Peran Antibodi Kuning Telur (IgY) Sebagai Anti Adhesi dan Opsonin Untuk Pencegahan Serangan Mutan Streptococcus Serotipe d (Streptococcus Sobrinus)

(1)

PERAN ANTIBODI KUNING TELUR (IGY) SEBAGAI ANTI ADHESI DAN

OPSONIN UNTUK PENCEGAHAN SERANGAN MUTAN STREPTOCOCCUS

SEROTIPE d (Streptococcus sobrinus)

O

KTI

N

ADIA

P

OETRI

B053050021

S

EKOLAH

P

ASCASARJANA

I

NSTITUT

P

ERTANIAN

B

OGOR

B

OGOR


(2)

P

ERNYATAAN

M

ENGENAI

T

ESIS

D

AN

S

UMBER

I

NFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peran Antibodi Kuning Telur (IgY) Sebagai Anti Adhesi dan Opsonin Untuk Pencegahan Serangan Mutan Streptococcus serotipe d (Streptococcus sobrinus) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2007

Okti Nadia Poetri NRP B053050021


(3)

A

BSTRACT

OKTI NADIA POETRI. Role of Egg Yolk Antibody (IgY) as Opsonin and Anti Adhesion Against Serotype d Mutan Streptococcus (Streptococcus sobrinus). Under direction of RETNO D. SOEJOEDONO and AGUSTIN INDRAWATI.

The role of serotype d Mutan Streptococcus (Streptococcus sobrinus) spesific Immunoglobulin Y (IgY-Ss) as anti adhesion and opsonin against the same strain was studied. The eggs was collected from Single Comb Brown Leghorn which have been immunized with Streptococcus sobrinus. Agar gel precipitation test was to detect Ss in serum and egg. Egg which contain IgY-Ss was collected and extracted by PEG-Amonium sulphat and purified using fast protein liquid chromatography. The purity of IgY-Ss was determined by UV spectrophotometer. Molecular weight was established by SDS-PAGE (Sodium Dedocyl Sulphat-Poly Acrilamide Gel Electrophoresis). Biological activities of IgY-Ss to inhibit adhesion process was learned by adhesion assay. Bacterial adhesion on epithelial cell was reduced by preincubation of both S. sobrinus (107 CFU/ml) and 100 g of IgY-Ss. Adhesion values reduced from 39.9 bacterial cell/ epithelial cell to 30.7 bacterial cell/ epithelial cell. Opsonization with equal dose of IgY-Ss did not increased phagositic activity but increased phagositic capacity from 1.6 bacterial cell/ macrophag to 5.18 bacterial cell/ macrophag. These finding indicate that IgY-Ss obtained from hens immunized with S. sobrinus provide a novel alternative to treatment of S. sobrinus infection.

Key words : Immunoglobulin Y (IgY), Streptococcus sobrinus, adhesion, phagositosis.


(4)

R

INGKASAN

OKTI NADIA POETRI. Peran Antibodi Kuning Telur (Igy) Sebagai Anti Adhesi Dan Opsonin Untuk Pencegahan Serangan Mutan Streptococcus Serotipe d (Streptococcus Sobrinus). Dibimbing oleh RETNO D. SOEJOEDONO dan AGUSTIN INDRAWATI.

Ayam petelur memiliki peran penting sebagai penghasil antibodi poliklonal. Antibodi ayam atau dikenal dengan imunoglobulin Y (IgY) dapat dipurifikasi dari kuning telur. Biaya untuk memproduksi IgY relatif lebih murah daripada antibodi mamalia karena biaya pemeliharaan ayam tidak mahal, relatif lebih mudah dan cepat menghasilkan telur. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari peran IgY spesifik MS serotipe d (Streptococcus sobrinus) (IgY-Ss) sebagai anti adhesi dan opsonin pada sel epitel pipi. IgY spesifik dikoleksi dari telur ayam Single Comb Brown Leghorn yang telah diimunisasi dengan antigen utuh S. sobrinus. Imunisasi diaplikasikan secara intravena dengan dosis antigen utuh S. sobrinus 0,5 ml (109CFU) selama tiga hari berturut-turut pada minggu pertama . Kemudian dilakukan pengulangan imunisasi (booster) sebanyak tiga kali dengan interval waktu seminggu secara intramuskular dengan dosis antigen utuh S. sobrinus 1 ml (109CFU) dalam Freud’s adjuvant complete pada minggu kedua dan dalam Freud’s adjuvant incomplete pada minggu ketiga dan keempat. Uji agar gel presipitasi (AGP) dilakukan untuk mengetahui terbentuknya IgY spesifik S.sobrinus (IgY-Ss). Ayam yang serum dan telurnya positif pada uji AGP kemudian telurnya di koleksi untuk dilakukan ekstraksi. Ekstraksi IgY-Ss dari kuning telur menggunakan metode PEG-amonium sulfat kemudian dipurifikasi dengan fast protein liquid chromatography. Konsentrasi IgY-Ss yang telah dimurnikan dihitung dengan spektrofotometer UV. Kemudian berat molekul IgY-Ss ditentukan dengan metode SDS Page dan menggunakan pewarnaan Commasie blue. Aktifitas biologis IgY-Ss sebagai anti adhesi dipelajari dengan assay adhesi secara in vitro menggunakan sel epitel pipi manusia. Assay adhesi dilakukan dengan dosis IgY-Ss 100 g . Peran IgY-Ss sebagai opsonin dipelajari dengan assay fagositosis menggunakan dosis IgY sebesar 100 g. Hasil penelitian yang diperoleh adalah IgY-Ss telah terbentuk dalam serum pada minggu kelima, sedangkan dalam telur pada minggu kesembilan setelah imunisasi pertama. Pre-inkubasi 100 g IgY-Ss pada sel bakteri dan epitel pipi mampu menurunkan nilai adhesi dari 39,9 sel bakteri/ sel epitel pipi menjadi 30,7 sel bakteri/ sel epitel pipi. Opsonisasi dengan 100 g IgY-Ss tidak meningkatkan aktifitas fagositosis namun hanya meningkatkan kapasitas fagositosis makrofag dari 1,6 sel bakteri/ makrofag menjadi 5,17 sel bakteri/ makrofag. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ayam mampu memproduksi IgY spesifik anti S. sobrinus (IgY-Ss) pada serum dan kuning telur. Proses opsonisasi IgY-Ss pada S. sobrinus dapat meningkatkan kapasitas fagositosis. Preinkubasi IgY-Ss pada S. sobrinus (107 CFU/ ml) dan sel epitel pipi (105 sel) dapat mengurangi adhesi bakteri tersebut pada sel.


(5)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik


(6)

P

ERAN

A

NTIBODI

K

UNING

T

ELUR

(I

G

Y)

S

EBAGAI

A

NTI

A

DHESI DAN

O

PSONIN

UNTUK

P

ENCEGAHAN

S

ERANGAN

M

UTAN

S

TREPTOCOCCUS SEROTIPE

d

(S

TREPTOCOCCUS SOBRINUS

)

O

KTI

N

ADIA

P

OETRI

B053050021

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sains Veteriner

S

EKOLAH

P

ASCASARJANA

I

NSTITUT

P

ERTANIAN

B

OGOR

B

OGOR


(7)

(8)

Judul : Peran Antibodi Kuning Telur (IgY) Sebagai Anti Adhesi dan Opsonin Untuk Pencegahan Serangan Mutan Streptococcus serotipe d (Streptococcus sobrinus)

Nama : Okti Nadia Poetri

NRP : B053050021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Drh. Retno D. Soejoedono, MS Ketua

Dr. Drh. Agustin Indrawati, MBiomed Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Sains Veteriner

Dr.drh.Bambang Pontjo P.

Tanggal Lulus :

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(9)

P

RAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas ridho dan kekuatannya penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat kelulusan dari program pascasarjana pada program studi Sain Veteriner dengan judul “Peran Antibodi Kuning Telur (Igy) Sebagai Anti Adhesi Dan Opsonin Untuk Pencegahan Serangan Mutan Streptococcus Serotipe d (Streptococcus Sobrinus)”.

Pertama-tama penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada RUT XII yang telah memberi kesempatan dan dana dalam menyelesaikan penelitian ini. Rasa terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. drh. Retno D. Soejoedono atas bimbingan masukan selama penelitian ini serta berbagai kemudahan dalam menggunakan fasilitas yang menunjang penelitian. Terima kasih kepada Dr. drh. I Wayan T. Wibawan dan Dr. drh. Agustin I, Mbiomed atas bimbingan dan masukannya, drh. R Susanti MP, Efrizal SP, drh. Dwi Desmiyeni MSi, drh. Santi Chismirina MSi, drh. Ni Luh Ika, Drs. Agus Somantri, Mas Wahyu, Pa Lukman, Pa Enur atas bantuan selama penelitian. Terima kasih kepada drh. Muhammad Agus Amiruddin atas restu, doa, dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan tesis.

Bogor, Juli 2007


(10)

R

IWAYAT

H

IDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Oktober 1980 di Depok dari pasangan Ayahanda Siddiq Ahmad dan Ibunda Nenden Herni Suryasih. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1992 di SDN Kukusan Beji Depok, selanjutnya tahun 1995 menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMPN 2 depok. Pendidikan menengah atas diselesaikan di SMUN 1 Depok pada tahun 1998. Gelar Sarjana Kedokteran Hewan dan Dokter Hewan diperoleh penulis di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor berturut-turut pada tahun 2002 dan 2004.

Penulis pernah bergabung dalam Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) selama 6 bulan, kemudian menjadi staf pengajar di Laboratorium Imunologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB mulai tahun 2005 sampai sekarang.


(11)

DAFTAR ISI

Daftar Isi ... x Daftar Gambar ... xii Daftar Tabel ... xii I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan Penelitian ... 2 1.3 Hipotesis ... 2 II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Imunoglobulin Y (IgY) ... 3 2.2 Karies Gigi ... 6 2.3 Mutan Streptococcus

2.3.1 Transmisi Mutan Streptococcus ... 2.3.2 Patogenitas Mutan Streptococcus ... 2.3.3 Streptococcus sobrinus ...

10 11 13 2.4 Fagositosis ... 14 III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu ... 17 3.2 Bahan dan Metode

3.2.1 Bahan dan Alat ... 3.2.2 Metode Penelitian

1) Re-Karakterisasi dan Identifikasi bakteri ... 2) Preparasi Antigen Utuh ... 3) Produksi Antibodi MS pada Ayam ... 4) Persiapan antigen terlarut untuk Uji Agar Gel Presipitasi ... 5) Uji Agar Gel Presipitasi ... 6) Ekstraksi dan Purifikasi IgY dari Kuning Telur Ayam ... 7) Penentuan Konsentrasi dan Berat Molekul IgY ... 8) Aktifitas Biologis Ig Y sebagai Anti Adhesi In Vitro ... 9) Aktifitas IgY sebagai Opsonin In vitro ... 10) Analisa Statistik

17 18 18 18 19 19 19 20 21 21 22 IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Re-Karakterisasi Isolat Bakteri ... 23 4.2 Produksi IgY Anti Streptococcus sobrinus pada Telur Ayam ... 24


(12)

4.4 Aktifitas biologis Ig Y-Ss ... 28 V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 5.2 Saran ...

32 32 DAFTAR PUSTAKA... 33 LAMPIRAN... 38


(13)

D

AFTAR

G

AMBAR

1 Struktur Imunoglobulin ... 3

2 Struktur IgG dan IgY ... 5

3 Karies Gigi ... 7

4 Patogenitas Mutan Streptococcus ... 12

5 Hubungan Filogenetik Bakteri Streptococcus Oral... 13

6 Proses Opsonisasi dan Fagositosis Bakteri ... 14

7 Pertumbuhan S. sobrinus pada Agar Darah ... 24

8 Hasil uji Agar Gel Presipitasi ... 25

9 Kromatogram Hasil Purifikasi IgY-Ss ... 27

10 Profil Pita Protein IgY-Ss... 27

11 Nilai Adhesi S. sobrinus pada Sel Epitel Pipi Tanpa dan Dengan Preinkubasi IgY-Ss ... 28

12 Peran IgY-Ss sebagai Anti Adhesi pada Permukaan Gigi... 29

13 Proses Adhesi Streptococcus Sobrinus pada Sel Epitel Pipi ... 29

14 Nilai Aktifitas dan Kapasitas Fagositosis Makrofag Tanpa dan Dengan Preinkubasi Igy-Ss ... 31

15 Proses Fagositosis S. sobrinus oleh Makrofag ... 31

D

AFTAR

T

ABEL 1 Perbandingan Antara IgG dan IgY... 5

2 Karakteristik Grup Mutan Streptococcus ... 10

3 Karakteristik Streptococcus sobrinus ... 23

4 Hasil Uji AGP pada Serum dan Telur Ayam ... 24

5 Nilai Rataan, Simpangan Baku, dan Nilai t Assay Adhesi S. Sobrinus ... 28


(14)

(15)

I P

ENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat pada umumnya hanya mengetahui telur ayam sebagai salah satu sumber protein hewani pelengkap gizi pada makanan, dan sebagian menggunakan dalam campuran jamu untuk menambah tenaga dan kebugaran. Namun sebenarnya ada potensi lain dari telur ayam untuk dapat digunakan memproduksi antibodi (zat kebal) terhadap penyakit. Zat kebal didalam darah ayam dapat di transfer kedalam kuning telurnya, dan secara alamiah anak ayam dapat terlindung dari infeksi penyakit. Kekebalan ini yang dikenal dengan maternal antibodi. Imunoglobulin ayam yang terbentuk dalam darah sebagai akibat paparan antigen mudah ditransfer ke dalam kuning telur dan dikenal dengan nama IgY (Yolk Immunoglobulin).

Menurut Warr et al (1995) IgY memiliki fungsi biologis yang sama dengan IgG mamalia. Beberapa keuntungan teknologi IgY sebagai produsen antibodi yaitu : a) Biaya pemeliharaan ayam relatif lebih murah, b) Kandungan IgY tinggi di dalam telur dan dapat diproduksi dalam jumlah besar, c) IgY menghasilkan respon imun yang lebih spesifik dan tidak memiliki efek samping karena tidak bereaksi dengan Ig G mamalia dan reseptor serta telur memiliki daya simpan lebih lama (Mary 1994; Akita dan Nakai 1993), d) Jarak filogenik antara unggas dan mamalia sangat jauh sehingga tidak menunjukkan reaksi silang dengan komponen jaringan mamalia. Beberapa kelebihan yang dimiliki oleh IgY akan menjadi hal yang mendukung potensi ayam sebagai inang untuk memproduksi IgY spesifik terhadap antigen tertentu sehingga dapat digunakan sebagai perangkat imunodiagnostik dan imunoterapi.

Penggunaan Ig Y spesifik, bermanfaat bagi pengobatan atau terapi serta dapat dikembangkan untuk tujuan imunodiagnostik seperti pembuatan konjugat untuk Western Blot, ELISA, dan reaksi imunopresipitasi. Di Indonesia sendiri telah dilakukan beberapa penelitian mengenai Ig Y diantaranya Ig Y sebagai anti tetanus (Suartha 2006), sebagai anti adhesin pada pembentukan biofilm (Chismirina 2006), sebagai anti EPEC (Rawendra 2005; Mustopa 2004). Ig Y spesifik yang terkandung


(16)

dalam telur ayam ini diharapkan dapat menghambat adhesi dan menekan pertumbuhan bakteri.

Mutan streptococcus (MS) terutama S. mutan (serotipe c, e, f) dan S. sobrinus (serotipe d, g) merupakan pemicu utama terjadinya plak dan karies gigi pada manusia (Michael et al. 1990, Seminario et al. 2005). Di dalam mulut, bakteri, sisa makanan, dan saliva menyatu membentuk plak yang menempel pada gigi. Plak mulai menyatu dengan gigi sekitar 20 menit setelah makan, jika plak tidak dibersihkan secara rutin maka akan timbul karies. Karies gigi (kavitasi) adalah daerah yang membusuk di dalam gigi, yang terjadi akibat suatu proses yang secara bertahap melarutkan email (permukaan gigi sebelah luar yang keras) dan terus berkembang ke bagian dalam gigi. Karies gigi yang tidak tertangani akan menghancurkan struktur internal gigi dan memicu keropos gigi (Kapner 2003). Karies dapat diobati dengan cara : mengubah kondisi mikroflora dengan menggunakan chlorhexidine dan flouride, mengurangi konsumsi gula dan sukrosa, mengurangi jumlah makan, serta meningkatkan salivary flow, dan diharapkan di masa depan pengobatan karies dapat menggunakan antibodi spesifik (Mount & Hume 2006).

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peran IgY spesifik MS serotipe d (Streptococcus sobrinus) (IgY-Ss) sebagai anti adhesi dan opsonin pada sel epitel pipi.

1.3 Hipotesis

Berdasarkan atas latar belakang dan permasalahan yang diajukan di atas, maka disusun suatu hipotesis sebagai berikut :

H0 : IgY-Ss tidak dapat berperan sebagai anti adhesi dan opsonin untuk pencegahan serangan S. sobrinus

H1 : IgY-Ss dapat berperan sebagai anti adhesi dan opsonin untuk pencegahan serangan S. sobrinus.


(17)

II T

INJAUAN

P

USTAKA

2.1 Imunoglobulin Y (IgY)

Imunoglobulin adalah molekul glikoprotein yang diproduksi oleh sel plasma sebagai respon dari imunogen dan berfungsi sebagai antibodi (Mayer 2005). Secara umum pada mamalia terdapat lima jenis imunoglobulin yaitu IgG, IgA, IgM, IgD, dan IgE (Bellanti 1993). Imunoglobulin tersusun atas 2 rantai berat dan 2 rantai ringan (heavy and light chain) yang dihubungkan oleh ikatan disulfida sehingga membentuk struktur Y (Stowell 2002). Struktur imunoglobulin ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur Imunoglobulin (Stowell 2006)

Pada awal 1893 Klemperer mempublikasikan penelitiannya mengenai protein yang terdapat didalam kuning telur mampu menetralkan antigen (Anonim a 2007). Kuning telur merupakan bagian dari telur yang menyediakan sumber makanan untuk pertumbuhan embrio di dalamnya. Kuning telur menggantung didalam albumin melalui dua pita spiral yang disebut kalaza. Kuning telur mengandung vitamin, mineral, lemak, kolesterol, protein, serta antibodi (Imunoglobulin Y) (Wikipedia 2007).

Menurut Carlander (2002), terdapat tiga fraksi immunoglobulin (Ig) pada ayam yang sama dengan Ig mamalia yaitu IgA, IgM, dan IgY. Dari tiga fraksi tersebut IgY merupakan yang terbanyak ditemukan pada serum serta telur (Szabo et al. 1998,


(18)

Carlander 2002, Raj et al. 2004). Secara filogenetik IgY tidak serupa dengan IgG mamalia (Raj et al. 2004) namun ia memiliki fungsi biologis yang sama dengan IgG mamalia (Warr et al. 1995). IgY ditransportasikan ke telur sama dengan transfer IgG mamalia melalui plasenta. IgY pada kuning telur merupakan maternal antibodi yang diturunkan pada ayam yang baru menetas.

Dilihat dari sifat transfer antibodi tersebut, maka ayam petelur memiliki potensi efektif sebagai produsen antibodi. Antibodi spesifik yang dihasilkan oleh ayam memberikan beberapa keuntungan dibandingkan dengan antibodi yang dihasilkan mamalia. Menurut Carlander (2002), antibodi dalam sebutir telur berisi sama dengan antibodi yang dihasilkan sekali pemanenan darah kelinci. IgY yang terkandung dalam sebutir telur adalah 100-400 mg atau 10-20mg/ml kuning telur. Jumlah IgY yang terdapat didalam telur dipengaruhi ukuran telur serta konsentrasi maternal antibodi dalam serum.

Struktur IgY mirip dengan IgG mamalia, IgY memiliki dua rantai ringan dan dua rantai berat. Berat molekul (BM) IgY 167250 Da sedikit lebih besar daripada IgG (160000 Da). Rantai berat (H chain) yang disebut upsilon (υ) mempunyai BM 65105 Da dengan satu daerah variabel (V) dan empat daerah konstan (C). Rantai ringan (BM 18660 Da) terdiri dari satu domain variabel dan satu domain konstan (Carlander 2002). Perbandingan antara IgG dan IgY akan ditunjukkan pada Tabel 1.

Karakter penting yang dimiliki oleh IgY yang tidak dimiliki oleh antibodi mamalia antara lain : Ig Y lebih resisten terhadap pengaruh suhu dan pH (Szabo et al. 1998), IgY tidak berikatan dengan protein A Staphylococcus dan protein G Streptococcus (Akerstrom et al. 1985), tidak berikatan dengan faktor rheumatoid dalam darah (Larsson & Sjoquist 1990), tidak mengaktifkan faktor komplemen mamalia (Larsson et al. 1993) sehingga tidak merangsang timbulnya efek samping, tidak berikatan dengan reseptor Fc bakteri (Schmidt et al. 1993), dan kemampuan mengikat antibodi sekunder 3 hingga 5 kali lebih kuat (Horton et al.1984). Gambar 2 akan menunjukkan struktur IgG dan IgY.


(19)

Tabel 1 Perbandingan antara IgG dan IgY

IgG IgY

Hewan penghasil Mamalia Unggas, reptil, amfibi

Sumber Serum Kuning telur

Berat molekul (SDS-PAGE)

150 kDa 180 kDa

Berat molekul (MALDI- TOF MS)

150 kDa 167 kDa

Struktur dasar Regio hinge fleksibel, regio Fc lebih pendek dengan satu pasang grup karbohidrat

Regio hinge sempit dan kurang fleksibel, regio Fc lebih panjang dengan dua pasang grup karbohidrat Reaksi silang Bereaksi dengan antibodi

manusia

Tidak bereaksi dengan antibodi manusia Afinitas purifikasi Protein A atau G Protein L

Kestabilan Stabil pada pH 3-10, suhu 700C

Stabil pada pH 4-9, suhu 650C

Hidrofobisitas Kurang hidrofobik dibandingkan IgY

Regio Fc hidrofobik

Produktivitas Terbatas dalam durasi dan jumlah

Durasi panjang dalam menghasilkan antibodi dengan jumlah besar (Sumber : Anonim b 2007)


(20)

Menurut Raj et al. (2004), IgY sangat stabil pada kondisi normal, IgY dapat disimpan selama 10 tahun pada suhu 4 0C, selama 6 bulan pada suhu kamar, dan satu bulan pada suhu 37 0C tanpa ada antibodi yang hilang. Sementara itu Shin et al. (2002) menyatakan bahwa IgY stabil pada suhu 40 0C , dan hanya kehilangan 20% aktivitasnya pada pemanasan dengan suhu 600C selama 10 menit serta stabil pada pH 4 s/d pH 8. Carlander (2002) memaparkan bahwa pada tahun 1893 Klemperer mendapatkan imunitas pasif pada unggas yang ditunjukkan dengan adanya transfer imunitas melawan toxin tetanus dari induk unggas pada anak ayam, dan imunitas ini terjadi karena transfer IgY dari induk kepada anaknya.

Pemanfaatan IgY sebagai bahan bioaktif pada makanan, nutraceutical dan kosmetik telah banyak dikembangkan terutama di Jepang. Produk yogurt yang mengandung IgY spesifik H. pylori telah terbukti dapat menekan infeksi H. pylori. IgY spesifik Bacteriodes gengivalis telah dikembangkan untuk memperbaiki kebersihan mulut. Biofilter dengan IgY spesifik anti influenza terbukti mampu menginaktifkan virus influenza sampai 99.99% (Abdou & Kim 2005).

2.2 Karies Gigi

Karies atau Caries berasal dari bahasa latin yang berarti busuk (Rot). Di Eropa pada abad pertengahan, kata rot digunakan dalam ilmu kedokteran sebagai busuk pada tulang (osteomielitis) dan busuk pada gigi (rotten teeth). Kemudian pembusukan pada gigi disebut sebagai tooth decay atau dental caries (karies gigi) (Mount & Hume 2006). Karies gigi (kavitasi) adalah daerah yang membusuk di dalam gigi, yang terjadi akibat suatu proses yang secara bertahap melarutkan email (permukaan gigi sebelah luar yang keras) dan terus berkembang ke bagian dalam gigi. Di dalam mulut, bakteri, sisa makanan, dan saliva menyatu membentuk plak yang menempel pada gigi. Plak mulai menyatu dengan gigi sekitar 20 menit setelah makan, jika plak tidak dibersihkan secara rutin maka akan timbul karies (Wikipedia 2006). Plak gigi adalah material yang menempel pada gigi, terdiri dari kumpulan bakteri (60-70% dari volume plak), polimer saliva, dan produk ekstrasel bakteri. Secara alamiah plak membentuk biofilm dimana kumpulan bakteri ini dapat mencapai ketebalan 300-500 sel pada permukaan gigi. Tingginya konsentrasi metabolit yang berasal dari kumpulan bakteri akan menyebabkan sakit gigi (Todar 2002).


(21)

Kasus karies gigi menyebar di seluruh dunia secara global, penyakit ini menyebabkan rasa sakit, kehilangan gigi, infeksi, bahkan kematian. Terdapat empat faktor yang mempengaruhi kemunculan karies, yaitu email gigi (dentin), bakteri yang bersifat kariogenik, fermentasi karbohidrat (misalnya sukrosa), serta lamanya waktu interaksi ketiga faktor tersebut (Wikipedia 2006). Proses karies gigi berawal ketika bakteri normal pada rongga mulut beraktivitas dan berkumpul disekitar gigi membentuk masa lengket berwarna krem yang dikenal sebagai plak (Wikipedia 2006). Bakteri yang membentuk plak ini kemudian menghasilkan asam laktat yang dapat menyebabkan demineralisasi (melarutnya) email gigi. Asam laktat ini dihasilkan dari proses fermentasi karbohidrat (Todar 2002). Terkikisnya mineral email gigi (demineralisasi) adalah proses yang berjalan dinamis, apabila kondisi asam ternetralkan dengan adanya mineral penting dari saliva, obat kumur, pasta gigi maka pembentukan mineral kembali (remineralisasi) dapat muncul dan memperbaiki kondisi gigi yang mengalami karies (Wikipedia 2006).

Gambar 3 Karies Gigi (Bratthall 2004)

Karies gigi (Gambar 3) menyebabkan hilangnya mineral gigi secara progresif diikuti dengan invasi bakteri pada gigi yang demineralisasi. Karies merupakan penyakit yang bersifat komplek karena terdapat beberapa faktor yang saling berkaitan (Mount &Hume 2006) yaitu sebagai berikut :

1. Karies adalah penyakit bakterial : Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa karies membutuhkan proporsi mutan streptococcus (MS) yang


(22)

berlimpah pada plak gigi. Bakteri ini melekat pada gigi, memproduksi asam laktat, mampu bertahan hidup lebih baik pada kondisi asam, serta menghasilkan polisakarida ekstrasel dari sukrosa. Infeksi bakteri penyebab karies umumnya terjadi pada usia muda di masa kanak-kanak. Baktrei penyebab karies dapat ditularkan dari orangtua atau teman sepermainan. Selain MS, laktobacillus dan Actinomyces viscosus juga berperan dalam munculnya karies gigi.

2. Karies dipengaruhi oleh diet sukrosa : Diet sukrosa mengubah ketebalan dan sifat kimia plak bakteri. Mutan streptococcus dan bakteri plak lain menggunakan monosakarida dan disakarida untuk membangun polisakarida ekstrasel. Hal ini mempertebal plak dan mengubah lingkungan ekstrasel dari cairan menjadi gel. Gel yang tebal (plak) menyebabkan perkembangan lingkungan asam yang melawan permukaan gigi dari perlindungan buffer saliva. Plak yang tidak mengalami kontak dengan sukrosa akan lebih tipis dan terlindung oleh buffer saliva. Diet yang banyak mengandung sukrosa meningkatkan resiko karies.

3. Karies digerakkan oleh frekuensi makan : Setiap kali bakteri didalam plak mengalami kontak dengan makanan atau minuman yang mengandung gula, mereka menggunakannya untuk metabolisme dan memproduksi asam organik sebagai metabolit. Apabila asam ini tidak bercampur dengan buffer saliva, maka akan menyebabkan larutnya permukaan gigi (demineralisasi). Frekuensi makan yang tinggi dapat meningkatkan resiko karies.

4. Karies dimodifikasi oleh flouride : Mineral pada email, cementum, dan dentin mengandung kalsium fosfat yang disebut apatit. Apatit pada gigi yang baru banyak mengandung karbonat, sedikit flouride, dan mudah terkikis. Siklus parsial demineralisasi yang diikuti dengan remineralisasi pada lingkungan yang kaya flouride membentuk apatit dengan sedikit karbonat, flouride lebih banyak, dan tidak mudah terkikis. Pemberian flouride secara topikal juga mengurangi produksi asam oleh bakteri plak. Flouride yang terdapat pada makanan dan minuman, pasta gigi, obat kumur dapat membantu mengurangi resiko karies karena membantu remineralisasi pada gigi.

5. Karies dimodifikasi oleh saliva : Sirkulasi saliva (salivary flow) merupakan buffer yang efektif untuk menjaga keseimbangan demineralisasi dan


(23)

remineralisasi gigi. Resiko karies menjadi lebih tinggi apabila salivary flow kurang dari 0,7 ml/ menit.

Karies gigi berkaitan erat dengan Mutan streptococcus (MS) terutama S. mutan dan S.sobrinus karena bakteri ini merupakan penyebab munculnya plak pada hewan dan manusia (Michael et al. 1990, Seminario et al. 2005). Karies gigi mulai dikaitkan dengan MS setelah sukrosa menjadi salah satu komponen pangan pada diet manusia. Karies dapat muncul pada diet yang mengandung banyak karbohidrat serta higiene mulut yang kurang baik. Bakteri dapat menghasilkan H2S, NH3, toksin, enzim dan antigen lain yang dapat menimbulkan efek radang. Apabila proporsi MS pada plak gigi mencapai 2-10% maka individu tersebut memiliki resiko yang tinggi terhadap karies gigi, sedangkan jika proporsinya kurang dari 0.1% maka resiko terhadap karies gigi kecil (Mount & Hume 2006). Menurut Mount & Hume (2006) karies dapat diobati dengan cara :

a. Mengubah kondisi mikroflora dengan menggunakan chlorhexidine dan flouride

b. Perbaikan higiene mulut

c. Mengurangi konsumsi gula dan sukrosa d. Mengurangi jumlah makan

e. Meningkatkan salivary flow

f. Diharapkan di masa depan pengobatan karies dapat menggunakan antibodi spesifik.

2.3 Mutan Streptococcus

Mutan streptococcus (MS) adalah streptococcus yang ditemukan pada plak gigi, dapat memfermentasi manitol, sorbitol, dan memproduksi ekstraseluler glukan dari sukrosa serta bersifat kariogenik pada hewan model (Loesche 1986). MS memiliki delapan serotipe (a-h) yang dibedakan berdasarkan karbohidrat dinding selnya dan hibridisasi DNA (Loesche 1986, Michaek & Childers 1990). Karakteristik grup mutan streptococcus ditunjukkan pada Tabel 2. Bakteri yang termasuk MS antara lain : Streptococcus cricetus (a), S. rattus (b), S. mutan (c, e, f), S. sobrinus (d, g), S. downei (h), S. macacae (c), S. ferus (c) (Gronroos 2000). Beberapa serotipe ini menunjukkan reaksi silang terutama serotipe a, d, g,h dan c, e, f.


(24)

Studi epidemiologi menunjukkan bahwa hampir seluruh populasi manusia didunia membawa mutan streptococcus (Loesche 1986). Gronroos (2000) memaparkan bahwa MS terdapat pada populasi dengan prevalensi karies mulai tinggi, rendah, dan sangat rendah. Mikroorganisme ini dibawa oleh 33-75% anak-anak dalam usia 4 tahun-an, dan 80-90% orang dewasa. Mutan streptococcus serotipe c (S. mutan) merupakan yang terbanyak ditemukan pada plak dan saliva dari manusia.

Tabel 2 Karakteristik Grup Mutan Streptococcus

Spesies Mol% G + C Serotipe Polisakarida

Dinding Sel*

S. mutans 36-38 c, e, f Rha, Glc

S. rattus 41-43 b Rha, Gal, Gro

S. sobrinus 44-46 d, g Rha, Glc, Gal

S. cricetus 42-44 a Rha, Glc, Gal

S. downei 41-42 h Belum diketahui

S. macacae 35-36 c Belum diketahui

S. ferus 43-45 c Rha, Glc

Keterangan * : Rha, rhamnose; Glc, glukosa; Gal, galaktosa; Gro, gliserol (Sumber : Gronroos 2000)

Mutan streptococcus bersifat asidogenik dan asidurik dan dapat melekat pada permukaan gigi. Bakteri ini memproduksi polisakarida intrasel dan ekstrasel dari sukrosa. Kariogenitas MS dipengaruhi oleh tiga kondisi yaitu : kemampuan kolonisasi pada permukaan gigi, kemampuan memproduksi asam lebih cepat daripada netralisasi lokal pada plak gigi, serta kemampuan MS membuat pH lebih rendah daripada pH kritis untuk melarutnya email gigi (Seminario et al. 2005).

2.3.1 Transmisi Mutan Streptococcus

Pada saat manusia lahir, rongga mulut dalam keadaan steril namun dengan cepat terkontaminasi oleh bakteri dari lingkungan, biasanya berasal dari ibu saat menyusui pertama kali. Ekologi mulut berbeda pada tiap tahapan usia dan hal ini mempengaruhi komposisi mikroflora normal. S. salivarius dominan berada pada


(25)

rongga mulut (98% dari total mikroflora dalam mulut) sampai dengan munculnya gigi (usia 6-9 bulan). Erupsi gigi pada tahun pertama dipicu oleh kolonisasi S. mutan dan S. sanguis (Todar 2002).

Mikroflora normal memberikan beberapa keuntungan bagi inangnya, antara lain : 1) Mikroflora normal menempati lokasi yang tersedia sehingga menyulitkan bakteri yang bukan flora normal untuk kolonisasi, 2) Mikroflora normal memberi kontribusi dalam sintesis vitamin dan respon imun dengan menginduksi antibodi yang mungkin bereaksi silang dengan bakteri patogen, 3) Mikroflora normal memproduksi peroksidase dan bakteriosin. Mikroflora normal dapat menimbukan kerusakan pada inang apabila bakteri ini bersifat patogen oportunistik (Todar 2002).

Secara umum keberadaan mikroorganisme pada inang adalah melalui transmisi langsung dan tidak langsung (melalui vektor). Patogen juga bisa ditransmisikan melalui makanan dan air. Saliva dianggap sebagai media transportasi terpenting dalam transmisi MS melalui kontak fisik. Ibu merupakan sumber infeksi utama terhadap bayinya. MS yang diisolasi dari pasangan ibu dan anak memiliki tingkat kesamaan strain 71%, serta 51,4% genotipe MS yang ditemukan pada anak ditemukan pula pada ibunya. Dugaan yang lain adalah kolonisasi awal dipengaruhi diet bayi yang mengandung karbohidrat. Setelah MS mencapai kolonisasi secara stabil, maka bakteri ini akan terus berada pada rongga mulut (Gronroos 2000).

2.3.2 Patogenitas Mutan Streptococcus

Mutan streptococcus memiliki beberapa sifat fisiologi dan biokimia yang melibatkannya sebagai inisiator karies gigi (Todar 2002). Sifat-sifat tersebut antara lain :

1. Mutan streptococcus termasuk flora normal pada rongga mulut manusia dan biasanya muncul dalam jumlah besar. Bakteri ini sudah terkolonisasi pada permukaan gigi, bersama komponen saliva seperti mucin mereka membentuk lapisan tipis yang disebut pelikel email. Mucin yang terserap bertindak sebagai reseptor molekuler untuk ligan pada permukaan sel bakteri.

2. Mutan streptococcus memiliki enzim glikosiltransferase yang bertindak sebagai ligan bakteri untuk perlekatan dan mempolimerisasi glukosa yang berasal dari diet sukrosa menjadi glukan yang memicu munculnya formasi plak.


(26)

3. Mutan streptococcus memproduksi asam laktat dari diet karbohidrat yang menyebabkan demineralisasi email gigi. Mutan streptococcus memproduksi asam laktat dalam jumlah besar dan lebih toleran pada kondisi asam.

4. Mutan streptococcus menyimpan polisakarida dari diet sukrosa dan digunakan sebagai cadangan karbon dan energi sebagai sumber untuk produksi asam laktat. Bakteri ini juga membentuk intraseluler polisakarida yang disimpan di dalam sel dan kemudian dimetabolisme menjadi asam laktat.

Gambar 4 Patogenitas Mutan Streptococcus (Smith 2003)

Kolonisasi bakteri pada permukaan gigi diawali dengan perlekatan (adhesi) bakteri pada permukaan gigi. Perlekatan bakteri streptococcus yang kariogenik pada permukaan gigi terbukti mengawali formasi plak dan akhirnya menyebabkan karies gigi (Olson et al. 1972). Perlekatan diawali dengan interaksi antara protein bakteri (molekul adhesi) dengan reseptor permukaan gigi. Molekul adhesi umumnya adalah lektin yang berikatan dengan reseptor sakarida atau reseptor protein (Gibbons 1989). Molekul adhesi ini sering dihubungkan dengan antigen I/II yang terdapat pada bakteri MS. Patogenitas MS (Gambar 4) didasari terjadinya erosi mineral pada email gigi oleh asam laktat, yang merupakan produk akhir bakteri. Konsentrasi asam laktat dipengaruhi oleh jumlah streptococcus yang asidogenik pada plak gigi. Kemampuan

GTF

Protein pengikat glukan Molekul adhesi Reseptor saliva

Sukrosa Glukan


(27)

MS untuk berikatan pada sintesis glukan dengan glikosiltransferase diduga merupakan faktor penting dalam perkembangan plak gigi yang mengandung bakteri ini (Smith et al. 1998). Proses akumulasi bakteri pada plak di inisiasi oleh enzim glikosiltransferase. Sementara penyatuan MS dengan bakteri oral lainnya adalah melalui interaksi antar sel bakteri dan diperantarai oleh glucan binding protein (Smith 2003). Pada kondisi nutrisi rendah MS mendegradasi polisakarida (sukrosa, fruktosa, glukosa) menjadi asam laktat dan menyebabkan larutnya email gigi (Seminario et al. 2005, Bratthall 2004). Kombinasi plak gigi dan asam laktat yang menciptakan kondisi asam pada gigi serta melarutkan email gigi memicu terjadinya karies ( Wikipedia 2006 ; Mount & Hume 2006).

2.3.3 Streptococcus sobrinus

Gambar 5 Hubungan Filogenetik Bakteri Streptococcus Oral (Gronroos 2000)

Streptococcus sobrinus adalah salah satu anggota dari grup mutan streptococcus dan berhabitat di permukaan gigi. Bakteri ini memiliki diameter 0,5 mm, berpasangan atau berbentuk rantai. Koloni pada agar sukrosa berdiameter 1 mm, kasar, saling bertumpukkan, kadang-kadang terdapat runtuhan glukan disekitar


(28)

koloni. Beberapa strain menunjukkan α hemolisis atau non hemolisis pada agar darah. S. sobrinus dapat memfermentasi manitol, inulin, dan laktosa namun bervariasi pada kemampuan memfermentasi sorbitol, melibiose, dan raffinose. S. sobrinus tidak memproduksi amonia dari arginin serta tidak menghidrolisis eskulin. Habitat primer S. sobrinus adalah pada gigi manusia. Setelah berkolonisasi pada gigi, bakteri ini dapat terdeteksi di saliva, lidah, membran mukosa oral, bahkan gigi palsu dan peralatan kedokteran gigi (Gronroos 2000). Hubungan filogenetik S. sobrinus dengan bakteri streptococcus oral lainnya ditunjukkan pada Gambar 5.

Streptococcus sobrinus bersifat patogen pada hewan coba dan merupakan salah satu penyebab utama karies gigi pada manusia (Sneath et al. 1986, Michael et al. 1990). S. sobrinus umumnya ditemukan bersama-sama dengan S. mutan. Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi yang berbeda mengenai keberadaan S. sobrinus. Prevalensi S. sobrinus di laporkan dalam jumlah yang sedikit, namun pada subjek spesifik prevalensinya lebih tinggi dibandingkan S. mutan (Gronroos 2000).

Sukrosa dan enzim glikosiltransferase berperan penting dalam kolonisasi S. sobrinus pada permukaan gigi (Loesche 1986). Molekul adhesi yang bertindak sebagai perantara perlekatan S. sobrinus adalah antigen I/II atau disebut antigen protein permukaan (Spa A). Spa A memiliki berat molekul 185000 Da (Robert et al. 1991). Enzim glikosiltransferase (GTF) berperan sebagai inisiator pembentukan plak gigi. S. sobrinus memiliki GTF-S dan GTF-I (Loesche 1986). Selain GTF dan molekul adhesi, S. sobrinus memiliki glucan binding protein (GBP) yang merupakan mediator asosiasi dinding sel bakteri karena protein ini dapat berikatan dengan α 1-6 glukan. S. sobrinus memiliki GBP 2, GBP 3, dan GBP 5 (Smith et al. 1998).

2.4 Fagositosis

Fagositosis merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang bersifat non spesifik (Kresno 2001). Menurut Kuby (1997), fagositosis adalah proses pergerakan dan penghancuran benda asing yang dilakukan oleh sel-sel fagositik. Sementara itu Baratawidaja (2006) menyatakan bahwa fagositosis ialah proses yang melibatkan pengenalan antigen/ mikroba, menelan, mencerna, dan mendegradasi mikroba. Sel-sel fagosit antara lain Sel-sel polimorfonuklear (netrofil, eosinofil, basofil) dan Sel-sel


(29)

mononuklear (makrofag). Sel fagosit , misalnya makrofag berfungsi untuk menelan dan menghancurkan partikel asing dengan proses endositosis. Sel ini membersihkan dan menghancurkan bakteri tertentu, sel-sel rusak, sel tumor, benda koloid dan molekul besar (Bellanti 1993).

Sel fagosit menelan mikroba dengan cara endositosis dan proses pembentukan fagosom. Setelah mikroba terperangkap di dalam kantung fagosom, mikroba dihancurkan dengan proses oksidasi reduksi, kondisi asam, atau lisozim yang menyebabkan gangguan metabolisme mikroba. Proses fagositosis dapat berjalan dengan baik apabila sel fagosit berada dekat dengan partikel bakteri. Untuk mencapai hal tersebut, sel fagosit harus bergerak menuju sasaran. Pergerakan ini dirangsang oleh zat atau mediator tertentu yang disebut faktor kemotaktik/ leukotaktik. Faktor kemotaktik berasal dari bakteri, netrofil/ makrofag, atau komplemen. Selain faktor kemotaktik, proses fagositosis dipermudah oleh opsonisasi (Kresno 2001).


(30)

Opsonisasi adalah proses pelapisan antigen oleh suatu substansi yang disebut opsonin agar lebih mudah untuk difagosit. Opsonin ialah substansi yang berikatan dengan antigen dan menginduksi terjadinya fagositosis oleh makrofag atau netrofil (Clayman 1989). Dua substansi yang berperan pada opsonisasi adalah antibodi dan komplemen. Opsonisasi dengan antibodi/ imunoglobulin atau komplemen mempermudah fagositosis karena sel fagosit memiliki resptor untuk fraksi Fc dari imunoglobulin serta reseptor C3 dari komplemen. Hal ini mempererat hubungan antara sel fagosit dan sasaran ( Kuby 1997). Proses opsonisasi dan fagositosis ditunjukkan pada Gambar 6.


(31)

III M

ETODOLOGI

P

ENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2006 sampai dengan April 2007 di Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium Terpadu, Laboratorium Bakteriologi, dan Laboratorium Imunologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Metode 3.2.1 Bahan dan Alat

Bahan penelitian antara lain hewan coba ayam petelur umur Single Comb Brown Leghorn 24 minggu sebanyak 4 ekor , mencit jantan strain Ddy berumur antara 5-6 minggu sebanyak 4 ekor, isolat mutan streptococcus Streptoccocus sobrinus (serotipe d) yang telah dikarakterisasi serotipenya oleh Chismirina (2006), sel epitel pipi (diperoleh dari sel epitel pipi peneliti), brain heart infusion (BHI) (Gibco), Freund’s adjuvan komplit dan inkomplit, agarose (Sigma), PEG 6000 (Merck), Na azide (Merck), phenol red, amonum sulfat (Merck), K2SO4 (Merck), NaH2PO4 (Merck), bovine serum albumin (BSA) (Sigma), SDS (Sigma), Acrilamide (Sigma), Tris HCl (Sigma), NN-methylene bis acrilamide (Sigma), Amonium persulfat (Sigma), TEMED (BioRad), loading dye (Promega), marker protein (Bio Rad), non immune IgY (Promega), kolom Hi TrapTM IgY (Amersham pharmacia biotech, commassie blue stain, asam asetat glacial, pakan ayam komersial, spoit 1 ml, spoit 3 ml, kapas, isopropanol, alkohol 70 %, akuades, mili-Q, PBS, pewarna Giemsa. Alat yang digunakan adalah kandang ayam lengkap dengan tempat makan dan minum, microtube, sentrifus, inkubator, tabung, penangas air, kaca objek, pipet Mohr 10 ml, perlengkapan AGPT (Agar Gel Prepicitation Test), hemositometer, mikroskop, magnetic stirer, vortex, spektrofotometer UV (Hitachi), Mini Gel elektroforesis (Sigma) dan AKTATM explorer 10S (Amersham).


(32)

3.2.2 Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap yaitu : Tahap pertama adalah produksi IgY spesifik Streptococcus sobrinus (IgY-Ss) pada telur ayam dan tahap kedua adalah uji biologis IgY-Ss sebagai anti adhesi dan opsonin.

Tahap Pertama

1) Re-Karakterisasi dan Identifikasi bakteri

Bakteri di tumbuhkan pada media agar darah dan diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24-48 jam. Kemudian bakteri di identifikasi menggunakan kit MicrogenTM GN-ID Identification (Microgen).

2) Preparasi Antigen Utuh

Isolat bakteri ditumbuhkan pada 1000 ml media BHI dan diinkubasi pada suhu 37 0C selama 18 jam. Suspensi disentrifugasi pada kecepatan 10000 rpm selama 10 menit. Pelet diresuspensikan dengan 5 ml NaCl, disentrifugasi pada 10000 rpm 10 menit, dilakukan 2 kali. Pelet dilarutkan dalam 5 ml NaCl, dihomogenkan dan diukur pada 620 nm dengan transmisi 10% konsentrasi selnya untuk menentukan kandungan bakteri 109 sel/ml. Suspensi diinaktifkan dalam penangas air dengan suhu 52 0C selama 60 menit, didinginkan dan siap digunakan sebagai antigen untuk memproduksi antibodi (Estuningsih 1998).

3) Produksi Antibodi MS pada Ayam

Produksi antibodi menggunakan 4 ekor ayam petelur Single Comb Brown Leghorn betina berumur 24 minggu yang siap bertelur. Ayam diimunisasi dengan 0,5 ml (109 CFU) suspensi S. sobrinus secara intravena (Carlander 2002) selama tiga hari berturut-turut. Kemudian dilanjutkan dengan menyuntik 1 ml (109 CFU) suspensi bakteri S. sobrinus dalam Freund adjuvant complete pada minggu II, serta 1 ml (109 CFU) suspensi bakteri S. sobrinus dalam Freund adjuvant incomplete minggu III dan IV secara intramuskular (Wibawan & Laemmler 1992). Adjuvan dapat memperbesar respon imun bila disuntikan bersama-sama dengan imunogen karena ia memperluas permukaan antigen dan memperlama penyimpanan antigen didalam


(33)

tubuh. Satu minggu kemudian dilakukan koleksi serum dan diperiksa keberadaan antibodinya. Identifikasi ulang serum dan kuning telur menggunakan uji agar gel presipitasi (AGP).

4) Persiapan Antigen Terlarut untuk Uji Agar Gel Presipitasi

Isolat bakteri ditumbuhkan pada 50 ml media BHI, diinkubasi pada suhu 37 0C selama 18 jam. Suspensi disentrifugasi pada kecepatan 10000 rpm selama 10 menit. Pelet diresuspensikan dengan 5 ml NaCl, disentrifugasi pada 10000 rpm dilakukan 2 kali. Pelet dicuci, ditambah 0,5 ml HCl 0,2 N kemudian ditangas pada suhu 52 0C selama 1 jam. Selanjutnya homogenat dititrasi dengan NaOH 1 N, menggunakan indikator Phenol Red (warna homogenat awal kuning titrasi hingga merah seperti phenol red). Suspensi disentrifugasi pada 10 000 rpm selama 10 menit, dilakukan 2 kali. Supernatan digunakan sebagai antigen terlarut (Wibawan & Laemmler 1992).

5) Uji Agar Gel Presipitasi

Agar gel dibuat dengan melarutkan 0.4 g agarose dan 1.2 g Poly Ethylene Glycol (PEG) 6000, 0.1% Na azide dalam 25 ml PBS pH 7.4 dan 25 ml akuades pH 7.4. Larutan ini dipanaskan dalam penangas air sampai larut dan warna larutan menjadi bening. Kemudian larutan dipipet sebanyak 3.75 ml, di cetak pada gelas obyek dan ditunggu sampai mengeras. Kemudian dibuat sumur-sumur dengan gel puncher. Pada sumur tengah dimasukkan antigen (25 l) dan 25 l antibodi dari serum atau IgY pada sumur sekelilingnya. Gelas obyek diletakkan di atas kertas saring basah agar terjaga kelembabannya. Reaksi dibaca setelah 18 sampai 48 jam, reaksi positif ditunjukkan dengan adanya garis presipitasi diantara sumur antigen dan antibodi.

6) Ekstraksi dan Purifikasi IgY dari Kuning Telur Ayam

Kuning telur dipisahkan dari bagian putih telur, kemudian diletakkan di atas kertas saring untuk menghilangkan putih telur yang melekat. Membran kuning telur dilubangi dengan cara diangkat dengan pinset, cairan kuning telur ditampung pada gelas beker dan dilarutkan secara perlahan dalam milli-Q pH 4 dengan perbandingan 1 : 4. Setelah homogen ditambahkan lagi milli-Q pH 2 hingga pH


(34)

suspensi 5.0 sampai 5.2 dan di simpan pada suhu 4 oC minimal 12 jam. Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 3125 g pada suhu 4 oC selama 20 menit dan supernatan diambil dan diperoleh Water Soluble Fractination (WSF). Selanjutnya WSF dibuat hingga pH 7.5. Kemudian ekstraksi dilanjutkan PEG 6000 dan amonium sulfat (Polson et al. 1980). WSF ditambahkan PEG 6000 sehingga konsentrasi akhir 12 % (w/v). Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit suhu 20 oC. Pelet ditambahkan dengan amonium sulfat 40 % sebanyak 5 ml dan disentrifugasi dengan kecepatan 11 700 g selama 15 menit, dilakukan 3 kali. Pelet disuspensikan dengan PBS sebanyak 1 ml, dan ditambahkan dua tetes 0.1% Na Azide. Suspensi didialisis selama 24 jam dengan PBS pH 8.0.

Purifikasi dilakukan dengan fast protein liquid chromatography menggunakan alat Akta Explorer 10S (Amersham) menggunakan kolom Hi-trap IgY . Matriks dalam kolom dibilas dengan Buffer K2SO4 20 mM dalam larutan NaH2PO4 20 mM pH 7.5 . Imunoglobulin kuning telur (IgY) hasil purifikasi dimasukkan ke dalam kolom, bersamaan dengan buffer K2SO4 20 mM. Proses pertama adalah pengikatan IgY, matriks akan mengikat IgY sedangkan protein selain Ig Y akan lolos dan dibuang.

Tahap kedua adalah proses elusi IgY menggunakan buffer NaH2PO4 20 mM pH 7.5 sebagai larutan elusi. IgY yang terelusi akan terdeteksi oleh monitor absorban yang ditandai dengan naiknya garis sampai terbentuk garis puncak. Larutan inilah yang ditampung dalam tabung reaksi, dan merupakan IgY murni. Matriks dicuci dengan buffer pembersih (larutan 30% propanol dalam NaH2PO4 20 mM pH 7.5).

7) Penentuan Konsentrasi dan Berat Molekul IgY

Absorbansi sampel ditentukan dengan pembacaan pada UV spektrofotometer pada 280 nm. Konsentrasi sampel dihitung berdasarkan kurva larutan standard dengan Bovine Serum Albumin yang telah dibuat.Untuk mengetahui berat molekul IgY dilakukan SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis). SDS-PAGE dengan menggunakan sistem diskontinu, terdiri atas gel pemisah konsentrasi 12 % dan gel pengumpul 14 %. Gel diwarnai dengan commassie blue dan estimasi berat molekul protein berdasarkan perbandingan dengan marker umum berat molekul.


(35)

Tahap kedua

8) Aktifitas Biologis Ig Y sebagai Anti Adhesi In Vitro

Aktifitas biologis IgY-Ss dalam perannya sebagai anti adhesi ditentukan dengan menggunakan assay adhesi (Wibawan et al. 1999). Sebelumnya ditentukan juga kemampuan adhesi bakteri S. sobrinus pada sel epitel pipi. Kemampuan adhesi dilakukan dengan cara : bakteri diinkubasikan pada suhu 37 0C selama 1 jam dengan sel epitel dengan perbandingan sel epitel pipi 105 sel/ml : bakteri 107 CFU/ml. Uji anti adhesi menggunakan prosedur yang sama dengan uji adhesi, dengan perbedaan yaitu sebelum bakteri di infeksikan kedalam biakan sel epitel, bakteri diinkubasi dengan IgY-Ss pada suhu 37 0C selama 1 jam. Dosis IgY yang digunakan adalah 100 g. Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang kemudian pelet ditambahkan dengan 0,5 ml PBS. Buat preparat ulas, difiksasi dengan metanol selama 15 menit, diwarnai dengan Giemsa selama 60 menit, lalu dilihat di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000 kali. Penentuan nilai adhesi adalah rataan jumlah bakteri yang melekat pada 20 sel epitel pipi yang teramati.

9) Aktifitas IgY sebagai Opsonin In vitro

Untuk mengetahui peran IgY sebagai opsonin ditunjukkan dalam assay fagositosis. Assay fagositosis dilakukan menurut metode Utama et al. (2000) dengan modifikasi.

a. Preparasi Makrofag

Makrofag yang dipergunakan dalam penelitian ini akan menggunakan makrofag yang berasal dari peritoneum mencit. Makrofag didapat dengan cara menyuntikkan cairan PBS dan IgY sebanyak 0.5 ml secara intraperitoneal. Setelah inkubasi selama satu jam kemudian dilakukan pembedahan pada mencit untuk memanen cairan peritoneumnya. Kemudian jumlah makrofag dihitung menggunakan hemositometer. Jumlah makrofag yang akan digunakan dalam bahan coba fagositosis adalah 105 sel/ml.


(36)

b. Assay Fagositosis

Untuk melihat kemampuan fagositosis dilakukan dengan cara : suspensi makrofag 0.5 x 105 sel/ml dan 0.5 x 108 sel/ml bakteri ditempatkan pada tabung mikro, kemudian diinkubasi selama 1 jam suhu 37 oC. Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang kemudian pelet ditambahkan dengan 0,5 ml PBS. Buat preparat ulas, difiksasi dengan metanol selama 15 menit, diwarnai dengan Giemsa selama 60 menit, lalu dilihat di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000 kali.Uji opsonin menggunakan prosedur yang sama dengan assay fagositosis, namun sebelum bakteri di campurkan dengan makrofag, bakteri di inkubasi dengan IgY-Ss pada suhu 37 oC selama 1 jam.

c. Penentuan Nilai Aktifitas dan Kapasitas Fagositosis

Untuk melihat proses fagositosis dihitung nilai aktifitas fagositosis (persentase jumlah makrofag aktif dari jumlah makrofag total) serta nilai kapasitas fagositosis (rataan jumlah bakteri S. sobrinus yang dimakan oleh 20 makrofag aktif).

10) Analisa Statistik

Hasil penelitian ini dianalisa secara deskriptif menggunakan uji statistik t (uji dua pihak) dengan taraf nyata α = 0,05. Uji t ini merupakan salah satu uji untuk pengujian hipotesis (Sudjana 1992).


(37)

IV H

ASIL

D

AN

P

EMBAHASAN

4.1 Re-Karakterisasi Isolat Bakteri

Re-karakterisasi bakteri pada biakan agar darah serta hasil uji gula-gula (biokimia) menggunakan Kit MicrogenTM GN-ID Identification dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 7.

Tabel 3 Karakteristik Streptococcus sobrinus

Karakteristik Isolat S. sobrinus

MS type d (S. sobrinus)*

Diameter 0,5 mm 0,5 mm

Hemolisis non hemolisis α / non hemolisis Fermentasi : Glukosa Sukrosa Manitol Sorbitol Rafinose Salicin Laktosa + + - - - - + +a +a +a c -b -b +a Hidrolisis :

Arginin - -b

Keterangan : a > 90 % strain positif, b > 90 % strain negatif, c 11 – 89 % strain positif (* Sumber : Sneath et al. 1986, Loesche 1986, Gronroos 2000). Hasil re-karakterisasi menunjukkan bahwa isolat bakteri dan koloni yang berdiameter 0,5 mm, non hemolisis, mampu memfermentasi glukosa, laktosa, sukrosa, dan tidak memfermentasi manitol, sorbitol, rafinose, serta tidak menghidrolisis arginin. Loesche (1986) menyatakan bahwa bakteri dalam grup mutan streptococcus mampu memfermentasi manitol. Ketidakmampuan isolat bakteri yang digunakan untuk memfermentasi manitol dapat disebabkan pemulihan kondisi bakteri yang kurang optimum karena dibiakkan dalam agar darah yang bukan merupakan media spesifik. Menurut Little et al. (1977) pemulihan kondisi MS yang terbaik adalah pada media agar darah yang mengadung sukrosa 5%. Hasil


(38)

yang diperoleh menunjukkan kesamaan sebesar 90% dengan karakteristik mutan streptococcus serotipe d (S. sobrinus). Chismirina (2006) pun telah menentukan bahwa isolat bakteri FKH-IPB ini adalah serotipe d mutan streptococcus (S. sobrinus) dengan metode PCR.

Gambar 7 Pertumbuhan S. sobrinus pada Agar Darah 4.2 Produksi IgY Anti Streptococcus sobrinus pada Telur Ayam

Tabel 4 Hasil Uji AGP pada Serum dan Telur Ayam

Serum Telur

Minggu

1 2 3 4 1 2 3 4

I* - - - - *** *** *** ***

II* - - - - *** *** *** ***

III* - - - - *** *** *** ***

IV* - - - - *** *** *** ***

V + + + + *** *** *** ***

VI + + + + - - - -

VII** - - - + - - - -

VIII + + + + - - - -

IX + + + + + + + +

X + + + + + + + +

XI + + + + + + + +

XII + + + + + + + +

Keterangan * Waktu imunisasi ** Imunisasi ulang

*** Belum dilakukan koleksi telur

+ Terdeteksi garis presipitasi pada uji AGP


(39)

IgY spesifik S. sobrinus pada serum ayam dan telur dideteksi dengan menggunakan uji agar gel presipitasi (AGP). Keberadaan IgY spesifik S. sobrinus ditandai dengan pembentukan garis presipitasi pada agar gel (Gambar 8 a & b). IgY mulai terdeteksi minggu kelima dan tidak terdeteksi lagi pada minggu ketujuh setelah imunisasi pertama. Sementara IgY didalam telur belum terdeteksi sampai minggu ketujuh setelah imunisasi pertama (Tabel 4). Setelah dilakukan pengulangan imunisasi (booster), satu minggu kemudian IgY didalam serum terdeteksi lagi. Sedangkan IgY di dalam telur mulai terdeteksi dua minggu setelah booster. IgY didalam serum dan telur masih terdeteksi sampai dengan minggu ke-12 setelah imunisasi pertama.

Gambar 8 Hasil uji Agar Gel Presipitasi, Ag = antigen terlarut S. sobrinus, Ab = antibodi S. sobrinus, ( ) garis presipitasi. (a) Garis presipitasi pada uji AGP

kuning telur, (b) Garis presipitasi pada uji AGP serum

Bellanti (1993) menyatakan bahwa injeksi dosis pertama akan menghasilkan antibodi spesifik didalam serum, pemaparan pertama ini membangkitkan respon primer. Injeksi dengan sel-sel bakteri akan memunculkan reaksi antibodi sepuluh sampai empat belas hari pasca injeksi. Pembentukan antibodi dipengaruhi beberapa faktor, yaitu : imunogenesitas, kualitas, bentuk kelarutan stimulan, spesies hewan yang di imunisasi, rute aplikasi, dan sensitifitas assay.

Aplikasi imunisasi secara intravena diharapkan dapat segera memicu pembentukan antibodi didalam darah. Pengulangan imunisasi plus ajuvan secara intramuskular pada minggu ke-2,3, dan 4 diharapkan dapat merangsang pembentukan antibodi dalam jumlah yang lebih banyak dan secara konsisten tetap

a b

Ag Ag Ab

Ab

Ab


(40)

terbentuk. Ajuvan adalah zat yang dapat memperbesar respon imun bila disuntikan bersama-sama dengan imunogen karena ia memperluas permukaan antigen dan memperlama penyimpanan antigen didalam tubuh sehingga memberi kesempatan pada sistem limfoid untuk menuju antigen (Bellanti 1993). Sementara Kuby (1997) menyatakan bahwa ajuvan adalah substansi yang jika dicampurkan dengan antigen kemudian diinjeksikan bersama-sama akan bekerja memperbesar imunogenesitas antigen. Ajuvan digunakan untuk meningkatkan respon imun apabila antigen memiliki imunogenesitas rendah atau apabila jumlah antigen sedikit.

4.3 Ekstraksi dan Purifikasi IgY dari Telur Ayam

IgY-Ss dikoleksi dari kuning telur ayam yang menunjukkan reaksi positif pada uji AGP. Ekstraksi bertujuan untuk memisahkan protein dari lemak telur. Metode yang dipilih adalah pemisahan dengan menggunakan PEG-amonium sulfat (Polson et al. 1980). PEG digunakan untuk memisahkan lemak, mempresipitasi, serta mengendapkan IgY (Harris dalam Mustopa 2004). Amonium sulfat sering digunakan untuk memisahkan protein dalam larutan. Protein didalam larutan akan membentuk ikatan hidrogen dengan air, ketika amonium sulfat ditambahkan ke dalam larutan tersebut maka ia akan menjadi kompetitor untuk berikatan dengan air. Hal ini menyebabkan rendahnya molekul air dari protein, menurunnya daya larut dan menyebabkan presipitasi protein (Harlow & Lane 1988).

Hasil purifikasi dengan Fast Purification Liquid Chromatography yang dikoleksi adalah fraksi dengan puncak tertinggi dan teruncing karena pada posisi tersebut protein yang dipurifikasi adalah yang paling murni. Protein yang dikoleksi adalah fraksi 3, 4, dan 5. Hasil ekstraksi IgY-Ss yang telah dipurifikasi (Gambar 9) memiliki konsentrasi sebesar 3,1 mg/ml (fraksi 3), 4,3 mg/ml (fraksi 4), dan 4,46 mg/ml (fraksi 5). Hasil purifikasi ini kemudian di analisa profil pita proteinnya menggunakan SDS-PAGE. IgY-Ss hasil purifikasi menunjukkan satu profil pita protein yaitu molekul 180 kDa (Gambar 10). Tidak adanya pita protein lain menunjukkan kemurnian hasil purifikasi IgY-Ss. Sementara itu serum ayam positif antibodi S. sobrinus selain terdapat pita protein dengan berat molekul 180 kDa, juga menunjukkan pita protein serum albumin pada 66,2 kDa. Raj (2004) menyatakan bahwa IgY memiliki berat molekul 180 kDa, dengan rantai berat 60 kDa dan rantai ringan 25 kDa.


(41)

Gambar 9 Kromatogram Hasil Purifikasi IgY-Ss

Gambar 10 Profil Pita Protein IgY-Ss,

(1) Marker umum (BioRad), (2) IgY standar non imun (Promega), (3,4) IgY non imun, (5,6,7) Serum ayam positif antibodi S. sobrinus,

(8, 9, 10) IgY-Ss hasil purifikasi

kDa

45 97,4 66,2

IgY-Ss 180 kDa 1

21,5 31 200

10


(42)

4.4 Aktifitas biologis Ig Y-Ss

Preinkubasi 100 g IgY-Ss dapat menurunkan nilai adhesi pada sel epitel pipi (Gambar 11 dan Tabel 5). Rataan nilai adhesi tanpa preinkubasi adalah 39,9 sel bakteri/ sel epitel pipi, sementara rataan nilai adhesi dengan preinkubasi 100 g IgY-Ss adalah 30,7 sel bakteri/sel epitel pipi. Hasil analisa statistik dengan uji t pada taraf nyata α = 0,05 menunjukkan bahwa pemberian IgY secara signifikan dapat menurunkan adhesi bakteri pada sel epitel pipi (t hitung > t tabel).

Tabel 5 Nilai Rataan, Simpangan Baku, dan Nilai t Assay Adhesi S. Sobrinus

Perlakuan Nilai rataan Simpangan baku

(s) Nilai t

Tanpa IgY 39,9

IgY 100 g 30,7 5,55

t hitung = 6,1 (t tabel = 1,31)

39.9

30.7

0 10 20 30 40 Jumlah sel

bakteri

Tanpa IgY IgY 100 g

Nilai Adhesi S. sobrinus

Gambar 11 Nilai Adhesi S. sobrinus pada Sel Epitel Pipi Tanpa dan Dengan Preinkubasi IgY-Ss

Peran IgY-Ss sebagai anti adhesi (Gambar 12) diduga karena kemampuannya untuk berikatan dengan molekul adhesi dari bakteri MS sehingga mencegah perlekatan (yang merupakan proses awal kolonisasi) pada permukaan gigi. Selain itu IgY-Ss dapat mengagregat S. sobrinus sehingga mengurangi kemampuan adhesinya (Jiang et al. 2004). Antibodi spesifik dapat mempresipitasi, mengaglutinasi, dan menetralisasi antigen (Baratawidjaja 2006).


(43)

Gambar 12 Peran IgY-Ss sebagai Anti Adhesi pada Permukaan Gigi (Smith 2003)

Gambar 13 Proses Adhesi Streptococcus Sobrinus pada Sel Epitel Pipi, (a) inti sel epitel pipi, (b) sitoplasma sel epitel pipi, ( ) bakteri S. sobrinus.

Adhesi bakteri pada permukaan gigi merupakan langkah penting dalam kejadian karies, sehingga intervensi pada kolonisasi mutan streptococcus dapat mencegah karies. Proses adhesi S. sobrinus pada sel epitel pipi akan ditunjukkan pada Gambar 13. Raamsdonk et al. (1995) menginformasikan bahwa imunisasi pasif

a b

GTF

Protein pengikat glukan

Molekul adhesi Reseptor saliva

Sukrosa Glukan


(44)

dengan antibodi poliklonal atau monoklonal dapat mengurangi kolonisasi mutan streptococcus karena adanya serangan dari antibodi ini mempengaruhi gerakan bakteri selama langkah awal adhesi. Beberapa penelitian yang lain juga menunjukkan fenomena yang sama yaitu, IgY mampu mengurangi adhesi bakteri Helicobacter pylori pada sel AGS (Shin et al. 2002) dan EPEC K1.1 pada sel Hep-2. Opsonisasi bakteri S.sobrinus dengan 100 g IgY-Ss dapat meningkatkan kapasitas fagositosis. Rataan kapasitas fagositosis tanpa opsonisasi adalah 1, 6 sel bakteri/makrofag, sedangkan rataan kapasitas fagositosis dengan opsonisasi adalah 5,18 sel bakteri/makrofag. Hasil analisa statistik dengan uji t pada taraf nyata α = 0,05 menunjukkan bahwa opsonisasi dengan IgY secara signifikan dapat meningkatkan kapasitas fagositosis makrofag (t hitung > t tabel). Opsonisasi S. sobrinus dengan IgY-Ss bertujuan untuk melapisi permukaan S. sobrinus agar mudah difagositosis. Proses opsonisasi dapat meningkatkan hirofobisitas serta mengagregasi S. sobrinus sehingga bakteri lebih mudah untuk difagosit dalam jumlah banyak. Tsuda (2000) menyatakan bahwa hidrofobisitas yang semakin baik akan mempermudah proses fagositosis. Hal ini didukung juga oleh pernyataan Raamsdonk et al. (1995) bahwa preinkubasi S. sobrinus dengan antibodi poliklonal dapat meningkatkan hidrofobisitas bakteri sehingga bakteri lebih mudah untuk difagosit. Bakteri gram positif seperti mutan streptococcus memiliki dinding sel yang terbuat dari peptidoglikan dan lipoteichoic acid (LTA), LTA inilah yang bertanggung jawab terhadap hidrofobisitas bakteri (Tsuda 2000).

Walaupun opsonisasi meningkatkan kapasitas fagositosis tetapi proses ini tidak berpengaruh pada aktifitas fagositosis. Hal ini dapat terjadi karena IgY tidak berikatan dengan reseptor Fc bakteri pada makrofag mamalia. Kapasitas dan aktifitas fagositosis ditunjukkan melalui Gambar 14 dan Tabel 6. Fenomena yang sama juga pernah dilaporkan oleh Utama et al. (2000) bahwa opsonisasi S. equi subsp. zooepidemicus dengan leukosit polimorf babi hanya meningkatkan kapasitas fagositosis namun tidak berpengaruh pada aktifitas fagositosis. Proses fagositosis ditunjukkan pada Gambar 15.


(45)

Gambar 14 Nilai Aktifitas dan Kapasitas Fagositosis Makrofag Tanpa dan Dengan Preinkubasi Igy-Ss

Tabel 6 Nilai Rataan, Simpangan Baku, dan Nilai t Kapasitas Makrofag

Perlakuan Nilai rataan Simpangan baku

(s) Nilai t

Tanpa IgY 1,6

IgY 100 g 5,18 1,25

t hitung = 25 (t tabel = 1,31)

Gambar 15 Proses Fagositosis S. sobrinus oleh Makrofag, (a) sitoplasma makrofag, (b) bakteri yang terfagosit

a

b 12

8.18

1.6

5.18

0 2 4 6 8 10 12 14

Tanpa IgY IgY 100 g

Aktifitas fagositosis (%) Kapasitas fagositosis (sel bakteri/ makrofag)


(46)

V K

ESIMPULAN

D

AN

S

ARAN

Kesimpulan

1. Ayam mampu memproduksi IgY spesifik anti S. sobrinus (IgY-Ss) pada serum dan kuning telur.

2. Preinkubasi IgY-Ss pada S. sobrinus (107 CFU/ ml) dan sel epitel pipi (105 sel) secara signifikan dapat mengurangi adhesi bakteri tersebut pada sel. 3. Proses opsonisasi IgY-Ss secara signifikan dapat meningkatkan kapasitas

fagositosis.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jadwal imunisasi dan dosis antigen guna memperoleh jumlah IgY-Ss yang lebih banyak serta penelitian untuk mengetahui dosis penggunaan IgY yang efektif dalam menghambat proses adhesi dan meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag.


(47)

D

AFTAR

P

USTAKA

Abdou AM, M Kim. 2005. Novel Trends in Technology and Application of Egg Yolk Immunoglobulin (IgY) in Japan. IFT Annual Meeting. New Orleans.

Akerstrom B, Brodin Th, Reis K, Borg L. 1985. Protein G : a Powerful Tool for Binding and Detection of Monoclonal and Polyclonal Antibodies. J Immunol. 135 : 2589-2592.

Akita EM, Nakai S. (1993). Comparison Of Four Purification Methods For The Production Of Immunoglobulins From Eggs Laid By Hens Immunized With An Enterotoxigenic E. coli Strain. J Immunol. 160: 207-214.

Anonim a. 2007. Review Chicken Antibodies IgY. http :// www.ibc.net.com. 18 Juli 2007.

Anonim b. 2007. Comparison of IgG and IgY. http :// www. genwaybio.com. 18 Juli 2007.

Anonim c. 2007. Opsonization. http :// www. pathmicro. med. sc.edu. 25 Juni 2007. Baratawidjaja KG. 2006. Imunologi Dasar. Edisi ke-7. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Bellanti JA. 1993. Imunologi III. Terjemahan. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Bratthall D. 2004. Dental caries-What is that?. Faculty of Odontology Malmö University. Sweden.

Carlander D. 2002. Avian Immunoglobulin Y Antibody In Vitro and In Vivo. Dissertation. Universities Upsaliensis. Upsala.

Chismirina S. 2006. Efek Imunoglobulin Y (IgY) sebagai Anti Adhesin pada Pembentukan Biofilm oleh Streptococcus mutans. Tesis. Program Pasca Sarjana Departemen Biologi Oral. FKG-UI. Jakarta.

Clayman BC. 1989. The American Medical Association Encyclopedia of Medicine. Random House. New York.

Estuningsih S. 1998. Isolasi Dan Karakterisasi Reseptor Hemaglutinin Streptococcus Agalaticiae Pada Permukaan Sel Epitel Ambing Sapi Perah Sebagai Landasan Pencegahan Mastitis. Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB.Bogor.


(48)

Gibbons RJ. 1989. Bacterial Adhesion to Oral Tissues : A Model for Infectious Diseases. J Dent Res. 68 : 750-760.

Gronroos L. 2000. Quantitative and Qualitative Characterization of Mutans Streptococci in Saliva and In Dentition. Dissertation. Faculty of Medicine of University of Helsinki. Helsinki.

Harlow Ed & Lane D. 1988. Antibodies : A Laboratory Manual. Cold Spring Harbor Laboratory. USA.

Horton JJ, Holde CA, Ward PJ, MacDonald DM, Sanderson AR. 1984. Exploitation of Phylogenetic Distance in Cell Surface Immune Labelling: Studies with beta2 microglobulin. J Invest Dermatol. 84: 96-99.

Jiang QZ, MW Fan, Z Bian, WX Chen, YH Li. The Effect of Spesific Anti-S. sobrinus IgY on Dental Caries In Vitro. Cariology Research. The 5th Annual Meeting of The IADR Chinese Division. China.

Kapner M. 2003. Comprehensive and Aesthetic Dentistry. Ninth District Dental Association. http://www. urac.org.

Kresno SB. 2001. Imunologi : Diagnosis & Prosedur Laboratorium. Edisi ke-4. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Kuby J. 1997. Imunology 3 rd. New York. Freeman and Company.

Larsson A, and J. Sjoquist, 1990. Chicken IgY: Utilizing the Evolutionary Difference. Comp Immunol Microbiol Infect Dis. 13: 199-201.

Larsson A, RM Balow, TL Lindahl, and PO Forsberg.1993. Chicken Antibodies :Taking Advantage of Evolution a Review. Poultry Science. 72: 1807-12.

Little WA, DC Korts, LA Thomson, WH Bowen. 1977. Comparative Recovery of S. mutans on Ten Isolation Media. J Clin Micro. 5 : 578-583.

Loesche WJ. 1986. Role of Streptococcus Mutans In Human Dental Decay. Microbiol Rev. 50: 353-380.

Mary HF. 1994. Why IgY? Chicken Polyclonal Antibody, An Appealing Alternatif. Promega Notes Magazine. 46 : 11.

Mayer G. 2005. Immunology : Immunoglobulin-Structure and Function. Microbiology and Immunology online. University of South Carolina. http://www. med.sc.edu.


(49)

Michael W, Russell, Hongyin Wu. 1990. Streptococcus mutans and The Problem of Heart Cross-Reactivity. J Oral Bio Med. 1: 191-201.

Mount G & Rory Hume. 2006. Dental Caries. http://www.UCLA.edu.htm.

Mustopa Z. 2004. Peran Imunoglobulin Y (IgY) sebagai Anti Adhesi dan Opsonin untuk Pencegahan serangan Eschericia coli Enteropatogenik (EPEC) K1.1. Tesis. Program Pasca Sarjana. FKH-IPB. Bogor.

Olson GA, AS Bleiweis, Parker AS JR. 1972. Adherence Inhibition of Streptococcus mutans : an Assay Reflecting a Possible Role of Antibody in Dental Caries Prophylaxis. Infection and Immunity. 5 : 419-427.

Polson A, Von WM, Van RM. 1980. Isolation of Viral IgY Antibodies from Yolks of Immunized Hens. Immunol Commun. 9: 475-493.

Raamsdonk M, HC Van Der Mei, JJ De Soet, HJ Busscher, J De Graaff. 1995. Effect of Polyclonal and Monoclonal Antibodies on Surface Properties of Streptococcus sobrinus. J Inf Immun. 63 : 1698-1702.

Raj GD, B Latha, MS Chandrasekhar, V Thiagarajan. 2004. Production, Characterization and Application of Monoclonal Antibodies Against Chicken IgY. Veterinarski Arhiv. 74: 189-199.

Rawendra R. 2005. Prospek Pengembangan Imunoglobulin Y (IgY) Kering Beku sebagai Nutraceutical Food Anti Enterophatogenic Eschericia coli (EPEC). Disertasi. Program Pasca Sarjana. FKH- IPB. Bogor.

Robert JL, Haron JA, Kelly CG, Taylor WR, Bohart C, Hendricks M, Pyati J, Graff RT, Julian KC, Lehner T. Sequence and Structural Analysis of Surface Protein Antigen I/II (SpaA) of Streptococcus sobrinus. Infection and Immunity. 59 : 2677-2685.

Seminario A, Broukal Z, Ivancakova R. 2005. Mutans Streptococci and the Development of Dental Plaque. Prague Medical Report. 106: 349-358.

Shin JH, Mierha Y, Seung Woo N, Jung Taik K, Na Hye M, Won-Gi B, Im Hwan R. 2002. Use of Egg Yolk- Derived Immunoglobulin as an Alternative to Antibiotic Treatment for Control of Helicobacter pylori Infection. J Clin Diag Lab Imun. 9: 1061-1066.


(50)

Smith DJ, WF King, Christine DW, BI Shen, MA Taubman. 1998. Structural and Antigenic Characteristic of Streptococus sobrinus Glucan Binding Proteins. Infection and Immunity. 66 : 5565-5569.

Smith DJ. 2003. Caries Vaccine for the Twenty First Century. J Dent Edu. 67 : 1130-1138.

Sneath P, Nicholas SM, M Elisabeth S, John GH. 1986. Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology. Volume 2. William & Wilkins. USA.

Stowell D. 2006. Immunoglobulin structure. http://www.mcld.co.uk/immunoglobulin. Suartha IN, IWT Wibawan, Iman BP. 2006. Produksi Imunoglobulin Y Spesifik

Antitetanus pada Ayam. J vet. 7 :1

Szabo CS, Bardos L, Losonczy S, Karchesz K. 1998. Isolation of Antibody From Chicken and Quail Eggs. http://www. mcmaster.ca. 16 Juli 2006.

Todar K. 2002. The Bacterial Flora of Humans. University of Wisconsin Madison. http://www.textbook of bacteriology. net. 16 Juli 2006.

Tsuda H, Y Yamashita, K Toyoshima, N Yamaguchi, T Oho, Y Nakano, K Nagata, T Koga. 2000. Role of Serotype-Spesific Polysaccharide of Streptococcus mutans to Phagocytosis by Human Polymorphonuclear Leukocytes. J Inf Immun. 68 : 644-650.

Utama IH, Aisjah G, Fachriyan HP, I Wayan TW, Endhie DS, Gatut A, Aida LTR. 2000. Respon Fagositosis Leukosit Polimorf Babi (In Vitro) Terhadap Streptococcus equi subsp. Zooepidemicus. J Vet. 1: 1.

Warr GW, Magor KE, DA Higgins. 1995. IgY : Clues To The Origins Of Modern Antibodies. Immunology Today. 16 : 392-8.

Wibawan IWT, Laemmler Ch. 1992. Relationship between group B Streptococcal serotypes and cell surface hidrophobicity. J Vet Med. 39 : 376-382.

Wibawan IWT, FH Pasaribu, IH Utama, Ch. Laemmler. 1999. The role of hyaluronic acid capsular material of Streptococcus equi subsp. zooepidemicus in mediating adherence to He La cells and in resisting phagocytosis. Research in Veterinary Science.

Wikipedia. 2006. Dental caries.http:// Wikipedia- the free encyclopedia.htm. 16 Juli 2006.


(51)

Wikipedia. 2007. Egg Yolk. http:// Wikipedia- the free encyclopedia.htm. 18 Juli 2007.


(52)

(53)

(54)

(55)

Lampiran 3 Analisa Statistik Assay Adhesi (Uji t)

Ho : u1= u2 H1 : u1 > u2

Taraf nyata α = 0,05

si2 = Z(Xi-X)2 n-1

s2 = (n1-1)s12 + (n2-1)s22 n1+n2-2 t = X1 - X2 s (1/n1 + 1/n2)1/2

s1 = 3,59 s2 = 8,2 X1 = 39,9 X2 = 30,7

t = 6,10 dk = 58 t tabel = 1,31


(56)

Lampiran 4 Analisa Statistik Assay Fagositosis (Uji t)

Ho : u1= u2 H1 : u1 > u2

Taraf nyata α = 0,05

si2 = Z(Xi-X)2 n-1

s2 = (n1-1)s12 + (n2-1)s22 n1+n2-2 t = X1 - X2 s (1/n1 + 1/n2)1/2

s1 = 0,37 s2 = 1,76 X1 = 1,61 X2 = 5,18

t = 6,7

t tabel = 1,31


(1)

37 Wikipedia. 2007. Egg Yolk. http:// Wikipedia- the free encyclopedia.htm. 18 Juli


(2)

(3)

39 Lampiran 1 Mesin Akta Explorer 10S (Amersham)


(4)

(5)

41

Lampiran 3 Analisa Statistik Assay Adhesi (Uji t)

Ho : u1= u2 H1 : u1 > u2

Taraf nyata α = 0,05

si2 = Z(Xi-X)2

n-1

s2 = (n1-1)s12 + (n2-1)s22 n1+n2-2 t = X1 - X2 s (1/n1 + 1/n2)1/2

s1 = 3,59 s2 = 8,2 X1 = 39,9 X2 = 30,7

t = 6,10 dk = 58 t tabel = 1,31


(6)

Lampiran 4 Analisa Statistik Assay Fagositosis (Uji t)

Ho : u1= u2 H1 : u1 > u2

Taraf nyata α = 0,05

si2 = Z(Xi-X)2

n-1

s2 = (n1-1)s12 + (n2-1)s22 n1+n2-2 t = X1 - X2 s (1/n1 + 1/n2)1/2

s1 = 0,37 s2 = 1,76 X1 = 1,61 X2 = 5,18

t = 6,7

t tabel = 1,31