Ayat-ayat alam semesta

AYAT-AYAT ALAM SEMESTA;
Tafsir Tematik Mengenai Penciptaan Alam
MK Ridwan
Email: mkridwan13@gmail.com Hp: 0856-2764-926
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IAIN Salatiga

Pendahuluan
Alam semesta merupakan realitas yang dihadapi oleh manusia, yang sampai kini
baru sebagian kecil saja yang dapat diketahui dan diungkap oleh manusia. Bagi
seorang ilmuwan akan menyadari bahwa manusia diciptakan bukanlah untuk
menaklukkan seluruh alam semesta, akan tetapi menjadikannya sebagai fasilitas dan
sarana ilmu pengetahuan yang dapat dikembangkan dari potensi manusia yang
sudah ada saat ajali. Proses pendidikan yang berlangsung di dalam interaksi yang
pruralistis (antara subjek dengan lingkungan alamiah, sosial dan cultural) amat
ditentukan oleh aspek manusianya. Sebab kedudukan manusia sebagai subyek di
dalam masyarakat, bahkan di dalam alam semesta, memberikan konsekwensi
tanggung jawab yang besar bagi diri manusia. Manusia mengemban amanat untuk
membimbing masyarakat, memelihara alam lingkungan hidup bersama. bahkan
manusia terutama bertanggungjawab atas martabat kemanusiaannya (human dignity).
Di dalam perspektif Islam, alam semesta merupakan sesuatu selain Allah
SWT. Oleh sebab itu, alam semesta bukan hanya langit dan bumi, namun meliputi

seluruh yang ada dan berada di antara keduanya. Bukan hanya itu, di dalam
perspektif Islam alam semesta tidak saja mencakup hal-hal yang konkret yang dapat
diamati melalui panca indera manusia, tetapi alam semesta juga merupakan segala
sesuatu yang keberadaaannya tidak dapat diamati oleh panca indera manusia.Alam
semesta merupakan ciptaan Allah SWT yang diperuntukkan kepada manusia yang
kemudian diamanahkan sebagai khalifah untuk menjaga dan memelihara alam
semesta ini, selain itu alam semesta juga merupakan mediasi bagi manusia untuk
memperoleh ilmu pengetahuan yang terproses melalui pendidikan.

1

Ayat-ayat tentang Alam Semesta
1. Al-Baqarah (2) ayat 117

           
“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu,
Maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" lalu jadilah ia.”

‫ب َ ِ ليع‬


Nama Tuhan yang mengadakan sesuatu
dengan tiada contoh
Mengadakan sesuatu yang baru
Menentukan, memutuskan, memerintahkan
sesuatu
Menyuruh
Mengatakan
Ada

‫ب َ َ عَل–لي َ ْب َ عل–لب َ ْ عا‬
‫قَ ََل–لي َ ْق َِل–لقَضَ اءل ل‬
‫أ َم َرل–ليَأْمرل–لأ ْمرا ل‬
‫قَا َ ل–ليَق ْ ل–لقَ ْ لل ل‬
‫ََ َنل–ليَك ْ نل–ل َك ْ نل ل‬

‫ل‬
‫َل‬
‫قَ َ ل‬
‫أ ْمرا ل‬
‫يَق ل ل‬

‫ك ْل ل‬

2. Al-An’am (6) ayat 73

            
              
 

“dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. dan benarlah perkataan-Nya
di waktu Dia mengatakan: "Jadilah, lalu terjadilah", dan di tangan-Nyalah segala
kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. dan
Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.”
Menciptakan
Mengatakan
Ada
Ditiup
Meniup dengan mulut

‫َخلَ َ ل–ل َ َْل ل–ل َخلْقا ل‬
‫قَا َ ل–ليَق ْ ل–لقَ ْ لل‬

‫ََ َنل–ليَك ْ نل–ل َك ْ نل‬
‫ن ِ َ ل–لي ْن َ ل ل‬
‫ن َ َ َ ل–لي َ ْن ل–لن َ ْ ا‬

‫َخلَ َل‬
‫يَق ل‬
‫ك ْل‬
‫ي ْن َ ل‬
‫ل‬
2

‫عَ ِ َِل–لي َ ْع َِل–ل ِعلْ ا‬

Mengetahui sesuatu
Nama Allah Yang Maha Bijaksana
Memerintah, menghukum, mencegah

‫َح َ ََل–ل َ ََْل–لح ْْا‬

Nama Allah Yang Maha Mengetahui

Mengetahui dengan percobaan
Mengetahui dengan sebenar-benarnya

‫خ َ َََل–ل َ ََْل–لخ َْا‬
‫خ َََل–ل َ ََْل–لخ ْ ََةل ل‬

‫عَا ِل لم‬
‫الْ َح ِكيل ل‬
‫ل‬
‫ِي ل‬
‫الْ َخب ْ ل‬
‫ل‬
‫ل‬

3. Al-A’raaf (7) ayat 54

            

         


           

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang
(masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah
hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.”
Menciptakan

‫َخلَ َ ل–ل َ َْل ل–ل َخلْقا ل‬

Menyengaja, menuju
Lurus
Meliputkan, menutupkan
Meliputi
Menuntut, mencari, meminta sesuatu

‫َس ِ َ ل–لي َْس َ ل–ل ِس ل‬
‫أ ْغ ََل–ليغ ِِْل–لا ْغشَ اءل‬
ِ

‫ِل–ليَغ ََْل–لغَ ْش يا‬
َ ِ َ‫غ‬
‫َطلَ َبل–لي َ ْطلبل–ل َطلْبا ل‬

Maha Suci
Menderum, berlutut (unta)

‫بَ َر َ ل–لي َ َْ ل–لبرَل‬

‫َخلَ َل‬
‫ْاس تَ َ لا َ لل‬
ِ
‫ل‬
‫يغ ِ ل‬
ِْ
‫ل‬
‫ي َ ْطلبهل‬
‫تَ َبا َ َل ل‬
‫ل‬


4. Al-Anbiyaa (21) ayat 22

              
3

“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah
Rusak binasa. Maka Maha suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka
sifatkan.”

‫ََ َنل–ليَك ْ نل–ل َك ْ نل‬
‫َ َْعل ِم ْ لا ٰ هلل ل‬
ِ
‫فَ َس َ ل–لي َ ْس ل–لفَ َسادا ل‬

Ada
Tuhan-tuhan
Rusak, binasa, busuk
Maha Suci Allah
Memahasucikan Allah dengan
bertasbih

Menyifatkan

‫َس َب َحل–لي َس بِحل–لت َ ْس ِب ْي ا ل‬
‫َ َص َفل–لي َ ِصفل–ل َ ْص ا‬

‫ََ َلن ل‬
‫َءا ِلهَ هل ل‬
‫لَ َ َس َ تَل‬
‫فَس ْب َ َان َ ِل‬
‫لاّ ل‬
‫ل‬
‫ي َ ِص ْ َلن‬

5. Ar-Ruum (30) ayat 20

           
“dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah,
kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.”

‫َخلَ َ ل–ل َ َْل ل–ل َخلْقا ل‬


Menciptakan
Manusia
Memperkembangkan, berkembang biak
Mengembangkan

‫شل–لي َ ْنت َ ِشل–ل ِانْت َ َشال ل‬
َ َ َ ‫ِانْت‬
‫شل–ليَنْشل–لن َ ْشال ل‬
َ َ َ‫ن‬

‫َخلَقَ َْل ل‬
‫ب َ َ هل‬
‫ش‬
‫تَ ْنت َ ِش ْ َلن‬
‫ل‬

6. Qaaf (50) ayat 27

          

“yang menyertai dia berkata (pula): "Ya Tuhan Kami, aku tidak menyesatkannya tetapi
Dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh".”
Mengatakan
Menjadikan melampaui batas
Melampaui batas
Ada

‫قَا َ ل–ليَق ْ ل–لقَ ْ لل‬
‫أ ْطغَ ل–لي ْط ِغ ل–ل ِا ْطغَيا ل‬
‫َط ِغ َ ل–لي َ ْطغَ ل–ل َط ْغيا‬
‫ََ َنل–ليَك ْ نل–ل َك ْ نل‬

‫قَا َل ل‬
‫أ ْطغَ ْيتهل‬
‫ل‬
‫ََ َلن‬
4

7. An-Naml (27) ayat 60, 64

           

               
 

               

     

“60. atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air
untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang
berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohonpohonnya? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? bahkan (sebenarnya) mereka
adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran).
64. atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian
mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezki kepadamu dari langit dan
bumi? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)?. Katakanlah: "Unjukkanlah bukti
kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar".”
Menciptakan
Menurunkan
Turun
Menumbuhkan
Tumbuh
Ada
Adil, menghukum dengan betul
Memulai
Mengembalikan
Kembali
Memberi rezeki

‫َخلَ َ ل–ل َ َْل ل–ل َخلْقا ل‬
‫أ ْن َز َ ل–لي ْ ِْ ل–لا ْن َزلل ل‬
ِ
‫نَ َز َ ل–لي َ ْ ِْ ل–لنز ْ لل ل‬
‫أنْبَ َ ل–لي ْن ِب ل–لانْبَتا ل‬
ِ
‫نَبَ َ ل–لي َ ْنب ل–لنَبْتا‬
‫ََ َنل–ليَك ْ نل–ل َك ْ نل‬
‫عَ َ َ ل–لي َ ْع ِ ل–لعَ ْ لل ل‬
‫ب َ َ أل–لي َ ْب َ أل–لب َ ْ أل ل‬

‫َخلَ َل ل‬
‫أ ْن َز َل ل‬
‫ل‬
‫فَأنْ َبتْ َا ل‬
‫ل‬
‫ََ َلن ل‬
‫ي َ ْع ِ ل ْ َلن ل‬
‫ي َ ْب َ ؤا ل‬

‫أعَادَل–لي ِع ْي ل–لا ْع َيادا ل‬
ِ
‫عَادَل–ليَع ْ دل–ل ِع ْي ا‬

‫ل‬

‫َ َ َ ل–ليَ ْر ل–ل َ ْ قا ل‬

‫ي ِع ْي ل ل‬
‫يَ ْر ق ْلَ ل‬

5

Bawalah kemari, tunjukkanlah

‫هَات ْ ا ل‬

Proses Penciptaan Alam Semesta di dalam Al-Qur’an
Menurut Sayyid Qutb akidah tauhid Islam tidak meninggalkan satu pun lapangan
bagi manusia untuk merenungkan zat Allah Yang Maha Suci dan bagaimana Ia
berbuat, maka Allah itu Maha Suci, tidak ada lapangan bagi manusia untuk
menggambarkan dan melukiskan Zat Allah. Adapun enam hari saat Allah
menciptakan langit dan bumi, juga merupakan perkara ghaib yang tidak ada
seorang makhluk pun menyaksikannya. Allah telah menciptakan alam semesta ini
dengan segala kebesaran-Nya, yang menguasai alam ini mengaturnya dengan
perintah-Nya, mengendalikannya dengan kekuasaan-Nya. Dia menutupkan malam
kepada siang yang mengikutinya dengan cepat dalam putaran yang abadi ini yaitu
putaran malam mengikuti siang dalam peredaran planet ini. Dia menciptakan
matahari, bulan dan bintang, yang semuanya tunduk kepada perintah-Nya,
sesungguhnya Allah Maha Pencipta, Pelindung, Pengendali dan Pengatur. Dia
adalah Tuhan kalian yang memelihara kalian dengan manhaj-Nya, mempersatukan
kalian dengan peraturan-Nya, membuat syariat bagi kalian dengan izin-Nya dan
memutuskan perkara kalian dengan hukum-Nya. Dialah yang berhak menciptakan
dan memerintah. Inilah persoalan yang menjadi sasaran pemaparan ini yaitu
persoalan uluhiyah, rububiyah dan hakimiyah, serta manunggalnya Allah SWT. Pada
semuanya ini Ia juga merupakan persoalan ubudiyah manusia di dalam syariat hidup
mereka. Maka, ini pula lah tema yang dihadapkan konteks surat ini yang tercermin
dalam masalah pakaian sebagaimana yang dihadapi surat Al-An’am dalam masalah
binatang ternak, tanaman, nazar-nazar dan syiar-syiar.1
Menurut Thahir Ibnu Asyur seperti dikutip oleh Quraih Shihab
menerangkan bahwa hubungan surat ini sangat serasi. Ia memulai dengan
menyebut al-Qur’an, perintah mengikutinya serta larangan mendekati apa yang
bertentanngan dengannya. Selain itu juga memperingatkan tentang apa yang
Sayyid Quthb. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, di Bawah Naungan al-Qur’an ( Surah al-An’am-Surah alA’raf 137), (Jakarta: Gema Insani, 2002), hlm. 323-4.
1

6

menimpa umat-umat yang dahulu, yang enggan mengakui ke-Esaan Allah serta
mendurhakai Rasul-rasul mereka. Setelah itu semua kumpulan ayat ini menjelaskan
tentang tauhid beserta bukti kebenarannya dan mengajak untuk tunduk dan patuh
kepadanNya.2
Allah SWT menegaskan perihal Kemahakuasaan-Nya dengan menyatakan:
“Badii’us samaawaati wal ardhi” (Pencipta langit dan bumi). Kata “badii” dalam
bahasa Arab bermakna bukan hanya menciptakan tapi menciptakan sesuatu
“tanpa” berpegang pada contoh yang ada sebelumnya. Ayat ini menegaskan bahwa
tatkala Allah menciptakan langit dan bumi serta makhluk-makhluk Allah lainnya
tidak terikat oleh ciptaan sebelumnya, dalam arti ciptaan tersebut “benar-benar
baru” hanya dengan “Kun fa yakuun” Allah yang semula tidak ada menjadi ada.
Dalam lanjutan ayat dinyatakan: “Wa idzaa qadhaa am ran” (Dan apabila Dia
telah menetapkan suatu urusan). Pada ayat ini kata “Qadhaa” bermakna
“ketetapan”. Dan, kata “Qadhaa” pun dapat bermakna banyak tergantung dari
konteks kalimatnya. Paling tidak, ada “delapan” makna. Pertama, bermakna telah
selesai (QS. Al Baqarah, [2]: 200). Kedua, melakukan perbuatan apa yang hendak
dilakukan (QS. Thaahaa, [20]: 72). Ketiga, menetapkan hukum (QS. Al Ahzaab [33]:
36). Keempat, mematikan (QS. Az Zukhruf [43]: 77). Kelima, selesai atau berakhir
(QS. Ibrahim [14]: 22). Keenam, dekat (QS Al Qashash [28]: 29). Ketujuh,
menghukum dengan adil (QS. Yunus [10]: 54). Kedelapan, permakluman
(QS.AL Israa’ [17]: 4).
Pada umumnya arti “qadhaa” adalah “menetapkan”. Maka pada penghujung
ayat dinyatakan: “Fa innamaa yaquulu lahuu kun fa yakuun” (Maka Dia hanya
mengatakan kepadanya, “Jadilah”, lalu jadilah ia). “Kun” di dalam ayat ini
bermakna bahwa apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu maka Dia hanya
menyatakan “Kun”, maka “Jadilah”. Kata, “Lahuu” (kepadanya), kesannya sesuatu
tersebut sudah ada, padahal sesuatu itu baru akan diciptakan. Keberadaan
kesemuanya tersebut berada dalam ilmu Allah.

2

M. Quraish Shihab. Tafsir Al- Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), hlm. 111-117.

7

Setelah kita menjelaskan hubungan Allah dengan selain-Nya, sekarang kita
akan menjelaskan bagaimana pada awalnya Dia menciptakan segala sesuatunya.
Kata

“menciptakan”

juga

digunakan

oleh

manusia.

Bahkan

dari

kata

“menciptakan” versi manusia itulah kemudian kita juga menggunakannya untuk
Allah. Yang mirip dengan kata ini ialah “membuat” dan “menjadikan”. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “menciptakan” berarti menjadikan sesuatu
yang baru tidak dengan bahan. Sedangkan “membuat” berarti menciptakan
(menjadikan, menghasilkan). Sedang “menjadikan” berarti membuat sebagai, atau
menyebabkan.
Kalau kita cermati arti-arti dalam KBBI tadi, ketiga kata tersebut
(“menciptakan”, “membuat”, dan “menjadikan”) mempunyai arti dan makna yang
sama. Di dalam al-Qur’an, kata-kata tersebut (dan kata-kata lain yang berdekatan
dengannya) benar-benar mempunyai arti dan makna yang berbeda. “Sesungguhnya
Kami menjadikan al-Qur’an dalam Bahasa Arab semoga kalian menggunakan akal (untuk
memahaminya). Dan sesungguhnya (al-Qur’an) itu (yang tersimpan) dalam induk Kitab
Suci (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak
mengandung hikmah.” (43: 3-4)
Di dalam al-Qur’an, selama kita cermat memperhatikannya, tidak mungkin
terjadi kekacauan makna seperti di atas tadi. Berkenaan dengan Diri-Nya sebagai
sumber dari segala-galanya, al-Qur’an menggunakan kata-kata ini: ُ‫( بَدِيع‬badĭy’), ‫اطر‬
ِ َ‫ف‬
(fāthir), ُ‫( َخا ِلق‬khāliq), ُ‫( جَا ِعل‬jā’il). Kata ُ‫( بَدِيع‬badĭy’) bermakna “Pencipta-awal yang
tidak membutuhkan desain, model, pola, patron, contoh, contekan, acuan, atau
preseden (pendahulu) dalam bentuk apapun; juga tidak membutuhkan barang,
bahan, material, bakal dan bekal dalam wujud apapun”. Dia membuat sesuatu itu
benar-benar dari nol, dari ketiadaan murni. Dari kata ُ‫( بَدِيع‬badĭy’) ini muncul
pecahan kata lain, ‫( بدعة‬bid’ah) yang karena—dalam hadits yang sangat mashyhur—
digandengkan dengan kata ‫( ضالة‬dhalālah, sesat) menjadi salah satu sebab
timbulnya banyak perpecahan di tubuh umat. Manusia tidak mungkin menjadi ُ‫بَدِيع‬
(badĭy’), karena tidak ada seorang manusia manapun yang bisa membuat sesuatu
dari ketiadaan murni, entah itu dari sisi contohnya, entah itu dari sisi bahannya.
“Dia ‫ِيع‬
ُ ‫( َبد‬badĭy’ Pencipta-awal) langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak
8

padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia
mengetahui segala sesuatu.” (6: 101) Kata ُ‫( بَدِيع‬badĭy’) ini kita temukan cuma 2 (dua)
kali dalam al-Qur’an (2: 117 dan 6:101).
Sedangkan kata ‫اطر‬
ِ َ‫( ف‬fāthir) merujuk kepada makna “Pencipta-awal yang
menjadikan eksisnya untuk pertama kalinya sesuatu yang Dia ciptakan tersebut.”
Makna ini mirip dengan kata “inisiator” atau “inventor” (penemu) yang membuat
penciptanya menjadi “pemegang hak paten”. “Segala puji bagi Allah ‫اطر‬
ِ َ‫( ف‬fāthir,
Pencipta-awal) langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk
mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua,
tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (35: 1) Dalam al-Qur’an kata ‫اطر‬
ِ َ‫ف‬
(fāthir) ini terulang 6 (enam) kali (6:14, 12:101, 14:10, 35:1, 39:46, 42:11). Ingat
juga kata “fithrah” yang ada di dalam ayat ini: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan (fitrah) Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (30:30)
Kata ُ‫( َخا ِلق‬khāliq) juga bermakna Pencipta, tetapi tanpa tekanan pada kata
“awal”, karena perbuatan Allah sebagai ُ‫( َخا ِلق‬khāliq) terjadi setiap saat pada berbagai
hal yang ada di sekitar kita. Seperti, setiap saat kita menyaksikan manusia lahir,
tumbuh dewasa, kemudia mati. Yang terjadi di situ adalah proses penciptaan terusmenerus. “Hai manusia, ingatlah nikmat Allah kepadamu. Adakah ُ‫( َخا ِلق‬khāliq) pencipta
selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kalian dari langit dan bumi? Tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; maka bagimana kalian (bisa) berpaling (dariNya)?” (35:3) Kata ُ‫( َخا ِلق‬khāliq) ini muncul 8 (delapan) kali dalam al-Qur’an (6:102,
13:16, 15:28, 35:3, 38:71, 39:62, 40:62, 59:24).
Sedangkan kata ُ‫( جَا ِعل‬jā’il) agaknya lebih cocok diartikan sebagai Pembuat
(Yang melakukan suatu pekerjaan) atau Pengubah (Yang melakukan perubahan).
Kata ُ‫( جَا ِعل‬jā’il) ini berasal dari kata dasar ُ‫( َج َع َل‬ja’ala, menjadikan) yang artinya: to
make; to provide with; to begin, start, yakni membuat dalam pengertian mengubah
sesuatu yang sudah ada sebelumnya menjadi sesuatu yang lain, yang menyebabkan

9

terjadi perubahan status atau perubahan hirarki wujud. “(Ingatlah), ketika Allah
berfirman: ‘Hai ‘Isa, sesungguhnya Aku akan menyempurnakan (risalah)-mu dan
mengangkatmu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan ُ‫َج َع َل‬
(ja’ala, menjadikan) murid-muridmu (hawariyyun) di atas orang-orang yang kafir hingga hari
kiamat. Kemudian hanya kepada-Kulah kalian kembal, lalu Aku memutuskan di antaramu
tentang hal-hal yang selalu kalian berselisih padanya’.” (3:55) Ada 4 (empat) kali kata
ُ‫( جَا ِعل‬jā’il) ini kita jumpai (2:30, 3:55, 35:1, dan 2:124).
Untuk kata “membuat” atau “berbuat”, Allah menggunakan kata ُ‫يَ ْف َعل‬
(yaf’alu), dan tidak pernah menggunakan bentuk ‫( فاعل‬fā’il, pelaku)-nya. Misalnya:
“Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Sesungguhnya Allah ُ‫( يَ ْفعَل‬yaf’alu,
berbuat) apa yang Dia kehendaki.” (22:14) Kata ُ‫( يَ ْفعَل‬yaf’alu) ini terulang sebanyak 7
(tujuh) kali (2:253, 3:40, 4:147, 14:27, 21:23, 22:14, 22:18).
Pertanyaannya sekarang, bagaimana gerangan caranya Allah menerapkan
proses penciptaan-Nya sebagai ‫ِيع‬
ُ ‫( َبد‬badĭy’)? Pertanyaan ini salah. Setiap pertanyaan
“bagimana” pada hakikatnya selalu tidak tepat dialamatkan kepada Allah. Karena
kata tanya “bagaimana” meminta informasi mengenai “cara”, sementara perbuatan
Allah mustahil diikat oleh “cara”. “Cara” sendiri adalah sesuatu “yang baru”, yang
tidak sejalan dengan sifat Qadim dan Azali-Nya Allah. “Cara” hanya berlaku pada
makhluk-Nya. Tidak kurang dari 8 (delapan) kali (2:117, 3:47, 3:59, 6:73, 16:40,
19:35, 36:82, 40:68) Allah memgulangi bahwasanya kalau Dia menghendaki
sesuatu cukup mengatakan ُ‫( كن فَ َيكون‬kun fayakŭwn, “Jadilah”. Maka jadilah ia).
Jumlah ini persis sama banyak dengan kata ُ‫( َخا ِلق‬khāliq). Bahkan menggunakan
perantaraan sebuah kata “jadilah” pun sebetulnya juga tidak tepat. Karena “kata”
pun masih bagian dari suatu “cara”. Penggunaan kata ‫( كن‬kun, jadilah) ini pun
adalah ‘insiden’ yang tak terhindarkan dalam sebuah Kitab Suci yang tertulis.
Sehingga kita, sebagai pembaca, harus menerimanya dengan ‘kepala dingin’.
Pendeknya, apa saja yang Dia kehendaki, pasti terwujud. Semua hanya terpulang
sepenuhnya kepada kehendak-Nya. Dan tidak mungkin ada jedah—walau hanya
sesingkat sebuah “kata”—antara kehendak-Nya dan terwujudnya sesuatu yang Dia
kehendaki tersebut. Sebab kalau ada jedah, berarti ada unsur waktu di sana,
10

sementara Dia mustahil terikat oleh waktu. Karena waktu pun adalah ciptaan-Nya.
Semua ini memperjelas bahwa Diri-Nya tidak mungkin punya anak. “Dia-lah yang
menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya
berkata kepadanya: ‘Jadilah’, maka jadilah ia.” (40: 68)
Secara bahasa kata ‫( كن‬kun, jadilah) dan ُ‫( يَكون‬yakŭwn, jadilah ia) berasal dari
kata ‫( كَان‬kāna) yang arti harafiahnya ialah “ada” . Kata ‫( كن‬kun, jadilah) adalah
bentuk amr (perintah)nya yang arti harafiahnya “mengadalah!”, sedang kata ُ‫يَكون‬
(yakŭwn, jadilah ia) adalah bentuk mudhari’ (sekarang)-nya yang arti harafiahnya
ialah “mengadalah ia”. Sehingga jelas bahwa kalimat ُ‫( كن فَيَكون‬kun fayakŭwn,
Mengadalah! Maka mengadalah ia) sebetulnya adalah sebuah proposisi yang
mengandung makna ‘bagaimana’ Allah mengadakan sesuatu selain Diri-Nya dari
awal. Dan dari situ terjawab berbagai taka-teki tentang penciptaan dan hakikat
ciptaan itu sendiri. Bahwa semua ciptaan bisa “mengada” karena mendapatkan
‘limpahan’ ADA dari Sang Wajib ADA-Nya (Wajibul Wujud). Sehingga satu-satunya
yang wujudnya bersifat primer dan sejati di sana hanyalah Wujud-Nya, sementara
segala sesuatu selain-Nya tidak pantas menyandang gelar WUJUD secara hakiki
karena sifatnya yang sekunder dan derivatif. “Semua yang ada di dunia akan binasa.
Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai Jalāl dan Ikrām.” (55: 26-27) FirmanNya lagi: “Apa yang di sisi kalian akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah
kekal. Dan sungguh Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (16: 96)

Kesimpulan
Jika ditilik dari urutan pembahasan ayat-ayat tersebut, maka ”penetapan” tujuh
langit berada pada bagian paling akhir rangkaian penciptaan. Namun, mengingat
alam semesta senantiasa berproses, maka ”menetapkan” di sini tidak bisa
disamakan dengan ”menyelesaikan”. Yang ”selesai” bukanlah fisik langit atau alam
semesta, melainkan hukum-hukumnya. Dengan hukum-hukum itulah, alam
semesta terus menerus berproses.

11

Hal lain yang menarik ditinjau adalah kata sittati ayyam dalam Al-Qur’an selalu
diawali oleh kata fii yang menunjukkan suatu proses yang kontinyu, tanpa ada jeda.
Berdasarkan ini dan uraian mengenai ketiga istilah sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa penciptaan alam semesta terjadi melalui sejumlah tahapan yang kontinyu:
dimulai dengan penciptaan dari ketiadaan, penciptaan baru dari ciptaan-ciptaan
sebelumnya, hingga penetapan hukum-hukum alam.
Dalam penafsiran dikenal teori munasabah, yaitu sebuah ayat selalu terkait
dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Ayat-ayat berisi penjelasan mengenai karya
Allah SWT seperti penciptaan alam, selalu mengawali ayat-ayat berisi penjelasan
mengenai tauhid. Sehingga, setiap penafsiran mengenai penciptaan alam harus
bermuara pada ketauhidan.
Al-Qur’an memang memiliki karakteristik yang mengagumkan, sebagaimana
ungkapan Ibnu Abbas,”Al-Qur’an itu bagaikan permata yang memancarkan cahaya dari
sisi yang berbeda-beda.” Demikianlah penafsiran enam masa penciptaan alam dalam
Al-Qur’an, sejak kemunculan alam semesta hingga terciptanya manusia.
Kita sebagai umat Islam harus lebih mengembangkan pengetahuan kita akan
alam ciptaan Allah yang sangat luas ini. Dan kita harus dapat pula membaca tandatanda kebesarannya melalui ciptaan-Nya. Sehingga kita dapat benar-benar menjadi
hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya.

12