TUHAN MANUSIA DAN ALAM SEMESTA DALAM PER

SASTRA BANDINGAN:
TUHAN, MANUSIA, DAN ALAM SEMESTA DALAM PERSPEKTIF
LAOZI (LAO TZU) DAN SUNAN BONANG (MAULANA MAKHDUM IBRAHIM)
(Suatu Kajian Semiotika Roland Barthes Dengan Mitos Konteks Inti Ajaran Tasawuf Islam
Terhadap Kitab Tao Teh Ching dan Kitab Suluk Wujil, Suluk Wragul, Suluk Jebeng )

Suganda

ABSTRAK

Pe a aa
e dala se uah karya sastra i arat e asuki imajinasi komunikasi de ga
pengarangnya. Intelektualitas akan selalu diarahkan untuk menangkap gambaran suatu objek
yang ingin disampaikan pengarang melalui tanda-tanda dalam karyanya. Dengan kriteria
tersendiri saat menggunakan bahasa sebagai media penyampai ide, tak jarang tanda dalam
suatu bahasa menjadi pembeda antara dua pengarang dalam mengambarkan satu objek.
Demikian yang terjadi pada Laozy dan Sunan Bonang dalam mempersepsikan Tuhan, manusia,
dan alam semesta dalam karya mereka. Perbedaan latar belakang tempat, budaya, sosial
masyarakat, dan zaman diantara mereka menyebabkan munculnya varian teks antara Tao Teh
Ching karya Laozy da Suluk Wujil, Suluk Wragul, Suluk Jebeng karya “u a Bo a g dala
mempresentasikan objek tersebut. Sehingga, untuk memahami pemikiran kedua sastrawan ini,

diaplikasikan proses pemaknaan tanda dalam masing-masing karya mereka dengan konsep
semiotika. Proses interpretasi didasarka pada odel se iotika Roland Barthes erla daska
mitos dari konteks Inti Ajaran Tasawuf Islam. Hasilnya, kedua kitab tersebut mengkontruksikan
bahwa Tuhan merupakan rahasia Yang Satu, yang dengan sifat keabadian-Nya menjadi awal dan
akhir segala ciptaan-Nya. Eksistensi keberadaan Yang Satu tersebut adalah suatu rahasia yang
dapat diketahui melalui pemanifestasian-Nya dalam keseluruhan alam semesta. Dalam konteks
ini, manusia merupakan kosmos alam semesta sehingga menjadi wakil Tuhan yang menanggung
rahasia hakekat ketuhanan dalam rahasia manusia itu sendiri.

Kata kunci: Tuhan, manusia, alam semesta, hakekat, makna

1. Pendahuluan
Memang, tidak berlebihan jika orang mempersoalkan setinggi apa
kutilang dalam sangkar dapat mengepakkan sayapnya, tapi setidaktidaknya orang dapat memperhatikan sebebas apa subjek yang terikat itu
memperdengarkan nyanyiannya (Hawe Setiawan: 2010)
Penghayatan mendalam terhadap dua buah karya sastra yang bertema serupa, tentu
memunculkan pemikiran bahwa dua buah karya tersebut memiliki persamaan maupun
perbedaan. Namun, tidak demikian halnya dalam pembacaan tanpa memperhatikan bahasa
dibalik tanda yang diberikan pengarang dalam karya-karyanya. Terkadang, objek yang sama akan
ditangkap sebagai hal yang berbeda dikarenakan kayanya varian teks yang dimunculkan masingmasing karya sastra dalam menggambarkannya. Karena itu, menghayati sebuah karya sastra,

terle ih puisi, te tu tidak isa ha ya de ga
e a a jasmani karya terse ut. “e uah karya
sastra yang tercipta dari goresa pe yair esar te tu e ga du g gugusa ide se agai rohani
penyebab lahirnya karya tersebut.
Begitupun Laozy (605-531 SM) seorang filsuf daratan China dan Sunan Bonang (14651525 M) seorang anggota dewan Wali Songo di Pulau Jawa, sebagai penyair besar pada
masanya, tentu memiliki kreativitas dalam menyiasati konvensi untuk menyampaikan hasil
perenungan mereka dalam masing-masing karyanya. Kitab Tao Teh Ching (ditulis Laozy abad
ke 6 M) dan Kitab Suluk Wujil, Suluk Wragul, dan Suluk Jebeng (ditulis Sunan Bonang abad ke
15 M) misalnya, adalah dua buah karya berbentuk puisi yang sama-sama mempresentasikan
Tuhan, manusia, dan alam semesta. Namun, dua buah karya ini ibarat dua jalan yang menuju
dua pemberhentian berbeda dikarenakan variasi tanda sebagai penyelimut konvensional
deretan gagasan dari objek yang sama yang ingin mereka sampaikan. Tao Teh Ching dengan
nuansa filsafatnya seakan terasa sangat berbeda dalam menggambarkan jalan mencari Tuhan
dibandingkan dengan Suluk Sunan Bonang dibawah naungan tasawuf Islammnya. Apalagi, dua
penyair ini terlahir dari latar belakang tempat, bahasa, budaya, sosial masyarakat, dan zaman
yang sangat berbeda sehingga karya mereka secara tidak lansung ikut terbawa arus perbedaan
tersebut.
Bertolak dari pemikiran ini, timbul ketertarikan untuk menyandingkan kedua sastra
tersebut sebagai upaya mencari persamaan maupun perbedaan Tao Teh Ching dan Suluk Sunan
Bonang dalam mempresentasikan Tuhan, manusia, dan alam semesta. Penyandingan tersebut

berupa proses telaah sastra bandingan (comparative literature) yaitu sebuah studi teks across
cultural, upaya interdisipliner yang memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu
(periode yang berbeda) dan tempat (wilayah geografis sastra)-(Endaswara: 2008). Memang, dua
karya yang dibandingkan ini bukan merupakan karya dalam bahasa aslinya. Kitab Tao Teh Ching
yang dibandingkan dengan Kitab Suluk Sunan Bonang merupakan beberapa versi bahasa Inggris
hasil terjemahan berbagai translator (bahasa aslinya adalah bahasa China Kuno). Adapun Suluk
Sunan Bonang yang digunakan juga sudah diterjemahkan kedalam dalam Bahasa Indonesia
(bahasa aslinya adalah bahasa Jawa Kuno-Pertengahan) yang diambil dari berbagai penerjemah
(sumber). Namun, ada baiknya melepaskan sedikit transformasi raga puitika kedua karya
terse ut dala
e ari ko sep persa aa ataupu per edaa
ak a rohani dise alik ta da
jasmani ya g di erika
asi g-masing pengarangnya.

Ketertarikan untuk menyandingkan diatas sejati ya uka didasari kei gi a u tuk
mempersamakan latar belakang ajaran kedua pengarang (Taoisme dan Islam), karena faktanya,
kedua karya yang mereka hasilkan terlahir dari tempat, budaya, dan waktu yang jauh berbeda.
Hanya saja, akan lebih bijaksana jika kajian ini dipandang sebagai upaya penelusuran sejauh
mana kata-kata, dengan keterbatasannya, dapat mewakili dan mempresentasikan fikiran

pengarang. Apalagi, kedua karya sastra ini merupakan sarana untuk menyampaikan renungan
mendalam yang berbau pengalaman mistik, yang umumnya menurut Setiawan (2010) hanya
mampu dipahami secara utuh oleh pelakunya sendiri.
2. Kajian Teoritis
2.1.

Rumusan Dalam Semiotika

Dalam suatu proses pembandingan dua buah karya sastra, hal dasar yang mesti
diketahui ialah ilmu sastra, sehingga akan dapat dilihat hubungan karya sastra satu dengan yang
lain saling bersinggungan atau tidak (Endraswara: 2008). Bertentangan ataupun beriringannya
antara dua buah karya sastra pastinya tidak terlepas dari konsep ide maupun gagasan yang
disampaikan masing-masing penciptanya. Mengingat karya sastra sebagai refleksi pemikiran,
perasaan, dan keinginan pengarang lewat bahasa, tentu bahasa yang digunakan tersebut
menurut Endaswara (2008) bukan sembarang bahasa, melainkan bahasa yang khas yaitu bahasa
yang memuat tanda-tanda atau semiotik. Sebab itu, bahasa tersebut juga merupakan sistem
tanda sebagai sarana komunikasi yang bersifat elastis sehingga setiap tanda membutuhkan
pemaknaan (Segers: 2000 dalam Endaswara: 2008).
Tentu saja, pemaknaan tidak terlepas dari semiotika sebagai ilmu yang mempelajari
tanda-tanda, sistem-sistem tanda, dan proses suatu tanda diartikan (Hartoko: 1986 dalam

Yusuf: 2009). Ta da itu se diri didefi isika se agai suatu – yang atas dasar konvensi sosial
yang terbangun sebelumnya – dapat dianggap mewakili yang lain (Wibowo: 2011). Dengan
kata lain, dalam suatu karya sastra, bahasa sebagai tanda dalam kajian semiotika pada awalnya
dapat dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk pada hal lain. Lebih lanjut, hubungan antara
bahasa dalam karya sastra dengan semiotika dirincikan oleh Priminger (Pradopo: 1999) sebagai
berikut;
Karya sastra adalah karya seni yang bermedium bahasa. Oleh karena itu, dalam
lapangan semiotika, ada dua sistem semiotik. Pertama, sistem semiotik tingkat pertama
(first order semiotic), dan kedua, sistem semiotik tingkat kedua (second order semiotic).
Bahasa adalah bahan sastra (karya sastra). Sebelum menjadi karya sastra, bahasa sudah
merupakan tanda yang mempunyai arti (meaning). Oleh karena itu bahasa disebut sistem
semiotik tingkat pertama yang kemudian menjadi tanda sastra, ditingkatkan menjadi
sistem semiotik tingkat kedua. Arti bahasa menjadi arti sastra, maka arti sastra ini disebut
significance atau makna. Makna ini arti dari arti (meaning of meaning) atau significance
makna (Preminger: 1974 dalam Pradopo: 1999)
Dalam kaitannya dengan sistem tanda, Saussure (Halimah: 2008) menyatakan bahwa
“ebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra
kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut
sig ified, ida g peta da atau ko sep atau ak a . Jadi, dapat dikatakan bahwa aspek kedua


(signified) terkandung di dalam aspek pertama (signifier) sehingga petanda merupakan konsep
atau sesuatu yang dipresentasikan oleh penanda. Lebih lanjut, Saussure (Halimah: 2008)
mengungkapkan bahwa;
penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud
atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek dan
sebagainya. Petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa
yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur
melahirkan makna
Lebih jauh lagi, Barthes (Wibowo: 2011) mendefinisikan sebuah tanda (sign) sebagai
sebuah sistem yang terdiri dari (E) sebuah expresi atau signifier dalam hubungannya (R) dengan
content atau signified (C) . “e uah siste ta da pri er primary sign system) menurut Barthes
dapat menjadi sebuah elemen dari sebuah sistem tanda yang lebih lengkap dan memiliki makna
yang berbeda dari makna semula. Dengan kata lain, tanda sebuah sistem tanda dapat bemakna
lebih sempurna ataupun mengalami perubahan makna dalam satu kesatuan konteks. Barthes,
dalam konsep sistem tandanya merumuskan acuan sebagai berikut:
Such sign system can become an element of a more comprehensive sign system. If the
extension is one of content, the primary sign (E1 R1 C1) becomes the expression of a
secondary sign system:
E2 = ( E1 R1 C1 ) R2 C2 . Wi owo:
Dengan begitu, dapat dijelaskan bahwa primary sign adalah denotative sedangkan

secondary sign adalah satu dari connotative semiotics. Konsep connotative inilah yang menjadi
kunci penting dari rumusan model semiotika tersebut. Fiske (Wibowo: 2011) menjelaskan lebih
rinci bahwa model Barthes tersebut sebagai signifikasi dua tahap (two order signification).
Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified (konten)
didalam sebuah tanda terhadap realitas external (disebut denotasi yaitu makna paling sempurna
dari tanda). Lebih lanjut, konotasi menurut Fiske (Wibowo: 2011) menunjukkan signifikasi tahap
kedua yang menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau
emosi dari pembaca serta nilai-nilai kebudayaannya.
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, Wibowo (2011) menjelaskan
bahwa tanda bekerja melalui mitos (myth). Dalam pandang Wibowo (2011), mitos adalah
bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau
gejala alam . Wi owo
enambahkan bahwa mitos adalah suatu wahana dimana suatu
ideologi berwujud dan dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting
dalam satu kesatuan budaya.
Dalam keterikatan antara konotasi dan mitos tersebut, Van Zoest (Wibowo: 2011)
menegaska ahawa siapapun bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti
konotasi-konotasi yang terdapat didalamnya . “e uah teks, e urut Va )oest Wi owo:
2011), tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca
kearah suatu ideologi. Lebih lanjut, Eriyanto (Wibowo: 2011) dalam hal ini menempatkan

ideologi sebagai konsep sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis.

Sehingga, berdasarkan keseluruhan rumusan semiotika diatas, ditentukan inti ajaran
tasawuf Islam sebagai petanda konotasi. Konotasi-konotasi inilah yang kemudian akan menjadi
acuan dalam mengkontruksikan makna dari tanda-tanda yang diberikan pengarang.
2.2.

Inti Ajaran Tasawuf Islam

Menurut Salamah (2001), kata tasawuf pertama kali muncul dalam tulisa Ma’rufal
Karthi w.
H ya g e defi isika tasawuf se agai berpegang kepada hal-hal yang hakiki
dengan mengabaikan segala apa yang ada pada mahluk . Tasawuf dala pa da ga Madkour
(1995) adalah ada dan tiada, tiada bagi manusia dan ada bagi Tuhan.
Salah satu konsep yang sering diperbincangkan dalam prinsip tasawuf adalah wihdah alwujud (kesatuan wujud). Dalam konsep ini, Ibnu Arabi (Madkour: 1995) meyakini bahwa wujud
semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluq pada hakikatnya wujud khaliq pula. Tidak
ada perbedaan di antara keduanya (khaliq dan makhluq) dari segi hakikat. Adapun kalau ada
yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluq itu berbeda, hal itu dilihat dari sudut
pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat
yang ada pada dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya.

Selain itu, dalam kajian tasawuf, Al-Junaid (Madkour: 1995) menyatakan bahwa yang
terpenting adalah teori makrifat/pengenalam (epistemology). Makrifat/pengenalam sempurna
terhadap Tuhan adalah ketika seorang hamba (manusia) dapat berhubungan, fana, dan bersatu
dengan Tuhan. Proses ini, dalam pemikiran al-Junaid adalah tauhid kesaksian yaitu saat hamba
berhubungan dengan yang tercinta dan Maha Agung yang disebutnya sebagai wihdah al-syuhud
(kesatuan kesaksian). Kesatuan kesaksian ini menganggap bahwa segala sesuatu akan melebur
sehingga yang terlihat hanya kakekat Tuhan (sejatinya hanya ada wujud Tuhan). Lebih lanjut,
Salamah (2001), sehubungan konteks kesatuan ini menyatakan bahwa dalam dunia tasawuf
dikenal istilah kasrah fil wahid wal wahid fil kasrah (jamak dalam tunggal dan tunggal dalam
jamak).
Makrifat/pengenalan, menurut Al-Junaid (Madkour: 1995) adalah zaug dan widjan
(pengenalan lansung dari kalbu), tidak bisa ditentukan oleh indera dan tidak bisa ditentukan
oleh akal, tetapi pengenalan ini merupakan suatu pancaran (al-isyraq) dan ilham. Para Sufi (ahli
tasawuf) meyakini bahwa kalbu adalah sarana epistemologi, karena kalbu merupakan sentral
cinta dan persepsi, atau dengan kata lain pusat penemuan (al-wajdu) dan penampakan (altajalli)-(Madkour: 1995). Al-junaid (Madkour: 1995) memandang bahwa manakala lembaran itu
bersih dan tutupnya tersingkap (rahasia tuhan terlihat dalam kalbu), maka ia akan menjadi
orang yang berhak menerima persepsi pencerapan lansung (al-idrak al-zauqi) dan pengetahuan
lazuni.
Manusia yang telah menemukan dan memahami hakekat ketuhanan menurut para Sufi
(Bahri: 2010) merupakan insan al-kamil, yaitu manusia sempurna yang diliputi cahaya

ketuhanan. Manusia seperti ini adalah tempat melekatnya sifat-sifat ketuhanan sehingga secara
tidak lansung, juga telah memyempurnakan fungsinya sebagai al-Khalifah (wakil) Tuhan dimuka
bumi. Ditambah lagi, kalbu manusia seperti ini bagi kaum Sufi (Kertanegara: 2006) adalah
Rumah Tuhan , yaitu te pat erse aya ya rahasia ke e ara Tuha ya g hakiki.

3. Sinopsis Kitab Tao Teh Ching dan Kitab Suluk Suan Bonang
3.1.

Sinopsis Kitab Tao Teh Ching

Membaca keseluruhan kitab Tao Teh Ching ini seumpama membaca kitab kumpulan
puisi dengan pasal berbeda. Antara satu lirik dengan lirik lainnya merupakan bagian yang
terpisah. Namun demikian, inti dari gabungan kesemua lirik tersebut mengisahkan tentang
keberadaan sesuatu yang abadi sebagai awal dan akhir dari seluruh keberadaan. Sesuatu yang
abadi tersebut tidak memiliki nama karena tidak ada nama yang mampu mewakilinya. Tapi,
dalam perkembangannya, semua orang yang berusaha menemukannya sepakat untuk
e ye ut ya se agai Tao . Tao pada dasar ya elekat pada setiap sesuatu namun sekaligus
diluar jangkauan sesuatu tersebut.
Ora g ya g telah e e uka ke eradaa Tao sejati erupaka seora g sage ya g
hidup dengan jalan kebenaran sesuai yang diperintahkan Tao. Dia merupakan contoh dan

panutan bagi semua orang yang ingin mengetahui rahasia keberadaan Tao. Dia selalu
mengutamakan kepentingan orang banyak (orang lain) daripada kepentingan pribadinya dan
selalu bersyukur atas semua yang dia miliki. Selain itu, sage memandang segala keberlansungan
alam semesta sebagai wujud cerminan Tao. Oleh sebab itu, para sage tidak membeda-bedakan
antara dua aspek yang saling bertentangan karena pada prinsipnya hal tersebut merupakan satu
kesatuan (keduanya manifestasi dari kesempurnaan keberadaan Tao).
Tao dalam keberlansungannya dapat menyelaras dengan semesta berupa penjelmaan
dalam setiap kebaikan di segala aspek. Manusia akan dapat saling memahami satu sama lain
dengan berpegang pada Tao. Seorang raja akan adil dan bijaksana dalam menjalankan sistem
pemerintahannya karena Tao. Seorang jenderal perang akan berhasil memenangkan setiap
konflik walau tanpa kekerasan dengan berlandaskan pemikiran Tao. Oleh karena itu, sebagai
imbasnya, segala sesuatu yang didasari dengan Tao akan menciptakan kebaikan, kedamaian,
dan keseimbangan di alam semesta sesuai dengan kehendak Tao.
3.2.

Sinopsis Kitab Suluk Sunan Bonang (Suluk Wujil, Suluk Wragul, dan Suluk Jebeng)

Setiap pembaca yang menghayati narasi Suluk Sunan Bonang tentu akan paham bahwa
keseluruhan lirik dalam kitab tersebut menggambarkan perjalanan untuk menemukan hakekat
ketuhanan. Suluk Wujil misalnya, bermula dari kisah perjalanan seorang pemuda bernama Wujil
yang berusaha menemukan keterangan tentang seluk-beluk agama yang terpilih sampai ke
rahasia yang sedalam-dalamnya. Selama sepuluh tahun perjalananya, Wujil belum menemukan
kebenaran sejati tentang hakekat ketuhanan dan arti keberadan dirinya (Wujil) di alam semesta
walaupun sudah mempelajari berbagai macam ilmu dan pengetahuan. Dalam keputusasaan,
Wujil memohon kepada seorang ulama/syekh agung (waliyullah) yang bermukim di Bonang
untuk menjelaskan rahasia terdalam tentang hakekat ketuhanan dan kebenaran hidup. Disinilah
kemudian dialog tanya jawab antara mereka terjadi dalam suatu konteks pembahasan hakekat
ketuhanan dan manusia. Hasil dari dialog tersebut ialah nasehat sang ulama supaya Wujil
menemukan rahasia ketuhanan melalui rahasia alam semesta khususnya memahami rahasia diri
sendiri (tujuan sebenarnya manusia hidup dimuka bumi adalah mengikuti jalan kebaikan sesuai
kehendak Tuhan).

Sama halnya dengan Suluk Wujil, Suluk Wragul juga berisikan ajaran untuk menemukan
kebenaran sejati dari keberadaan Tuhan. Namun, dalam penyampaian ajarannya, Suluk Wragul
menggunakan simbol percakapan antara kera, berang-berang, dan burung tuhu. Alur dalam
kisah ini diawali dengan perbincangan antara kera dan berang-berang mengenai wujud manusia
sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Perbincangan ini kemudian memuat nasehat berangberang kepada kera untuk mengenal diri sejati supaya perilaku dan amal perbuatan mahluk
(khususnya manusia) di dunia mencerminkan kebenaran hakiki (berjalan sesuai kehendak
Tuhan). Dialog ini kemudian berlanjut dengan percakapan antara berang-berang dan burung
tuhu yang membahas tentang pagelaran pertunjukan wayang. Berang-berang menasehati
burung tuhu untuk memahami dalang (yang tidak terlihat) melalui gerak-gerik wayangwayangnya (hubungan antara fungsi dan keberadaan dalang terhadap wayangnya). Pemahanan
seperti itu menurut berang-berang ialah ibarat mencari kesejatian Tuhan melalui ciptaan-Nya.
Dengan kata lain, hakekat ketuhanan disimbolkan bagai seorang dalang (wujud tersembunyi)
yang pemunculannya melalui manifestasi dan gerak-gerik wayang yang dimainkannya (simbol
dari hukum keberlansungan di alam semesta dan keberadaan manusia sebagai kosmos semesta
tersebut).
Adapun Suluk Jebeng merupakan nasehat seseorang (Syekh Agung) kepada seorang
pemuda mengenai ilmu (ketuhanan) yang sempurna sebagai sesuatu yang diliputi rahasia. Tidak
ada kata-kata yang sanggup menggambarkan keadaan ilmu (pengetahuan) tersebut. Oleh sebab
itu, manusia harus senantiasa merendah diri dan diam (tidak menyombongkan diri) dengan ilmu
yang dimilikinya. Selain itu, nasehat tersebut juga mengiaskan pencapaian sempurna dari ilmu
tersebut ibarat sepasang kekasih (suami-istri) yang sedang karam dalam birahi. Kesempurnaan
pencapaian ilmu tersebut (pertemuan dengan Tuhan) dapat membuat manusia terlena dan
melebur dalam segala kenikmatan. Sebagai akhir, nasehat ini ditutup dengan ujaran orang tua
tersebut supaya sang pemuda dapat menerima dan memahami ilmu (pengetahuan) tersebut
yang memang sulit dicerna.
4.

Tuhan, Manusia, dan Alam Semesta Dalam Perspektif Laozy (Tao Teh Ching) dan Sunan
Bonang (Suluk Wujil, Suluk Wragul, dan Suluk Jebeng).

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kajian ini singkatnya adalah
membandingkan pandangan kedua pengarang terhadap Tuhan, manusia, dan alam semesta
melalui karya mereka. Dengan begitu, prinsip pembandingan ini adalah mengkontruksikan
makna berdasarkan tanda-tanda yang diberikan Laozy maupun Sunang Bonang. Sehingga, kajian
ini merupakan pencarian tanda-tanda (wadah konvensional) yang tersebar dalam keseluruhan
teks. Tanda-tanda (signifiers) tersebut kemudian dihubungan dengan petanda konotasi
(connotation signified) yang diambil dari konsep inti ajaran tasawuf Islam. Hubungan antara
kedua hal tersebut lebih lanjut dijadikan dasar memformulasikan makna tersirat (konotasi)
ditinjau berdasarkan kajian pemahaman tasawuf Islam.
Dengan menggabungkan semiotika Ferdinand De Sausure model penanda-petanda
(signifier-signified) dan signifikasi tahap kedua dari teori Roland Barthes dengan konotasi atas
mitosnya, konsep pembandingan ini menetapkan beberapa inti ajaran tasawuf Islam sebagai
dasar dalam penyusunan makna. Inti ajaran tasawuf yang menjadi petanda konotasi
(connotation signified) untuk merumuskan makna dalam masing-masing karya tersebut adalah

konsep wihdah al-wujud (kesatuan wujud), wihdah al-syuhud (kesatuan kesaksian), kalbu alwajdu al-tajalli (kalbu pusat penemuan dan penampakan), insan al-kamil (manusia sempurna),
dan insan al-khalifatullah (manusia wakil Tuhan).
4.1.

Tinjauan Atas Konsep Wihdah al-Wujud (Kesatuan Wujud)

Telah disinggung sebelumnya bahwa wihdah al-Wujud merupakan pandangan bahwa
keseluruhan yang ada merupakan wujud mutlak milik Tuhan. Wujud yang ada di alam semesta
walaupun ada, semata-mata hanyalah karena wujud Tuhan. Menurut faham ini, setiap sesuatu
yang ada memiliki dua aspek, yaitu aspek luar dan aspek dalam. Aspek luar disebut makhluk (alkhalq) dan aspek dalam disebut Tuhan (al-Haqq). Hakikatnya, yang ada hanyalah aspek dalam
(Tuhan) sedangkan aspek luar hanyalah bayangan (manifestation) dari aspek dalam tersebut.
Para ahli tasawuf (Bahri: 2010) memaknai alam semesta (maujud) sebagai bayangan Tuhan atau
bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Yang Satu
(hakekat Tuhan) menurut konsep ini dapat melebur dan menyelaras dengan segala sesuatu.
Karenanya, ahli tasawuf meyakini bahwa alam (yang terlihat) adalah tempat tajalli dan mazhar
(penampakan Tuhan).
Secara implisit (maknawiyah), sejatinya wihdah al-wujud juga di isyaratkan dalam Tao
Teh Ching maupun Suluk Sunan Bonang. Kedua kitab ini menggambarkan bahwa Tuhan
merupakan Yang Satu tunggal, abadi, awal dan akhir dari segala sesuatu. Tuhan dalam persepsi
Laozy maupun Sunan Bonang adalah sebab dari segala sebab segala sesuatu yang ada di alam
semesta.
Dalam Tao Teh Ching, hakikat ketuhanan digambarkan sebagai suatu (tunggal) yang awal
dan akhir dari segala sesuatu. Ketuhanan digambarkan sebagai misteri yang tak bernama, satu,
tetap (abadi), serta melingkupi yang nampak dan yang tidak nampak. Misteri dari segala misteri
tersebut merupakan esensi dari tuhan itu sendiri yang memiliki banyak nama saat
memanifestasikan diri. Hal ini tercermin dalam ungkapan … “o, as e er hidde , e should look
at Its inner essence. As always manifest, we should look at Its outer aspect. These two flow from
the sa e sour e, though differe tly a ed. A d oth are alled ysteries ….. (Tao Teh Ching:
1). Selain itu, hal terse ut juga ter er i dala
….. It seems to be the origin of all things…..
Tao The Chi g: , da There was Something undefined and yet complete in itself. Born before
heaven and earth. Silent and Boundless. Standing alone without change. Yet pervading all
ithout fail. It ay e regarded as the Mother of all the orld … Tao Teh Chi g:
Sejalan dengan hal tersebut, dalam kitab Suluk Sunan Bonang, hakikat ketuhanan juga
digambarkan sebagai satu (tunggal) yang tersembunyi (misteri) namun dapat dilihat melalui
manifestasinya di alam nyata. Hakikat ketuhanan juga dijelaskan sebagai sesuatu rahasia yang
haqq (yang maha benar), yang agung (besar), yang sempurna, dan yang memiliki keabadian
(tetap) sebagai awal dan akhir dari segala kejadian seperti dala lirik …. mencari rahasia yang
satu da jala se pur a ….agar terju pa hakikat hidup, akhir kuasa sejati, uju g utara selata ,
…. Akhir ada da tiada “uluk Wujil: da dala
…. akan mengenal tuhan. Asal usul semua
kejadian …. Suluk wujil: 10).

Selain itu, kedua kitab ini menjelaskan bahwa di dunia ini memiliki sistem dualisme
namun pada dasarnya adalah satu kesatuan yang utuh. Dua aspek yang berbeda diciptakan
untuk melengkapi antara yang satu dan yang lain. Dua aspek tersebut diciptakan berbeda sifat
dengan tujuan untuk memahami sesama mereka. Kedua aspek tersebut tidak dapat dipisahkan
satu sama lain karena satu aspek merupakan penyempurna aspek yang lain begitupun
se alik ya. Tao Teh Chi g e jelaska ahwa …. when all the world recognizes good as good,
thin in itself is evil. Indeed, the hidden and the manifest give birth to each other. Difficult and
easy complement each other. Log and short exhibit each other. …. Tao Teh Chi g:
Adapun dalam Suluk Sunan Bonang, hal tersebut digambarkan dalam beberapa lirik
terpisah seperti ….Apa dan dimana kedewasaan dan keremajaan? Dimana letak kedewasaan
dalam keremajaan? …. Namun dimana letak kekuatan dalam kelemahan? … “uluk Wujil:
da .... dimana letak mati dalam hidup? Dan letak hidup dalam mati? …. “uluk Wujil:
.
“elai itu, hal terse ut juga terga ar dala suluk Wragul yaitu … Jiwa yang hidup dan yang
mati itu satu … “uluk Wragul:
.
Sistem dualisme dalam hakekat kesatuan tersebut merupakan lambang dari
pemanifestasia sifat ketunggalan atau keesaan dari Yang Satu ya g tidak terdefi isika .
Yang Satu tersebut bersemayam dengan status-Nya sebagai yang diatas segala-galanya. Yang
Satu dengan sifat ke-esa-annya (wihdah al-wujud) merupakan sumber dari berbagai keberadaan
segala sesuatu di alam semesta. Sistem dualisme dalam alam semesta pada dasarnya hanyalah
suatu expansi yang menunjukkan betapa maha kayanya sifat keutuhan dan kemutlakkan adaNya. Keutuhan dari sifat ketunggalan Yang Satu tersebut tergambar dalam Tao Teh Ching melalui
lirik …Oh, hidde deep ut e er prese t. I do ot k o fro
he e It comes. It is for the
forefather of the Gods Tao Teh Chi g: .
Walau dalam model penyampaian yang berbeda, Suluk Sunan Bonang juga merumuskan
sebuah konsep ketunggalan dalam keberadaan-Nya. Isyarat sistem dualisme harus dileburkan
dala satu kesatua ya g utuh. Hakekat Esa dari ke eradaa -Nya baru akan diketahui dengan
melepaskan hakekat dualisme antara suatu hal dengan hal yang lainnya. Persepsi tersebut
disimbolkan dalam lirik … Oleh kare a itu ketahuilah te pat data g ya ya g e ye ah da
Ya g Dise ah … “uluk Wujil:
.
Dalam hubungan Tuhan dengan manusia dan alam, baik Laozy maupun Sunan Bonang
mempersepsikan alam semesta sebagai pengejentawahan (manifestation) hakekat ketuhanan.
Hal ini ditemukan dalam Tao Teh Ching dan Suluk Sunan Bonang. Memang, persepsi semacam
ini tidak dijelaskan secara eksplisit. Namun, makna konotasi tentang hal tersebut dapat terwakili
oleh ungkapan (signifier The highest form of goodness is like water. Water knows how to
benefit all things without striving with them …. Tao Teh Chi g: , …The Great Form is without
shape. For Tao is hidden and nameless. Yet Tao alone supports all things and bring them to
fulfilment Tao Teh Chi g:
, da dala … Hanya asap kelihatan. Ketahuilah wujud sebelum
api menyala. Dan sesudah api padam…. “uluk Je e g:
, … disitulah yang Ada,
memperlihatkan hayat melalui yang empat “uluk Wujil:
, Yang empat ialah tanah atau
bumi, lalu api, udara dan air …. diwakili oleh a asir a usia; jalal, jamal, kahar, kamal
“uluk
Wujil:
, da …Walau Tuhan tidak didepan kita. Pandanglah adamu sebagai isyarat adaNya… “uluk Wujil:
.

Apapun alasannya, konsep wihdah al-wujud ini harus dilepaskan dengan konteks
lahiriah. Kebanyakan ahli tasawuf sepakat bahwa kesatuan wujud tersebut harus dipahami
melalui konteks maknawi, yaitu secara hakikat dalam hubungannya dengan bathiniyah. Tuhan,
secara lahiriah berbeda dengan mahluk. Nampaknya, Laozy maupun Sunan Bonang-pun seakan
sepakat memandang konsep tersebut secara maknawi. Pemikiran mereka tersebut digambarkan
elalui lirik …Therefore the “age’s a ility to a o plish the great. Co es fro he is ot playi g
the role of the great. Therefore he is able to accomplish the great Tao Teh Chi g:
da
…jangan memuja nabi dan wali-wali. Jangan mengaku Tuhan. Jangan mengira tidak ada
padahal ada … “uluk Je e g: .
4.2.

Tinjauan Atas Konsep Wihdah al-Syuhud (Kesatuan Kesaksian)

Konsep wihdah al-syuhud ini pada dasarnya masih terikat dengan konsep wihdah alwujud. Menurut al-Junaid (Markour: 1995), wihdah al-syuhud tercermin dalam tauhid kesaksian
saat hamba berhubungan dengan yang tercinta dan Maha Agung (Tuhan). Dengan demikian,
konsep wihdah al-syuhud ini mempresentasiakan bahwa hakekat ketuhanan pada dasarnya
dapat melebur se agai rahasia dala segala iptaa khusus ya a usia . Ke eradaaa -Nya
Yang Satu sejatinya harus dirasakan sebagai Yang Satu dalam pemanifestasian diri-Nya di alam
semesta (khususnya manusia). Dalam kondisi ini, manusia menurut Abu Yazid al-Bustomi
(Kertanegara: 2006) akan berada dalam ke-fa a’-an, yaitu merasakan segala sesuatunya
hanyalah ada Satu, hakekat ketuhanan itu sendiri. Kesaksian-Nya begitu jelas, tidak ada
penyekat antara manusia dan Tuhan. Proses ini menurut kaum Sufi (Kertanegara: 2006)
merupakan hasil pengamalan takhalli (mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela),
tahalli (menghiasi diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji), dan Tajalli (terungkapnya nur
ghaibul ghaib).
Hubungan semacam ini dalam pandangan al-Junaid (Markour: 1995) tidak memerlukan
persepsi akal yaitu ilmu, karena ilmu sangat terbatas dan hanya menjangkau alam lahir saja. Hal
semacam ini adalah kondisi jiwa yang hanya dapat dipahami melalui persepsi kalbu yaitu
makrifat (epistemology). Dengan kata lain, konsep wihdah al-syuhud ini sangat berkaitan dengan
alam bathin (al-ruh), jauh diluar jangkauan alam zhahir (al-jasad). Lebih lanjut, wihdah alsyuhud, dalam pandangan kaum Sufi tidak bisa dilepaskan dari konsep manusia sebagai jasad
(insan al-zhahir) dan manusia sebagai bathin (insan al-bathin).
Wihdah al-syuhud, secara tersirat dalam Tao Teh Ching maupun Suluk Sunan Bonang
diilustrasika dala kosep merasakan Yang Satu melalui yang banyak dan merasakan yang
banyak melalui Yang Satu , yang dalam dunia tasawuf (Salamah: 2001) dikenal sebagai kasrah
fil wahid wal wahid fil kasrah (jamak dalam satu dan satu dalam jamak). Konsep tersebut,
secara implisit tercermin dala lirik …It a e a ed ith the thi gs that are s all … It a e
a ed ith the thi gs that are great… Tao The Chi g:
da dala
…i arat e yatuka
punggung dengan dada. Atau wayang dengan kelirnya. Tapi sesungguhnya cermin satu adanya
(Suluk Wragul: 32).
Tentunya, keberlanjutan dari rumusan konsep diatas adalah pandangan bahwa Tuhan
erupaka suatu pembendaharaan ya g tidak erte pat. Ke eradaa -Nya telah menyelaras
dalam rahasia kebenaran dari arti keberadaan ciptaan-Nya di alam semesta (khususnya

manusia). Dalam konteks ini, Laozy ataupun Sunan Bonang menempatkan manusia sebagai
kosmos dari rahasia eksistensi Tuhan dengan statusnya sebagai mahluk yang paling sempurna.
Jauh didalam lubuk hati (qolbu) manusia terkandung sifat-sifat hakekat ketuhanan yang menjadi
rahasia manusia itu sendiri. Sehingga, baik Lao Tzu (dalam Tao Teh Ching) maupun Sunan
Bonang (dalam suluk-suluknya) sependapat dalam merumuskan bahwa jalan menemukan Tuhan
adalah melalui pengenalan terhadap diri sendiri (diri sebenar diri).
Dalam pandanga Tao Teh Chi g aupu “uluk “u a Bo a g, Diri sebenar diri adalah
diri bathin (al-ruh) yang berada dalam sangkar diri zahir (al-jasad). Konsep tersebut
mempresentasikan bahwa diri bathin sejatinya adalah sesuatu yang terbebas dari sifat-sifat
keburukan sedangkan diri zahir merupakan tempat melekatnya materi kebendaan dan sifat
duniawi. Diri bathin dalam konsep ini lansung berhubungan dengan hakekat ketuhanan itu
sendiri yang cenderung berjalan sesuai dengan hakekat kebenaran Tuhan. Lain halnya, diri zahir
dipandang sebagai sesuatu yang berpotensi menghambat pergerakan manusia untuk
menemukan hakekat ketuhanan (tajalli). Nafsu duniawi pada diri zahir dianggap sebagai lapisan
(hijab) yang menyelubungi rahasia kebenaran Yang Satu dalam diri manusia (diri bathin). Aspek
dari konsep tersebut tercermin dalam …What does it ea to regard great trou le as seriously
as you regard your body? The reason why I have great trouble is that I have a body (and I am
attached to it). If I have no body, what trouble could come? ... Tao Teh Chi g:
da …Tubuh
kita sangkar tertutup. Ketahuilah burung yang ada didalamnya… “uluk Wujil:
, …Kare a
itu Wujil, ke ali diri u. Ke ali diri u ya g sejati. I gkari e da agar afsu u tidur terle a…
(Suluk Wujil: 21).
Yang lebih menarik, semua konsep diatas dalam Tao Teh Ching dan Suluk Sunan Bonang
terhu u g dala suatu ko sep ada dan tiada dala hu u ga a tara kehadira hakekat
ketuhanan dan alam semesta (khususnya kesejatian manusia). Ini, hakikatnya sesuai dengan
pandangan para ahli tasawuf (Madkour: 1995) yang menyatakan bahwa Tuhan dan ciptaan-Nya
(khususnya manusia) ibarat ada dan tiada, jauh dan dekat. Tao Teh Ching dan Suluk Sunan
Bonang menginterpretasikan hakekat ketuhanan akan selalu muncul melalui penzahiran dalam
perwajahan alam dan manusia sebagai kosmos semesta alam tersebut. Memandang eksistensi
keseluruhan alam semesta (beserta isinya) sebagai manifestasi Tuhan akan menimbulkan
konsep bahwa yang ada (wujud) hanya Tuhan Yang Satu sedangkan selain dari-Nya adalah dari
ketiadaan (maujud). Sebaliknya, memandang hanya pada keberadaan alam semesta akan
membuat hilangnya konsep eksistensi ke-Esa-an Tuhan sebagai sumber mutlak Yang Satu dibalik
kelahiran segala alam beserta isinya. konsep antara ada da tiada u tuk menemukan
keberadaan Tuhan tersebut diajarkan dalam Tao Teh Ching secara tersirat melalui ungkapan
…Thus, Something and nothing produce each other… Tao Teh Chi g: , … The myriad
creatures in the world are born from Something and Something from Nothing Tao Teh
Ching: 40).
Sama halnya, Suluk Sunan Bonang-pun menyiratkan bahwa keberadaan kesejatian
Tuhan terletak dalam ketiadaan ciptaan-Nya. Untuk menemukan Tuhan, manusia harus sadar
bahwa manusia dan alam semesta itu hakikatnya berada dalam kondisi ketiadaan disebabkan
keabsolutan Tuhan Yang Satu dengan sifat-Nya sebagai Yang Maha Ada dan Yang Maha
Meliputi. “i olik dari ko sep i i ter er i dala
…jika diteliti ini raga. Belum ketemu
hakekatnya. Ada atau tidaknya ia (raga) …. Ya g ustahil (bukan kenyataan) banyak sekali.

Segala wujud di semesta ini. Tidak putus-putus sama sekali “uluk Wragul: . Maksud ya,
seorang manusia harus melepaskan diri dari hal-hal yang telihat (kebendaan) untuk mengetahui
dan menyaksikan sumbernya Yang Satu yang tidak terlihat (rahasia Ketuhanan) seperti
diilustrasikan dalam lirik …. didalam tiada, dimana letak ada? didalam ada, dimana letak
tiada?... “uluk Wujil:
, Wujud Tuhan itu nyata, Mahasuci, lihat dalam keheningan… “uluk
Wujil: 23).
Hakekat keberadaa Tuha dala ko sep ada da tiada terse ut le ih la jut
memunculkan interpretasi baru mengenai hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya (khususnya
manusia), yaitu ko sep immanent – transcendent de ga sifat-Nya yang dekat tak terkira jauh
tak terhingga. Tao Teh Ching dan Suluk Sunan Bonang menjelaskan bahwa Tuhan secara
immanent melekat dan berada dalam manusia dan alam semesta namun sekaligus diluar
jangkauan manusia dan alam semesta tersebut melalui sifatnya yang transcendent. Hubungan
tersebut tidak dapat dipahami hanya dengan pikiran karena pada dasarnya pemikiran manusia
itu serba terbatas. Oleh sebab itu, baik Tao Teh Ching maupun Suluk Sunan Bonang
menggambarkan bahwa hanya perasaan (qolbu) manusia itu sendirilah yang bisa menjangkau
sifat-Nya yang immanent dan transcendent tersebut.
Hubungan Tuhan, manusia, dan alam semesta tersebut dengan sifat immanent-Nya
tergambar melalui ungkapkan secara simbolik dalam …Tao i the orld ( here e erythi g is
embraced by it), may be compared to rivers and streams ru i g i to the sea. (Tao Teh Ching:
da …ingatlah bahwa engkau dikuasai Tuhanmu “uluk Wragul:
, Seperti halnya tinta,
asih e yatu de ga te pat ya… “uluk Wragul:
. Dilai pihak, sifat-Nya yang
transcendent dalam hubungan-Nya dengan manusia dan alam semesta tampak pada ungkapan
The ancient masters were subtle, mysterious, profound, responsive. The deep of their
k o ledge is u fatho a le. Be ause It is u fatho a le… Tao Teh Chi g:
da Renungi
pula Wujil! Hakekat sejati kemauan (kehendak Tuhan). Hakekat ya tidak di atasi pikira kita…
(Suluk Wujil: 26).
4.3.

Tinjauan atas konsep Kalbu al-Wajdu al-Tajalli (Kalbu Pusat Penemuan dan
Penampakan)

Menurut kaum Sufi, kalbu manusia merupakan pusat cinta dan persepsi. Al-Junaid
(Madkour: 1995) menyatakan bahwa kalbu yang bersih merupakan tempat menemukan Tuhan
dan tempat penampakan Tuhan. Senada dengan hal ini, kabu manusia-manusia suci diyakini
kau “ufi Kerta egara:
se agai Rumah Tuhan .
Sejatinya, kalbu sebagai al-wajdu al-tajalli pada dasarnya juga tergambar secara tersirat
dalam Tao Teh Ching dan Suluk Sunan Bonang. Dalam interpretasi Laozy maupun Sunan Bonang,
jauh didalam lubuk hati (qolbu) manusia terkandung sifat-sifat hakekat ketuhanan yang menjadi
rahasia manusia itu sendiri. Dengan begitu, baik Laozy maupun Sunan Bonang mempersepsikan
bahwa rahasia ketuhanan hanya akan dapat diketahui apabila manusia itu sudah mengetahui
rahasia dirinya sendiri. Karenanya, Tao Teh Ching maupun Suluk Sunan Bonang sama-sama
mempersepsikan bahwa rahasia ketuhanan akan terungkap dengan menyelami rahasia
kedalaman kalbu manusia itu sendiri. Anggapan tersebut tergambar dalam lirik utuh;

One may know the world without going out of doors. One may see the Way of Heaven
without looking through the windows. The further one goes, the less one knows. Therefore
the sage knows without going about, understands without seeing, and accomplishes
without any action. Tao Teh Chi g:
.
Sama halnya, dalam Suluk Sunan Bonang, jalan mengetahui rahasia ketuhanan melalui rahasia
a usia itu se diri terga ar dala u gkapa Pedoman hidup sejati ialah mengenal hakekat
diri …. “uluk Wujil:
, Kei daha , ja ga jauh di ari. Ia ada dala diri u se diri … “uluk
Wujil:
, bila kau mengenal dirimu kau akan mengenal Tuhanmu … “uluk wujil:
.
Dengan kata lain, pencarian hakekat ketuhanan pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari
perbaikan diri sendiri (penyucian kalbu) sebagai hasil dari pemahaman fungsi manusia dimuka
bumi. Tao Teh Ching maupun Suluk Sunan Bonang telah menjelaskan bahwa hakekat ketuhanan
erada dala
a usia itu se diri. Na u , se ua itu e jadi pembendaharaan yang
tersembunyi da tersa ar dala tu uh zahir a usia dikare aka
elekat ya sifat ke e daa
(nafsu duniawi) dari alam semesta pada diri zahir manusia tersebut.
Satu metode yang ditawarkan Tao Teh Ching dan Suluk Sunan Bonang berhubungan
dengan kalbu sebagai al-wajdu al-tajalli adalah penyucian diri oleh diri sediri (takhalli). Menurut
Laozy dan Sunan Bonang, dalam upaya menghadirkan kembali pembendaharaan yang
tersembunyi tersebut, manusia harus membersihkan diri zahir dari kecintaan yang berlebihann
terhadap dunia. Tentu saja, proses ini hanya bisa dilakukan oleh manusia itu sendiri dengan
aksud u tuk memunculkan kembali diri athin (kalbu yang suci bersih) yang selama ini
terbelenggu oleh diri zahir dengan nafsu kebendannya. Sehingga, metode ini juga secara tidak
langsung akan mengungkap hakekat kesucian dari diri bathin yang telah lama tersembunyi. Hal
semacam ini dikiaskan dalam …if you take muddy water and still it, it gradually becomes
clear… Tao Teh Chi g:
, …In the pursuit of Tao, every day something is dropped. Less and
less is do e. U til o a tio is a hie ed… Tao Teh Chi g:
da …Kare a itu su ika diri u.
Tingalah dalam kesunyian. Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia “uluk Wujil:
, …Pelajari
kaedah pencerahan kalbu ini. Dari orang arif yang tahu. Agar kau mencapai makrifat. Yang
erupaka su er hayat… “uluk Wujil:
, … Sesungguhnya engkau disuruh mencari
kembali raga yang tersembunyi (hakekat ketuhanan dalam kalbu) “uluk Wragul:
.
4.4.

Tinjauan Atas Konsep Insan al-Kamil (Manusia Sempurna)

Manusia yang berhasil menemukan rahasia ketuhanan dalam dirinya menurut kaum Sufi
(Bahri: 2010) adalah manusia sempurna (Insan al-Kamil), yaitu manusia dengan kalbu suci
sehinga menurut kaum Sufi (Madkour: 1995), mereka menjadi wadah al-idrak al-zauqi (tempat
menerima persepsi pencerapan lansung) dari Tuhan. Manusia seperti ini, menurut kaum Sufi,
adalah manusia yang telah berhasil menguak alam bathin, bukan hanya alam zhahir. Dalam
tingkatan ini, manusia tersebut dapat menjalankan fungsinya sebagai kosmos alam semesta.
Sejatinya, kalbu insan al-kamil bagi alam semesta merupakan tempat bersemayamnya sifat-sifat
kebenaran Tuhan.
Insan al-kamil ini, dipersepsikan oleh Laozy dan Sunan Bonang sebagai manusia yang
telah menemukan rahasia ketuhanan. Dalam Tao Teh Ching dan Suluk Sunan Bonang
diisyaratkan bahwa manusia yang telah memahami hakekat ketuhanan akan berjalan sesuai

kehendak-Nya sekaligus akan menjadi tempat bernaung sifat-sifat kebaikan. Arti keberadaan
manusia tersebut akan terjawab dengan kesempurnaan statusnya sebagai wakil (al-Khalifah)
Tuhan di muka bumi. Manusia tersebut akan sadar bahwa keberadaannya telah menjadi
manifestasi sempurna akan kemutlakkan adanya Tuhan dan sekaligus sebagai yang menanggung
segala rahasia hakekat ketuhanan tersebut. Tao Teh Ching mengambarkan keadaan tersebut
dala
…Use the light, but return to your insight. Do not bring calamities upon yourself. This is
the way of cultivating the Changeless Tao Tao Teh Chi g:
, seda gka “uluk “u a Bo a g
e yi olka hal terse ut dala …orang yang mengenal Tuhan. Dapat mengendalikan hawa
nafsu. Siang malam penglihatannya terang. Tidak disesatkan oleh khayalan. (Suluk Wujil: 23).
Begitupun, manusia yang telah menemukan hakekat ketuhanan dalam dirinya akan
e jadi wadah bijaksana . Ma usia terse ut aka tetap e jaga da
e ye u yika
hakekat ketuhanan sebagai suatu rahasia yang tidak boleh ditunjukkan dan dibicarakan kepada
sembarang orang ataupun di sembarang tempat. Keberhasilan mereka menggapai Tuhan akan
menambah kesadaran mereka bahwa tidak ada ungkapan ataupun perumpamaan yang dapat
mengambaran hakekat ketuhanan tersebut. Kesadaran seperti ini dijelaskan dalam Tao Teh
Chi g aupu “uluk “u a Bo a g dala lirik Those ho k o do ’t talk a out It; those ho
talk do ’t k o It. He lo k up his holes… Tao Teh Chi g:
da lirik …Ora g ya g e ge al
Tuhan bicara tidak sembaranga … “uluk Wujil:
.
Meski demikian, manusia yang telah memahami hakekat ketuhanan dalam dirinya dapat
e u jukka hal terse ut elalui pe erapa tingkah laku sejati sesuai kehe dak Tuha
dalam kesehariannya. Dengan cara ini, fungsinya sebagai kosmos alam semesta sekaligus wakil
Tuhan akan ikut tercermin dalam kebenaran perbuatannya. Manusia seperti ini akan menjadi
mahluk sempurna yang dengan statusnya tersebut dapat memposisikan diri sebagai mahluk
yang paling bermanfaat di alam semesta. Dengan kata lain, orang yang telah memahami hakekat
ketuhanan akan berlaku baik, adil, dan bijaksana terhadap apapun (baik kepada manusia,
hewan, tumbuhan, lingkungan, dan alam semesta) seperti yang tercermin dalam Tao Teh Ching
… the sage holds on to the One and i this ay e o es the shepherd of the orld…. Tao Teh
Chi g:
, All men will come to him who keeps to the One. For there lie rest and happiness and
peace … Tao Teh Chi g:
, da dala ;
The sage has no interest of his own. But takes intersest of the people of his own. He is
kind to the kind. He is also kind to the unkind. For virtue is kind. He is faithful to the
faithful. He is also faithful to the u faithful. For irtue is faithful…. Tao Teh Chi g:
.
Sama halnya, dalam Suluk Sunan Bonang aspek tersebut digambarkan dalam … Orang
yang mengenal Tuhan ….. Dia tidak pernah membiarkan dirinya sesat dijalan kesalahan. Jalan
yang ditempuhnya benar “uluk Wujil:
da Seperti halnya memuja Tuhan. Ia tidak terpaut
pada hal-hal yang tampak. Pun tidak membuatmu membeci orang yang dihukum dan dizalimi
(orang yang bersalah). Serta orang yang berselisih paham de ga diri ya “uluk Wujil:
.
4.5.

Tinjauan Atas Konsep Insan al-Khalifatullah (Manusia Wakil Tuhan)

Kaum Sufi (Bokhari dan Seddon: 2011) meyakini bahwa manusia merupakan wakil Tuhan
dimuka bumi (bahkan alam semestra). Manusia merupakan wadah yang menanggung hakekat
kebenaran Tuhan. Hubungan manusia dan Tuhan adalah hubungan yang khusus dibandingkan

dengan mahluk lainnya. Ditambah lagi, menurut ahli tasawuf (Bahri: 2010), kalbu manusia
hakikatnya diyakini sebagai wadah bersemayamnya kesejatian Tuhan. Meskipun, menurut ahli
tasawuf, tidak semua manusia dapat menjalankan tugasnya sebagai wakil Tuhan. Ahli tasawuf
menganggap yang berhak menjadi wakil Tuhan sempurna adalah manusia yang telah mengenal
Tuhan dan menerapkan (memanifestasikan) sifat-sifat kebaikan Tuhan dalam kehidupan seharihari. Dalam konteks ini, manusia menurut kaum Sufi (Bokhari dan Seddon: 2011), diberikan
kehendak (nafsu) oleh Tuhan sehingga memiliki kebebasan untuk melakukan hal baik maupun
hal buruk. Walau begitu, kehendak bebas tersebut tetap berkonsekuensi atas kekuasaan Tuhan
untuk memberi ganjaran (baik berupa pahala ataupun hukuman).
Menurut persepsi Laozy maupun Sunan Bonang, insan al-khalifah merupakan seorang
ya g telah e ge al Tuha da erjala sesuai peri tah Tuha . Mereka dise ut se agai sage
dala Tao Teh Chi g da arif dala “uluk “u a Bo a g – (sage/arif = bijaksana, dalam
dunia tasawuf, dikenal istilah al-arifun untuk manusia yang telah makrifat mem-fa a’-kan diri
kepada Tuhan). Seorang sage atau seorang arif menurut Laozy dan Sunan Bonang adalah
manusia yang telah sempurna pengenalan (epistemology) terhadap Tuhan sehingga dia
menaungi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan. Sage/arif, dalam Tao Teh Ching digambarkan melalui
lirik …Truly. Only he (sage) that rids himself forever of desire can se the Secret Essences; He (non
sage) that has never rid himself of desire can see only the Outcomes… Tao Teh Chi g: 1), … He
who has found the mother (Tao) and thereby understans her sons (things). And having
understood her sons, still keeps to its mother… Tao Teh Chi g:
, sedangkan dalam Suluk
“u a Bo a g diilustrasika de ga u gkapa …pelajari kaedah pencerahan kalbu. Dari orang
arif yang tahu. Agar kau mencapai hakikat. Yang merupakan sumber hayat “uluk Wujil:
.
Kesempurnaan manusia sebagai al-khalifah, dalam persepsi Laozy dan Sunan Bonang,
sejatinya terikat dengan ko teks kehendak bebas . Pada dasarnya, sebagaimana telah dibahas
diatas, hubungan antara Tuhan dan ciptaan-Nya (khususnya manusia) dalam Tao Teh Ching
maupun Suluk Sunan Bonang bersifat immanent-transendent (dekat tak terkira jauh tak
terhingga). Namun, dalam konteks ini, dengan kekuasaan absolut-Nya, Tuhan menyiptakan
suatu jembatan penghubung antara sifat ke-immanent-nan-Nya (dalam ciptaan-Nya) dengan
sifat-Nya yang sekaligus juga transcendent, yaitu kebebasan memilih.
Dalam Tao Teh Ching dan Suluk Sunan Bonang, kehendak bebas ibarat batasan antara
manusia yang ingin mendekati Tuhan dengan manusia yang ingin menjauhi Tuhan. Selain itu,
formulasi kehendak bebas ini layaknya juga suatu model batasan antara hakekat ketuhanan
terhadap keterikatan mutlak dengan ciptaan-Nya. Memang, kedua kitab ini merumuskan bahwa
hakikatnya, manusia merupakan wakil Tuhan di muka bumi yang harus berjalan sesuai kehendak
Tuhan (jalan kebaikan mengikuti sifat Tuhan dalam dirinya). Namun, dalam keberlansungannya,
kedua kitab ini juga menyiratkan bahwa Tuhan memunyai sistem tersendiri (rahasia-Nya) untuk
tidak membatasi gerak gerik manusia dalam menjalankan kehidupannya. Tuhan memberikan
kewenangan (izin) kepada manusia untuk mengatur jalan hidupnya masing-masing. Dengan kata
lain, Tuhan membebaskan manusia untuk memilih jalan yang benar yang diinginkan Tuhan
(dalam konsep kehendak Tuhan), ataupun jalan yang salah yang tidak disukai Tuhan (dalam
ko sep izi
Tuha
de ga
ara
e ekali
a usia de ga
kehendak bebas
(kemauan/nafsu).

Semua aspek tersebut disampaikan secara implisit dalam Tao Teh Ching melalui lirik
…Gi e irth to the a d ourish the . Gi e irth to the a d do ’t try to o
the . Help to
gro a d do ’t rule the . This is alled profou d irtue Tao Teh Chi g:
, da Tao is the
mysterious secret of the u i erse. The good a ’s treasure a d the ad a ’s refuge… Tao
Teh Ching: 62). Sama halnya, aspek kehendak bebas yang dimiliki manusia dalam Suluk Sunan
Bo a g diga arka
elalui lirik …seluruh anggota badannya digerakkan untuk beribadah.
Inilah kemauan murni sesuai de ga kehe dak Tuha
“uluk Wujil
da …melakukan
sholat atau berbuat kejahatan keduanya buah dari kemauan (kehendak) “uluk Wujil:
.
Dalam perjalanan hidupnya, seorang manusia yang berhasil mengendalikan kehendak
bebas tersebut akan berhasil menjalankan fungsinya sebagai kosmos alam semesta. Tao Teh
Ching dan Suluk Sunan Bonang menyatakan bahwa manusia yang dapat menghindari konsep izin
Tuhan dan berjalan sesuai kehendak-Nya akan menjadi tempat bernaung sifat-sifat kebaikan.
Arti keberadaan manusia tersebut akan terjawab dengan kesempurnaan statusnya sebagai wakil
(al-Khalifah) Tuhan di muka bumi. Manusia tersebut akan sadar bahwa keberadaannya telah
menjadi manifestasi sempurna