Prevalence of campylobacter jejuni from chicken carcasses and developing detection method

(1)

PREVALENSI CAMPYLOBACTER JEJUNI

PADA KARKAS AYAM DAN PENGEMBANGAN

UJI DETEKSINYA

ANDRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: Prevalensi

Campylobacter jejuni pada Karkas Ayam dan Pengembangan Uji Deteksinya adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012

Andriani


(4)

(5)

ANDRIANI. Prevalence of Campylobacter jejuni from Chicken Carcasses and

Developing Detection Method. Under direction of MIRNAWATI

SUDARWANTO, SURACHMI SETIYANINGSIH, and HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM.

Chicken meat and eggs are the main source of animal protein in Indonesia because they are relative cheaper than cattle products. Campylobacter jejuni is a foodborne zoonotic pathogen predominantly found in chicken carcasses. C. jejuni

causes gastroenteritis in humans, had a very low infectious dose that is easy to cause infection in humans. The study was aimed to (1) rapidly detect C. jejuni contamination in chicken carcass (2) determine the prevalence of contamination and quantitative analyse of the risk of thermophilic Campylobacter sp. when mishandling consume. (3) produce immune sera against the local isolates that can be used as a reagent for ELISA. A total of 298 chicken carcass samples sold in modern and traditional markets in the area of Jakarta, West Java (Bogor and Sukabumi) and Central Java (Kudus and Demak) were collected and attempted for isolation following ISO/ DIS 10272-1994 protocol, identification using biochemical API Campy, and polymerase chain reaction (PCR) assay using hipO, glyA, fla, and 23S rRNA primer sets for species identification. The result is chicken carcasses sold in the sampling area both traditional markets and supermarkets are contaminated with

C. jejuni and C. coli. Prevalence of Campylobacter sp. contamination on chicken carcasses was isolated by conventional (19.8%) and PCR (41.6%). The contamination rate of Campylobacter sp. on chicken carcasses sold in supermarkets, markedly 14.09% is higher than in traditional markets 5.70%. It is also confirmed that the prevalence for contamination of C. jejuni was higher than C. coli. Prevalence of C. jejuni contamination that sold in traditional markets 88.23% was higher than C. coli 11.76%. The prevalence of C. jejuni contamination in carcasses sold in swalayan was 78.57%. These were higher than contamination of C. coli that was identified by conventional methods 21.42%. Flagella and whole cell antigen purification from a local isolate of C. jejuni (C1) was done by glycine extraction and produced flagellar protein of 31 kDa. Animal immunization against flagellar protein extract induced higher specific antibody titers in chicken than rabbits and sheep. A probability model describing variability but not uncertainty was developed in beta-poisson model. The result is microorganism reduction 2 log cfu/gram and the output sof the model was the probability of illness per handling if the roasted chicken mishandled is 4 for 1 000 humans.


(6)

(7)

ANDRIANI. Prevalensi Campylobacter jejuni pada Karkas Ayam dan Pengembangan Uji Deteksinya. Dibimbing oleh MIRNAWATI SUDARWANTO,

SURACHMI SETIYANINGSIH, dan HARSI DEWANTARI

KUSUMANINGRUM.

Bahan pangan asal ternak seperti daging, susu, dan telur adalah sumber protein hewani. Saat ini kebutuhan bahan pangan asal ternak terutama daging ayam di Indonesia terus meningkat. Selain harganya relatif murah, rasanya yang lezat menjadikannya sangat disukai oleh konsumen. Untuk itu perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan kualitas bahan pangan tersebut. Kontaminasi mikroorganisme pada bahan pangan asal ternak yang kandungan proteinnya tinggi dapat menurunkan kualitas bahan pangan tersebut. Kontaminasi mikroorganisme patogen selain menurunkan kualitas bahan pangan juga merupakan agen foodborne zoonosis.

Campylobacter jejuni adalah bakteri patogen yang umumnya mengkontaminasi karkas ayam. Campylobacter sp. memiliki dosis infektif yang sangat rendah sehingga mudah menyebabkan infeksi pada manusia. Campylobacter sp. bersifat mikroaerofilik dan sangat fragile sehingga menyebabkan bakteri ini sulit dikultur meskipun menggunakan media penyubur dan media selektif. Prosedur isolasi dan identifikasi Campylobacter sp. memerlukan waktu yang cukup lama serta harus dilakukan secara intensif melalui beberapa tahapan uji. Untuk mengetahui adanya kontaminasi Campylobacter jejuni pada bahan pangan sehingga dapat memberi keyakinan pada konsumen mengenai keamanan bahan pangan tersebut, maka penelitian ini diperlukan untuk mengurangi kejadian kontaminasi bakteri

Campylobacter sp. Sampel berupa karkas ayam diambil dari pasar tradisional dan swalayan di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat (Bogor dan Sukabumi), Jawa Tengah (Kudus dan Demak). Isolat C1 hasil isolasi dari karkas ayam yang diambil dari Sukabumi dan telah dikarakterisasi sebagai Campylobacter jejuni digunakan sebagai antigen untuk memproduksi antibodi pada hewan percobaan kelinci, domba, dan ayam. Mengkonsumsi ayam panggang yang dimasak tidak sempurna mempunyai peluang menyebabkan campylobacteriosis pada manusia sehingga dilakukan kajian risikonya. Penelitian ini dilakukan untuk (1) mengetahui metode yang cepat dan tepat untuk deteksi C. jejuni sebagai kontaminan pada karkas ayam (2) mengetahui prevalensi C. jejuni pada karkas ayam serta kajian risikonya (3) memproduksi antigen isolat lokal dan serum hiperimun Campylobacter jejuni untuk mengembangkan metode ELISA.

Prevalensi kontaminasi Campylobacter sp. pada karkas ayam dilakukan secara konvensional sesuai ISO/DIS 10272-1994. Spesies C. jejuni adalah kontaminan utama karkas ayam yang dijual di pasar tradisional dan swalayan pada lokasi pengambilan sampel. Hasil yang diperoleh adalah prevalensi kontaminasi

Campylobacter sp. 59 (19.8%) dimana 48 (81.4%) diidentifikasi sebagai spesies C. jejuni dan C. coli 11 (18.7%). Kontaminasi Campylobacter sp. di pasar swalayan, 42 kasus (14.1%) lebih tinggi jika dibandingkan pasar tradisional 17 kasus (5.7%). Sebanyak 17 isolat positif Campylobacter sp. dari karkas ayam yang dijual di pasar tradisional sebanyak 15 (88.2%) adalah C. jejuni dan C. coli 2 (11.8%), sedangkan 42 sampel dari karkas yang dijual di swalayan 33 (78.57%) adalah C. jejuni dan 9 (21.42%) adalah C. coli.


(8)

ini dapat digunakan untuk mendeteksi C. jejuni dan C. coli sebagai kontaminan pada daging ayam yang dijual di pasar swalayan dan tradisonal di lokasi pengambilan sampel. Hasil yang diperoleh adalah metode cepat PCR lebih sensitif mendeteksi C. jejuni dan C. coli daripada metode konvensional dengan deteksi minimum C. jejuni 103 cfu/ml, sensitivitas 91.7%, dan spesifitasnya 75.9%.

Isolat lokal C. jejuni yang berasal dari karkas ayam di Sukabumi, setelah dikarakterisasi secara PCR dengan gen hipO digunakan sebagai antigen untuk memperoleh antibodi pada hewan percobaan kelinci, domba, dan ayam. Respon antibodi pada hewan percobaan terhadap antigen flagella yang diimunisasikan memperlihatkan respon peningkatan titer antibodi yang lebih tinggi daripada whole cell. Antibodi yang dihasilkan dari serum ayam memberikan respon yang lebih baik jika dibandingkan kelinci dan domba terhadap imunisasi antigen C. jejuni whole cell

maupun flagella. Pemurnian antigen C. jejuni isolat lokal (C1) melalui ekstraksi glycin menghasilkan protein flagella dengan berat molekul 31 kDa yang merupakan protein flagella dan bersifat imunogenik. Protein tersebut tidak dapat ditemukan bila diekstraksi menggunakan sarcosinate.

Proses pemanggangan ayam secara simulasi menggunakan oven suhu 150 oC selama 30 menit dapat menurunkan 2 log cfu/gram Campylobacter sp. Kajian risiko paparan Campylobacter sp. akibat mengkonsumsi daging ayam diperoleh dari data survei sehingga diperoleh jumlah kontaminasi Campylobacter sp. yang terdapat dalam satu porsi daging ayam yang berpotensi dan terpapar ketika dikonsumsi. Paparan kontaminasi Campylobacter sp. diperoleh dari data sekunder. Rataan paparan kontaminasi pada karkas ayam yaitu 1.3x103 cfu/100 gram, sedangkan pada ayam panggang adalah 1.23 cfu/ 100 gram. Angka prevalensi kontaminasi diperoleh dari rataan data sekunder di Indonesia dan hasil penelitian yaitu 23.7%. Peluang risiko menderita campylobacteriosis pada manusia dianalisa mengunakan Model

Beta poison adalah 4 dari 1 000 orang yang mengkonsumsi ayam panggang, namun hasil tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi kontaminasi karkas ayam sebelum diproses, virulensi mikroorganisme serta faktor kekebalan individu.


(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

Nama NRP

: :

Andriani B 261070021

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto

drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D. Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan

Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si . Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(11)

PREVALENSI CAMPYLOBACTER JEJUNI

PADA KARKAS AYAM DAN PENGEMBANGAN

UJI DETEKSINYA

ANDRIANI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

Penguji luar komisi pada ujian tertutup : Prof. drh. Roostita Balia, M.App.Sc., Ph.D. Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si.

Penguji luar komisi pada ujian terbuka : Prof. Dr. drh. Bambang Sumiarto SU, M.Sc. Dr. drh. Hardiman, MM.


(13)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan HidayahNya sehingga desertasi berjudul Prevalensi Campylobacter jejuni pada Karkas Ayam dan Pengembangan Uji Deteksinya dapat disusun dan diselesaikan.

Disertasi ini memuat topik yang merupakan kajian mengenai bakteri patogen

Campylobacter jejuni berikutkajian risiko terhadap infeksinya serta upaya pengembangan metode ELISA. Tiga topik naskah telah diterima oleh redaksi jurnal terakreditasi. Naskah berjudul “Metode Direct PCR untuk Deteksi Campylobacter sp. pada Daging Ayam.” sudah diterima untuk dipublikasikan pada Jurnal Veteriner ISSN: 1411-8327 Volume 14, No. 1, Edisi Maret tahun 2013. Naskah berjudul “Prevalensi Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli pada Karkas Ayam dari Pasar Tradisional dan Swalayan” sudah diterima untuk dimuat dalam Jurnal Teknologi Industri Pangan dengan Nomor Naskah 49/JTIP/03/12. Naskah berjudul “Kajian Risiko Campylobacter sp. pada Ayam Panggang” sudah diterima dan akan

dimuat pada artikel Jurnal Kedokteran Hewan Universitas Syah Kuala Volume 17 No. 1 Edisi Maret Tahun 2013.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang mendalam serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat Ketua Komisi Pembimbing Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto, atas segala arahan dan bimbingannya selama pendidikan sampai penyelesaian studi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada yang terhormat drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D. dan Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan.Terima kasih drh. Herwin Pisestyani, M.Si., drh. Rama Prima Syahti Fauzi, M.Si., Ir. Dela Ayu Basuki, dan Ir. Ashari Widhiasmoro atas kerjasamanya selama penelitian. Terima kasih kepada Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner beserta seluruh staf pengajar dan laboran di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Laboratorium Terpadu Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang telah meluangkan waktu selama penelitian. Terima kasih kepada Prof. drh. Roostita Balia, M.App.Sc., Ph.D. dan Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si. sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Prof. Dr.


(14)

Dr. Hardiman, MM. selaku Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET) beserta peneliti dan teknisi di Laboratorium Bakteriologi BBALITVET, Zakiah Muhajan, SS, M.Hum. selaku pustakawan di BBALITVET atas segala bantuan selama menyelesaikan penelitian.

Disertasi ini masih banyak ditemukan beberapa kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun dan menyempurnakan disertasi ini sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi masyarakat secara umum, khususnya di bidang kesehatan masyarakat veteriner.

Bogor, Agustus 2012


(15)

Penulis adalah anak kedua dari 3 bersaudara putri Bapak Drs. Harsojo dan Ibu Endang Tedjowati, dilahirkan di Yogyakarta 13 Juni 1968. Telah memiliki dua orang putra Muhammad Bima Samudera Pratama dan Fachri Muhammad Dananjaya. Pendidikan sekolah dasar sampai menengah dijalani di Sekolah Dasar Negeri Ungaran I Yogyakartapada tahun 1975-1981, Sekolah Menengah Pertama Negeri 8 Yogyakarta pada tahun 1981-1984, Sekolah Menengah Atas Negeri 8 pada tahun 1984-1987. Pendidikan dokter hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (FKH UGM) masuk tahun 1987 hingga mendapat gelar sarjana pada tahun 1991 dan gelar sebagai dokter hewan di peroleh pada tahun 1993.

Setelah lulus dari kuliah FKH UGM bekerja pada Puslitbang Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai tenaga honorer sampai tahun 1995. Sejak tahun 1998 hingga saat ini bekerja sebagai peneliti pada Laboratorium Bakteriologi Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.

Pada tahun 2000-2003 mendapat beasiswa pendidikan pascasarjana dari Badan Litbang Pertanian Kementrian Pertanian untuk melanjutkan pendidikan Master (Strata 2) dan tahun 2007 mendapat beasiswa pendidikan Doktor (Strata 3) pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Institut Pertanian Bogor.


(16)

(17)

Halaman

DAFTAR TABEL ………..

DAFTAR GAMBAR ………...

DAFTAR LAMPIRAN ………..

xix xxi xxiii 1 2 3 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ………...

1.2 Perumusan Masalah ………...

1.3 Tujuan Penelitian ………...

1.4 Manfaat Penelitian ………...

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Campylobacter sp. ………..

2.2 Campylobacteriosis pada Manusia ………...

2.2.1 Guillain-Barre Syndrome(GBS) ………

2.2.2 Reactive Arthritis (ReA) ……….

2.2.3 Enteritis ………..

2.3 Kontaminasi Campylobacter sp. ……….

2.3.1 Infeksi Campylobacter sp. pada peternakan ayam ………. 2.3.2 Kontaminasi pada tahap proses pengolahan ………... 2.4 Kajian Risiko Terjangkit Penyakit Tular Pangan ………... 2.4.1 Identifikasi bahaya ………..

2.4.2 Karakterisasi bahaya ………...

2.4.3 Kajian paparan ……… 2.4.4 Karakterisasi risiko ………. 2.5 Isolasi dan Identifikasi Campylobacter sp. pada Bahan Pangan Asal Ternak ……… 2.5.1 Metode konvensional ……….. 2.5.2 Metode deteksi cepat ……….. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat ……….. 3.2 Bahan ……….. 3.2.1 Sampel ……… 3.2.2 Media ……….. 3.2.3 Bahan kimia ……… 3.2.4 Peralatan ………. 3.3 Metode ……… 3.3.1 Isolasi dan identifikasi ……… 3.3.2 Produksi antibodi untuk pengembangan metode ELISA …….. 3.3.3 Kajian risiko ………...

1 3 4 4 5 11 14 14 14 17 17 19 21 22 23 25 25 26 26 27 35 35 35 36 37 37 37 37 40 43


(18)

5 6 7 8 9 SWALAYAN Abstrak ……….

Abstract ……….

Pendahuluan ………. Bahan dan Metode ………

Hasil dan Pembahasan ………..

Simpulan ………... Daftar Pustaka ………..

METODE PCR UNTUK DETEKSI CAMPYLOBACTER sp. PADA

KARKAS AYAM

Abstrak ……….

Abstract ……….

Pendahuluan ……….

Bahan dan Metode ……… Hasil dan Pembahasan ……….. Simpulan ………... Daftar Pustaka ……….. PRODUKSI ANTIBODI UNTUK PENGEMBANGAN METODE

ELISA DETEKSI ANTIGEN CAMPYLOBACTER JEJUNI

Abstrak ……….

Abstract ……….

Pendahuluan ………. Bahan dan Metode ……… Hasil dan Pembahasan ……….. Simpulan ………...

Daftar Pustaka ………..

KAJIAN RISIKO CAMPYLOBACTER SP. PADA AYAM

PANGGANG

Abstrak ……….

Abstract ……….

Pendahuluan ………. Bahan dan Metode ………

Hasil dan Pembahasan ………..

Simpulan ………... Daftar Pustaka ……….. PEMBAHASAN UMUM ……….. SIMPULAN DAN SARAN ……….. DAFTAR PUSTAKA ……… LAMPIRAN ……….. 45 45 46 47 48 55 55 59 59 60 61 63 69 69 73 73 74 75 78 83 83 87 87 88 89 92 98 98 103 117 119 141


(19)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Famili Campylobacteriaceae ... Bakteri patogen yang diisolasi dari pasien diare di beberapa provinsi di Indonesia pada tahun 1995-2001 ... Primer yang digunakan untuk mendeteksi genus Campylobacter ……...

Jumlah sampel karkas ayam yang diambil dari sejumlah pasar

tradisional dan swalayan ………...

Susunan oligonukleotid primer ………. Isolat Campylobacter sp, C. jejuni dan C. coli pada karkas ayam yang diperoleh dari pasar tradisional dan swalayan pada tahun 2009-2011 menggunakan metode konvensional ………. Pasangan hasil identifikasi Campylobacter jejuni metode PCR

menggunakan primer hipO dan konvensional ... Data prevalensi kontaminasi Campylobacter jejuni pada karkas ayam ... Data jumlah cemaran Campylobacter sp. pada 100 gram karkas ayam .. Reduksi koloni C. jejuni pada karkas ayam setelah pemanggangan ……

Perhitungan risiko paparan C. jejuni ………

Peluang terjadinya infeksi Campylobacter jejuni ………

Identifikasi Campylobacter sp. yang dideteksi secara PCR ……….

9 13 30 36 39 50 68 94 95 95 96 98 109


(20)

(21)

Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Morfologi spesies Campylobacter jejuni ………...

Virulensi C. jejuni menyebabkan enteritis ………

Skema penyebaran infeksi Campylobacter jejuni melalui penanganan, konsumsi karkas ayam, susu tanpa pasteurisasi dan air ………... Skema kajian risiko Campylobacter sp. dimulai dari peternakan ayam…… Tahapan keterpaparan Campylobacter sp. pada tahapan penyiapan daging ayam sebelum dikonsumsi ……… Tahapan setiap siklus amplifikasi dalam proses PCR ... Konsentrasi protein terlalu tinggi dalam larutan coating ... Tahapan kegiatan penelitian ... Tahapan penelitian menentukan kajian risiko ………... Jar yang digunakan untuk inkubasi secara mikroaerofilik ……… Koloni C. jejuni yang ditumbuhkan pada media CCDA ………... Pemeriksaan mikroskopis menggunakan pewarnaan Gram ... Uji catalase positif isolat lapang C. jejuni……….

Uji oksidase positif isolat lapang C. jejuni……….

Uji API campy isolat C. jejuni ... Prevalensi C. jejuni dan C. coli pada pasar tradisional dan swalayan ... Produk PCR menggunakan primer hipO dan glyA yang diseparasi dalam agarose 1% dari dari sampel yang diuji ... Hasil PCR menggunakan primer hipO yang diseparasi dalam agarose 1% dari isolat yang berasal dari ATCC C. jejuni dan sampel……….

6 16 20 25 25 28 32 35 43 49 49 50 50 50 51 52 64 65


(22)

20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33

Jumlah isolat Campylobacter sp. pada karkas ayam yang diambil pada tahun 2009 dan 2011 di isolasi secara konvensional dan PCR ... Sensitivitas uji PCR menggunakan primer hipO dengan besar target gen 323 bp ... Memupuk bakteri C. jejuni pada media agar selektif CCDA ……….

Suspensi antigen C. jejuni ……….

Suspensi hasil panen koloni C. jejuni .………...

SDS PAGE antigen yang diperoleh dari ekstraksi glycine ... Antigen flagella yang diekstraksi sarcosinate………... Hasil uji ELISA antibodi kelinci yang diimunisasi antigen C. jejuni whole

cell dan flagella……….

Hasil uji ELISA antibodi domba yang diimunisasi antigen C. jejuni whole

cell dan flagella………..

Hasil uji ELISA antibodi ayam yang diimunisasi antigen C. jejuni whole

cell dan flagella………..

Hasil uji ELISA antibodi kelinci, domba, dan ayam yang diimunisasi

antigen flagella C. jejuni isolat lapang C1 ………

Hasil uji ELISA antibodi kelinci, domba, dan ayam yang diimunisasi

antigen whole cell C. jejuni ………...

Hemoragi pada usus kelompok perlakuan yang diinfeksi isolat lokal C.

jejuni………..

Hati pada kelompok ayam perlakuan diinfeksi isolat lokal terlihat membengkak disertai adanya perubahan warna pucat dan belang disertai fokal nekrosis ……….

67 67 78 79 79 80 81 81 82 82 83 83 92 92


(23)

Halaman 1

2 3 4

5

Surat Keterangan naskah diterima di Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Surat Keterangan naskah diterima di Jurnal Veteriner ……….. Surat Keterangan naskah diterima di Jurnal Kedokteran Hewan ……… Naskah berjudul : Gejala Klinis Patologi Anatomi Pasca Infeksi

Campylobacter jejuni pada Ayam Broiler ………... Naskah berjudul : Sensitivitas Antibiotika Terhadap Isolat Campylobacter

jejuni Asal Karkas Ayam ………

143 145 147

149


(24)

(25)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bahan pangan asal ternak susu, daging, dan telur merupakan sumber protein dan setiap tahun kebutuhannya semakin meningkat. Saat ini tuntutan masyarakat terhadap kualitas bahan pangan yang akan dikonsumsi juga semakin meningkat. Bahan pangan asal ternak yang kaya protein (merupakan bahan yang mudah rusak) mudah terkontaminasi oleh mikroba baik yang bersifat patogen maupun nonpatogen sehingga mudah rusak. Kontaminasi oleh mikroba pada bahan pangan menyebabkan penurunan kualitas bahan pangan. Untuk melindungi konsumen di Indonesia terhadap adanya kontaminasi mikroba patogen pada bahan pangan asal ternak telah dicantumkan dalam SNI No. 01-6366-2000 mengenai batas maksimum cemaran mikroba patogen yang direkomendasikan dapat diterima dalam bahan makanan asal ternak harus negatif.

Saat ini penyakit campylobacteriosis merupakan zoonosis yang penting bagi negara-negara industri dan berkembang, namun di Indonesia belum banyak dilaporkan. Spesies C. jejuni dan C. coli adalah bakteri enterik yang patogen pada manusia dan hewan. Spesies C. jejuni umumnya ditemukan pada feses (sapi perah, sapi potong, kambing, domba, bebek), karkas ayam, daging kambing, susu serta air (Nielsen et al. 1997). Usaha untuk meningkatkan kualitas dan keamanan pangan terutama produk peternakan seperti susu, daging, dan telur perlu dilakukan dengan menguji keberadaan mikroba patogen seperti C. jejuni untuk mengurangi kejadian

foodborne disease. Deteksi menggunakan uji yang mudah dan sensitif untuk mendeteksi lebih awal adanya kontaminasi C. jejuni diharapkan dapat mengurangi kejadian kontaminasi silang dan foodborne disease.

Kejadian infeksi Campylobacter sp. pada manusia biasanya disebabkan karena mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi. Penularan infeksi secara

person to person dapat terjadi karena penderita campylobacteriosis menyiapkan makanan dan menyebabkan kontaminasi pada makanan. Sumber kontaminasi yang utama adalah mengkonsumsi daging ayam, susu, dan kontak dengan hewan peliharaan. Mengkonsumsi daging ayam yang tidak dimasak sempurna merupakan penyebab utama kejadian campylobacteriosis (Kapperud et al. 1992; Gregory et al. 1997; Anonim 2007). Prosedur isolasi dan identifikasi Campylobacter spp.


(26)

memerlukan waktu yang cukup lama serta harus dilakukan secara intensif karena harus melalui beberapa tahapan uji dengan menumbuhkan pada media pre-enrichment, enrichment, melakukan penanaman/ penumbuhan pada media agar kemudian dilanjutkan dengan identifikasi secara biokimia (Stern et al. 1992; Mead

et al. 1999; Feng 2001).

Menurut Blackburn dan Clure (2003) Campylobacter sp. adalah mikroorganisme yang sulit dikultur, oleh sebab itu perlu dikembangkan metode deteksi cepat untuk mendeteksi keberadaan Campylobacer sp. yang terdapat pada bahan pangan. Metode deteksi cepat terhadap Campylobacter sp. sangat penting dilakukan dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner terutama higiene makanan dengan maksud untuk mengurangi kejadian foodborne disease (Boxal 2005) dan digunakan untuk memberi keyakinan pada konsumen mengenai keamanan makanan tersebut (Feng 2001). Metode deteksi cepat untuk mendeteksi kontaminan pada bahan makanan telah diatur oleh organisasi Internasional Association of Official Analytical Chemists (AOAC), harus dapat digunakan sebagai alat deteksi yang memberikan hasil yang akurat dengan menggunakan peralatan yang lebih sederhana dan waktu yang lebih singkat jika dibandingkan dengan metode konvensional. Selain itu dengan menggunakan metode deteksi cepat akan mengurangi terjadinya kontaminasi dari laboran pada saat melakukan isolasi secara konvensional. Namun demikian evaluasi pada bahan makanan menggunakan metode deteksi cepat biasanya memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah jika digunakan langsung untuk menguji sampel berupa bahan makanan. Untuk itu diperlukan tahapan sampel dikultur dalam media penyubur terlebih dahulu sebelum dilakukan analisa untuk meningkatkan viabilitas sel yang mengalami stres atau injury.

Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah metode deteksi cepat dan sensitifnamun memerlukan biaya yang lebih banyak. Secara teori PCR dapat memperbanyak single DNA dalam waktu kurang dari dua jam. Namun deteksi secara PCR pada sample bahan makanan sering terhambat karena adanya substansi yang terdapat pada bahan makanan yang mencegah pengikatan primer dan mengurangi efisiensi amplifikasi. Akibatnya sensitivitas metode PCR akan berkurang bila digunakan untuk menguji langsung pada bahan makanan dibandingkan untuk menguji isolat murni. Untuk itu diperlukan teknik untuk menghilangkan substansi penghambat sebelum dilakukan analisa secara PCR (BAM


(27)

2001b). Enzyme-linked Immuno Sorbent Assay (ELISA) adalah metode cepat secara biokimia yang digunakan sebagai uji imunologik untuk mendeteksi adanya ikatan antara antibodi dengan antigen yang terdapat dalam sampel. Metode ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi adanya mikroba patogen pada makanan. Di Indonesia, metode ELISA sudah mulai digunakan untuk mendeteksi keberadaan kontaminan mikroba patogen pada produk pangan. Metode ELISA yang dikembangkan dari antibodi yang diproduksi dari antigen yang berasal dari isolat lokal belum tersedia. Pada dasarnya metode ELISA adalah menggunakan antibodi spesifik pada permukaan microplate yang akan mengikat antigen yang dikenali dalam sampel. Antigen dalam sampel yang tidak dikenali oleh antibodi akan tercuci atau lepas dari

microplate. Antibodi yang digunakan untuk menangkap antigen selanjutnya diikat menggunakan enzim. Pada uji tahap akhir ditambahkan substansi yang dapat memberikan sinyal terhadap enzim yang digunakan. Model ELISA yang biasa

digunakan untuk mendeteksi adanya kontaminan patogen adalah uji ”sandwich”,

dimana ikatan antibodi pada matriks digunakan untuk menangkap antigen yang terdapat dalam media kultur dan antibodi sekunder yang dikonjugasikan dengan enzim digunakan untuk mendeteksi. Pada penelitian ini antibodi spesifik akan diproduksi dari kelinci, domba dan ayam yang telah diinfeksi menggunakan antigen spesifik whole cell dan flagella C. jejuni yang diperoleh dari isolat lokal C. jejuni.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang maka bakteri patogen Campylobacter jejuni merupakan foodborne zoonosis dan sumber utama kontaminasinya adalah karkas ayam. Untuk itu maka perlu dilakukan penelitian mengenai bakteri patogen

Campylobacter jejuni pada ayam maupun produk pangan asal ayam dengan perumusan masalah sebagai berikut : (1) Bakteri Campylobacter sp. sulit diisolasi sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai pengembangan metode isolasi dan identifikasi Campylobacter sp. yang tepat dan cepat, sehingga dengan dihasilkannya metode deteksi cepat diharapkan kemanan produk pangan asal hewan dapat ditingkatkan dan dapat mengurangi kejadian foodborne disease. (2) Saat ini belum banyak dilaporkan angka kontaminasi Campylobacter jejuni pada karkas ayam di Indonesia serta kajian risikonya.


(28)

1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui prevalensi Campylobacter jejuni pada karkas ayam.

2. Mengetahui metode yang cepat dan tepat untuk isolasi dan identifikasi bakteri

Campylobacter sp. pada ayam

3. Memperoleh serum hiperimun Campylobacter jejuni yang selanjutnya akan digunakan untuk pengembangan metode ELISA.

4. Mengetahui kajian risiko akibat terinfeksi Campylobacter jejuni sehingga diperoleh angka peluang risiko menderita campylobacteriosis.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian adalah : (1) Diketahui metode yang cepat dan tepat untuk isolasi dan identifikasi Campylobacter jejuni pada karkas ayam untuk meningkatkan kualitas dan keamanan daging ayam. (2) Diperoleh angka prevalensi kontaminasi C. jejuni pada karkas ayam sehingga dapat diketahui peluang risiko manusia menderita campylobacteriosis.


(29)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Campylobacter sp.

Campylobacter sebagai bakteri microaerophilic vibrio petama kali dikenali oleh Theodor Escherich pada tahun 1886 (Altekruse & Linda 2003).Pada tahun 1913 di negara Inggris, peneliti McFadyean dan Stockman melaporkan bahwa bakteri tersebut bersifat patogen dan dapat menyebabkan keguguran pada domba (Allos 2001). Tahun 1918 peneliti bernama Smith di Amerika melaporkan adanya bakteri yang sifatnya mirip dan menyebabkan keguguran pada sapi (Karmali & Skirrow 1984).Selanjutnya oleh Smith dan Taylor bakteri yang diisolasi dari fetus sapi tersebut diberi nama Vibrio fetus karena morfologinya mirip spesies Vibrio, dan penyakitnya dikenal sebagai vibrionic abortion. Pada sekitar tahun 1970an mulai dikembangkan media selective menggunakan antibiotika dan dilakukan inkubasi secara microaerophilic untuk isolasi Campylobacter yang berasal dari feses (Butzler 1984). Pada periode yang sama telah dilakukan studi tentang taxonomi

Campylobacter sp. dan dilaporkan adanya reaksi biokimia yang khas pada isolat

Vibrio fetus yang bebeda dengan vibrio pada umumnya. Selanjutnya spesies Vibrio fetus dibedakan dengan vibrio dan dinyatakan sebagai genus baru yaitu

Campylobacter sp. (Butzler 1984). Tahun 1980an Campylobacter sp. mulai dilaporkan dapat menyebabkan diare pada manusia di Amerika (Nachamkin et al.1992; Allos 2001).

Campylobacter sp. termasuk dalam family Campylobacteriaceae. Nama genus Campylobacter berasal dari bahasa Yunani ”campylos” berarti melengkung

dan ”bactron”berarti batang. Campylobacteriosis adalah penyakit pada manusia yang disebabkan oleh infeksi bakteri Campylobacter sp. terutama spesies C. jejuni,

C. coli, dan C. laridis. Bakteri ini masuk dalam kelompok bakteri termofilik (Shane 2000). Campylobacter sp. merupakan agen foodborne disease penyebab gastroenteritis akut pada manusia. Penyakit ini sudah tersebar luas di banyak negara di dunia. Campylobacter spp. adalah bakteri Gram-negatif. Bakteri ini memiliki ukuran kecil, panjang antara 0.2-5.0 m dan lebar antara 0.2-0.9 m. Bakteri ini berbentuk spiral, motil dengan uniflagella (Gambar 1). Meskipun sebagian besar

Campylobacter sp. motil dengan unipolar flagellum pada satu atau dua sisinya, tapi beberapa spesies seperti C. gracilis adalah tidak motil. Spesies lain seperti C.


(30)

showae bersifat motil dengan multiflagella (Vandamme 2000).Terkadang bakteri dapat menjadi berbentuk bulat atau coccoid bila isolat telah berumur lebih dari 72 jam atau telah kontak dengan udara pada waktu yang cukup lama (Blaser 1986; Mahon & Manuselis 2000). Morfologi koloni thermophilic Campylobacter dibagi dalam dua tipe. Tipe pertama yaitu koloni C. jejuni dan C. coli berbentuk mukoid, rata, tampak basah biasanya koloni tumbuh berkelompok, pertumbuhannya

spreading di sekitar goresan. Tipe kedua yaitu koloni C. jejuni dan C. coli berbentuk bulat dan cembung dengan batas tepi terlihat jelas. Namun kedua jenis tipe koloni tersebut dapat bersamaan terjadi dalam satu kultur pada media agar (Skirrow & Benjamin 1980). Pada umumnya C. jejuni dan C. coli berbentuk seperti tetesan air berwarna keabu-abuan pada koloni yang diinkubasikan selama 18-24 jam (Shane & Mantrose 1985). Setelah masa inkubasi lebih dari 24 jam, koloni menjadi berbentuk menebal, berwarna abu-abu atau bahkan cokelat atau sedikit merah muda dan oranye abu-abu atau merah muda dan kekuningan (Shane & Mantrose 1985). Terkadang muncul warna metalik pada permukaan koloni C. jejuni yang diinkubasi lebih lama dari 48 jam, tetapi pada koloni C. coli hal ini tidak terlihat jelas.

Gambar 1 Morfologi spesies Campylobacter jejuni (Anonim 2002)

Menurut Humphrey et al. (2007) Campylobacter sp. ada 14 spesies, 6 sub-spesies dan 2 biovar (Tabel 1). Pertumbuhan bakteri Campylobacter sp. dalam media sangat lambat, melakukan isolasi dari sampel feses memerlukan waktu sampai 96 jam dan memerlukan waktu lebih lama untuk melakukan isolasi dari sampel darah (Allos 2001). Sebagian besar spesies Campylobacter sp. bersifat


(31)

resisten terhadap antibiotika cephalothin sedangkan mikroflora lain bersifat rentan, sehingga antibiotika ini sering digunakan dalam media selektif untuk isolasi. Sebagian besar strain Campylobacter sp. menunjukkan reaksi positif pada uji

catalase dan oxidase, mampu mereduksi fumarate menjadi succinate, mereduksi

nitrate menjadi nitrite, tidak dapat menghidrolisa urea dan tidak dapat tumbuh pada 3.5% NaCl (Penner 1988; Shane & Montrose 1985; Skirrow & Benjamine 1980; Vandame 2000). Spesies C. jejuni, C. coli, dan C. lari memperlihatkan kemiripan dalam uji biokimia tapi hanya spesies C. jejuni yang memberikan reaksi positif menghidrolisa hippurate, meskipun ada juga spesies C. jejuni yang bereaksi negatif (Blaser 2000; Nachamkin 1999). Bakteri thermophilic Campylobacter tidak memfermentasi atau mengoksidasi karbohidrat serta glukosa, dan memanfaatkan asam amino seperti aspartate dan glutamate sebagai sumber energi (Blaser 1986; Vandamme 2000).

Berbeda dengan bakteri foodborne yang lain bahwa Campylobacter sp. bersifat microaerophilic yaitu hanya memerlukan sedikit oksigen untuk pertumbuhannya (Butzler 1984) dan tumbuh baik pada suhu optimum 37 o-42 oC (Hayes 1996). Inkubasi merupakan faktor yang cukup penting dalam melakukan isolasi Campylobacter sp. (Forbes et al. 1998). Kondisi atmosfer microaerophilic

optimal adalah oksigen 5-10%, karbondioksida 8-10%, dannitrogen 85% (Hayes 1996). Semua bakteri Campylobacter sp. tumbuh pada suhu 37 oC, tetapi spesies C. jejuni dan C. coli tumbuh optimal pada suhu 42 oC (Blaser 2000). Spesies

thermophilic Campylobacter fetus mampu tumbuh baik pada suhu 25 oC, sehingga perbedaan suhu optimum dapat digunakan untuk membedakan C. fetus dengan spesies lainnya (Skirrow & Benjamin 1980).

Media selektif untuk isolasi Campylobacter sp. yang dikembangkan sejak tahun 1970an mengandung antimikroba yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri lain yang banyak terdapat pada sampel. Penambahan antibiotika dalam media selektif sangat diperlukan karena laju pertumbuhan bakteri Campylobacter

sp. lebih lambat dari bakteri yang lain (Allos& Taylor 1998; Blaser 2000). Antibiotika rimfampicin merupakan salah satu jenis antimkroba yang ditambahkan pada media selektif karena mampu menghambat bakteri Gram positive dan Gram negative lain selain Campylobacter sp (Corry 2000). Jenis antibiotika yang biasa digunakan dalam media selektif adalah kombinasi antimikroba vancomycin,


(32)

bacitracin, dan golongan cephalosporins seperti cephalothin dan cefoperazone. Antimikroba tersebut mampu menghambat pertumbuhan bakteri lain yang termasuk

Gram positive, sedangkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri Gram negative

yang lain dapat ditambahkan antibiotika polymyxin E (colistin) ke dalam media selektif (Corry 2000). Media selektif untuk isolasi Campylobacter sp. selain mengandung antibiotika juga memerlukan substansi yang mampu melindungi

Campylobacter kontak dengan oksigen. Susbstansi tersebut harus mampu menetralisasi efek toksik dari oksigen, yaitu darah lisis dan defibrinated, charcoal, kombinasi ferrous sulfate, sodium metabisulfite, dan sodium pyruvat (FBP), serta

haemin atau haematin (Sahin et al. 2003b).

Isolasi Campylobacter sp. dapat dilakukan secara langsung menumbuhkan pada media agar atau terlebih dahulu dalam media enrichment, tergantung dari jenis sampel yang diuji (Sahin et al. 2003b). Sampel berupa feses ayam mengandung bakteri dalam jumlah yang banyak sehingga isolasi dapat dilakukan dengan cara langsung menumbuhkan pada media agar selektif (Musgrove et al. 2001; Sahin et al.

2003b). Sampel berupa bahan pangan atau air yang mengandung jumlah bakteri

Campylobacter sp. sedikit, isolasi dilakukan dalam media selektif yang mengandung

enrichment terlebih dahulu sebelum ditanam pada media agar (Sahin et al. 2003b). Metode enrichment secara optimal dapat memulihkan (recovery) bakteri jika dilakukan inkubasi tidak lebih dari 24 jam (Sahin et al. 2003b). Isolasi bakteri

Campylobacter sp. dapat menggunakan metode filtrasi menggunakan membran filter berukuran 0.45 atau 0.65 µm (Blaser 2000; Corry 2000). Kombinasi antara metode filtrasi dan enrichment merupakan metode yang baik untuk melakukan isolasi dari sampel bahan pangan atau air yang diperkirakan jumlah bakterinya sangat sedikit (Sahin et al. 2003b).

Identifikasi genus Campylobacter dapat dilakukan dengan membedakan morfologi koloni dan secara mikroskopis, bakteri Gram negative, berbentuk batang pendek berukuran lebar 0.2-0.5 µm dan panjang 0.5-5 µm (Butzler 1984). Bakteri yang berumur muda antara 24-48 jam secara mikroskopis berbentuk seperti huruf

”S”, spiral, atau ”koma”. Jika isolat telah berumur lebih dari 72 jam maka dapat

berubah menjadi bulat atau ”coccoid” atau ”coccobacilli” (Butzler 1984; Blaser

1986). Selain perbedaan morfologi identifikasi juga dapat dilakukan dengan uji


(33)

thermophilic Campylobacter adalah uji catalase dan oxidase, hidrolisa hippurate, hidrolisa indole, produksi urea, produksi hydrogen sulfide (H2S) pada media triple

sugar iron agar (TSIA), mereduksi nitrate (Forbes et al. 1998; Skirrow & Benjamin 1980). Saat ini identifikasi bakteri thermophilic Campylobacter secara biokimia dapat dilakukan menggunakan kit komersial API Campy.

Tabel 1 FamiliCampylobacteriaceae (Humphrey et al. 2007)

Spesies Sumber infeksi Penyakit pada manusia Penyakit pada hewan C. coli

C. concisus

C. curvus

C. fetus sub sp. fetus

C. fetus sub sp. veneralis C. gracilis

C. helveticus

C. hyointestinalis subsp hyointestinalis C. hyointestinalis subsp

lawsonii C. hyoilei

C. jejuni subsp. doylei

C. jejuni subsp. jejuni

C. lari

C. mucosalis

C. rectus C. showae C. sputorum bv. Sputorum

C. sputorum bv. Faecalis C. upsaliensis

C. insulaenigrae

C. lanienae

C. hominis

Babi, ayam, sapi, domba, burung Manusia Manusia Sapi, domba Sapi Manusia Kucing, anjing Babi, sapi, hamster, rusa Babi Babi Manusia Ayam, babi, sapi, domba, anjing, kucing, air, burung, mink, kelinci, serangga Burung, ayam, air, anjing, kucing, monyet, kuda Babi Manusia Manusia Manusia, sapi, babi Sapi, kerbau Anjing, kucing Seals, porpoises Sapi, babi, manusia Manusia Gastroenteritis, septichaemia Periodontal disease, gastroenteritis Periodontal disease, gastroenteritis Septichaemia, gastroenteritis, aborsi, meningitis Septichaemia Periodontal disease, ephyema, abses - Gastroenteritis - - Gastroenteritis, gastritis, septichaemia Gastroenteritis, septichaemia, meningitis, aborsi, proctitis, GBS

Gastroenteritis, septichaemia - Periodontal disease Periodontal disease Abses,gastroenteritis - Gastroenteritis, Septichaemia, abses - - Gastroenteritis in immunocompromised Gastroenteritis - - Aborsi Infertility - Gastroenteritis Enteritis - Porcine proliferative enteritis - Gastroenteritis, avian hepatitis Avian gastroenteritis Porcin necrotic enteritis, ileitis - - - -

Canin dan feline gastroenteritis -

-


(34)

Perbedaan perilaku Campylobacter dalam induk semang manusia dan hewan belum banyak diketahui, namun diperkirakan perbedaan itu disebabkan oleh adanya perbedaan ekspresi gen Campylobacter. Saat ini campylobacteriosis merupakan zoonosis yang cukup penting bagi negara-negara berkembang dan industri. C. jejuni

umumnya ditemukan pada feses hewan seperti sapi perah, sapi potong, kambing, domba, bebek dan ayam. Selain ditemukan pada feses, C. jejuni juga dapat ditemukan pada karkas ayam, karkas kambing serta air (Nielsen et al. 1997).

Bakteri Campylobacter sp. memiliki keragaman fenotipik dan genotipik. Keragaman fenotipik dari masing-masing spesies dapat dibedakan menggunakan prosedur serotyping. Diferensiasi Campylobacter sp. dapat dilakukan menggunakan antigen heat-stable (HS) secara passive hemagglutination (Penner & Hennessy 1980) dan antigen heat-labile (HL) secara slide agglutination (Lior et al. 1982). Produksi serum dan kontrol stabilitasnya memerlukan biaya dan antigen tersebut sulit diperoleh secara komersial. Adanya masalah yang dihadapi dalam melakukan

serotyping, saat ini dikembangkan metode molekular subtyping (Wassenaar & Newell et al. 2000). Metode genotyping dapat dilakukan secara ribotyping, pulsed-field gel electrophoresis (PFGE), flagellin typing (fla typing) (Wassenaar & Newell 2000). Gen lokus C. jejuni terdiri dari gen dua flagellin yaitu flaA dan flaB yang bersifat highly conserve disusun secara tandem dan dipisahkan oleh 170 nukleotida (Meinersmann et al. 1997). Gen fla selain terdapat dalam C. jejuni, juga mayoritas terdapat pada C. coli, C. lari, C. helveticus, serta C. jejuni subsp. doylei (Owen et al.

1993). Pada beberapa metode amplifikasi, lebih dari satu primer atau satu primer dapat digunakan (Ayiing et al. 1996; Mohran et al.1996). Enzym restriksi yang dapat digunakan untuk menghasilkan produk PCR adalah AluI, DdeI, Hinfl, EcoRI, dan PstI (Birkenhead et al. 1993; Nachamkin et al. 1993; Owen et al. 1993). Diskriminasi dapat ditingkatkan dengan menggabungkan dua enzim DdeI dan Hinfl. Namun menggunakan satu jenis enzim SmaI pada prosedur pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) dan enzim HindIII pada single-enzyme-amplified fragment length polymorphism (SAFLP) dapat mendiskriminasi Campylobacter sp. dari kejadian outbreak (Champion et al. 2002). Gene C. jejuni yang mengkode protein GTPase tersusun dari 383 asam amino bersifat highly conserve dapat mendeteksi empat spesies Campylobacter sp. (C. jejuni, C. coli, C. lari, dan C. upsaliensis) pada 117 bp (Jan van Doorn et al. 1997).


(35)

Komponen permukaan sel bakteri sangat bervariasi dan berperan pada invasi ke dalam sel. Namun peranan komponen protein sel bakteri Campylobacter sp. dalam proses patogenesis belum banyak diketahui (Melo & Pechere 1990). Bakteri

Gram negative yang bersifat patogen tersusun dari polysaccharide capsules,

lipopolisaccharide (LPS), dan outer membrane protein (OMP) (Zollinger et al.

1979). Campylobacter jejuni tidak memiliki polysaccharide capsules, tetapi dilaporkan tersusun dari suatu protein microcapsule (Rautellin & Kosonen 1983). Peranan LPS pada patogenesis bakteri Campylobacter sp. masih belum banyak dilaporkan (Walker et al. 1986). OMP adalah salah satu komponen yang bersifat antigenik (Zollinger et al. 1979) tersusun mengelilingi sel. Sebagai bakteri patogen, komponen outer membrane berperan untuk perlekatan dan invasi ke dalam induk semang, bertahan dari fagositosis oleh induk semang. Khususnya pada

Campylobacter, outer membrane merupakan tempat penetrasi flagella (Trust & Logan 1984). Pada sel bakteri tumbuh, OMP berfungsi untuk masuknya nutrisi dan keluarnya sisa produk (Trust & Logan 1984). Pertumbuhan bakteriCampylobacter

sp. selanjutnya menyebabkan perubahan bentuk sel dari vibroid atau spiral menjadi

coccoid. Di dalam saluran pencernaan, OMP berfungsi untuk melindungi membran sitoplasmik dari cairan empedu yang dapat melisiskan sel (Trust & Logan 1984).

Proses invasi bakteri patogen mempunyai peran terhadap virulensi bakteri.

Campylobacter sp. bersifat motil, sehingga diperkirakan flagella mempunyai peran pada proses kolonisasi pada saluran pencernaan (Lee et al. 1998). Flagellum

merupakan bagian mayor bakteri C. jejuni yang bersifat antigenik (Harris et al.

1987; Logan & Trust 1982). Protein flagella umumnya digunakan untuk mendeferensiasi genus Campylobacter (Mills et al. 1988).Tsang et al. (2001) melaporkan bahwa sekuen asam amino pada lokasi gen flagella (flaA) mempunyai peran terhadap penyakit Guillain Bare Syndrome.

2.2. Campylobacteriosis pada Manusia

Mikroorganisme C. jejuni dan C. coli adalah bakteri patogen tetapi dapat juga bersifat komensal pada saluran pencernaan ayam. Pada manusia ke dua spesies tersebut bersifat patogen (Altekruse & Linda 2003). Infeksi Campylobacter sp. pada manusia terjadi karena mencerna makanan yang terkontaminasi. Penularan infeksi secara person to person dapat terjadi karena penderita campylobacteriosis


(36)

menyiapkan makanan sehingga menyebabkan kontaminasi pada makanan. Sumber kontaminasi yang utama adalah karena mengkonsumsi daging ayam, susu, dan kontak dengan hewan peliharaan. Mengkonsumsi daging ayam yang tidak dimasak sempurna merupakan penyebab utama kejadian campylobacteriosis (Kapperud et al.

1992; Gregoryet al. 1997; Anonim 2007).

Gejala yang timbul akibat infeksi C. jejuni dapat bersifat ringan sampai berat yang disertai diare bercampur darah dengan demam dan kram perut. Masa inkubasi berkisar antara 2 sampai 7 hari dan penyakit ini dapat bersifat self-limiting

pada manusia yang memiliki sistem pertahanan tubuh yang baik. Variasi penyakit dapat berupa infeksi tidak menunjukkan gejala spesifik atau asymptomatis sampai diare, bahkan inflamatory diarrhea, meningitis, bakteremia, localized extraintestinal infection, immuno reactive complications seperti Guillain-Barre syndrome (GBS) dan reactive arthritis. GBS yaitu acute demyelinating polyneuropathy yang ditandai dengan paralisa. Kejadian GBS di negara Amerika mayoritas disebabkan oleh C. jejuni serotipe O:19 (Tsang et al.2001; Smith 2002) .

Hasil survey di Eropa dan Amerika Serikat, kasus campylobacteriosis lebih dari 1% per tahun. Pada tahun 1996, CDC melaporkan di Amerika kasus

campylobacteriosis sebanyak 46% (Sean et al. 1999). Di Denmark, insiden

campylobacteriosis mencapai 66 per 100 000 manusia pada tahun 2003. Sebanyak 90% kasus disebabkan oleh C. jejuni dan 5% disebabkan oleh C. coli. Daging ayam dan daging sapi dapat bertindak sebagai reservoir C. jejuni sedangkan C. coli banyak ditemukan pada babi (Boes et al. 2005).

Campylobacteriosis merupakan infeksi bakteri yang dapat ditularkan melalui makanan. Di negara yang sudah maju, campylobacteriosis terutama disebabkan oleh

Campylobacter jejuni yang kemudian diikuti oleh Campylobacter coli sebagai penyebab sekunder (Anonim 2006). Pada tahun 1999 Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa sebanyak 2.5 juta manusia per tahun di Amerika Serikat menderita campylobacteriosis (Mead et al. 1999). Pada tahun 1996 sampai 2001 meskipun terjadi penurunan angka kejadian campylobacteriosis tetapi bakteri Campylobacter spp. merupakan penyebab utama infeksi yang ditularkan melalui makanan (Walz et al. 2001). Tjaniadi et al. (2003) melaporkan hasil surveinya di beberapa provinsi di Indonesia dari tahun 1995 sampai 2000 sebanyak


(37)

2 812 bakteri patogen yang berhasil diisolasi dari beberapa pasien rawat inap prevalensi 3.6% disebabkan oleh infeksi C. jejuni (Tabel 2).

Membuat laporan secara internasional mengenai kejadian penyakit yang disebabkan oleh makanan tidak mudah. Jaringan Foodnet yang mencatat kejadian penyakit ditularkan melalui makanan di Amerika Serikat menyatakan bahwa diantara 10 agen penyebab yang bersifat patogen yang menyebabkan penyakit yang ditularkan melalui makanan di Amerika adalah Salmonella, Campylobacter dan

Shigella. Ketiga agen tersebut merupakan penyebab utama sebagai agen food-borne disease (IFT 2000).

Tabel 2 Bakteri patogen yang diisolasi dari pasien diare di beberapa provinsi di Indonesia pada tahun 1995-2001 (Tjaniadi et al. 2003)

Bakteri patogen Angka kejadian (%)

Shigella spp.

Salmonella spp.

Vibrio parahaemolyticus Salmonella typhi

Campylobacter jejuni Vibrio cholera non-O1

Salmonella paratyphi A

27.3 17.7 7.3 3.9 3.6 2.4 0.7

Cliver (1997) melaporkan bahwa kejadian penyakit akibat mengkonsumsi makanan sebagian besar (67%) disebabkan oleh virus, tetapi kemudian Mead et al.

(1999) melaporkan bahwa sebanyak 13.8 juta kasus penyakit yang disebabkan oleh makanan, sebanyak 30% disebabkan oleh bakteri, dan sisanya sebanyak 3% disebabkan oleh parasit (Orlandi et al. 2002). Mead et al. (1999) juga melaporkan bahwa sebanyak 60% kasus infeksi yang disebabkan oleh bakteri menyebabkan penderita di rawat di rumah sakit. Bakteri Salmonella menyebabkan kematian sebanyak 31%, kemudian diikuti oleh Listeria (28%), Campylobacter (5%), dan

Escherichia coli O157:H7 (3%). World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa sekitar 2.1 juta setiap tahun, anak-anak di negara yang sudah maju menderita penyakit yang ditularkan melalui makanan dan air (Anonim 2002). Sumber


(38)

kontaminasi Campylobacter dapat berasal dari manusia (Hald et al. 2000), lalat (Hald et al. 2004) dan air minum yang terkontaminasi (Snelling et al. 2005).

2.2.1. Guillain-Barre Syndrome (GBS)

GBS adalah sindrom berupa acute demyelinating polyneuropathy, dimana terjadi kerusakan myelin di sekitar sel syaraf (Nachamkin 2002). Kejadian GBS biasanya terjadi secara sporadis, jarang terjadi outbreak. Di negara US dan Jepang, beberapa kasus GBS berhubungan dengan infeksi strain C. jejuni serotipe O:19.

Flagella yang dikode oleh gen flaA dari C. jejuni berperan pada patogenesis GBS. Wanita hamil yang menderita GBS akibat infeksi C. jejuni kemungkinan berpengaruh pada bayi yang berada dalam kandungan. GBS terjadi akibat adanya infeksi virus atau bakteri pada saluran pernafasan atas serta saluran gastrointestinal, salah satunya diawali dengan enteritis yang disebabkan oleh C. jejuni. Pada penderita GBS sebanyak 28.6% pasien menunjukkan hasil positif C. jejuni pada pemeriksaan feses dan serologis. Peneliti sebelumnya Nachamkin (2002) dan Takahashi et al. (2005) melaporkan kejadian GBS di negara Jepang disebabkan oleh infeksi C. jejuni Heat Stable (Penner) serotypes HS19 dan HS4, dengan dosis infeksi sangat rendah yaitu 500 sel (Anonim 2005).

2.2.2 Reactive Arthritis (ReA)

Reactive arthritis (ReA) adalah sindrom dengan karakteristik ditandai inflamasi steril pada persendian. Bakteri enterobacter lain yang dapat menginduksi ReA selain C. jejuni adalah Salmonella, Shigella, Yersinia. Di dalam cairan persendian yang terinfeksi meskipun tidak terdapat mikroorganisme penyebab infeksi. Mekanisme antigen tersebut dapat mencapai membrane synovial belum diketahui dengan pasti.

2.2.3.Enteritis

Kejadian Campylobacter enteritis pada manusia bervariasi dari yang tidak menunjukkan gejala spesifik sampai yang berbahaya sehingga menyebabkan kematian. Sebanyak 25-50% kejadian infeksi adalah bentuk asimptomatik. Hanya sekitar 10% kasus terinfeksi dirawat di rumah sakit. Dosis infeksi C. jejuni sangat rendah. Dari suatu studi sebelumnya sebanyak 50% volunteers yang diinfeksi


(39)

menggunakan dosis 800 mikroorganisme dinyatakan positive stool specimen. Infeksi oleh C. jejuni akan berlanjut bakteremia terutama pada manusia yang mengalami immunocompromised sehingga menyebabkan kematian. Insiden bakteremia yang diinduksi oleh C. jejuni adalah 0.3 kasus per 1 000 pasien umur 1-4 tahun, dan 5.9 kasus per 1 000 pasien berumur lebih dari 65 tahun. Penderita bakteremia mengalami demam, diare bercampur darah, pusing, menggigil, sakit perut. Gejala bakteremia berkisar 8 hari dan pasien akan sembuhsendiri.

Mekanisme patogenik C. jejuni menyebabkan enteritis telah dipelajari secara

in vitro (Konkel et al. 2001). Kerusakan yang terjadi adalah disebabkan adanya

cytotoxin atau invasi C. jejuni ke dalam sel epitel. Peranan motilitas, kolonisasi, produksi toksin, attachment, internalization dan translocation pada virulensi C. jejuni telah diinvestigasi secara in vitro. Mekanisme C. jejuni menyebabkan infeksi secara umum adalah sebagai berikut: 1). Setelah ingesti bakteri melakukan kolonisasi di intestinal. 2). Invasi bakteri pada sel intestinal akan menyebabkan kerusakan mukosa permukaan sel jejunum, ileum, dan colon. 3). Terjadi extra intestinal translocation yaitu organisme menyeberang dan migrasi dari epitel

intestinummelalui sistem limpatik menuju extra intestinal (Konkel et al. 2001). Pada Gambar 2 dapat dilihat diagram proses terjadinya infeksi pada manusia. Infeksi C. jejuni dimulai dari masuknya mikroorganisme ke dalam mulut kemudian masuk ke dalam lambung dan selanjutnya masuk ke dalam intestinal. C. jejuni

melakukan kolonisasi pada bagian jejunum dan ileum kemudian masuk ke bagian

colon manusia. Mikroorganisme yang terdapat di dalam lumen intestinal akan menembus bagian mukosa saluran intestinal melalui sel M, yang dikenal sebagai sel epitel pada folikel saluran gastrointestinal yang memiliki kemampuan trancytosis

baik mikroorganisme maupun makromolekul. Secara fungsional sel M berbeda dengan absorbtive enterosit, dimana sel M tidak mendorong antigen ke dalam

lumen, namun sel M berfungsi sebagai barier pada epitel yang ”terbuka”. Morfologi sel M berbeda dengan enterosit, dimana sel M memiliki sedikit microvilli pada permukaan, tetapi memiliki filamen brush border, sehingga fungsi utama sel M adalah sebagai perantara antigen atau mikroorganisme sehingga mencapai sel

immune dari folikel limfoid untuk menginduksi respon imun.

Kemampuan motilitas dan kemotaksis dari C. jejuni memiliki peran penting dalam menimbulkan penyakit. Di dalam usus halus mikroorganisme mengalami


(40)

migrasi dari mukus ke daerah kripta. Secara in vitro dilaporkan bahwa C. jejuni

mampu menembus enterocytes melalui jalur paracellular atau transcellular. Kemungkinan keterlibatan proses adherence mengawali proses infeksi dan C. jejuni

secara spesifik melekat pada reseptor yang terdapat pada sel inang. Kemudian diikuti terjadinya intimate binding antara C. jejuni dan sel inang. Nekrosis pada vili terjadi karena diakibatkan oleh toxin yang diproduksi oleh mikroorganisme.

Cytolethal Distending Toxin (CDT) mampu menyebabkan atrophi pada vili dengan cara melakukan proliferasi sel bakteri di dalam kripta.

Gambar 2 Virulensi C. jejuni menyebabkan enteritis. Panel atas: ilustrasi interaksi C. jejuni dan enterosit. Panel Bawah: ilustrasi perubahan morfologi saluran intestinal inang yang terinfeksi C. jejuni

Penyakit enteritis akibat infeksi Campylobacter sp. pada manusia biasanya tidak memerlukan pengobatan antibiotika apabila infeksi bersifat ringan atau self-limited (Lastovica & Penner 1983). Namun pada beberapa kasus infeksi dengan gejala klinis lebih berat, septichaemia, atau infeksi ekstra intestinal, penderita


(41)

2001; Luber et al. 2003). Infeksi Campylobacter pada manusia umumnya menyebabkan gastroenteritis, tetapi setelah bakteri invasi dapat menyebabkan bakteremia, reactive arthritis, meningitis, dan Gullain-Barre Syndrome (Altekruse

et al. 1999). Resistensi Campylobacter sp. terhadap antimikrobial sudah banyak di laporkan terutama di negara maju sehingga menyulitkan pengobatan infeksi yang disebabkan oleh Campylobacter sp. Infeksi Campylobacter sp. pada ayam sebagai sumber kontaminasi dapat diatasi dengan pemberian antibiotika.

Sejak tahun 1980 fluoroquinolon sudah digunakan untuk mengobati enteritis yang disebabkan oleh Campylobacter sp. serta bakteri patogen lainnya. Antibiotika lainnya yang sering digunakan untuk pengobatan adalah tetracycline, chloramphenicol, ampicillin, dan gentamicin (Engberg et al. 2001). Menurut Caprioli et al. (2000) penggunaan antibiotika terutama di bidang veteriner perlu ditanggapi secara bijaksana berhubungan dengan semakin banyak mikroorganisme yang resisten terhadap beberapa jenis antibiotika. Erythromycin dan golongan

fluoroquinolone adalah antibiotika yang umumnya digunakan untuk mengobati manusia penderita campylobacteriosis, sedangkan kejadian resistensi fluoroquinolone pada manusia dan hewan banyak dilaporkan (Endz et al. 1991; Ge

et al. 2002).

2.3. Kontaminasi Campylobacter sp. 2.3.1. Infeksi Campylobacter sp. pada peternakan ayam

Spesies bakteri Campylobacter adalah agen foodborne zoonosis yang dapat menginfeksi manusia maupun hewan, terutama unggas. Bakteri ini merupakan penyebab campylobacteriosis yang masih menjadi masalah penting dalam bidang kesehatan masyarakat baik di tingkat peternakan, penjualan (pasar) maupun pada tingkat makanan siap saji. Daging ayam merupakan sumber utama kontaminasi, karena saluran pencernaan unggas merupakan tempat predileksi Campylobacter jejuni. Selama ini infeksi C. jejuni pada ayam tidak memperlihatkan gejala klinis yang khas, sehingga deteksi penyakit ini ditingkat peternakan cukup sulit. Kejadian infeksi Campylobacter sp. pada ayam broiler di negara maju 5-90%. Saat ini produksi pangan unggas dan konsumennya diperkirakan terus meningkat seiring dengan tingginya kebutuhan sumber protein yang harganya relatif lebih murah.


(42)

Penularan Campylobacter spp. secara vertikal pada ayam di peternakan ayam petelur, sangat jarang terjadi atau bahkan tidak mungkin terjadi. Hasil penelitian Sahin (2003) menunjukkan bahwa pada peternakan ayam petelur dan hatchery tidak ditemukan keberadaan Campylobacter spp. karena C. jejuni tidak dapat melewati

eggshell. Infeksi pada ayam petelur menunjukkan keberadaan bakteri C. jejuni pada feses tapi negatif pada telur yang dihasilkan (Shane et al. 1986; Sahin et al. 2003a).

Bakteri Campylobacter jejuni yang terdapat di dalam sel epitel dan sel mononuklear dapat mengakibatkan kerusakan usus pada bagian jejunum dan ileum.

Kerusakan sel epitel yang terjadi merupakan degenerasi dari epitel bagian superfisial sehingga terjadi pemendekan vili disertai produksi eksudat dalam lumen usus. Infeksi dapat terjadi pada lapisan yang lebih dalam lagi sehingga terjadi necrosis hemorrhagic pada lamina propria, abses pada kripta serta terjadi inflamasi (Shane 2000; Stern & Kazmi 1989).

Infeksi C. jejuni dapat menyebabkan pembengkakan dan nekrotik hati (Dhillon 2006). Campylobacter spp. yang pada awalnya menginfeksi usus sehingga akhirnya bakteri tersebut sampai ke organ hati dan limpa serta organ interna lainnya melalui aliran darah. Warna belang pada hati terjadi akibat sel hati mengalami degenerasi atau nekrose (Sanyal et al. 2003). Infeksi oleh C. jejuni setelah terjadi kolonisasi di usus selanjutnya aktif menginvasi sel intestinal dan bakteri melakukan ekstra translokasi sehingga menembus sel epitel dan migrasi ke sistem limpatik (Sahin 2003).

Kejadian infeksi Campylobacter sp. pada hewan sangat bervariasi, meskipun infeksi yang terjadi pada peternakan ayam memegang peranan penting dalam penyebaran atau kontaminasi C. jejuni. Usaha untuk mengurangi kejadian infeksi pada ayam merupakan usaha penting dalam memperbaiki sistem produksi. Usaha tersebut akan berdampak pada pengurangan kejadian kontaminasi agen infeksi C. jejuni yang sangat berperan pada kesehatan masyarakat. Hasil studi case control

menyatakan bahwa sumber utama infeksi disebabkan karena mengkonsumsi daging ayam, daging sapi, dan susu yang terkontaminasi. Hasil penelitian Poeloengan dan Noor (2003) karkas ayam yang diambil di pasar tradisional dan supermarket di daerah Jakarta, Sukabumi, dan Bogor telah terkontaminasi oleh C. jejuni. Daging ayam yang dimasak tidak sempurna diperkirakan merupakan satu-satunya penyebab utama kasus campylobacteriosis. Beberapa jenis bahan pangan lain seperti daging


(43)

kambing, daging sapi giling, sosis, daging sapi, dan daging babi juga dilaporkan merupakan sumber kontaminasi (Stern et al. 1988; Gill & Harris 1982a; Bolton dan Hitchinson 1985; Kwiatkek et al. 1990; Abeyta et al. 1993). Menurut Lindqvist et al. (2000) dan Kramer et al. (2000), kontaminasi C. jejuni yang paling banyak terjadi adalah pada karkas ayam. Hal ini dapat juga digunakan untuk indikasi tentang kondisi lingkungan di sekitar karkas.

Menurut Evans (1992) sebanyak 50% dari ayam yang berasal dari peternakan ayam yang terinfeksi, akan membawa mikroorganisme Campylobacter

sp. sampai ayam tersebut dipotong. Hal ini memperlihatkan bahwa telah terjadi kolonisasi Campylobacter sp. pada saluran pencernaan unggas. Kolonisasi

Campylobacter sp. pada umumnya terjadi pada saluran pencernaan ayam broiler, dan bakteri dapat dideteksi pada kelompok ayam setelah masa pemeliharaan satu minggu (Lindmark et al. 2006). Kejadian campylobacteriosis pada ayam broiler telah dilaporkan oleh Rudi et al. (2004) yang melakukan identifikasi Campylobacter

sp. dari feses ayam broiler. Menurut Van Gerwe et al. (2005) ayam yang terinfeksi

Campylobacter pada fesesnya dapat mengandung sejumlah bakteri berkisar antara 105 sampai 106cfu/gram feses. Pada tahun sebelumnya Cawthraw et al. (1996) telah melaporkan bahwa anak ayam yang terinfeksi Campylobacter di dalam sekumnya dapat mengandung jumlah Campylobacter yang lebih banyak mencapai 1010 cfu/gram. Sekelompok ayam yang terinfeksi dapat bertindak sebagai karier pada suatu peternakan. Sekam kandang yang menempel pada bulu dan kulit ayam yang lain pada saat transportasi dapat bertindak sebagai sumber kontaminasi dan dapat meningkatkan jumlah kontaminasi bakteri pada karkas ayam (Buhr et al. 2000; Stern

et al. 1995). Pembersihan kandang ayam yang telah terinfeksi tidak dapat menghilangkan semua bakteri Campylobacter (Hansson et al. 2005; Newel et al.

2001; Slader et al. 2002).

2.3.2. Kontaminasi pada tahap proses pengolahan

Pada saat pemotongan ayam di rumah potong ayam, karkas ayam dapat merupakan sumber kontaminan mikroorganisme. Selain kontaminasi berasal pada saat pemotongan, dapat juga terjadi pada saat prosesing serta penyimpanan. Kontaminasi yang terjadi di rumah potong biasanya berasal dari kulit, saluran pencernaan, saluran pernafasan, pisau, pekerja (meliputi tangan dan baju) serta air


(44)

yang digunakan untuk mencuci karkas (Upton 1995). Pada gambar 3 dapat dilihat kejadian infeksi C. jejuni dari ayam ke manusia.

Gambar 3 Skema penyebaran infeksi Campylobacter jejuni melalui penanganan, konsumsi karkas ayam, susu tanpa pasteurisasi dan air (Konkel et al.

2001)

Kejadian campylobacteriosis pada manusia dapat terjadi akibat kontaminasi silang pada saat penanganan karkas ayam dan memakan daging ayam yang kurang matang atau kontaminasi yang berasal dari air yang digunakan untuk mencuci karkas (Altekruse 1998). Kontaminasi mikroba biasanya terjadi pada permukaan bahan pangan. Pada karkas ayam biasanya terjadi pada kulitnya. Lee et al. (1998) melaporkan bahwa C. jejuni dapat tumbuh dengan baik pada kulit ayam yang lepas dari karkas. Berrang et al. (2001) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara jumlah mikroba yang terdapat pada karkas tanpa kulit maupun beserta kulit, walaupun dalam penelitian tersebut menunjukkan ada sedikit perbedaan jumlah Campylobacter sp. yang terdapat pada karkas beserta kulitnya lebih banyak jika dibandingkan karkas tanpa kulit.

Kejadian campylobacteriosis selain disebabkan karena mengkonsumsi karkas ayam yang telah terkontaminasi dapat juga terjadi akibat mengkonsumsi susu yang tidak dipasteurisasi, serta minuman yang terkontaminasi. Di Taiwan telah dilakukan isolasi C. jejuni pada karkas ayam (55%), karkas bebek 20%, karkas babi 10%, dan susu segar 30% (Shao et al. 2006).


(45)

Pada umumnya pertumbuhan Campylobacter sp. pada bahan pangan tidak berkembang dengan baik. Mikroba tidak mampu berproliferasi pada suhu ruang maupun refrigerator. Mikroba sifatnya sangat fragile dan sensitif terhadap beberapa jenis antimikroba, akan tetapi kontaminasi mikroba pada karkas dalam jumlah sedikit (± 800 sel) sudah mampu menimbulkan penyakit pada manusia (Norman & Pretanik 2006). Menurut Lee et al. (1998) pada penyimpanan -20 oC dan -70 oC mikroba dapat bertahan hidup namun tidak mampu mengadakan replikasi. Pada suhu ruang dan suhu 4 oC dapat tumbuh dan memperbanyak diri meskipun lambat, sehingga pada saat dilakukan thawing maka mikroba yang masih bertahan hidup dalam karkas pada suhu freezing akan tetap memiliki kemampuan hidup. Kerusakan bahan pangan yang disebabkan oleh C. jejuni dapat terjadi apabila pada penyimpanan terdapat pertumbuhan mikroba sampai berjumlah 100 kali lipat. Perubahan yang terjadi berupa lendir, perubahan warna kulit dan bau sehingga menyebabkan penampakan karkas yang kurang disukai (Lee et al. 1998).

2.4. Kajian Risiko Terjangkit Penyakit Tular Pangan

Keamanan pangan saat ini merupakan masalah penting di beberapa negara, hal ini disebabkan karena kesadaran yang tinggi dari konsumen dalam mengkonsumsi bahan pangan berkualitas dan aman. Munculnya risiko antara lain ditentukan karena terjadinya perubahan dalam proses produksi dan pengolahan bahan pangan asal ternak, adanya laporan mengenai munculnya foodborne pathogen

sebagai emerging dan re-emerging disease, serta pola masyarakat mengkonsumsi bahan pangan. Perdagangan pangan internasional yang semakian luas juga dapat meningkatkan risiko penyebaran mikroorganisme patogen ke negara lain, sehingga dapat meningkatkan risiko manusia menderita food-borne disease.

Perkembangan analisa risiko dilaporkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) terus meningkat selama dekade terakhir. World Health Organization (WHO) dan Food and Agriculture Organization (FAO) mengembangkan pendekatan risiko berbasis bahaya pada bahan pangan dalam bidang kesehatan masyarakat menggunakan analisa risiko. Analisa risiko adalah suatu proses yang terdiri dari tiga komponen yaitu kajian risiko (risk assessment), manajemen risiko (risk management), dan komunikasi risiko (risk communication) (WHO 1995). Kajian risiko merupakan proses dimana risiko dari bahaya dievaluasi


(46)

secara kuantitatif maupun kualitatif. Evaluasi kajian risiko secara kuantitatif telah dilakukan sejak tahun 1970an untuk mengetahui risiko manusia yang terpapar oleh bahan kimia (Soller 2006). Melakukan evaluasi kajian risiko terhadap bakteri patogen sebagai agen foodborne disease penting dilakukan untuk mengetahui secara kuantitatif peluang terjadinya risiko yang dapat diakibatkan oleh patogen serta dapat digunakan untuk mengambil kebijakan dalam bidang kesehatan masyarakat baik di tingkat nasional maupun internasional. Hasil evaluasi kajian dapat disampaikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kajian risiko pada agen foodborne disease dievalusi dengan melakukan kajian pada semua tahapan mata rantai pangan hingga siap saji. Kajian risiko sebaiknya mampu menjawab permasalahan yang ada, dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manajer risiko untuk mencapai keputusan. Manajemen risiko adalah proses dimana informasi yang berkaitan dengan risiko termasuk hasil dari kajian risiko, digunakan untuk membuat keputusan tentang bagaimana risiko tersebut akan dikendalikan kemudian bagaimana keputusan itu akan diterapkan. Komunikasi risiko adalah proses dimana informasi yang berkaitan dengan kajian dan manajemen risiko merupakan media untuk berlangsungnya proses kajian dan manajemen risiko (Buchanan 2004).

Kajian risiko sering disebut sebagai microbial risk assessment (MRA) dievaluasi untuk mengetahui kemungkinan atau probabilitas keparahan suatu penyakit yang disebabkan oleh suatu agen patogen. CAC mendefinisikan kajian risiko sebagai proses berbasis ilmiah yang terdiri dari empat langkah yaitu: 1) identifikasi bahaya, 2) karakterisasi bahaya, 3) kajian paparan, dan 4) karakterisasi risiko (FAO 2000).

2.4.1. Identifikasi bahaya

Bakteri thermophilic Campylobacter sp. dilaporkan sebagai penyebab utama infeksi gastrointestinal pada manusia. Ayam yang terinfeksi Campylobacter

menyebabkan kontaminasi pada karkas yang dihasilkan. Karkas ayam merupakan sumber utama foodborne disease. Saluran pencernaan dan air merupakan sumber kontaminasi pada proses pemotongan di rumah potong (Atanassova et al. 2007). Cara penyimpanan daging ayam di pasar tradisional dan swalayan menyebabkan perbedaan tingkat prevalensi kontaminasi Campylobacter sp. (Andriani et al.


(1)

pengobatan, serta lima kelompok perlakuan diinfeksi C. jejuni dan dilakukan pengobatan menggunakan antibiotika, masing-masing amoksilin, tetrasiklin, amoksisilin, eritromisin, dan siprofloksasin. Dosis infeksi yang digunakan adalah 104cfu/ml diberikan secara peroral. Pengobatan menggunakan antibiotika dilakukan selama lima hari dimulai pada ayam umur 14 hari hingga 18 hari.

Evaluasi hasil pengobatan menggunakan antibiotika terhadap keberadaan C. jejuni di dalam usus dilakukan pada ayam umur 19 hari dengan melakukan isolasi C. jejuni dari swab usus.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil uji in vitro menggunakan metode difusi agar pada isolat C. jejuni yang berasal dari Demak terhadap kelima jenis antibiotika disajikan pada Tabel 1. Isolat C. jejuni asal Demak memperlihatkan diameter zona hambat daerah hambat (DDH) antibiotika siprofloksasin dan tetrasiklin berada dalam zona resisten. Isolat C. jejuni asal Demak sensitif terhadap antibiotika yang lain (amoksilin, erytromisin, dan kloramfenikol).

Tabel 1 Diameter daerah hambat isolat C. jejuni asal Demak terhadap lima jenis antibiotika dengan standar NCCLS (2002)

Antibiotika Standar DDH (mm)* Hasil uji (mm)

S I R

Amoxylin (10 µg) Chloramphenicol (30 µg) Ciprofloxacin (5 µg) Erythromycin (15 µg) Tetracyclin (30 µg)

≥ 10 ≥ 23 ≥ 24 ≥ 19 ≥33

- 12-22 19-23 16-18 16-32

≤ 9 ≤ 11 ≤ 18 ≤ 15 ≤ 15

16.9 40.3 9.0 37.5 12.2 Keterangan S : sensitive

I : intermediate R : resistance *

: NCCLS (2002) untuk Enterobacteriaceae

Sesuai dengan hasil penelitian Waldenstro¨m et al. (2005) dan Zirnstein et al. (1999) bahwa isolat C. jejuni mengalami resistensi terhadap antimikroba golongan quinolone. Sesuai juga dengan laporan Miflin et al. (2007) bahwa isolat C. jejuni yang diuji bersifat resisten terhadap antibotika tetracycline. Isolat C. jejuni asalKudus memperlihatkan sensitif terhadap amoxylin, kloramfenikol, dan


(2)

siprofloksasin, tetapi terhadap antibiotika eritromisin dan tetrasiklin berada pada zona intermediate seperti yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Diameter daerah hambat isolat C. jejuni asal Kudus terhadap lima jenis antibiotika dengan standar NCCLS (2002)

Antibiotika Standar DDH (mm)* Hasil uji (mm)

S I R

Amoxylin (10 µg) Chloramphenicol (30 µg) Ciprofloxacin (5 µg) Erythromycin (15 µg) Tetracyclin (30 µg)

≥ 10 ≥ 23 ≥ 24 ≥ 19 ≥33 - 12-22 19-23 16-18 16-32 ≤ 9 ≤ 11 ≤ 18 ≤ 15 ≤ 15 21.6 27.0 27.3 18.9 27.5 Keterangan S :sensitive

I :intermediate R :resistance *

: NCCLS (2002) untuk Enterobacteriaceae

Kedua isolat C. jejuni yang digunakan pada penelitian ini yaitu asal Demak dan Kudus menunjukkan hasil yang berbeda terhadap uji antibiotika ciprofloxacin.Isolat asal Demak bersifat resisten terhadap antibiotika ciprofloxacin tetapi isolat asal Kudus bersifat sensitif. Peneliti Miflin et al. (2007) dari Australia melaporkan bahwa MIC dan diameter daerah hambat isolat C. jejuni sensitif terhadap ciprofloxacin, hal ini sesuai dengan hasil uji isolat C. jejuni asal Kudus. Peneliti lain Waldenstro¨m et al. (2005) dan Zirnstein et al. (1999) melaporkan hasil bahwa C. jejuni resisten terhadap antimikroba golongan quinolone, sesuai dengan hasil penelitian terhadap isolat C. jejuni asal Demak.

Tabel 3 MIC isolat C. jeuni asal Demak dan Kudus

Antibiotika Hasil MIC (µg/ml) Standar MIC (µg/ml)*

Demak Kudus R I S

Amoxylin Chloramphenicol Ciprofloxacin Erythromycin Tetracyclin 20 5 5 40 20 10 ≤0.625 1.25 ≤0.625 1.25 ≥ 32 ≥ 32 ≥ 4 ≥ 8 ≥ 16 16 16 2 1-4 8 ≤ 8 ≤ 8 ≤ 1 ≤ 0.5 ≤ 4 Keterangan S :sensitive

I :intermediate R :resistance *


(3)

Isolat asal Kudus memperlihatkan hasil di daerah zona hambat intermediate terhadap antibiotika erythromycin pada uji difusi cakram namun pada uji MICmemberikan hasil sensitif. Hal ini berhubungan dengan jarangnya penggunakan jenis antibiotika erythromycin untuk pengobatan di bidang veteriner terutama unggas. Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Ristic et al. (2009) bahwa isolat C. jejuni tidak resisten terhadap jenis antibiotika erythromycin, sehingga antibiotika erythromycin dapat digunakan untuk mengobati manusia penderita diare yang disebabkan oleh infeksi C. jejuni.

Tabel 4 Hasil uji vivo isolat C. jejuni asal Demak pada pengobatan ayam broiler (Fauzi 2012)

Kelompok ayam diobati dosis pengobatan (µg/ml) isolasiC. jejuni pada usus Amoxylin

Chloramphenicol Ciprofloxacin Erythromycin Tetracyclin Kontrol positif Kontrol negatif

20 5 5 40 20 - -

- - - + (1/3)

- - -

Hasil isolasi pada swab usus setelah dilakukan infeksi isolat C. jejuni asal Demak dan pengobatan menggunakan kelima jenis antibiotika seperti pada Tabel 4, bahwa pengobatan menggunakan antibiotika erythtomycin memperlihatkan masih ditemukan bakteri C. jejuni di dalam usus.

Tabel 5 Hasil uji vivo isolat C. jejuni asal Kudus pada pengobatan ayam broiler (Fauzi 2012)

Kelompok ayam diobati dosis pengobatan (µg/ml) Isolasi C. jejuni pada usus Amoxylin

Chloramphenicol Ciprofloxacin Erythromycin Tetracyclin Kontrol positif Kontrol negatif

10 0.625

1.25 0.625

1.25 - -

- + (1/3)

- - + (2/3)

- -


(4)

Uji in vivo yang dilakukan pada isolat asal Kudus menunjukkan hasil bahwa setelah pengobatan terhadap infeksi C. jejuni menggunakan antibiotika chloramphenicol dan tetracycline masih dapat ditemukan bakteri C. jeuni di dalam usus. Peneliti lain Miflin et al. (2007) melaporkan bahwa isolat C. jejuni yang diuji secara in vitro resisten terhadap antibiotika chloramphenicol. Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Ristic et al. (2009) bahwa isolat C. jejuni tidak resisten terhadap jenis antibiotika erythromycin, sehingga antibiotika erythromycin dapat digunakan untuk mengobati manusia penderita diare yang disebabkan oleh infeksi C. jejuni.

Hasil penelitian secara in vivo pada pengobatan menggunakan antibiotika erythromycin pada ayam broiler yang diinfeksi isolat C. jejuni asal Demak, di dalam ususnya masih dapat diisolasi adanya bakteri C. jejuni. Pengobatan menggunakan antibiotika chloramphenicol dan tetracycline pada ayam setelah diinfeksi isolat C. jejuni asal Kudus, bakteri C. jejuni masih dapat diisolasi dari dalam ususnya.

SIMPULAN

Kesimpulan dari hasil penelitian adalah secara in vitro isolat C. jejuni asal Demak bersifat resisten terhadap antibiotika ciprofloxacin dan tetracylin, sedangkan isolat asal Kudus berada pada zona hambat intermediate terhadap antibiotika erythromycin.

Secara in vivo hasil yang dapat disimpulkan adalah pengobatan pada ayam menggunakan antibiotika erythromycin pada dosis 40 µg/ml belum efektif digunakan untuk mengobati infeksi isolat C. jejuni asal Demak, meskipun pada uji in vitro memberikan hasil sensitif. Pengobatan menggunakan antibiotika tetracycline dosis 1.25 µg/ml dan chloramphenicol dosis 0.625 µg/ml pada ayam tidak dapat menghilangkan infeksi C. jejuni di dalam usus.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian mengenai sensitivitas berbagai variasi dosis dan jenis antibiotika untuk pengobatan pada infeksi C. jejuni. Selain itu parameter yang diamati perlu ditambahkan gejala klinis dan performance ayam untuk bisa mengetahui respon pengobatan antibiotika terhadap infeksi C. jejuni.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Altekruse SF, Stern NJ, Fields PI, Swerdlow DL. 1999. Campylobacter jejuni an Emerging foodborne pathogen. J Emerg Infect Dis 5 (1): 23-29.

[BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2001. Campylobacter. Chapter 7. Ed ke 8. Authors: Jan M. Hunt, Carlos Abeyta and Tony Tran Updated and revised: 2000-Dec-29. Media Instructions Modified on 2001-Mar-08.

Caprioli A, Busani L, Martel JL, Helmuth R. 2000. Monitoring of antibiotic resistence in bacteria of animal origin: epidemiological and microbiological methodologies. Intern J Anti Agents 14: 295-301.

Endz HP, Ruijs GH, van Klingeren B, Jansen WH, Vvan der Reyden, Mouton RP. 1991. Quinolone resistance in Campylobacter isolated from man and poultry following the introduction of fluoroquinolones in veterinary medicine. J Ant Chem 27: 199-208.

Engberg J, Aarestrup FM, Taylor DE, Gerner-SmidtP, Nachamkin I. 2001.Quinolone and macrolide resistancein Campylobacter jejuni and C. coli: resistancemechanisms and trends in human isolates. Emerg Infect Dis 7(1): 24-34.

Ge B, Bodeis S, Walker RD, White DG, Zhao S,McDermott PF. 2002. Comparison of the Etest andagar dilution for in vitro antimicrobial susceptibilitytesting of Campylobacter.J Antimicroibial Chem 50: 487-94.

Lalitha MK. 2008. Manual on antimicrobial susceptibility testing. Vellore Tamil Nadu: Departement of Microbiology. Chritian Medical College.

Lastovica AJ, Penner JL. 1983. Serotypes of Campylobacter jejuni and Campylobacter coli in bacteremic, hospitalized children. J Infect Dis 147: 592.

Luber P, Wagner J, Hahn H and Bartelt E. 2003.Antimicrobialresistance in Campylobacter jejuni and Campylobactercoli Strains Isolated in 1991 and 2001-2002 fromPoulty and Humans in Berlin, Germany. Antimicrob Agents Chemother: 3825-3830.

Miflin JK, Jillian MT, Blackall PJ. 2007. Antibiotic resistance in Campylobacter jejuni and Campylobacter coliisolated from poultry in the South-East Queensland region. J Antimicrob Chem 59: 775–778.

[NAMRS] National Antimicrobial Resistance Monitoring System. 2006. Enteric bacteria human isolate final report. Atlanta Center for Disease Control and Prevention

[NCCLS] National Committee for Clinical Laboratory Standards. 2002. Performance Standards for Antimicrobial Disk and Dilution Susceptibility Tests for Bacteria Isolated from Animals.Second Edition: Approved Standard M31-A2. NCCLS, Wayne, PA USA.


(6)

Rama PS. 2012. Resistensi Campylobacter jejuni isolate lokal terhadap lima jenis antimikroba secara in vitro dan in vivo [Tesis]. Bogor. Program Pascasarjana.Institut Pertanian Bogor.

Ristic L, Tatjana B, Branislava K, Miljkovic-Selimovic B. 2009. Presence of resistance in Campylobacter jejuni and Campylobacter coli. Acta Medica Medianae 48(2): 14-17.

Waldenstro¨m J,Mevius D,Kees V, Tina B, Dennis H, Bjo¨rn O. 2005. Antimicrobial Resistance Profiles of Campylobacter jejuni Isolatesfrom Wild Birds in Sweden. Appl Environ Microbiol 71(5): 2438-2441.

Zirnstein G, Yu L, Bala S, Frederick A. 1999. Ciprofloxacin resistance in Campylobacter jejuni isolates: Detectionof gyrA resistance mutations by Mismatch AmplificationMutation Assay PCR and DNA sequence analysis. J Clin Microbiol 37(10): 3276-3280