Kemampuan Maturasi Dan Fertilisasi Oosit Dari Ovarium Domba Prepuber Secara In Vitro.

KEMAMPUAN MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT
DARI OVARIUM DOMBA PREPUBER
SECARA IN VITRO

ANITA HAFID

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul kemampuan maturasi dan
fertilisasi oosit dari ovarium domba prepuber secara in vitro adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis
ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Anita Hafid
B352130121

RINGKASAN
ANITA HAFID. Kemampuan Maturasi dan Fertilisasi Oosit dari Ovarium Domba
Prepuber secara In Vitro. Dibimbing oleh MOHAMAD AGUS SETIADI dan NI
WAYAN KURNIANI KARJA.
Sumber oosit untuk PEIV pada domba yang diperoleh dari RPH adalah
domba yang umumnya sudah mengalami pubertas disebabkan mekanisme
hormonal dan ultrastruktur oosit dari hewan pubertas sudah sempurna. Selain
pemilihan oosit tersebut, biasanya folikel yang dikoleksi untuk PEIV berasal dari
folikel antral, hal ini karena oosit dari folikel antral merupakan oosit yang sedang
tumbuh dan cenderung lebih aktif dalam melakukan proses transkripsi dan translasi
untuk menghasilkan RNA dan protein yang penting untuk proses perkembangan
selanjutnya. Secara umum folikel antral memiliki diameter 2-4 mm pada domba.
Sementara itu dilaporkan folikel antral pada domba prepuber juga telah berdiameter
2-4 mm. Diameter oosit yang berasal dari folikel antral telah mencapai diameter
110 µm. Diameter tersebut juga sering dijadikan sebagai patokan dalam pemilihan

oosit untuk PEIV. Hal ini karena oosit yang telah mencapai diameter ≥110 µm
dilaporkan memiliki kemampuan penuh untuk dapat menyelesaikan meiosis dan
dapat mencapai maturasi inti sampai ke tahap MII. Berdasarkan hal tersebut oosit
dari ovarium domba prepuber diharapkan dapat menjadi sumber oosit yang
memiliki perkembangan yang baik untuk PEIV.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengamati lebih lanjut kemampuan
perkembangan oosit domba prepuber setelah dimaturasi dan difertilisasi secara in
vitro. Ovarium domba prepuber dikoleksi berdasarkan ketidakhadiran korpus
luteum atau korpus albicans pada kedua ovarium. Tiap pasang ovarium ditimbang
terlebih dahulu kemudian oosit dikoleksi dengan metode slicing. Oosit digrading
ke dalam kategori tipe A, B, C dan D, namun hanya oosit tipe A dan B (sitoplasma
yang homogen dan sel kumulus yang kompak) yang dipakai. Oosit dimaturasi
selama 24 jam dalam inkubator CO2 dengan temperatur 39oC. Oosit difertilisasi
secara in vitro menggunakan semen beku dengan konsentrasi 5x106
spermatozoa/mL dan diinkubasi selama 12-14 jam.
Pengamatan dilakukan terhadap kemampuan oosit mencapai tahap MII dan
pembentukan PN. Hasil penelitian menunjukkan status inti oosit pada tahap MII
tidak berbeda antara oosit domba prepuber dan oosit domba puber (89% vs 90,7%,
P 0,05) setelah dimaturasi in vitro. Sementara tingkat fertilisasi oosit domba
prepuber lebih rendah (P 0,05) dibandingkan dengan oosit domba puber (60% vs

77,7%). Kejadian polispermi pada oosit domba prepuber cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan oosit domba puber (21,8% vs 7,4%) (P 0,05). Dapat
disimpulkan bahwa oosit domba prepuber memiliki kemampuan maturasi yang
sama dengan oosit domba puber namun memiliki kemampuan fertilisasi yang lebih
rendah.
Kata kunci: fertilisasi, maturasi, oosit, prepuber

SUMMARY
ANITA HAFID. Maturation and Fertilization Ability of Oocytes from Prepubertal
Sheep Ovary In Vitro. Dibimbing oleh MOHAMAD AGUS SETIADI dan NI
WAYAN KURNIANI KARJA.
The source of sheep oocytes for PEIV which are obtained from
slaughterhouse are generally already reach puberty due to hormonal mechanisms
and ultrastructure of oocytes already have the full competence to develop. In
addition to the selection of oocytes, the follicles were usually collected for PEIV
derived from the antral follicles. This is because the oocytes from the antral follicles
are growing oocyte and tend to be more active in the process of transcription and
translation to produce RNA and essential proteins for subsequent development
process. In general, antral follicles in sheep have the diameter of 2-4 mm. It were
reported that antral follicles in prepubertal sheep have the diameter of 2-4 mm. The

diameter of oocyte from antral follicles to reach the diameter of 110 µm. Thus
diameter of oocytes also often used as a criteria in the selection of oocytes for PEIV.
Oocyte which have reached diameter ≥110 μm has full competence for the
resumption of meiosis and for the completion of meiotic maturation to MII. Based
on this, oocytes from prepubertal ovine were expected to be a source of oocytes
which have good developmental competence for PEIV.
The objective of this study was to evaluate the maturation and fertilization
capacity of oocytes from prepubertal ovine ovaries in vitro. Prepubertal ovaries
were collected based on the absence of corpus luteum or corpus albicans in both of
the ovaries. Both ovaries were weighted and oocytes were collected by slicing
methodes. The oocytes were graded in to A, B, C and D classification. Only grade
A and B (homogeneous cytoplasm and compact cumulus cells) were used. The
oocytes were matured for 24 hours in CO2 incubator with temperature of 39oC.
Oocytes fertilized in vitro by spermatozoa from fresh semen with concentration
5x106 and incubated for 12-14 hours.
Oocytes were evaluated in term of number of oocytes reached MII stage and
the number of the PN formation. Result of the experiment revealed that there was
no significant difference in the percentage of MII oocytes after in vitro maturation
(89% vs 90,7%, P 0,05) between prepubertal and pubertal ovine. Meanwhile the
fertilization rate was significantly lower (P 0,05) in prepubertal ovine oocytes than

ovine pubertal oocytes (60% vs 77,7%). The incidence of polyspermia tend to be
higher in prepubertal ovine oocytes than pubertal ovine oocytes (21,8% vs 7,4%)
(P 0,05). In conclusion, prepubertal and pubertal ovine oocytes have the similar in
vitro maturation ability. The ability of prepubertal ovine oocytes to be fertilized
were lower than ovine pubertal.
Key words: fertilization, maturation, oocytes, prepubertal

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KEMAMPUAN MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT
DARI OVARIUM DOMBA PREPUBER
SECARA IN VITRO


ANITA HAFID

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr drh Bambang Purwantara MSc

Judul Tesis : Kemampuan Maturasi dan Fertilisasi Oosit dari Ovarium Domba
Prepuber secara In Vitro
Nama
: Anita Hafid
NIM

: B352130121

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr drh Mohamad Agus Setiadi
Ketua

drh Ni Wayan Kurniani Karja MP PhD
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biologi Reproduksi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Drh Mohamad Agus Setiadi


Dr Ir Dahrul Syah MScAgr

Tanggal Ujian: 28 Januari 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini
berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak
bulan Januari sampai Juni 2015 ini ialah kemampuan maturasi dan fertilisasi oosit
dari ovarium domba prepuber secara in vitro.
Ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr drh Mohamad
Agus Setiadi selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu drh Ni Wayan Kurniani
Karja MP PhD selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan
banyak bimbingan, arahan, perhatian dan nasihatnya selama melakukan penelitian
dan penulisan karya ilmiah ini sehingga penulis dapat menyelesaikan rangkaian
penelitian ini hingga selesai. Terima kasih kepada Bapak Prof Dr drh Bambang
Purwantara MSc selaku penguji luar komisi atas saran dan kritiknya sehingga dapat
lebih memperkaya dan menyempurnakan substansi tesis.

Ungkapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Rektor, Dekan sekolah
Pascasarjana, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Ketua Departemen Klinik
Reproduksi dan Patologi, Ketua Program Studi Biologi Reproduksi, staf pengajar
dan staf administrasi Biologi Reproduksi, serta seluruh staf Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor yang telah menerima penulis untuk melanjutkan studi serta
membantu kelancaran proses penyelesaian studi penulis.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan
dan Perguruan Tinggi yang telah memberikan dukungan dana pendidikan dan
penelitian melalui program Beasiswa Pendidikan Pascasarjana dalam Negeri (BPPDN) sehingga dapat membantu penulis selama penelitian dan masa studi. Serta
terima kasih kepada kepala dan staff Rumah Potong Hewan (RPH) yang telah
banyak membantu penulis dalam menyediakan sampel penelitian sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian hingga selesai.
Ungkapan terima kasih yang sedalam-dalamnya terkhusus penulis ucapkan
kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, yang telah memberikan doa, kasih sayang
dan pengorbanan yang tiada henti-hentinya mengalir untuk penulis. Demikian juga
kepada sahabat seperjuangan hingga akhir, Nur‘aisyah Amrah Safitri S.Pt, M.Si
terima kasih atas support dan motivasi yang selalu hadir, memberikan inspirasi
selama menjalani penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. You’re absolutely the
real titanium in every pain that you’ve got. Thanks for being my best friend in every
single time.

Serta kepada teman-teman di program studi Biologi Reproduksi (BRP) IPB
dan seluruh keluarga besar atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016
Anita Hafid

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

x


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis Penelitian

1
1
2
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Folikulogenesis pada Domba
Mekanisme Hormonal Prepubertas dan Pubertas pada Domba
Maturasi dan Fertilisasi Oosit In Vitro pada Domba

3
3
5
6

3 METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian tahap I: Kemampuan maturasi inti oosit domba prepuber
Koleksi dan maturasi oosit
Evaluasi tingkat maturasi oosit
Penelitian tahap II: Kemampuan fertilisasi oosit domba prepuber
Koleksi dan maturasi oosit
Persiapan spermatozoa dan fertilisasi oosit in vitro
Evaluasi tingkat fertilisasi oosit
Prosedur Analisis Data

9
9
9
9
10
10
10
10
10
11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

11
11
13

5 SIMPULAN

15

DAFTAR PUSTAKA

15

LAMPIRAN

20

RIWAYAT HIDUP

22

DAFTAR TABEL
1 Berat ovarium dan kualitas oosit domba prepuber dan puber
11
2 Status inti oosit domba prepuber dan puber setelah dimaturasi secara
in vitro
11
3 Status inti oosit domba prepuber dan puber setelah difertilisasi secara
in vitro
13

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Skema kontrol meiosis oosit tikus (mamalia)
4
Mekanisme aktivasi oosit oleh spermatozoa dalam proses fertilisasi 8
Perubahan meiosis inti oosit domba prepuber dan domba puber
12
Pembentukan pronukleus pada oosit domba prepuber dan domba
puber setelah difertilisasi
12

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Komposisi medium transportasi ovarium
Komposisi medium koleksi oosit
Komposisi medium maturasi in vitro
Komposisi medium fertilisasi in vitro

20
20
21
21

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber oosit untuk produksi embrio in vitro (PEIV) pada ternak umumnya
diperoleh dari rumah potong hewan (RPH) yang sudah mengalami pubertas
disebabkan mekanisme hormonal (Hafez dan Hafez 2000) dan ultrastruktur oosit
(Hyttel et al. 1997) hewan pubertas telah sempurna. Selain itu kriteria umum yang
digunakan untuk pemilihan oosit pada PEIV mengacu pada kriteria sel kumulus
yang kompak dan sitoplasma yang homogen, sehingga oosit yang diperoleh
mendekati keseragaman. Perubahan sitoplasma menjadi hal yang penting untuk
mendukung perkembangan embrio, termasuk di dalamnya yaitu perkembangan
mekanisme pengaturan kalsium, perubahan aktivitas maturation promoting factor
(MPF) dan mitogen activated protein kinase (MAPK), pendistribusian organel sel
dan lain sebagainya (Anguita et al. 2007).
Selain kriteria pemilihan oosit tersebut, oosit yang dikoleksi biasanya berasal
dari folikel antral, hal ini karena oosit dari folikel antral merupakan oosit yang
sedang tumbuh dan cenderung lebih aktif dalam melakukan proses transkripsi dan
translasi untuk menghasilkan ribonucleic acid (RNA) dan protein yang penting
untuk proses perkembangan selanjutnya (Hyttel et al. 1997). Secara umum folikel
antral memiliki diameter 2-4 mm pada domba dan 4-6 mm pada sapi (Evans 2003).
Sementara itu dilaporkan folikel antral pada kambing prepuber berdiameter 2-6 mm
(Velilla et al. 2004) dan pada domba prepuber telah mencapai ukuran diameter 4-6
mm (Kochhar et al. 2002). Kauffold et al. (2005) juga melaporkan bahwa
kemampuan perkembangan pada sapi prepuber dan sapi puber meningkat pada
folikel ukuran 2-3 mm. Selain itu ukuran diameter oosit yang sering digunakan
yaitu 110-150 µm pada domba (Shirazi dan Sadeghi 2007) dan ≥110 µm pada sapi
(Hyttel et al. 1997). Kriteria ini sering dijadikan sebagai patokan dalam pemilihan
oosit untuk PEIV. Hal ini karena oosit yang telah mencapai diameter ≥110 µm
dilaporkan memiliki kemampuan penuh untuk dapat menyelesaikan meiosis dan
dapat mencapai maturasi inti sampai ke tahap metafase II (MII) (Cran et al. 1980;
Fair et al. 1995; Hyttel et al. 1997).
Selain itu sumber oosit dari ovarium domba prepuber menjadi hal yang
menarik, karena kesukaan masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi sate kambing
atau domba yang masih muda yang banyak dikenal sebagai domba bawah lima
bulan (BALIBU). Sehingga hal ini merupakan satu harapan baru untuk memperoleh
sumber oosit dari rumah potong hewan untuk PEIV.
Meskipun kompetensi pertumbuhan oosit dari ovarium domba prepuber
diduga masih banyak kekurangan terkait dengan fungsi endokrin dan fisiologis
lainnya. Dimana pada hewan betina yang sudah mengalami pubertas,
gonadotrophin releasing hormone (GnRH) mampu menstimulasi luteinizing
hormone (LH) dari pituitary anterior, yang pada akhirnya amplitudo LH tersebut
dapat meningkat disebabkan semakin berkembangnya folikel dan menghasilkan
banyak estradiol. Akan tetapi pada hewan betina yang belum mengalami pubertas,
GnRH surge center dan tonic center memiliki frekuensi amplitudo yang rendah.
Rendahnya frekuensi GnRH tersebut mengakibatkan rendahnya stimulus pituitary
anterior untuk melepaskan follicle stimulating hormone (FSH) dan LH, sebagai
akibat minimnya umpan balik estradiol pada folikel (Hafez dan Hafez 2000).
Tambahan pula dilaporkan bahwa beberapa organel sel pada oosit domba prepuber

2

belum sempurna seperti pada oosit yang berasal dari domba yang sudah mengalami
pubertas (O’Brien 1996).
Namun demikian beberapa penelitian menggunakan oosit yang berasal dari
hewan prepuber memperlihatkan kemampuan perkembangan yang baik, seperti
pada kambing (Izquierdo et al. 1998; Anguita et al. 2007), sapi (Chohan dan Hunter
2004, Alm et al. 2006), babi (O’Brien et al. 2000), dan tikus (Miyano 2005). Oleh
karena itu penelitian ini dilakukan untuk dapat mengamati kemampuan
perkembangan oosit domba prepuber setelah dimaturasi dan difertilisasi secara in
vitro.
Kerangka Pemikiran
Menjelang pubertas terjadi perkembangan folikel yang terus berlanjut
bahkan telah mencapai folikel antral. Sumber oosit untuk PEIV biasanya berasal
dari folikel antral, hal ini karena oosit dari folikel antral merupakan oosit yang
sedang tumbuh dan cenderung lebih aktif dalam melakukan proses transkripsi dan
translasi untuk menghasilkan RNA dan protein yang penting untuk proses
perkembangan selanjutnya. Aktivitas yang terdapat dalam oosit yang sedang
berkembang tersebut secara berangsur-angsur meningkatkan kompetensi
perkembangan oosit. Secara umum folikel antral memiliki diameter 2-4 mm pada
domba, ukuran diameter folikel antral tersebut juga telah dimiliki domba yang
belum mengalami pubertas. Adapun ukuran oosit yang berasal dari folikel antral
telah mencapai diameter hingga 110 µm. Ukuran diameter oosit tersebut memiliki
kemampuan yang penuh untuk dapat menyelesaikan meiosis dan dapat mencapai
maturasi inti sampai ke tahap MII. Berdasarkan hal tersebut, oosit dari ovarium
domba yang belum mengalami pubertas diduga memiliki kompetensi
perkembangan yang sama dengan oosit yang sudah mengalami pubertas dalam
PEIV.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengamati kemampuan perkembangan oosit
domba prepuber setelah dimaturasi dan difertilisasi secara in vitro.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kualitas
oosit dari ovarium domba prepuber untuk produksi embrio secara in vitro.
Hipotesis Penelitian
Perkembangan oosit dari ovarium domba prepuber memiliki kemampuan
yang sama dengan kemampuan perkembangan oosit dari ovarium domba yang telah
mengalami pubertas.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Folikulogenesis pada Domba
Folikulogenesis merupakan proses perkembangan folikel yang berawal dari
terbentuknya folikel primordial, kemudian berkembang menjadi folikel primer,
sekunder, tersier, de Graaf hingga pada akhirnya oosit tersebut akan diovulasikan
(Senger 2007). Folikel primordial terbentuk sejak masih dalam keadaan fetus
sampai setelah lahir. Perkembangan dan pematangan folikel menunjukkan
rangkaian tahapan transformasi molekuler dan subseluler dari keragaman
komponen folikel, yaitu oosit, sel granulosa dan sel teka. Semuanya diatur oleh
beberapa faktor intraovarian, intrafolikuler dan sinyal hormonal yang diatur oleh
sekresi androgen dan estrogen (umumnya estradiol). Perkembangan folikel
melibatkan regulasi hormonal yang menstimulasi proliferasi dan diferensiasi dari
sel teka dan sel granulosa sehingga meningkatkan kemampuan folikel untuk
memproduksi estradiol dan untuk merespon gonadotropin. Produksi estradiol
menentukan folikel mana yang akan mencapai reseptor LH yang penting untuk
ovulasi dan luteinisasi (Hafez dan Hafez 2000).
Pada mamalia, proses oogenesis dimulai saat perkembangan awal fetus.
Oogenesis dimulai dari pembentukan primordial germ cell, kemudian meliputi
serangkaian perubahan bentuk menjadi oogonia kemudian menjadi oosit primer
(Wassarman 1988). Oogonium berkembang menjadi beberapa Oogonia melalui
pembelahan mitosis (fase proliferasi). Pada akhir proliferasi, meiosis dimulai dan
oogonia berdiferensiasi menjadi oosit primer melalui tahap leptoten, zygoten,
pachyten pada fase profase sebelum terjadi istirahat meiosis pada tahap diploten
(dictyate) (Gordon 2003). Inti oosit primer pada tahap ini disebut germinal vesicle
(GV) yang ditandai dengan adanya membran inti yang utuh dan inti yang jelas.
Dalam perkembangan menjadi oosit, oogonia mengalami pembelahan meiosis
menjadi dua sel untuk mereduksi kromosom diploid menjadi haploid (Gordon
2003).
Saat lahir, oosit berada pada fase istirahat meiosis. Pada periode yang sama
banyak oosit mulai berkembang. Tujuan dari istirahat meiosis pada tahap ini adalah
untuk menginaktivasi deoxyribonucleic acid (DNA) agar terhindar dari kerusakan
DNA. Rusaknya DNA dapat menyebabkan kematian embrio setelah terjadi
fertilisasi (Senger 1997). Selanjutnya meiosis dimulai kembali dicirikan dengan
terbentuknya germinal vesicle break down (GVBD) pada oosit dan perkembangan
oosit dilanjutkan hingga mencapai tahap MII. Sesaat menjelang ovulasi oosit
mengalami istirahat meiosis. Pada .akhir ovulasi, jika oosit terfertilisasi maka oosit
akan melepaskan badan kutub kedua dan aktivitas meiosis kembali dimulai (gambar
1) (Tsafriri et al. 1980), jika oosit tidak terfertilisasi maka oosit dan folikelnya
mengalami degenerasi (Hafez dan Hafez 2000).

4

Gambar 1 Skema kontrol meiosis oosit tikus (mamalia) (Tsafriri et al. 1982).
Perkembangan oosit mengiringi perkembangan folikel. Oosit yang
berukuran kecil yang dilapisi oleh sel granulosa berbentuk pipih disebut folikel
primordial. Oosit yang telah memasuki fase perkembangan ditandai dengan adanya
perubahan morfologi dari sel granulosa, dimana sel granulosa telah berubah bentuk
menjadi kuboid, dan folikel ini disebut dengan folikel primer. Setelah terjadi
perubahan morfologi sel granulosa, folikel berkembang dari proliferasi aktif dari
sel granulosa itu sendiri, kemudian folikel primer berubah menjadi folikel sekunder
(Miyano 2005). Pada folikel sekunder telah terjadi transkripsi RNA pada oosit,
oosit mulai teraktivasi dan sintesis RNA selanjutnya akan terus dipertahankan
sampai diameter oosit mencapai ukuran folikel tersier. Transisi dari folikel
sekunder ke folikel tersier awal (pre-antral follicle) dicirikan dengan terbentuknya
antrum dan peningkatan ukuran diameter. Sedangkan oosit pada folikel tersier
dicirikan oleh berpindahnya organel-organel sel ke arah perifer (Hyttel et al. 1997).
Dalam ovarium mamalia, seluruh oosit tidak memulai perkembangan dalam
waktu yang sama. Hanya sedikit oosit dari folikel primordial yang masuk pada fase
perkembangan dan mencapai ukuran akhirnya sebelum pubertas. Setelah pubertas
beberapa oosit dari folikel primordial selanjutnya direkrut untuk masuk pada fase
perkembangan (Miyano 2005). Dinamika folikuler dalam folikulogenesis terdiri
atas tahap pertumbuhan dan degenerasi folikel. Dinamika folikel antral dan atau
gelombang folikel meliputi empat proses, yaitu meliputi tahap rekruitmen, seleksi,
dominan dan atresia. Proses rekruitmen melibatkan sekelompok folikel antral yang
memulai untuk tumbuh dengan sebagiannya mengalami atresia. Folikel yang
bertahan dan tidak mengalami atresia merupakan folikel terseleksi yang kemudian
akan terus tumbuh dan bersaing menjadi satu folikel dominan. Dalam upayanya
menuju satu folikel dominan maka sebagian besar folikel terseleksi akan
mengalami atresia (Senger 1997).
Pada domba, terdapat hubungan antara ukuran folikel dan diameter oosit,
dimana diameter oosit mempengaruhi perkembangan meiosis (Shirazi dan Sadeghi

5

2007). Kompetensi oosit memiliki korelasi yang dekat dengan ukuran oosit, serta
berkorelasi dengan ukuran folikel (Lechniak et al 2002). Ukuran oosit dapat
digunakan secara umum sebagai sebuah indikator dari pertumbuhan oosit.
Selama folikulogenesis pematangan sitoplasma mencakup rangkaian
masenger ribonucleic acid (mRNA), protein, substrat, nutrien, dan akumulasi
mitokondria dalam sitoplasma (Khatun et al. 2011). Seperti adanya sintesis RNA
secara intensif selama fase ini yang menyebabkan peningkatan pada ukurannya.
Faktor sitoplasma termasuk mRNA dan molekul protein disintesis selama
perkembangan oosit yang diakumulasikan lagi secara berangsur-angsur pada tahap
akhir pertumbuhan folikel, dan penting untuk perkembangan awal embrio sebelum
aktivasi genom embrio (Armstrong 2001). Menurut Crozet et al. (1995) pada
hewan betina dewasa, diameter folikel berhubungan positif dengan diameter oosit
dan kemampuan perkembangan oosit.
Pada siklus ovarium normal dari hewan betina puber, kemampuan oosit
sepenuhnya diperoleh selama tahap akhir dari pertumbuhan folikel sebelum ovulasi
dibawah pengaruh sentakan GnRH yaitu FSH dan LH, yang dipicu oleh sinyal
umpan balik positif dari folikel yang telah matang mempengaruhi hypotalamuspituitary (Armstrong 2001).
Mekanisme Hormonal Prepubertas dan Pubertas pada Domba
Masa pubertas domba adalah 6 sampai 9 bulan yang dipengaruhi oleh faktor
genetik dan lingkungan seperti perbedaan jenis. Selain itu faktor internal dan faktor
eksternal seperti makanan dan perubahan sekresi LH mempengaruhi tercapainya
masa pubertas (Jainudeen et al. 2000).
Pertumbuhan dan perkembangan folikel saat pubertas dipengaruhi oleh
hormon-hormon gonadotropin. Banyak folikel berkembang selama fase-fase
pertama estrus. Proses pematangan oosit dan pertumbuhan embrio awal sangat
dipengaruhi oleh fungsi FSH yang dihasilkan oleh pituitary anterior. FSH dan LH
yang rendah menyebabkan folikulogenesis tidak terjadi (Senger 1997). Ovarium
dengan folikel yang banyak akan memberi gambaran FSH yang tinggi. Hormon ini
merupakan hormon perangsang pertumbuhan folikel dan pematangan oosit di
dalam folikel melalui peningkatan proliferasi sel folikuler dan perubahan steroid
androgenik menjadi golongan estrogen. Semakin berkembang folikel maka besar
dan kualitas oosit semakin meningkat (Sayuti et al. 2007). Pada domba, satu atau
dua folikel yang besar mensekresikan banyak hormon estrogen daripada folikel
yang lebih kecil (Hafez dan Hafez 2000).
Hypotalamus terdiri dari tonic GnRH center dan preovulatori GnRH center
(surge center). Pada hewan betina, umpan balik negatif dari tonic GnRH center dan
hormon steroid dari ovarium (estrogen dan progesteron) menghambat sekresi LH
dan FSH. Perkembangan folikel mensekresikan sejumlah estradiol. Ketika
konsentrasi estradiol mencapai jumlah yang tinggi, maka ia akan memicu pelepasan
LH dalam jumlah yang besar (Swerdloff dan Odell 1975).
Sebelum pubertas, GnRH surge center dan tonic center memiliki frekuensi
amplitudo yang rendah, namun setelah pubertas tonic center mengontrol level basal
GnRH lebih tinggi dibandingkan sebelum pubertas. Penampakan dari hewan
prepuber ditandai dengan kurangnya gonadal estradiol untuk menstimulasi surge
center dan kurangnya sensitivitas surge center untuk memproduksi estradiol. Surge
center mampu berfungsi pada umur yang sangat muda saat distimulasi (Senger
1997).

6

Dibawah kondisi normal betina prepuber, GnRH tonic center menstimulasi
LH dari pituitary anterior, amplitudo LH tersebut dapat meningkat seperti pada
betina puber, akan tetapi frekuensi GnRH pada betina prepuber masih lebih rendah
daripada frekuensi GnRH dari betina yang telah puber. Rendahnya GnRH
menandakan rendahnya stimulus pituitary anterior untuk melepaskan FSH dan LH,
sehingga perkembangan folikel tidak menghasilkan estradiol dalam jumlah yang
tinggi (Hafez dan Hafez 2000).
Onset pubertas ditandai dengan peningkatan secara berangsur-angsur dari
frekuensi dan amplitudo sekresi GnRH. GnRH secara langsung mensintesis dan
mensekresi FSH dan LH di pituitary yang berperan menstimulasi produksi hormon
steroid gonad dan melengkapi proses perkembangan oosit. Tingginya level estrogen
menyebabkan munculnya karakteristik seks sekunder (Sisk dan Zehr 2005).
Onset pubertas bergantung pada kemampuan spesifik hypotalamus untuk
memproduksi GnRH dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan dan mendukung
terjadinya gametogenesis (Senger 1997). Rendahnya sensitivitas dari hypothalamus
yang mengontrol sekresi GnRH terhadap umpan balik negatif estradiol juga penting
dalam onset pubertas (Ramirez dan McCann 1963). Menurut konsep tersebut,
rendahnya sensitivitas terhadap umpan balik negatif estradiol mengakibatkan
peningkatan sekresi GnRH di pituitary anterior sehingga dapat menyebabkan
pematangan folikel di ovarium dan menyebabkan terjadinya ovulasi (Day et al.
1984). Pada penelitian Henricks et al. (1974) menunjukkan konsentrasi estradiol
dari hewan yang sudah mengalami pubertas lebih tinggi daripada hewan yang
belum mengalami pubertas. Sekresi LH terhadap umpan balik negatif estradiol
lebih sedikit pada hewan prepuber daripada hewan puber (Day et al. 1984). Foster
dan Ryan (1979) melaporkan bahwa peningkatan konsentrasi LH terjadi dua hingga
enam hari sebelum LH surge pertama pada domba.
Maturasi dan Fertilisasi Oosit In Vitro pada Domba
Maturasi oosit mamalia didefinisikan sebagai rangkaian kejadian yang
terjadi dari tahap GV sampai pada tahap pembelahan meiosis kedua dengan
pembentukan badan kutub pertama. Inti dan sitoplasma oosit mendukung
perkembangan embrio. Pematangan inti meliputi berbagai perubahan tahapan
meiosis, sedangkan pematangan sitoplasma merupakan penambahan kompetensi
biologis oosit yang meliputi berbagai perubahan struktur dan biokimiawi di dalam
sitoplasma yang memungkinkan oosit untuk mengekspresikan kemampuan
perkembangannya setelah fertilisasi serta pembentukan dan perkembangan embrio
(Gordon 2003).
Maturasi oosit bertujuan untuk mematangkan oosit sehingga menghasilkan
oosit haploid yang memiliki komponen sel yang diperlukan pada saat fertilisasi dan
perkembangan embrio nantinya. Kualitas oosit domba ditentukan berdasarkan
kompleks lapisan kumulus yaitu sel-sel granulosa yang mengelilingi oosit dalam
kondisi utuh (padat) atau tidak (Gordon 2003). Klasifikasi oosit dikategorikan ke
dalam 4 tipe mengacu kepada kriteria yang digunakan De Loos et al. (1989) yaitu
kategori oosit tipe A: memiliki multilayer sel kumulus yang kompak, sitoplasma
homogen, dan total cumulus oocyte complexes (COCs) terang dan transparan.
Kategori oosit tipe B: memiliki multilayer sel kumulus yang kompak, sitoplasma
homogen namun kelihatan kasar dan terdapat zona yang lebih gelap pada bagian
tepi oosit dan total COCs sedikit lebih gelap dan kurang transparan. Kategori oosit
tipe C: memiliki sel kumulus yang kurang kompak, sitoplasma tidak teratur, dan

7

total COCs lebih gelap dibandingkan oosit tipe A dan B. Kategori oosit tipe D:
memiliki sel kumulus yang sudah ekspan, sitoplasma tidak teratur, dan total COCs
gelap dan tidak teratur.
Ada beberapa kriteria untuk menyeleksi kualitas oosit yang baik untuk
meningkatkan maturasi oosit in vitro. Beberapa kriteria tersebut adalah ukuran
folikel, level atresia, dan konsentrasi progesteron di dalam cairan folikel. Telah
ditunjukkan bahwa kemampuan perkembangan oosit dikaitkan dengan morfologi
COCs, morfologi sel corona radiata dan ukuran dari oosit. Ukuran oosit dapat
digunakan secara umum sebagai sebuah indikator dari pertumbuhan oosit. Seperti
adanya sintesis RNA secara intensif selama fase ini yang menyebabkan
peningkatan pada ukurannya. Pada hewan betina dewasa, diameter folikel memiliki
hubungan yang positif dengan diameter oosit serta kemampuan perkembangan oosit.
Pada domba, terdapat hubungan antara ukuran folikel dan diameter oosit, dimana
diameter oosit mempengaruhi perkembangan meiosis. Diameter oosit yang
diperoleh dari folikel antral berukuran 2-6 mm memiliki kualitas yang lebih baik
(Shirazi dan Sadeghi 2007). Kompetensi oosit memiliki korelasi yang dekat dengan
ukuran oosit, serta berkorelasi dengan ukuran folikel. Ukuran oosit yang lebih kecil
cenderung berkembang abnormal saat pembelahan meiosis sehingga menghasilkan
gangguan saat proses maturasi (Lechniak et al. 2002).
Tingkat maturasi inti dinilai berdasarkan kronologis perubahan status inti
oosit yang dikelompokkan menjadi tahap GV yaitu ditandai dengan membran inti
dan nukleolus masih terlihat; tahap GVBD ditandai dengan membran inti pecah dan
nukleolus tidak terlihat serta kromosom mulai terkondensasi; tahap metafase I (MI)
ditandai dengan kromosom terkondensasi dan tersusun pada spindle metafase;
anafase-telofase I (A-TI) ditandai dengan kromosom homolog mulai terpisah; tahap
MII ditandai dengan hadirnya kromosom homolog dan badan kutub pertama telah
terlihat (Gordon 2003).
Kompetensi oosit diperoleh selama fase pertumbuhan, tidak hanya terjadi
pematangan inti tetapi juga perubahan sitoplasma yang penting untuk
perkembangan embrio. Perubahan sitoplasma termasuk terjadinya akumulasi
protein dan RNA, perkembangan mekanisme regulasi kalsium, perubahan aktivitas
MPF dan MAPK dan pendistribusian kembali dari organel seluler, dan lain-lain
(Anguita 2007).
Oosit domba yang digunakan untuk fertilisasi in vitro terlebih dahulu harus
melalui proses maturasi atau pematangan didalam inkubator selama 24 jam, dalam
5% CO2 dengan temperatur sekitar 39oC (Leoni et al. 2006). Pematangan oosit
merupakan salah satu tahap penting dari rangkaian produksi embrio in vitro.
Pematangan in vitro membantu oosit agar mampu menyelesaikan proses meiosis
hingga mencapai tahap MII untuk dapat difertilisasi (Alomar et al. 2008). Oosit
hewan mamalia secara umum harus mengalami pematangan inti dan pematangan
sitoplasma hingga dapat difertilisasi sampai akhirnya berkembang menjadi embrio
(Beilby et al. 2009).
Pada saat oosit telah memasuki tahap MII, oosit akan mengalami istirahat
meiosis kembali sebelum teraktivasi oleh kehadiran spermatozoa. Spermatozoa
yang menempel pada membran plasma oosit menyebabkan terjadinya ikatan antara
spermatozoa dan bagian reseptor spermatozoa (SR), yaitu CD9 dan α1β6. Ikatan
tersebut akan mengaktifkan protein G atau Protein Tyrosine Kinase (PTK) yang
selanjutnya diikuti oleh aktivasi dari phospholipase C (PLC). Aktifnya PLC
menyebabkan proses hidrolisa phosphatidylinositol 4,5-bisphosphate (PIP2) pada
membran plasma dapat berlangsung. Hidrolisa PIP2 menghasilkan diacylglicerol

8

(DAG) dan inositol 1,4,5-triphosphate (IP3). Induksi IP3 terhadap retikulum
endoplasmik menyebabkan peningkatan konsentrasi Ca2+. Peningkatan konsentrasi
Ca2+ menyebabkan terjadinya dua kejadian penting, yaitu pelepasan kortikal
granula dan inisiasi berlanjutnya siklus pembelahan meiosis sel. Pelepasan kortikal
granula ke dalam ruang perivitellin menyebabkan pengerasan pada zona pelusida
untuk mencegah terjadinya polispermi dan inisiasi berlanjutnya siklus pembelahan
meiosis sel yang ditandai dengan menurunnya aktivitas MPF (gambar 2) (Alberio
et al. 2001; Jones 2007). Peningkatan Ca2+ intraseluler juga akan diikuti dengan
meningkatnya pH, menyebabkan terjadinya pertukaran ion Na+ dari luar dan H+
dari dalam oosit. Peningkatan pH penting untuk menstimulasi replikasi DNA,
perkembangan konduktan K+ dan perubahan metabolisme seluler lainnya (Machaty
dan Prather 1998).

Gambar 2 Mekanisme aktivasi oosit oleh spermatozoa dalam proses fertilisasi
(Alberio et al. 2001).
Pada domba, penetrasi spermatozoa ke dalam oosit membutuhkan waktu 2-3
jam. Selanjutnya kromosom oosit akan membentuk pronukleus betina. Kromatin
yang terdapat pada kepala spermatozoa akan mengalami dekondensasi dalam waktu
2 jam setelah inseminasi. Selama proses dekondensasi kromatin, terjadi
penggantian antara protamin yang terdapat pada kepala spermatozoa dengan histon
yang diikuti oleh pembentukan pronukleus jantan dan betina 3 jam kemudian.
Kedua pronukleus akan berkembang sempurna dan berada pada posisi saling
berdekatan 14-16 jam setelah inseminasi (Crozet et al. 1987; Crozet 1988).
Fertilisasi yang normal ditandai dengan terbentuknya dua pronukleus, dua badan
kutub, bentuk sel telur yang teratur, dengan zona pellucida utuh dan sitoplasma jelas
terlihat. Pembentukan lebih dari dua pronukleus dikategorikan tidak normal atau
polispermi (Elder dan Dale 2003).

9

3 METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai bulan Juni 2015 di
Laboratorium Fertilisasi In Vitro, Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Departemen
Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
Metode Penelitian
Penelitian I: Kemampuan maturasi inti oosit domba prepuber
A. Koleksi dan maturasi oosit
Ovarium domba diperoleh dari RPH, ditempatkan dalam media transportasi
NaCl fisiologis 0,9% yang ditambahkan antibiotik 100 IU/mL penicillin (SigmaAldrich, St. Louis, MO, USA) dan 0,1 g/mL streptomycin (Sigma-Aldrich) dengan
temperatur 35-37oC. Ovarium dari domba prepuber diperoleh berdasarkan
ketidakhadiran korpus luteum atau korpus albicans pada kedua ovariumnya
(Pawlak et al. 2012). Ovarium domba yang telah diperoleh ditimbang terlebih
dahulu untuk mengetahui berat ovarium.
Koleksi oosit dilakukan dengan metode mencacah (slicing) bagian korteks
ovarium menggunakan scalpel untuk mengeluarkan oositnya. Teknik koleksi oosit
dilakukan pada cawan petri yang berisi larutan Phosphate Buffer Saline (PBS) yang
disuplementasi dengan 10% fetal bovine serum (FBS) (Sigma, USA), 100 IU/mL
penicillin dan 0,1 mg/mL streptomycin yang terlebih dahulu diekuilibrasi minimal
selama dua jam di dalam inkubator CO2 5% dengan suhu 39oC.
Klasifikasi oosit dikategorikan ke dalam 4 tipe mengacu kepada kriteria yang
digunakan De Loos et al. (1989) yaitu kategori oosit tipe A; memiliki multilayer sel
kumulus yang kompak, sitoplasma homogen, dan total COCs terang dan transparan.
Kategori oosit tipe B; memiliki multilayer sel kumulus yang kompak, sitoplasma
homogen namun kelihatan kasar dan terdapat zona yang lebih gelap pada bagian
tepi oosit dan total COCs sedikit lebih gelap dan kurang transparan. Kategori oosit
tipe C; memiliki sel kumulus yang kurang kompak, sitoplasma tidak teratur, dan
total COCs lebih gelap dibandingkan oosit tipe A dan B. Kategori oosit tipe D;
memiliki sel kumulus yang sudah ekspan, sitoplasma tidak teratur, dan total COCs
gelap dan tidak teratur. Oosit yang digunakan dalam penelitian ini adalah oosit
kategori tipe A dan B atau oosit dengan sitoplasma yang homogen dan sel-sel
kumulus yang kompak dengan lebih dari tiga lapisan tebal (Lonergan et al. 1992).
Sebelum dimaturasi, oosit dicuci terlebih dahulu dalam media maturasi
sebanyak dua kali. Media maturasi terdiri dari tissue culture media (TCM) 199
(Gibco, USA) yang disuplementasi dengan FBS 10%, Pregnant Mare Serum
Gonadotropin (PMSG) (Kyoritsu Seiyaku, Tokyo, Japan) 10 IU/mL, human
Chorionic Gonadotropin (hCG) (Kyoritsu Seiyaku, Tokyo, Japan) 10 IU/mL dan
gentamycin (Sigma-Aldrich. Inc, P-4687) 50 µg/mL. Pematangan oosit dilakukan
dalam media maturasi dalam bentuk drop masing-masing berisi 100 µL untuk 1015 oosit. Kemudian drop ditutup dengan mineral oil (Sigma, USA) dan dimasukkan
dalam inkubator 5% CO2, pada suhu 39oC selama 24 jam.

10

B. Evaluasi tingkat maturasi oosit
Oosit yang telah dimaturasi didenudasi sel-sel kumulusnya dengan bantuan
enzim hyaluronidase 0.25% (Sigma, USA) dengan cara melakukan pemipetan
berulang menggunakan pipet yang sesuai dengan ukuran oosit. Oosit yang telah
dihilangkan sel-sel kumulusnya diletakkan pada drop PBS di atas cover glass yang
memiliki bantalan paraffin dan vaselin di keempat sudutnya, kemudian difiksir pada
kedua sisi bantalan paraffin dan vaselin. Preparat tersebut dimasukkan ke dalam
larutan fiksasi yang mengandung asam asetat dan ethanol (1:3) selama 48-72 jam.
Preparat kemudian diwarnai dengan 2% aseto orsein selama 5 menit,
kemudian pewarna dibilas dengan 25% asam asetat. Pengamatan inti oosit
dilakukan dengan menggunakan mikroskop fase kontras (Olympus IX, Japan).
Tingkat maturasi inti dinilai berdasarkan kronologis perubahan status inti oosit
yang dikelompokkan menjadi tahap GV, GVBD, MI, A-TI, dan MII. Keberhasilan
maturasi inti oosit dinilai berdasarkan pada persentase oosit yang mampu mencapai
tahap MII. Status inti oosit pada tahap ini diklasifikasikan sebagai oosit yang sudah
matang dan siap untuk difertilisasi, ditandai dengan adanya badan kutub pertama
dan kromosom homolog (Gordon 2003).
Penelitian II: Kemampuan fertilisasi oosit domba prepuber
A. Koleksi dan maturasi oosit
Koleksi dan maturasi oosit dilakukan sama dengan prosedur pada penelitian
tahap 1.
B. Persiapan spermatozoa dan fertilisasi oosit in vitro (IVF)
Oosit yang telah dimaturasi, selanjutnya difertilisasi secara in vitro. Semen
beku dithawing di dalam waterbath pada suhu 30-32oC selama 30 detik, kemudian
dicuci dengan cara disentrifugasi dalam media fertilisasi pada kecepatan 1800 rpm
selama 5 menit. Setelah melakukan sentrifugasi, supernatant dibuang hingga
menyisakan endapan spermatozoa sekitar 200 µL, kemudian konsentrasi
spermatozoa dihitung untuk menentukan jumlah media fertilisasi dan spermatozoa
agar diperoleh konsentrasi akhir 5x106 spermatozoa/mL.
Campuran spermatozoa dan media fertilisasi dibuat dalam bentuk drop 100
µL untuk 10-15 oosit, kemudian ditutup dengan mineral oil (Sigma-USA). Oosit
yang sudah dimaturasi dicuci dalam media fertilisasi sebanyak 2 kali, kemudian
dipindahkan ke dalam drop dan diinkubasi selama 12-14 jam dalam inkubator CO2
5% temperatur 39oC.
C. Evaluasi tingkat fertilisasi in vitro
Oosit yang telah difertilisasi kemudian difiksasi dan diwarnai menggunakan
metode yang sama seperti pada evaluasi tingkat maturasi oosit. Penentuan tingkat
kemampuan fertilisasi in vitro dilakukan berdasarkan pada pembentukan dan
jumlah pronukleus (PN). Total oosit yang terfertilisasi adalah oosit yang
mempunyai dua atau lebih PN. Fertilisasi normal ditandai dengan terbentuknya
2PN, sedangkan oosit yang mempunyai lebih dari 2PN dikategorikan sebagai
polispermi.
Prosedur Analisis Data
Perbandingan status inti oosit dan oosit yang terfertilisasi pada masing masing
kelompok (prepuber dan puber) diuji secara statistik menggunakan Analysis of
Variance (ANOVA) pada taraf nyata 95%. dengan pengujian t-student (Steel dan
Torrie 1991). Data diolah menggunakan program statview.

11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Berat ovarium dan kualitas oosit domba prepuber dan puber
Pada penelitian ini ovarium yang digunakan pada domba prepuber memiliki
rata-rata berat 0,4 gram lebih ringan dibandingkan dengan ovarium dari domba
yang sudah mengalami pubertas 1,1 gram. Dari kelompok oosit domba prepuber
dan oosit domba puber menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (P˃
0.05) dimana diperoleh hasil oosit tipe A (1.4 vs 1.0), dan oosit tipe B diperoleh
(2.6 vs 2.7). Sementara itu oosit tipe C (3,6 vs 3,0) juga menunjukkan tidak terdapat
perbedaan yang signifikan (P˃ 0.05) kecuali pada oosit tipe D terdapat perbedaan
yang signifikan (2,5 vs 1,3) (P 0,05) (Tabel 1).
Tabel 1 Berat ovarium dan kualitas oosit domba prepuber dan puber
Jumlah
ovarium
Kelompok
(pasang)
(n)

Berat
ovarium
per pasang
(rata-rata ±
SD)
(g)

Tipe Oosit n (rata-rata ± SD)

A

B

C

D

Prepuber

27

0.4±0.1

38(1.4±1.4) 72(2.7±1.3) 98(3.6±2.0) 70(2.6±2,0)a

Puber

28

1.1±0.4

29(1.0±1.2) 77(2.8±1.4) 84(3.0±1.7) 38(1.4±1.1)b

a,b

superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (P 0,05).

Kemampuan maturasi oosit domba prepuber dan puber secara in vitro
Pada tabel 2 hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata
pada oosit yang mencapai tahap MII dari domba prepuber (89,1%) dibandingkan
dengan oosit domba puber (89,1%) (P> 0,05). Perubahan meiosis inti disajikan
pada gambar 1.
Tabel 2 Status inti oosit domba prepuber dan puber setelah dimaturasi secara in
vitro
Kelompok

Total
oosit
(n)

Status Inti Oosit n (%±SD)
GV

GVBD

MI

A-TI

MII

Prepuber

55

1(1.8±4.5) 1 (1.8±3.7)

1(1.8±4.1) 1(1.8±5.1) 49(89.1±1.9)

Puber

55

0(0.0±0.0) 2(3.6±10.2) 2(3.6±5.9) 0(0.0±0.0) 49(89.1±10.2)

GV: germinal vesicle, GVBD: germinal vesicle break down, MI: metafase I, A-TI:
anafase-telofase I, MII: metafase II.

12

A

C

B

D

E

Gambar 3 Perubahan meiosis inti oosit domba prepuber dan domba puber. A: GV
B: GVBD, C: MI, D: A-TI, E: MII. Perbesaran 200x.
Kemampuan fertilisasi oosit domba prepuber dan puber secara in vitro
Oosit yang terfertilisasi dicirikan dengan terbentuknya PN (gambar 2). Hasil
penelitian pada tahap ini menunjukkan tingkat fertilisasi oosit domba prepuber
nyata lebih rendah (60%) dibandingkan dengan oosit domba puber (77,7%) (P
0,05). Persentase kejadian polispermi pada oosit domba prepuber juga cenderung
lebih tinggi dibandingkan dengan oosit domba puber namun secara statistik tidak
berbeda nyata (P>0,05) (Tabel 3).

A

B

Gambar 4 Pembentukan PN pada oosit domba prepuber dan domba puber setelah
difertilisasi. A; 2 PN, B: 2 PN. Perbesaran 200x.

13

Tabel 3 Status inti oosit domba prepuber dan puber setelah difertilisasi secara in
vitro.
Total
Pembentukan Pronukleus n (% ± SD)
Kelompok
oosit
2 PN
2 PN
Total Terfertilisasi
(n)
Prepuber
55
33 (60±8.9)a
12 (21.8±12.2)
45 (81.8±7.4)
b
Puber
54
42 (77.8±6.3)
4 (7.4±7.6)
46 (85.2±1.3)
a,b
superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (P 0,05). Normal: 2PN; Polispermi: membentuk >2 PN.
Pembahasan
Kemampuan Maturasi Oosit Domba Prepuber
Berat rata-rata ovarium domba puber lebih berat dibandingkan dengan domba
prepuber, disebabkan hadirnya korpus luteum atau korpus albicans pada salah satu
atau kedua ovarium. Korpus luteum akan bertambah berat secara cepat sampai
sekitar pertengahan periode siklus pubertas (Boediono et al. 1999).
Ketidakhadiran korpus luteum atau korpus albicans pada ovarium domba
prepuber disebabkan belum terjadinya ovulasi. Hal ini karena sebelum pubertas
GnRH surge center dan tonic center memiliki frekuensi amplitudo yang rendah,
dimana GnRH tonic center tidak mampu menstimulasi LH dari pituitary anterior.
Frekuensi GnRH pada betina prepuber yang masih lebih rendah mengakibatkan
rendahnya stimulus pituitary anterior untuk melepaskan FSH dan LH, sehingga
perkembangan folikel tidak menghasilkan estradiol dalam jumlah yang tinggi
akibatnya tidak dapat terjadi ovulasi (Hafez dan Hafez 2000).
Oosit yang yang digunakan dalam penelitian ini merupakan oosit yang
memiliki kategori tipe A dan tipe B baik dari ovarium domba prepuber maupun
ovarium domba puber. Dari kelompok oosit domba prepuber dan oosit domba puber
diperoleh hasil oosit tipe A (1,4 vs 1,0) (P 0,05), sedangkan oosit tipe B yaitu (2,6
vs 2,7) (P 0,05), dimana tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam perolehan
pada kedua kriteria oosit tersebut (tabel 1). Sementara itu oosit tipe C juga tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan (3,6 vs 3,0) (P 0,05), kecuali pada oosit
tipe D terdapat perbedaan yang signifikan (2,5 vs 1,3) (P 0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa ovarium domba prepuber memiliki potensi yang tidak jauh
berbeda dalam perolehan oosit yang baik dibandingkan dengan domba yang sudah
mengalami pubertas, sehingga ovarium domba prepuber memiliki potensi sebagai
sumber oosit. Jumlah oosit yang berada pada kategori tipe D pada oosit domba
prepuber yang lebih banyak dibandingkan oosit domba puber diduga disebabkan
karena domba prepuber memiliki kontrol hormonal yang lebih rendah dibandingkan
dengan domba yang sudah mengalami pubertas sehingga terdapat banyak oosit
yang mengalami degenerasi pada oosit domba prepuber.
Keadaan sitoplasma oosit sangat mendukung penyebaran organel dan
interaksi antar organel yang lain, demikian pula dengan keberadaan sel kumulus
yang kompak yang dapat mendukung pematangan oosit melalui zat metabolit yang
dihasilkan dan disekresikan melalui mekanisme gap junction ke sel oosit (De Loos
et al. 1989). Tidak adanya perbedaan pada oosit kategori tipe A maupun tipe B dari
ovarium domba prepuber dan domba puber diduga karena keadaan ultrastruktur
antara keduanya sama. O’Brien et al. (1996) melaporkan bahwa tidak terdapat

14

perbedaan pada ultrastruktur termasuk distribusi organel intraseluler oosit domba
prepuber maupun oosit domba puber, namun ukuran mitokondria dan kortikal
granula pada oosit domba prepuber dilaporkan lebih kecil dibandingkan dengan
oosit domba puber.
Tingkat maturasi inti oosit merupakan salah satu parameter dan indikator
yang biasa digunakan untuk mengetahui kompetensi perkembangan oosit
selanjutnya. Selama proses maturasi terjadi perubahan proses meiosis (Gordon
2003). Perubahan meiosis I dimulai dengan terjadinya GVBD setelah tahapan GV
hingga mencapai tahap MII. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan
yang nyata pada oosit yang mencapai tahap MII dari domba prepuber (89,1%)
dibandingkan dengan oosit domba puber (89,1%) (P> 0,05) (Tabel 2). Hal ini
menunjukkan oosit domba prepuber memiliki kemampuan yang sama dengan oosit
domba puber dalam mencapai tahap MII. Temuan ini sejalan dengan penelitian
Ledda et al. (1999) yaitu oosit dengan diameter yang sama yang diperoleh dari
domba prepuber maupun domba yang sudah puber memiliki kemampuan yang
sama pada tingkat pembelahan meiosisnya. Martino et al. (1995) juga melaporkan
kambing prepuber memiliki tingkat maturasi yang sama dengan kambing puber.
Oosit domba prepuber telah memiliki folikel antral. Hal ini karena
perkembangan folikel pada domba telah berlangsung pada usia 2 minggu dan telah
mencapai folikel antral pada usia 4 minggu (Berlinguer et al. 2007). Secara umum
folikel antral memiliki diameter 2-4 mm pada domba (Evans 2003), dan dilaporkan
folikel domba prepuber telah mencapai ukuran diameter 4-6 mm (Kochhar et al.
2002). Adapun folikel domba prepuber maupun folikel domba puber yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan folikel yang memiliki diameter sekitar
2-4 mm (folikel antral). Oosit yang berasal dari folikel antral merupakan oosit yang
sedang tumbuh dan cenderung lebih aktif dalam melakukan proses transkripsi dan
translasi untuk menghasilkan RNA dan protein yang penting untuk proses
perkembangan selanjutnya (Hyttel et al. 1997; Torner et al. 2008). Akumulasi lipid
dalam sitoplasma oosit sama pentingnya dengan akumulasi protein dan mRNA
untuk mendukung perkembangan awal oosit (Sierard et al. 2006). Sehingga oosit
domba prepuber maupun domba puber dapat memperlihatkan kemampuan yang
sama dalam perkembangan maturasinya. Lebih lanjut Anguita et al. (2007) juga
melaporkan bahwa ukuran diameter tertentu pada oosit kambing prepuber
mempunyai kompetensi perkembangan yang baik hingga tahap blastosis.
Kemampuan Fertilisasi Oosit Domba Prepuber
Oosit yang terfertilisasi dicirikan dengan terbentuknya PN. Berdasarkan tabel
3 hasil penelitian menunjukkan tingkat fertilisasi oosit domba prepuber nyata lebih
rendah (60%) dibandingkan dengan oosit domba puber (77,7%) (P 0,05). Data ini
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada kambing prepuber (Martino et
al. 1995). Meskipun oosit domba prepuber dan puber memiliki kemampuan yang
sama dalam tahap pembelahan meiosis yaitu keduanya mampu mencapai tahap MII,
namun tingkat fertilisasi yang dihasilkan pada oosit domba prepuber lebih rendah.
Pada penelitian sebelumnya Ledda et al. (2001) melaporkan bahwa oosit yang
berasal