Estimasi Ketinggian Planetary Boundary Layer Indonesia Menggunakan Data Ecmwf Interim Reanalysis

ESTIMASI KETINGGIAN PLANETARY BOUNDARY
LAYER INDONESIA MENGGUNAKAN DATA ECMWF
INTERIM REANALYSIS

VIVI FITRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Estimasi Ketinggian
Planetary Boundary Layer Indonesia Menggunakan Data ECMWF Interim
Reanalysis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Vivi Fitriani
NIM G251140021

RINGKASAN
VIVI FITRIANI. Estimasi Ketinggian Planetary Boundary Layer Indonesia
Menggunakan Data ECMWF Interim Reanalysis. Dibimbing oleh AHMAD BEY
dan TANIA JUNE.
Planetary Boundary Layer (PBL) merupakan lapisan terendah dari troposfer
yang mendapat pengaruh secara langsung dari permukaan bumi, lapisan ini
memiliki peranan penting dalam iklim, cuaca dan kualitas udara. Struktur PBL
yang sangat kompleks dan berubah-ubah terhadap waktu menyebabkan PBL
sangat sukar untuk diobservasi dari luar angkasa. Salah satu parameter yang
paling relevan dan fundamental untuk diselidiki adalah ketinggian PBL.
Ketinggian PBL dapat diestimasi melalui analisis profil vertikal atmosfer, seperti
profil vertikal suhu, turbulensi dan komposisi atmosfer.
Dalam penelitian ini ketinggian PBL di Indonesia diestimasi menggunakan
tujuh metode gradien berdasarkan profil vertikal kelembaban relatif (RH), suhu
virtual (Tv), suhu potensial (ϴ), suhu potensial virtual (ϴv), kelembaban spesifik

(q), indeks refraktivitas atmosfer (N), dan kecepatan angin (V), yang diperoleh
dari data ECMWF Interim Reanalysis selama enam bulan di wilayah 10oLU–
10oLS, 90oBT –150oBT dengan resolusi spasial 2,5o x 2,5o. Hasil analisis
menunjukkan bahwa beberapa metode menghasilkan ketinggian yang hampir
sama untuk tempat dan waktu tertentu seperti pada wilayah 2,5oLU 92,5oBT dan
5oLS 140oBT. Metode gradien q dan N konsisten lebih rendah sedangkan metode
gradien ϴv konsisten lebih tinggi bila dibandingkan dengan metode gradien
lainnya. Untuk menguji ketahanan dan ketidakpastian parametrik dan struktural
dari hasil estimasi ketinggian PBL di Indonesia menggunakan tujuh metode
gradien, lima uji statisistik digunakan yaitu uji Student’s t, uji F, uji korelasi linear
Pearson, uji korelasi Spearman Rank, dan uji Kolmogorov Smirnov. Ditemukan
bahwa terdapat hubungan korelasi yang signifikan antar ketujuh metode gradien
yang dibandingkan, serta terdapat pula perbedaan yang signifikan secara statistik
antar ketujuh metode gradien. Rata-rata perbedaan ketinggian PBL ratusan hingga
ribuan meter menunjukkan bahwa estimasi ketinggian PBL di Indonesia memiliki
ketidakpastian struktural.
Hasil uji statistik menunjukkan pula bahwa metode gradien RH merupakan
metode yang baik untuk mengestimasi ketinggian PBL di Indonesia. Estimasi
ketinggian PBL dibagi berdasarkan variasi bulanan dan variasi diurnal.
Ditemukan bahwa terdapat variasi bulanan dan harian yang tinggi di wilayah

daratan bila dibandingkan dengan wilayah lautan yang relatif lebih konstan.
Ketinggian PBL di Indonesia menggunakan metode gradien RH sekitar 2100 m –
4324 m selama siang hari dan pada malam hari ketinggian PBL berada di bawah
2900 m. Di atas lautan, PBL pada saat siang hari ditemukan pada ketinggian 1100
m – 2100 m dan relatif konstan pada malam dan dini hari.
Kata kunci: ECMWF Interim Reanalysis, metode gradien, planetary boundary
layer

SUMMARY
VIVI FITRIANI. Estimation of Planetary Boundary Layer Heights Over
Indonesia Using ECMWF Interim Reanalysis Data. Supervised by AHMAD BEY
and TANIA JUNE.
Planetary Boundary Layer (PBL) is the lowest layer of the troposphere,
directly influenced by Earth's surface and play a major role on climate, weather,
and air quality. Due to its complexity and variation over time, PBL become more
difficult to observe from space. One of the parameters that are most relevant and
fundamental to be investigated is the height of PBL. PBL heights may be
estimated from vertical profiles of the atmosphere, such as vertical profiles of
temperature, turbulence and atmospheric composition.
PBL heights in Indonesia are estimated using seven gradient-based methods

of relative humidity (RH), virtual temperature (Tv), potential temperature (Ɵ),
potential virtual temperature (Ɵv), specific humidity (q), atmospheric refractivity
(N) and wind speed (V), which are derived from ECMWF Interim Reanalysis data
for six months at 10oN–10oS, 90oW –150oE with a spatial resolution of 2.5o x 2.5o.
The estimation results indicate that some of the methods showed identical results
for a given place and time, for example in the region of 2.5oN 92.5oE and 5oS
140oE. q and N gradient methods are consistently lower while the gradient
method ϴv is consistently higher than all of the gradient methods used. Student's t
test, F test, Pearson linear correlation test, Spearman Rank correlation test, and
Kolmogorov-Smirnov test are used to test the robustness and parametric structure
of uncertainties of the seven gradient methods. It was found that there are
significant correlations and differences between the seven gradient methods. The
average differences PBL heights ranging from hundreds to thousands of meters
indicate that the estimated PBL heights have the structure of uncertainty.
Statistical test results also show that the RH gradient method is a method
that is good enough to estimate the height of PBL in Indonesia. Estimated height
of PBL divided by the monthly variation and diurnal variation. High monthly and
daily variations are generally found in the entire land, whereas ocean regions are
relatively constant. PBL heights in Indonesia using gradient method of RH is
about 2100 m – 4324 m at local noon and at night were at below 2900 m. Over

the oceans, PBL heights during the day are found at 1100 m to 2100 m and
relatively constant for the rest of the day.
Keywords: ECMWF interim reanalysis, gradient method, planetary boundary
layer height,

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ESTIMASI KETINGGIAN PLANETARY BOUNDARY
LAYER INDONESIA MENGGUNAKAN DATA ECMWF
INTERIM REANALYSIS

VIVI FITRIANI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Klimatologi Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Rahmat Hidayat, M.Sc

Judul Tesis : Estimasi Ketinggian Planetary Boundary Layer Indonesia
Menggunakan Data ECMWF Interim Reanalysis
Nama
: Vivi Fitriani
NIM
: G251140021


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey
Ketua

Dr. Ir. Tania June, M.Sc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Klimatologi Terapan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Impron, M.Sc

Dr Ir Dahrul Syah, MSc. Agr


Tanggal Ujian: 18 Agustus 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul
Estimasi Ketinggian Planetary Boundary Layer Indonesia Menggunakan Data
ECMWF Interim Reanalysis. Serta shalawat dan salam kepada Rasulullah saw,
keluarganya yang mulia dan sahabat – sahabat terpilih Beliau.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey selaku
ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Tania June, M.Sc selaku anggota komisi
pembimbing yang telah memberikan saran dan motivasi dalam pelaksanaan
penelitian hingga dalam penyelesaian penulisan karya ilmiah ini.
Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Givo Alsepan yang banyak
membantu dalam proses pengumpulan data, serta kepada La Gandri yang sangat
membantu dalam proses pengolahan data. Ungkapan terima kasih khususnya
disampaikan kepada Bapak, Ibu, Kakak, dan Adik tercinta, serta seluruh keluarga
dan teman-teman atas doa, dukungan dan kasih sayangnya.

Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberi manfaat bagi yang
membutuhkan.
Bogor, Agustus 2016
Vivi Fitriani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
4
4

2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Prosedur Analisis Data
Estimasi Ketinggian PBL
Stabilitas Atmosfer
Tes Statistik dan Estimasi Ketidakpastian

5

5
5
5
5
5
8
10

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Perbedaan Sistematis antar Metode
Analisis Stabilitas Atmosfer
Pola Bulanan dan Harian
Distribusi Estimasi Ketinggian PBL

11
11
13
19
25

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

29
29
29

DAFTAR PUSTAKA

30

LAMPIRAN

32

RIWAYAT HIDUP

43

DAFTAR TABEL
1
2
3

Metode untuk mengestimasi ketinggian PBL
Hasil perbandingan tujuh metode gradien menggunakan uji statistik
untuk estimasi ketiggian PBL
Metode estimasi ketinggian PBL dan persentase kasus bulanan dan
harian.

6
18
19

DAFTAR GAMBAR
1 Lokasi Penelitian wilayah Indonesia 10oLU–10oLS, 90oBT–150oBT
dengan resolusi spasial 2,5o x 2,5o sebanyak 225 titik.
2 Estimasi ketinggian PBL menggunakan tujuh metode gradien pada
2,5oLU 92,5oBT untuk (a) 0700 WIB 13 Februari 2015 dan (b) 1300
WIB 13 Februari 2015. Pada 5oLS 140oBT (c) 0900 WIT 30 Juni 2015
dan (d) 1500 WIT 30 Juni 2015. Profil vertikal berupa kelembaban
relatif (RH), suhu virtual (Tv), suhu potensial (ϴ), suhu potensial
virtual (ϴv), kelembaban spesifik (q), indeks refraktivitas atmosfer (N),
dan kecepatan angin (V). Estimasi ketinggian PBL ditunjukkan oleh
garis putus-putus.
3 Profil vertikal Bulk-Richardson number (RiB) pada 2,5oLU 92,5oBT
untuk (a) 0700 WIB 13 Februari 2015 dan (b) 1300 WIB 13 Februari
2015. Pada 5oLS 140oBT (c) 0900 WIT 30 Juni 2015 dan (d) 1500 WIT
30 Juni 2015
4 Nilai rata-rata dari median ketinggian PBL Indonesia selama enam
bulan di estimasi menggunakan tujuh metode gradien. Hasil estimasi
berdasarkan waktu analisis berbeda yaitu 0700 WIB, 1300 WIB, 1900
WIB, dan 0100 WIB
5 Perbandingan spasial rata-rata median ketinggian PBL ketujuh metode
gradien di wilayah Indonesia.
6 Nilai kuartil bulanan dan tahunan ketinggian PBL wilayah 5oLS
140oBT, berdasarkan data Januari-Juni 2015. Untuk setiap metode, nilai
kuartil ke-25, ke-50, dan ke-75 ditampilkan berdasarkan waktu analisis
1500 WIT (atas) dan 2100 WIT (bawah)
7 Sama seperti pada Gambar 6 dengan wilayah 2,5oLS 135oBT untuk
waktu 0900 WIT (atas) dan 1500 WIT (bawah).
8 Sama seperti pada Gambar 7 dengan wilayah 2,5oLS 135oBT untuk
waktu 0900 WIT (atas) dan 1500 WIT (bawah).
9 Sama seperti pada Gambar 8 dengan wilayah 7,5oLS 110oBT untuk
waktu 0700 WIB (atas) dan 1900 WIB (bawah).
10 Median ketinggian PBL harian selama enam bulan menggunakan
metode RH
11 Rata-rata median ketinggian PBL bulanan menggunaan metode RH

4

12

13

15
16

21
22
23
24
26
27

DAFTAR LAMPIRAN
1 Nilai profil vertikal atmosfer wilayah 2,5oLU 92,5oBT pukul 0700 WIB
Tanggal 13 Februari 2015
2 Nilai profil vertikal atmosfer wilayah 2,5oLU 92,5oBT pukul 1300 WIB
Tanggal 13 Februari 2015
3 Nilai profil vertikal atmosfer wilayah 5oLS 140o BT pukul 0900 WIT
WIB Tanggal 30 Juni 2015
4 Nilai profil vertikal atmosfer wilayah 5oLS 140o BT pukul 1500 WIT
WIB Tanggal 30 Juni 2015
5 Tabel Persamaan Regresi Linear antar Data ECMWF dan NOAA pada
wilayah 2,5oLU 92,5oBT dan 5oLS 140oBT
6 Richardson Number pada wilayah 2,5oLU 92,5oBT pukul 0700 WIB
7 Richardson Number pada wilayah 2,5oLU 92,5oBT pukul 1300 WIB
8 Richardson Number pada wilayah 5oLS 140o BT pukul 0900 WIB
9 Richardson Number pada wilayah 5oLS 140oBT pukul 1500 WIB
10 Contoh script untuk memplot median ketinggian PBL harian selama
enam bulan menggunakan menggunakan metode gradien RH menjadi
peta spasial menggunakan NCL

32
33
34
35
36
37
38
39
40

41

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Atmospheric Boundary Layer (ABL) atau yang juga sering dikenal sebagai
Planetary Boundary Layer (PBL) merupakan bagian dari troposfer yang mendapat
pengaruh secara langsung dari permukaan bumi dengan rentang waktu respon
sekitar satu jam atau kurang (Liu & Liang 2010). Menurut Von Engeln & Teixeira
(2013), ABL memiliki pengaruh sangat besar terhadap proses fisika di atmosfer
dan juga sistem iklim secara keseluruhan. Seperti halnya proses awan, fluks panas
daratan dan lautan, serta siklus hidrologi atmosfer sangat kuat dipengaruhi oleh
lapisan batas ini.
ABL yang merupakan bagian paling bawah dari atmosfer memiliki
peranan penting dalam iklim, cuaca dan kualitas udara. Proses yang berlangsung
di ABL mengontrol pertukaran momentum, air dan sisa dari proses kimia antara
permukaan bumi dan troposfer bebas, dan proses ini sering kali dijadikan sebagai
parameter dalam model-model atmosferik (Liu & Liang 2010; Seidel et al. 2010).
ABL sangat sulit untuk diobservasi dari luar angkasa, sehingga tidak mudah
mengidentifikasi karakteristiknya dalam skala global, selain itu struktur dari ABL
sangat kompleks dan berubah-ubah.
Salah satu parameter ABL yang paling relevan dan fundamental untuk
diselidiki adalah ketinggiannya (Von Engeln & Teixeira 2013). Parameter ini
menentukan proses- proses penting di troposfer seperti distribusi aerosol, aktivitas
konvektif, serta formasi awan dan kabut. Ketinggian ABL merupakan kunci dari
model cuaca, iklim dan kualitas udara dalam menentukan pencampuran turbulensi,
difusi vertikal, perpindahan secara konvektif, proses sedimentasi aerosol dan
deposisi polutan di atmosfer (Liu & Liang 2010). Ketinggian ABL sulit diukur
secara langsung dengan pengukuran meteorologi standar, sehingga perlu
diestimasi melalui analisis dari profil vertikal suhu, turbulensi, atau komposisi
atmosfer (Coen et al. 2014; Luo et al. 2014).
Ketinggian ABL bervariasi terhadap waktu (pagi, siang, sore, dan malam
hari) dan tempat (lintang tinggi, lintang sedang, lintang rendah, daratan, dan
lautan) (Arya, 1999). Variabilitas dari ketinggian ABL didominasi oleh siklus
diurnal yang sangat kuat, biasanya rendah pada malam hari, ketika permukaan
menjadi lebih stabil karena pendinginan dari radiasi inframerah, kemudian akan
bertambah tinggi dengan cepat hingga mencapai beberapa kilometer pada siang
hari ketika pemanasan matahari menyebabkan kondisi yang tidak stabil (Liu &
Liang 2010).
Informasi tentang ketinggian ABL sangat penting karena sering digunakan
sebagai parameter untuk model prediksi iklim dan cuaca, begitu pula informasi
untuk bidang pencemaran udara dan penerbangan, proses yang mengendalikan
ketinggian ABL dapat menjelaskan banyak problem cuaca, iklim dan polusi udara.
Pengukuran puncak ABL pada in situ bukanlah usaha yang mudah, sehingga
observasi dari kedalaman ABL sangat jarang dilakukan (McGrath-Spangler &
Denning 2013) dan tidak ada observasi mengenai klimatologi global dari ABL
(Seidel et al. 2010).

2
Banyak penelitian yang berhasil mengidentifikasi ketinggian ABL
menggunakan data observasi seperti data radiosonde, GPS Occultation, data dari
remote sensing atau data reanaliasis. Seidel et al (2010) mengestimasi klimatologi
global ketinggian ABL menggunakan data radiosonde dengan metode berbasis
gradien yang diturunkan dari profil vertikal suhu dan kelembaban atmosfer. Data
radiosonde diambil dari 505 stasiun di seluruh dunia, ditemukan bahwa enam
metode gradien yang dibandingkan memberikan hasil estimasi yang berbeda
beberapa ratus meter. Wang & Wang (2014) melakukan penelitian yang mirip
menggunakan data observasi radiosonde untuk mengestimasi ketinggian mixing
layer (h) di atmosfer menggunakan data dari 79 stasiun di Amerika Utara selama
periode 1998 – 2008. Hasil estimasi yang dilakukan menggunakan empat metode
berbasis gradien, salah satunya yaitu metode gradien indeks refraktivitas (N),
menunjukkan kecocokan yang baik dengan observasi LIDAR, yang
memghasilkan estimasi klimatologi h di wilayah Amerika Utara 1675 ± 303 m.
Basha & Ratman (2009) menggunakan resolusi tinggi radiosonde profil
refraktivitas untuk mengidentifikasi ketinggian ABL di stasiun wilayah tropis
(13,5oN, 79,2oE) yang kemudian dibandingkan dengan pengukuran menggunakan
Global Positioning System (GPS) Radio Occultation ((RO). Dari observasi jangka
panjang 2,5 tahun atas resolusi vertikal radiosonde diperoleh korelasi yang sangat
baik, mengindikasikan bahwa N juga dapat digunakan untuk mendeteksi
ketinggian ABL. Ketinggian ABL yang dihasilkan melalui pengukuran
independen N dari radiosonde resolusi tinggi dan GPS RO, menunjukkan
hubungan korelasi yang baik antara keduanya. Ketinggian ABL ditemukan lebih
tinggi selama periode premonsoon, diikuti oleh monsoon dan postmonsoon, serta
nilai minimum pada kondisi musim dingin. Radiosonde juga digunakan untuk
melihat variasi diurnal yang dikumpulkan selama waktu berbeda tiap harinya
untuk musim tertentu dan menunjukkan terjadinya variasi diurnal yang sangat
kuat.
Terdapat beberapa penelitian tentang karakteristik ABL dari luar angkasa
menggunakan instrument remote sensing, seperti yang dilakukan oleh Coen et al
(2014), menggunakan pengukuran remote sensing dan in situ dalam menentukan
klimatologi ketinggian ABL di dataran tinggi Swiss. Penelitian ini menggunakan
beberapa instrument remote sensing seperti profil angin, Raman LIDAR dan
Radiometer Microwave, serta beberapa algoritma seperti metode parsel dan bulk
Richardson number, inversi suhu permukaan, analisis gradien aerosol atau
kelembaban, yang dikembangkan dan diuji selama satu tahun pengukuran,
kemudian metode tersebut divalidasi menggunakan pengukuran radiosonde.
Radiometer microwave menunjukkan ketinggian convective boundary layer yang
cocok dengan ketinggian radio sounding dengan bias median < 25 m dan R2 >
0,70, dan memungkinkan analisis dari variasi harian ABL dengan resolusi
temporal yang tinggi.
Global klimatologi ketinggian ABL dapat diperoleh dari data reanalisis,
yang merupakan kombinasi dari data observasi dan data model, dapat digunakan
untuk mengevaluasi cuaca dan model prediksi iklim. Salah satu data reanalisis
adalah reanalisis jangka panjang berjalan [seperti 40-yr ECMWF Reanalysis
(ERA-40) atau ECMWF Interim Reanalysis (ERA-Interim)] yang dalam beberapa
hal masih merupakan sumber terbaik informasi iklim global untuk banyak
variabel. Sistem reanalisis mengasimilasi berbagai pengukuran mulai dari in situ

3
dengan instrumen berbasis ruang menjadi model prediksi cuaca (Von Engeln &
Teixeira 2013). Von Engeln & Teixeira (2013) menggunakan data renalisis dari
ECMWF Reanalysis Era-Interim untuk mengestimasi klimatologi ketinggian
ABL yang selanjutnya dihitung dan dianalisis dengan menggunakan beberapa
metode gradien dari profil vertikal atmosfer. Metode ini dibandingkan untuk
memperoleh ketinggian ABL dari suhu atmosfer, tekanan, dan kelembaban relatif
(RH). Tiga metode berdasarkan gradien vertikal RH, suhu virtual dan suhu
potensial dipilih untuk penentuan klimatologi ketinggian ABL. Metode berbasis
RH digunakan untuk menangkap inversi pada cap dari convective boundary layer.
Penentuan klimatologi ketinggian ABL menggunakan ECMWF menunjukkan
banyak fitur klimatologi yang diharapkan, seperti ketinggian ABL yang rendah di
wilayah pantai, di mana awan stratus ditemukan dan ABL tumbuh sebagai akibat
dari udara yang diadveksi di atas air laut yang hangat ke arah daerah tropis
sepanjang perjalanan angin. Variasi musiman dan harian yang besar umumnya di
temukan di seluruh wilayah daratan. Ketinggian ABL dapat mencapai 3 km,
kebanyakan di wilayah gurun pada siang hari, begitu juga nilai yang besar
ditemukan di area ITCZ.
Dinamika ketinggian ABL di ekuator Indonesia (khususnya di wilayah
maritim) sangat penting dalam pemahaman mengenai mekanisme yang
mengontrol iklim global yang berasosiasi dengan suhu permukaan laut yang tinggi.
Sebagai contoh, dinamika ABL menentukan pembentukan konveksi dan variasi
konveksi awan di atas benua maritim yang berkaitan erat dengan perilaku El
Ni�o-southern oscillations (ENSO) (Hashiguchi et al. 1995). Namun, penelitian
mengenai ketinggian ABL di Indonesia belum banyak dilakukan, mengingat
sedikitnya informasi mengenai dinamika ketinggian ABL di wilayah Indonesia.
Oleh karena itu, penelitian ini akan diestimasi ketinggian ABL di Indonesia baik
secara temporal maupun spasial.
Penelitian untuk mengestimasi ketinggian ABL ini menggunakan profil
vertikal atmosfer yang diperoleh dari data reanalisis yaitu ECMWF Interim
Reanalysis selama periode Januari 2015 hingga Juni 2015. Data reanalisis ini
merupakan data keluaran ECMWF (Europian Center for Medium Range Weather
Forecasting) yang tersedia dari 1 Januari 1989 hingga sekarang dan akan terus
disediakan secara real-time. Data grid yang diproduksi meliputi variasi 3-jam
parameter permukaan yang menjelaskan kondisi cuaca gelombang lautan dan
permukaan daratan, dan variasi 6-jam parameter udara atas dari troposfer dan
stratosfer (Dee et al. 2011). Panjang data selama 6 bulan digunakan untuk melihat
variasi diurnal dan bulanan dari ketinggian ABL. Pada penelitian ini digunakan
metode berbasis gradien dari beberapa profil vertikal atmosfer ECMWF Interim
Reanalysis untuk mengestimasi ketinggian ABL di Indonesia.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang, pada penelitian ini diestimasi
ketinggian PBL menggunakan tujuh metode gradien berdasarkan profil vertikal
atmosfer dari data ECMWF Interim Reanalysis, dengan tujuan penelitian sebagai
berikut:
1. Menginvestigasi perbedaan sistematis antar tujuh metode gradien

4
2. Melihat pola bulanan dan harian ketinggian PBL di wilayah Indonesia
3. Melihat sebaran estimasi ketinggian PBL secara spasial di seluruh wilayah
Indonesia menggunakan metode terpilih
.
Manfaat Penelitian
Informasi mengenai ketinggian PBL dapat dimanfaatkan untuk
mengetahui kekuatan proses pencampuran polutan dalam model kualitas udara
dan merupakan parameter yang penting dalam model cuaca dan iklim.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di seluruh wilayah Indonesia 10oLU–10oLS,
90 BT –150oBT menggunakan data ECMWF Interim Reanalysis dengan resolusi
spasial 2,5o x 2,5o. Pada penelitian ini dibahas mengenai estimasi ketinggian PBL
menggunankan tujuh metode gradien yang diturunkan dari profil vertikal atmosfer
ECMWF. Profil vertikal atmosfer dari data ECMWF yang digunakan berupa level
tekanan, geopotensial, suhu, kelembaban spesifik, kelembaban relatif, angin u dan
angin v. Pada penelitian ini diinvestigasi perbedaan sistematis antar tujuh metode
gradien, sebagai contoh wilayah yang ditampilkan adalah 2,5oLU 92,5oBT
mewakili wilayah lautan dan 5oLU 140oBT mewakili wilayah daratan yang
selanjutnya dilakukan analisis terhadap stabilitas atmosfer dari kedua wilayah
tersebut. Melihat pola bulanan dan harian ketinggian PBL di wilayah Indonesia,
dengan beberapa contoh wilayah seperti 5oLU 140oBT, 0oLU 102,5oBT, 2,5oLS
135oBT, dan 7,5oLS 110oBT, serta melihat sebaran estimasi ketinggian PBL
Indonesia secara diurnal dan bulanan.
o

Gambar 1. Lokasi Penelitian wilayah Indonesia 10oLU–10oLS, 90oBT –150oBT
dengan resolusi spasial 2,5o x 2,5o sebanyak 225 titik.

5

2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada Minggu I September 2015 sampai dengan
Desember 2015 di laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer,
Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB.

Bahan
Untuk mengestimasi ketinggian PBL digunakan data profil vertikal atmosfer
seluruh wilayah Indonesia (10oLU–10oLS, 90oBT –150oBT) dari bulan Januari
2015 sampai dengan Juni 2015 yang diperoleh dari data ECMWF Interim
Reanalysis dengan resolusi spasial 2,50 x 2,50 . Profil vertikal dari data ECMWF
yang digunakan untuk menentukan ketinggian PBL berdasarkan level tekanan
yaitu 1000 mb, 975 mb, 950 mb, 925 mb, 900 mb, 875 mb, 850 mb, 825 mb, 800
mb, 775 mb, 750 mb, 700 mb, 650 mb, 600 mb, 550 mb, 500 mb, 450 mb, 400 mb,
350 mb, 300 mb, dan 250 mb, dengan beberapa parameter yaitu geopotensial,
suhu, kelembaban spesifik, kelembaban relatif, angin u dan angin v. Empat waktu
analisis yang digunakan yaitu 00 UTC, 06 UTC, 12 UTC dan 18 UTC atau pada
waktu lokal 0700 WIB, 1300 WIB, 1900 WIB, dan 0100 WIB. Data ini dapat
diunduh dari halaman website http://apps.ecmwf.int. Untuk menganalisis stabilitas
atmosfer digunakan data NOAA yang diperoleh melalui website :
http://ready.arl.noaa.gov.READYamet.php.
Alat
Penelitian ini menggunakan seperangkat Personal Computer (PC),
perangkat lunak ODV 4 untuk merubah bentuk data *.nc menjadi data *.txt,
perangkat lunak Microsoft Office 2007 dan Matlab R2009a untuk pengelolahan
data dan NCAR Command Language Version 6.1.2 (NCL) digunakan untuk
memplot grafik secara spasial.

Prosedur Analisis Data
Estimasi Ketinggian PBL
Beberapa pendekatan telah dikembangkan untuk mengestimasi ketinggian
PBL menggunakan data radiosonde (Basha & Ratnam 2009; Seidel et al. 2010;
Wang & Wang 2014) dan melalui data reanalisis menggunakan data ECMWF
(Von Engeln & Teixeira 2013). PBL merupakan wilayah dengan sifat lebih
lembab, lebih rapat, dan merupakan wilayah dengan tingkat pembiasan yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan bagian troposfer yang berada di atasnya,
sehingga ketinggian PBL dapat diestimasi melalui sifat–sifat tersebut (Kursinski
et al. 1997). Metode yang dapat digunakan untuk mengestimasi tinggi PBL yaitu

6
menggunakan metode gradien vertikal dari kelembaban spesifik, gradien vertikal
kelembaban relatif dan gradien vertikal indeks refraktivitas atmosfer, yang

���
��
menunjukkan bahwa tinggi PBL terdapat pada ketinggian ,
, dan
yang
��
��
��
bernilai minimum.
Tujuh metode berdasarkan variabel atmosfer dari data reanalisis ECMWF
dipilih dan dibandingkan dalam penelitian ini. Tujuan metode berbasis gradien
yang digunakan untuk mengestimasi ketinggian PBL di wilayah Indonesia
dirangkum pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Metode untuk Mengestimasi Ketinggian PBL
Metode Gradien

Deskripsi

Simbol

Kelembaban

Tinggi PBL diestimasi dari level minimum

Relatif

gradien vertikal kelembaban relatif
Tinggi PBL diestimasi dari level maksimum

Suhu Virtual

gradien vertikal suhu virtual

RH

TV

Sumber
(Von Engeln & Teixeira
2013; Seidel et al. 2010)
(Von Engeln & Teixeira
2013; Seidel et al. 2010)
(Basha & Ratnam 2009;

Suhu Potensial

Tinggi PBL diestimasi dari level maksimum
gradien vertikal suhu potensial

Ɵ

Von Engeln & Teixeira
2013; Seidel et al. 2010;
Wang & Wang 2014)

Suhu Potensial

Tinggi PBL diestimasi dari level maksimum

Virtual

gradien vertikal suhu potensial virtual

Kelembaban

Tinggi PBL diestimsasi dari level minimum

Spesifik

gradien vertikal kelembaban spesifik

Ɵv

q

(Basha & Ratnam 2009;
Seidel et al. 2010)
(Von Engeln & Teixeira
2013; Seidel et al. 2010)
(Basha & Ratnam 2009;

Indeks

Tinggi PBL diestimasi dari level minimum

refraktivitas

gradien vertikal indeks refraktivitas atmosfer

atmosfer

N

Von Engeln & Teixeira
2013; Seidel et al. 2010;
Wang & Wang 2014)
(Subrahamanyan et al.,

Kecepatan

angin

(shear Angin)

Tinggi

PBL

diestimasi

dari

level

peningkatan maksimum nilai shear angin

V

2012;
Hooper
1986)

Dewi,
&

2012;
Eloranta,

7
Estimasi ketinggian PBL menggunakan tujuh metode gradien yang berbeda
yaitu sebagai berikut:
1) Level minimum gradien vertikal kelembaban relatif, RH.
2) Level maksimum gradien vertikal suhu virtual,TV.
Penentuan nilai suhu virtual dengan menggunakan persamaan berikut:
� ≅ �(1 + 0,61 )
(1)
3)

dengan T adalah suhu (K), dan q adalah kelembaban spesifik (kg/kg)
(Riegel 1992 hal 298).
Level maksimum gradien vertikal suhu potensial, Ɵ.
Suhu potensial adalah suhu yang dimiliki oleh parsel udara ketika
mengembang maupun termampatkan secara adiabatik dari tekanan (P) dan
suhu (T) yang dimiliki oleh parsel udara tersebut terhadap tekanan standar
Po (1000 mb). Penentuan nilai suhu potensial menggunakan persamaan
berikut:
�=�

4)

P o 0,286

(Wallace & Hobbs 2006 hal 78).
Ketinggian PBL dapat dilihat dari nilai maksimum gradien vertikal suhu
��
��
potensial ≫ 0, menyatakan bahwa tinggi PBL berada pada ketinggian ��
��
yang bernilai maksimum.
Level maksimum gradien vertikal dari suhu potensial virtual, Ɵv.
Suhu potensial virtual merupakan suhu udara virtual yang
mengembang dan menyusut secara adiabatik ke ketinggian Po. Penentuan
nilai suhu potensial virtual menggunakan persamaan berikut:
� =�

5)
6)

(2)

P

P o 0,286

(3)

P

(Riegel 1992 hal 333).
Lokasi dengan gradien vertikal maksimum suhu potensial maupun
suhu potensial virtual, menunjukkan transisi dari daerah konveksi kurang
stabil di bawa ke daerah yang lebih stabil di atasnya (Oke 1988).
Level minimum gradien vertikal kelembaban spesifik, q.
Level minimum gradien vertikal indeks refraktivitas atmosfer, N.
Indeks refraktivitas atmosfer atmosfer (N) merupakan kombinasi dari
informasi suhu dan kelembaban yang dapat digunakan untuk menentukan
ketinggian PBL. Indeks refraktivitas atmosfer (N) dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut (Wang & Wang 2014):
� = �−1

106 = 77,6

P


+ 3,73 105

�2

(4)

dengan n adalah indek bias, P adalah tekanan atmosfer (hPa), T adalah suhu
(K) dan e adalah tekanan uap air (hPa). Persamaan (5) digunakan untuk
menentukan nilai tekanan uap air (e) sebagai berikut:

8
=

7)

+�

P

(5)

dengan � = 0.622, dan w adalah mixing ratio (Wallace & Hobbs 2006 hal
80). Jika w 0.90, sedangkan untuk parameter
komponen angin zonal dan meridional diperoleh nilai R2 > 0.38, nilai R2 secara
keseruhan dapat dilihat pada lampiran 5.

9
Bulk-Richardson number (RiB)
Richardson number merupakan rasio antara gaya bouyance dengan shear
angin, yang digunakan untuk mengidentifikasi stabilitas dinamis dari lapisan
atmosfer. Nilai Ri yang negatif mengindikasikan atmosfer dalam keadaan
unstable, sedangkan nilai positif mengindikasikan kondisi stable dari atmosfer
(Friedrich et al, 2012).

�� =

� .∆Ө .∆z

� . Δ 2 +Δ 2

(8)

Dimana ∆� , Δ , dan Δ berturut- turut merupakan perubahan dari suhu virtual,
komponen angin zonal (u) dan komponen angin meridional (v) pada ketinggian
Δ� = �2 − �1 . Untuk udara relatif kering, sering diasumsikan bahwa � ≅ � dan
Ө ≅ Ө (Stull 2000 hal 136).
Stabilitas Statis Non-lokal

Secara umum stabilitas statis terdiri dari tiga kondisi kestabilan, yaitu stabil,
tidak stabil dan netral. Faktor utama stabilitas atmosfer adalah hubungan suhu
dengan ketinggian. Tingkat dimana suhu bervariasi terhadap ketinggian disebut
laju surut (lapse rate). Lapse rate mempunyai pengaruh yang signifikan pada
gerak vertikal udara. Mekanisme dimana udara dipindahkan secara vertikal terkait
pada konsep Adiabatic Lapse Rate. Kondisi Lapse rate dibagi menjadi tiga
kategori antara lain SALR (Saturated Adiabatic Lapse Rate), DALR (Dry
Adiabatic Lapse Rate), dan ELR (Environmental Lapse Rate). Jika ELR < DARL
hal ini menyebabkan parsel udara cenderung stabil, sedangkan kondisi tidak stabil
terjadi jika ELR > DARL. Kondisi netral terjadi jika suhu parsel udara sama
dengan suhu udara lingkungan sehingga suhu keduanya akan sama pada
ketinggian yang sama, hal ini berarti laju penurunan suhu lingkungan sama
dengan laju penurunan adiabatik kering (ELR = DALR). Kondisi ini dapat terjadi
pada siang ataupun malam (Rati 2013). Stabilitas lokal dianggap sudah tidak
relevan/berhubungan dalam menggambarkan stabilitas atmosfer, karena kadang
gagal dalam memperhitungkan karakter non-lokal turbulensi. Hal ini
memunculkan pemahaman baru yang lebih kompleks daripada yang sebelumnya,
yaitu stabilitas statis-non-lokal. Dalam menentukan stabilitas atmosfer, parsel
udara akan bergerak vertikal (naik atau turun) dari semua titik asal. Untuk melihat
pengaruh statifikasi non-lokal dilakukan dengan beberapa cara berikut. Pertama,
untuk menentukan daerah tidak stabil menggunakan perpindahan parsel udara
secara stabilitas statis non-lokal. parcel udara yang memiliki Ө relatif maksimum
berdasarkan konsep akan naik secara adibatik. Begitu pula sebaliknya, parsel
udara yang memiliki Ө yang relatif minimum akan turun secara adiabatik pula
hingga menyentuh sounding atau permukaan. Daerah tempat pergerakan parsel
��
tersebut disebut sebagai daerah statically unstable, dengan kriteria < 0. Untuk
��
wilayah diluar daerah unstable, diidentifikasi sebagai daerah statically stable
��
��
dengan > 0, dan statically neutral untuk daerah dimana = 0 (Wallace &
��
��
Hobbs 2006 hal 396 )

10
Tes Statistik dan Estimasi Ketidakpastian

Salah satu tujuan penting penelitian ini adalah untuk mengukur
ketidakpastian parametrik dan struktural dari estimasi ketinggian PBL.
Ketidakpastian estimasi ketinggian PBL Indonesia selama 6 bulan berdasarkan
metode yang berbeda dievaluasi menggunakan lima uji statistik:
1. Membandingkan rata-rata ketinggian PBL dari metode gradien yang berbeda
menggunakan uji Student’s t. Uji ini digunakan untuk menguji hipotesis nol
bahwa antara dua sampel, yaitu ketinggian PBL dari dua metode yang
berbeda, memiliki rata-rata yang konsisten (tidak signifikan berbeda)
berdasarkan dua rata-rata sampel, ragam dan ukuran data. Menggunakan
taraf kepercayan 5%, jika nilai P hitung lebih kecil dari nilai � (0,05), maka
nilai rata-rata kedua metode berbeda secara signifikan (Walpole 1992).
2. Membandingkan keragaman dari ketinggian PBL menggunakan uji F. Uji F
digunakan untuk menguji hipotesis nol, bahwa dua sampel memiliki
keragamaan yang konsisten. Jika nilai P lebih kecil dari 0,05 dengan taraf
kepercayaan 5%, maka kedua sampel memiliki keragaman yang berbeda
secara statistik (Walpole 1992).
3.
Mengukur hubungan/keterkaitan antara ketinggian PBL dari metode gradien
yang berbeda dan menguji hipotesis nol, bahwa kedua sampel tidak
berkorelasi signifikan. Pengujian hubungan korelasi kedua sample
menggunakan uji Korelasi Linear Pearson dan uji Korelasi non-parametric
Spearman rank (Wilks 2006) . Koefisien dari kedua uji korelasi memiliki
rentang antara -1 sampai 1 (-100% - 100%), dan nilai P yang kecil
mengindikasikan bahwa kedua sampel signifikan berkorelasi secara statistik.
4.
Membandingkan distribusi fungsi kumulatif antara ketinggian PBL
berdasarkan metode gradien yang berbeda menggunakan Uji KolmogorovSmirnov, uji nonparametrik berdasarkan peringkat data. Uji KolmogorovSmirnov mengevaluasi hipotesis nol bahwa kedua sampel berasal dari
distribusi yang sama menggunakan uji statistic D, yaitu perbedaan absolut
antara dua distribusi fungsi kumulatif. Nilai P yang kecil mengindikasikan
perbedaan signifikan secara statisitik antara kedua sampel (Seidel et al.
2010).

11

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Tiga analisis ketinggian PBL disajikan di bawah ini. Pertama, diinvestigasi
perbedaan sistematis antara tujuh metode gradien. Kedua, melihat pola bulanan
dan harian ketinggian PBL di wilayah Indonesia. Ketiga, melihat sebaran estimasi
ketinggian PBL secara spasial di seluruh wilayah Indonesia menggunakan metode
terpilih.
Perbedaan Sistematis antar Metode
Tujuan dasar dari analisis ini adalah untuk menentukan ketahanan dari
estimasi ketinggian PBL di wilayah Indonesia selama enam bulan dan sensitivitas
metode yang dipilih. Gambar 2 menunjukkan estimasi ketinggian PBL pada pagi
hari dan siang hari di lautan dan daratan. Estimasi ketinggian PBL menggunakan
tujuh metode gradien didasarkan pada variabel yang berbeda dari profil vertikal
atmosfer yaitu kelembaban relatif (RH), suhu virtual (Tv), suhu potensial (ϴ),
suhu potensial virtual (ϴv), kelembaban spesifik (q), indeks refraktivitas atmosfer
(N), dan kecepatan angin (V). Estimasi ketinggian PBL ditunjukkan oleh garis
putus-putus.
Hasil estimasi ketinggian PBL di Indonesia menggunakan tujuh metode
gradien kadangkala menunjukkan nilai yang sama, seperti pada kasus di koordinat
2,5oLU 92,5oBT yang merupakan wilayah lautan, pada tanggal 13 Februari 2015
pukul 0700 WIB (Gambar 2a), estimasi ketinggian PBL sebesar 1977 m dan
pukul 1300 WIB (Gambar 2b) sebesar 1983 m, nilai-nilai tersebut dihasilkan dari
enam metode gradien yang mengestimasi ketinggian PBL pada ketinggian yang
hampir sama. Sedangkan metode shear angin menghasilkan ketinggian PBL pada
0700 WIB dan 1300 WIB masing-masing sebesar 2241 m dan 3686 m.
Sebaliknya, estimasi ketinggian PBL di wilayah daratan 5oLS 140oBT pada
pukul 0900 WIT 30 Juni 2015 (Gambar 2c) menunjukkan empat nilai yang
berbeda, metode Tv mengestimasi ketinggian PBL di wilayah ini pada ketinggian
2260 dan metode V pada ketinggian 5769 m. Metode RH dan Ɵv memberikan
estimasi yang sama yaitu sebesar 3094 m, dan metode Ɵ, q, dan N mengestimasi
ketinggian PBL pada ketinggian yang sama yaitu 2530 m. Siang hari pukul 1500
WIT di lokasi yang sama (Gambar 2d) estimasi PBL tertinggi ditunjukkan oleh
metode V sebesar 5746 m, diikuti metode Tv dan Ɵv 746 m lebih rendah, dan
metode RH, q, dan N sebesar 3671 m.
Pola diurnal terlihat pada jelas wilayah 5oLS 140oBT, PBL ditemukan lebih
tinggi pada siang hari (1500 WIT) dari pada pagi hari (0900 WIT) dengan
perbedaan ratusan hingga ribuan meter. Sedangkan pola diurnal ketinggian PBL
sangat lemah di wilayah 2,5oLS 92,5oBT yang merupakan wilayah lautan,
perbedaan ketinggian PBL pagi hari dan siang hari di wilayah ini hanya sebesar 6
m. Di atas lautan, siklus ketinggian PBL sangat lemah disebabkan oleh siklus
harian fluks panas terasa yang lemah, sedangkan di atas daratan, PBL memiliki
siklus diurnal yang sangat kuat karena besarnya variasi fluks panas terasa di
permukaan (Luo et al. 2014).

12

Gambar 2. Estimasi ketinggian PBL menggunakan tujuh metode gradien pada
2,5oLU 92,5oBT untuk (a) 0700 WIB 13 Februari 2015 dan (b) 1300
WIB 13 Februari 2015. Pada 5oLS 140oBT (c) 0900 WIT 30 Juni
2015 dan (d) 1500 WIT 30 Juni 2015. Profil vertikal berupa
kelembaban relatif (RH), suhu virtual (Tv), suhu potensial (ϴ), suhu
potensial virtual (ϴv), kelembaban spesifik (q), indeks refraktivitas
atmosfer (N), dan kecepatan angin (V). Estimasi ketinggian PBL
ditunjukkan oleh garis putus-putus.

13
Analisis Stabilitas Atmosfer
Besarnya nilai RiB dapat digunakan untuk membedakan aliran turbulen dan
aliran laminar. RiB merupakan besaran tak berdimensi yang menunjukkan
parameter stabilitas dinamis yang berhubungan dengan stabilitas vertikal dan
shear vertikal. Aliran laminar akan menjadi turbulen jika nilai RiB menurun
drastis hingga berada di bawah critical value yang setara dengan 0,25. Aliran
turbulen akan tetap turbulen jika RiB sama dengan 1, tetapi akan berubah menjadi
laminar pada saat RiB lebih besar dari 1(Subrahamanyan et al. 2012). Sedangkan
berdasarkan Stull (2000), kondisi atmosfer yang tidak stabil dan turbulen apabila
nilai Ri berada di bawah 0,25 (Ric). Untuk nilai RiB yang berada di atas Ric , maka
kondisi atmosfer stabil dan memiliki aliran laminar.

Gambar 3. Profil vertikal Bulk-Richardson number (RiB) pada 2,5oLU 92,5oBT
untuk (a) 0700 WIB 13 Februari 2015 dan (b) 1300 WIB 13 Februari 2015. Pada
5oLS 140oBT (c) 0900 WIT 30 Juni 2015 dan (d) 1500 WIT 30 Juni 2015.

14
Berdasarkan sounding lingkungan, memungkinkan untuk membuat
kesimpulan tentang distribusi vertikal turbulensi. Analisis sounding dapat
digunakan untuk melihat pengaruh stratifikasi non-lokal dengan beberapa cara
berikut. Pertama, untuk menentukan daerah tidak stabil menggunakan
perpindahan parsel udara berdasarkan stabilitas statis non-lokal. Parcel udara yang
memiliki Ө relatif maksimum akan naik secara adibatik. Begitu pula sebaliknya,
parsel udara yang memiliki Ө yang relatif minimum akan turun secara adiabatik
pula hingga menyentuh sounding atau permukaan. Daerah tempat pergerakan
��
parsel disebut sebagai daerah statically unstable, dengan kriteria < 0. Untuk
��
wilayah di luar daerah tidak stabil (unstable), diidentifikasi sebagai daerah stabil
��
(statically stable) dengan kriteria > 0, dan keadaan netral (statically neutral)
��

��

= 0.
Dalam penentuan daerah lapisan udara yang mengalami turbulen, maka
diperlukan pengujian terhadap kedua jenis stabilitas atmosfer, yaitu stabilitas
dinamik dan stabilitas statis non-lokal. Lapisan udara dengan ketidakstabilan statis
diestimasi menggunakan metode stabilitas statis non-lokal dan Richardson
Number digunakan untuk mengidentifikasi ketidakstabilan dinamik lapisan udara.
Turbulen terjadi ketika pada lapisan udara mengalami ketidakstabilan statis atau
ketidakstabilan dinamis. Sedangkan aliran laminar terjadi ketika aliran mengalami
stabil statis dan dinamis (Wallace & Hobbs 2006 hal 397).
Berdasarkan parameter stabilitas dinamis (RiB) dan stabilitas statis non-lokal
diketahui bahwa pada wilayah 5oLS 140oBT pada siang hari (Gambar 3d)
memiliki kondisi atmosfer yang tidak stabil dengan ditunjukkan oleh gradien suhu
��
potensial < 0 hingga pada ketinggian lapisan 985 m, turbulen terdeteksi pada
��
lapisan ini diperkuat pula oleh nilai RiB < 0,25. Lapisan stabil dimulai pada
ketinggian 1114 m - 10418 m. Sedangkan pada pagi hari (Gambar 3c), lapisan
turbulen hanya terjadi hingga pada ketinggian lapisan 845 m, dan lapisan di
atasnya lebih stabil. Nilai RiB pada tiap lapisan di wilayah ini dapat dilihat pada
lampiran 7
Pada wilayah 2,5oLU 92,5oBT menunjukkan pola berlawanan, dimana
lapisan turbulen teridentifikasi hingga pada lapisan 1250 m pada pagi hari, serta
terdapat lapisan turbulen lainnya pada lapisan 2858 m (Gambar 3a). Sedangkan
pada siang hari (Gambar 3b), berdasarkan nilai RiB bahwa lapisan turbulen
teridentifikasi hanya sampai pada lapisan 154 m (nilai RiB dapat dilihat pada
lampiran 6). Namun, jika berdasarkan kondisi stabilitas non-lokal, pada siang hari
di wilayah ini tidak menunjukkan adanya turbulensi. Selain itu pula, kuatnya
angin laut yang mulai terjadi pada pagi hingga sore hari, menyebabkan udara di
atas permukaan lautan lebih dingin pada siang hari, sehingga turbulen pada
wilayah ini berkurang hingga menghilang pada siang hari, akibatnya lapisan udara
lebih stabil seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3a dan 3b. Pengaruh dari
intrusi angin laut dapat mengubah struktur lapisan batas atmosfer dan
menjadikannya terbagi menjadi beberapa lapisan. Proses adveksi udara laut yang
lebih dingin menjadikan proses pendinginan berjalan lebih cepat (Dewi 2012).
untuk

��

15
Perbandingan Metode Berdasarkan
Rata-Rata Enam Bulan Nilai Median Ketinggian PBL (m) Seluruh
Indonesia

Gambar 4. Nilai rata-rata dari median ketinggian PBL Indonesia selama enam
bulan di estimasi menggunakan tujuh metode gradien. Hasil estimasi
berdasarkan waktu analisis berbeda yaitu 0700 WIB, 1300 WIB, 1900
WIB, dan 0100 WIB.
Gambar 4 menunjukkan perbandingan estimasi ketinggian PBL di wilayah
Indonesia berdasarkan tujuh metode gradien. Data dipisahkan berdasarkan waktu
lokal seperti yang telah dijelaskan pada metodologi penelitian, dan setiap batang
merepresentasikan rata-rata ketinggian PBL seluruh lokasi Indonesia (terdapat
225 titik) selama enam bulan (nilai median seluruh data selama Januari 2015 –
Juni 2015).
Secara umum nilai rata-rata ketinggian PBL berada di antara 700 m dan
3700 m, dengan q dan N menunjukkan nilai terendah. Di antara metode gradien
lainnya, ketinggian PBL berdasarkan gradien Ɵv konsisten lebih tinggi, dan
metode berdasarkan gradien q dan N konsisten rendah. Tingginya estimasi yang
ditunjukkan oleh metode Ɵv, mungkin disebabkan karena mengandung
ketidakpastian yang besar dikarenakan oleh kesalahan dalam pengukuran
kelembaban dan oleh sebab itu menyebabkan fluktuasi yang signifikan dalam
menghasilkan ketinggian PBL (Liu & Liang 2010). Metode berbasis suhu Tv
menunjukkan estimasi yang sama atau tidak jauh berbeda terhadap metode RH.
Penurunan rata-rata ketinggian PBL metode q, dan N maksimum pada 1300 WIB
ke minimum pada 0100 WIB berturut-turut sekitar 532 m dan 197 m, sementara
metode lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang jelas. Sedangkan metode RH
dan q menunjukkan nilai minimum pada 0700 WIB dan maksimum pada 1300
WIB, dengan perbedaan berturut-turut sebesar 232 m dan 631 m. Metode V

16
menunjukkan variasi diurnal yang sangat kuat, dimana PBL tertinggi ditemukan
pada siang hari (1300 WIB) dan rendah pada malam harinya.
Rendahnya hasil estimasi rata-rata ketinggian PBL yang ditunjukkan oleh
metode q dan N di wilayah Indonesia sesuai dengan hasil temuan Von Engeln dan
Teixeira (2013) bahwa di wilayah 10oLU ke arah selatan, profil N didominasi oleh
tekanan uap air pada ketinggian yang lebih rendah dan menurun dengan cepat
terhadap ketinggian (Von Engeln & Teixeira 2013). Sehingga metode yang
didasarkan pada gradien refraktivitas dapat didominasi oleh tekanan uap air pada
ketinggian yang lebih rendah ketika gradien yang lebih kuat ditemukan dekat
permukaan laut yang hangat (begitu pula pada permukaan daratan), hal ini pula
yang mempengaruhi metode q, sehingga menyebabkan banyak ditemukannya nilai
ketinggian rendah untuk metode berbasis N dan q.

Gambar 5. Perbandingan spasial rata-rata median ketinggian PBL ketujuh
metode gradient di wilayah Indonesia.

17
Secara spasial perbandingan estimasi ketinggian PBL di wilayah
Indonesia menggunakan tujuh metode gradien yang berbeda disajikan pada
Gambar 5. Nilai dari tiap posisi lintang dan bujur merupakan nilai median selama
enam bulan (Januari 2015 – Juni 2015) dan seluruh waktu analisis (0700 WIB,
1300 WIB, 1900 WIB, dan 0100 WIB) di Indonesia. Metode gradien RH dan
metode gradien Tv menunjukkan hasil estimasi yang mirip di wilayah Indonesia,
rata-rata median ketinggian PBL di seluruh daratan berkisar antara 1732 m hingga
4132 m, dengan ketinggian PBL di wilayah lautan yang lebih rendah di bawah
2132 m. Metode ϴ dan ϴv menunjukkan estimasi yang sedikit berbeda, di mana
metode ϴv mengestimasi ketinggian PBL di wilayah pantai lebih tinggi hingga
mencapai 4532 m. Metode gradien q dan N menunjukkan estimasi yang konsisten
lebih rendah dari ketujuh metode di seluruh wilayah Indonesia, nilai median
ketinggian PBL ditemukaan di bawah 2132 m untuk wilayah daratan, sementara
di lautan ketinggian PBL berada di antara 532 m – 1532 m. Estimasi ketinggian
PBL dengan metode V menunjukkan nilai ketinggian berkisar diantara 1732 m
hingga 3732 dan pola berlawanan ditunjukkan oleh metode ini, ditemukannya
PBL yang lebih tinggi di beberapa wilayah lautan dibandingkan dengan daratan.
Gambar 5 menunjukkan bahwa metode gradien yang berbeda
menghasilkan rata-rata ketinggian PBL yang berbeda-beda pula untuk wilayah di
Indonesia selama enam bulan. Permasalahannya adalah apakah perbedaan
ketinggian PBL yang dihasilkan signifikan secara statistik? Tabel 2 menunjukkan
hasil uji statistik yang dilakukan untuk menguji signifikansi perbedaan antara dua
metode gradien yang berbeda. Terdapat lima uji statistik yang digunakan untuk
membandingkan tiap metode gradien. Setiap bagian dari tabel 2 menunjukkan
persentase kasus perbandingkan dengan nilai signifikan statistik P ≤ 0,05 pada
bagian sudut kiri bawah dan rata-rata nilai uji statistik ditunjukkan pada bagian
sudut kanan atas tabel.
Secara keseluruhan, ditemukan korelasi signifikan secara statistik antara
ketujuh metode pada perbandingan (Tabel 2, c dan d), dengan hasil yang mirip
antara korelasi Pearson dan Spearman. Rata-rata nilai koefisien ~90 % untuk
perbandingan q dan N. Hubungan yang menarik ditunjukkan pada korelasi antara
metode gradien berbasis suhu (Tv, Ɵ, Ɵv) dan metode N, ditemukan korelasi yang
rendah antar kedua jenis metode. Ini mengungkapkan bahwa meskipun keduanya
mengandung informasi suhu d