Penguatan Sosial Politik Komunitas Adat

PENGUATAN SOSIAL POLITIK KOMUNITAS ADAT

TRI SINTYA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penguatan Sosial
Politik Komunitas Adat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015


Tri Sintya
NIM I34110078

ABSTRAK
TRI SINTYA. Penguatan Sosial Politik Komunitas Adat. Dibawah bimbingan
SOFYAN SJAF.
Keberadaan komunitas adat di Indonesia mengalami perubahan dalam aspek
sosial dan politik. Awalnya aspek sosial komunitas adat masih berorientasi pada
kepentingan bersama kini mulai berubah signifikan dengan azaz individu dan
degradasi nilai. Pada dimensi politik keberadaan masyarakat adat juga terkait
dengan keberadaan UU No.5 Tahun 1979, UU No.22 Tahun 1999, UU No.32
Tahun 2004 serta yang terakhir khusus membahas pengaturan Desa Adat yaitu
UU No. 6 Tahun 2014. Undang-undang ini membuka kesempatan bagi tata
pemerintahan komunitas adat lebih diakui secara sah dan formal. Untuk itu
penelitian ini betujuan menganalisis sejauhmana kesiapan desa untuk
bertransformasi menjadi desa adat dalam aspek sosial dan politik. Penelitian
dilakukan di Desa Balla Tumuka, Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa,
Sulawesi Barat dengan metode kuantitaif serta dukungan metode kualitatif. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum eksistensi sosial politik adat di

desa penelitian masih tinggi. Selain itu terdapat hubungan yang cukup kuat antara
tingkat kesiapan sosial politik dan penguatan desa adat. Dengan demikian analisis
ini diharapkan mampu menjadi pertimbangan implementasi kebijakan serta
mampu mengkaji kesiapan sosial politik komunitas adat.
Kata Kunci: Desa Adat, komunitas adat, politik, sosial

ABSTRACT
TRI SINTYA. Social and Political Reinforcement of Indigenous People. Under
guidance of SOFYAN SJAF.
The existence of indigenous peoples in Indonesia have changes includes
various aspects such as social and political. At first, the social aspect is still
strongly oriented on common interests turned significant into individual
orientation and degradation value. The political dimension of the indigenous
community associated with village governance. This is related to the presence of
UU No.5 in 1979, UU No.22 in 1999, UU No.32 in 2004 and the last one devoted
to traditional village setting is UU No.6 in 2014. Legislation is an opportunity for
the public governance to be legally recognized customary and formal. The purpose
of this research is to to analyze how the social and politic readiness of village to
transform become indigenous village in social and politic aspect. This research is
conduct in Balla Tumuka Village, District of Balla, Sub-Province of Mamasa, Province of

West Sulawesi with quantitative and qualitative methode. The results of this study

indicate that in general the existence of indigenous sociopolitical are still high and
there are high correlation between the level of social and political readiness and
strengthening indigenous villages.
Keywords: Indigenous peoples, political, social, traditional village

PENGUATAN SOSIAL POLITIK KOMUNITAS ADAT

TRI SINTYA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

Judul Skripsi

: Penguatan Sosial Politik Komunitas Adat

Nama

: Tri Sintya

NIM

: I34110078

Disetujui oleh

Dr Sofyan Sjaf, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh


Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Ujian:

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
karunia dengan segala hal terbaik dalam proses penyusunan skripsi yang berjudul
“Penguatan Sosial Politik Komunitas Adat”. Selain itu penulis menyadari
bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kontribusi dan dukungan
semua pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih sebesarbesarnya kepada pihak yang terlibat, sebagai berikut:
1. Bapak Dr. Sofyan Sjaf yang telah membimbing, mendukung dan memberikan
inspirasi yang luar biasa dalam penyusunan skripsi.
2. Pemerintah Daerah Kabupaten Mamasa dan masyarakat Desa Balla Tumuka
yang telah memberikan kontribusi terbaik selama proses penelitian serta terima
kasih kepada Risma Junita dan Danang Pramudita selaku partner dalam
penelitian yang senantiasa berbagi pembelajaran dan pengalaman.
3. Ibunda Rosiah dan Ayahanda Supardi serta keluarga yang telah memberikan

dukungan dan doa yang tak terbatas kepada penulis hingga mampu menjalani
banyak hal sampai tahapan ini.
4. Dikti dan Kemendikbud yang telah memberikan beasiswa Bidik Misi sebagai
penunjang perkuliahan serta Direktorat Kemahasiswaan Institut Pertanian
Bogor yang telah membantu proses kelancaran.
5. Terima kasih kepada Eka Syaeful Bahri, keluarga Bapak Sudarna, dan keluarga
Bapak Heru Arif Riyadi yang telah memberikan segala bentuk kontribusinya
kepada penulis selama proses perkuliahan.
6. Rekan-rekan satu bimbingan, serta KPM angkatan 48 yang telah memberikan
kebersamaan dan kesan mendalam selama menjalani pembelajaran di
Departemen SKPM.
7. Rekan-rekan BEM FEMA Kabinet Trilogi, rekan-rekan majalah komunitas
2012-2013, rekan-rekan Forsia 1435 H dan teman-teman mentoring yang telah
memberikan pengalaman dan segala bentuk dukungannya.
8. Praktikan Sosiologi Umum dan Ilmu Penyuluhan yang telah berbagi ilmu dan
memberikan pembelajaran berarti kepada penulis serta teman-teman Kos
Assakinah yang telah menjadi teman seperjuangan dalam menjalani
keseharian.
9. Terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi,
dukungan, dan doa kepada penulis selama ini.

Penulis berharap kajian mengenai Penguatan Sosial Politik Masyarakat Adat
mampu memberikan manfaat dan sumbangsih terhadap khazanah ilmu
pengetahuan.
Bogor, Januari 2015

Tri Sintya

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Kerangka Pemikiran

Hipotesis
Definisi Operasional
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Sampling
Teknik Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Gambaran Desa Balla Tumuka
Karakteristik Sosial Ekonomi Responden
Sejarah Desa dan Adat
KESIAPAN SOSIAL POLITIK KOMUNITAS ADAT DESA BALLA
TUMUKA
Tingkat Kesiapan Sosial Komunitas
Ikhtisar Kesiapan Sosial Komunitas
Kesiapan Politik Komunitas
Penguatan Desa Adat
HUBUNGAN TINGKAT KESIAPAN SOSIAL POLITIK DAN
PENGUATAN DESA ADAT

Analisis Hubungan Tingkat Kesiapan Sosial dan Tingkat Kesiapan
Politik
Analisis Hubungan Tingkat Kesiapan Sosial dan Penguatan Desa Adat
Hubungan Tingkat Kesiapan Politik dan Penguatan Desa Adat
Hubungan Tingkat Kesiapan Sosial Politik dan Penguatan Desa Adat
PRASYARAT TRANSFORMASI KE DESA ADAT
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

VIII
IX
IX
1
1
2
3

3
5
5
14
16
17
21
21
21
21
22
23
25
25
28
32
35
35
43
47

61
63
63
65
67
69
71
75
75
76
77
79
88

DAFTAR TABEL
Nomor
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tabel 15
Tabel 16
Tabel 17
Tabel 18
Tabel 19
Tabel 20
Tabel 21
Tabel 22
Tabel 23

Tabel 24

Perbandingan karakter pemerintahan desa dan otoritas
kelembagaan adat
Uji statistik reliabilitas
Jumlah penduduk masing-masing dusun menurut
golongan umur di Desa Balla Tumuka tahun 2014
Jumlah penduduk masing-masing dusun menurut jenis
kelamin di Desa Balla Tumuka tahun 2014
Luas lahan kering di Desa Balla Tumuka tahun 2013
Jumlah dan persentase sebaran umur responden
penelitian
Jumlah warga masing-masing dusun menurut tingkat
pendidikan di Desa Balla Tumuka tahun 2014
Jumlah dan persentase tingkat partisipasi komunitas adat
Desa Balla Tumuka
Jumlah dan persentase tingkat kepercayaan komunitas
adat Desa Balla Tumuka
Jumlah dan persentase tingkat ketaatan terhadap norma
Jumlah dan persentase tingkat kepedulian terhadap
sesama
Jumlah dan persentase tingkat keterlibatan komunitas
dalam aktivitas organisasi sosial/adat
Jumlah dan persentase tingkat kesiapan sosial pada
masing-masing indikator
Jumlah dan persentase tingkat kesiapan sosial
Jumlah dan persentase bentuk struktur adat Desa Balla
Tumuka
Jumlah dan persentase proses dan aktor adat dalam
pengambilan keputusan
Jumlah dan persentase tipe kepemimpinan adat Desa
Balla Tumuka
Jumlah dan persentase bentuk pengelolaan sumber daya
adat Desa Balla Tumuka
Jumlah dan persentase bentuk perangkat hukum adat
Desa Balla Tumuka
Jumlah dan persentase tingkat kesiapan politik pada
masing-masing indikator
Jumlah dan persentase tingkat kesiapan politik
Jumlah dan persentase responden menurut kategori
penguatan desa adat
Jumlah dan persentase menurut tingkat kesiapan sosial
dan tingkat kesiapan politik komunitas adat di Desa Balla
Tumuka tahun 2014
Uji korelasi Rank Spearman tingkat kesiapan sosial dan
tingkat kesiapan politik komunitas

Halaman
8
22
26
26
27
28
29
36
37
38
40
41
44
45
47
50
52
56
57
59
60
61
63

64

Tabel 25

Tabel 26
Tabel 27

Tabel 28
Tabel 29
Tabel 30

Jumlah dan persentase menurut proses kesiapan sosial
dan penguatan desa adat di Desa Balla Tumuka tahun
2014
Uji korelasi Rank Spearman tingkat kesiapan sosial dan
penguatan desa adat
Jumlah dan persentase menurut proses kesiapan politik
dan penguatan desa adat di Desa Balla Tumuka tahun
2014
Uji korelasi Rank Spearman tingkat kesiapan politik dan
penguatan desa adat
Uji korelasi Rank Spearman tingkat kesiapan sosial
politik dan penguatan desa adat
Analisis kualifikasi persyaratan desa adat

65

66
67

68
69
72

DAFTAR GAMBAR
Nomor
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3

Halaman
Kerangka pemikiran
16
Bagan mekanisme pengambilan sampel
22
Hasil pentahapan keluarga pra sejahtera Desa Balla
30
Tumuka tahun 2013
Gambar 4 Alur sejarah Desa Balla Tumuka
32
Gambar 5 Jumlah persentase kelompok tani Desa Balla Tumuka
34
Tahun 2014
Gambar 6 Jumlah pengurus kelembagaan pada masing-masing
42
dusun di Desa Balla Tumuka tahun 2014
Gambar 7 Jumlah organisasi kemasyarakatan pada masing-masing
43
dusun di Desa Balla Tumuka tahun 2014
Gambar 8 Stratifikasi sosial komunitas Desa Balla Tumuka
49
Gambar 9 Jejaring kolaborasi antar aktor di Desa Balla Tumuka
50
Gambar 10 Perangkat Desa Balla Tumuka
53
Gambar 11 Susunan perangkat hukum adat Desa Balla Tumuka
58

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5

Komparasi substansi undang-undang
Jadwal penelitian skripsi
Peta lokasi penelitian
Daftar responden
Dokumentasi

Halaman
79
83
84
85
87

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sebagai bagian dari kesatuan wilayah pemerintahan Republik Indonesia, desa
menjadi subjek penting yang turut berkontribusi atas proses pembangunan.
Menurut data sensus penduduk dari Badan Pusat Statisik tahun 2010 terdapat
sebanyak 119 321 070 jiwa (50.21 persen) penduduk yang tinggal di pedesaaan.
Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih
bertahan di wilayah-wilayah tersebut. Fakta demikian menuntut adanya upaya
pemerataan kesejahteraan khususnya bagi masyarakat desa yang seringkali
terlupakan dinamika struktural. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan desa
diperlukan melalui sinergi berbagai pihak mulai dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah hingga masyarakat lokal.
Pada perkembangannya, berbagai regulasi yang mengatur eksistensi desa
turut menjadi bagian tak terpisahkan. Beberapa regulasi yang berisi tentang
pemerintahan desa diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
serta Undang-Undang Nomor 6 Tahun 20141. Secara umum keempat undangundang tersebut memiliki sejumlah persamaan dan perbedaan. Perbedaan yang
paling mencolok adalah posisi masyarakat yang awalnya hanya sebagai objek
penerima berubah menjadi subjek pembangunan yang dilibatkan dalam kebijakan
otonomi daerah.
Pada UU No.5 Tahun 1979 pemerintahan desa diatur secara terpusat. Seluruh
bentuk sistem lokal berganti sesuai apa yang diperintahkan, misalnya nama-nama
kesatuan wilayah terkecil disebut sebagai desa. Padahal sebelum itu banyak aturan
lokal masyarakat yang menyebut kesatuan wilayah mereka dengan nama-nama
yang khas seperti dusun, nagari, gampong ataupun banjar. Pasca berlalunya masa
Orde Baru peraturan tersebut berubah dengan paradigma yang lebih demokratis.
UU No.22 Tahun 1999 mulai menghargai realitas keragamaan dan hak asal-usul
desa, menerapkan asas desentralisasi, serta memberikan penghargaan terhadap
berkembangnya masyarakat desa. Namun demikian, undang-undang ini tidak serta
merta memperbaiki kondisi yang ada karena terdapat tantangan baru dalam
mengubah hasil konstruksi sistem sentralistik sebelumnya, bahkan UU No.32
Tahun 2004 yang muncul sebagai pembaharuan dan menjunjung tinggi asas
pluralisme pun masih menyisakan kesangsian mengenai keberhasilan aturan
tersebut dalam menjamin kemandirian dan otonomi desa sepenuhnya.
Dari keempat regulasi yang saling menyempurnakan aturan pemerintahan
desa, semakin disadari urgensi pengaturan dan perlindungan mengenai masyarakat
yang hidup berdasarkan nilai-nilai dan hukum adat. Menurut Kongres Masyarakat
Adat Nusantara pada tahun 1999, tertera dalam Surat Keputusan KMAN No.
01/KMAN/1999, masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki
asal usul leluhur di wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai, ideologi,
ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri (Moniaga dalam Bappenas
1

Selanjutnya ditulis dengan UU No.5 Tahun 1979, dst.

2

2012). Selanjutnya dalam UU No.32 Tahun 2004 telah mengapresiasi keberadaan
tata aturan adat (Pasal 203 dan pasal 216), namun otoritas adat dengan sistem tata
pemerintahan asli sulit beradaptasi dan menyelaraskan dengan keberadaan sistem
tata pemerintahan formal dalam konsep desa. Alhasil, dalam merespon peluang
desentralisasi atau otonomi lokalitas (desa) yang ditawarkan oleh negara melalui
platform UU No.32 Tahun 2004 otoritas adat seringkali berbenturan secara
kelembagaan dengan otoritas formal (pemerintahan desa) yang legitimate menurut
hukum positif kenegaraan (Dharmawan et al. 2006). Selain itu, menurut berbagai
hasil penelitian diperoleh bahwa realitas semacam ini seringkali menimbulkan
dualistik kepemimpinan di pedesaan atau adanya tumpang tindih antara pemimpin
formal dan informal.
Salah satu bentuk persoalan antara pemerintahan desa formal dengan sistem
adat yang masih mengakar di pedesaan Indonesia menjadi stimulus adanya
regulasi baru. Regulasi tersebut kemudian diupayakan dan berhasil terrealisasi
dalam UU No.6 tahun 2014 tentang Desa Adat. Undang-undang ini mengatur
pemerintahan Desa Adat sesuai dengan susunan asli atau dibentuk baru
berdasarkan prakarsa masyarakat adat. Selain itu peraturan Desa Adat disesuaikan
dengan hukum dan norma adat istiadat yang berlaku. Persoalannya kemudian
apakah setiap desa yang memiliki nilai-nilai kelembagaan lokal mampu untuk
menjalankannya sesuai dengan UU No.6 Tahun 2014 mengingat terdapat
perbedaan yang khas antar masing-masing desa. Terlebih lagi bekas pengaruh
konstruksi sentralistik yang telah melunturkan nilai-nilai masyarakat pedesaan
juga menjadi kendala yang berarti. Selain itu mempertimbangkan aspek yang
begitu kompleks, menimbulkan persoalan akan sejauhmana kebijakan undangundang tersebut bisa diterima dan dilaksanakan serta bagaimana upaya penataan
dan penguatan sistem Desa Adat dapat tercapai untuk kesejahteraan bersama.
Dengan demikian menarik untuk dianalisis dan dikaji lebih lanjut bagaimana
dinamika komunitas adat yang terkait dengan kesiapan dan penguatan aspek sosial
politik pada komunitas adat Desa Balla Tumuka Kecamatan Balla Kabupaten
Mamasa Provinsi Sulawesi Barat.

Perumusan Masalah
Intervensi regulasi yang mendorong perubahan bentuk pemerintahan desa di
Indonesia telah berlangsung demikian lama bahkan hinga saat ini. Kasus terdahulu
lebih menggambarkan bagaimana unit pemerintahan lokal dibentuk menjadi tata
pemerintahan desa formal hingga kembali dicanangkan program otonomi daerah.
Kebijakan ini nyatanya masih bias terhadap kepentingan komunitas lokal sehingga
dibentuklah kebijakan baru dalam UU No.6 Tahun 2014 yang memiliki aturan
khusus pemerintahan Desa Adat. Dengan demikian atas dasar realitas tersebut,
yang menjadi fokus penelitian ini adalah sejauhmana kesiapan desa untuk
bertransformasi menjadi desa adat dalam aspek sosial dan politik komunitas adat
di Kabupaten Mamasa Sulawesi Barat?
Dalam dinamika komunitas adat terdapat bentuk kearifan lokal baik
berupa nilai, adat istiadat ataupun norma yang memang menjadi dasar kehidupan
mereka. Faktor tersebut yang menjadi salah satu ciri khas yang membedakan
mereka dari masyarakat biasa di desa-desa lain. Bentuk kearifan lokal mereka

3

yang berusaha diwariskan hingga saat ini nyatanya disadari atau tidak telah
mengalami perubahan. Perubahan ini juga menstimulus bagaimana mereka
mempertahankan eksistensi dari waktu kewaktu melalui upaya penguatan yang
berkesinambungan. Oleh karena itu perlu dipertanyakan sejauhmana hubungan
kesiapan sosial politik dengan penguatan desa adat?
Berdasarkan analisis yang mempertanyakan kesiapan aspek sosial dan
politik komunitas adat maka dapat diidentifikasi bahwa faktor sosial terdiri dari
tingkat partisipasi dalam jaringan organisasi sosial/adat, tingkat kepercayaan antar
sesama, tingkat ketaatan terhadap norma, tingkat kepedulian terhadap sesama,
serta intensitas keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial (adat). Selain itu
aspek politik dapat digolongkan dalam beberapa indikator pengamatan yaitu
bentuk struktur adat, proses dan aktor pengambil keputusan, tipe kepemimpinan,
bentuk alokasi/penguasaan sumber daya, dan perangkat hukum adat. Oleh karena
itu perlu juga ditanyakan hal yang relevan seperti sejauhmana hubungan kesiapan
sosial dan kesiapan politik dalam komunitas adat? serta faktor-faktor kesiapan
apa sajakah yang lebih dominan dalam proses penguatan sosial politik desa
adat?
Berbagai aspek kesiapan sosial politik dalam komunitas nyatanya akan
saling terkait dengan hal lainnya seperti bentuk penguatan berupa kearifan lokal
adat yang mendukung kelestarian tradisi, nilai ataupun norma. Apabila proses
penguatan itu berlangsung efektif untuk mencapai tujuan eksistensi adat
mengatasi perubahan, maka dapat meningkatkan nilai kesiapan komunitas itu
sendiri. Oleh karena itu menarik untuk melihat dan mempertanyakan sejauhmana
hubungan faktor kesiapan sosial politik dengan indikator penguatan desa adat?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, dapat dirumuskan tujuan
penelitian umum pada penelitian ini yaitu untuk menganalisis sejauhmana
kesiapan desa untuk bertransformasi menjadi desa adat dalam aspek sosial dan
politik komunitas adat. Adapun tujuan yang lebih spesifik adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis sejauh mana kesiapan desa untuk bertransformasi menjadi desa
adat dalam aspek sosial dan politik.
2. Menganalisis hubungan kesiapan sosial politik dengan penguatan desa adat.
3. Menganalisis hubungan kesiapan sosial dan kesiapan politik dalam komunitas
adat serta menganalisis faktor-faktor kesiapan apa sajakah yang lebih
dominan dalam proses penguatan sosial politik komunitas adat.
4. Menganalisis hubungan kesiapan dengan indikator penguatan sosial politik
komunitas adat.

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi berbagai pihak,
yaitu:
1. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
tambahan pengetahuan mengenai dinamika komunitas adat saat ini yang

4

2.

3.

berkaitan langsung dengan pemerintahan desa secara lokal menurut UU No.6
Tahun 2014. Selain itu penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan
pustaka dan referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai komunitas adat
dimasa mendatang sehingga mampu memberikan kontribusi gambaran
realitas di masyarakat sebagai pertimbangan implementasi kebijakan.
Bagi pembuat kebijakan (pemerintah), penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pengetahuan serta gambaran rinci mengenai kesiapan sosial
politik masyarakat adat yang menjadi subjek pembangunan khususnya dalam
regulasi tata pemerintahan desa adat di Indonesia. Dengan demikian
pemerintah diharapkan mampu menelaah lebih lanjut prospek serta apa saja
yang perlu direvitalisasi untuk mengefektifkan kebijakan Desa Adat.
Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
serta kesadaran kritis tentang keberadaan komunitas adat sebagai komponen
penting bangsa Indonesia yang juga berhak mendapatkan kehidupan yang
layak juga kebijakan yang relevan dengan hajat hidup serta kepentingan
mereka.

5

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka
Definisi dan Konsep Komunitas Adat
Secara sosiologis, konteks masyarakat adat yang menggunakan pendekatan
studi kasus lebih tepat disebut sebagai komunitas adat. Hal ini sesuai dengan
pemahaman bahwa istilah masyarakat dan komunitas cenderung berbeda.
Masyarakat merupakan kesatuan individu yang lebih mencirikan adanya
perbedaan karakteristik dengan cakupan cukup luas, sedangkan komunitas
merupakan kesatuan individu yang terikat oleh faktor geografis dan geneologis.
Selain itu komunitas juga cenderung lebih memiliki kasamaan karakteristik dan
lebih homogen. Dengan demikian, istilah masyarakat adat pun dapat diartikan
sebagai kumpulan-kumpulan komunitas adat yang ada di wilayah Indonesia
sedangkan komunitas adat yaitu menjelaskan kesatuan adat dalam satu wilayah
sebagai objek pembahasan yang cenderung lebih homogen. Untuk itu dalam
penelitian ini lebih relevan disebut sebagai komunitas adat karena menitikberatkan
pada fokus penelitian pada komunitas adat di Desa Ball Tumuka. Namun
berkaitan dengan pustaka rujukan, maka digunakan pula referensi umum yang
menjelaskan masyarakat adat dari berbagai sudut pandang.
Keberadaan masyarakat Adat tidak dapat diabaikan dalam dinamika
kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini melihat bahwa masyarakat adat merupakan
salah satu keragamaan dan kearifan lokal yang patut dihargai serta dipelihara
dengan bentuk pembangunan yang sesuai. Sayangnya pemahaman mengenai
dinamika masyarakat adat belum benar-benar terinternalisasi dalam pembangunan
tersebut. Terbukti masih banyaknya permasalahan terkait masyarakat adat
nusantara. Untuk itu salah satu lembaga yang disebut sebagai Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara (AMAN), banyak melakukan gerakan sosial yang membela hak
dan kepentingan masyarakat adat yang seringkali tergusur dinamika struktural.
Secara lebih rinci Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam
Kongres I tahun 1999, mendefinisikan masyarakat adat sebagai komunitaskomunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas
suatu wilayah geografis tertentu, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan
kekayaan alam, memiliki nilai-nilai sosial budaya yang khas, dan mengurus
keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat (Moniaga
dalam Bappenas 2012).
Selain definisi umum tersebut, definisi dari AMAN ini secara langsung
mendasarkan masyarakat adat dalam empat ciri spesifik sebagai berikut:
(1) Sekelompok orang dengan identitas budaya yang sama.
(2) Sekelompok orang yang saling berbagi sistem pengetahuan. Ciri khas ini
terkait erat dengan sistem pengetahuan yang bagikan (sharing knowledge)
yang bermuara pada kesamaan dalam sosialisasi dan internalisasi kebudayaan.
(3) Sekelompok orang yang tinggal di wilayah yang sama.

6

(4) Sekelompok orang yang memiliki sistem hukum yang khas dan tata
kepengurusan kehidupan bersama.
Tidak hanya pada skala nasional, dunia internasional pun mengakui
keberadaan masyarakat adat. Hal ini terbukti dengan adanya konvensi ILO
mengenai masyarakat adat. Menurut konvensi ILO 169 Tahun 1989 seperti
dikutip Bappenas (2012), masyarakat adat adalah masyarakat yang berdiam di
negara-negara merdeka dimana kondisi sosial, kultural, dan ekonominya
membedakan mereka dari masyarakat lain di negara tersebut, dan statusnya diatur,
baik seluruh maupun sebagian oleh masyarakat adat dan tradisi masyarakat adat
tersebut dengan hukum dan peraturan khusus.
Berdasarkan pemaparan mengenai definisi masyarakat adat dapat dilihat
bahwa masyarakat adat merupakan bentuk kesatuan yang patut diakui oleh suatu
negara dengan salah satu aspek penting yang menjadi bagian kehidupan adat
seperti sistem nilai lokal dalam aspek sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan.
Terkait konsep kebudayaan lokal sendiri menurut Horton dan Hunt (1999)
kebudayaan adalah seperangkat peraturan, tata cara, gagasan dan nilai dari
pengalaman yang mendukung memenuhi kebutuhan. Selain kebudayaan terdapat
pula kelembagaan yang turut mengatur kehidupan masyarakat adat. Horton dan
Hunt (1999) juga mendefinisikan sistem lembaga sebagai sistem hubungan sosial
yang terorganisasi yang mewujudkan nilai-nilai dan tata cara umum tertentu dan
memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Oleh karena itu suatu lembaga mencakup
(1) seperangkat pola perilaku yang telah distandarisasi dengan baik, (2)
serangkaian tata kelakuan, sikap dan nilai-nilai yang mendukung (3) sebentuk
tradisi, ritual acara, simbol, pakaian, dan perlengkapan lain.
Serangkaian konsep mengenai tata kelakuan, sikap dan nilai-nilai yang
mendukung kehidupan adat selaras dengan unsur-unsur perasaan komunitas yang
menjadi gambaran kohesivitas dan eksistensi mereka. Menurut R.M MacIever and
Charles seperti dikutip Soekanto (2002) mengungkapkan unsur-unsur perasaan
komuniti (community sentiment) antara lain:
(a) Seperasaan: unsur seperasaan akibat seseorang berusaha untuk
mengidentifikasi dirinya dengan sebanyak mungkin orang dengan kelompok
tersebut. Kepentingan individu diselaraskan dengan kepentingan kelompok.
(b) Sepenanggungan: setiap individu sadar akan peranannya dalam kelompok dan
keadaaan masyarakat sendiri memungkinkan peranannya dalam kelompok
dijalankan sehingga dia mempunyai kedudukan yang pasti dalam darah
dagingnya sendiri.
(c) Saling memerlukan: individu yang tergabung dalam masyarakat setempat
merasakan dirinya tergantung pada komunitinya yang meliputi kebutuhan
fisik dan kebutuhan psikologis.
Berbagai ciri tersebut menjadi penanda bahwa kehidupan dan kebudayaan
lokal masyarakat masih eksis dalam proses pembangunan di Indonesia. Namun
demikian eksistensi tersebut tidak serta merta mengalami keberlanjutan.
Nyatanya, dari beragam hasil penelitian menyebutkan bahwa kebudayaan berupa
tata kelakuan, nilai, bahkan aspek sosial, ekonomi, dan politik masyarakat adat
telah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Hal inilah yang kemudian
dapat menjadi catatan analisis bagaimana dinamika masyarakat adat terkait
kelembagaan, kohesivitas, sistem nilai dan norma mereka terintegrasi di
keseharian mereka hingga saat ini. Dengan demikian secara tidak langsung unsur-

7

unsur kekhasan komunitas adat tersebutlah yang mampu membedakan secara
nyata bagaimana masyarakat adat dengan masyarakat biasa baik di perkotaan
maupun perdesaan.
Komparasi Komunitas Adat dan Tata Pemerintahan Desa
Keberadaan komunitas adat dapat dikatakan mengalami perubahan dalam
berbagai aspek baik sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Dari segi sosial dan
budaya perubahan dirasakan dalam proses interaksi, nilai, wujud budaya, adat
istiadat dan eksistensi modal sosial. Aspek ekonomi mengalami perubahan ketika
prinsip matrealis sudah mengubah sistem ekonomi kekeluargaan, sedangkan aspek
politik dapat terlihat jelas dalam dinamika pemerintahan wilayah pedesaan dan
regulasi terkait.
Ditinjau dari sisi dinamika politik komunitas adat, berbagai penelitian
menyebutkan sering terjadinya dualisme kepemimpinan adat dengan
kepemimpinan pemerintah desa formal. Hal ini distimulus oleh adanya perubahan
regulasi nasional. Kepemimpinan adat yang awalnya hampir mempengaruhi
seluruh segi kehidupan komunitasnya kian mengalami penurunan secara
fungsional. Kepemimpinan yang berlandaskan kharismatik serta asal usul
genealogis pemimpin ini pada akhirnya mengalami pemisahan peranan dan
wewenang. Peranan pemimpin adat cenderung menangani masalah-masalah
informal terkait adat, budaya dan hubungan sosial, sedangkan kepemimpinan desa
secara formal mengurusi hal-hal berkenaan dengan administrasi, birokrasi,
program pembangunan hingga hubungan dengan pemerintah pusat.
Konsep desa telah dijelaskan dalam UU No.5 Tahun 1979 yang
menyebutkan bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung
di bawah camat dan berhak untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam
ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pelaksanaannya UU No.5
Tahun 1979 ini mensyaratkan pemisahan administrasi desa dari hak adat istiadat
dan hak asal usulnya. Sistem pemerintahan desa pun telah mengubah sistem
pemerintahan lokal yang kental akan nuansa adat menjadi lebih seragam untuk
berbagai daerah. Misalnya tata pemerintahan adat Nagari di Sumatera, sistem
Ondoafi di Papua serta Banjar di Bali cenderung berubah sistem struktur birokrasi
dan administrasi pemerintahannya. Namun demikian, pada perkembangannya
sistem pemerintahan desa mulai mengalami transformasi yang cukup signifikan
dalam upaya menghargai kebebasan otonom dan pengakuan keanekaragaman adat
istiadat serta asal usul desa seperti pada UU No.22 Tahun 1999, UU No.32 Tahun
2004 serta UU No.6 Tahun 2014.
Dalam hal ini jelas terdapat banyak perbedaan antara tata pemerintahan desa
formal dengan lembaga adat (lihat Tabel 1). Dari hasil analisis perbandingan
tersebut terlihat bahwa pemerintahan desa formal dan lembaga adat sangat
berbeda. Hal yang patut menjadi sorotan beberapa diantaranya adalah wilayah
kewenangan, sistem intensif dan instrumen pengatur kehidupan sosial. Dalam
wilayah kewenangan antara pemerintahan formal dan adat terlihat berbeda jelas
karena keduanya memiliki ruang yang berbeda, padahal kondisi ini dimungkinkan
untuk mengakomodir keduanya bahkan mengintegrasikan sekalipun. Sejalan

8

dengan itu belum ada instrumen pengatur kehidupan komunitas adat secara
spesifik dalam regulasi sebagaimana dalam tata pemerintahan desa formal.
Kondisi demikian menjadi sangat dilematis. Disatu sisi perbedaan kekuatan
mampu menjadikan bentuk sinergi dan kerjasama untuk mewujudkan efektivitas
dan kesuksesan pembangunan namun disisi lain mampu menuai konflik laten
akibat overlapping kepemimpinan ataupun perebutan kekuasaan. Untuk itu
diperlukan upaya menyelaraskan keduanya sebagai langkah mendorong
pemerintahan Indonesia yang lebih baik.
Tabel 1 Perbandingan karakter pemerintahan desa dan otoritas kelembagaan adat
Aspek
Basis kekuasaan

Pemerintahan desa
Rakyat via pemilihan kepala
desa  disahkan oleh negara
atau pemerintah

Wilayah kewenangan

Semua urusan yang diatur
oleh peraturan perundangan

Sistem pengendalian
organisasi sosial

Utilitarian  optimalisasi
manfaat ekonomi, efesiensi,
produktivitas
Kalkulatif, “kering”,
formalistik, organik
fungsional

Kepatuhan/ keterlibatan
emosional masyarakat
terhadap pemimpin
Sistem birokrasi

Legal-rasional  mekanisme
kerja terdefinisi dalam
prosedur yang baku

Sistem intensif

Remunerasi dari negara

Decision making process

Kepala desa, kelembagaan
formal pemerintahan desa
(BPD) dan arahan
pemerintahan kabupaten
Peraturan desa dan sistem
hukum legal diatasnya (perda,
PP, UU)
Semua urusan administrasi
publik dan pembinaan
kehidupan sosial
kemasyarakatan

Instrumen pengatur
kehidupan sosial
Urusan pokok yang
ditangani

Sumber: Dharmawan et al. (2006)

Kelembagaan adat
Asal-usul keturunan,
kewibawaan, kecendikiaan
 prinsip primus inter pares
(kematangan
kepribadian/usia)
Semua urusan disatuan
wilayah genealogis atau
religi  biasanya cakupan
pada hak ulayat
Normatif  operasionalisasi
nilai-nilai budaya leluhur
Kewajiban moral, “hangat”
informal dan melibatkan
ikatan emosional,
mekanisme interpersonal
Melekat pada kharisma
pemimpin adat 
tergantung kearifan sang
pemimpin
Penghargaan sosial dari
masyarakat  kehormatan
dan rasa disegani
Forum penghulu (pemimpin
adat) dan musyawarah
pemimpin masyarakat adat
Norma-norma adat lokal dan
pranata sosial lokal
Pengaturan sumberdaya
alam (tanah ulayat) dan
pemeliharaan harmoni sosial
kemasyarakatan

9

Dinamika Regulasi Komunitas Adat
Perkembangan pembangunan dari waktu ke waktu masih belum
mengakomodir kepentingan komunitas adat di pelosok-pelosok nusantara. Lebih
dari itu muncul beragam permasalahan dan konflik mengenai komunitas adat,
swasta, serta pemerintah, padahal secara tegas keberadaan komunitas adat sudah
diakui dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yakni pada Pasal 18B Ayat 2
yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang.”
Selain tercantum di pengaturan undang-undang 1945 sebagai dasar negara,
regulasi yang berkaitan dengan komunitas adat juga berkenaan dengan undangundang tentang pemerintahan desa. Seperti yang telah disinggung sebelumnya
bahwa keberadaan komunitas adat mengalami tumpang tindih dengan tata
pemerintahan desa formal. Hal ini dipicu oleh adanya intervensi peraturan
perundang-undangan dan kelembagaan dari pusat. Pada masa Orde Baru undangundang tentang pemerintahan desa diatur dalam UU No.5 Tahun 1979. Undangundang ini dibuat untuk menyeragamkan pemerintahan desa karena pemerintahan
yang tidak seragam mengenai pemerintahan desa dianggap dapat menjadi
hambatan untuk melaksanaan pembinaan dan pengendalian yang intensif guna
peningkatan taraf hidup masyarakat (Astuti 2009). Akibat penyeragaman ini
keberadaan sistem pemerintahan adat yang kental dengan kearifan lokal mulai
mengalami transformasi nilai dan perubahan pada aspek lain dalam kehidupan
adat.
Selanjutnya pasca orde baru lengser, peraturan pemerintahan desa pun
mengalami perubahan dengan diamandemennya UU No.5 Tahun 1979 menjadi
UU No.22 Tahun 1999. Dalam undang-undang ini hak dan asal usul desa lebih
diakui sebagai proses otonomi daerah yang kian digaungkan. Hal tersebut sebagai
wujud kebebasan dari sistem otoriter Orde Baru yang selalu dikendalikan oleh
pemerintah pusat. Orientasi otonomi daerah ini kemudian membuka peluang
bahwa sistem pemerintahan lokal mampu berkembang sesuai dengan kehendak
masyarakatnya demi menunjang efektivitas pembangunan. Namun demikian,
walaupun UU No.22 Tahun 1999 memberikan lebih banyak kekuasaan kepada
daerah, dalam prakteknya ternyata masih menyimpan banyak persoalan, baik
teknis administrasi maupun respon pemerintah daerah dan masyarakat terhadap
penyelenggaraan otonomi daerah (Al Rasyid 2005).
Untuk memperbaiki kekurangan substansi dan implementasi tata
pemerintahan desa pada UU No.22 Tahun 1999 selanjutnya diperbaharui dalam
peraturan UU No.32 Tahun 2004. Peraturan ini berupaya mengembalikan
kedaulatan hukum lokal melalui pasal-pasal pemerintahan desa. Selain itu dengan
diterimanya UU No.32 Tahun 2004 sebagai given and agreed regulating
institution, maka kebijakan otonomi daerah sudah berada pada jalur yang benar
untuk mengapresiasi kedaulatan lokalitas sebagai wilayah otonomi asli dalam
menata, mengelola dan menentukan tatanan pengadministrasian segala urusan
yang menyangkut interaksi warga negara dan kesatuan sosialnya serta warga
negara dan negaranya (Dharmawan et al. 2006).

10

Dari berbagai pemaparan analisis tersebut tidak dipungkiri bahwa terjadi
perubahan aspek politik dalam tata pemerintahan desa yang bersangkutan dengan
keberadaan komunitas adat di Indonesia. Perubahan tersebut nyatanya tidak hanya
berpengaruh pada birokrasi dan administrasi formal di suatu desa namun juga
merambah aspek lain seperti nilai-nilai dan interaksi hubungan individu maupun
lembaga dalam implementasi perubahan ketiga undang-undang tersebut. Jika
dikaji lebih lanjut terdapat perbedaan ketiga undang-undang pada lampiran 1.
Sajian perbandingan ketiga undang-undang tata pemerintahan pada tabel
lampiran 1 terlihat bagaimana ketiganya membawa pandangan spesifik yang
berbeda. Beberapa hal mendasar yang menjadi perbandingan misalnya orientasi
“desa” pada ketiga undang-undang tidak sama persis. Kedua undang-undang
terakhir memiliki kecenderungan sama dengan orientasi otonomi daerah.
Meskipun demikian, semangat otonomi daerah yang diusung oleh undang-undang
tersebut nampaknya masih bias dalam mengakomodir kepentingan komunitas adat
terbukti belum ada aturan spesifik yang mengatur. Demikian juga halnya pada
aspek lain seperti kewenangan desa, keuangan desa, kelembagaan, serta
demokrasi dan tata pemerintahan desa itu sendiri hanya berorientasi pada desa
formal khususnya UU No.5 Tahun 1979 sedangkan UU No.22 Tahun 1999 dan
UU No.32 Tahun 2004 berorientasi pada pemerintahan lokal namun kurang
spesifik menganggap Desa Adat terlebih masih menyisakan bentuk intervensi
pusat.
Selain ketiga undang-undang pemerintahan desa tersebut, muncul pula
undang-undang baru sebagai sintesis dan perbaikan yaitu UU No.6 Tahun 2014.
Dalam UU No.6 Tahun 2014 orientasi yang difokuskan bukan sekedar isu
otonomi daerah sebagai formalitas namun juga mengusung pengakuan desa adat
sebagai wilayah pemerintahan lokal secara formal. Pemaknaan desa dalam
undang-undang tersebut disebutkan bahwa desa dan desa adat atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain pengertian desa
yang cukup berbeda dari undang-undang sebelumnya pemerintahan desa adat
diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
Pemerintahan desa adat menyelenggarakan fungsi permusyawaratan dan
Musyawarah Desa Adat sesuai dengan susunan asli Desa Adat atau dibentuk baru
sesuai dengan prakarsa masyarakat Desa Adat. Peraturan Desa Adat serta
kelembagaannya sendiri pun disesuaikan dengan hukum adat dan norma adat
istiadat yang berlaku di Desa Adat sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Secara umum UU No.6 Tahun 2014 mengatur
sedemikian rupa rincian mengenai tata pemerintahan desa dengan menghargai
bentuk kearifan lokal, asal usul desa dan adat istiadat setempat. Hal ini
menyisakan tugas selanjutnya untuk mengimplementasikan aturan baru ini
beberapa tahun kedepan dengan mempertimbangkan berbagai konsekuensi.
Konsekuensi tersebut dapat berupa ketidaksiapan masyarakat lokal, kondisi
masyarakat yang sudah mengalami perubahan kultural dan adat istiadat serta
transformasi politik akibat kebijakan sebelumnya sehingga cenderung tidak
mudah untuk mengembalikan kondisi tata pemerintahan adat secara murni.

11

Transformasi Desa
Berdasarkan pemaparan sebelumnya mengenai macam-macam regulasi
yang mengatur tata pemerintahan desa di Indonesia menandakan bahwa terdapat
proses transformasi yang menarik. Transformasi ini dilakukan sebagai wujud
implementasi aturan yang ada. Perubahan distimulus dengan UU No.5 Tahun
1979, UU No.22 Tahun 1999, UU No.32 Tahun 2004 hingga UU No.6 Tahun
2014. Masing-masing regulasi tersebut memiliki esensi yang berbeda sebagai
bentuk evaluasi dari regulasi sebelumnya. Masing-masing bentuk aturan diubah
secara signifikan hingga yang terakhir mampu mencetuskan kebijakan khusus
Desa Adat. Lebih dari itu, program kebijakan berdasarkan ketiga undang-undang
pun didukung dengan berbagai peraturan pemerintah, peraturan daerah hingga
peraturan desa. Bentuk spesifik dari proses transformasi desa ini dapat terlihat
dalam PP No.72 Tahun 2005 dan PP No.43 Tahun 2014.
Penjelasan mengenai peraturan spesifik tentang desa dalam PP No.72
Tahun 2005 lebih berorientasi pada desa secara umum, meskipun dalam regulasi
periode ini sudah mencanangkan asas otonomi daerah namun belum menjelaskan
lebih detail bagaimana bentuk otonomi jika kesatuan tersebut berupa komunitas
adat. Secara garis besar regulasi ini mengatur beberapa hal misalnya mengenai
ketentuan umum, proses pembentukan dan perubahan desa, kewenangan desa,
pelaksanaan pemerintahan desa, dan lain-lain. Dari berbagai aspek demikian,
salah satu yang menarik untuk dikaji dalam peraturan pemerintah ini adalah
proses pembentukan dan perubahan status desa. Pembentukan desa atau kesatuan
yang disebut dengan nama lain dapat diprakarsai oleh masyarakat berdasarkan
pengetahuan lokal dan partisipasi aktif mereka serta didukung oleh berbagai
stakeholder terkait, sedangkan proses perubahannya sendiri justru hanya
menjabarkan tentang bagaimana status desa menjadi kelurahan. Menurut
peraturan tersebut, desa dapat berubah status menjadi kelurahan dengan beberapa
ketentuan yang memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, sarana prasarana
pemerintahan, potensi ekonomi dan kondisi sosial budaya masyarakat.
Berbeda dari PP No.72 Tahun 2005, untuk mendeskripsikan UU No.6
Tahun 2014 dibentuk pula PP No.43 Tahun 2014 sebagai pelengkap regulasi
mengenai desa. Dalam PP No.43 tahun 2014 terdapat pengaturan baru mengenai
Desa Adat. Pengaturan baru tersebut meliputi pembentukan dan perubahan status
desa, lembaga kemasyarakatan serta lembaga adat. Pembentukan desa dijelaskan
sebagai proses yang diprakarsai pemerintah bersama stakeholder terkait dan warga
yang dilakukan dengan prosedur hingga verifikasi kelayakan. Selain itu perubahan
status desa dalam PP No.43 Tahun 2014 dijelaskan secara lebih rinci. Perubahan
status bukan saja mengenai perubahan desa menjadi kelurahan namun
ditambahkan dengan perubahan kembali kelurahan menjadi desa, perubahan desa
adat menjadi desa serta perubahan desa menjadi desa adat.
Berdasarkan hal tersebut status desa adat dapat diubah menjadi desa
dengan syarat luas wilayah yang tidak berubah, jumlah penduduk, sarana dan
prasarana pemerintahan bagi terselenggaranya pemerintahan desa, potensi
ekonomi yang berkembang, kondisi sosial budaya masyarakat yang berkembang,
dan meningkatnya kuantitas dan kualitas pelayanan, sedangkan pada proses
perubahan status desa menjadi desa adat dapat diprakarsai oleh pemerintah dan
pemerintah daerah serta dengan cara pengubahan yang tertuang dalam pengaturan

12

menteri. Semua proses penyelenggaraan tersebut harus berdasarkan pada hak asal
usul desa adat. Dalam hal ini yang dimaksud dengan “hak asal usul” termasuk hak
tradisional dan hak sosial budaya masyarakat adat, sedangkan penyelenggaraan
hak asal usul oleh desa adat paling sedikit meliputi penataan sistem organisasi dan
kelembagaan masyarakat adat, pranata hukum adat, pemilikan hak tradisional,
pengelolaan tanah kas desa adat, pengelolaan tanah ulayat, kesepakatan dalam
kehidupan masyarakat desa adat, pengisian jabatan kepala desa adat dan perangkat
desa adat serta masa jabatan kepala desa adat. Menurut Pasal 30 PP No.43 Tahun
2014 ini menyebutkan bahwa penetapan desa adat dilakukan dengan mekanisme
pengidentifikasian desa yang ada dan pengkajian terhadap desa yang ada yang
dapat ditetapkan menjadi desa adat.
Penguatan Sosial Politik Komunitas Adat
Berkaitan dengan beragam bentuk perubahan regulasi dari pusat hingga
sekarang, komunitas adat dan pemerintahan desa membutuhkan proses penyiapan
kembali. Penyiapan ini mempertimbangkan bagaimana awalnya pemerintahan
adat sebagai pilar utama kehidupan desa berganti menjadi tata administrasi desa
formal. Selain itu perubahan dilanjutkan ketika isu otonomi daerah yang menuntut
kebebasan lokal tercantum pada UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun
2004 yang mengubah pemerintahan desa formal kembali dituntut mampu
mengakomodir kepentingan adat istiadat desa setempat. Namun demikian pada
perkembangan tahap ini, lembaga adat masih terpisah dengan tata pemerintahan
desa formal. Lembaga adat diakui sebagai lembaga yang memiliki peranan yang
hanya sebagai pelengkap tanpa mengembalikan peranan aslinya. Bukan hanya itu,
pemerintahan desa formal yang memiliki wewenang untuk menerapkan sistem
adat tidak serta merta bertransformasi. Pada beberapa kasus seperti pemerintahan
Nagari di Sumatera, beberapa Nagari yang sudah dipecah menjadi desa formal
tidak berkenan lagi mengubah ke sistem pemerintahan Nagari seperti amanah UU
No.32 Tahun 2004 yang menghargai adat istiadat dan asal usul desa.
Kondisi demikian menjadi pertimbangan untuk pembangunan selanjutnya
termasuk merespon adanya regulasi yaitu UU No.6 Tahun 2014 yang mengusung
tentang pengaturan Desa Adat secara spesifik dan rinci. Hal tersebut menimbulkan
kondisi dilematis. Disatu sisi keberadaan komunitas adat semakin memiliki badan
hukum yang mengaturnya secara bebas dan diakui sebagai tata pemerintahan
formal. Disisi lain akan muncul persoalan yang berhubungan dengan kesiapan
kultural, SDM, sosial dan politik. Konsep kesiapan dilihat dari sisi psikologi
menurut Slameto seperti dikutip Nurbaya dan Moerdiyanto (2012) yaitu kesiapan
adalah keseluruhan kondisi seseorang atau individu yang membuatnya siap untuk
memberikan respon atau jawaban di dalam cara tertentu terhadap suatu situasi dan
kondisi yang dihadapi. Hal ini dapat merepresentasikan keseluruhan kondisi
komunitas adat yang membuatnya siap atau tidak untuk memberikan respon
terhadap situasi perubahan regulasi khususnya UU No.6 Tahun 2014.
Untuk merespon kondisi dan perubahan yang terjadi akibat intervensi
undang-undang maka dibutuhkan upaya penguatan agar terciptanya kesiapan
dalam pembangunan dan pemberdayaan komunitas adat. Penguatan tersebut
berkaitan dengan dua aspek penting yaitu sosial dan politik. Pada aspek sosial,
dinamika komunitas adat salah satunya bisa dilihat dari keberadaan modal sosial

13

didalamnya. Menurut Putnam yang dikutip Primadona (2012) mendefinisikan
modal sosial mengacu pada organisasi sosial dengan jaringan sosial, norma-norma
dan kepercayaan sosial yang dapat menjembatani terciptanya kerjasama dalam
komunitas sehingga terjalin kerjasama yang saling menguntungkan. Modal sosial
ini menyangkut kepercayaan (trust), norma (norm), dan jaringan (network). Selain
itu sejumlah parameter penelitian yang dimodifikasi dari Jousairi (2006) dan Hadi
(2005) seperti dikutip Afif (2012) dapat dijadikan sebagai instrumen awal
penelitian indikator modal sosial yang meliputi:
(1) Partisipasi dalam Jaringan organisasi sosial/kerja, dapat dilihat dari: kerelaan
membangun jaringan kerjasama antar sesama, keterbukaan dalam melakukan
hubungan atau jaringan sosial/kerja, keaktifan dalam penyelesaian konflik,
keaktifan dalam memelihara dan mengembangkan hubungan atau jaringan
sosial/kerja.
(2) Kepercayaan antar sesama, dapat dilihat dari: Tingkat kepercayaan terhadap
sesama, tingkat kepercayaan terhadap norma yang berlaku, tingkat
kepercayaan terhadap tokoh masyarakat, kepercayaan terhadap pemerintah,
kepercayaan terhadap ketua kelompok dan pengurus kelompok lainnnya.
(3) Ketaatan terhadap norma, dilihat dari: tingkat ketaatan terhadap norma yang
dianut, tingkat kepercayaan terhadap norma yang berlaku, tingkat ketaatan
terhadap aturan pemerintah.
(4) Kepedulian terhadap sesama, dapat dilihat dari: kepedulian terhadap sesama
anggota kelompok, kedekatan dengan orang yang diberi perhatian, sumber
motivasi untuk memperhatikan dan membantu orang lain.
(5) Keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial, dilihat dari: tingkat keinginan
untuk menambah dan membagi pengalaman terhadap sesama, frekuensi
mengikuti kegiatan organisasi sosial, jumlah organisasi sosial yang diikuti,
partisipasi dalam pengambilan keputusan pada organisasi sosial.
Selain aspek sosial, aspek kehidupan komunitas adat yang juga tidak kalah
penting adalah aspek politik. Dalam hal ini aspek politik meliputi penguasaan,
pengendalian, kebebasan, kesetaraan, koeksistensi dan partisipasi (Arent seperti
dikutip Sudibyo 2012). Selain hal-hal tersebut dalam beberapa penelitian aspek
politik juga berkaitan dengan struktur, pengambilan keputusan, kepemimpinan,
dan alokasi/penguasaan sumberdaya. Aspek pengambilan keputusan menurut
Budiardjo (2000) diartikan sebagai proses yang terjadi sampai suatu keputusan
tercapai. Keputusan ini menyangkut kebijaksanaan untuk mencapai tujuan tertentu
sedangkan kepemimpinan menurut Soekanto (2002) merupakan kemampuan
sesorang untuk mempengaruhi orang lain. Kepemimpinan merupakan hasil
organisasi sosial yang telah terbentuk atau sebagai hasil dinamika interaksi sosial.
Selain itu pada kasus kepemimpinan masyarakat adat yang tradisional dan
homogen perlu disesuaikan dengan susunan masyarakat tersebut yang masih tegas
memperlihatkan ciri-ciri paguyuban. Dalam kondisi ini hubungan pribadi
pemimpin dan yang dipimpin sangat dihargai. Pemimpin pada masyarakat
tersebut merupakan pemimpin tidak resmi yang mendapat dukungan tradisi karena
sifat pribadi yang menonjol. Berkaitan dengan itu, menurut Hanafi seperti dikutip
Sewelete (2005) tokoh adat merupakan pemimpin masyarakat adat yang memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Mereka menjadi panutan,
pembimbing dan tempat bertanya bagi masyarakat yang dipimpinnya.

14

Kepemimpinan dalam masyarakat tradisional semacam ini juga pada umumnya
dilaksanakana secara kolegial (bersama-sama).
Berlanjut dari konsep kepemimpinan secara umum, Soekanto (2000)
mengungkapkan tugas pokok seorang pemimpin secara sosiologis sebagai berikut:
(a) Memberikan suatu kerangka yang jelas yang dapat dijadikn pegangan bagi
pengikutnya, skala prioritas, menanggulangi masalah.
(b) Mengawasi, mengendalikan serta