PENGARUSUTAMAAN PENGADILAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA ABORSI TERKAIT DENGAN HAK ASASI MANUSIA.

(1)

i JURNAL

PENGARUSUTAMAAN PENGADILAN DALAM

PENYELESAIAN PERKARA ABORSI TERKAIT DENGAN

HAK ASASI MANUSIA

Diajukan oleh : ANDRES SOETANTO

NPM : 110510708

Program Studi : Ilmu Hukum

Program Kekhususan : Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Hukum ( PK 2 )

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA FAKULTAS HUKUM


(2)

(3)

1

PENGARUSUTAMAAN PENGADILAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA ABORSI TERKAIT DENGAN HAK ASASI MANUSIA

Andres Soetanto, Paulinus Soge Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta ABSTRACT

Essay / Legal Writing was created by Andres Soetanto ( 110510708 ), entitled " Mainstreaming The Courts in Settling Disputes Related to The Abortion of Human Rights ". Essay / writing of this law is under the guidance of Prof. Dr. Drs. Paulinus Soge, S.H., M.Hum as preceptor. The aim of the essay research / writing of this law is not to know mainstreaming the courts in settling disputes related to the abortion of human rights. Essay / These legal writing using normative legal research methods that put the law as a building system that was integrated with the principles norms, norms, rules of law until to the court decision. It is important to known that normative legal research methods used in the essay / legal writing is rooted in a court ruling in the case of abortion oriented and the results of interviews conducted openly with one of the judges in Sleman District Court. The results of essay research / writing of this law is the unfolding of prioritizing the court as the embodiment of the independence of judges in

deciding the case of abortion by using the Code – Penal, particularly in Article

346. On the other hand, it was revealed that the judge's decision also have to accommodate the sense of justice in society, especially in the review of human rights, which in critical thinking and constructive note that abortions are carried out as a justification for irrational reasons due to an extramarital affair, so that to become antinomy with the applicable rules of law and the rights of the fetus, therefore it is reasonable if the perpetrators brought to justice and punished under Article 346 of the Criminal Code that is alleged.

Keywords: Mainstreaming, Judge, Abortion, Human Rights.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengadilan yang mengalami pertumbuhan fluktuasi iklim dalam realisasi penanganan perkara menjadi nyata adanya dalam situasi dan kondisi


(4)

2

labil demokrasi seperti sekarang ini. Perimbangan yang tidak diletakan semestinya sesuai dengan proporsi kinerja Pengadilan tersebut dirasakan telah

menjadi batu sandungan yang berarti bagi keberadaan subyek – subyek

sengketa yang menjadi bagian kelam dari alur proses yang demikian. Hak Asasi Manusia sebagai perihal seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan

merupakan anugerah – Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan

dihormati oleh Negara, Hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia seakan hanya menjadi struktur parsial normatif yang hanya bermuara pada perkembangan final definitif.

Kewajiban dasar Pengadilan sebagai suatu perangkat yang harus dilakukan bagi terlaksananya dan tegaknya Hak Asasi Manusia menjadi ketentuan umum yang tidak dapat dipisahkan secara sepihak. Ungkapan persuasi yang bersifat konsideratif ini tentu sangat bertolak belakang dengan apa yang menjadi episentrum persoalan dalam tema yang saya ajukan. Fungsionalisasi kajian, penelitian, penyuluhan ataupun pemantauan berkaitan dengan sepak terjang Pengadilan yang terbentuk dengan semangat melawan, mengurangi, membatasi maupun mencabut perkara hukum hanya akan menjadi kelompok angan angan dalam perbendaharaan kata oleh karena futurisasi kesenjangan yang sangat degradatif dalam konkretisasinya.


(5)

3

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,

dirumuskan masalah : “ Bagaimanakah pengarusutamaan pengadilan dalam penyelesaian perkara aborsi terkait dengan hak asasi manusia ? “

PEMBAHASAN

A. Pengarusutamaan Pengadilan

1. Pengarusutamaan Pengadilan Dalam Kajian Teoritik

Hakim dan kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan – badan peradilan di bawahnya, sudah

barang tentu membutuhkan kebebasan dari pengaruh badan – badan

kenegaraan lainnya, oleh karena substansial urgensi dan fungsi yang ditunjukan badan peradilan itu sendiri dalam mentransformasikan tugasnya yang berorientasi pada keadilan. Menurut Oemar Seno Adji, kebebasan hakim dan lembaga peradilan dari campur tangan eksternal

merupakan aspek esensial bahkan unsur fundamental serta condition qua

non dalam negara hukum bagi Indonesia.1

Pengutamaan pengadilan tidak lain merupakan citra dari

pembentukan suatu kebebasan yang bisa disebut sebagai Independence

dalam realisasi teoritis menuju kepraktisan tugas peradilan. Hal ini tentu

tidak terlepas dari peranan pengamanatan Undang – Undang yang

berbunyi “ kebebasan dalam melaksanakan wewenang Judicieel“. Oemar

1


(6)

4

Seno Adji menyebutkan bahwa kebebasan tersebut bersifat fungsional dan terkadang dikatakan bersifat “ Zakelijk / Functional “.2

2. Implikasi Pengarusutamaan Pengadilan Terhadap Penegakan Hukum Pidana

a. Penegakan Hukum Pidana

Masalah klasik yang seringkali ditemui dalam persoalan

bangsa ini adalah “ penegakan hukum “ yang dari masa orde baru

sampai dengan sekarang selalu menemui kendala dalam

implementasi pada tataran praktisnya. Bergulirnya era reformasi seakan menimbulkan semangat baru bagi pemunculan supremasi hukum di negeri ini dalam artian adanya kesepakatan nasional untuk melihat kembali tumbuh kembangnya penegakan hukum yang seolah

– olah sempat terkubur lama pada masa orde baru. Intervensi dari

eksekutif yang selalu terjadi dalam masa orde baru kemudian akan dikikis dengan suatu perubahan menuju supremasi hukum dengan

menempatkan hukum di atas segala – galanya, mengendalikan

kekuasaan dan segala macam bentuk kepentingan – kepentingan baik

kepentingan golongan maupun kepentingan bersama.

Menurut Soerjono Soekanto, 3 secara konsepsional inti dan

arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan

hubungan nilai – nilai yang terjabarkan dalam kaidah – kaidah yang

mantap dan mengejawantah serta sikap tindak sebagai rangkaian

2

Ibid. hlm. 253. 3

Soerjono Soekanto, 1 3, “ Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum “, Rajawali, Jakarta, hlm. 2 – 3.


(7)

5

penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Sejalan dengan hal tersebut, apabila penegakan hukum dilihat sebagai suatu proses maka Soerjono Soekanto berpendapat bahwa pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian.

Mengacu pada pendapat lain, Satjipto Rahardjo berpendapat

bahwa, 4” Pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep –

konsep dan dengan demikian boleh digolongkan kepada sesuatu yang abstrak. Ke dalam kelompok yang abstrak ini termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Dengan demikian, implikasi dari perbincangan penegakan hukum akan

bermuara pada ide – ide serta konsep – konsep yang nota bene

adalah abstrak itu sehingga penegakan dapat dikatakan sebuah

perwujudan ide – ide yang pada prinsipnya merupakan penegakan

hukum “.

b. Implikasi Pengarusutamaan Pengadilan

Yang dimaksudkan dengan implikasi pengarusutamaan pengadilan adalah bagaimana dampak atau pengaruh yang ditimbulkan dari pengarusutamaan pengadilan tersebut terhadap proses penegakan hukum. Merupakan suatu kewajaran bahwa

4

Satjipto Rahardjo, “ Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis “, Sinar Baru, Bandung, hlm. 15.


(8)

6

pengadilan mempunyai prioritas terhadap penegakan hukum pada semua tingkatan pemeriksaan, baik pada tingkat pemeriksaan pendahuluan, pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, terlebih pada tingkat pelaksanaan putusan. Proses peradilan yang dijalani akan penuh tanggung jawab dan berjalan secara obyektif hanya apabila pengadilan bebas dari campur tangan dan intervensi pihak manapun. Sebaliknya, tidak akan mempunyai arti yuridis bilamana lembaga peradilan ditundukan oleh kekuasaan.

B. Penyelesaian Perkara Aborsi Terkait Dengan Hak Asasi Manusia 1. Perkara Aborsi

Tentu perihal aborsi ( pengguguran kandungan secara sengaja ) bukan merupakan suatu informasi baru bagi masyarakat khususnya remaja dalam era pelesatan teknologi seperti sekarang ini. Degradasi budaya kesusilaan yang terus merosot dalam tumbuh kembangnya dinilai sebagai urgensi utama yang mengkhususkan substansi aborsi tersebut

dapat terjadi. Hilangnya nilai – nilai dan falsafah ketimuran yang

tercermin dalam maraknya tindakan asusila ilegal di luar perkawinan

yang sah seolah – olah bukan lagi menjadi hal yang tabuh dan sekiranya

menjadi suatu ajaran baru yang berkembang di masyarakat kita dewasa ini. Tercederainya moralitas masyarakat khususnya kaum remaja kiranya menarik untuk diperbincangkan dalam porsi yang lebih komprehensif demi usaha tercapainya pengertian mengenai arti penting resiko yang dapat ditimbulkan dari perilaku menyimpang yang demikian.


(9)

7

Berdasarkan tinjauan medis sendiri, aborsi didefinisikan sebagai keluarnya hasil konsepsi ( pembuahan ) sebelum usia kehamilan 20 minggu ( 5 bulan ) dengan berat mudigah kurang dari 500 gram. Mudigah yang dikeluarkan dari kandungan sebelum usia kehamilan 20 minggu tidak punya harapan hidup. Sedangkan keluarnya hasil konsepsi ( pembuahan ) setelah usia kehamilan 20 minggu dapat dikatakan sebagai persalinan mengingat janin yang dikeluarkan sudah mempunyai harapan hidup walaupun amat tipis. Hanya tentu dapat dibedakan antara Abortus yang terjadi dengan sendirinya dan Abortus yang terjadi karena campur

tangan ( provokasi ) oleh manusia.5

Secara umum, Soerjono Soekanto mengemukakan beberapa istilah untuk menyebut keluarnya hasil konsepsi / pembuahan sebelum

usia kehamilan 20 minggu yang disebut aborsi atau abortion,

diantaranya:

a. Abortion Criminalis, yaitu pengguguran kandungan secara

bertentangan dengan hukum.

b. Abortion Eugenic, yaitu pengguguran kandungan untuk

mendapatkan keturunan yang baik.

c. Abortion Induced / Abortion Provoked / Abortus Provocatus, yaitu

pengguguran kandungan yang disengaja.

d. Abortion Natural, yaitu pengguguran kandungan secara alamaiah.

5


(10)

8

e. Abortion Spontaneous, yaitu pengguguran kandungan secara tidak

sengaja.

f. Abortion Therapeutic, yaitu pengguguran kandungan dengan

tujuan untuk menjaga kesehatan sang ibu. 2. Hak Asasi Manusia

Sebelum melangkah lebih jauh, penting kiranya bagi kita untuk mengetahui terlebih dahulu konsepsi aktual mengenai hak asasi manusia yang akan ditinjau dari sudut definitif dalam upaya penyeragaman konstruksi pemikiran agar tidak berujung dengan distorsi yang bermuara

pada dualisme penafsiran ( multi interpretable ). Berbagai literatur telah

banyak menginformasikan dan menjabarkan mengenai apa itu hak asasi manusia sebagai langkah awal dalam memahami hak asasi manusia itu sendiri. Mengerucut dari berbagai pandangan tersebut perlu kiranya untuk mengambil beberapa contoh yang merinci mengenai pengertian

dari hak asasi manusia, diantaranya:6

a. BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat ( 1 ) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 ), mendefinisikan hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang

Maha Esa dan merupakan anugerah – Nya yang wajib dihormati,

dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan

6

ST. Harum Pudjiarto, 2013, Penjelasan mengenai Hak Asasi Manusia di Universitas Atma Jaya Yogyakarta Fakultas Hukum, Yogyakarta.


(11)

9

pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

C. Analisis putusan Hakim Pengadilan Negeri Sleman mengenai perkara aborsi dalam kaitannya dengan Hak Asasi Manusia

Putusan Nomor 240 / Pid. B / 2005 / PN. Slmn adalah benar merupakan perkara Aborsi. Pencerminan dari putusan ini pada hakikatnya berhubungan dengan BAB XIX Tentang Kejahatan Terhadap Nyawa

khususnya Pasal 346 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana dengan

penekanan pada seorang wanita yang secara sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu dengan pengancaman pidana penjara paling lama empat tahun.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dan analisis di depan, maka sebagai jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : pengarusutamaan pengadilan dalam penyelesaian perkara aborsi terkait dengan hak asasi manusia diwujudkan dalam kemandirian hakim memutus perkara aborsi yang diteliti dengan menggunakan Pasal 346 KUHP berupa pidana penjara selama 1 ( satu ) tahun dalam masa percobaan selama 2 ( dua ) tahun. Putusan ini memenuhi rasa keadilan masyarakat khususnya dari segi hak asasi manusia, dimana dalam pemikiran kritis dan konstruktif diketahui bahwa aborsi dilakukan sebagai pembenaran atas alasan irrasional akibat hubungan di luar nikah sehingga sangat bertentangan dengan kaidah hukum yang berlaku dan hak asasi janin, oleh karena itu wajar jikalau


(12)

10

pelaku diadili dan dihukum berdasarkan Pasal 346 KUHP yang dituduhkan kepadanya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku – Buku

Alexandra Indriyanti Dewi, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan

, Cetakan I, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta.

Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan

dan Penegakan Hukum Pidana, Cetakan I, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2012, Kamus Besar Bahasa

Indonesia ( KBBI ), Cetakan IV, PT. Gramedia Pustaka

Umum, Jakarta.

Dirdjosisworo Soedjono, 2002, Pengadilan Hak Asasi Manusia

Indonesia, Cetakan I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Effendi Mashyur, 1993, Hak Asasi Manusia Dalam Hukum

Internasional Nasional, Cetakan II, Ghalia Indonesia,

Bandung.

G. Widiartana., ST. Harum Pudjiarto., dan Suryono Ekotomo, 2000,

Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Cetakan I, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.

Hendrik, 2012, Etika dan Hukum Kesehatan, Cetakan II, Buku

Kedokteran EGC, Jakarta.

Marbun Rocky, 2013, Kamus Hukum Lengkap, Cetakan I, PT. Visi

Media, Jakarta.

Muhammad Rusli, 2010, Kemandirian Pengadilan Indonesia, Cetakan

I, FH UII Press, Yogyakarta.

Notoatmodjo Soekidjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Cetakan I,

PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Poernomo Bambang, 1988, Pola Dasar Teori dan Azas HukumAcara


(13)

11

Soerdjono Soekanto, 1983, Faktor Faktor yang Mempengaruhi

Penegakan Hukum, Cetakan I, Rajawali, Jakarta.

Verbogt dan Tengker, 1989, Bab Bab Hukum Kesehatan, Cetakan I,

Nova, Bandung.

Wiyono. R, 2006, Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia,

Cetakan I, Prenada Media Group, Jakarta.

2. Artikel dari Surat Kabar

Indriyanto Seno Adji. Tahun 2002 Pengadilan HAM Ad Hoc yang Obyektif. Kompas. 2 Februari. Jakarta

Mudzakir. Tahun 2002 Fair Trial dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kompas. 20 Maret. Jakarta

Sunaryo Suryokusumo. Tahun 2002 Pengadilan Ad Hoc Bagi Pelanggar Hak Asasi Manusia ( HAM ) di Timtim. Suara Pembaharuan. 7 Maret. Jakarta

Tb. Ronny Rahman Nitibaskara. Tahun 2002 Pengadilan HAM dan Masyarakat Internasional. Kompas. 20 Februari. Jakarta

3. Peraturan Perundang – Undangan

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Amandemen ke – 4

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( Wetboek Van Strafrecht )

Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999

Tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999, Nomor 165.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi. Lembaran Negara


(1)

6

pengadilan mempunyai prioritas terhadap penegakan hukum pada semua tingkatan pemeriksaan, baik pada tingkat pemeriksaan pendahuluan, pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, terlebih pada tingkat pelaksanaan putusan. Proses peradilan yang dijalani akan penuh tanggung jawab dan berjalan secara obyektif hanya apabila pengadilan bebas dari campur tangan dan intervensi pihak manapun. Sebaliknya, tidak akan mempunyai arti yuridis bilamana lembaga peradilan ditundukan oleh kekuasaan.

B. Penyelesaian Perkara Aborsi Terkait Dengan Hak Asasi Manusia 1. Perkara Aborsi

Tentu perihal aborsi ( pengguguran kandungan secara sengaja ) bukan merupakan suatu informasi baru bagi masyarakat khususnya remaja dalam era pelesatan teknologi seperti sekarang ini. Degradasi budaya kesusilaan yang terus merosot dalam tumbuh kembangnya dinilai sebagai urgensi utama yang mengkhususkan substansi aborsi tersebut dapat terjadi. Hilangnya nilai – nilai dan falsafah ketimuran yang tercermin dalam maraknya tindakan asusila ilegal di luar perkawinan yang sah seolah – olah bukan lagi menjadi hal yang tabuh dan sekiranya menjadi suatu ajaran baru yang berkembang di masyarakat kita dewasa ini. Tercederainya moralitas masyarakat khususnya kaum remaja kiranya menarik untuk diperbincangkan dalam porsi yang lebih komprehensif demi usaha tercapainya pengertian mengenai arti penting resiko yang dapat ditimbulkan dari perilaku menyimpang yang demikian.


(2)

7

Berdasarkan tinjauan medis sendiri, aborsi didefinisikan sebagai keluarnya hasil konsepsi ( pembuahan ) sebelum usia kehamilan 20 minggu ( 5 bulan ) dengan berat mudigah kurang dari 500 gram. Mudigah yang dikeluarkan dari kandungan sebelum usia kehamilan 20 minggu tidak punya harapan hidup. Sedangkan keluarnya hasil konsepsi ( pembuahan ) setelah usia kehamilan 20 minggu dapat dikatakan sebagai persalinan mengingat janin yang dikeluarkan sudah mempunyai harapan hidup walaupun amat tipis. Hanya tentu dapat dibedakan antara Abortus yang terjadi dengan sendirinya dan Abortus yang terjadi karena campur tangan ( provokasi ) oleh manusia.5

Secara umum, Soerjono Soekanto mengemukakan beberapa istilah untuk menyebut keluarnya hasil konsepsi / pembuahan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang disebut aborsi atau abortion, diantaranya:

a. Abortion Criminalis, yaitu pengguguran kandungan secara

bertentangan dengan hukum.

b. Abortion Eugenic, yaitu pengguguran kandungan untuk

mendapatkan keturunan yang baik.

c. Abortion Induced / Abortion Provoked / Abortus Provocatus, yaitu pengguguran kandungan yang disengaja.

d. Abortion Natural, yaitu pengguguran kandungan secara alamaiah.

5


(3)

8

e. Abortion Spontaneous, yaitu pengguguran kandungan secara tidak sengaja.

f. Abortion Therapeutic, yaitu pengguguran kandungan dengan

tujuan untuk menjaga kesehatan sang ibu. 2. Hak Asasi Manusia

Sebelum melangkah lebih jauh, penting kiranya bagi kita untuk mengetahui terlebih dahulu konsepsi aktual mengenai hak asasi manusia yang akan ditinjau dari sudut definitif dalam upaya penyeragaman konstruksi pemikiran agar tidak berujung dengan distorsi yang bermuara pada dualisme penafsiran ( multi interpretable ). Berbagai literatur telah banyak menginformasikan dan menjabarkan mengenai apa itu hak asasi manusia sebagai langkah awal dalam memahami hak asasi manusia itu sendiri. Mengerucut dari berbagai pandangan tersebut perlu kiranya untuk mengambil beberapa contoh yang merinci mengenai pengertian dari hak asasi manusia, diantaranya:6

a. BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat ( 1 ) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 ), mendefinisikan hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah – Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan

6

ST. Harum Pudjiarto, 2013, Penjelasan mengenai Hak Asasi Manusia di Universitas Atma Jaya Yogyakarta Fakultas Hukum, Yogyakarta.


(4)

9

pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

C. Analisis putusan Hakim Pengadilan Negeri Sleman mengenai perkara aborsi dalam kaitannya dengan Hak Asasi Manusia

Putusan Nomor 240 / Pid. B / 2005 / PN. Slmn adalah benar merupakan perkara Aborsi. Pencerminan dari putusan ini pada hakikatnya berhubungan dengan BAB XIX Tentang Kejahatan Terhadap Nyawa khususnya Pasal 346 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana dengan penekanan pada seorang wanita yang secara sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu dengan pengancaman pidana penjara paling lama empat tahun.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dan analisis di depan, maka sebagai jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : pengarusutamaan pengadilan dalam penyelesaian perkara aborsi terkait dengan hak asasi manusia diwujudkan dalam kemandirian hakim memutus perkara aborsi yang diteliti dengan menggunakan Pasal 346 KUHP berupa pidana penjara selama 1 ( satu ) tahun dalam masa percobaan selama 2 ( dua ) tahun. Putusan ini memenuhi rasa keadilan masyarakat khususnya dari segi hak asasi manusia, dimana dalam pemikiran kritis dan konstruktif diketahui bahwa aborsi dilakukan sebagai pembenaran atas alasan irrasional akibat hubungan di luar nikah sehingga sangat bertentangan dengan kaidah hukum yang berlaku dan hak asasi janin, oleh karena itu wajar jikalau


(5)

10

pelaku diadili dan dihukum berdasarkan Pasal 346 KUHP yang dituduhkan kepadanya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku – Buku

Alexandra Indriyanti Dewi, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan , Cetakan I, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta.

Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Penegakan Hukum Pidana, Cetakan I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ), Cetakan IV, PT. Gramedia Pustaka

Umum, Jakarta.

Dirdjosisworo Soedjono, 2002, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, Cetakan I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Effendi Mashyur, 1993, Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional – Nasional, Cetakan II, Ghalia Indonesia, Bandung.

G. Widiartana., ST. Harum Pudjiarto., dan Suryono Ekotomo, 2000, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Cetakan I, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.

Hendrik, 2012, Etika dan Hukum Kesehatan, Cetakan II, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Marbun Rocky, 2013, Kamus Hukum Lengkap, Cetakan I, PT. Visi Media, Jakarta.

Muhammad Rusli, 2010, Kemandirian Pengadilan Indonesia, Cetakan I, FH UII Press, Yogyakarta.

Notoatmodjo Soekidjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Cetakan I, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Poernomo Bambang, 1988, Pola Dasar Teori dan Azas Hukum Acara Pidana, Cetakan I, Liberty, Yogyakarta.


(6)

11

Soerdjono Soekanto, 1983, Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cetakan I, Rajawali, Jakarta.

Verbogt dan Tengker, 1989, Bab – Bab Hukum Kesehatan, Cetakan I, Nova, Bandung.

Wiyono. R, 2006, Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Cetakan I, Prenada Media Group, Jakarta.

2. Artikel dari Surat Kabar

Indriyanto Seno Adji. Tahun 2002 Pengadilan HAM Ad Hoc yang Obyektif. Kompas. 2 Februari. Jakarta

Mudzakir. Tahun 2002 Fair Trial dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kompas. 20 Maret. Jakarta

Sunaryo Suryokusumo. Tahun 2002 Pengadilan Ad Hoc Bagi Pelanggar Hak Asasi Manusia ( HAM ) di Timtim. Suara Pembaharuan. 7 Maret. Jakarta

Tb. Ronny Rahman Nitibaskara. Tahun 2002 Pengadilan HAM dan Masyarakat Internasional. Kompas. 20 Februari. Jakarta 3. Peraturan Perundang – Undangan

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke – 4

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( Wetboek Van Strafrecht ) Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999, Nomor 165.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi. Lembaran Negara