Resistance of Campylobacter jejuni Local Isolates Against Five Type of Antimicrobials In Vitro and In Vivo

RESISTENSI CAMPYLOBACTER JEJUNI ISOLAT LOKAL
TERHADAP LIMA JENIS ANTIMIKROBA
SECARA IN VITRO DAN IN VIVO

RAMA PRIMA SYAHTI FAUZI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFOMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Resistensi Campylobacter jejuni
Isolat Lokal terhadap Lima Jenis Antimikroba Secara In Vitro dan In Vivo adalah
karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.


Bogor, Mei 2012

Rama Prima Syahti Fauzi
NIM B251080021

ABSTRACT
RAMA PRIMA SYAHTI FAUZI. Resistance of Campylobacter jejuni Local Isolates
Against Five Type of Antimicrobials In Vitro and In Vivo. Under direction of
MIRNAWATI B SUDARWANTO and USAMAH AFIFF.
Campylobacter jejuni is one of the foodborne zoonotic pathogens that cause
gastroenteritis in humans. Many reports from different countries showed that
Campylobacter jejuni was resistant to some antimicrobial such as erytromycin,
enrofloxacin, and ciprofloxacin. The objective of this research were 1) to find the
resistance of local isolates of Campylobacter jejuni (Demak and Kudus) against five
types of antimicrobials: amoxicillin, tetracycline, chloramphenicol, erytromycin, and
ciprofloxacin, 2) to get the type and minimum inhibitory concentration (MIC) to
inhibit Campylobacter jejuni infection and 3) to evaluate the effectiveness of five
types of antimicrobials (amoxicillin, tetracycline, chloramphenicol, erytromycin, and
ciprofloxacin) for the treatment of Campylobacter jejuni infection. Campylobacter
jejuni was isolated from chicken meat that sold in the traditional markets and

supermarkets. Resistance test was performed using disc diffusion method and broth
dilution method. The result of disc diffusion method test showed that Demak isolates
were resistant to two types of antimicrobials; ciprofloxacin (9 mm) and tetracycline
(12,2 mm), while the Kudus isolates were sensitive to four types of antimicrobials.
The results of broth dilution method test showed that Demak isolates were resistant to
ciprofloxacin (5 g/ml) and tetracycline (20 g/ml), while the Kudus isolates were
sensitive to five types of antimicrobials. To evaluate the effectiveness of five types of
antimicrobials for the treatment of Campylobacter jejuni infection, chickens were
infected orally with Campylobacter jejuni (104 CFU) and then treated with five
antimicrobials in each group. The result showed that generally the use of
antimicrobials in treated groups could maintain the body weight compared to the
untreated groups. It could be concluded that the local isolates of Campylobacter
jejuni were resistant to antimicrobials; nevertheless infected chicken could still be
treated effectively with antimicrobials.
Keywords: Campylobacter jejuni, antimicrobial resistance, local isolat, disc diffusion
method, dilution method

RINGKASAN
RAMA PRIMA SYAHTI FAUZI. Resistensi Campylobacter jejuni Isolat Lokal
Terhadap Lima Jenis Antimikroba Secara In Vitro dan In Vivo. Dibimbing oleh

MIRNAWATI B. SUDARWANTO dan USAMAH AFIFF.
Foodborne disease adalah penyakit yang disebabkan mengkonsumsi makanan
tercemar. Campylobacter jejuni merupakan bakeri gram negatif bersifat motil dan
memiliki bentuk spiral. Identifikasi menggunakan uji oksidase dan katalase + (positif)
serta tidak mengoksidasi/memfermentasi karbohidrat. C. jejuni dapat di isolasi dari
hewan baik liar maupun domestik. Bakteri Campylobacter sp merupakan patogen
penyebab terjadinya penyakit kampilobakteriosis dan termasuk ke dalam foodborne
diseases. Hasil penelitian Balai Penelitian Veteriner, Puslitbang Peternakan Bogor
menemukan bahwa 71.43% (5/7) pabrik pakan di Kabupaten Bogor, Tanggerang,
Cianjur, Bekasi, dan Sukabumi menggunakan antibiotik golongan tetrasiklin dan
sulfonamid sebagai bahan tambahan pakan (Balitvet 1990; Bahri et al. 2000).
Beberapa jenis antimikroba yang sering digunakan pada industri peternakan adalah
tetrasiklin, siprofloksasin, enrofloksasin, doksisiklin, eritromisin, sulfonamid,
trimetoprim, amoksisilin, neomisin, dan kolistin.
Campylobacter jejuni merupakan bakteri patogen penyebab gastroenteritis pada
manusia yang tersebar luas diseluruh dunia. Insidensi terjadinya kampilobakteriosis
terbanyak pada bayi dan anak-anak, diikuti orang dewasa antara usia 20-40 tahun
(Lesmana 2003). Menurut Gilbert dan Gurdeau (2003) telah terjadi resistensi
Campylobacter jejuni diberbagai negara terhadap antimikroba seperti eritromisin,
enrofloksasin, dan siprofloksasin. Penggunaan antimikroba pada ternak yang tidak

sesuai aturan dan tanpa pengawasan dokter hewan dapat menjadi faktor timbulnya
resistensi terhadap antimikroba tersebut dan meningkatkan resiko perpindahan
resistensi pada Campylobacter jejuni. Hal tersebut menjadi dasar pentingnya
dilakukan penelitian terhadap resistensi Campylobacter jejuni isolat lokal terhadap
beberapa jenis antimikroba.
Dalam keberhasilan pengobatan infeksi bakteri dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu : 1) respon individual, 2) pemilihan jenis antimikroba, 3) cara
penggunaan dan 4) ada tidaknya sifat resistensi bakteri. Tujuan pengobatan dalam
dunia medis veteriner dapat dibagi menjadi dua yaitu : 1) untuk mengeliminasi
patogen dari tubuh hewan dan, 2) mengurangi dampak kerugian yang lebih besar
berupa kematian atau penurunan produksi apabila terkait hewan ternak. Kejadian
kampilobakteriosis pada ayam apabila dikaitkan dengan penelitian ini maka tujuan
pengobatan dilakukan untuk meminimalkan kerugian akibat penurunan produksi
ayam potong atau ayam ras (broiler). Pemilihan jenis antimikroba akan berpengaruh
terhadap rasio antara penambahan bobot badan dengan jumlah konsumsi pakan pada
ayam dengan kampilobakteriosis. Sifat resistensi akan berpengaruh terhadap
seberapa besar biaya yang dibutuhkan untuk mengobati kampilobakteriosis karena
berkaitan dengan jumlah dosis yang dibutuhkan. Resistensi bakteri dapat ditularkan
dari bakteri resisten ke bakteri sensitif melalui proses transduksi atau konjugasi
melalui perpindahan plasmid resisten (Lüllman et al. 2005). Munculnya sifat resisten

pada C. jejuni menjadi salah satu ancaman karena C. jejuni termasuk dalam

v

kelompok bakteri zoonosis atau bakteri yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia
atau sebaliknya.
Penelitian ini terdiri dari dua tahap yang melibatkan proses secara in vitro dan
in vivo. Tahap pertama meliputi isolasi, identifikasi, dan uji resisten in vitro.
Tahapan ini bertujuan untuk mengetahui pola resistensi C. jejuni dan mendapatkan
dosis Minimal Inhibitory Concentration (MIC) yang akan digunakan untuk
pengobatan hewan coba pada penelitian tahap kedua. Tahap kedua melibatkan proses
In Vivo meliputi pemeliharaan hewan coba, pengobatan, isolasi dan identifikasi.
Tahapan kedua bertujuan untuk mengevaluasi dosis MIC yang digunakan setelah
hewan coba di infeksi C. jejuni sebanyak 104 CFU dan mendapatkan jenis
antimikroba yang tepat untuk mengurangi kerugian akibat kampilobakteriosis.
C. jejuni diisolasi dari bahan pangan asal hewan yakni daging ayam yang dijual
di supermarket dan pasar tradisional di Kabupeten Demak dan Kudus. Isolasi dan
identifikasi C. jejuni asal daging ayam menggunakan metode konvensional (BAM
2001). Hasil isolasi dan identifikasi dari kedua lokasi tersebut menghasilkan isolat
lokal yakni C. jejuni asal Demak dan Kudus. Kemudian kedua isolat di uji resistensi

terhadap lima jenis antimikroba yakni amoksisilin, tetrasiklin, kloramfenikol,
eritromisin dan siprofloksasin secara in vitro dengan metode agar difusi untuk
mengetahui diameter zona hambatan dan metode pengenceran untuk menentukan
Minimal Inhibitory Concentration. Dari penelitian tahap pertama ini diperoleh profil
resistensi isolat C. jejuni yang berasal dari daging ayam terhadap lima jenis
antimikroba (amoksisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, dan siprofloksasin).
Berdasarkan hasil pengujian secara invitro terhadap isolat yang digunakan terdapat
perbedaan karakter pola resistensi di kedua wilayah tersebut.
Hasil uji resistensi terhadap isolat C. jejuni asal Demak diperoleh bahwa bakteri
tersebut resisten terhadap siprofloksasin dan tetrasiklin berdasarkan dua metode yang
diterapkan.
Hasil pengujian isolat Kudus terhadap lima jenis antimikroba
menggunakan metode pengenceran menunjukkan bahwa C. jejuni isolat Kudus masih
sensitif terhadap lima jenis antimikroba (siprofloksasin, tetrasiklin, kloramfenikol,
dan eritromisin). Pengujian dengan menggunakan metode agar difusi diketahui
keempat jenis antimikroba yaitu siprofloksasin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan
amoksisilin berada dalam zona hambatan sensitif, sedangkan eritromisin berada
dalam zona antara.
Hasil yang diperoleh dari dua metode pengujian isolat Demak terhadap ke 5
jenis antimikroba maka C. jejuni isolat Demak resisten terhadap siproflokasin dan

tetrasiklin. Hasil uji kedua metode untuk isolat Kudus menunjukkan bahwa ke lima
jenis antimikroba tidak dalam batas resisten. Terdapat perbedaan pola respon
terhadap kelima jenis antimikroba isolat Kudus dibandingkan dengan isolat Demak.
Isolat Kudus cenderung masih sensitif pada dosis antimikroba yang rendah.
Penelitian tahap kedua yaitu pengujian efektifitas pengobatan 5 jenis
antimikroba terhadap infeksi C. jejuni pada ayam broiler. Tahapan ini meliputi; 1)
Pemeliharaan ayam broiler, yang dibagi menjadi 7 kelompok yaitu 5 kelompok sesuai
dengan jenis antimikroba yang digunakan, 1 kelompok sebagai kontrol positif infeksi
tanpa pengobatan dan 1 kelompok sebagai kontrol negatif tanpa infeksi dengan
pengobatan, 2) Infeksi 104 CFU/ml C. jejuni, pada umur 10 hari secara oral, 3)

vi

Pengamatan gejala klinis, 4) Pengobatan setelah 4 hari post infeksi selama 5 hari
(amoksisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, dan siprofloksasin) dosis MIC
hasil uji resistensi tahap 1 dan, 5) Evaluasi usapan (swab) mukosa usus ayam
keberadaan Campylobacter jejuni setelah pengobatan.
Dari hasil pengobatan terlihat bahwa dosis MIC yang diberikan kepada ayam
yang di infeksi oleh C. jejuni isolat Demak sebagian besar efektif, kecuali kelompok
ayam yang diobati dengan eritromisin. Pengamatan terhadap bobot badan ayam yang

di infeksi dengan C. jejuni isolat Demak pada kelompok diobati dan tidak diobati
terlihat bahwa bobot badan kelompok ayam yang diberikan pengobatan relatif tinggi
dibandingkan dengan kelompok ayam tanpa pengobatan. Kelompok ayam yang tidak
di infeksi menunjukkan bobot badan yang tertinggi dibandingkan dengan kedua
kelompok ayam lainnya. Untuk isolat Kudus, dari hasil pengobatan terlihat bahwa
dosis MIC yang diberikan kepada ayam yang di infeksi oleh C. jejuni isolat Kudus
sebagian besar efektif, kecuali kelompok ayam yang diobati dengan tetrasiklin dan
kloramfenikol. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh respon individu dan patogenitas
bakteri. Pengamatan terhadap bobot badan ayam yang di infeksi dengan C. jejuni
isolat Kudus pada kelompok diobati dan tidak diobati terlihat bahwa bobot badan
kelompok ayam yang diberikan pengobatan relatif tinggi dibandingkan dengan
kelompok ayam tanpa pengobatan. Kelompok ayam yang tidak di infeksi
menunjukkan bobot badan yang tertinggi dibandingkan dengan kedua kelompok
ayam lainnya.
Sehubungan dengan kerugian ekonomi akibat infeksi C. jejuni, kaitannya
dengan terapi yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana antimikroba dapat
mengurangi kerugian akibat kampilobakteriosis maka dilakukan penghitungan Feed
Conversion Ratio (FCR) antara jumlah konsumsi pakan dibandingkan bobot akhir.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian adalah kelompok ayam dengan
kampilobakteriosis apabila diberikan terapi antimikroba maka akan menghasilkan

FCR yang relatif lebih kecil dibandingkan kelompok ayam dengan
kampilobakteriosis tanpa pemberian antimikroba.
Perbandingan FCR antara kontrol positif dan kontrol negatif memberikan
gambaran selisih manfaat yang akan didapat jika tidak terjadi infeksi C. jejuni pada
suatu kelompok ayam. Pada kelompok ayam yang di infeksi C. jejuni asal Demak
terdapat selisih FCR antara kontrol positif (1.19) dan kontrol negatif (1.03) sebesar
0.17. Hasil uji pada kelompok ayam yang di infeksi C. jejuni asal Kudus terdapat
selisih rasio antara kontrol positif (1.46) dan kontrol negatif (1.03) sebesar 0.43.
Perbedaan FCR antara kontrol negatif dengan kontrol positif artinya dengan pola
pemeliharaan dan pemberian pakan yang sama terdapat kerugian dalam pembentukan
1 kg bobot hidup ayam. Hal ini terjadi karena tidak efisiennya penyerapan usus akibat
kerusakan epitel usus.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa profil resistensi isolat C. jejuni asal
Demak yang digunakan dalam penelitian resisten terhadap siprofloksasin dan
tetrasiklin namun masih sensitif terhadap kloramfenikol, eritromisin, dan amoksilin,
sedangkan isolat C. jejuni asal Kudus yang digunakan dalam penelitian masih sensitif
terhadap jenis antimikroba siprofloksasin, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, dan
amoksisilin. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa jenis antimikroba yang paling

vii


efektif mengurangi kerugian akibat infeksi isolat C. jejuni asal Demak yang
digunakan dalam penelitian adalah eritromisin sedangkan jenis antimikroba yang
paling efektif mengurangi kerugian akibat infeksi isolat C. jejuni asal Kudus yang
digunakan dalam penelitian adalah amoksisilin.
Kata Kunci: Campylobacter jejuni, resistensi antimikroba, metode agar difusi,
metode pengenceran.

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

RESISTENSI CAMPYLOBACTER JEJUNI ISOLAT LOKAL
TERHADAP LIMA JENIS ANTIMIKROBA

SECARA IN VITRO DAN IN VIVO

RAMA PRIMA SYAHTI FAUZI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si

Judul Tesis

:

Nama
NIM

:
:

Resistensi Campylobacter Jejuni Isolat Lokal terhadap Lima
Jenis Antimikroba Secara In Vitro dan In Vivo
Rama Prima Syahti Fauzi
B251080021

Disetujui :
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati B. Sudarwanto
Ketua

drh. Usamah Afiff, M.Sc
Anggota

Diketahui :
Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian : 1 Mei 2012

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul Resistensi
Campylobacter jejuni isolat lokal terhadap Lima Jenis Antimikroba secara in Vitro
dan in Vivo, sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program
Studi/Mayor Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor (IPB).
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati B. Sudarwanto, selaku
ketua komisi pembimbing dan drh. Usamah Afiff, M.Sc selaku anggota komisi
pembimbing, yang dengan sabar dan tulus memberikan bimbingan, nasehat dan
pengorbanan waktu yang diberikan selama masa penelitian sampai dengan
penyelesaian tesis. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada Kepala
Balai Besar Veteriner Wates atas perkenannya memberikan dua isolat Campylobacter
jejuni untuk digunakan dalam penelitian. Ucapan terima kasih penulis sampaikan
atas bantuan pendanaan dalam penelitian dari program Kerjasama Kemitraan
Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) antara Institut Pertanian
Bogor dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Tidak lupa penulis
juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada drh. Andriyani, M.Si dan
drh. Herwin Pisestyani, M.Si atas segala bantuan selama penelitian sehingga
penelitian dapat berjalan dengan baik.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. drh. Denny W. Lukman,
M.Si selaku ketua Program Studi/Mayor Kesehatan Masyarakat Veteriner IPB beserta
seluruh staf yang telah mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran dalam proses belajarmengajar selama penulis menempuh pendidikan. Ungkapan terima kasih penulis
sampaikan kepada teman seperjuangan drh. Syafrison Idris, M.Si, rekan-rekan MKM
08 dan adik kami Murdiana dan Iin Nuraini atas dukungannya. Kepada papa dan
mama serta adik-adik tercinta terimakasih atas segala doa restu, bimbingan, semangat
dan didikan dalam keluarga sehingga ananda senantiasa terpacu menyelesaikan
pendidikan S2.
Terimakasih kepada drh. Hernanto selaku pimpinan semasa menjadi karyawan
Sanbe Farma sehingga penulis dapat melanjutkan kuliah dan Bapak Budi Winarso
yang telah merekrut penulis sebagai health control pada Pratama Perkasa farm. Rasa
terima kasih juga penulis sampaikan kepada pimpinan di lingkungan Kedeputian III
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dr. Emil Agustiono, M.Kes,
dr. Chabib Afwan, dan drg. Naalih Kelsum, MPH yang telah memberikan izin selama
masa penyelesaian studi.
Akhirnya dengan penuh rasa cinta penulis menyampaikan tulisan ini sebagai
bekal ilmu selama menjalani kehidupan di masa depan untuk istri tercinta Eka
Handayani yang selalu mengisi hari-hari penulis dengan senyuman, semangat dan
motivasi, semoga tulisan ini menjadi berkah bagi kita, masyarakat dan Negara.
Kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu diucapkan
terima kasih atas bantuan yang telah diberikan. Semoga segala budi dan jasa yang
telah diberikan mendapat imbalan dari Allah SWT.

xiii

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini belum sempurna, oleh karena itu
dengan kerendahan hati penulis berharap pembaca dapat memberikan saran yang
bermanfaat demi kesempurnaan karya tulis ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat
bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bogor,

Mei 2012

Rama Prima Syahti Fauzi

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang, Jawa Timur pada tanggal 26 April 1985
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Mochammad Syahfur
Fauzi dan Ibu Titin Larasati.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Tugu 1 CimanggisDepok pada tahun 1996 dan pada tahun 1999 penulis menyelesaikan sekolah
menengah pertama di SLTPN 251 Jakarta Timur. Selanjutnya penulis menyelesaikan
Sekolah Menengah Umum tahun 2002 di SMUN 39 Jakarta Timur, kemudian
melanjutkan studi S1 sampai dengan dokter hewan di Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor Angkatan 39 dan lulus pada tahun 2008.
Tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 pada Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada Desember tahun 2009 sampai dengan saat sekarang penulis bekerja sebagai staf
Kedeputian III Bidang Koordinasi Kesehatan, Kependudukan dan KB, Kementerian
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR

...

xvii

DAFTAR TABEL

...

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

...

xix

PENDAHULUAN

..

1

...
..
...

1
2
2
3
3

Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
Manfaat Penelitian
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Campylobacter jejuni.....
Gejala Klinis
Latar Belakang Timbulnya Resistensi Antimikroba pada Bakteri
Resistensi Bakteri Terhadap Antimikroba
Klasifikasi, Farmakodinamika dan Farmakokinetika Antimikroba
Klasifikasi antimikroba
Farmakodinamik dan Farmakokinetik antimikroba
Eritromisin
Tetrasiklin
Kloramfenikol
Amoksisilin
Siprofloksasin

5
..
.
..
.
..
.
.
..

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Materi Penelitian
Sampel isolat lokal
Hewan percobaan
.
Media
Metode Penelitian
..
Isolasi dan identifikasi Campylobacter jejuni
..
Uji Resistensi Antimikroba
..
Penentuan Minimal Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimal
Bactericidal Concentration (MBC)
.
Uji Efektifitas Pengobatan Terhadap Hewan (in vivo)
.
Pemeliharaan ayam broiler
..
Infeksi Campylobacter jejuni
..

5
5
6
8
12
12
17
18
19
22
24
25
27
27
27
27
27
28
28
29
31
33
34
34
35

xvi
Pengamatan gejala klinis yang timbul pasca infeksi
Pengobatan terhadap ayam terinfeksi
Evaluasi hasil pengobatan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Uji In Vitro
Isolat Demak
Isolat Kudus
Hasil Uji In Vivo
Isolat Demak
Isolat Kudus
Kerugian Ekonomi Hubungannya dengan Terapi
SIMPULAN DAN SARAN.
DAFTAR PUSTAKA

...
..
..

35
35
35

.

37

...

37
37
38
40
40
44
47

.
.
..
..

51

.

53

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Halaman
Spektrum antimikroba (Sumber : Giguere 2006)
..
. 13
Aktivitas beberapa antimikroba (Sumber : Giguere 2006)..
..
14
Pengelompokkan sampel uji resistensi
..
28
Hasil Pengujian oksidase, katalase dan API-Campy untuk identifikasi C. 30
jejuni/coli
Pola Pemeliharaan dan Aktifitas Percobaan
.
36
Hasil uji resistensi In Vitro terhadap isolat Campylobacter jejuni asal 37
Demak
.
Hasil uji resistensi In Vitro terhadap isolat Campylobacter jejuni asal 39
Kudus
.
Hasil uji In Vivo isolat Demak terhadap keberadaan Campylobacter jejuni.. 40
Hasil pengamatan pertambahan bobot badan isolat asal Demak
41
Hasil uji In Vivo isolat asal Kudus terhadap keberadaan Campylobacter 45
jejuni................................................................................................................
Hasil pengamatan pertambahan bobot badan isolat asal Kudus
. 46
Perbandingan rasio antar isolat dengan pemberian antimikroba
49
Penghitungan kerugian ekonomi per produksi bobot hidup 1 kg akibat 49
infeksi Campylobacter jejuni isolat asal Demak
Penghitungan kerugian ekonomi per produksi bobot hidup 1 kg akibat 49
infeksi Campylobacter jejuni isolat asal Kudus

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Halaman
Mekanisme Resistensi Bakteri Gram Negatif (Sumber: Peleg dan Hooper 11
2010)
..
Mekanisme resistensi bakteri gram positif (Sumber: Arias dan Murray, 2009) 12
Skema pengenceran antimikroba
33
Pola resistensi isolat Campylobacter jejuni asal Demak
38
Pola resistensi isolat Campylobacter jejuni asal Kudus
. 39
Diagram peningkatan bobot ayam harian yang di infeksi menggunakan C. 42
jejuni isolat asal Demak
..
Diagram peningkatan bobot ayam yang di infeksi menggunakan 42
Campylobacter jejuni isolat asal Demak
Diagram peningkatan bobot ayam harian yang di infeksi menggunakan 46
Campylobacter jejuni isolat asal Kudus
Diagram peningkatan bobot ayam yang di infeksi menggunakan 47
Campylobacter jejuni isolat asal Kudus

1

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Bagan alir pengujian Api-Campy®
Acuan kriteria resisten atau sensitif dalam penelitian
Hasil pengamatan terhadap kematian ayam coba
Hasil pengamatan gejala klinis ayam coba

Halaman
59
60
.. 62
63

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Bahan pangan merupakan kebutuhan pokok setiap manusia. Bahan pangan dapat
berasal dari tumbuhan (nabati) dan hewan (hewani). Jenis bahan pangan asal hewan memiliki
komposisi nutrisi (protein, karbohidrat, vitamin dan mineral) yang sangat cocok untuk
perkembangan tubuh dan regenerasi sel sekaligus menjadi media yang cukup baik untuk
perkembangan mikroorganisme yang berpotensi membawa bibit penyakit. Bahan pangan asal
hewan sangat mudah rusak atau mudah terjadi proses pembusukan akibat pengaruh fisik,
kimia, biologis dan mikrobiologis. Foodborne disease atau penyakit yang disebabkan akibat
mengkonsumsi makanan tercemar patogen. Salah satu penyebab terjadinya foodborne
disease adalah Campylobacter jejuni. Kampilobakteriosis terjadi akibat mengkonsumsi
pangan yang terkontaminasi dan tidak dimasak dengan benar. Infeksi ini digolongkan juga
sebagai penyakit zoonosa yang ditularkan melalui makanan atau foodborne zoonoses.
Kampilobakteriosis pada manusia ditandai dengan gejala diare, nyeri abdominal,
lemah, demam, mual dan muntah. Komplikasi akibat Campylobacter jejuni mencakup gejala
kejang febris pada anak, neonatal septikemi, reaktif arthritis, Guillain-Barre syndrome,
Reiter syndrome dan erythrema nodosum. Komplikasi ini biasanya terjadi pada penderita
yang mengalami imunosupresi. Guillain Barre syndrome jarang sekali terjadi, sindrom ini
berefek pada syaraf tubuh yang dimulai pada minggu pertama sejak timbulnya diare.
Sejak abad ke 20 antimikroba digunakan sebagai obat untuk menanggulangi penyakit.
Pada industri peternakan, pemberian antimikroba selain untuk pengobatan penyakit juga
digunakan sebagai imbuhan pakan untuk pemacu pertumbuhan, peningkatan produksi, dan
peningkatan efisiensi penggunaan pakan (Bahri et al. 2000). Penelitian dari Balai Penelitian
Veteriner (Balitvet), Puslitbang Peternakan Bogor menemukan bahwa 71,43% (5/7) pabrik
pakan di Kabupaten Bogor, Tanggerang, Cianjur, Bekasi dan Sukabumi menggunakan
antibiotik golongan tetrasiklin dan sulfonamide sebagai tambahan pakan (Balitvet 1990,
Bahri et al. 2000). Beberapa jenis antimikroba yang sering digunakan pada Industri
peternakan adalah tetrasiklin, siprofloksasin, enrofloksasin, doksisiklin, eritromisin,
sulfonamid, trimetoprim, amoksisilin, neomisin dan colistin.

2

Tingginya penggunaan antimikroba dipengaruhi oleh jumlah kasus penyakit sedangkan
kasus penyakit di dunia dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti arus urbanisasi, polusi,
perubahan demografis, penyebaran AIDS, munculnya kembali penyakit lama atau
munculnya penyakit baru dan perdagangan global (WHO 2002). Peningkatan kebutuhan
pangan dan penyebaran populasi manusia menjadi faktor penting dalam peningkatan
pemakaian antimikroba sebagai terapi dalam pengobatan dan imbuhan pakan secara rutin
pada industri peternakan. Perlakuan ini memberikan kontribusi terhadap terjadinya resistensi
mikroba yang dapat ditransmisikan dari hewan ke manusia.

Rumusan Masalah
Campylobacter jejuni merupakan bakteri patogen penyebab gastroenteritis pada
manusia yang tersebar luas diseluruh dunia. Insidensi terjadinya Campylobacter jejuni
terbanyak pada bayi dan anak-anak, diikuti orang dewasa antara usia 20-40 tahun (Lesmana
2003). Menurut Gilbert (2003) telah terjadi resistensi Campylobacter jejuni diberbagai
negara terhadap antimikroba seperti eritromisin, enrofloksasin dan siprofloksasin.
Penggunaan antimikroba pada ternak yang tidak sesuai aturan dan tanpa pengawasan dokter
hewan dapat menjadi faktor timbulnya resistensi terhadap antimikroba. Terjadinya kasus
resistensi pada bakteri patogen maupun komensal terhadap antimikroba dapat meningkatkan
resiko perpindahan resistensi pada Campylobacter jejuni. Penjelasan diatas menjadikan dasar
pentingnya dilakukan penelitian terhadap resistensi Campylobacter jejuni isolat lokal
terhadap beberapa jenis antimikroba.

Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk : a) mengetahui profil resistensi terhadap
5 jenis antimikroba (amoksisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin dan siprofloksasin)
isolat Campylobacter jejuni asal daging ayam; b) mendapatkan jenis antimikroba dan dosis
yang tepat untuk mengurangi kerugian akibat Campylobacter jejuni.

Manfaat penelitian
Manfaat langsung yang diharapkan dari penelitian ini adalah: a) diketahui profil
resistensi terhadap antimikroba amoksisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin dan

3

siprofloksasin; b) mendapatkan jenis antimikroba yang efektif untuk mengurangi kerugian
kampilobakteriosis pada unggas.

Hipotesis
Dalam penelitian ini disusun hipotesis sebagai berikut :
H0. =

ditemukan resistensi Campylobacter jejuni isolat lokal terhadap satu atau lebih
antimikroba yang diuji

H1. =

tidak ditemukan resistensi Campylobacter jejuni isolat lokal terhadap antimikroba
yang diuji

4

TINJAUAN PUSTAKA

Campylobacter jejuni
Campylobacter jejuni pertama kali diisolasi pada tahun 1909 dari plasenta fetus
ternak. Dalam perkembangannya genus Campylobacter jejuni dibagi atas :
1. Campylobacter fetus yang bersifat oportunitis
2. Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli yang bersifat patogen untuk
manusia
Kampilobakteriosis pada umumnya disebabkan oleh Campylobacter jejuni
dan Campylobacter coli. C. jejuni dan C. coli bersifat termofilik, Gram-negatif,
berbentuk langsing dan melengkung, dan dapat bergerak (OIE 2008 dan Schlundt et
al. 2004).

Beberapa spesies Campylobacter yang telah diketahui adalah :

Campylobacter fetus, Campylobacter jejuni, Campylobacter coli, Campylobacter
upsaliensis, Campylobacteri hyointestinalis, Campylobacteri lari, Campylobacteri
sputorum, Campylobacter mucosalis dan Campylobacter rectus (Lesmana 2003).
Campylobacter jejuni merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang
bengkok (wing shape) atau seperti huruf S atau batang spiral (pada sel yang sudah
tua berbentuk kokoid atau bulat). Memiliki ukuran lebar 0.2-0.9 µm dan panjang 0.55.0 µm. Bakteri ini tidak membentuk spora. Alat gerak bakteri ini berupa 1 buah
flagella di kedua ujungnya dengan arah gerak positif. Campylobacter jejuni hidup
pada kondisi mikroaerofilik (CO2 10%, 02 5% dan N2 85%). Bakteri ini bersifat
invasif dan mampu membentuk toksin yang menyerupai toksin kolera. Pengkulturan
C. jejuni dalam media perlu ditambahkan antibiotika untuk mencegah persaingan
dengan mikroflora lainnya. Koloni akan tumbuh bulat, meninggi, tembus sinar tetapi
tidak transparan (translucent), dan kadang-kadang bersifat mukoid. Bakteri dapat di
identifikasi dengan serangkaian uji biokimia (Lesmana 2003 dan Dharmojono 2001).

Gejala Klinis
Menurut Lesmana (2003) gejala klinis infeksi Campylobacter jejuni di Negara
maju berbeda dari yang ditemukan di Negara berkembang. Anak-anak di Negara

5

tropis yang menderita Campylobacter jejuni menunjukkan gejala diare tanpa tanda
peradangan. Infeksi yang bersifat simptomatik biasanya terjadi pada usia dibawah 1
tahun, sedangkan infeksi asimptomatik banyak dijumpai pada usia anak yang lebih
dari 1 tahun. Patogenesis C. jejuni masih kurang dipahami. C. jejuni menimbukan
enterokolitis akut yang tidak mudah dibedakan dengan penyakit yang disebabkan
oleh patogen enterik lainnya (Schlundt et al. 2004). Gejala infeksi Campylobacter
jejuni dapat bervariasi namun gejala utamanya adalah : malaise, demam, nyeri perut,
diare yang berlangsung beberapa hari sampai lebih dari 1 minggu (mengandung darah
atau hanya air saja) serta mual dan muntah. Infeksi ekstra intestinal akibat
Campylobacter jejuni yang dapat terjadi, meliputi : bakteriemia, meningitis, abortus,
sepsis neonatorum dan sindrom Guillain-Barre.
Sindrom Guillain-Barre adalah suatu kelainan paralitik dari sistem saraf perifer.
Tidak semua jenis Campylobacter jejuni dapat menyebabkan sindrom ini, hanya
beberapa serotipe tertentu saja, diantaranya yang paling banyak adalah serotipe O:19.
Patogenesis dari sindrom ini belum dapat dijelaskan secara pasti namun diduga akibat
suatu bagian yang mirip gangliosida di dalam lipopolisakarida Campylobacter jejuni
mengadakan reaksi silang dengan jaringan syaraf perifer. Waktu inkubasi infeksi
Campylobacter jejuni biasanya berlangsung antara 2 sampai 4 hari, dengan jarak
antara 1 sampai 10 hari, tergantung dari dosis yang masuk (Viray dan Lynch 2012).
Menurut Center for Food Security and Public Health Iowa State University
Cillege of Veterinary Medicine (2003) Campylobacter jejuni dapat menyerang sapi,
kambing, domba, kalkun, anjing, kucing, marmot, babi, primata dan spesies lainnya.
Hewan dapat terinfeksi tanpa menunjukkan gejala klinis. Masa inkubasi infeksi ini
sangat singkat. Simptom enteritis muncul dalam 3 hari pada anak anjing, anak ayam
dan ayam dewasa. Gejala yang tampak adalah timbulnya diare dengan feses yang
berwarna kekuningan kadang disertai mucus atau darah.

Latar Belakang Timbulnya Resistensi Antimikroba pada Bakteri
Pada dunia peternakan antimikroba digunakan untuk terapi infeksi penyakit dan
imbuhan pakan. Pemakaian sebagai imbuhan pakan ditujukan untuk memperbaiki

6

penampilan ternak, peningkatkan produksi ternak, pemacu pertambahan bobot, serta
efisiensi penggunaan pakan. Pemakaian antibiotik sebagai imbuhan pakan biasanya
digunakan pada industri ternak potong, terutama ternak ayam dan babi serta ternak
penghasil susu untuk konsumsi manusia (EMEA 1999, Furuya dan Lowy 2006).
Menurut Feed Animal Compedium (Anonim 2002) antimikroba yang
direkomendasikan dipakai sebagai imbuhan pakan unggas adalah penisilin, basitrasin,
streptomisin, eritromisin, tilosin, neomisin, tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin,
linkomisin, spiramisin dan virginiamisin. Dosis antimikroba yang digunakan sebagai
imbuhan pakan biasanya lebih rendah dibanding dosis pengobatan.
Pemakaian antimikroba sebagai imbuhan pakan dengan dosis yang tidak tepat
dapat memicu resistensi mikroba terhadap bakteri. Akibat yang akan terjadi jika
pemakaian antimikroba seperti hal diatas maka hanya bakteri resisten yang mampu
bertahan hidup dalam ekosistemnya sedangkan bakteri yang sensitif akan tereliminasi
(Furuya dan Lowy 2006).
Menurut WHO (2002) pengobatan yang dilakukan tanpa resep dokter akan
mengakibatkan ukuran dosis menjadi tidak tepat bisa lebih rendah atau lebih tinggi,
bahkan jangka waktu penggunaannya juga tidak diperhitungkan dengan baik dan
benar. Pada beberapa negara pembelian antimikroba dapat dilakukan tanpa ada resep
dokter, hal ini menimbulkan terjadinya resistensi terhadap antimikroba. Rumah sakit
merupakan salah satu komponen kritis dalam penyebaran resistensi antimikroba.
Kombinasi antara tingginya jumlah pasien, penggunaan antimikroba secara intensif
dalam jangka waktu lama, terjadinya resistensi silang akibat infeksi nosokomial oleh
bakteri patogen yang resisten yang dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi
bakteri resisten. Penanganan infeksi bakteri resisten di rumah sakit membutuhkan
biaya yang mahal dan sulit dilakukan karena obat yang digunakan biasanya tidak
tersedia setiap saat dan beberapa sediaan antimikroba untuk terapi infeksi bakteri
resisten masih terdapat pembatasan impor. Pencegahan infeksi sederhana biasanya
dilakukan pencucian tangan, penggantian sarung tangan setiap penanganan pasien.
Komponen kritis lainnya adalah penggunaan antimikroba oleh industri peternakan
yang menggunakan antibiotik sebagai imbuhan pakan dan sebagai terapi

7

penanggulangan penyakit tanpa pengawasan dokter hewan. Luasnya penggunaan
antimikroba dalam terapi dan imbuhan pakan pada hewan secara tidak langsung
meningkatkan

risiko

terjadinya

resistensi

bakteri

seperti

Salmonella

dan

Campylobacter jejuni dan memiliki kemungkinan bakteri tersebut dapat masuk dalam
makanan yang kemudian menginfeksi manusia (WHO 2002).
Resistensi bakteri merupakan masalah yang harus mendapat perhatian khusus
karena menyebabkan terjadinya banyak kegagalan pada terapi dengan antimikroba.
Berbagai strategi disusun untuk mengatasi masalah resistensi, diantaranya dengan
mencari antimikroba baru atau menciptakan antimikroba semisintetik. Meskipun
demikian ternyata usaha ini belum dapat memecahkan masalah. Kehadiran
antimikroba baru diikuti jenis resitensi baru dari bakteri sebagai pertahanan hidup.
Penggunaan bermacam-macam antimikroba yang tersedia telah mengakibatkan
munculnya banyak jenis bakteri yang resisten terhadap lebih dari satu jenis
antimikroba (multiple drug resistance).

Resistensi Bakteri Terhadap Antimikroba
Menurut The Committee for Veterinary Medical Products, istilah resistensi
antimikroba mengacu pada dua pengertian, yaitu resistensi mikrobial dan resistensi
klinik. Resistensi mikrobial adalah suatu proses biologi yang terkait dengan berbagai
mekanisme resistensi yang melibatkan peran gen resistensi dalam satu bakteri.
Resistensi mikrobial dipengaruhi oleh suatu enzim yang membuat agen antimikroba
tidak aktif (EMEA 1999, Fluit et al. 2001). Resistensi klinis adalah resistensi bakteri
berdasarkan efek yang ditimbulkan terhadap bakteri setelah pengobatan. Pengertian
resistensi klinik berkaitan dengan keberhasilan suatu pengobatan dengan antimikroba
yang tergantung dari dosis yang diberikan, spesies agen penyakit, mekanisme
farmakokinetik antimikroba, status pertahanan tubuh inang dan konsentrasi
antimikroba yang dapat mencapai bakteri dalam organ atau jaringan tubuh induk
semang (EMEA 1999, Fluit et al. 2001).
Peneliti dari Jepang melaporkan pertama kali mengenai adanya gen resistensi
yang dapat berpindah antar bakteri (Davies 1997). Gen bakteri yang mengendalikan

8

resistensi terhadap antimikroba ternyata dapat berpindah antara DNA kromosom dan
DNA ekstra kromosom bakteri, baik antar spesies yang sama maupun spesies yang
berbeda atau antara bakteri gram positif dengan bakteri gram negatif (Courvalin
1994, Tassios et al. 1997, Ling et al. 1998, Nastasi et al. 2000).
Resistensi kromosomal adalah resistensi yang timbul karena adanya mutasi
susunan asam nukleat dalam kromosom bakteri. Mutasi tersebut mengakibatkan
terjadinya sintesis protein atau makromolekul lain yang berbeda sehingga
mengganggu aktivitas antimikroba terhadap sel inang. Mutasi dalam kromosom
terjadi karena pendedahan yang terus menerus (Anonim 2006). Perkembangan
resistensi antimikroba karena mutasi biasanya spesifik terhadap antimikroba tertentu
atau spesifik untuk golongan antimikroba yang sama atau berdekatan dan sifat ini
dapat diturunkan (EMEA 1999).
Plasmid merupakan elemen genetik yang terdapat diluar kromosom yang
dimiliki oleh sebagian bakteri gram positif, gram negatif dan beberapa khamir
(EMEA 1999). Plasmid dapat bereplikasi sendiri tanpa bergantung dari kromosom
dan plasmid mengandung materi genetik. Plasmid berperan penting dalam evolusi,
metabolisme, fertilitas. Plasmid mengandung berbagai macam gen seperti gen
resistensi terhadap antimikroba dan logam berat, gen pengendali produksi toksin, gen
perangsang pertumbuhan tumor dan lain-lain (Anonim 2006). Plasmid pengendali
gen resistensi adalah plasmid R yang ditemukan di Jepang saat terjadi wabah disentri
oleh Shigella dysentrie. Sifat resistensi pada plasmid lebih mudah berpindah daripada
dalam kromosom, karena plasmid dapat dipindahkan antar sel baik yang sama
maupun berbeda spesies (Courvalin 1994, Davies 1997).
Resistensi bakteri adalah suatu keadaaan dimana kehidupan bakteri itu sama
sekali tidak terganggu oleh kehadiran antimikroba. Sifat ini merupakan suatu
mekanisme pertahanan tubuh dari suatu makhluk hidup. Penggunaan antimikroba
secara berlebihan dan tidak selektif akan meningkatkan kemampuan bakteri untuk
bertahan (Craig dan Stitzel 2005). Mekanisme terjadinya resistensi bakteri terhadap
antimikroba tergantung pada jenis bakteri, yaitu resistensi antimikroba oleh bakteri
gram negatif dan bakteri gram positif.

9

Menurut Peleg and Hooper (2010) terdapat beberapa mekanisme resistensi
antimikroba dari bakteri gram negatif yang digunakan sebagai perlawanan terhadap
antimikroba. Mekanisme-mekanisme tersebut adalah:
-

Resistensi melalui penutupan celah atau pori (loss of porins) pada dinding sel
bakteri, sehingga menurunkan jumlah obat yang melintasi membran sel;
peningkatan produksi betalaktamase dalam periplasmik, sehingga merusak
struktur betalaktam;

-

Peningkatan aktivitas pompa keluaran (efflux pump) pada transmembran,
sehingga bakteri akan membawa obat keluar sebelum memberikan efek;

-

Modifikasi enzim-enzim, sehingga antimikroba tidak dapat berinteraksi dengan
tempat target;

-

Mutasi tempat target, sehingga mengahambat bergabungnya antimikroba dengan
tempat aksi;

-

Modifikasi

atau

mutasi

ribosomal,

sehingga

mencegah

bergabungnya

antimikroba yang menghambat sistesis protein bakteri;
-

Mekanisme langsung terhadap metabolik (metabolic bypass mechanism), yang
merupakan enzim alternatif untuk melintasi efek penghambatan antimikroba; dan

-

Mutasi dalam lipopolisakarida, yang biasanya terjadi pada antimikroba
polimiksin, sehingga tidak dapat berikatan dengan targetnya.

10

Gambar 1 Mekanisme Resistensi Bakteri Gram Negatif (Peleg dan Hooper 2010)
Hasil studi yang dilakukan Arias dan Murray (2009) menggambarkan
mekanisme resistensi antimikroba yang umum terdapat pada bakteri gram positif
sebagai contoh adalah bakteri Methicillin-Resistant Staphylococccus aureus.
Mekanisme resistensi dapat ditempuh melalui 4 jalur, yaitu : 1) peningkatan produksi
enzim betalaktamase (penisilinase), sehingga menurunkan afinitas penisilin-binding
protein (PBP) terhadap antimikroba betalaktam; 2) resistensi tingkat tinggi pada
glikopeptida yang menyebabkan pemindahan atau mutasi asam amino terakhir dari
prekursor peptidoglikan (D-alanine [D-Ala] ke D-lactate [D-Lac]); 3) resistensi
tingkat rendah pada glikopeptida yang berhubungan dengan peningkatan sintesis
peptidoglikan, yaitu penambahan lapisan dinding bakteri yang menyebabkan
terjadinya pengentalan dinding sel, sehingga menghambat antimikroba melintasi
membran sel dan tidak dapat berinteraksi dengan prekursor yang ada dalam
sitoplasma; dan 4) resistensi melibatkan modifikasi atau mutasi dari DNA atau
ribosomal RNA (rRNA).

11

Gambar 2 Mekanisme resistensi bakteri gram positif (Sumber: Arias dan Murray,
2009)

Klasifikasi, Farmakodinamika dan Farmakokinetika Antimikroba
Klasifikasi Antimikroba
Menurut Giguere (2006) antimikroba adalah zat-zat yang dihasilkan oleh
berbagai spesies mikroba maupun yang dibuat secara sintetik yang dalam jumlah
kecil dapat membunuh/menghambat pertumbuhan mikroba lain (bakteri, jamur dll.).
Obat antimikroba dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kelompok yaitu :
target

mikroorganisme,

aktivitas

antibakteri,

kemampuan

bakterisidal

atau

bakteriostatik serta waktu dan konsentrasi obat, yang dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1) Target mikroorganisme
Antibakteri digambarkan sebagai spektrum sempit jika hanya menghambat
bakteri saja atau dikatakan berspektrum luas jika dapat menghambat bakteri,

12

mikoplasma,

rikettsia

dan

klamidia.

Spektrum

aktivitas

terhadap

target

mikroorganisme dijelaskan pada Tabel 1.
2) Aktivitas antibakteri
Beberapa obat antimikroba hanya menghambat bakteri gram negatif atau gram
positif saja sehingga disebut memiliki aktivitas yang sempit, sedangkan antimikroba
dengan aktivitas spektrum yang luas memiliki kemampuan menghambat atau bekerja
pada bakteri gram negatif dan positif. Definisi ini tidak sepenuhnya mutlak karena
beberapa jenis antimikroba dapat bekerja terhadap kedua kelompok bakteri baik gram
positif dan negatif tetapi hanya menghambat sebagian jenis bakteri dari keduanya.
Aktifitas beberapa jenis antimikroba terhadap kelompok bakteri gram positif maupun
negatif dijelaskan pada Tabel 2.
Tabel 1. Spektrum obat antimikroba (Sumber : Giguere 2006)
Antimikroba
Aminoglikosida
Beta-laktam
Kloramfenikol
Fluorokuinolon
Linkosamid
Makrolid
Oksazolidinon
Pleuromutilin
Tetrasiklin
Streptogramin
Sulfonamid
Trimethoprim

Keterangan

: +/-

Bakteri
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+

Fungi
-

Kelas mikroorganisme
Mikoplasma
riketsia
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-

= hanya melawan beberapa jenis protozoa

klamidia
+
+
+
+
+
+
+
-

protozoa
+/+/+/+/+
+

13

Tabel 2. Aktivitas beberapa antimikroba (Sumber : Giguere 2006)
Bakteri aerob
Aktivitas

Bakteri
anaerob

Contoh

Gram

Gram

Gram

Gram

+

-

+

-

+

+

+

+

Cukup

+

+

+

(+)

Generasi ke 3 dan 4 sepalosporin

luas

+

(+)

+

(+)

Generasi ke 2 sepalosporin

(+)

(+)

(+)

(+)

Tetrasiklin

+

+/-

+

(+)

Ampisillin; amoksisilin; generasi 1 cephalosporin

+

-

+

(+)

+

+/-

+

(+)

+/-

+

-

-

Monobaktan; aminoglikosida

(+)

+

-

-

Generasi ke 2 fluorokuinolon

(+)

(+)

-

-

Trimetroprim-sulfa

-

-

+

+

Nitromidazol

+

-

(+)

(+)

Sangat
luas

Sempit

Keterangan :

karbapenam; kloramfenikol; generasi ke 3
fluorokuinolon (siprofloksasin); glycylcyline

Penisilin; linkosamid; glikopeptida, streptogramin;
oxazolidinon
Makrolid (erythromycin)

Rimfamisin

+

= aktivitas sangat baik

(+)

= aktivitas cukup

+/-

= aktivitas terbatas

-

= tidak ada aktivitas atau diabaikan

3) Kemampuan bakterisidal dan bakteriostatik
Beberapa jenis antimikroba menghambat pertumbuhan bakteri pada suatu
konsentrasi, atau disebut konsentrasi penghambatan minimum Minimum Inhibitory
Concentration

(MIC), namun membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi untuk

membunuh atau konsentrasi pembunuhan minimum
Concentraton

Minimum Bactericidal

(MBC). Pada pengenceran tinggi suatu antimikroba dapat

menyebabkan penghambatan pertumbuhan bakteri maka antimikroba disebut sebagai
bakteriostatik namun pada pengenceran yang hampir sama atau sama

dapat

membunuh bakteri maka antimikroba disebut bakterisidal. Sehingga terdapat dua

14

pengelompokkan yaitu : Bakteriostatik (kloramfenikol, tetrasiklin) dan Bakterisidal
(beta-lactam, aminoglikosida). Hal ini tidak berlaku mutlak karena bergantung juga
pada konsentrasi obat dan jenis mikroba target. Salah satu contohnya adalah benzyl
penisilin dari kelompik bakterisidal namun pada konsentrasi rendah dapat sebagai
bakteriostatik.
4) Waktu dan Konsentrasi obat
Antimikroba seringkali diklasifikasikan berdasarkan aktifitas waktu atau
konsentrasi

yang

bergantung

pada

farmakodinamik.

Farmakodinamik

obat

menggambarkan efek obat terhadap bakteri. Farmakokinetik obat menggambarkan
konsentrasi obat dalam serum host yang melalui proses absorpsi, distribusi,
metabolisme dan eliminasi. Ketika digabungkan dengan nilai MIC dapat
memprediksi kemungkinan pemusnahan bakteri dan keberhasilan pengobatan.
Beberapa jenis antimikroba mampu meningkatkan efek bakterisidal jika dilakukan
penambahan konsentrasi. Beberapa jenis antimikroba juga membutuhkan waktu
cukup lama dan konsentrasi tinggi untuk dapat bekerja efektif seperti fluoroquinolone
dan aminoglikosida.
Antimikroba dikenal sebagai agen antimikroba, yaitu obat yang digunakan
untuk melawan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Pada tahun 1927, Alexander
Fleming menemukan antimikroba pertama yaitu penisilin. Istilah "antibiotik" awalnya
dikenal sebagai senyawa alami yang dihasilkan oleh jamur atau mikroorganisme lain
yang membunuh bakteri penyebab penyakit pada manusia atau hewan. Beberapa
antimikroba merupakan senyawa sintetis (tidak dihasilkan oleh mikroorganisme)
yang juga dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Secara teknis,
istilah "agen antibakteri" mengacu pada kedua senyawa alami dan sintetis, akan tetapi
banyak orang menggunakan kata "antimikroba" untuk merujuk kepada keduanya.
Meskipun antimikroba memiliki banyak manfaat, tetapi penggunaannya telah
berkontribusi tehadap terjadinya resistensi. (Katzung 2007). Antimikroba dapat
digolongkan berdasarkan aktivitas, cara kerja maupun struktur kimianya.

15

Berdasarkan aktivitasnya, antimikroba dibagi menjadi dua golongan besar,
yaitu (Ganiswara 1995, Lüllmann et al. 2005):
1. Antimikroba kerja luas (broad spektrum), yaitu agen yang dapat menghambat
pertumbuhan dan mematikan bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif.
Golongan ini diharapkan dapat menghambat pertumbuhan dan mematikan
sebagian besar bakteri. Yang termasuk golongan ini adalah tetrasiklin dan
derivatnya, kloramfenikol, ampisilin, sefalosporin, carbapenem dan lain-lain.
2. Antimikroba kerja sempit (narrow spektrum) adalah golongan ini hanya aktif
terhadap beberapa bakteri saja. Yang termasuk golongan ini adalah penisilina,
streptomisin, neomisin, basitrasin.
Penggolongan antimikroba berdasarkan cara kerjanya pada bakteri adalah
sebagai berikut (Ganiswara 1995; Lüllmann et al. 2005):
1. Antimikroba yang bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri,
misalnya penisilin, sefalosporin, carbapenem, basitrasin, vankomisin, sikloserin.
2. Antimikroba yang mengganggu keutuhan membran sel mikroba, yang termasuk
kelompok ini adalah polimiksin, golongan polien serta berbagai antibakteri
kemoterapetik.
3. Antimikroba yang bekerja dengan menghambat sintesa protein, yang termasuk
golongan ini adalah kloramfenikol, eritromisin, linkomisin, tetrasiklin dan
antimikroba golongan aminoglikosida.
4. Antimikroba yang bekerja melalui penghambatan sintesis asam nukleat bakteri,
yang termasuk golongan ini adalah asam nalidiksat, rifampisin, sulfonamid,
trimetoprim.
5. Antimikroba yang menghambat metabolisme sel mikroba, yang termasuk dalam
kelompok ini adalah sulfonamid, trimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS) dan
sulfon.
Penggolongan antimikroba berdasarkan gugus kimianya dibagi atas (Katzung
2007) :
1. Senyawa Beta-laktam dan Penghambat Sintesis Dinding Sel Lainnya. Mekanisme
aksi penisilin dan antimikroba yang mempunyai struktur mirip dengan -laktam

16

adalah menghambat pertumbuhan bakteri melalui pengaruhnya terhadap sintesis
dinding sel. Dinding sel ini tidak ditemukan pada sel-sel tubuh manusia dan
hewan, antara lain: golongan penisilin, sefalosporin dan sefamisin serta betalaktam
lainnya.
2. Kloramfenikol, Tetrasiklin, Makrolida, Clindamisin dan Streptogramin
Golongan agen ini berperan dalam penghambatan sintesis protein bakteri dengan
cara mengikat dan mengganggu ribosom, antara lain: kloramfenikol, tetrasiklin,
makrolida, klindamisin, streptogramin, oksazolidinon.
3. Aminoglikosida
Golongan Aminoglikosida, antara lain: streptomisin, neomisin, kanamisin,
amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomicin, etilmicin, dan lain-lain.
4. Sulfonamida, Trimethoprim, dan Kuinolon
Sulfonamida, aktivitas antimikroba secara kompetitif menghambat sintesis
dihidropteroat. Antimikroba golongan Sulfonamida, antara lain Sulfasitin,
sulfisoksazole, sulfamethizole, sulfadiazine, sulfamethoksazole, sulfapiridin,
sulfadoxine dan golongan pirimidin adalah trimethoprim. Trimethoprim dan
kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol menghambat bakteri melalui jalur asam
dihidrofolat reduktase dan menghambat aktivitas reduktase asam dihidrofolik
protozoa, sehingga menghasilkan efek sinergis. Fluoroquinolon adalah quinolones
yang

mempunyai

mekanisme

menghambat

sintesis

DNA

bakteri

pada

topoisomerase II (DNA girase) dan topoisomerase IV. Golongan obat ini adalah
asam nalidiksat, asam oksolinat, sinoksasin, siprofloksasin, levofloksa