Produksi Embrio In Vitro Dari Oosit Hasil Autotransplantasi Heterotopik Ovarium Mencit

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL
AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK
OVARIUM MENCIT

NURBARIAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Produksi Embrio
In Vitro dari Oosit Hasil Autotransplantasi Heterotopik Ovarium Mencit adalah
benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
pernah dipublikasikan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Mei 2007

Nurbariah
NRP B051040021

ABSTRAK
NURBARIAH. Produksi Embrio In Vitro dari Oosit Hasil Autotransplantasi
Heterotopik Ovarium Mencit. Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan IMAN
SUPRIATNA.
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari kemampuan oosit yang
dikoleksi dari ovarium transplan heterotopik untuk produksi embrio in vitro dan
mengetahui pengaruh induksi pregnant mare’s serum gonadotrophin (PMSG)
terhadap peningkatan jumlah oosit dari ovarium transplan heterotopik. Teknik
transplantasi yang digunakan adalah heterotopik autotransplantasi pada kapsula
ginjal mencit betina umur empat minggu dengan perlakuan oosit hasil transplan
ovarium (OT) dan oosit hasil transplan ovarium dan induksi PMSG (OTP).
Dilakukan perlakuan pembanding tanpa transplantasi ovarium (OSO) dengan
mencit yang diinduksi PMSG dan human chorionic gonadothropin (hCG)
masing-masing dengan dosis 5 IU intraperitoneal (i.p.) interval 48 jam untuk
mendapatkan oosit matang in vivo. Induksi PMSG dilakukan 48 jam dan hCG 14

jam sebelum koleksi oosit. Koleksi oosit dari ovarium transplan dilakukan pada
hari ke-21 setelah transplantasi kemudian dimatangkan secara in vitro selama 24
jam. Oosit hasil pematangan in vivo dan in vitro difertilisasi in vitro dengan
sperma vas deferen mencit jantan dilanjutkan dengan kultur perkembangan
embrio. Pematangan dan fertilisasi oosit serta kultur embrio in vitro menggunakan
medium kalium simplex optimized medium (KSOM) pada inkubator CO2 5% suhu
37 ºC. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa jumlah oosit yang dikoleksi dari
perlakuan OT dan OTP tidak berbeda secara signifikan namun kedua perlakuan
tersebut menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan perlakuan OSO. Oosit
yang mencapai metafase II (Mt-II) pada perlakuan OT (52.38%) dan OTP
(53.19%) secara signifikan tidak berbeda namun menunjukkan perbedaan
signifikan dengan perlakuan OSO (84.85%). Tingkat fertilisasi tidak berbeda
secara signifikan diantara ketiga perlakuan namun perkembangan embrio
menunjukkan perbedan signifikan antara perlakuan OSO (60.19%) dengan OT
(30.43%) dan OTP (30%). Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh
disimpulkan bahwa dari ovarium transplan heterotopik dapat dihasilkan oosit
yang dapat digunakan untuk produksi embrio in vitro. Induksi dengan
menggunakan PMSG tidak mempengaruhi perolehan jumlah oosit yang dikoleksi
dari ovarium transplan. Oosit hasil transplantasi ovarium menunjukkan
kemampuan untuk matang in vitro mencapai tahap Mt-II dan setelah difertilisasi

mampu berkembang menjadi embrio.
Kata kunci: ovarium, oosit, embrio in vitro, autotransplantasi heterotopik, induksi
PMSG.

ABSTRACT
NURBARIAH. Embryo In Vitro Production Using Oocytes Collected from
Heterotopic Autografted Mice Ovary. Under the direction of ITA DJUWITA and
IMAN SUPRIATNA.
The aim of this study was to examine the capability of oocyte collected
from heterotopic autografted mice ovary in embryo in vitro production and the
influenced of pregnant mare’s serum gonadotrophin (PMSG) induction on the
number of oocytes collected from heterotopic autografted mice ovary. Ovarian
tissue from four weeks old mice were transplanted under the kidney capsules of
ovariectomized mice. The grafted mice were grouped into two; group one was
mice without induction PMSG (OT) and group two treated with 5 IU PMSG
induction (OTP). The third group was mice without grafted ovary and treated with
PMSG and human chorionic gonadothropin (hCG) induction (OSO). Induction of
PMSG was injected 48 hours before oocytes collection while hCG was injected 14
h before oocytes collection. Tweenty one days after grafting or fourty eight h after
PMSG injection, oocytes were collected from the two groups and matured in vitro

for 24 h. Matured oocytes were then fertilized in vitro with vas deferens sperm
followed by embryo in vitro development. Oocytes in vitro maturation and
fertilization and embryo in vitro development were done in kalium simplex
optimized medium (KSOM) in 5% CO2 incubator. The results showed that the
number of oocytes collected from group OT and OTP were not significantly
different, but both showed significantly different with the OSO group. Under in
vitro culture conditions, the number of matured oocytes that reached metaphase-II
stage in group OT (52.38%) and OTP (53.19%) were not significantly different,
but significantly different with those from group OSO (84.85%). Although the
oocytes fertilization rate were not significantly different among the three groups,
the embryo development rate showed significantly different between OSO
(60.19%) with OT (30.43%) and OTP (30%). In conclusion, the oocytes collected
from heterotopic grafted ovary can be used in embryo in vitro production after
sequential matured and fertilized in vitro. The induction of PMSG on the mice
with grafted ovary did not increased the collected number of oocytes.
Keywords: ovary, oocyte, embryo in vitro, heterotopic autografted, PMSG
induction

RINGKASAN
NURBARIAH. Produksi Embrio In Vitro dari Oosit Hasil Autotransplantasi

Heterotopik Ovarium Mencit. Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan IMAN
SUPRIATNA.
Transplantasi jaringan ovarium dapat digunakan sebagai metoda alternatif
penyimpanan dan penyelamatan ovarium dalam rangka penyelamatan fungsi
reproduksi dan salah satu upaya mendukung konservasi satwa langka. Ovarium
dapat ditransplantasi pada kapsula ginjal karena memiliki sistem vaskularisasi
yang baik sehingga akan mempercepat persembuhan ovarium dan perkembangan
folikel pascatransplantasi sehingga ovarium masih dapat digunakan dalam
program produksi embrio in vitro. Perkembangan folikel pada ovarium dapat
diinduksi dengan hormon gonadotrophin eksogenous sehingga penyuntikan
pregnant mare’s serum gonadothropin (PMSG) sebelum pengambilan ovarium
transplan dapat mengoptimalkan perolehan oosit untuk digunakan dalam produksi
embrio in vitro. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari
kemampuan oosit yang dikoleksi dari ovarium transplan heterotopik untuk
produksi embrio in vitro dan mengetahui pengaruh induksi PMSG terhadap
peningkatan jumlah oosit dari ovarium transplan heterotopik.
Teknik transplantasi yang digunakan adalah heterotopik autotransplantasi
pada kapsula ginjal mencit betina umur empat minggu dengan perlakuan oosit
hasil transplan ovarium (OT) dan oosit hasil transplan ovarium dan induksi PMSG
(OTP). Dilakukan perlakuan pembanding tanpa transplantasi ovarium (OSO)

dengan mencit yang diinduksi PMSG dan human chorionic gonadothropin (hCG)
masing-masing dengan dosis 5 IU intraperitoneal (i.p.) interval 48 jam untuk
mendapatkan oosit matang in vivo. Induksi PMSG dilakukan 48 jam dan hCG 14
jam sebelum koleksi oosit. Koleksi oosit dari ovarium transplan dilakukan pada
hari ke-21 setelah transplantasi kemudian dimatangkan secara in vitro selama 24
jam. Oosit yang mencapai tahap metafase II (Mt-II) ditandai dengan terbentuknya
polar bodi I. Tingkat pematangan dihitung dari jumlah oosit yang mencapai Mt-II
per jumlah oosit yang dikultur. Oosit hasil pematangan in vivo dan in vitro
difertilisasi in vitro dengan sperma vas deferen mencit jantan dilanjutkan dengan
kultur perkembangan embrio. Keberhasilan fertilisasi ditandai dengan
terbentuknya pronukleus jantan dan betina. Tingkat fertilisasi dihitung dari jumlah
oosit yang terfertilisasi per jumlah oosit yang diinseminasi. Perkembangan embrio
diperoleh dengan menghitung jumlah embrio yang berhasil membelah
dibandingkan dengan jumlah yang dikultur. Pematangan dan fertilisasi oosit serta
kultur embrio in vitro menggunakan medium kalium simplex optimized medium
(KSOM) pada inkubator CO2 5% suhu 37 ºC. Data yang diperoleh dari hasil
penelitian dianalisis dengan sidik ragam menggunakan general linear method
(GLM). Perbedaan antar perlakuan diuji dengan Duncan multiple range test
(DMRT).
Keberhasilan transplantasi ovarium di kapsula ginjal ditandai dengan

terjadinya pertumbuhan dan perkembangan folikel serta dibuktikan dengan
terdapatnya oosit yang berhasil dikoleksi dari folikel antral. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa jumlah oosit yang dikoleksi dari perlakuan OT (9±2.83 per
ekor dan 4.5±1.41 per ovarium) dan OTP (10.9±5.10 per ekor dan 5.45±2.55 per

ovarium) tidak berbeda secara signifikan namun kedua perlakuan tersebut
menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan perlakuan OSO (17.6±5.69 per
ekor dan 8.77±2.84 per ovarium). Secara alamiah oosit yang dapat diovulasikan
oleh mencit tanpa induksi gonadotrophin adalah 7-13 oosit tergantung strain.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa induksi PMSG tidak meningkatkan jumlah
oosit pada ovarium transplan heterotopik. Hal ini disebabkan kemungkinan lokasi
transplantasi ovarium (heterotopik) tidak dapat memberikan respon terhadap
induksi gonadotrophin secara normal. Namun demikian, dengan teknik
transplantasi ovarium heterotopik memungkinkan ovarium digunakan sebagai
sumber oosit untuk dapat dipergunakan lebih lanjut.
Oosit yang mencapai metafase II (Mt-II) pada perlakuan OT (52.38%) dan
OTP (53.19%) secara signifikan tidak berbeda namun menunjukkan perbedaan
signifikan dengan perlakuan OSO (84.85%). Hal ini menunjukkan bahwa oosit
dari ovarium transplan heterotopik memiliki viabilitas untuk matang in vitro
mencapai Mt-II selain itu tidak terdapat perbedaan secara signifikan hasil oosit

yang mencapai Mt-II antara perlakuan OT (52.38%) dan OTP (53.19%) diduga
bahwa induksi PMSG secara in vivo terhadap ovarium transplan heterotopik tidak
mempengaruhi jumlah dan kualitas oosit yang terkoleksi sehingga tidak
mempengaruhi tingkat pematangan oosit secara in vitro. Dalam kultur
pematangan oosit in vitro, kualitas oosit dan medium mempengaruhi tingkat
pematangan oosit. Oosit yang dikoleksi dari perlakuan OT dan OTP hanya oosit
yang dikelilingi oleh sel-sel kumulus kompak, karena keberadaan sel-sel kumulus
dapat mendukung proses pematangan in vitro oosit sehingga inti oosit dapat
mencapai tahap Mt-II. Medium yang digunakan dalam pematangan oosit in vitro
dapat memberikan pengaruh bukan hanya pada oosit tapi juga terhadap
perkembangan embrio.
Jumlah oosit yang terfertilisasi in vitro (tingkat fertilisasi) pada perlakuan
OT (52.50%), OTP (66.67%) dan OSO (64.38%) tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa oosit yang diperoleh dari ovarium
transplan heterotopik dan matang secara in vitro mampu terfertilisasi. Tidak
semua oosit yang telah matang baik secara in vitro maupun in vivo mampu
terfertilisasi. Kegagalan fertilisasi dapat dipengaruhi oleh tingkat pematangan
oosit (baik inti dan sitoplasma), kemampuan sperma membuahi oosit (kapasitasi
dan reaksi akrosom) dan kegagalan sperma mengalami kondensasi dalam
sitoplasma oosit sehingga terjadi kegagalan pembentukan pronukleus (PN) jantan.

Oleh karena itu walaupun oosit yang berasal dari pematangan in vivo (OSO) telah
mengalami pematangan inti dan sitoplasma namun tingkat fertilisasi in vitro juga
dipengaruhi oleh kualitas dan kemampuan sperma yang digunakan. Keberhasilan
fertilisasi sangat ditentukan oleh interaksi antara oosit dengan sperma dan
medium. Kemampuan oosit respon terhadap aktivasi sperma menunjukkan
keberhasilan pematangan oosit. Sehingga meskipun sperma mampu memasuki
oosit namun ketidakcukupan pematangan pada oosit akan menyebabkan proses
selanjutnya terhambat sehingga menyebabkan kegagalan fertilisasi. Kemampuan
oosit untuk merespon penetrasi sperma diperoleh secara bertahap sebelum ovulasi
ketika oosit mengalami pematangan inti dan sitoplasma.
Persentase perkembangan embrio yang mencapai tahap pembelahan 2-4
sel pada perlakuan OT (30.43%) dan OTP (30.00%) tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan, namun jika kedua perlakuan (OT dan OTP)

dibandingkan dengan perlakuan OSO (60.19%) menunjukkan perbedaan yang
signifikan. Terdapat perbedaan persentase antara perlakuan OT (30.43%) dan
OTP (30.00%) akan tetapi setelah diuji secara statistik perkembangan embrio
yang diperoleh secara signifikan tidak berbeda. Hal ini diduga karena oosit yang
diperoleh pada perlakuan OT dan OTP berasal dari pematangan in vitro. Diduga
bahwa dalam proses pematangan oosit in vitro terjadi ketidaksempurnaan

pematangan terutama pematangan sitoplasma. Pematangan inti dapat diamati
secara jelas yang ditandai dengan pengeluaran polar bodi namun pematangan
sitoplasma dapat diketahui dari kemampuan oosit terfertilisasi dan kemampuan
perkembangan embrio. Ketidakcukupan proses pematangan sitoplasma pada oosit
akan mempengaruhi perpindahan atau pertukaran kontrol perkembangan maternal
ke embrio dan akan mempengaruhi perkembangan embrio. Pada penelitian ini
tingkat perkembangan embrio yang diperoleh dari perlakuan transplantasi masih
sangat rendah. Seperti hasil dari koleksi oosit, pematangan dan fertilisasi in vitro
pada penelitian ini, pemberian PMSG pada ovarium transplan heterotopik tidak
memberikan pengaruh yang berbeda termasuk dalam perkembangan embrio. Hal
ini diduga karena perkembangan embrio in vitro dipengaruhi oleh kualitas oosit
dan medium yang digunakan. Perbedaan kondisi kultur mempengaruhi faktorfaktor sitoplasma sehingga mempengaruhi kemampuan oosit untuk terfertilisasi
dan keberhasilan embriogenesis. Perkembangan tahap awal embrio tergantung
pada lingkungan pematangan oosit, ketika sistem pematangan in vitro tidak
memberikan lingkungan yang cocok bagi oosit walaupun dapat terbentuk
kematangan inti dan terjadi fertilisasi namun hasil akhir adalah rendahnya
perkembangan embrio yang diperoleh. Oleh karena itu kualitas embrio dapat
ditingkatkan dengan kultur pada kondisi lingkungan yang optimal.
Berdasarkan hasil yang diperoleh maka disimpulkan bahwa dari ovarium
transplan heterotopik dapat dihasilkan oosit yang memiki potensi untuk digunakan

dalam produksi embrio in vitro. Induksi dengan menggunakan PMSG tidak
mempengaruhi perolehan jumlah oosit yang dikoleksi dari ovarium transplan
heterotopik. Oosit hasil transplantasi ovarium menunjukkan kemampuan untuk
matang in vitro mencapai tahap metafase II dan setelah difertilisasi mampu
berkembang menjadi embrio.
Kata kunci: ovarium, oosit, embrio in vitro, autotransplantasi heterotopik, induksi
PMSG.

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL
AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK
OVARIUM MENCIT

NURBARIAH

Tesis
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

Judul Tesis
Nama
NRP

: Produksi Embrio In Vitro dari Oosit Hasil Autotransplantasi
Heterotopik Ovarium Mencit
: Nurbariah
: B051040021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. drh. Ita Djuwita, M.Phil
Ketua

Dr. drh. Iman Supriatna
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biologi
Reproduksi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. drh. Tuty L. Yusuf, M.S

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

Tanggal Ujian : 11 Mei 2007

Tanggal Lulus : 24 Mei 2007

PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur senantiasa kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan karunia dan rahmat-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini
berhasil diselesaikan. Penelitian yang telah dilaksanakan mengangkat tema
mengenai transplantasi dengan judul Produksi Embrio In Vitro dari Oosit Hasil
Autotransplantasi Heterotopik Ovarium Mencit.
Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tinggi kepada
Ibu Dr. drh Ita Djuwita, M.Phil dan Bapak Dr. drh. Iman Supriatna selaku ketua
dan anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan, nasehat, masukan dan saran serta dorongan semangat
yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
merampungkan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga ditujukan pada Bapak Dr.
drh. Agus Setiadi sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan masukan
dan saran kepada penulis. Terima kasih kepada Ibu Dr. drh. Tuty L. Yusuf, M.S,
selaku Ketua Program Studi Biologi Reproduksi beserta seluruh staf pengajar
Program Studi Biologi Reproduksi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi
FKH IPB. Terima kasih kepada Laboratorium Embriologi, Departemen Anatomi,
Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB serta Unit Pelaksana Teknis (UPT) Hewan
Laboratorium FKH IPB atas bantuan fasilitas pendukung sehingga penelitian
dapat berjalan dengan baik.
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada drh.
Wahono Esthi Prasetyaningtyas M.Si, drh. Hamny, M.Si, Dr. drh. I Wayan Batan,
M.Si, Ir. Thomas Mata Hine, M.Si, Ir. Bayu Rosadi, M.Si, Wito Prawigit, M.Si,
Suparmin Fathan, M.Si, Heppi Iromo, M.Si, Roza Helmita, S.Si, Yanie P.
Ritonga, M.Si, Yuli Erina, M.Si, Elita Agustina, M.Si, Dhona Arianti, M.Si,
Adnan Albahry, M.Si, Bonita Ayu Novelani, M.Si, Nurul, M.Si, Anovia, SP, Ida,
S.Si, Nadia, S.Pi, drh. Ena, drh. Rini, Evi, S.Pi, Rinrin, SP, Uca, S.Pi, Silvi, S.Hut,
rekan-rekan mahasiswa Program Studi Biologi Reproduksi, keluarga besar
Laboratorium Embriologi dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu
persatu, atas semangat, bantuan dan dorongan yang diberikan.

Terima kasih tak terhingga selamanya kepada yang tercinta ayahanda dan
ibunda serta saudaraku tersayang (Kak Fitri, Iir dan Beni) atas segala cinta, doa,
dukungan semangat, dukungan moril dan materil yang tiada henti diberikan
kepada penulis selama ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga tesis ini dan apa yang telah
dihasilkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, bagi pembaca
pada umumnya dan penulis pada khususnya.

Bogor, Mei 2007

Nurbariah

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 25 Oktober 1978 dari
pasangan H. Poniman Usman dan Dra. Hj. Sarwati Hamzah. Penulis merupakan
putri ke dua dari empat bersaudara.
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
dan gelar sarjana diraih pada tahun 2003. Pada tahun 2004, penulis diterima
sebagai mahasiswa program master pada Program Studi Biologi Reproduksi,
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL............................................................................................

xiv

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................

xv

DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................

xvi

PENDAHULUAN
Latar Belakang ........................................................................................
Tujuan Penelitian ....................................................................................
Manfaat Penelitian ..................................................................................

1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Folikel dan Oosit ............................................................
Autotransplantasi Heterotopik Ovarium .................................................
Superovulasi............................................................................................
Pematangan Oosit In Vitro ......................................................................
Fertilisasi In Vitro ...................................................................................
Perkembangan Embrio In Vitro ..............................................................

4
8
10
12
14
18

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat penelitian .................................................................
Materi Penelitian .....................................................................................
Rancangan Percobaan .............................................................................
Metode Penelitian
Koleksi Ovarium ...............................................................................
Autotransplantasi Heterotopik ..........................................................
Koleksi Oosit dari Ovarium Transplan Heterotopik .........................
Pematangan Oosit In Vitro ................................................................
Fertilisasi Oosit In Vitro....................................................................
Perkembangan Embrio In Vitro ........................................................
Evaluasi Data ..........................................................................................
Analisis Data ...........................................................................................

22
22
22
23
23
24
24
24

HASIL DAN PEMBAHASAN
Koleksi Oosit dari Ovarium Transplan Heterotopik ...............................
Pematangan Oosit In Vitro .....................................................................
Fertilisasi In Vitro ...................................................................................
Perkembangan Embrio In Vitro ..............................................................

25
27
30
32

SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................

35

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

36

LAMPIRAN.....................................................................................................

45

21
21
21

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jumlah oosit terkoleksi dari ovarium transplan dengan dan tanpa induksi
PMSG.........................................................................................................

25

2 Tingkat fertilisasi oosit secara in vitro .......................................................

31

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Perkembangan folikel ................................................................................

6

2 Aktivitas meiosis pada oosit ......................................................................

7

3 Proses rekrutmen, seleksi dan dominan pada ovarium selama
perkembangan folikel.................................................................................

11

4

Interaksi oosit-sperma dalam proses fertilisasi ..........................................

15

5 Perubahan pada sperma selama reaksi akrosom ........................................

17

6 Oosit yang mampu mencapai kematangan tahap metafase II ....................

27

7 Pematangan oosit secara in vitro................................................................

29

8 Oosit terfertilisasi in vitro ..........................................................................

30

9 Perbandingan perkembangan embrio in vitro dari perlakuan transplantasi
dan tanpa transplantasi ...............................................................................

32

10 Perkembangan embrio in vitro ...................................................................

33

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Komposisi medium koleksi ovarium dan oosit (phosphate buffered
saline).........................................................................................................

45

2 Komposisi medium KSOM........................................................................

46

3 Pengenceran hormon superovulasi.............................................................

48

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Reproduksi merupakan aktivitas yang penting bagi keberlangsungan hidup
suatu spesies. Aktivitas reproduksi dapat berhadapan dengan kendala yang
menyebabkan prosesnya terganggu antara lain akibat campur tangan manusia pada
suatu populasi spesies dan kematian mendadak pada hewan langka yang
menyebabkan berkurangnya jumlah populasi suatu spesies hewan tertentu. Pada
wanita, organ reproduksi dapat terganggu karena pengaruh efek samping dari
kemo- atau radioterapi pada pengobatan penyakit kanker yang dapat
mempengaruhi ovarium sebagai organ reproduksi primer.
Dalam fungsinya sebagai organ reproduksi primer, ovarium merupakan
penghasil sel telur (oosit) dan hormon. Oosit pada ovarium berkembang
bersamaan dengan perkembangan folikel. Saat lahir pada korteks ovarium
mamalia terdapat banyak kumpulan folikel primordial sebagai sumber oosit yang
akan berkembang dan dapat mencapai tahap ovulasi saat pubertas (Fortune 1994).
Pada hewan langka yang mati atau hewan ternak yang dipotong, pada korteks
ovarium masih dapat ditemukan folikel primordial dalam jumlah banyak dan
dapat digunakan lebih lanjut. Bahkan pada wanita muda pasien kanker yang akan
menjalani kemo- atau radioterapi dilakukan ovariektomi sebelum terapi agar
ovarium dapat disimpan beku dan digunakan kembali kemudian hari pascaterapi.
Koleksi jaringan ovarium yang mengandung folikel primordial dapat dilakukan
setiap saat tanpa memperhatikan usia atau siklus estrus dan pemanfaatan folikel
primordial merupakan salah satu cara untuk penyimpanan oosit dalam jumlah
besar (Shaw et al. 2000).
Terdapat beberapa metoda pemanfaatan ovarium yang telah dikembangkan
untuk penyelamatan fertilitas antara lain penyimpanan jaringan ovarium yang
mengandung folikel primordial secara in vitro dalam bentuk beku untuk jangka
waktu yang lama atau penyimpanan secara in vivo dengan teknik transplantasi
(Sonmezer & Oktay 2004) dan kultur in vitro jaringan ovarium atau folikel
preantral (Wu et al. 2001). Transplantasi ovarium merupakan pemindahan
sebagian atau seluruh jaringan ovarium. Prosedur transplantasi dilakukan untuk

penyimpanan ovarium dan perkembangan folikel secara in vivo. Folikel preantral
terutama folikel primordial dan primer dari ovarium beku atau segar dapat
dipergunakan kembali dengan menumbuhkan secara in vivo menggunakan teknik
transplantasi atau dikultur in vitro untuk perkembangan mencapai folikel antral
dan menghasilkan oosit matang (Liu et al. 2000, Newton & Illingworth 2001).
Oosit yang dikoleksi dari folikel antral ovarium hasil transplantasi masih dapat
dimatangkan, difertilisasi dan dikultur in vitro hingga diperoleh embrio
selanjutnya embrio dapat ditransfer ke induk resipien untuk menghasilkan
keturunan (Liu et al. 2001). Selain itu beberapa penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan keberhasilan transplantasi ovarium ternyata dapat memulihkan
fungsi reproduksi pada mencit (Candy et al. 2000, Mohammad et al. 2004),
primata (Schnorr et al. 2002) dan manusia (Silber et al. 2005).
Berdasarkan hubungan donor dan resipien, transplantasi dapat dilakukan
pada individu yang sama (autotransplantasi); individu yang berbeda tapi masih
satu spesies (allotransplantasi) atau individu yang berbeda dari spesies yang
berbeda (xenotransplantasi). Pada autotransplantasi hampir tidak ada penolakan
jaringan oleh tubuh resipien karena ovarium yang ditransplantasikan merupakan
jaringan individu sendiri. Berdasarkan tempat transplantasi, ovarium dapat
ditransplantasikan di tempat semula (ortotopik) pada bursa ovarium (Candy et al.
2000) dan di tempat lain (heterotopik) diluar bursa ovarium seperti subkutan
(Mohammad et al. 2003, Schnorr et al. 2002), kapsula ginjal (Gook et al. 2001,
Liu et al. 2001) dan intraperitoneal (Rosendahl et al. 2006, Salehnia 2002).
Transplantasi secara ortotopik umum dilakukan jika ingin melihat viabilitas
ovarium sampai dihasilkan keturunan. Pada transplantasi heterotopik meskipun
evaluasi tidak dapat dilakukan sampai dihasilkan keturunan karena tidak
memungkinkan untuk terjadi ovulasi dan fertilisasi secara in vivo, akan tetapi
masih dapat dikoleksi folikel atau oosit dari ovarium transplan dan dapat
dikembangkan secara in vitro.
Daerah kapsula ginjal merupakan salah satu tempat yang sering digunakan
untuk transplantasi heterotopik. Pada daerah kapsula ginjal, besar dan jumlah
potongan jaringan ovarium yang dapat ditransplantasikan terbatas akan tetapi
tempat ini memiliki vaskularisasi yang baik (Cox et al. 1996). Autotransplantasi

ovarium pada kapsula ginjal dapat mengembalikan fungsi reproduksi pada hari
ketujuh setelah transplantasi dengan kembalinya siklus estrus, morfologi dan
jumlah folikel (Mohamad 2003).
Hormon gonadotrophin eksogenous umum digunakan pada manusia dan
hewan untuk menginduksi perkembangan folikel sehingga meningkatkan jumlah
oosit yang dapat dipergunakan dalam bidang biologi dan teknologi reproduksi
bantuan (Zudova et al. 2004). Oleh karena itu penyuntikan pregnant mare’s
serum gonadotrophin (PMSG) sebelum pengambilan ovarium transplan
heterotopik dapat mengoptimalkan perolehan oosit untuk digunakan dalam
produksi embrio in vitro. Berdasarkan pengamatan histologis, perlakuan dengan
induksi

PMSG

terhadap

ovarium

transplan

heterotopik

terbukti

dapat

meningkatkan jumlah folikel tersier (Setiadi 2004). Namun demikian gambaran
histologis hanya memberikan informasi tentang perkembangan folikel. Untuk
dapat dipergunakan pada produksi embrio in vitro maka harus diketahui viabilitas
oosit yang dapat diperoleh dari ovarium setelah transplantasi. Sehingga diperlukan
kajian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh induksi PMSG terhadap jumlah
dan viabilitas oosit dari ovarium transplan heterotopik. Hal ini akan memberikan
informasi tambahan potensi ovarium sebagai sumber oosit sehingga dapat
digunakan untuk produksi embrio in vitro.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari kemampuan oosit yang
dikoleksi dari ovarium autotransplantasi heterotopik untuk produksi embrio in
vitro dan mengetahui pengaruh induksi PMSG terhadap peningkatan jumlah oosit
dari ovarium autotransplantasi heterotopik.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
transplantasi ovarium dan viabilitas oosit yang diperoleh. Sehingga dapat
diaplikasikan untuk mendukung pemanfaatan ovarium bagi pembentukan bank
gamet/embrio serta mendukung salah satu upaya konservasi satwa langka melalui
teknologi reproduksi bantuan.

TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Folikel dan Oosit
Secara anatomis, organ reproduksi betina terdiri atas sepasang ovarium
dan saluran reproduksi yaitu tuba Falopii, uterus, serviks dan vagina. Ovarium
merupakan organ reproduksi primer dengan ukuran yang bervariasi antara spesies.
Sebagai organ reproduksi primer, ovarium berfungsi untuk menghasilkan oosit
yang berkembang bersama dengan perkembangan folikel. Oleh karena itu folikel
ovarium disebut juga sebagai unit struktural dan fungsional dari ovarium yang
merupakan lingkungan yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan oosit
(Itoh et al. 2002). Selain menghasilkan oosit, ovarium juga menghasilkan hormon
reproduksi seperti estrogen dan progesteron. Ovarium terletak di dalam rongga
pelvis pada ventral ginjal terbungkus dalam suatu bursa ovarium yang transparan,
menggantung dan bertaut melalui mesovarium ke uterus. Berdasarkan dari
gambaran histologis terlihat bahwa ovarium terbagi atas dua bagian yaitu korteks
(bagian lateral) dan medula (bagian medial). Pada korteks ovarium dapat
ditemukan kumpulan folikel dengan berbagai tahapan perkembangan. Folikelfolikel ini akan berkembang menjadi folikel matang dan mengovulasikan oosit
sedangkan pada bagian medula ovarium terdapat pembuluh darah, saraf dan
jaringan ikat (Senger 1999). Bagian korteks dilapisi oleh satu lapisan epitelium
kuboid rendah dan stroma pada bagian korteks terdiri atas jaringan ikat longgar.
Perkembangan folikel di dalam ovarium dikenal dengan nama
folikulogenesis merupakan proses perkembangan folikel yang berawal dari
terbentuknya folikel primordial sampai berkembang menjadi folikel matang dan
siap melakukan proses ovulasi. Folikel primordial akan berkembang menjadi
folikel primer, sekunder, tersier, de Graaf dan pada akhirnya oosit akan
diovulasikan. Proses folikulogenesis ini disertai dengan proses pertumbuhan dan
pematangan oosit yang merupakan bagian dari proses oogonesis yaitu proses yang
menghasilkan oosit yang haploid. Perkembangan folikel pada ovarium
dipengaruhi oleh endokrin dan mekanisme intraovarian yang mengatur proses
pertumbuhan oosit dan proliferasi serta diferensiasi sel somatik (Itoh et al. 2002,
Thomas & Van der Hayden 2006). Perkembangan folikel tergantung pada
keberadaan faktor yang merangsang pertumbuhan folikel dan menghindarkan

folikel dari peristiwa apoptosis. Faktor yang mempengaruhi perkembangan folikel
antara lain gonadotrophin, hormon steroid dan beberapa faktor pertumbuhan
(Quirk et al. 2004). Follicle stimulating hormone (FSH) merupakan
gonadotrophin yang berperan dalam proses proliferasi dan diferensiasi folikel
sedangkan estrogen adalah hormon yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka
diketahui berperan dalam pembentukan rongga folikel. Diantara beberapa faktor
pertumbuhan yang berperan dalam perkembangan folikel adalah epidermal
growth factor (EGF), transforming growth factor (TGF), basic fibroblast-like
growth factor (bFGF), vascular epithelial growth factor (VEGF) dan nerve
growth factor (NGF) (Van den Hurk et al. 1997).
Perkembangan folikel berdasarkan morfologinya dapat dibedakan atas
folikel preantral dan folikel antral. Folikel preantral merupakan tahapan folikel
yang belum memiliki antrum sedangkan folikel antral merupakan tahapan folikel
yang telah memiliki antrum. Saat lahir pada korteks ovarium mamalia terdapat
banyak kumpulan folikel primordial dan dapat dipergunakan sebagai sumber
oosit. Folikel primordial yang terdapat pada korteks ovarium memiliki jumlah
yang lebih banyak dibanding folikel antral. Folikel primordial merupakan bentuk
awal dari folikel yang mengandung oosit diselaputi oleh selapis sel somatis
berbentuk pipih. Folikel primordial akan mengalami pertumbuhan menjadi folikel
primer dan sekunder, ketiga bentuk folikel ini digolongkan ke dalam folikel
preantral. Tahap pertama pertumbuhan folikel primordial adalah pembesaran oosit
yang meningkat diameternya menjadi dua sampai tiga kali lipat. Kemudian diikuti
dengan perubahan bentuk lapisan sel-sel granulosa yang mengelilingi oosit dari
bentuk pipih menjadi kuboid dan tahapan folikel ini disebut folikel primer.
Selanjutnya tahapan pembentukan folikel sekunder adalah proliferasi dari sel
kuboid akan membentuk beberapa lapisan sel granulosa dan terbentuk sebuah
membran (zona pelusida) yang mengelilingi oosit. Oosit dan sel granulosa
berperan dalam proses pembentukan zona pelusida yang mengandung
glikoprotein yang berperan pada proses pelekatan spermatozoa pada oosit (Robker
& Richard 1998).
Pada tahapan folikel primordial dan primer, komunikasi antara oosit
dengan sel granulosa dilakukan melalui jalur endositotik yang ditandai dengan

banyaknya vesikel dan celah pada oosit (Gambar 1) dan setelah memasuki tahap
folikel sekunder, komunikasi dilakukan melalui gap junction yang terbentuk
diantara oosit dan sel granulosa (Hyttel et al. 1997, Hogan et al. 1994).
Komunikasi diantara sel granulosa dan oosit bertanggung jawab terhadap
perubahan biokimia yang penting bagi potensi perkembangan dan proses meiosis
oosit. Nutrisi dan elemen pengatur yang bertanggung jawab terhadap
pertumbuhan oosit dan mempertahankan istirahat meiosis dan juga substrat untuk
pertumbuhan dan pematangan dilewatkan melalui gap junction (Barnes 2000).

Gambar 1 Perkembangan folikel (Hogan et al. 1994).

Sesudah tahap awal pertumbuhan proliferasi, massa sel granulosa
mensekresi cairan folikular yang mengandung estrogen dalam konsentrasi tinggi.
Penumpukan cairan ini menyebabkan munculnya antrum di dalam massa sel
granulosa, tahap ini disebut folikel tersier (Van den Hurk et al. 1997). Diameter
folikel semakin meningkat akibat adanya proliferasi sel granulosa serta
pembentukan antrum folikuli yang semakin membesar karena produksi cairan
folikuli yang semakin meningkat pula sehingga oosit terdesak ke bagian tepi
folikel. Pertumbuhan folikel pada tahap ini akan tergantung pada hormon
gonadotrophin untuk mencapai folikel de Graaf sehingga oosit dapat diovulasikan
(McGee & Hsueh 2000). Berdasarkan keberadaan antrum atau rongga pada folikel

tersier dan de Graaf maka perkembangan folikel tahap ini digolongkan ke dalam
folikel antral.
Proses

folikulogenesis

disertai

dengan

proses

oogenesis

yaitu

pertumbuhan dan perkembangan oosit mencapai pematangan. Pertumbuhan oosit
antara lain peningkatan diameter oosit dan pertambahan ukuran dari organelorganel. Pertumbuhan oosit disertai dengan perubahan atau perkembangan pada
inti dan sitoplasma. Pada saat lahir, semua oosit primer berada pada fase profase
tahap diploten pembelahan meiosis dan akan tetap bertahan dalam fase ini sampai
mengalami pubertas (Telfer 1996). Diameter oosit pada mencit saat berada dalam
fase profase meiosis I berukuran 20 µm meningkat mencapai diameter 85 µm
pada oosit primer dalam folikel de Graaf (Hogan et al. 1994). Umumnya
perkembangan oosit pada mamalia sampai dengan diovulasikan mengalami dua
fase istirahat yaitu pada tahap profase meiosis I dan tahap metafase II pada
meiosis II (Whitaker 1996). Inti oosit pada folikel berada dalam keadaan istirahat
pada fase G2 atau tahap germinal vesicle (GV) pada pembelahan meiosis I.
Kemudian proses meiosis tersebut akan berlanjut diawali dengan robeknya
membran inti dikenal dengan tahap germinal vesicle breakdown (GVBD), terjadi
kondensasi kromosom inti kemudian oosit memasuki tahap istirahat pada
metafase II dan mengeluarkan polar bodi I (Kidson 2005). Pengeluaran polar bodi
I (Gambar 2) digunakan sebagai ciri atau bukti kematangan inti oosit dan tahapan
ini disebut oosit sekunder (Schramm & Bavister 1999).

Gambar 2 Aktivitas meiosis pada oosit (Johnson & Everitt 1995).

Tahap istirahat oosit pada metafase II karena tingginya aktivitas
maturation/m-phase promoting faktor (MPF) yang bertanggung jawab terhadap
kondensasi kromatin, pecahnya membran inti (GVBD) dan pembentukan
kumparan sitoskeleton. Aktivitas MPF tergantung pada interaksi antara protein
cyclin dan P34cdc2 (Alberior et al. 2001, Barnes 2000). Pembelahan meiosis II
yaitu tahapan metafase II akan berlanjut jika ada sperma yang mampu
mempenetrasi dan membuahi oosit (fertilisasi). Selesainya pembelahan meiosis II
ditandai dengan dilepaskan polar bodi II (Moore 1989). Selain perkembangan inti
selama proses perkembangan oosit juga terjadi penambahan kandungan
sitoplasma oosit dengan meningkatnya jumlah organel seperti retikulum
endoplasmik, ribosom, granul kortek, lipid droplet dan komplek golgi serta
akumulasi mRNA (Hyttel et al. 1997, Cha & Chian 1998).

Autotransplantasi Heterotopik Ovarium
Transplantasi ovarium merupakan tindakan pemindahan sebagian atau
seluruh jaringan ovarium ke daerah yang diinginkan. Berdasarkan hubungan
antara donor dan resipien maka transplantasi ovarium dapat dibedakan atas auto-,
allo- dan xenotransplantasi. Autotransplantasi ovarium adalah pemindahan
jaringan ovarium dilakukan pada individu yang sama (Mohammad et al. 2004),
jaringan ovarium yang dipindahkan dari donor ke individu yang berbeda tapi
masih satu spesies disebut allotransplantasi (Waterhouse et al. 2004) sedangkan
pada xenotransplantasi ovarium pemindahan jaringan ovarium dilakukan pada
individu dengan spesies yang berbeda (Kagawa et al. 2005). Berdasarkan tempat
transplantasi, ovarium dapat ditransplantasikan di tempat semula (orthotopic
transplantation) yaitu bursa ovarium (Candy et al. 2000) dan di tempat lain selain
bursa ovarium (heterotopic transplantation) seperti di daerah subkutan
(Mohammad et al. 2003, Schnorr et al. 2002), kapsula ginjal (Gook et al. 2001,
Liu et al. 2001) dan intraperitoneal (Rosendahl et al. 2006, Salehnia 2002).
Masing-masing tempat transplantasi (ortotopik atau heterotopik) memiliki
keuntungan dan keterbatasan. Transplantasi ortotopik memiliki teknik yang sulit
karena harus dilakukan hati-hati agar bursa ovarium tidak rusak. Transplantasi
pada tempat ini umum dilakukan jika ingin melihat viabilitas ovarium sampai

dihasilkan keturunan akan tetapi teknik transplantasi ini memungkinkan tersisanya
jaringan ovarium asal sehingga menyulitkan evaluasi apakah ovarium yang
berkembang berasal dari jaringan ovarium asal yang tersisa atau ovarium donor
yang ditransplantasikan. Pada transplantasi heterotopik meskipun evaluasi tidak
dapat dilakukan sampai dihasilkan keturunan akan tetapi teknik pengerjaan lebih
mudah dan didapatkan kepastian bahwa ovarium yang berkembang hanya berasal
dari ovarium donor.
Keberhasilan

transplantasi

ortotopik

telah

dilaporkan

mampu

menghasilkan keturunan melalui perkawinan alamiah (Candy et al. 2000). Pada
transplantasi heterotopik evaluasi tidak dapat dilakukan sampai dihasilkan
keturunan karena tidak memungkinkan untuk terjadi ovulasi dan fertilisasi secara
in vivo. Namun dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada ovarium hasil
transplantasi heterotopik dapat mengalami perkembangan folikel dan resipien
ovarium transplan mampu mengalami siklus estrus secara normal (Schmidt et al.
2003, Schnorr et al. 2002, Mohamad et al. 2004). Keturunan dari transplantasi
heterotopik telah berhasil diperoleh secara in vitro dengan mengkoleksi oosit dari
ovarium transplan dilanjutkan dengan maturasi, fertilisasi dan kultur in vitro
sampai dihasilkan embrio selanjutnya embrio in vitro ditransfer ke induk resipien
dan menghasilkan keturunan (Liu et al. 2001).
Keberhasilan transplantasi ovarium dapat dipengaruhi oleh lokasi
transplantasi, sistem vaskularisasi, besar potongan jaringan serta umur donor dan
resipien. Ovarium mencit telah berhasil ditransplantasikan dengan berbagai
ukuran mulai dari ovarium fetal sampai ovarium dewasa (Cox et al. 1996,
Waterhouse et al. 2004). Pada ovarium dengan ukuran yang lebih besar seperti
domba (Gosden et al. 1994) dan manusia (Callejo et al. 2001), transplantasi
dilakukan menggunakan potongan kortek ovarium dengan ukuran kecil. Pada
daerah kortek ovarium terdapat banyak kumpulan folikel primordial dan
penggunaan potongan daerah kortek ovarium memungkinkan semakin banyak
folikel primordial yang dapat ditransplantasikan. Lokasi transplantasi di bursa
ovarium atau di daerah lain yang kaya dengan pembuluh darah memungkinkan
keberhasilan transplantasi lebih baik dibanding daerah dengan vaskularisasi
kurang memadai. Menurut Mohamad et al. (2004) autotransplantasi di kapsula

ginjal lebih baik dibandingkan di subkutan karena sistem vaskularisasi ginjal lebih
baik dibanding subkutan, sehingga pemulihan fungsi ovarium lebih cepat.

Superovulasi
Individu betina pada saat dilahirkan memiliki sumber oosit dalam jumlah
banyak yang terdapat pada folikel dikedua ovarium namun yang berkembang dan
dapat diovulasikan hanya beberapa karena sisa folikel yang lain akan mengalami
atresia. Hal ini terjadi karena dalam tahap perkembangan folikel antral terdapat
peristiwa rekrutmen, seleksi dan dominan (Savio et al. 1993). Rekrutmen adalah
fase pada pertumbuhan folikel dimana sekelompok folikel antral kecil mulai
tumbuh dan memproduksi estrogen. Setelah melalui rekrutmen, sekelompok
folikel yang sedang tumbuh dan tidak mengalami atresia terseleksi. Folikel yang
terseleksi dapat menjadi dominan atau mengalami atresia. Folikel dominan yang
terseleksi

meningkatkan produksi jumlah estrogen dan juga inhibin. Folikel

dominan mengontrol pertumbuhan atau perkembangan folikel lainnya dengan
memproduksi hormon seperti estrogen, inhibin, aktivin dan produk sekresi lainnya
seperti faktor pertumbuhan dan penghambat (Savio et al. 1993, Senger 1999).
Proses perkembangan folikel, ovulasi dan pembentukan corpus luteum
(CL) pada ovarium dipengaruhi oleh sirkulasi hormon reproduksi dalam tubuh.
Gonadotrophin releasing hormone (GnRH) yang dihasilkan oleh hipotalamus
berfungsi untuk merangsang pengeluaran follicle stimulating hormone (FSH) dan
luteinizing hormone (LH) oleh hipofisa anterior sebagai respon terhadap estrogen
atau progesteron. Selama proses pertumbuhan folikel antral kecil atau tahap
rekrutmen, konsentrasi FSH dan LH mulai meningkat sehingga merangsang
perkembangan folikel dan mulai menghasilkan estrogen dan sejumlah kecil
inhibin. Saat memasuki tahap seleksi, konsentrasi inhibin yang diproduksi oleh
folikel mulai meningkat memberikan efek umpan balik negatif terhadap anterior
hipofisa sehingga menghambat pelepasan FSH. Saat ini peranan FSH dan LH
mulai berubah, konsentrasi FSH mulai menurun dan LH meningkat (Gambar 3).
Folikel yang terseleksi dapat menjadi folikel dominan atau mengalami atresia.
Pada tahap dominan dicirikan dengan konsentrasi FSH lebih rendah dibandingkan

LH, folikel berukuran besar atau dominan mulai memproduksi estrogen dalam
jumlah besar.

Gambar 3

Proses rekrutmen, seleksi dan dominan pada ovarium selama
perkembangan folikel (Senger 1999).

Konsentrasi FSH berkurang karena hambatan dari inhibin yang bersifat
umpan balik negatif terhadap pelepasan FSH dari hipofisa anterior, hal ini
menyebabkan folikel antral lain mengalami atresia. Dari peristiwa ini
menyebabkan terjadi perkembangan folikel dominan yang bersifat ovulatoris dan
non ovulatoris atau disebut folikel pendamping dan hanya beberapa folikel yang
mampu berkembang menjadi dominan ovulatoris dan menekan folikel
pendamping lainnya (Sunderland et al. 1994). Penekanan pertumbuhan oleh
folikel dominan terhadap folikel pendamping selain karena pengaruh inhibin juga
disebabkan oleh estrogen yang dihasilkan pada folikel dominan akan memberi
respon positif terhadap pembentukan reseptor FSH pada sel granulosa sehingga
meningkatkan rangsangan FSH terhadap folikel dominan (Fortune 1994). Folikel
dominan yang mengandung estrogen dan inhibin dengan konsentrasi tinggi
berhubungan dengan penekanan konsentrasi FSH dalam sirkulasi darah dan
kombinasi antara produksi inhibin oleh folikel dominan serta penurunan
konsentrasi FSH dalam suplai darah ke beberapa folikel menyebabkan hambatan

perkembangan folikel (Senger 1999). Penyuntikan hormon

pregnant mare’s

serum gonadotrophin (PMSG) yang analog dengan FSH akan mencegah atresi
folikel pendamping yang berukuran besar karena peningkatan konsentrasi FSH
akan meningkatkan jumlah ikatan reseptor FSH pada folikel sehingga merangsang
perkembangan folikel dan meningkatkan jumlah folikel dominan. Apabila
konsentrasi estrogen yang dihasilkan oleh folikel dominan telah mencapai batas
maksimal maka akan memicu lonjakan pengeluaran LH oleh hipofisa anterior
sehingga menyebabkan terjadi ovulasi oosit.
Ovulasi didefinisikan sebagai pelepasan oosit dari folikel dominan dan
panjang waktu ovulasi dapat berbeda-beda diantara hewan tergantung pada siklus
estrusnya. Panjang siklus estrus dan waktu ovulasi dapat dipengaruhi oleh banyak
faktor lingkungan dan dapat pula diinduksi secara buatan dengan penyuntikan
hormon. Untuk meningkatkan jumlah oosit yang akan dikoleksi dapat dilakukan
dengan induksi superovulasi menggunakan PMSG yang memiliki daya kerja
seperti FSH dan human chorionic gonadotropin (hCG) yang memiliki daya kerja
seperti LH. Secara fisiologis hCG tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan
folikel tapi berfungsi membantu pecahnya folikel yang matang sehingga terjadi
ovulasi. Induksi superovulasi pada mencit menggunakan PMSG dan hCG
diberikan dengan dosis sebanyak 5 IU/ekor secara intraperitonial (i.p.) dalam
interval waktu 48 jam (Hogan et al. 1994). Efisiensi dari induksi ovulasi
dipengaruhi beberapa faktor seperti perbedaan genetik (Spearow & Barkley 1999)
yaitu strain mencit dan juga respon superovulasi dapat berbeda-beda tergantung
pada spesies, umur dan berat badan (Hogan et al. 1994, Kon et al. 2005).

Pematangan Oosit In Vitro
Pematangan oosit baik secara in vivo atau in vitro meliputi pematangan inti
dan sitoplasma. Proses pematangan inti dan sitoplasma merupakan hal yang
penting bagi oosit untuk mendukung keberhasilan fertilisasi dan perkembangan
embrio (Rodriguez & Farin 2004). Oosit mamalia setelah dilepaskan dari folikel
ovarium dapat melanjutkan pematangan inti secara spontan di dalam medium
kultur secara in vitro. Pematangan oosit secara in vitro dilakukan agar oosit primer
dapat menyelesaikan proses meiosis sehingga berkembang menghasilkan oosit

sekunder yang haploid dan mempunyai kemampuan untuk berhasil terfertilisasi
dan mendukung perkembangan embrio selanjutnya (Hyttel et al. 1997).
Proses pematangan inti ditandai dengan perubahan inti dari tahap diploten
profase meiosis I ke metafase II (Whitaker 1996) yang ditunjukkan dengan
kemampuan membran inti melewati germinal vesicle, kondensasi kromosom,
pelepasan polar bodi I dan istirahat pada metafase II. Pada saat diovulasikan oosit
berada pada tahap istirahat metafase II sampai terjadi aktivasi pada oosit untuk
melanjutkan perkembangan. Inisiasi atau awal meiosis pada oosit dikontrol oleh
maturation/m-phase promoting faktor (MPF) yang aktivitasnya meningkat pada
saat germinal vesicle breakdown (GVBD), maksimum pada metafase I dan
menurun pada metafase II (Crozet et al. 2000). Proses pematangan sitoplasma
melibatkan akumulasi mRNA maternal dan perubahan molekuler dan struktural
antara lain peningkatan yang pesat terhadap jumlah dan ukuran organel seperti
ribosom, butir lemak, golgi, mitokondria dan butir korteks sehingga oosit
memiliki kemampuan untuk mendukung proses fertilisasi dan perkembangan
embrio (Ebner et al. 2003). Kedua pematangan ini harus terjadi sehingga oosit
mempunyai kemampuan untuk mendukung perkembangan setelah fertilisasi.
Efisiensi kematangan sitoplasma termasuk kemampuan oosit untuk menghambat
penetrasi sperma lebih dari satu dan juga mendukung dekondensasi kepala sperma
pada ooplasma saat oosit terfertilisasi. Kematangan inti dapat dievaluasi dengan
pewarnaan sederhana seperti aceto orcein sedangkan pematangan sitoplasma
dapat diketahui secara tidak la