Peran Imunoglobulin Y (IgY) sebagai Anti Adhesi dan opsonin untuk Pencegahan serangan Salmonella Enteritidis

PERAN IMUNOGLOBULIN (IgY) SEBAGAI ANTI ADHESI
DAN OPSONIN UNTUK PENCEGAHAN SERANGAN
Salmonella ENTERITIDIS

EFRIZAL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

PERAN IMUNOGLOBULIN (IgY) SEBAGAI ANTI ADHESI
DAN OPSONIN UNTUK PENCEGAHAN SERANGAN
Salmonella ENTERITIDIS

EFRIZAL

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

Judul Tesis
Nama
NIM

: Peran Imunoglobulin Y (IgY) sebagai Anti Adhesi dan opsonin
untuk Pencegahan serangan Salmonella Enteritidis
: Efrizal
: B054040031

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. drh. I. Wayan T. Wibawan, M.S.

Ketua

Dr. drh. Retno D. Soejoedono, M.S.
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. drh. Denny W. Lukman, M.S.

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih, Apt, M.Sc.

ABSTRAK
EFRIZAL. Peran Imunoglobulin Yolk (IgY) Sebagai Anti Adhesi dan Opsonin Untuk
Pencegahan Serangan S. Enteritidis. Dibimbing oleh : I. WAYAN T. WIBAWAN
dan RETNO D. SOEJOEDONO.
Ayam petelur memiliki peranan penting sebagai penghasil antibodi poliklonal.
Antibodi ayam atau dikenal dengan IgY dapat dipurifikasi dari kuning telur. Biaya
untuk memproduksi IgY relatif lebih murah daripada antibodi mamalia karena biaya
pemeliharaan ayam tidak mahal, relatif lebih murah dan cepat menghasilkan telur.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari cara memproduksi IgY anti S. Enteritidis
dari telur dan mengetahui peran IgY S. Enteritidis sebagai anti adhesi dan opsonin
untuk pencegahan serangan S. Enteritidis. IgY spesifik dikoleksi dari telur ayam
Single Comb Brown Leghorn yang telah diimunisasi dengaan antigen untuk
S. Enteritidis.
Imunisasi diaplikasikan
secara intravena dengan dosis antigen untuk
S. Enteritidis 0.5 ml (109 sel/ml) selama tiga hari berturut-turut pada minggu pertama.
Selanjutnya dilakukan pengulangan imunisasi sebanyak 3 kali dengan interval waktu
seminggu secara intramuscular dengan dosis untuk antigen 1 ml (109 sel/ml)

S. Enteritidis dalam Freund’s adjuvant complete di minggu kedua dan Freund’s
adjuvant incomplete di minggu ketiga dan keempat. Uji agar gel prepitasi (AGP)
dilakukan untuk mengetahui terbentuknya IgY anti S. Enteritidis. Ekstraksi IgY dari
kuning telur menggunakan metode PEG-amonium sulfat, kemudian dipurifikasi
dengan fast protein liquid chromatography. Konsentrasi IgY yang telah dimurnikan
dihitung dengan spektrofotometer UV dan untuk mengetahui berat molekul dari IgY
dilakukan dengan SDS-PAGE.
Aktifitas biologi IgY anti S. Enteritidis sebagai anti adhesi dipelajari dengan uji
hambat anti adhesi secara in vitro menggunakan sel epitel pipi manusia. Uji hambat
adhesi dilakukan dengan dosis 100 µg mampu menurunkan jumlah bakteri pada sel
epitel pipi manusia. Adhesi S. Enteritidis pada sel epitel pipi berjumlah 61 sel
bakteri/sel epitel pipi, sementara nilai anti adhesi adalah 35 sel bakteri/sel epitel pipi
manusia. IgY mampu meningkatkan nilai aktifitas makrofag dan kapasitas fagositosis
dalam proses fagositosis. Perlakuan tanpa pemberian IgY diperoleh nilai aktifitas
makrofag sebesar 34% dan kapasistas fagositosis sebesar 4.8 sel bakteri/sel epitel pipi
manusia. Sedangkan perlakuan dengan pemberian IgY anti S. Enteretidis 100 µg
diperoleh nilai aktifitas makrofag sebesar 56% dan kapasitas fagositosis sebesar
5.1 sel bakteri/sel epitel pipi manusia. Kesimpulan dari penelitian ini adalah IgY anti
S. Enteritidis berperan sebagai anti adhesi dan opsonin untuk pencegahan serangan
S. Enteritidis.

Kata kunci : imunoglobulin Yolk (IgY), kuning telur, S. Enteritidis, adhesi dan
opsonin

ABSTRACT
EFRIZAL. The Role of Yolk Immunoglobulin (IgY) as anti adhesion and opsonin
againts Salmonella Enteritidis. Under the direction of I. WAYAN T. WIBAWAN and
RETNO D. SOEJOEDONO.
Laying hens has significants part as prosedurs of polyclonal antibody. Antibody
from egg or Yolk immunoglobulin can he purified from egg yolk. The cost for
producing IgY is cheaper than for mammalia antibodies. The aim of the stuy was to
explore the role of IgY anti Salmonella Enteritidis as opsonin and anti adhesion.
Spesific IgY was collected from egg of Single Comb Brown Lenghorn hen was
applied intravenously with initial dose 0.5 ml x 109 cell/ml.
The immunization was repeated three times with an interval of one week
intramuscularly wih dose 1 ml x 109 cell/ml. First booster was Salmonella Enteritidis
antigen mixed with freund’s adjuvant complete. Anti Salmonella Enteritidis
extracted from egg yolks by means of PEG-amonium sulfat and purified using fast
purification liquid chromatography. The existence of anti Salmonella Enteritidis was
determined by agar presipitation test and spectrophotometer UV. The molecular
weight of anti Salmonella Enteritidis was determined with SDS-PAGE.

Anti adhesion and phagositosis assay using human cheek ephitel cell with dose
100 µg of anti Salmonella Enteritidis. The result show the decrease pf adhesion from
61 cell bactery/cheek ephitel cell to 35 cell bactery/cheek ephitel cell. IgY also
increase the capacity of phagositosis from 4.8 cell bactery/cheek ephitel cell to 5.1
cell bactery/cheek ephitel cell. The actifity of phagositosis are also increase from 34%
to 56%. This research concluded that hens were capable producing IgY anti
Salmonella Enteritidis ad it can be used as anti adhesion and opsonin to prevent
infection by Salmonella Enteritidis.
Key word : Yolk immunoglobulin (IgY), Chicken egg’s, S. Enteritidis, adhesion and
opsonin

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhana Wata’ala atas rahmat
yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan tesis yang berjudul “Peran Imunoglobulin Yolk (IgY) Sebagai Anti
Adhesi dan Opsonin Untuk Pencegahan Serangan Salmonella Enteritidis”.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Dr. drh. I. Wayan T. Wibawan, M.S. selaku ketua komisi pembimbing dan
Dr. drh. Retno D. Soejoedono, M.S. selaku anggota komisi pembimbing
atas waktu, saran, kesempatan , nasehat dan bimbingannya.

2. Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si. selaku Ketua Program Studi Kesehatan
Masyarakat Veteriner.
3. selaku dosen penguji luar.
4. drh. Okti Nadya Poetri selaku teman tim IgY, Dr. drh. Sri Murtini, M.S.,
Dr. drh. I. Nyoman Suartha, M.Si, drh. R. Susanti, M.P., drh. Dwi
Desmiyeni Putri, M.Si, dan drh. Nyi Luh Ika Mayasari atas bantuan,
motivasi dan sarannya.
5. Teman-teman Program Studi Kesmavet (Kelas khusus dan reguler 2005).
6. Staf Teknisi laboratorium Imunologi (Pak Lukman, Pak Nur

dan

Mas Wahyu) Departemen IPHK Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
7. Adek-adek Tim IgY ( Eka, Anggi, Vivi dan Arif) atas kerjasama selama
penelitian.
8. Ayahanda, Ibunda dan saudara-saudara saya (Hendri Maulyani, S.P,
Deshayati, S.Pd dan Fitriandi) atas segala doa dan perhatiannya.
9. Teman-teman kos Sanggar Kenangan sengked (Hazein, Dedek, Agung,
Faldy, Chaerul dan Danar).


Bogor, April 2007

Efrizal

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007.
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya
dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gunung Bayu Simalungun Sumatera Utara,
23 Januari 1978 dari ayah Harius dan ibu Nurbaiti. Penulis merupakan anak ketiga
dari empat bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan dasar sampai menengah atas di
Payakumbuh Sumatera Barat. Pada tahun 1999 penulis telah menyelesaikan
pendidikan Program Sarjana (S1) Fakultas Pertanian Universitas Batanghari
Jambi. Penulis bekerja

sebagai Staf Laboratorium Bioteknologi Fakultas


Pertanian Universitas Jambi. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan S2
pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diare merupakan salah satu gejala klinis penyakit saluran pencernaan
(gastrointestinal), ditandai dengan meningkatnya frekuensi buang air besar lebih
dari tiga kali sehari, adanya perubahan bentuk dan konsistensi tinja penderita.
Dikenal 2 jenis diare : (1) diare akut, timbul dengan tiba-tiba dan berlangsung
beberapa hari dan (2) diare kronis yang berlangsung lebih dari tiga minggu
bervariasi dari hari ke hari yang disebabkan oleh makanan tercemar atau penyebab
lainnya (Harianto 2004; Anonim 2007a). Gejala diare diikuti dengan rasa mulas,
tubuh lemas, muka pucat, kadang-kadang mual, muntah dan demam. Diare ada
yang dapat sembuh sendiri tanpa diobati, namun bila tidak ditanggulangi sedini
mungkin dapat menyebabkan dehidrasi dan bila tidak ditolong akan meninggal.
Diare merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia dan menurut

Survei Kesehatan Rumah Tangga 1986 ternyata diare termasuk dalam 8 penyakit
utama di Indonesia (Budiarso dalam Harianto 2004). Angka kesakitan diare
mencapai 200 sampai 400 kejadian tiap 1000 penduduk setiap tahun. Sebagian
besar (70 sampai 80%) penderita adalah anak balita dan 1 sampai 2% dari
penderita menderita dehidrasi. Tercatat 300 000 sampai 500 000 anak balita yang
meninggal akibat diare (Gertruida et al. dalam Harianto 2004).
Diare dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, parasit dan dapat pula
disebabkan oleh malaborpsi makanan, keracunan makanan, alergi ataupun karena
defisiensi. Salah satu bakteri penyebab diare adalah Salmonella dan penyakitnya
disebut dengan Salmonellosis. Salmonellosis selain merugikan secara ekonomi,
juga sangat penting dalam kaitannya dengan kesehatan masyarakat. Meskipun
banyak patogen lain yang dapat menyebabkan sakit, Salmonella tetap menjadi
penyebab utama penyakit. Strain bakteri S. Enteritidis dan S. typhimurium
dilaporkan penyebab Salmonellosis yang paling utama.
Dalam upaya menanggulangi penyakit diare yang disebabkan oleh
S. Enteritidis, pencegahan dini adalah upaya yang sangat penting. Salah satu
bentuk pencegahan adalah pemberian imunisasi pasif yang dapat dilakukan
dengan pemberian langsung antibodi spesifik terhadap antigen S. Enteritidis.

PERAN IMUNOGLOBULIN (IgY) SEBAGAI ANTI ADHESI

DAN OPSONIN UNTUK PENCEGAHAN SERANGAN
Salmonella ENTERITIDIS

EFRIZAL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

PERAN IMUNOGLOBULIN (IgY) SEBAGAI ANTI ADHESI
DAN OPSONIN UNTUK PENCEGAHAN SERANGAN
Salmonella ENTERITIDIS

EFRIZAL

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

Judul Tesis
Nama
NIM

: Peran Imunoglobulin Y (IgY) sebagai Anti Adhesi dan opsonin
untuk Pencegahan serangan Salmonella Enteritidis
: Efrizal
: B054040031

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. drh. I. Wayan T. Wibawan, M.S.
Ketua

Dr. drh. Retno D. Soejoedono, M.S.
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. drh. Denny W. Lukman, M.S.

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih, Apt, M.Sc.

ABSTRAK
EFRIZAL. Peran Imunoglobulin Yolk (IgY) Sebagai Anti Adhesi dan Opsonin Untuk
Pencegahan Serangan S. Enteritidis. Dibimbing oleh : I. WAYAN T. WIBAWAN
dan RETNO D. SOEJOEDONO.
Ayam petelur memiliki peranan penting sebagai penghasil antibodi poliklonal.
Antibodi ayam atau dikenal dengan IgY dapat dipurifikasi dari kuning telur. Biaya
untuk memproduksi IgY relatif lebih murah daripada antibodi mamalia karena biaya
pemeliharaan ayam tidak mahal, relatif lebih murah dan cepat menghasilkan telur.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari cara memproduksi IgY anti S. Enteritidis
dari telur dan mengetahui peran IgY S. Enteritidis sebagai anti adhesi dan opsonin
untuk pencegahan serangan S. Enteritidis. IgY spesifik dikoleksi dari telur ayam
Single Comb Brown Leghorn yang telah diimunisasi dengaan antigen untuk
S. Enteritidis.
Imunisasi diaplikasikan
secara intravena dengan dosis antigen untuk
S. Enteritidis 0.5 ml (109 sel/ml) selama tiga hari berturut-turut pada minggu pertama.
Selanjutnya dilakukan pengulangan imunisasi sebanyak 3 kali dengan interval waktu
seminggu secara intramuscular dengan dosis untuk antigen 1 ml (109 sel/ml)
S. Enteritidis dalam Freund’s adjuvant complete di minggu kedua dan Freund’s
adjuvant incomplete di minggu ketiga dan keempat. Uji agar gel prepitasi (AGP)
dilakukan untuk mengetahui terbentuknya IgY anti S. Enteritidis. Ekstraksi IgY dari
kuning telur menggunakan metode PEG-amonium sulfat, kemudian dipurifikasi
dengan fast protein liquid chromatography. Konsentrasi IgY yang telah dimurnikan
dihitung dengan spektrofotometer UV dan untuk mengetahui berat molekul dari IgY
dilakukan dengan SDS-PAGE.
Aktifitas biologi IgY anti S. Enteritidis sebagai anti adhesi dipelajari dengan uji
hambat anti adhesi secara in vitro menggunakan sel epitel pipi manusia. Uji hambat
adhesi dilakukan dengan dosis 100 µg mampu menurunkan jumlah bakteri pada sel
epitel pipi manusia. Adhesi S. Enteritidis pada sel epitel pipi berjumlah 61 sel
bakteri/sel epitel pipi, sementara nilai anti adhesi adalah 35 sel bakteri/sel epitel pipi
manusia. IgY mampu meningkatkan nilai aktifitas makrofag dan kapasitas fagositosis
dalam proses fagositosis. Perlakuan tanpa pemberian IgY diperoleh nilai aktifitas
makrofag sebesar 34% dan kapasistas fagositosis sebesar 4.8 sel bakteri/sel epitel pipi
manusia. Sedangkan perlakuan dengan pemberian IgY anti S. Enteretidis 100 µg
diperoleh nilai aktifitas makrofag sebesar 56% dan kapasitas fagositosis sebesar
5.1 sel bakteri/sel epitel pipi manusia. Kesimpulan dari penelitian ini adalah IgY anti
S. Enteritidis berperan sebagai anti adhesi dan opsonin untuk pencegahan serangan
S. Enteritidis.
Kata kunci : imunoglobulin Yolk (IgY), kuning telur, S. Enteritidis, adhesi dan
opsonin

ABSTRACT
EFRIZAL. The Role of Yolk Immunoglobulin (IgY) as anti adhesion and opsonin
againts Salmonella Enteritidis. Under the direction of I. WAYAN T. WIBAWAN and
RETNO D. SOEJOEDONO.
Laying hens has significants part as prosedurs of polyclonal antibody. Antibody
from egg or Yolk immunoglobulin can he purified from egg yolk. The cost for
producing IgY is cheaper than for mammalia antibodies. The aim of the stuy was to
explore the role of IgY anti Salmonella Enteritidis as opsonin and anti adhesion.
Spesific IgY was collected from egg of Single Comb Brown Lenghorn hen was
applied intravenously with initial dose 0.5 ml x 109 cell/ml.
The immunization was repeated three times with an interval of one week
intramuscularly wih dose 1 ml x 109 cell/ml. First booster was Salmonella Enteritidis
antigen mixed with freund’s adjuvant complete. Anti Salmonella Enteritidis
extracted from egg yolks by means of PEG-amonium sulfat and purified using fast
purification liquid chromatography. The existence of anti Salmonella Enteritidis was
determined by agar presipitation test and spectrophotometer UV. The molecular
weight of anti Salmonella Enteritidis was determined with SDS-PAGE.
Anti adhesion and phagositosis assay using human cheek ephitel cell with dose
100 µg of anti Salmonella Enteritidis. The result show the decrease pf adhesion from
61 cell bactery/cheek ephitel cell to 35 cell bactery/cheek ephitel cell. IgY also
increase the capacity of phagositosis from 4.8 cell bactery/cheek ephitel cell to 5.1
cell bactery/cheek ephitel cell. The actifity of phagositosis are also increase from 34%
to 56%. This research concluded that hens were capable producing IgY anti
Salmonella Enteritidis ad it can be used as anti adhesion and opsonin to prevent
infection by Salmonella Enteritidis.
Key word : Yolk immunoglobulin (IgY), Chicken egg’s, S. Enteritidis, adhesion and
opsonin

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhana Wata’ala atas rahmat
yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan tesis yang berjudul “Peran Imunoglobulin Yolk (IgY) Sebagai Anti
Adhesi dan Opsonin Untuk Pencegahan Serangan Salmonella Enteritidis”.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Dr. drh. I. Wayan T. Wibawan, M.S. selaku ketua komisi pembimbing dan
Dr. drh. Retno D. Soejoedono, M.S. selaku anggota komisi pembimbing
atas waktu, saran, kesempatan , nasehat dan bimbingannya.
2. Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si. selaku Ketua Program Studi Kesehatan
Masyarakat Veteriner.
3. selaku dosen penguji luar.
4. drh. Okti Nadya Poetri selaku teman tim IgY, Dr. drh. Sri Murtini, M.S.,
Dr. drh. I. Nyoman Suartha, M.Si, drh. R. Susanti, M.P., drh. Dwi
Desmiyeni Putri, M.Si, dan drh. Nyi Luh Ika Mayasari atas bantuan,
motivasi dan sarannya.
5. Teman-teman Program Studi Kesmavet (Kelas khusus dan reguler 2005).
6. Staf Teknisi laboratorium Imunologi (Pak Lukman, Pak Nur

dan

Mas Wahyu) Departemen IPHK Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
7. Adek-adek Tim IgY ( Eka, Anggi, Vivi dan Arif) atas kerjasama selama
penelitian.
8. Ayahanda, Ibunda dan saudara-saudara saya (Hendri Maulyani, S.P,
Deshayati, S.Pd dan Fitriandi) atas segala doa dan perhatiannya.
9. Teman-teman kos Sanggar Kenangan sengked (Hazein, Dedek, Agung,
Faldy, Chaerul dan Danar).

Bogor, April 2007

Efrizal

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007.
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya
dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gunung Bayu Simalungun Sumatera Utara,
23 Januari 1978 dari ayah Harius dan ibu Nurbaiti. Penulis merupakan anak ketiga
dari empat bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan dasar sampai menengah atas di
Payakumbuh Sumatera Barat. Pada tahun 1999 penulis telah menyelesaikan
pendidikan Program Sarjana (S1) Fakultas Pertanian Universitas Batanghari
Jambi. Penulis bekerja

sebagai Staf Laboratorium Bioteknologi Fakultas

Pertanian Universitas Jambi. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan S2
pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diare merupakan salah satu gejala klinis penyakit saluran pencernaan
(gastrointestinal), ditandai dengan meningkatnya frekuensi buang air besar lebih
dari tiga kali sehari, adanya perubahan bentuk dan konsistensi tinja penderita.
Dikenal 2 jenis diare : (1) diare akut, timbul dengan tiba-tiba dan berlangsung
beberapa hari dan (2) diare kronis yang berlangsung lebih dari tiga minggu
bervariasi dari hari ke hari yang disebabkan oleh makanan tercemar atau penyebab
lainnya (Harianto 2004; Anonim 2007a). Gejala diare diikuti dengan rasa mulas,
tubuh lemas, muka pucat, kadang-kadang mual, muntah dan demam. Diare ada
yang dapat sembuh sendiri tanpa diobati, namun bila tidak ditanggulangi sedini
mungkin dapat menyebabkan dehidrasi dan bila tidak ditolong akan meninggal.
Diare merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia dan menurut
Survei Kesehatan Rumah Tangga 1986 ternyata diare termasuk dalam 8 penyakit
utama di Indonesia (Budiarso dalam Harianto 2004). Angka kesakitan diare
mencapai 200 sampai 400 kejadian tiap 1000 penduduk setiap tahun. Sebagian
besar (70 sampai 80%) penderita adalah anak balita dan 1 sampai 2% dari
penderita menderita dehidrasi. Tercatat 300 000 sampai 500 000 anak balita yang
meninggal akibat diare (Gertruida et al. dalam Harianto 2004).
Diare dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, parasit dan dapat pula
disebabkan oleh malaborpsi makanan, keracunan makanan, alergi ataupun karena
defisiensi. Salah satu bakteri penyebab diare adalah Salmonella dan penyakitnya
disebut dengan Salmonellosis. Salmonellosis selain merugikan secara ekonomi,
juga sangat penting dalam kaitannya dengan kesehatan masyarakat. Meskipun
banyak patogen lain yang dapat menyebabkan sakit, Salmonella tetap menjadi
penyebab utama penyakit. Strain bakteri S. Enteritidis dan S. typhimurium
dilaporkan penyebab Salmonellosis yang paling utama.
Dalam upaya menanggulangi penyakit diare yang disebabkan oleh
S. Enteritidis, pencegahan dini adalah upaya yang sangat penting. Salah satu
bentuk pencegahan adalah pemberian imunisasi pasif yang dapat dilakukan
dengan pemberian langsung antibodi spesifik terhadap antigen S. Enteritidis.

2
Antibodi spesifik dapat ditemukan pada imunoglobulin Y pada telur ayam
(IgY) yang diinfeksi dengan S. Enteritidis, sehingga imunisasi pasif dapat
dilakukan dengan penggunaan IgY.
Teknologi penggunaan IgY unggas sebagai upaya pemberian kekebalan
pasif khususnya untuk pencegahan dan pengobatan belum banyak dilaksanakan.
Para peneliti masih menggunakan imunoglobulin dari mamalia seperti kelinci,
mencit putih, tikus, babi dan hewan mamalia besar seperti kuda, kambing, domba
dan sapi. Prosedur produksi antibodi pada hewan tersebut menyebabkan hewan
mengalami cekaman (stress) . Cekaman terjadi saat : (1) melakukan imunisasi
pada hewan dan (2) pengambilan darah untuk memanen antibodi. Berkenaan
dengan animal welfare dan juga efisiensi biaya, penggunaan antibodi dalam telur
lebih bisa diterima dibandingkan dengan penggunaan hewan percobaan
(Svendsen et al. 1994).
Penggunaan IgY anti S. Enteritidis dalam telur, dapat dilakukan karena :
(1) IgY yang terdapat dalam darah mudah ditransfer ke dalam telur dengan
konsentrasi sangat tinggi, (2) proses pengebalan ayam mudah dilakukan,
(3) produksi telur anti S. Enteritidis secara masal sangat mungkin dilakukan.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peran IgY anti S. Enteritidis sebagai
anti adhesi dan opsonin untuk pencegahan serangan S. Enteritidis.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberi informasi tentang karakter IgY
ayam anti S. Enteritidis sebagai anti adhesi dan opsonin untuk pencegahan
serangan S. Enteritidis.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Imunoglobulin Yolk (IgY)
Imunoglobulin merupakan substansi pertama yang diidentifikasi sebagai
molekul dalam serum yang mampu menetralkan sejumlah mikroorganisme
penyebab infeksi. Molekul ini disentesis oleh sel ß dalam dua bentuk yang
berbeda yaitu sebagai reseptor permukaan (untuk mengikat antigen) dan sebagai
antibodi yang disekresikan ke dalam cairan ekstraseluler (Kresno 2001).
Pada ayam terdapat tiga kelas imunoglobulin yang analog dengan
imunoglobulin mamalia yaitu IgA, IgM dan IgY (IgG). Warr et al. (1995) telah
mengusulkan keberadaan antibodi pada ayam yang homolog dengan IgE dan IgD
mamalia

namun

belum

dibuktikan.

Imunoglobulin

Yolk

(IgY)

adalah

imunoglobulin (Ig) yang sebagian besar ditemukan pada serum dan telur unggas,
selain Ig yang lain seperti Ig A dan Ig M (Carlander 2002). Molekul IgY secara
struktural terdiri dari dua rantai berat dan dua rantai ringan. Rantai berat tidak
memiliki engsel dan memiliki empat domain variabel yaitu Cv1, Cv2, Cv3 dan
Cv4. IgY memiliki berat molekul ~180 kDa dengan masing-masing rantai berat
~65 sampai 68 kDa, koefisien sedimentasi 7.8 S dan titik isoelektrik 5.7 sampai
7.6 (Davalos et al. 2000). Struktur IgG dan IgY ditunjukkan pada Gambar 1.

   



 

b

Gambar 1 Struktur IgG dan IgY (Anonim 2007b). a : IgG, b : IgY.

4
Dari sudut pandang evolusi, IgY diduga menjadi cikal bakal IgG dan IgE
mamalia. Perbandingan IgG dan IgY disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan IgY dan IgG (Zhang 2003)
Peubah
Hewan
Sumber
Berat molekul
PAGE)

(SDS-

Berat molekul (MALDITOEFMS)

Struktur dasar

Respon terhadap antigen
mamalia
Mekanisme pematangan
afinitas
Afinitas atau aviditas
Kuantitas

IgG
Mamalia
Plasma darah
Total : 150 KDa
Rantai ringan : 22 KDa x 2
Rantai berat : 50 KDa x 2
Total : 150 KDa
Rantai ringan : 23 KDa x 2
Rantai berat : 50 KDa x 2
Bagian engsel fleksibel, bagian
Fc lebih pendek dengan dua
pasang gugus karbohidrat
Dipengaruhi secara berlawanan
oleh homologi filogenik
Hipermutasi somatik

Reaksi silang

Baik (10-8 sampai 10-10 M)
Milligram
Antibodi spesifik 1 sampai 10%
jika digunakan tikus atau kelinci
Reaksi terhadap imunoglobulin
mamalia dan faktor komplemen

Isolasi non-afinitas

Perlu menghilangkan berbagai
komponen serum

Yield/bulan/hewan

Pemurnian afinitas
Stabilitas
Hidrofobisitas
Imunopresipitasi

Produktifitas
Skalabilitas
Antibodi monoklonal
Supresi imun

Protein A atau G, atau
pemurnian berdasarkan antigen
Baik, stabil pada pH 3 sampai10,
diatas 700C
Kurang hidrofobik dibanding
IgY
Baik
Kuantitas
terbatas
jika
digunakan tikus dan kelinci
sebagai inang
Relatif sulit
Dikembangkan dengan baik

Diagnostik

Beberapa
produk
sedang
dikembangkan
Digunakan
secara
luas,
khususnya antibodi monoklonal

Pengobatan

Berkembang baik

IgY
Burung, reptil, amfibi
Kuning telur
Total 180 KDa
Rantai ringan : 21 KDa x 2
Rantai berat : 70 KDa x 2
Total : 180 KDa
Rantai ringan : 19 KDa x 2
Rantai berat : 65 KDa x 2
Engsel lebih pendek dan
kurang fleksibel, bagian Fc
lebih panjang dengan tiga
pasang gugus karbohidrat
Ditingkatkan oleh perbedaan
filogenik
Konversi gen Pseudo-V
Sebanding
Gram dengan 2 sampai10%
Spesifik antibodi
Tidak
mengikat
imunoglobulin mamalia dan
faktor komplemen
Sangat perlu menghilangkan
komponen
lemak
dalam
kuning telur
Terbatas pada pemurnian
antigen
Baik, stabil pada pH 4 sampai
9, diatas 650C
Bagian Fc hidrofobik
Kurang efektif karena struktur
engsel pendek
Tinggi dengan kuantitas yang
lebih besar dan durasi panjang
Mudah dan praktis
Perlu pengembangan lebih
lanjut
Kemungkinan berguna untuk
xenotransplantasi
Berguna dan praktis untuk
berbagai aplikasi
Akan dikembangkan lebih
jauh seperti dalam pengobatan
alternatif antibiotik

5
Kelebihan IgY Ayam Dibanding IgG Mamalia
Beberapa kelebihan IgY ayam dibanding IgG mamalia dari segi molekul
antibodinya, yaitu :
1. Aviditas tinggi
Secara filogenik, ayam dengan mamalia jaraknya jauh. Perbedaan tersebut
berpengaruh pada aviditas antibodi ayam yang tinggi terhadap protein mamalia
yang terkonservasi. Dibanding dengan antibodi yang diproduksi mamalia,
antibodi ayam dapat lebih mengenali lebih banyak epitop antigenik pada antigen
mamalia (Haak 1994).
2. Reaksi silang dengan IgG mamalia rendah
Antibodi mamalia menunjukkan tingkat reaksi silang yang tinggi terhadap
imunoglobulin mamalia. Misalnya IgG kelinci anti-manusia akan bereaksi silang
terhadap IgG mamalia lain kecuali dengan IgG kelinci. Namun tidak akan
bereaksi silang dengan IgY yang secara imunologis sangat berbeda dengan IgG
mamalia. Dengan demikian IgY ayam dapat digunakan sebagai antibodi primer
dan imunoglobulin Kelinci anti IgY ayam sebagai antibodi sekunder (Larson &
Sjoquist 1998).
3. IgY tidak berkaitan dengan faktor rheumatoid
IgY ayam bereaksi dengan faktor rheumatoid (penanda respon inflamasi)
dapat menghasilkan positif palsu seperti pada kasus pengujian serum pasien yang
menderita penyakit autoimun. IgY yang tidak dapat bereaksi dengan faktor
rheumatoid

memungkinkan

hasil

akurasi

yang

tinggi

pada

diagnostik

(Davalos et al. 2000).
4. IgY tidak berikatan dengan protein A dan G
Protein A Staphylococcus dan protein G Streptococcus tidak dapat mengikat
bagian Fc ayam. Hal ini memungkinkan anti-protein A dan anti-protein G dari
ayam untuk bereaksi dengan protein A dan G. Kompleks protein A IgG dan
protein G IgG dapat bereaksi dengan antibodi ini.
5. IgY tidak mengaktifkan faktor komplemen
Komplemen merupakan mediator terpenting dalam reaksi antigen antibodi
dan terdiri atas sekitar 20 jenis protein yang berbeda satu dengan yang lain baik
dalam sifat kimia maupun dalam fungsi imunologik. Komplemen mampu memacu

6
reaksi imunologik lain yang melibatkan aktifasi sel-sel efektor dengan cara
berikatan dengan reseptor komplemen yang terdapat pada permukaan sel yang
bersangkutan, atau memacu respon imun humoral yang lain (Kresno 2001).

Pemanfaatan IgY
Adanya IgY dalam telur memberikan prospek yang sangat berarti, bukan
hanya bagi pemberian kekebalan pasif. Prinsip pengebalan pasif adalah transfer
kekebalan

terhadap

beberapa

penyakit

dapat

dilakukan

dengan

mengkomsumsi ”telur yang dibuat telah mengandung zat kebal” dan dipreparasi
secara khusus. IgY unggas mengenal lebih banyak epitoip protein mamalia
dibandingkan dengan imunoglobulin kelinci sehingga cocok untuk percobaan
imunologi untuk protein mamalia (Schade et al. 1996).
Penggunaan IgY spesifik bukan hanya bermanfaat bagi tindakan profilaksis
atau pengobatan, tetapi juga dapat dikembangkan untuk tujuan imunodiagnostik,
seperti misalnya pembuatan konjugat untuk tujuan Western Blotting, ELISA dan
reaksi imunopresipitasi (Haak 1994).
Keuntungan penggunaan telur sebagai sumber antibodi dibandingkan
dengan mamalia adalah (1) satu butir telur menghasilkan IgY setara dengan IgG
yang diambil dari 40 ml darah kelinci, (2) cara panennya sederhana, (3)
pengambilannya tidak invansif dan tidak menyakiti hewan, (4) merupakan
alternatif yang paling menjanjikan sebagai pengganti cara memproduksi IgG
konvensional, (5) dapat dipanen tiap hari terus menerus, (6) tidak menunjukkan
reaksi silang dengan komponen jaringan mamalia, karena jarak filogenik antara
unggas dan mamalia sangat jauh, (7) telur dapat disimpan dengan mudah dalam
jangka waktu relatif lama, (8) menghasilkan respon imun yang lebih spesifik, dan
(9) tidak memiliki efek samping, karena tidak bereaksi dengan IgG mamalia dan
reseptor (Davalos et al. 2000).

Salmonella Enteritidis
Salmonella Enteritidis merupakan salah satu serotipe dari sekitar 2463
serotipe Salmonella baik pada hewan atau manusia. Serotipe ini ditunjukkan oleh
adanya flagella dan fimbriae yaitu SEF 19, SEF 17, dan SEF 21 (Gambar 2).

7
Pada tahun 1888 Gartner pertama kali mengisolasi S. Enteritidis dari kotoran
manusia yang terkena wabah keracunan daging di Frankenhausen, Jerman.
S. Enteritidis merupakan bakteri gram negatif, berdiameter 0.6 sampai 0.7 mm dan
panjang 2 sampai 3 mm, bergerak dengan flagel peristik, soliter, berpasangan atau
kadang membentuk rantai pendek. Pada media agar S. Enteritidis membentuk
koloni yang memiliki diameter 2 sampai 4 mm ( Saeed 1999; Clark 2007).

Gambar 2 Salmonella Enteritidis (Clark 2007).
Keberadaan organisme ini dapat dideteksi dengan isolasi dan identifikasi
menggunakan reaksi kimia. Gejala yang mungkin terlihat pada ayam yang
terinfeksi adalah depresi, malas bergerak, diare, sayap terkulai, feses berwarna
putih encer, kornea keruh dan bola mata mengalami perkejuan. Setelah nekropsi
akan

terlihat

adanya

perikarditis,

periphepatitis,

salphingitis,

enteritis

hemoraghika, sekum membengkak, bercak nekrosis dan adanya lesio nekrotik
pada paru-paru, hati dan jantung (Lay 2000).
Keamanan pangan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan
dalam upaya penyediaan pangan hewan bagi konsumsi masyarakat, yang sangat
erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat. Produk asal ternak unggas
merupakan sumber utama Salmonella yang menyebabkan penyakit pada manusia
(Gast 2003). Kasus Salmonellosis pada manusia paling sering dilaporkan akibat
mengkonsumsi daging, telur atau hasil olahannya (Pascual et al. 1999; Craven &
Williams 1997).
Humprey (1998) menyatakan bahwa, meningkatnya konsumsi daging dan
telur yang diikuti dengan peningkatan kasus Salmonellosis pada manusia dalam

8
beberapa tahun terakhir ini. Di Amerika Serikat sekitar 50% kejadian
Salmonellosis

pada

manusia

disebabkan

oleh

bakteri

Enteritidis,

S.

S. typhimurium dan S. heidelberg (Pascual et al. 1999).
Di Indonesia, telah banyak dilaporkan kasus Salmonellosis yang
disebabkan oleh Salmonella Enteritidis pada peternakan ayam broiler. Dari tahun
1990–1996 telah diisolasi S. Enteritidis dari sampel ayam yang dikirim ke Balai
Penelitian Veteriner Bogor (Purnomo & Bahri 1997).

Sampai

saat

ini

S. Enteritidis telah diisolasi dari ayam (usapan rectal, usus/sekum, hati, limpa dan
jantung), karkas, kuning telur, litter dan fluff (bulu-bulu halus dari mesin tetas).
Salmonellosis juga dapat ditularkan oleh ayam ke telur secara

trans ovarial,

sehingga telur ayam dapat terkontaminasi Salmonella tanpa menimbulkan
perubahan pada penampilan telur.
Daging dan telur ayam merupakan sumber protein hewani yang utama
bagi masyarakat, yang sering tidak bebas dari bakteri ini. Lebih berbahaya lagi
S. Enteritidis dapat diisolasi dari kuning telur, padahal telur dan hasil olahannya
sering disajikan dalam bentuk mentah atau setengah matang (seperti omelette,
scramble dan mayonnaise). Ini menunjukkan bahwa infeksi S. Enteritidis masih
merupakan ancaman bagi manusia. Jika dikaitkan dengan kebiasaan masyarakat
Indonesia yang mencampurkan kuning telur ke dalam jamu, maka penularan
langsung S. Enteritidis dari telur ke manusia sangat mudah terjadi.
Sejak tahun 1980-an, di beberapa negara telah dilaporkan terjadi kenaikan
kasus salmonellosis yang disebabkan oleh S. Enteritidis pada ayam dan manusia
(Rodrique et al. 1990; Adesiyun et al. 2000). Meningkatnya kasus Salmonellosis
pada manusia disebabkan oleh infeksi S. Enteritidis karena mengkonsumsi
makanan seperti ayam, telur dan hasil olahannya yang terkontaminasi oleh bakteri
tersebut (Craven and Williams 1997; Pascual et al. 1999; Ahmed et al. 2000).
Meningkatnya kasus Salmonellosis pada manusia juga dilaporkan dari Amerika
Serikat dan Canada (Ahmed et al. 2000; CCDR 1997; Riemann et al. 1998).
Kenaikan kasus pada ayam dan telur juga dilaporkan dari Inggris, Korea, Wales,
Amerika Serikat, Zambia dan Yunani (Chang 2000; Gast & Holt 2000;
Hang’ombe et al. 1999) dan pada manusia dilaporkan dari Amerika Serikat dan
Canada (Ahmed et al. 2000; CCDR 1997; Riemann et al. 1998). Disamping itu,

9
telah terjadi kenaikan resistensi S. Enteritidis terhadap antibiotika, seperti telah
dilaporkan dari Taiwan dan Amerika Serikat (Su et al. 2002).

Patogenitas Salmonella Enteritidis
Salmonellosis dibagi dalam tiga tahap, yaitu (1) kolonisasi usus yang
merupakan tahapan terpenting dalam proses ini. Kolonisasi usus terjadi karena
adanya penambahan keseimbangan flora normal usus sehingga menghambat
proses kolonisasi bakteri non patogen dan penurunan gerakan peristaltik sehingga
memudahkan kolonisasi Salmonella (2) Perasukan lapisan epitel usus. Tahap ini
terjadi pada bagian vili dari ileum dan kolon dengan melewati lapisan ”Brush
Border” hingga sampai ke dalam sel lainnya, lalu melewati lamina propia dan
terus berkembang yang diikuti proses fagositosis dan terperangkapnya mikroba
dalam limfo glandula dan (3) Penggertakan pengeluaran cairan. Tahap ini terjadi
akibat peningkatan aktivitas enzim adenil siklase oleh infeksi Salmonella dan
akibat aktivasi enterotoksin Salmonella yang dapat menginduksi respon sekretori
dari sel epitel usus, maka terjadilah akumulasi cairan dalam lumen usus (Lay &
Hastowo 1992). .
Keparahan penyakit dipengaruhi oleh faktor antigen baik somatik maupun
flagela, produksi toksin, kemampuan bertahan dalam pH asam dan suhu tinggi
dari bakteri, jumlah bakteri dan kemampuan berinvansi serta berkolonisasi dalam
jaringan. Faktor lain adalah kondisi inang, seperti stres dan lingkungan
(Gast 2003).

Sistem Kekebalan yang Menanggapi Serangan Bakteri
Bila bakteri melekat pada permukaan mukosa usus, bakteri akan berhadapan
dengan sel-sel imunitas. Bakteri akan didegradasi oleh makrofag dan
menghasilkan reruntuhan (debris) yang akan dikeluarkan oleh makrofag, tetapi
fragmen peptida dari protein bakteri akan ditransfer ke permukaan makrofag.
Selanjutnya akan dibentuk kompleks peptida-MHC (Major Histocompability
Complex). Kompleks ini akan menstimulasi sel T. helper yang akan menstimulasi
sel B untuk membentuk antibodi (Bellanti 1993).

10
Saat ini dikenal dua macam antibodi yaitu antibodi poliklonal dan antibodi
monoklonal. Antibodi yang diperoleh dari hewan hiperimun dikenal antibodi
poliklonal atau konvensional yang bersifat heterogen. Cara ini digunakan untuk
memperoleh sejumlah besar antibodi terhadap antigen spesifik. Antibodi
monoklonal merupakan produk klon tunggal sel ß yang mempunyai keseragaman
struktur molekul. Antibodi monoklonal sudah luas digunakan untuk berbagai
kepentingan yaitu untuk diagnosa (deteksi antigen atau antibodi baik secara in
vitro maupun in vivo, terapi (pencegahan), pemurnian (koagulasi) dan penelitian
(klasifikasi, taksonomi mekanisme) species bakteri dan studi biokimia
(Macario & Macario 1985).

Adhesi
Proses adhesi merupakan tahap awal infeksi bakteri yang berperan dalam
kolonisasi bakteri tersebut pada permukaan sel inang. Adanya adhesi
memperpendek jarak antara bakteri dengan permukaan tubuh inang sehingga
mempermudah toksin yang dihasilkan bakteri untuk melekat pada reseptornya.
Dalam adhesi dikenal dua bentuk pola adhesi yaitu (1) adhesi yang bersifat non
spesifik, dan (2) adhesi yang bersifat spesifik (Christensen & Beachey 1984).
Perlekatan bakteri pada sel inang berfungsi sebagai menetap dan dapat
merupakan langkah awal proses infeksi. Proses ini dipengaruhi oleh interaksi
komponen permukaan bakteri dan sel inang dengan faktor lingkungan yang dapat
mendukungnya seperti fibrinectin (suatu protein yang bersifat adhesif), fibrinogen,
vitronektin dan laktoferin (Mims 1982). Struktur yang mungkin bertanggung
jawab terhadap sifat adhesi bakteri adalah adhesin fimbiriae, asam lipoteikoat dan
protein adhesin. Interaksi yang terlibat dalam adhesin sebagian besar disebabkan
oleh struktur permukaan hidrofob (Doyle & Rosenberg 1990).

Opsonisasi
Opsonisasi merupakan pengikatan partikel oleh suatu zat (oleh molekul Ig
atau C3). Opsonisasi dipermudah dengan adanya reseptor untuk FC Ig dan C3
pada permukaan sel membran makrofag. Opsonisasi antigen oleh imunoglobulin
meningkatkan fagositosis, mempermudah APC (Antigen Presenting Cell)

11
memproses dan menyajikan antigen ke sel T dan meningkatkan fungsi sel NK
(Natural Killer) dalam mekanisme antibodi dependent cytotoxicity (ADCC)
(Kresno 2001).
Mekanisme opsonisasi dapat melalui beberapa cara yaitu (1) antibodi
spesifik yang berfungsi sebagai opsonin, (2) ikut campurnya komponen C3b
sistem komplemen, mirip dengan kemotaksis, dan (3) bantuan substansi yang
berasal dari protein serum berupa heat-labile factor dan bersifat opsonin
(Shwatz & Lazar 1980).

Fagositosis
Fagositosis adalah suatu proses penjeratan dan penghancuran benda asing
yang dilakukan oleh sel-sel fagositik dan merupakan sistem pertahanan inang.
Terdapat

dua

tipe

sel

fagositik

yaitu

sel

leukosit

polimorf

(Polymorphonuclear/netrofil) dan sel mononuclear fagosit (makrofag). Banyak
faktor yang mempengaruhi proses fagositosis antara lain pergerakan sel fagositik
karena rangsangan benda asing dan kerentanan benda asing untuk difagositasi
(Kuby 1997). Dalam kerjanya, sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen
dan sistem imun spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingkat
yaitu kemotaksis, menangkap, memakan (fagositosis), membunuh dan mencerna.

12

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2005 sampai Desember 2006 di
Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium Terpadu, Laboratorium Bakteriologi,
Laboratorium Produksi Bahan Biologis dan Imunologi Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Metode Penelitian
Preparasi Antigen S. Enteritidis
Bakteri S. Enteritidis rujukan ATCC 130706 dan lokal 821/94 ditumbuhkan
pada media BHI dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 18 jam. Suspensi
disentrifugasi pada kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit. Pelet diresuspensikan
dengan 5 ml NaCl fisiologis, disentrifugasi pada 10 000 rpm 10 menit, dilakukan
2 kali. Pelet dilarutkan dalam 5 ml NaCl fisiologis, dihomogenkan dan diukur
pada Ȝ 620 nm dengan transmisi 10% konsentrasi selnya untuk menentukan
kandungan bakteri

109 sel/ml. Suspensi diinaktifkan dalam penangas air pada

suhu 56 oC selama 60 menit, didinginkan dan siap digunakan sebagai vaksin
untuk memproduksi antibodi.

Produksi Antibodi
Ayam petelur Single Comb Brown Leghorn berumur 24 minggu diinjeksi
dengan 0.5 ml (109sel/ml) suspensi S. Enteritidis secara intravena (Carlander
2002) selama tiga hari berturut-turut. Kemudian dilanjutkan dengan menyuntik
1 ml (109sel/ml) suspensi S. Enteritidis dalam Freund’s adjuvant complete pada
minggu II , serta 1 ml (109sel/ml) suspensi S. Enteritidis dalam Freund’s
adjuvant incomplete pada minggu III dan IV secara intramuskular (Wibawan
& Laemmler 1992). Satu minggu setelah penyuntikan terakhir dilakukan panen
serum dan keberadaan antibodi diuji dengan uji Agar Gel Prepisipitasi (AGP).
Telur-telur yang memiliki antibodi terhadap S. Enteritidis dikoleksi dan disimpan
dalam suhu 4 oC.

13
Persiapan Antigen Untuk Uji Agar Gel Presepitasi (AGP)
Bakteri S. Enteritidis ditumbuhkan pada media BHI, diinkubasi pada suhu
o

37 C selama 18 jam. Suspensi disentrifugasi pada kecepatan 10 000 rpm selama
10 menit. Pelet diresuspensikan dengan 5 ml NaCl fisiologis, disentrifugasi pada
10 000 rpm dilakukan 2 kali. Pelet dicuci, ditambah 0.5 ml HCl 0.2 N dan
ditangas dalam penangas air dengan suhu 56 oC selama 1 jam. Kemudian
ditambah satu tetes phenol red dan ditambah NaOH 1 N hingga berwarna merah.
Suspensi disentrifugasi pada 10 000 rpm selama 10 menit, dilakukan 2 kali.
Supernatan digunakan sebagai antigen (Wibawan & Laemmler 1992).

Pengujian IgY anti S. Enteritidis dengan Uji AGP
Agar dibuat dengan melarutkan 0.4 g agarose dan 1.2 g Poly Ethylene
Glycol 6000 dalam 20 ml akuades dan 25 ml PBS 0.5 M pH 7.4. Campuran
dididihkan pada suhu 70 sampai 80 oC hingga larut. Campuran dipipet sebanyak
3.75 ml, dituangkan pada gelas obyek dan ditunggu sampai mengeras. Kemudian
dibuat sumur-sumur dengan puncher. Pada sumur tengah dimasukkan antigen
(25 ȝl) dan 25 ȝl antibodi (IgY) dari serum pada sumur sekelilingnya. Gelas
obyek diletakkan di atas kertas saring basah agar terjaga kelembabannya. Reaksi
dibaca setelah 18 sampai 48 jam, reaksi positif ditunjukkan dengan adanya garis
prepisitasi pada daerah antigen tersebut.

Ekstraksi IgY dari Kuning Telur Ayam
Kuning telur dipisahkan dari bagian putih telur, dan dicuci dengan air
deionisasi. Kuning telur diletakkan di atas kertas saring untuk menghilangkan
putih telur yang melekat. Membran kuning telur dilubangi dengan cara diangkat
dengan pinset, cairan kuning telur ditampung pada gelas beaker dan dilarutkan
secara perlahan dalam milli-Q pH 4. Setelah homogen ditambahkan lagi milli-Q
pH 2 hingga pH suspensi 5.0 sampai 5.2 dan diinkubasi pada suhu 4 oC minimal
12 jam. Suspensi disenrifugasi dengan kecepatan 4 880 rpm pada suhu 4 oC
selama 20 menit dan supernatan diambil (Water Soluble Fractination) serta
dikembalikan hingga pH 7.5.

14
WSF dipekatkan dengan PEG 6000 dan amonium sulfat. WSF ditambahkan
PEG 6000 sehingga kosentrasi akhir 12% (w/v). Suspensi disentrifugasi dengan
kecepatan 3 000 rpm selama 15 menit suhu 20oC. Pelet ditambahkan dengan
amonium sulfat 40% sebanyak

5 ml dan disentrifugasi dengan kecepatan

11 700 rpm selama 15 menit, dilakukan 3 kali. Pelet disuspensikan dengan PBS
sebanyak 1 ml, dan ditambahkan dua tetes 0.1% Na-azide. Suspensi didialisis
selama 24 jam dengan PBS pH 8.0 (Polson et al. 1980).

Pemurnian IgY dengan FPLC
Pemurnian dilakukan dengan fast protein liquid chromatography (FPLC)
menggunakan kolom Hi-trap IgY (Anonim 2006). Matriks dalam kolom dibilas
dengan buffer K2SO4 20 mM dalam larutan NaH2PO4 20 mM pH 7.5. IgY hasil
dialisis dimasukkan ke dalam kolom, bersamaan dengan buffer K2SO4 20 mM.
Matriks akan mengikat IgY dan protein-protein, selain IgY akan lolos protein lain
yang dapat dilihat dari kenaikan garis pada grafik. Protein-protein ini dibuang.
Selanjutnya dilakukan elusi IgY dari matriks dengan larutan NaH2PO4
20 mM pH 7.5. IgY yang terelusi akan terdeteksi oleh monitor absorban yang
ditandai dengan naiknya garis sampai terbentuk garis puncak. Larutan ini
ditampung dalam tabung reaksi, kemudian dipekatkan sampai kira-kira kembali
ke volume asal. Matriks dicuci dengan cleaning buffer (larutan 30% propanol
dalam NaH2PO4 20 mM pH 7.5).

Penentuan Konsentrasi Protein
Kosentrasi protein ditentukan dengan menggunakan metode Bradford (1976).
Absorbansi sampel ditentukan dengan pembacaan pada spektrofotometer UV pada
Ȝ 280 nm. Konsentrasi sampel dihitung berdasarkan kurva larutan standard
(Bovine Serum Albumin) yang telah dibuat.

Penentuan Berat Molekul Sampel dengan SDS-PAGE
Untuk mengetahui berat molekul dari IgY dilakukan dengan metode
SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis)

15
(Laemmli 1970). SDS-PAGE dengan menggunakan sistem diskontinu, terdiri atas
gel pemisah konsentrasi 12% dan gel pengumpul 4%. Masing-masing dari sampel
IgY hasil FPLC (fraksi ke-3 dan fraksi ke-4) ditambah dengan buffer sampel
dengan perbandingan 1:1 dan ditangas dalam penangas air pada suhu 70 oC
selama 5 menit sebelum dimasukkan ke dalam sumur gel elektroforesis.
Marker dan sampel IgY sebanyak 10 µl dimasukkan dalam masing-masing
sumur, kemudian perangkat elektroforesis dijalankan dengan arus listrik 80 mA
dan 100 volt selama 180 menit. Elektroforesis dihentikan apabila pewarna sampel
telah mencapai 0.5 cm dari bagian atas bawah gel. Gel diangkat dari lempeng kaca
dan direndan dengan pewarna comassie brilliant blue (Sigma chemical co.)
selama 3 jam pada suhu ruang sambil diagitasi secara perlahan. Pewarna yang
tidak terikat pada protein dihilangkan dengan merendam gel pada larutan pemucat
methanol dan asam asetat hingga pita-pita protein pada gel terbentuk dengan jelas
(Svendsen et al. 1994).

Uji Biologis Ig Y
Preparasi S. Enteritidis
Preparasi bakteri dilakukan menurut metode Estuningsih (1998) dengan
modifikasi. Preparasi bakteri digunakan untuk uji adhesi, anti adhesi dan
opsonisasi. Bakteri S. Enteritidis ditumbuhkan pada media BHI kemudian
diinkubasi pada suhu 37 oC selama 18 jam. Inokulum disentrifugasi pada
kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit. Pelet diresuspensikan dengan 5 ml NaCl
fisiologis kemudian disentrifugasi pada 10 000 rpm 10 menit, dilakukan 2 kali.
Pelet dilarutkan dalam 5 ml NaCl fisiologis, dihomogenkan dengan vortek mixer,
diukur pada Ȝ 620 nm dengan transmisi 10% konsentrasi selnya untuk
menentukan kandungan bakteri 109 sel/ml. Suspensi diinaktifkan dalam penangas
air dengan suhu 56 oC selama 60 menit dan didinginkan.

Suspensi Sel
Sel epitel pipi yang digunakan berasal dari kerokan mukosa pipi manusia.
Kerokan mukosa pipi manusia tersebut diambil dengan menggunakan spatel yang
steril dan disuspensikan dalam 10 ml PBS. Sel epitel pipi yang mengambang

16
diambil dengan menggunakan pipet pasteur dan disentrifugasi dengan kecepatan
3 000 rpm selama 10 menit. Larutan sel epitel pipi dicuci dengan PBS sebanyak
2 kali dan dengan menggunakan haemasitometer dihitung jumlah sel epitel pipi
yang digunakan dalam penelitian sebanyak 106 sel/ml (Wibawan et al. 1999).

Uji adhesi
Uji adhesi dilakukan menurut metode Wibawan et al. (1999) dengan
modifikasi. Uji ini dilakukan sebagai kontrol uji hambat anti adhesi, dengan cara
membuat bahan percobaan yang terdiri dari sel epitel dan bakteri. Bahan
percobaan terdiri dari suspensi sel epitel pipi 0.5 x 106 sel/ml dan 0.5 x 108 sel/ml
bakteri . Bahan coba tersebut ditempatkan pada tabung mikro dan diinkubasikan
selama 1 jam suhu 37 oC. Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm
selama 10 menit. Preparat ulas difiksasi dengan methanol selama 15 menit,
diwarnai dengan Giemsa selama 60 menit, dan selanjutnya dilihat di bawah
mikroskop menggunakan perbesaran 1000x. Perhitungan dilakukan terhadap
20 sel pada setiap pengamatan.

Uji Hambat Adhesi
Uji hambat adhesi dilakukan dengan cara membuat bahan percobaaan
bakteri, yang terdiri dari campuran antibodi, sel epitel pipi dan bakteri
(Pruimboom et al. 1996). Dalam penelitian ini bahan percobaan bakteri terdiri dari
IgY (100 µg/ml), suspensi sel epitel pipi 0.5 x 106 sel/ml dan 0.5 x 108 sel/ml
bakteri . Bahan coba tersebut ditempatkan pada tabung mikro dan diinkubasikan
selama 1 jam suhu 37 OC. Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm
selama 10 menit. Preparat ulas difiksasi dengan metanol selama 15 menit,
diwarnai dengan Giemsa selama 60 menit, dan selanjutnya dilihat di bawah
mikroskop menggunakan perbesaran 1000x.

Preparasi Makrofag
Makrofag mengandung maksimal 50% limfosit disiapkan dengan mencuci
ruang peritonium mencit yang sehat (Hudson & Hay 1989). Penelitian ini

17
menggunakan makrofag yang berasal dari mencit putih (Mus musculus albinus)
strain Ddy, umur 5 sampai 6 minggu dengan berat rata-rata 20 sampai 30 gram per
ekor dengan jenis kelamin jantan yang berasal dari PT. Biofarma Bandung.
Makrofag didapat dengan cara menyuntikkan cairan PBS dan IgY pada bagian
perut mencit. Satu jam kemudian dilakukan pembedahan pada perut, sebelum
dibedah terlebih dahulu dilakukan pemijatan pada perut mencit. Setelah
pembedahan cairan peritonium dipanen dan dihitung dengan haemasitometer
jumlah makrofag sebanyak 105 sel/ml

yang digunakan dalam bahan coba

fagositosis.

Uji Aktifitas IgY Sebagai Opsonin
Untuk mengetahui IgY sebagai opsonin ditunjukkan dalam uji fagositosis.
Assay fagositosis dilakukan menurut metode Wibawan et al. (1999) dengan
modifikasi. Bahan coba fagositosis dibuat dengan cara menambahkan IgY
(100 µg/ml), suspensi makrofag 0.5 x 106 sel/ml dan 0.5 x 108 sel/ml bakteri
ditempatkan pada tabung mikro, diinkubasi selama 1 jam suhu 37 oC. Suspensi
disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 menit dan pelet dibuat
preparat ulas. Preparat ulas difiksasi dengan metanol selama 15 menit, diwarnai
dengan Giemsa selama 60 menit, lalu dilihat di bawah mikroskop dengan
perbesaran 1000x.

Penentuan Nilai Aktifitas dan Kapasistas Fagositosis
a. Nilai Aktifitas Fagositosis
Nilai aktifitas fagositosis ditetapkan menurut jumlah sel makrofag yang
secara aktif melakukan proses fagositosis dalam 100 sel dibandingkan dengan
banyaknya makrofag, dinyatakan dalam persen.
Aktifitas makrofag = Jumlah makrofag aktif X 100%
Jumlah makrofag total
b. Nilai Kapasitas Fagositosis
Nilai kapasitas fagositosis ditetapkan menurut jumlah bakteri S. Enteritidis
ditambah IgY dan S. Enteritidis tanpa IgY yang dimakan oleh