POLITIK DAN HUKUM ADAT

POLITIK DAN HUKUM ADAT
PERLINDUNGAN HUKUM ATAS TANAH HAK ULAYAT SUKU KAWE DI
KAB. RAJA AMPAT

KELOMPOK III
YANG DISUSUN OLEH
NAMA
MARTINUS B WAWIYAI
RONAL KUM
GERARD ERRO

(10522249)
(13520167)
(11520241)

SEKOLAH TINGGI PEMEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA STPMD
“APMD” YOGYAKARTA 2015/2016

Latar belakang
Masyarakat Hukum Adat ada yang masih hidup terpencil. Walaupun
dalam


keadaan

memiliki

hak

ketertinggalan

sebagai

warga

dan

keterbelakangan

negara

yang


diakui

mereka
dan

tetap

dilindungi

keberadaan dan kebebasannya untuk tetap hidup dengan nilai-nilai
tradisionalnya. Jadi kewajiban negaralah untuk memberikan pengakuan
dan perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat untuk tetap hidup dalam
ketertinggalan dan keterbelakangan, sepanjang hal tersebut merupakan
adat-istiadat yang dipegang teguh.
Agar masyarakat hukum adat itu tidak dikatakan terpencil lagi maka
Negara harus mengakui eksistensinya dan adanya pembangunan yang
merata.

Karena


pelaksanaan

pembangunan

sebagai

wujud

dari

pertumbuhan dan perkembangan suatu daerah, tapi pembangunan itu
tidak

semulus

berimplikasi

pada


mengakibatkan
penguasaan

yang

meningkatnya

nilai

atas

diharapkan
dan

lahan

harga
bagi

karena


pembangunan

kebutuhan
lahan

akan

terus

masyarakat

lahan.

meningkat

dewasa

itu


ini

selalu
Hal

ini

sehingga
mengalami

pergeseran nilai dari fungsi sosial ke fungsi ekonomi, sehinggan lahan
merupakan komoditi ekonomi yang harus dikuasai baik secara legal
maupun ilegal.
Penegakan hukum dalam arti luas mencakup kegiatan untuk
melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum
terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum. Kegiatan
penegakan hukum mencakup pula segala aktivitas yang dimaksudkan
agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang mengatur dan
mengikat


para

subjek

hukum

dalam

segala

aspek

kehidupan

bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh
dijalankan sebagaimana mestinya. Penegakan hukum dalam arti sempit
menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau
penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan.
Pada penegakan hukum dan keberadaan tanah ulayat telah diatur
dalam regulasi nasional, salah satunya pasal 3 UUPA yang disebutkan

bahwa secara hukum hak ulayat ini diakui sehingga sah menurut hukum,

oleh karena itu hak ulayat masih tetap dapat dilaksanakan oleh masingmasing masyarakat hukum adat yang memilikinya. Akan tetapi dalam
prakteknya

pemerintah

sering

sekali

bersikap

tidak

adil

kepada

masyarakat hukum adat dengan cara mengambil alih tanah adat, tanpa

melalui pelepasan adat atau minta izin (persetujuan) dan masyarakat
hukum adat. Hal itu dilakukan pemerintah dalam rangka memberikan
konsesi kepada perusahaan besar untuk mengelola tanah ulayat atau
untuk melakukan kegiatan pembangunan lainnya.

Rumusan masalah
Bagaimana bentuk perlindungan hak terhadap keberadaan tanah ulayat
bagi Suku kawe di keb. Raja ampat khususnya di kepulauan wayag.

Pembahasan
Adat sasi dihidupkan lagi. Ini merupakan cara berkelanjutan pelestarian
alam sejak puluhan ribu tahun lalu, yang dipercaya oleh masyarakat sub
suku Kawe di kepulauan Wayag, Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Sasi,
dalam bahasa setempat, yang dalam bahasa Indonesia berarti saksi,
merupakan cara yang telah diketahui mendukung lestarinya pemanfaatan
sumber daya alam. Dalam tradisi adat Sasi, ada pelarangan adat untuk
menangkap dan memancing hasil laut selama setahun. Masyarakat
kemudian diperkenankan secara bersama menangkap hasil laut setelah
jeda sasi. Jadi ada semacam komitmen bersama untuk tidak melakukan
penangkapan pada spesies sumber daya laut tertentu dan memberinya

waktu untuk tumbuh membesar.
Delapan belas Oktober lalu, masyarakat sub suku Kawe di Kepulauan
Wayag, mengadakan acara penutupan sasi.
Penutupan sasi ini dihadiri oleh Bupati Raja Ampat, Markus Wanma, dan
didampingi oleh DPRD kabupaten dan Muspika setempat, serta disaksikan
oleh Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan
danPerikanan Nasional (DKP), wakil-wakil dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
dan dari Departemen Luar Negeri (Deplu).

Direktur Conservation Internasional-Indonesia (CI-Indonesia), Ketut S.
Putra mendukung pelaksanaan tradisi adatmasyarakat suku Kawe,
“Kegiatan ini merupakan kegiatan konservasi yang sudah dijalankan sejak
puluhan ribu tahun silam oleh sub suku Kawe di salah satu kepulauan Raja
Ampat ini” jelasnya.
Alasan lainnya, sistem sasi ini akan lebih menunjang keberlangsungan
cadangan sumberdaya bila dilengkapi dengan data dan pertimbangan
ilmiah dalam pengelolaan hak ulayat masyarakat.
Kristian Thebu, yang aktif menggerakkan penyadaran pada masyarakat
tentang pentingnya sasi dijalankan terus menerus, meminta kepada

seluruh masyarakat yang datang ke KKLD Wayag untuk mengambil hasil
laut Kawasan Wayag dengan menjaga keberlanjutannya. “Kawe harus
dijaga oleh masyarakat itu sendiri.”
kawasan ekosistem dan terumbu karang di Kawe, sejak tahun 1980
sampai 2007, mengalami penurunan dan bahkan kerusakan akibat
eksploitasi berlebihan nelayan yang dilakukan oleh nelayan setempat
maupun yang di luar Raja Ampat. Mereka umumnya berasal dari Bima,
Halmahera, Buton, Gebe, hingga Pilipina. Lalu, tahun 2008 CI bersama
masyarakat Kawe mulai bekerja mengawasi Kawasan Wayag.
Pandangan komunitas Kawe tentang “makan bersama” dihidupkan
kembali dengan diselenggarakannya “Buka Sasi Laut” (Senin, 5 Oktober
2009). Sebanyak lebih dari 100 orang dengan hampir 40 long boat
menantikan saat perburuan dan pengumpulan lola, teripang dan lobster.
Ketika hari pertama pembukaan Sasi, memang sangat sulit untuk
memperoleh hasil laut yang telah di Sasi selama setahun itu. Namun tidak
lama setelah orang-orang Kawe mulai duduk bersama, saling berdamai
dan membuat acara adat, barulah para pengumpul hasil laut ini
memperoleh hasil. Tidak ada satu longboat pun yang tidak memperoleh
lola, lobster maupun teripang.
Bagi suku Kawe, seluruh kesatuan pulau-pulau yang terjauh dari
jangkauan pemantauan orang Kawe telah diketahui kepemilikannya.
Karena itu, orang Kawe saling mengakui batas-batas kepemilikan. “Dahulu
ketika orang Kawe mau mencari hasil laut di Kepulauan Wayag, biasanya
mereka akan berangkat dengan empat hingga enam perahu. Bukan
disebabkan oleh hasil lautnya yang berlimpah yang terdapat di seluruh
deretan kepulauan Wayag, namun karena orang Kawe hendak
mempertahankan kepemilikan ulayat atas kepulauan Wayag dari para
agresor yang datang dari Halmahera dan tempat lain.
Keadaan ini mengingatkan kembali bagaimana kesatuan hidup orang
Kawe di waktu lampau yang menghubungkan alam dengan manusia.
Tanpa kedamaian, sumber makanan tidak ada, dan jika ada perdamaian,
maka Tuhan melimpahkan berkat hasil laut kepada umat-Nya. Sub suku
Kawe, yang hidup di bagian pesisir barat pulau Waigeo, Raja Ampat

memiliki pemahaman sendiri untuk istilah “makan bersama”. Diartikan
untuk mengandaikan suatu wilayah besar yang memiliki sumber-sumber
nutrisi karbohidrat dan protein untuk dimanfaatkan bersama demi
menunjang kehidupan masyarakat besar Kawe. Selama pemanfaatan
bersama sumber daya laut ini berlangsung, masyarakat setempat yang
bertetangga antar kampung berkompromi untuk perlu saling berdamai.
Mereka percaya hasil laut tersebut tidak mungkin tersedia begitu saja bila
ada rasa dendam di antara seluruh komunitas adat Kawe.
Dr. Alex Retraubun, Dirjen KP3K DKP menyambut baik penerapan Sasi di
Raja Ampat ini. Menurutnya ini adalah salah satu contoh bagaimana
kerjasama antara masyarakat setempat, pemda, dan LSM, dalam
menyiapkan kapasitas pengelolaan kawasan konservasi laut di Raja
Ampat. “Kita patut memperbanyak contoh yang ada ini di kawasankawasan konservasi laut lainnya di Kepulauan Indonesia,”.
Selain itu Johanis Arampeley, ketua dewan adat suku Maya di Raja Ampat
memberikan apresiasi kepada CI-Indonesia yang telah membantu
melaksanakan kegiatan konservasi di kawasannya, “Kehadiran mereka
(CI) melaksanakan kegiatan konservasi, justru membangunkan semangat
penyelamatan hak ulayat kami, karena konservasi telah menyelamatkan
sumber-sumber daya alam bagi masyarakat adat suku Kawe, sehingga
sangat patut kalau orang Kawe turut mendukung program konservasi ini”.
kesimpulan
masyarakat adat sub suku kawe melestarikan dan melanjutkan Adat
istiadat sasi di tanah hak ulayat di kepulauan wayag untuk melindungi
alam laut, seperti teripang, karang, lobster dan lola. Di pulau wayag
sekarang sudah dijadikan tempat wisata untuk masyarakat umum dan
para wisatawan dari berbagai daerah di indonesia maupun mancanegara.
Dan masyarakat suku kawe juga menerima atau mendukung CI untuk
manjalankan program konservasi di kawasan kepulauan wayag bahkan di
seluruh kab. Raja Ampat sudah dilaksanakan program konservasi dari CI,
sampai sekarang berjalan dengan lancar dan baik. CI Itu juga membantu
masyarakat dalam melaksanakan pelatihan bagi masyarakat adat di kab.
Raja Ampat untuk melestarikan biota laut yang untuk bias menghasilkan
keperluan masyarakat sehari-hari.