mobil dan Speda Motor di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun.12 Dalam skripsi tersebut disimpulkan bahwa gadai di sini mengandung unsur kecurangan karena penerima gadai menggunakan barang gadai tersebut untuk disewakan. Sedangkan yang akan ditulis adalah membahas tentang pengurangan uang oleh penerima gadai (murtahin) kepada penggadai (rahin).

Dalam kaitannya dengan penelitian terdahulu yang telah dipaparkan di atas semuanya masalah yang diangkat bermuara dalam barang jaminan, sebagiaan besar masalahnya adalah barang jaminan yang di pakai oleh penerima gadai (murtahin) kemudian ada barang jaminan yang tidak diperbolehkan dalam Islam yaitu KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang tidak bisa diuangkan atau dilelang. Sedangkan yang akan ditulis penulis adalah membahas tentang pengurangan uang utang terhadap penggadai (rahin) oleh penerima gadai (murtahin) dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap masalah tersebut.

12 Mujahidah Muharroma Al-karima “Analisis Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Akada gadai

Mobil dan sepeda motor di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun”.(Skripsi-UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2016)


(19)

11

E. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui bagaimana praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.

2. Mengetahui bagiamana analisis hukum Islam terhadap praktik gadai motor di Desa {Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.

F. Kegunaan Hasil Penelitian 1. Secara teoritis

penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu Syari’ah pada umumnya, dan khususnya jurusan Muamalah serta dapat dijadikan tambahan wawasan tentang praktik gadai motor, sehingga dapat dijadikan informasi bagi pembaca.

2. Secara Praktis

Dapat memberi kontribusi positif bagi para pembaca, dan hasil penelitian ini dapat di jadikan acuan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan praktik gadai motor yang terjadi di Desa Pekiringan kecamatan Karangmoncol kabupaten Purbalingga.


(20)

12

G. Definisi Operasional

Dalam rangka untuk menghindari kesalahpahaman persepsi dan lahirnya multi-interpretasi terhadap judul ini, maka penulis merasa penting untuk menjabarkan tentang maksud dari istilah-istilah yang berkenaan dengan judul di atas, dengan kata kata kunci sebagai berikut:

Hukum Islam : Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia

mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam, berdasarkan Al-Qur’an, Hadis dan pendapat para Ulama fiqh mengenai praktik gadai.

Gadai (rahn) : Menjadikan barang yang memiliki nilai menurut syariat Islam sebagai jaminan utang, hingga orang tersebut dibolehkan mengambil utang atau mengambil sebagian manfat barang tersebut.

Desa Pekiringan : Desa yang terletak di Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang datanya digali melalui pengamatan-pengamatan dan sumber data di lapangan dan bukan berasal dari sumber-sumber kepustakaan.13

13


(21)

13

Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah penelitian kualitatif, karena kualitatif memuat tetang prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa tulisan atau perkataan dari orang-orang atau pelaku yang diamati.

Agar penulis skripsi dapat tersusun dengan benar, penulis memandang perlu menggunakan metode penulisan skripsi sebagai berikut: 1. Data yang dikumpulkan

Data merupakan kumpulan dari keterangan atau informasi yang benar dan nyata yang diperoleh baik dari sumber primer, maupun sekunder.14 Data adalah bahan keterangan tentang suatu objek uraian-uraian, bahkan dapat berupa cerita pendek.15 Data yang peneliti kumpulkan diantaranya, yaitu :

a. Data kualitatif yaitu data yang tidak berbentuk angka, jenis data yang akan dicari adalah segala kata dan tindakan yang relevan dengan masalah yang akan diteliti16 yakni mengenai pengurangan uang dari penerima gadai (murtahin) kepada penggadai (rahin) di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga. b. Data mengenai mekanisme pengurangan uang dari penerima gadai (murtahin) kepada penggadai (rahin) di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.

14

Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (tk: Gramedia Press), 211.

15 Burhan Burgin, Metodologi Penelitian Sosial: Format-Format Kuantitatif & Kualitatif,(Surabaya: Airlangga University Press, 2001), 123.


(22)

14

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas sumber data primer dan sumber data sekunder.

a. Sumber data primer

Sumber data primer merupakan sumber data yang diperoleh secara langsung yakni informan di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga meliputi:

1) Penerima gadai di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.

2) Pemberi gadai di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.

b. Sumber data sekunder

Sumber data ini diambil dari dokumen dan bahan pustaka (literature buku) yang ada hubungannya dengan penelitian ini antara lain:

1. Abdul Ghofur Anshori, Aspek Hukum Reksa Dana Syraiah di Indonesia, Bandung: Refika Adiama, 2008.

2. Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah: 2013. 3. Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum

Perdata Islam), Yogyakarta: UII Press, 2000.

4. Al-Faqih Abdul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad ibnu Rusyd, Bidayatul mujtahid, alih bahasa: Imam


(23)

15

Ghazali Syaid, Achmad Zaidun, Jakarta: Pustaka Imani, 2007, Cet. 3.

5. Asyraf Wajdi Dusuki, Sistem Keuangan Islam: Prinsip dan OperasiI, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2015.

6. Choiruman Pasaribu. Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: sinar Grafika, cet. 2, 1996.

7. Chuzaimah T Yanggo, A. Hafiz Anshori, AZ, MA,

Problematika Hukum Islam Kontemporer III, Jakarta: pustaka Firdaus, 1995.

8. Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

9. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

10. Ismail Nawawi, Fiqh Mu’amalah, Surabaya, Putra Media Nusantara: 2010.

11. Mardani, Hukum Ekonomi Islam,(Jakarta, RajaGrafindo Persada: 2015.

12. Moh. Sholihuddin, Hukum Ekonomi dan Bisnis Islam II: Akad Tabarru’ dalam hukum islam, Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,2014.

13. Muhammad Sholikhul Hadi, Pegadaian Syari’ah, Jakarta, Salemba Diniyah, 2000.


(24)

16

14. Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta, Gema Insani Press,2001.

15. Muhammad Yazid, Hukum Ekonomi Islam (Fiqh Muamalah),

Surabaya, UIN Sunan Ampel Press, 2014.

16. Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.

17. Saiful Jazil, Fiqih Mu’amalah, Surabaya, UIN Sunan Ampel Press, 2014.

18. Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Jakarta, Gema Insani Press: 2005, Cet-1.

19. Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, Bandung: Hasyimi, 2015. 20. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Kamaluddin A. Marzuki. et al,

jilid 12, Bandung: Alma’arif: 1988.

21. TM. Habsi Ash-Shiddieqi, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.

22. Wahbah Az-Zuhaili: Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani. et al, Fiqih Islam Wa Adillatuhhu 6,(Jakarta: Gema Insani, 2011. 3. Teknik pengumpulan data

a. Observasi

Observasi data dilakukan dengan cara melakukan pengamatan pada subyek penelitian atau fenomena-fenomena


(25)

17

yang terjadi.17 Dalam hal ini penulis akan mengadakan pengamatan secara langsung yang bertujuan untuk memperoleh data mengenai praktek gadai motor dengan pengurangan penerimaan uang utang di Desa Pekiringan kecamatan Karangmoncol kabupaten Purbalingga.

b. Wawancara

Wawancara (Interview) adalah usaha untuk mengumpulkan informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan. Ciri utama Interview adalah terjadinya kontak langsung dan bertatap muka antara pencari informasi dengan sumber informasi. Sedangkan jenis pedoman interview yang akan digunakan oleh penulis adalah jenis pedoman interview tidak terstruktur, yakni pedoman wawancara yang hanya memuat garis-garis besar pertanyaan yang akan diajukan.18 Wawancara ini akan penulis lakukan terhadap penerima gadai dan pemberi gadai.

4. Teknik Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

17

Syarifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 19.

18

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Penelitian Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 231


(26)

18

a. Organizing, yaitu suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan, pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian.19

b. Coding, yaitu kegiatan mengklasifikasi dan memeriksa data yang relevan dengan tema penelitian agar lebih fungsional.20

c. Editing, yaitu kegiatan memperbaiki kualitas data (mentah) serta menghilangkan keraguan akan kebenaran/ketepatan data tersebut.21

5. Teknik Analisis Data

Setelah tahapan pengolahan data, langkah selanjutnya yaitu menganalisa data. Penelitian ini dianalisa dengan menggunakan teknik deskriptif kualitatif, yakni menggambarkan kondisi, situasi atau fenomena yang tertuang dalam data yang diperoleh tentang praktek gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.

Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan pola pikir deduktif, yaitu menganalisis data dari umum kekhusus tentang praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga. Sehingga hasilnya dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan mengenai praktik gadai

19

Sonny Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), 66

20

Ibid, 99

21


(27)

19

motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.

I. Sistematika Pembahasan

Sitematika pembahasan dibutuhkan agar penelitian ini lebih mudah dipahami dan lebih sistematis dalam penyusunannya, serta tidak keluar dari jalur yang sudah di tentukan oleh peneliti, maka peneliti membagi lima bab dalam penelitian pada penelitian ini yang sistematikanya tersusun sebagai berikut:

Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakan, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, metode penelitian, definisi operasional dan sistematika pembahasan.

Bab kedua membahas landasan teori tentang rahn/gadai dalam hukum Islam dan riba dalam hukum Islam yang meliputi: pengertian rahn, dasar hukum rahn, rukun dan syarat rahn, berakhirnya rahn, penegrtian riba, dasar hukum riba, macam-macam riba, hikmah dilarangnya riba.

Bab ketiga akan membahas tentang gambaran umum lokasi penelitian, yaitu deskripsi tentang Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga dan praktik gadai motor di Desa Pekiringan kecamatan Karangmoncol kabupaten Purbalingga.


(28)

20

Bab keempat penulis membahas jawaban dari rumusan masalah dan analisis hukum Islam terhadap praktik gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga.

Bab kelima yang merupakan bagian akhir dari skripsi ini yang didalamnya berisi tentang kesimpulan dan analisis permasalahan yang diangkat dalam skripsi serta saran yang dapat membangun.


(29)

BAB II

GADAI DAN RIBA MENURUT HUKUM ISLAM A. Gadai

1. Pengertian gadai dalam Islam

Ar-Rahn dalam kamus bahasa arab menggadaikan,

menanguhkan ﺎﻧﻫﺭ - ﻥﻫﺭﻳ – ﻥﻫﺭ atau jaminan hutang, gadaian.22 Disebut juga dengan al-habsu yang artinya menahan. Menurut syariat

Islam, gadai berarti menjadikan barang yang memiliki nilai menurut syariat sebagai jaminan hutang, hingga orang tersebut dibolehkan mengambil utang atau mengambil sebagian manfaat barang tersebut. Demikian definisi yang dikemukakan oleh para ulama.23

Ada beberapa definisi rahn yang dikemukakan para ulama fiqh.

a. Menurut Ulama Malikiyah :

ﺷﻴ

ﹲﺊ

ﻣ

ﺘﻤ

ﻮ

ﹶﻝ

ﻳﺆ

ﺧ

ﹸﺬ

ﻣ

ﻦ

ﻣﻟﺎ

ﻜ

ﻪ

ﹴﻡﹺﺯﻻ ﹴﻦﻳﺩ ﻰﻓ ﻪﹺﺑ ﺎﹰﻘﱡﺛﻮﺗ

Harta yang di jadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.

Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan (agunan) bukan saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat manfaat tertentu. Harta yang dijadikan barang jaminan (agunan) tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh juga penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah

22Adib Bisri, Munawir AF, kamus AL-BISRI,(Surabaya: Pustaka Progressif: 1999), Cet Kel-1,

274


(30)

22

sebagai jaminan (agunan), maka yang diserahkan itu adalah surat jaminannya (sertifikatnya).

b. Ulama Hanafiyah :

ﺟ

ﻌ

ﹸﻞ

ﻋﻴ

ﹶﻟ ﻦ

ﻬ

ﻗ ﺎ

ﻴﻤ

ﹲﺔ

ﻣﻟﺎ

ﻴﹲﺔ

ﻓ

ﻧ ﻰ

ﹾﻈ

ﹺﺮ

ﺸﻟﺍ

ﺮ

ﹺﻉ

ﻭ

ﺛﻴﹶﻘ

ﹰﺔ

ﹺﺑﺪ

ﻳﹴﻦ

ﹺﺑ

ﺤ

ﻴ

ﹸﺚ

ﻳ

ﻤ

ﻜ

ﻦ

ﹶﺃ

ﺧ

ﹶﺬ

ﺪﻟﺍ

ﻳﹺﻦ

ﹸﻛﱡﻠ

ﻬ

ﹶﺃ ﺎ

ﻭ

ﺑﻌ

ﻀ

ﻬ

ﻣ ﺎ

ﻦ

ﺗﹾﻠ

ﻚ

ﹾﻟﺍ

ﻌﻴ

ﹺﻦ

Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagian.

c. Sedangkan Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan sebagai berikut :

ﺟ

ﻌ

ﹸﻞ

ﻋﻴ

ﹴﻦ

ﻭﺛ

ﻴﹶﻘ

ﹲﺔ

ﹺﺑﺪ

ﻳﹴﻦ

ﻳ

ﺴ

ﺘﻮ

ﻓ

ﻣ ﻰ

ﻨﻬ

ﻋ ﺎ

ﻨﺪ

ﺗ

ﻌﱡﺬ

ﹺﺭ

ﻭﹶﻓ

ﺋﺎﻪ

Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu.24

Dari definisi di atas pada dasarnya mengandung makna yang sama, yaitu gadai menurut bahasa adalah menahan, sedangkan menurut istilah menjadikan barang yang memiliki nilai menurut syariat sebagai jaminan hutang. Dalam Islam, rahn merupakan sarana

saling tolong-mrnolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan jasa.25 2. Dasar Hukum Gadai

a. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 283 :

24

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah,(Jakarta, Gaya Media Pratama: 2000), 252.

25Muhammad Yazid, Hukum Ekonomi Islam(FIQH MUAMALAH), (Surabaya: UINSA Press:


(31)

23

βÎ)uρ

ó

ΟçFΖä.

4

’n?tã

9

x y™

ö

Νs9uρ

(

#ρ߉Éfs? $Y6Ï?%x.

Ö

≈yδ̍sù

×

π|Êθç7ø)¨Β

(

÷

βÎ*sù

z

ÏΒr& Νä3àÒ÷èt/

$VÒ÷èt/

Ïj

Šxσã‹ù=sù “Ï%©!$#

z

Ïϑè?øτ$# …çµtFuΖ≈tΒr&

È

,−Gu‹ø9uρ

©

!$# …çµ−/u‘

3

Ÿ

ωuρ

(

#θßϑçGõ3s?

n

οy‰≈y㤱9$#

4

tΒuρ $yγôϑçGò6tƒ

ÿ

…絯ΡÎ*sù

Ö

ΝÏO#u …çµç6ù=s%

3

ª

!$#uρ $yϑÎ/

t

βθè=yϑ÷ès?

Ò

ΟŠÎ=tæ ∩⊄∇⊂∪

Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”26\

Para ulama fiqh, sepakat menyatakan bahwa rahn boleh dilakukan dalam perjalanan dan dalam keadaan hadir di tempat,

asal barang barang jaminan itu bisa langsung dipegang/dikuasai (al-qabdh) secara hukum oleh pemberi piutang. Maksudnya,

karena tidak semua barang jaminan dapat dipegang/dikuasai oleh pemberi piutang secara langsung, maka paling tidak ada semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status marhun (menjadi agunan utang). Misalnya, apabila barang

jaminannya sebidang tanah maka yang di kuasai adalah surat jaminan tanah itu.27

b. Berdasarkan dalil dari As-sunnah

Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Anas r.a :

26 Mushaf Lafziyyah Al-Huda,

Al-Qur’an Terjemah Perkata,(Jakarta: Al-Huda, 2009) , 50. 27 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah,(Jakarta: Gaya Media Pratama,2000),253.


(32)

24

ﻦﻋ

ﹴﺲﻧﹶﺃ

ﻲﺿﺭ

ﷲﺍ

ﻪﻨﻋ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

:

ﺪﹶﻘﹶﻟﻭ

ﻦﻫﺭ

ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ

ﻰﻠﺻ

ﷲﺍ

ﻪﻴﻠﻋ

ﻢﻠﺳﻭ

ﺩ

ﺭ

ﻋﻪ

ﹺﺑ

ﺸ

ﻌﻴ

ﹺﺮ

ﻭﻣ

ﺸ

ﻴ

ﺖ

ﹺﺇﹶﻟ

ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ

ﻰﻠﺻ

ﷲﺍ

ﻪﻴﻠﻋ

ﻢﻠﺳﻭ

ﹺﺑ

ﺨ

ﻴﹺﺮ

ﺷ

ﻌﻴ

ﹴﺮ

ﻭﹺﺇ

ﻫ

ﹶﻟﺎﺔ

ﺳﻨ

ﺤ

ﹸﺔ

ﻭﹶﻟ

ﹶﻘﺪ

ﺳ

ﻤﻌ

ﺘﻪ

ﻳﹸﻘ

ﻮ

ﹸﻝ

)

ﻣﺎ

ﹶﺃ

ﺻ

ﺒ

ﺢ

ِ

ﻝﻵ

ﺪﻤﳏ

ﻰﻠﺻ

ﷲﺍ

ﻪﻴﻠﻋ

ﻢﻠﺳﻭ

ﹺﺇ

ﹼﻻ

ﺻ

ﻉﺎ

ﻭ

ﹶﻻ

ﹶﺃ

ﻣ

ﺲ

ﻭ

ﹺﺇﻧ

ﻬ

ﻢ

ﻟﺘ

ﺴ

ﻌﹶﺔ

ﹶﺃﺑ

ﻴ

ﺕﺎ

(

ﻩﺍﻭﺭ

ﻯﺭﺎﺤﺒﻟﺍ

Artinya : Dari Anas r.a berkata, “sesungguhnya Rasulullah s.a.w menggadaikan baju besinya dengan biji gandum. Aku menemui Rasulullah saw dengan membawa roti yang terbuat dari gandum dan kue biasa yang sudah tengik aku pernah mendengar beliau berkata: “bagi keluarga Muhammad saw setiap pagi dan sore hanya memerlukan satu sha’. Padahal sesungguhnya mereka ada sembilan anggota keluarga.’’(HR. Bukhari)’28

Dalam hadist dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang berbunyi:

ﺣ

ﺪﹶﺛ

ﻨﺎ

ﻝﺎﻗ ﻡﺮﺸﺣ ﻦﺑ ﻲﻠﻋ ﻭ ﻲﻠﹶﻈﻨﹶﳊﺍ ﻢﻴﻫﺮﺑﺍ ﻦﺑ ﻕﺎﺤﺳﺍ

:

ﻦﺑ ﺲﻴﻋ ﺎﻧﺮﺒﺧﺃ

ﺖﻟﺎﻗ ﺔﺸﺋﺎﻋ ﻦﻋ ﺩﻮﺳﻻﺍ ﻦﻋ ﻢﻴﻫﺮﺑﺍ ﻦﻋ ﺶﻤﻌﻟﺍ ﻦﺑ ﺲﻧﻮﻳ

:

ﻝﻮﺳﺭ ﻯﺮﺘﺷﺍ

ﻪﹶﻠﻟﺍ

ﻰﻠﺻ

ﷲﺍ

ﻪﻴﻠﻋ

ﻢﻠﺳﻭ

ﻦﻣ

ﻱﺩﻮﻬﻳ

ﺎﻣﺎﻌﻃ

ﻪﻨﻫﺭﻭ

ﹰﺎﻋﺭﺩ

ﻦﻣ

ﺣ

ﺪﻳﺪ

)

ﻩﺍﻭﺭ

ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ

(

Artinya: “Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali dan Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin ‘Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari Aisyah berkata: bahwasanya Rasulullah saw membeli makanan dari seorang yahudi dengan menggadaikan baju besinya (sebagai jaminan/anggunan).(HR. Bukhori).29

28Bukhori, Shahih al-Bukhori,(Beirut al-Yamamah: Dar ibnu Katsir: 1987), jil. 2, 887.


(33)

25

Dari hadist di atas praktik gadai sudah pernah di ajarkan Nabi Muhammad SAW, Rasulullah pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi untuk mendapatkan gandum untuk keluarganya. Jadi jelas akad gadai dalam syariat Islam sangat di perbolehkan dengan ketentuan yang telah diatur dalam Islam yang bertujuan untuk membantu sesama.

c. Ijma’ Ulama

Pada dasarnya para ulama telah bersepakat bahwa gadai itu boleh. Para ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa gadai di syari’atkan pada waktu tidak berpergian maupun waktu berpergian.30

3. Rukun Gadai

Menurut Jumhur Ulama rukun rahn itu ada empat, yaitu :

a. Shigat (lafal ijab dan qabul)

Shigat menurut istilah fuqaha ialah:

“Perkataan antara ijab dan qabul secara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridlaan keduanya (kedua belah pihak)”

Rukun gadai akan sah apabila disertai ijab dan qabul, sedangkan ijab dan qabul adalah shigat aqdi atas perkataan yang menunjukan kehendak kedua belah pihak seperti kata “saya gadaikan ini kepada saudara untuk utangku yang sekian kepada


(34)

26

engkau’’, yang menerima gadai menjawab “saya terima marhun ini’’. Shigat aqdi memerlukan tiga syarat:

1) Harus terang pengertiannya

2) Harus bersesuaian antara ijab dan qabul

3) Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang bersangkutan

Akad gadai juga bisa dilakukan dengan bentuk bahasa,

kata isyarat tersebut diberikan terhadap apa yang dimaksudkan, sebagaimana yang dikatakan oleh TM. Habsi Ash-Shiddieqy dalam pengantar fiqh muamalah bahwa isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah (sama dengan ucapan penjelasan dengan lidah).31

b. Orang yang berakad (pemberi gadai dan penerima gadai)

Syarat utama yang harus terdapat dalam diri rahin dan murtahin adalah adanya ahliyyah. Maksud dari kata ahliyyah

adalah sudah tamyiz. Akad rahn tidak boleh dilakukan oleh anak kecil yang belum tamyiz dan belum berakal. Di samping itu Ijab qabul yang terdapat dalam akad rahn tidak boleh di gantungkan (mu’allaq) dengan syarat teretentu yang bertentangan dengan

substansi akad rahn, dan juga tidak boleh disandarkan dengan waktu di masa mendatang. Untuk pemberi gadai memiliki barang yang akan digadaiakan. Sedangkan penerima gadai adalah orang

31 TM. Habsi Ash-Shiddieqi, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), Cet.I, 31.


(35)

27

atau lembaga yang di percaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang.

c. Harta yang di jadikan agunan (Marhun).

Marhun adalah barang yang bernilai ekonomis yang dijadikan sebagai jaminan atas utang yang ada. Marhun harus bisa

ditransasikan, dalam arti, ia ada ketika akad sedang berlangsung, dan bisa di serahterimakan. Selain itu harus berupa berupa harta (mal). Marhun harus berupa harta yang jelas nilai ekonomisnya. Marhun merupakan mutlak milik rahin dan tidak terdapat hak lain dalam marhun tersebut.32

d. Utang (Marhun bih)

Utang merupakan hak yang wajib diberikan kepada pemiliknya, yang memungkinkan pemanfaatannya (artinya apabila barang tersebut tidak dapat di manfaatkan, maka tidak sah), dana dapat dihitung jumlahnya. Selain itu utang yang digunakan haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.33

4. Syarat Gadai

Menurut jumhur ulama, ada beberapa syarat sahnya akad rahn

yaitu : a. Berakal.

32 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 263-264.

33 Choiruman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,(Jakarta: sinar Grafika, cet. 2, 1996),142.


(36)

28

b. Baligh (dewasa).

c. Wujudnya marhun yang dipegang sebagai jaminan oleh murtahin. d. Utang.34

Disamping syarat-syarat sah gadai yang disebutkan diatas, juga terdapat syarat-syarat lain yang harus dipenuhi secara fiqh, diantaranya yaitu:

a. Syarat orang yang berakad (rahin dan murtahin)

Dalam akad gadai orang yang berakad adalah unsur yang paling penting karena sangat mempengaruhi terhadap sah atau tidak nya gadai tersebut dilakukan. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan dalam bertindak hukum menurut jumhur ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal. Sedangkan, menurut ulama Hanafiyah, ahliyah dalam rahn seperti ahliyah dalam jual beli dan

pemberian. Rahn tidak boleh dilakukan oleh orang yang mabuk, gila, bodoh, atau anak kecil yang belum baligh. Begitu pula seseorang wali tidak boleh menggadaikan barang orang yang dikuasainya, kecuali jika dalam keadaan darurat dan meyakini bahwa pemegangnya yang dapat dipercaya.35 Berdasarkan hal ini, maka orang gila dan anak kecil yang belum mumayyiz tidak

34 Muhammad Yazid, Hukum Ekonomi Islam (Fiqh Muamalah), (Surabaya, UIN Sunan Ampel Press, 2014), 124.

35 Moh. Sholihuddin, Hukum Ekonomi dan Bisnis Islam II: Akad Tabarru’ dalam hukum


(37)

29

boleh mengadakan akad gadai atau dengan kata lain tidak boleh menggadaikan dan menerima gadai.36

b. Syarat sighat (lafadz).

Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad itu tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dengan masa yang akan datang. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu dibolehkan namun apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn, maka syaratnya batal. 37

c. Syarat barang gadai (marhun)

Marhun adalah barang yang ditahan oleh murtahin

(penerima gadai) sebagai jaminan atas utang yang ia berikan. Barang yang di jadikan jaminan harus dalam keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus di bayar.

Syarat marhun menurut pakar fiqh, adalah :

1) Marhun itu barang yang bisa di perjualbelikan dan nilainya seimbang dengan marhun bih.

2) Marhun harta yang bisa di manfaatkan secara hukum Islam (halal).

3) Milik sah rahin.

4) Harus jelas keberadaannya.

36

Wahbah Az-Zuhaili: Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani. Fiqih Islam Wa Adillatuhhu 6,(Jakarta: Gema Insani, 2011), 122.


(38)

30

5) Marhun tidak terkait dengan hak orang lain.38

d. Utang (marhun bih)

Menyangkut adanya utang, bahwa utang tersebut disyaratkan merupakan utang yang tetap, dengan kata lain utang tersebut bukan merupakan utang yang bertambah-tambah atau utang yang mempunyai bunga, sebab seandainya utang tersebut merupakan utang yang berbunga maka perjanjian tersebut sudah merupakan perjanjian yang mengandung unsur riba.39

Dalam akad gadai dalam penerimaan uang utang, ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabillah menetapkan tiga syarat utama, yakni :

1) Harus berupa utang yang tetap dan wajib ditunaikan.

2) Utang itu harus bersifat mengikat, seperti harga atas barang yang dibeli dalam transaksi jual beli.

3) Nominal utang harus diketahui secara jelas dan pasti.40 5. Pendapat ahli fiqh muslim terhadap syarat-syart marhun bih

Berdasarkan berbagai opini para ahli fiqh muslim, syarat-syarat berkaitan dengan utang pokok rahn dapat dirangkum sebagai berikut:

1) Utang pokok harus merupakan utang yang sudah ditetapkan, mengikat, dan dapat diberlakukan, baik melalui peminjaman,

38 Saiful Jazil, Fiqih Mu’amalah,(Surabaya, UIN Sunan Ampel Press, 2014),120.

39 Choiruman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,(Jakarta: sinar Grafika, cet. 2, 1996),142.

40 TM. Habsi Ash-Shiddieqi, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), Cet.I, 263.


(39)

31

penjualan, atau kerusakan dalam bentuk kekeliruan tindakan atau pelanggaran hak (selain yang ada dalam kontrak) menyangkut suatu harta.

2) Utang harus diketahui dan didefinisikan bagi kedua belah pihak yang berkontrak. Oleh sebab itu, jika salah satu atau kedua belah pihak tidak yakin mengenai utang tersebut, misalnya, lalu debitur menggadaikan sebuah objek atas suatu utang yang belum diperinci diantara kedua pihak, yang wajib dibayarkan olehnya kepada debitur, maka penggadai ini dianggap tidak shahih.

3) Utang pokok harus sudah jatuh tempo/mengikat, atau akan jatuh tempo. Jadi, rahn itu shahih bila utangnya didasarkan pada harga jual yang mengikat, atau berada dalam periode opsi sebelum keterikatannya, karena kontrak penjualan akan mengikat sesudah opsi tersebut kadaluwarsa. Namun, rahn itu tidak sah bila utangnya tidak didasarkan pada ju’alah (janji memberikan imbalan) sebelum penyelesaian tugasnya, karena liabilitasnya tidak mengikat.

4) Menurut ulama Hanafi dan Maliki, utang pokok harus dapat dipertanggungjawabkan, agar dapat dilunasi. Oleh karena itu rahn

itu tidak shahih bila utang didasarkan pada manfaat. Sebagai contoh jika dua individu menyewakan suatu harta bersama-sama dan salah satu dari mereka berutang kepada yang lain suatu porsi dari manfaat tersebut, maka liabilitas tersebut tidak dapat


(40)

32

digunakan untuk pencagaran. Meski demikian para ulama Syafi’i dan Hambali membolehkan liabilitas semacam ini dalam rahn.41

6. Hak dan Kewajiban Para Pihak

Para pihak (pemberi dan penerima gadai) masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhin. Sedangkan hak dan kewajiban adalah sebagai berikut:

a. Hak dan Kewajiban pemberi gadai (rahin) 1) Hak Pemberi Gadai

a) Pemberi gadai mempunyai hak untuk mendapatkan kembali barang miliknya setelah pemberi gadai melunasi hutangnya.

b) Pemberi gadai berhak mendapat uang gadai sesuai kesepakatan.

c) Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan hilangnya barang gadai apabila hal itu disebabkan oleh kelalaian penerima gadai.

d) Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan barangnya setelah dikurangi biaya pelunasan utang dan biaya lainya.

e) Pemberi gadai berhak meminta kembali barangnya apabila penerima gadai telah jelas menyalahgunkan barangnya. 2) Kewajiban Pemberi Gadai

41 Asyraf Wajdi Dusuki, Sistem Keuangan Islam: Prinsip dan OperasiI,(Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2015), 311.


(41)

33

a) Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi utang yang telah diterimanya dari penerima gadai dalam tenggang waktu yang telah ditentukan.

b) Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas barang gadai miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak bisa membayar utangnya kepada penerima gadai.

b. Hak dan Kewajiban penerima gadai (murtahin) 1) Hak penerima gadai (murtahin)

a) Penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan, apabila pemberi gadai pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang berhutang.

b) Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang jaminan.

c) Selama utangnya belum dilunasi, maka penerima gadai berhak untuk menahan barang jaminan yang diserahkan oleh pemberi gadai.

2) Kewajiban penerima gadai (murtahin)

a) Penerima gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya harga barang yang digadaikan jika itu semua atas kelalaiannya.


(42)

34

b) Penerima gadai berkewajiban memberi uang utang sesuai dengan kesepakatan.

c) Penerima gadai tidak dibolehkan menggunakan barang yang digadaikan untuk kepentingan pribadi.

d) Penerima gadai berkewajiban memberi tahu kepada pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan barang gadai.42

Apabila pemberi gadai tidak mau menjual barang gadainya, hendaklah penerima gadai mengajukan tuntutan kepada hakim. Demikian pendapat Imam Syafi’i. Adapun pendapat Imam Maliki, sebaiknya masalah itu di ajukan lebih dahulu kepada hakim, dan jika barang terus dijual tanpa diajkuan terlebih dahulu kepada hakim, penjualannya pun tetap sah.43

7. Berakhirnya Akad Gadai

Akad rahn akan berakhir ketika murtahin telah mengembalikan marhun kepada rahin, atau rahin telah membayar hutang yang menjadi tanggungannya. 44

Gadai dipandang batal dengan beberapa keadaan seperti: a. Borg (barang gadai) diserahkan kepada pemiliknya.

42 Al-Faqih Abdul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad ibnu Rusyd, Bidayatul

mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Syaid, Achmad Zaidun ,(Jakarta: Pustaka Imani, 2007), Cet. 3, 200.

43Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat

Madzhab,(Bandung: Hasyimi, 2015), 236.


(43)

35

Jumhur ulama selain Syafi’i menganggap gadai menjadi batal jika murtahin menyerahkan borg kepada pemiliknya (rahin) sebab borg merupakan jaminan utang, jika borg diserahkan, tidak

ada lagi jaminan. Selain itu dipandang batalpun akad gadai jika murtahin meminjamkan borg kepada rahin atau kepada orang lain atas seizin rahin.

1) Dipaksa menjual borg, Gadai batal, jika hakim memaksa rahin untuk menjual borg atau hakim menjualnya jika rahin menolak.

2) Rahin melunasi semua hutangnya. 3) Pembebasan utang.

4) Pembatalan akad gadai dari pihak murtahin.

Akad gadai dipandang batal dan berakhir jika murtahin membatalkan rahin meskipun tanpa seizin rahin. Sebaliknya dipadang tidak batal jika rahin membatalkannya.

Menurut ulama Hanafiyah, murtahin diharuskan untuk mengatakan pembatalan borg kepada rahin. Hal ini karena rahin tidak terjadi, kecuali dengan memegang. Begitu pula cara membatalkannya adalah dengan tidak memegang.

b. Rahin meninggal

Menurut Imam Malik, rahn batal atau berakhir jika rahin meninggal sebelum menyerahkan borg kepada murtahin. Juga


(44)

36

dipandang batal jika murtahin meninggal sebelum mengembalikan borg kepada rahin.45

c. Borg rusak

Berdasarkan kesepakatan fuqaha, akan rahn batal dengan rusak nya barang jaminan/borg. Baik itu menurut jumhur ulama

yang mengatakan bahwa marhun adalah barang amanat di tangan murtahin sehingga jika rusak, maka ia tidak menanggungnya

kecuali jika ada unsur pelanggaran atau kelalaian dan keteledoran dari murtahin.

d. Tasharruf dan borg

Akad rahn selesai dan berakhir jika salah satu pihak, yaitu rahin atau murtahin melakukan pentasharufan terhadap marhun

dengan meminjamkannya, menghibahkannya, mensedekahkannya, atau menjualnya kepada orang lain dengan seizin pihak yang satunya.46

B. Riba

1.` Pengertian Riba dalam Islam

Menurut bahasa riba memiliki beberapa penegertian yaitu

bertambah

ﹸﺓﺩﺎﻳﹺﺰﻟﺍ

, berkembang, berbunga

ﻡﺎﻨﻟﺍ

,

berlebihan atau

45 Al-Faqih Abdul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad ibnu Rusyd, Bidayatul mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Syaid, Achmad Zaidun ,(Jakarta: Pustaka Imani, 2007), Cet. 3, 207.

46 Wahbah Az-Zuhaili: Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani.

Fiqih Islam Wa Adillatuhhu 6,(Jakarta: Gema Insani, 2011), 230-231.


(45)

37

menggelembung47, menurut Abdul Ghofur Anshori istilah riba berasal dari kata r-b-w, yang di gunakan dalam Al-Qur’an sebanyak dua puluh kali. Di dalam Al-Qur’an riba dapat dipahami dalam delapan arti, yaitu: pertumbuhan, peningkatan, bertambah, meningkat, menjadi besar, dan juga di gunakan dalam artian bukit kecil. Walaupun istilah yang berbeda namun dapat diambil satu pengertian umum, yaitu meningkat, baik menyangkut kualitas maupun kuantitas.48

Sedangkan menurut terminologis riba yaiitu sebagai berikut : a. Menurut Ulama Syafi’iyah, riba adalah bentuk transaksi dengan

cara menetapkan pengganti tertentu yang tidak diketahui kesamaannya (dengan yang ditukar), dalam ukuran syar’i pada saat

transaksi, atau disertai penangguhan terhadap kedua barang yang dipertukarkan ataupun terhadap salah satunya.

b. Menurut Ulama Hanafiah, riba adalah nilai lebih yang tidak ada pada barang yang ditukar berdasarkan ukuran syar’i yang di persyaratkan kepada salah satu pihak yang berakad pada saat transaksi.

c. Menurut Ulama Hanabilah, riba adalah kelebihan tanpa ganti rugi yang dikhususkan.49

d. Menurut Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, riba adalah bertambahnya salah satu dari

47 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002).57. 48

Abdul Ghofur Anshori, Aspek Hukum Reksa Dana Syraiah di Indonesia (Bandung: Refika Adiama, 2008), 11.

49


(46)

38

dua penukaran yang sejenis tanpa adanya imbalan untuk tambahan ini.50

e. Menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, riba adalah penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain

dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama, kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan atau dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dan yang melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu.51

2. Dasar Hukum Pengharaman Riba a. Berdasarkan dalil al-Qur’an

Riba hukumnya adalah haram dengan ketentuan firman Allah SWT dan sabda-sabda dari Rasulullah SAW.

Firman Allah SWT dalam surat Al-baqarah: 275 :

š

Ï%©!$#

t

βθè=à2ù'tƒ

(

#4θt/Ìh9$#

Ÿ

ω

t

βθãΒθà)tƒ

ā

ωÎ) $yϑx.

ã

Πθà)tƒ ”Ï%©!$#

ç

µäܬ6y‚tFtƒ

ß

≈sÜø‹¤±9$#

z

ÏΒ

Äb

§yϑø9$#

4

y

7Ï9≡sŒ

ö

Νßγ¯Ρr'Î/

(

#þθä9$s% $yϑ¯ΡÎ)

ß

ìø‹t7ø9$#

ã

≅÷WÏΒ

(

#4θt/Ìh9$#

3

¨

≅ymr&uρ

ª

!$#

y

ìø‹t7ø9$#

t

Π§ymuρ

(

#4θt/Ìh9$#

4

yϑsù …çνu!%y`

×

πsàÏãöθtΒ ÏiΒ

ϵÎn/§‘

4

‘yγtFΡ$$sù …ã&s#sù $tΒ

y

#n=y™

ÿ

…çνãøΒr&uρ

’n<Î)

«

!$#

(

ï

∅tΒuρ

y

Š$tã

y

7Íׯ≈s9'ρé'sù

Ü

=≈ysô¹r&

Í

‘$¨Ζ9$#

(

ö

Νèδ $pκŽÏù

š

χρà$Î#yz ∩⊄∠∈∪

ِِ

Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah

50

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat,(Jakarta: Amzah: 2013), 258.

51


(47)

39

menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.52

Firman Allah SWT dalam surat Ali-Imran: 130 :

$y㕃r'¯≈tƒ

š

Ï%©!$#

(

#θãΨtΒ#u

Ÿ

ω

(

#θè=à2ù's?

(

##θt/Ìh9$# $Z ≈yèôÊr&

Z

πx yè≈ŸÒ•Β

(

(

#θà)¨?$#uρ

©

!$#

ö

Νä3ª=yès9

t

βθßsÎ=ø è? ∩⊇⊂⊃∪

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.53

Firman Allah SWT dalam surat Ar-Ruum ayat 39:

!

$tΒuρ ΟçF÷s?#u ÏiΒ $\/Íh‘

(

#uθç/÷ŽzÏj9

þ

’Îû

É

Α≡uθøΒr&

Ä

¨$¨Ζ9$#

Ÿ

ξsù

(

#θç/ötƒ

y

‰ΨÏã

«

!$#

(

!

$tΒuρ

ΟçF÷s?#u ÏiΒ

;

ο4θx.y—

š

χρ߉ƒÌè?

t

µô_uρ

«

!$#

y

7Íׯ≈s9'ρé'sù

ã

Νèδ

t

βθà ÏèôÒßϑø9$#

∩⊂∪

Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan

agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”54

firman Allah SWT Surat al-Maidah ayat 2:

$pκš‰r'¯≈tƒ

t

Ï%©!$#

(

#θãΖtΒ#u

Ÿ

ω

(

#θ6=ÏtéB

u

ŽÈ∝¯≈yèx©

«

!$#

Ÿ

ωuρ

t

öꤶ9$#

t

Π#tptø:$#

Ÿ

ωuρ

y

“ô‰oλù;$#

Ÿ

ωuρ

y

‰Íׯ≈n=s)ø9$#

I

ωuρ

t

ÏiΒ!#u

|

MøŠt7ø9$#

t

Π#tptø:$#

t

βθäótGö6tƒ

W

ξôÒsù ÏiΒ

ö

ΝÍκÍh5§‘ $ZΡ≡uθôÊÍ‘uρ

4

#sŒÎ)uρ

52

Mushaf Lafziyyah Al-Huda, Al-Qur’an Terjemah Perkata,(Jakarta: Al-Huda, 2009), 48.

53

Mushaf Lafziyyah Al-Huda, Al-Qur’an Terjemah Perkata,(Jakarta: Al-Huda, 2009), 67.

54


(48)

40

÷

Λäù=n=ym

(

#ρߊ$sÜô¹$$sù

4

Ÿ

ωuρ

ö

Νä3¨ΖtΒ̍øgs†

ã

β$t↔oΨx©

B

Θöθs% βr&

ö

Νà2ρ‘‰|¹

Ç

tã

Ï

‰Éfó¡yϑø9$#

Ï

Θ#tptø:$# βr&

(

#ρ߉tG÷ès?

¢

(

#θçΡuρ$yès?uρ ’n?tã

Îh

ŽÉ9ø9$#

3

“uθø)−G9$#uρ

(

Ÿ

ωuρ

(

#θçΡuρ$yès? ’n?tã

É

ΟøOM}$#

È

β≡uρô‰ãèø9$#uρ

4

(

#θà)¨?$#uρ

©

!$#

(

¨

βÎ)

©

!$#

ß

‰ƒÏ‰x©

É

>$s)Ïèø9$# ∩⊄∪

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu

melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram[390], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”55

b. Berdasarkan dalil as-sunnah Rasulullah SAW bersabda :

ﹶﻟﻌ

ﻦ

ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ

ﹶﺍﻛ

ﹸﻞ

ﺮﻟﺍ

ﺑ

ﻭ ﺎ

ﻣﻮ

ﻛﹶﻠ

ﻪ

ﻭ

ﺷ

ﻫ ﺎ

ﺪﻳ

ﻪ

)

ﻦﻋ ﺩﻭﺍﺩ ﻮﺑﺃ ﻩﺍﻭﺭ

ﺮﺑﺎﺟ

ﷲﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﺑ

(

Artinya: Rasulullah SAW melaknat para pemakan riba, yang memberi makan dengan cara riba, para saksi dalam masalah riba, dan para penulisnya (HR Abu Daud, dan hadist yang sama juga di riwayatkan Muslim dari Jbir ibn ‘Abdillah)56

3. Macam-macam Riba

Pada dasarnya riba terbagi menjadi dua macam yaitu riba jual beli dan riba akibat hutang piutang.

a. Riba jual beli

55

Mushaf Lafziyyah Al-Huda, Al-Qur’an Terjemah Perkata,(Jakarta: Al-Huda, 2009), 107.


(49)

41

Istilah riba al-fadhl diambil dari kata al-fadhl yang bermakna tambahan dalam salah satu barang yang dipertukarkan.57

Hanafiah memberikan definisi riba al-fadhl adalah tambahan benda dalam akad jual beli (tukar-menukar) yang menggunakan ukuran syara’ (yaitu literan atau timbangan) yang jenis barangnya sama.

Syafi’iyah memberikan definisi riba al-fadhl adalah adanya

tambahan atas dua benda yang ditukarkan termasuk di dalamnya riba qard(utang).58

Rasulullah SAW bersabda :

ﹶﻻﺗ

ﹺﺒﻴﻌ

ﻮ

ﱠﺬﻟﺍ ﺍ

ﻫ

ﺐ

ﹺﺑ

ﱠﺬﻟﺎ

ﻫ

ﹺﺐ

ﹺﺇ

ﱠﻻ

ﻣ

ﹾﺜ

ﹰﻼ

ﹺﺑ

ﻤﹾﺜ

ﹴﻞ

ﻭ

ﹶﻻ

ﺗ

ﺸ

ﱡﻔ

ﺑ ﺍﻮ

ﻌ

ﻀ

ﻬ

ﺑ ﻰﻠﻋ ﺎ

ﻌ

ﹴﺾ

ﹺﺇ

ﱠﻻ

ﻣﹾﺜ

ﹰﻼ

ﹺﺑ

ﻤﹾﺜ

ﹴﻞ

ﻭ

ﹶﻻ

ﺗﹺﺒ

ﻴﻌ

ﻣ ﺍﻮ

ﻨﻬ

ﹶﻏ ﺎ

ﺎﺋﺒ

ﹺﺑ ﺎ

ﻨ

ﹺﺟ ﺎ

ﹴﺰ

)

ﻢﻠﺴﻣ ﻭ ﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ

ﰉﺃ ﻦﻋ

ﺪﻴﻌﺳ

ﻯﺭﺪﳋﺍ

(

Artinya: Jangan kamu memperjualbelikan emas dengan emas, kecuali seimbang(sama beratnya) dan jangan kamu melebihkan yang satu dari yang lainnya, dan jangan pula kamu jual sesuatu yang ada dengan yang belum ada (HR al-Bukhari dan Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri)

Dalam jual beli prinsip keadilan dan keseimbangan harus ada. Kalau tidak adil dan seimbang, maka akan muncul kezaliman. Oleh karena itu, kelebihan salah satu barang dalam jual beli

57

Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari,(Jakarta, Gema Insani Press: 2005), Cet-1, 391.

58


(50)

42

barang sejenis merupakan kelebihan tanpa imbalan yang sangat merugikan pihak lain.59

Islam melarang riba atas jual beli atau perniagaan. Riba tambahan dalam jual beli adalah riba al-fadhl ialah jual beli satu jenis barang dari barang-barang ribawi dengan barang sejenisnya dengan nilai (harga) lebih, misalnya jual beli satu kwintal beras dengan satu seperempat kwintal beras sejenisnya, atau jual beli satu ons perak dengan satu ons perak dan satu dirham.60

b. Riba akibat hutang piutang

Abdurrahman Al-Jaziri memberikan definisi riba nasi’ah adalah Adanya tamabahan yang disebutkan (dalam penukaran barang yang sejenis) sebagai imbalan diakhirkannya penyerahan.

Sayid Sabiq memberikan definisi riba nasi’ah adalah tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh orang yang memberikan utang dari orang yang menerima utang sebagai imbalan ditundanya pembayaran.61

Riba akibat hutang piutang disebut riba nasi’ah yaitu

pembayaran barang yang dipertikarkan, diperjualbelikan, atau diutangkan karena diakhirkan waktu pembayarannya baik yang sejenis maupun tidak. Riba ini yang masyhur di kalangan kaum jahiliyah menurut Ibnu Hajra al-Maliki ialah bila seseorang dari

59 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah,(Jakarta: Gaya Media Pratama,2000), 185. 60

Ismail Nawawi, Fiqh Mu’amalah,(Surabaya, Putra Media Nusantara: 2010), 119.

61


(51)

43

mereka meminjamkan harta kepada orang lain hingga waktu yang telah ditentukan, dengan syarat bahwa ia harus menerima dari peminjam pembayaran lain menurut kadar yang ditentukan tiap-tiap bulan, sedangkan harta yang dipinjamkan semua jumlahnya tetap dan tidak bisa dikurangi. Bila waktu yang ditentukan habis, pokok pinjaman diminta kembali. Andaikan sebut, dia minta tangguh, sehingga yang meminjamkan dapat menerima tangguhan tersebut dengan syarat pinjaman pokok harus dikembalikan lebih dari semula.62 Begitulah gambaran dari riba nasi’ah yang sangat menyiksa bagi para peminjam.

4. Hikmah Diharamkannya Riba

Di atas telah dikemukakan bahwa riba hukumnya dilarang. Adapun sebab dilarangnya riba ialah dikarenakan riba menimbulkan kemudaratan yang besar bagi umat manusia.63

Dampak negatif terhadap individu yaitu kebutaan nurani pelaku riba dengan kegoisan, keserakahan, kikir, dan menjadi budak harta yang berakhir dengan kondisi yang dijelaskan Allah tentang pelaku riba dalam QS. Al-Baqarah: 275, yaitu orang tersebut bagaikan orang gila.

Dampak negatif terhadap masyarakat adalah bila mana riba telah menjalar pada kehidupan sebuah masyarakat akan tampak efek negatifnya dari sisi sosial dan ekonomi.

62

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,(Jakarta, RajaGranfindo Persada: 2005), 279-280.

63


(52)

44

Dari segi sosial, masyarakat akan dipenuhi rasa egois, dengki, serta benci dan bukan saling kasih-mengasihi dan tolong menolong.

Menurut Ali Jurjawi, riba akan mengakibatkan:

a. Adanya eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya kepada si miskin. b. Uang yang dimiliki oleh si kaya tidak disalurkan kepada hal-hal

yang produktif misalnya pertanian, industri dan sebagaianya yang dapat menciptakan peluang kerja yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan pemilik modal sendiri. Tetapi modal tersebut disalurkan ke dalam pengkreditan berbunga yang tidak produktif.

c. Mengakibatkan kebangkrutan usaha dan pada akhirnya bisa mengakibatkan konflik, jika si peminjam tidak sanggup mengembalikan pinjaman dan bunganya.64

64


(53)

BAB III

PRAKTIK GADAI MOTOR DI DESA PEKIRINGAN KECAMATAN KARANGMONCOL KABUPATEN PURBALINGGA

A. Gambaran Umum Lokasi Penulisan

1. Letak Geografis Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga

Wilayah desa Pekiringan merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga dengan luas wilayah 213 ha. Keadaan umum wilayahnya merupakan persawahan yang dialiri dengan irigasi seluas 136 ha, tanah untuk pemukiman warga seluas 75ha, sedangkan tanah yang digunakan untuk kuburan seluas 2 ha, luas prasarana umum, pekarangan dan lainnya dimasukan kedalam luas pemukiman warga. Jarak tempuh dari Desa Pekiringan Ke Kecamatan Karangmoncol berjarak 0,2 km, dari Desa Pekiringan Ke Kabupaten Purbalingga berjarak 27km, dari Desa Pekiringan ke Provinsi Jawa Tengah berjarak 280km, kemudian jarak dari Desa Pekiringan ke ibukota Jakarta berjarak 500km.

Dimana wilayahnya berbatasan dengan:

a) Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tamansari Kecamatan Karangmoncol

b) Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pepedan Kecamatan Karangmoncol


(54)

46

c) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Grantung Kecamatan Karangmoncol

d) Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Karangsari Kecamatan Karangmoncol

Berdasarkan data terakhir dapat diketahui jumlah penduduk Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga berjumlah 4.770 orang dengan jumlah kepala keluarga 1.140KK. dengan perincian jumlah orang jenis kelamin laki-laki adalah 2.426 jiwa dan perempuan 2344 jiwa.

Struktur pemerintahan desa sangat penting demi kelanacaran jalananya pemerintahan tersebut, karena pemerintahan yang teratur dan baik merupakan salah satu faktor penunjang lancarnya roda pemerintahan. Struktur pemerintahan Desa Pekiringan adalah sebagai berikut:

a) Kepala Desa : H. Majlis, S.Pd b) Sekertaris Desa : Tarman, A. Ma c) Kaur Pemerintahan : Waryoto

d) Kaur Pembangunan : Yusup Mudakir Fauzi e) Kaur Kesra : Mahdi Fauzi

f) Kaur Umum : Gondo Susanto g) Kaur Keuangan : Toifah

h) Kepala Dusun I : Sokhif Muthohir i) Kepala Dusun II : Paryono


(55)

47

k) Kepala Dusun IV : Rahmat

l) Kepala Dusun V : Agus Mulyono m) PTL. Pengairan : Rojikin

2. Keadaan Sosial Ekonomi

Desa Pekiringan adalah desa yang penduduknya mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai buruh tani dengan jumlah 601 jiwa. Kemudian ada masyarakat yang bekerja sebagai pedagang dengan jumlah 208 jiwa, karyawan swasta 101 jiwa, petani 79 jiwa, pegawai negeri sipil 74 jiwa, buruh bangunan 58 jiwa, supir angkutan 52 jiwa, pensiunan 31 jiwa, buruh indutri 25 jiwa, TNI dan POLRI 31 jiwa, pengusaha hanya satu orang. Data ini di ambil dari sumber data profil desa pekiringan 2016.

3. Keadaan Sosial Keagamaan

Di Desa Pekiringan terdapat beberapa agama atau aliran kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya, seperti agam Islam, Kristen dan Hindu. Di Desa Pekiringan agama Islam menempati pengikut terbanyak nomer satu dari yang lainya yaitu dengan pengikut 4.742 jiwa, kemudian ada agama Kristen dengan 27 jiwa dan Hindu jiwa. Dari sumber data profil Desa Pekiringan 2016 agama Katolik dan Budha belum ada penganutnya.

Dilihat dari segi keagamaan, mayoritas masyarakat Desa Pekiringan beragama Islam. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan pengajian umum yang dilaksanakan di masjid jami’ Desa Pekiringan setiap satu bulan sekali yang mendatangkan penceramah


(56)

48

penceramah dari tokoh agama sekitar Kecamatan Karangmoncol bahkan tidak jarang juga dari kyai-kyai kota kabupaten tetangga seperti dari Cilacap, Kebumen, Banyumas. Kemudian dapat juga dibuktikan dengan adanya sarana-sarana penyebaran ajaran Islam berupa 2 madrasah diniyah dan 3 pondok pesantren. Bukan hanya madrasah diniyah dan pesantren, banyak juga berdiri TPQ yang didirikan oleh perorangan yang tempat mengajarnya berada di rumah pendirinya sendiri.

4. Keadaan sosial pendidikan

Keadaan sosial pendidikan di Desa Pekiringan dapat dikatakan sudah bagus karena mayoritas masyarakat desa sudah menanamkan pemikiran bahwa pendidikan itu penting dengan data masyarakat yang sudah menempuh jenjang strata 1 mencapai 131 orang. Dari diploma sudah mencapai 53 orang kemudian dari strata 2 ada 3 orang. Sedang masyarakat yang tamat sekolah dasar 1.142 orang, sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) 507 orang dan sekolah menengah akhir 647 orang.

Adapun fasilitas pendidikan yang ada di Desa Pekiringan, 4 gedung PAUD, 2 buah gedung taman kanak-kanak (TK), 2 buah gedung sekolah dasar negeri (SDN), 1 sekolah lanjutan tingkat pertama negeri (SLTPN), 2 buah gedung sekolah menengah akhir (SMA), 2 buah gedung madrasah diniyah dan 3 buah gedung pondok pesantren.65


(57)

49

B. Praktik Gadai Motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol

Kabupaten Purbalingga

Terjadinya praktik gadai sepeda motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga ini, pasti memiliki latar belakang dan motivasi tertentu. Karena segala sesuatu terjadi muncul karena latar belakang dan faktor-faktor tertentu.

1. Latar belakang gadai motor di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga

Pada masa sekarang ini, gadai telah menjadi trend karena

dilaksanakan oleh berbagai kalangan masyarakat yang rata rata para pelaku gadai tersebut dari masyarakat kalangan tengah kebawah tapi bukan berarti kalangan masyarakat tengah keatas tidak melakukannya. Gadai dianggap mampu untuk mempermudah mencukupi kehidupan hidupnya serta gadai juga dianggap sebagai pemacu semangat untuk bekerja lebih giat lagi.

Praktik gadai motor di Desa Pekiringan adalah berdasarkan faktor ekonomi yang melatar belakangi terjadinya gadai tersebut. Seperti yang sudah penulis jelaskan bahwa pada umumnya masyarakat Desa Pekiringan berprofesi sebagai buruh tani dan pedagang. Mereka beranggapan bahwa menggadai di lembaga pegadaian terlalu berbelit dengan persyaratannya, dan keharusan melunasi uang pinjaman tepat pada waktunya. Sehingga membuat masyarakat Desa Pekiringan lebih cocok melakukan gadai kepada perorangan daripada lembaga pegadaian.


(1)

64

Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga dengan adanya penambahan uang sebesar 10% adalah termasuk riba nasiah. Karena pada dasarnya dalam utang tidak boleh adanya penambahan dalam pembayaran. Gadai termasuk salah satu akad tabarruq yang tujuannya adalah tolong-menolong. penambahan yang terjadi pada praktik gadai di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga tidak diperuntukan guna merawat barang gadai melainkan diperuntukan untuk keuntungan pribadi oleh penerima gadai (murtahin).


(2)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari beberapa uraian yang telah dipaparkan dalam skripsi ini, penulis menyimpulkan sebagai berikut:

1. Praktik gadai yang terjadi di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purbalingga, dalam syarat utang ada penambahan uang dengan cara pengurangan uang 10% dari kesepakatan dan pembayaran penuh saat pelunasan sehingga adanya penambahan uang 10% bagi penggadai (rahin). Apabila penggadai tersebut tidak bisa membayar bapak Imron memberikan toleransi penambahan jangka waktu kepada penggadai (rahin) namun jika tetap tidak bisa membayar maka barang tersebut akan dijual kemudian sisa uang penjualan akan di berikan kepada penggadai (rahin).

2. Praktik gadai motor di desa Pekiringan kecamatan Karangmoncol kabupaten purbalingga sudah sesuai menurut rukun dan syarat gadai dalam hukum Islam, akan tetapi praktik penambahan 10% itu tidak diperbolehkan menurut islam karena di khawatirkan mengandung unsur riba. akan tetapi ada penambahan uang dengan cara pengurangan uang 10% dari kesepakatan dan pembayaran penuh saat pelunasan sehingga adanya penambahan uang 10% bagi penggadai (rahin) dalam pelunasan membuat akad gadai tersebut menjadi fasid. Penambahan tersebut dalam hukum Islam termasuk dalam riba nasiah


(3)

65

memberikan utang dari orang yang menerima utang sebagai imabalan ditundanya pembayaran.

B. Saran

Dalam rangka kesempurnaan skripsi ini penulis sampaikan beberapa saran yang berkaitan dengan pembahasan mengenai praktik gadai motor pada masyarakat di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Kabupaten Purabalingga sebagai berikut:

1. Bagi penerima gadai (murtahin) yang memotong uang utang dan mengambil keuntungan atas utang tersebut. Mulailah melakukan praktik gadai yang sesuai dengan syariat Islam. Gunakan ketentuanan yang sesuai dengan pandangan yang dibenarkan oleh agama agar tidak merugikan masyarakat yang membutuhkan pertolongan.

2. Bagi pemberi gadai (rahin) hendaklah lebih berhati-hati dalam memilih praktik gadai. Pilihlah praktik gadai yang sesuai dengan hukum Islam yang di ridhoi oleh Allah.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Asqalani, Al-Hafizh Ibnu Hajar, Bulughul Maram, Jakarta: Pustaka As-sunnah, 2007, Cet.2 Hadist No. 883.

Al-Fauzan, Saleh, Fiqih Sehari-hari, Jakarta, Gema Insani Press: 2005, Cet-1. Ad-Dimasyqi, Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman, Fiqih Empat

Madzhab, Bandung: Hasyimi, 2015.

Suaidi, Wawancara pada 13 Mei 2017

Anshori, Abdul Ghofur, Aspek Hukum Reksa Dana Syraiah di Indonesia

Bandung: Refika Adiama, 2008.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Penelitian Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Ash-Shiddieqi, TM. Habsi, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, Cet.I.

Azwar, Syarifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Az-Zuhaili, Wahbah: Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani. et al, Fiqih Islam

Wa Adillatuhhu 6, Jakarta: Gema Insani, 2011.

Basyir, Ahmad Azhar, Asas-asas Hukum Muamalat(Hukum Perdata Islam),

Yogyakarta: UII Press, 2000.

Bisri, Adib, Munawir AF, Kamus AL-BISRI, Surabaya: Pustaka Progressif: 1999, Cet Kel-1.

Bukhori, Shahih al-Bukhori, Beirut al-Yamamah: Dar ibnu Katsir: 1987, jil. 2. Burgin, Burhan, Metodologi Penelitian Sosial: Format-Format Kuantitatif &

Kualitatif, Surabaya: Airlangga University Press, 2001.

Darsono (rahin), Wawancara pada tanggal 16 Mei 2017

Djuwaini, Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Dusuki, Asyraf Wajdi, Sistem Keuangan Islam: Prinsip dan OperasiI, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2015.

Hadi, Muhammad Sholikhul, Pegadaian Syari’ah, Jakarta, Salemba Diniyah, 2000.


(5)

67

Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000. Imron (murtahin), Wawancara tanggal 14 Mei 2017

Jazil, Saiful, Fiqih Mu’amalah, Surabaya, UIN Sunan Ampel Press, 2014. Mardani, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta, RajaGrafindo Persada: 2015, cet-1. Lukman Muttaqin (rahin), Wawancara pada 15 Mei 2017

Mushaf Lafziyyah Al-Huda, Al-Qur’an Terjemah Perkata, Jakarta: Al-Huda, 2009.

Muslich, Ahmad Wardi, Fiqh Muamalat, Cet.II, Jakarta: Amzah, 2013. Nawawi, Ismail, Fiqh Mu’amalah, Surabaya, Putra Media Nusantara: 2010. Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Pasaribu, Choiruman, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: sinar Grafika, cet. 2, 1996.

Rusyd, Al-Faqih Abdul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad ibnu,

Bidayatul mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Syaid, Achmad Zaidun ,

Jakarta: Pustaka Imani, 2007, Cet. 3.

Sabiq, Sayyid, Kamaluddin A. Marzuki. et al, Fiqih Sunnah 12, Bandung, Alma’arif: 1988.

Sugiarto, Wawancara pada 11 Mei 2017.

Sholihuddin, Moh., Hukum Ekonomi dan Bisnis Islam II: Akad Tabarru’ dalam

hukum islam, Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,2014.

Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

Sumarsono, Sonny, Metode Riset Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004.

Tim Penyusun Fakultas Syari,ah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Penulisan Skripsi, Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.

Yanggo, Chuzaimah T., A. Hafiz Anshori, Problematika Hukum Islam

Kontemporer III, Jakarta: pustaka Firdaus, 1995.

Yazid, Muhammad, Hukum Ekonomi Islam (Fiqh Muamalah), Surabaya, UIN


(6)