Pengaruh Pemberian Ekstrak Rumput Kebar(Biophytum petersianum Klotzsch) Terhadap Fertilitas Tikus Jantan (Rattus novergicus)

(1)

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK RUMPUT KEBAR

(

Biophytum petersianum

Klotzsch) TERHADAP FERTILITAS

TIKUS JANTAN (

Rattus novergicus

L)

AZLINA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ” Pengaruh Pemberian Ekstrak Rumput Kebar (Biophytum petersianum Klotzsch) terhadap Fertilitas Tikus Jantan (Rattus novergicus L)”, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Azlina.


(3)

ABSTRACT

AZLINA. The effect Rumput Kebar (Biophytum petersianum Klotzsch) Extract on Fertility of Male Rats.. Under the supervision of DEDY DURYADI SOLIHIN as chairman, NASTITI KUSUMORINI as member of the supervisory committee.

Rumput kebar was one a clump plantation that was known as medicinal plant. It only can be found in Kebar sub-district, Manokwari, Irian Jaya. The reduction of spermatozoa fertility due to the poisonous material such as Borax (Na2B4O710H2O). Borax is the one of chemical substance can inhibit spermiosis

and then followed by testicles atrophy. The research aimed to try out induction of rumput kebar extract in order to increase spermatozoa quality of male rats which was impacted by borax. The samples contained of 48 male rats (Rattus norvegicus

L) which were 2 months old and 150-200g in weight. There were two treatments. The first was using of rumput kebar extract in male rats which were reduced in reproduction activity. The second one was using of rumput kebar extract in normal rats. Rumput kebar extract was given orally to male rat every day (0.0945 mg/g of body weight in dose) by duration of 7 days, 14 days, 21 days, and 28 days. The result showed that the rumput kebar extract increased testicle weight in infertile rat beginning on 7th day. Rumput kebar extract increased spermatozoa

concentration from 7th to 21st day (P<0.05), while it didn’t affect spermatozoa

concentration significantly on 28th day (P>0.05). In other hand, rumput kebar

extract decreased abnormality morphology of spermatozoa significantly on 28th

day (P<0.05). Viability of spermatozoa increased significantly on 21st day and 28th

day (P<0.05). Rumput kebar could only incresed morphology performance of spermatozoa up to 50% in normal rats. It could also incresed male rat’s body weight.

Keywords: fertility, borax, spermatozoa, Biophytum petersianum Klotzsch


(4)

RINGKASAN

AZLINA. Pengaruh Pemberian Ekstrak Rumput Kebar (Biophytum petersianum

Klotzsch) Terhadap Fertilitas Tikus Jantan (Rattus novergicus). Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN sebagai ketua, NASTITI KUSUMORINI sebagai anggota komisi pembimbing.

Rumput kebar (Biophytum petersianum Klotzsch,) merupakan salah satu tumbuhan obat yang terdapat di Indonesia. Tumbuhan ini lebih banyak digunakan oleh penduduk sebagai obat kesuburan untuk memelihara kemampuan reproduksi dan fertilitas. Penurunan fertilitas dapat disebabkan oleh banyak faktor. Faktor yang dapat mempengaruhi fertilitas antara lain bahan-bahan berbahaya. Secara langsung bahan berbahaya ini dapat mengganggu fungsi organ reproduksi, oleh karena itu tumbuhan obat tradisional seperti rumput kebar dapat digunakan dalam memperbaiki fungsi reproduksi.

Borax (Na2B4O7.10H2O) merupakan salah satu zat kimia yang banyak

digunakan dalam makanan sebagai pengawet. Dalam mencari hewan model jantan dengan kemampuan reproduksi yang rendah dilakukan suatu penelitian pendahuluan dengan mengunakan borax. Hasil penelitian membuktikan bahwa pemberian borax pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus L) dapat menurunkan konsentrasi spermatozoa. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa pemberian ekstrak rumput kebar dapat mempengaruhi kualitas sprematozoa tikus jantan yang kurang baik akibat bahan berbahaya seperti borax.

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yaitu pola Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat kelompok perlakuan yaitu 7, 14, 21 dan 28 hari. Pemberian ekstrak rumput kebar dosis 0.0945 mg/gram bobot badan dilakukan setiap hari dengan cara mencekok. Penelitian dibagi kedalam dua tahap penelitian. Penelitian tahap pertama bertujuan untuk mengetahui kinerja ekstrak rumput kebar terhadap hewan yang diturunkan kinerja reproduksinya dengan diinduksi borax. Tahap kedua bertujuan untuk mengetahui kinerja ekstrak rumput kebar terhadap hewan normal. Tikus-tikus jantan dimatikan secara pembiusan dan spermatozoa diperoleh dari cauda epididymis kanan. Cauda epididymis

dimasukkan ke dalam gelas arloji yang berisi 1 ml garam fisiologis hangat (37°C), kemudian dipotong–potong dengan gunting kecil hingga halus dan diaduk dengan gelas pengaduk. Suspensi spermatozoa yang telah diperoleh digunakan untuk pengamatan kualitas spermatozoa. Parameter uji yang diamati yaitu pertambahan bobot badan, berat testis, konsentrasi spermatozoa, morfologi spermatozoa dan viabilitas spermatozoa. Data dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance

(ANOVA) dengan menggunakan SPSS 13.

Hasil penelitian pada tikus jantan yang diturunkan kinerja reproduksinya menunjukan bahwa ekstrak rumput kebar dapat mengembalikan berat testis mulai perlakuan hari ke-7. Untuk konsentrasi spermatozoa pada pemberian ekstrak rumput kebar berpengaruh pada hari 7 sampai dengan hari 21. Pada hari ke-28 konsentrasi tidak berbeda nyata (P>0.05) antara kontrol dan perlakuan. Morfologi spermatozoa mulai berpengaruh nyata (P<0.05) pada hari ke-28. Viabilitas spermatozoa mulai berpengaruh nyata (P<0.05) pada hari ke-21 dan hari ke-28. Pada tikus normal rumput kebar hanya dapat meningkatkan performa


(5)

morfologi spermatozoa hingga limapuluh persen. Rumput kebar juga dapat meningkatkan bobot badan tikus jantan.

Kata kunci: fertilitas, borax, spermatozoa, Biophytum petersianum Klotzsch


(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor


(7)

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK RUMPUT KEBAR

(

Biophytum petersianum

Klotzsch) TERHADAP FERTILITAS

TIKUS JANTAN (

Rattus novergicus

L)

AZLINA

Tesis

Sebagai salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

Judul : Pengaruh Pemberian Ekstrak Rumput Kebar

(Biophytum petersianum Klotzsch) Terhadap Fertilitas Tikus Jantan (Rattus novergicus)

Nama : Azlina

NRP : G 352070211

Prog Studi : Biologi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Dr. Nastiti Kusumorini. Ketua Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Biosains Hewan

Dr. Bambang Suryobroto Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rengat Indragiri Hulu Riau pada tanggal 24 September 1971 dari pasangan Kapt. Pol (Pur) Alfian A. dan Yusna. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.

Tahun 1990 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Pekanbaru Riau dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan jurusan Biologi Universitas Riau melalui jalur Sipenmaru. Penulis menyelesaikan S1 pada tahun 1995.

Pada tahun 1996 penulis diterima sebagai pengajar di Yayasan Cendana PT.Caltex Rumbai Pekanbaru. Tahun 1998 penulis diterima sebagai PNS dijajaran Departemen Agama dan ditugaskan di Madrasah Aliah Negeri 2 Model Pekanbaru hingga sekarang. Pada tahun 2007 penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan studi pada Program Magister Sains (S2) dan diterima di Program Studi Biologi jurusan Biosains Hewan Fakultas Matetamtika dan Ilmu Pengetahuan Alam pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor memalui Seleksi Bibit Unggul Daerah Depag.


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini memuat penelitian tentang Pengaruh Pemberian Ekstrak Rumput Kebar (Biophytum petersianum

Klotzsch) terhadap Fertilitas Tikus Jantan (Rattus novergicus)

Terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin DEA dan Ibu Dr. Nastiti Kusumorini selaku komisi pembimbing atas arahan dan bimbingan mulai penyusunan rencana penelitian sampai penyelesaian tesis. Terimakasih juga penulis sampaikan pada Staf Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan Departemen Agama RI atas bantuan bea siswa BUD.

Buat Suami tercinta Suhariyono S.Hut, dan anak-anakku tersayang Muhammad Rizky Fadilla, Kinasih Fakhrunnisa dan Muhammad Arkaan Fawwaz atas doa, keikhlasan, kesabaran dan kasih sayangnya yang selalu menjadi motivasi. Kedua orang tua dan mertua atas doa dan bantuannya selama penulis menyelesaikan perkuliahan, hanya tesis ini yang dapat penulis persembahkan. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2009

Azlina


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 2

Hipotesis... 3

Manfaat Penelitian... 3

Kerangka Pemikiran ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Umum Rumput Kebar ... 5

Komposisi Kimia Rumput Kebar. ... 6

Fungsi Biologis Ekstrak Rumput Kebar... 7

Borax... 8

Biologi Umum Tikus... 10

Spermatozoa... 11

Testis ... 12

Anatomi Testis... 12

Fungsi Testis... 13

Spermatogenesis ... 17

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ... 20

Bahan Penelitian dan Alat... 20

Metode Penelitian ... 20

Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar ... 20

Penentuan Dosis Ekstrak Rumput Kebar ... 21

Persiapan Hewan Model ... 21

Pembuatan Hewan Model Infertil ... 21

Perlakuan... 23

Pengamatan Parameter Uji ... 24

Bobot Badan... 24

Kinerja Reproduksi Hewan Jantan... 25

Bobot testis... 25

Kualitas Spermatozoa... 25

Konsentrasi Spermatozoa... 25

Morfologi Spermatozoa... 26


(12)

Rancangan Percobaan...27

Analisa Data ... 27

HASIL Analisis Fitokimia Rumput kebar...………28

Pengaruh Ekstrak Rumput Kebar terhadap Tikus Jantan yang Diturunkan Kinerja Reproduksinya dengan Mengunakan Borax... 28

Pengaruh Ekstrak Rumput Kebar terhadap Tikus Jantan Normal ... 34

PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik...……… 38

Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Reproduksi... 39

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 44

Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komposisi kimia rumput kebar ...6 2. Komposisi asam amino rumput kebar ...7 3. Hasil uji fitokimia rumput kebar di Laboratorium Balitro ...28 4. Rataan pertambahan bobot badan tikus (%) mingguan yang diturunkan kemampuan reproduksinya ...29 5. Rataan rasio bobot testis terhadap berat badan tikus (%) yang diturunkan kemampuan reproduksinya ... 30 6. Rataan jumlah spermatozoa/mm3 suspensi pada tikus yang diturunkan

kemampuan reproduksinya ... 31 7. Rataan persentase spermatozoa hidup pada tikus yang diturunkan kemampuan reproduksinya...33 8. Rataan pertambahan bobot badan tikus (%) mingguan pada tikus normal...35 9. Rataan rasio bobot testis terhadap berat badan (%) pada tikus normal...35 10. Rataan jumlah spermatozoa/mm3 suspensi pada tikus normal ...36


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Rumput kebar...5

2. Biosintesis steroid pada reproduksi jantan ...9

3. Morfologi spermatozoa ...12

4. Organ genital tikus dewasa ...14

5. Tubulus seminiferus testis ...14

6. Endokrin testis ... 16

7. Perkembangan sel kelamin tikus jantan selama spermatogenesis ...19

8. Tempat hewan peliharaan ...22

9. Pemberian borax dengan cara mencekok ...22

10. Protokol pembuatan hewan model infertil ...22

11. Rataan jumlah spermatozoa tikus setelah 30 hari perlakuan borax ... ...23

12. Protokol perlakuan dan parameter uji ... ...24

13. Kamar hitung Neubauer ...26

14. Rataan bobot badan tikus setelah pemberian ekstrak rumput kebar pada hewan yang diturunkan kemampuan reproduksinya ...29

15. Perbandingan besar testis tikus pada kelompok kontrol dan kelompok yang diberi ekstrak rumput kebar selama 21 hari ... 30

16. Perbandingan besar testis tikus pada kelompok kontrol dan kelompok yang diberi ekstrak rumput kebar selama 28 hari ...31

17. Perbandingan persentase morfologi spermatozoa abnormal pada tikus yang diturunkan kemampuan reproduksinya ...32

18. Rataan bobot badan tikus setelah pemberian ekstrak rumput kebar pada hewan normal...34

19. Perbandingan persentase morfologi spermatozoa abnormal pada tikus normal ………... ..36


(15)

20. Bentuk normal spermatozoa tikus ...42 21. Bentuk spermatozoa tikus abnormal ...42


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Skema Proses Pembuatan Ekstrak Rumput Kebar ...50 2. Konversi dosis ...51 3. Analisa Fitokimia Rumput Kebar ...52 4. Tabel analisa Statistik Bobot Badan Tikus dan Morfologi Spermatozoa

Tikus ... ...53


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rumput kebar (Biophytum petersianum Klotzsch, famili oxalidaceae) merupakan salah satu tumbuhan obat yang terdapat di Indonesia. Rumput kebar merupakan tanaman perdu yang dapat ditemukan di kecamatan Kebar (ketinggian 500 – 600 m diatas permukaan laut), kabupaten Manokwari, Irian Jaya Barat. Walaupun bukan famili graminae, masyarakat kecamatan Kebar menyebutnya sebagai rumput kebar. Tumbuhan ini telah dipakai turun temurun oleh penduduk Kebar sebagai obat tradisional yang diolah secara sederhana untuk berbagai keperluan kesehatan. Menurut Veldkamp (1976) tumbuhan ini digunakan sebagai obat kumur untuk sariawan, penawar racun gigitan ular dan obat pencuci perut untuk anak. Tumbuhan ini lebih banyak digunakan oleh penduduk sebagai obat kesuburan wanita. Rumput kebar sangat dipercaya oleh penduduk setempat sebagai obat untuk memelihara kemampuan reproduksi dan fertilitas. Berdasarkan informasi, banyak pasangan suami istri yang telah lama belum memiliki keturunan, dengan mengkonsumsi rebusan tumbuhan rumput kebar dapat memiliki keturunan dan menormalkan siklus haid yakni semula 14 hari menjadi 28–30 hari.

Penurunan fertilitas dapat disebabkan oleh banyak faktor. Faktor yang dapat mempengaruhi fertilitas antara lain bahan-bahan berbahaya. Menurut Zulkarnaen (2000) bahan berbahaya secara toksikologik adalah suatu bahan yang komposisinya, dalam jumlah atau dosis tertentu dapat mempengaruhi fungsi baik satu maupun beberapa organ tubuh manusia atau hewan sehingga mengganggu kesehatan, baik sementara maupun tetap. Bahan berbahaya ini masuk kedalam tubuh berasal dari makanan atau obat-obatan yang dikonsumsi karena kebutuhan khusus. Secara langsung bahan berbahaya ini dapat juga mengganggu fungsi organ reproduksi. Borax (Na2B4O7.10H2O) merupakan salah satu zat kimia yang

banyak digunakan dalam makanan sebagai pengawet dan diduga berpengaruh pada sistem reproduksi.


(18)

Uji teratologik pada tikus membuktikan bahwa borax dapat menyebabkan cacat fetus (Pangestiningsih 1994). Borax juga dapat menyebabkan atresia (pengerutan) folikel ovarium dan pada dosis tinggi menyebabkan gagal hamil (Dieter 1994). Hal ini karena embrio yang sampai ke uterus belum siap melakukan implantasi, sebagai akibat terhambatnya proses segmentasi dan perkembangan awal embrio (Munir et al. 1997). Pada hewan jantan, borax juga menyebabkan lesio (kerusakan) pada testis yang ditandai dengan penghambatan spermiosis kemudian akan diikuti oleh atropi testis jika diperlakukan pada dosis tinggi (Chapin & Ku 1994; Ku et al. 1993). Atropi testis adalah pengecilan testis dari ukuran normal, diduga sebagai akibat dari gangguan hormonal yang disebabkan oleh toksikan yang masuk melalui kelenjar-kelenjar endokrin di testis. Borax juga berpengaruh terhadap kualitas spermatozoa, hal ini karena spermatozoa mudah terpengaruh oleh zat yang bersifat toksis (Kaspul 2004). Dalam usaha membuat hewan coba infertil, dilakukan penggunaan borax terhadap kinerja reproduksi mencakup kualitas dan kuantitas spermatozoa

Sadsoesitoeboen (2005) telah mencoba perlakuan rumput kebar pada mencit putih betina. Berdasarkan hasil penelitiannya, ekstrak rumput kebar mengandung zat-zat nutrisi dan 17 asam amino yang dibutuhkan untuk meningkatkan penampilan reproduksi, mampu memperpendek siklus estrus, memperpanjang lama estrus, meningkatkan jumlah embrio, pertambahan bobot badan induk, jumlah anak sekelahiran dan bobot lahir anak mencit putih betina. Hingga saat ini, belum ada penelitian yang menggunakan rumput kebar sebagai penyembuh infertilitas jantan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang rumput kebar khususnya yang berkaitan dengan fertilitas hewan jantan.

Perumusan Masalah

Apakah pemberian ekstrak rumput kebar dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas spermatozoa tikus putih.


(19)

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa pemberian ekstrak rumput kebar dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas sprematozoa tikus jantan.

Hipotesis

Pemberian ekstrak rumput kebar dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas spermatozoa tikus jantan.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi tentang efektifitas pemberian ekstrak rumput kebar terhadap fertilitas hewan dan manusia. Data ini dapat digunakan untuk penerapan dan pengembangan pengobatan pada pasangan yang mengalami gangguan kualitas sperma terhadap kesuburannya.


(20)

Kerangka Pemikiran

Rumput Kebar (Biophytum petersianum

Klotzsch)

Sebagai Obat Tradisional (sariawan, penawar racun, pencuci perut )

Sebagai Obat Kesuburan (Kemampuan reproduksi & fertilitas)

Mengandung zat-zat nutrisi dan asam amino

Penurunan Fertilitas Bahan makanan, seperti

borax (Na2B4O7.10H2O)

Obat-obatan yang dikonsumsi karena kebutuhan khusus

Bahan-bahan berbahaya

Ekstrak Rumput Kebar Gangguan Kesuburan

♀ : atrasia folikel ovarium, gagal hamil.

♂ : lesio testis, hambatan spemiosis, penurunan kualitas & kuantitas spermatozoa

Meningkatkan kualitas dan kuantitas spermatozoa


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Umum Rumput Kebar

Rumput kebar bukan tumbuhan rumput-rumputan (Graminae) tetapi merupakan tanaman perdu yang termasuk kelas Dycotiledoneae, family Oxalidaceae, genus Biophytum, species Biophytum petersianum Klotzsch (Veldkamp 1976). Ciri-ciri tumbuhan ini yaitu penducle berukuran pendek, daun berbentuk obovate/umumnya bulat, mengumpul dan berpasangan, pucuk daun 3 – 9 pasang. Di bagian tengah, daun berbentuk rosette, berwarna kuning, jingga atau merah. Bakal buah menumpang dan berlekuk/bersegi lima. Buah kotak atau buni mengandung biji berukuran kecil. Tumbuhan ini berumah satu yaitu bunga jantan dan betina berada pada satu tumbuhan.

Rumput kebar (Gambar 1) tumbuh pada ketinggian 500 – 600 m diatas permukaan laut. Tumbuhan ini biasanya tumbuh bersama dengan Paspalum konyugatum dan Imperata cylindrica. Rumput kebar tumbuh pada permeabilitas tanah sedang (4,01 cm/jam – 5,17 cm/jam), pH tanah agak masam sampai masam (5,6 – 4,6), kandungan sulfur tanah 0,04% - 0,2%. Tumbuhan ini banyak ditemukan di daerah iklim basah dengan curah hujan rata-rata 2383 mm/tahun, suhu 26,680C, kelembaban 82,97% dan intensitas cahaya matahari 64,87 lux

(Imbiri 1997).


(22)

Komposisi Kimia Rumput Kebar

Hasil analisis komposisi kimia rumput kebar menunjukkan kandungan protein kasar, serat kasar, lemak kasar, Beta-N, mineral-mineral dan vitamin-vitamin yang cukup baik (Tabel 1). Walaupun kandungan protein kasar dan lemak tidak begitu tinggi namun kandungan kalsium, fosfor, vitamin A dan vitamin E nya cukup tinggi.

Tabel 1 Komposisi kimia rumput kebar (Sadsoeitoeboen 2005).

No Bahan Penyusun Jumlah (%)

1. Bahan kering 89,06

2. Abu 12,76

3. Protein kasar 7,35

4. Serat kasar 35,85

5. Lemak kasar 0,72

6. Beta-N 32,38

7. Calsium (Ca) 1,52

8. Posfor (P) 0,60

9. NaCl 0,09

10. Vitamin A (IU) 199,30

11. Vitamin E (IU) 13,27

Hasil analisis komposisi kimia yang terdapat pada rumput kebar terlihat bahwa rumput kebar mengandung hampir semua kebutuhan nutrisi untuk aktivitas reproduksi. Menurut hasil penelitian Sadsoeitoboen (2005) ekstrak rumput kebar memiliki empat jenis protein dengan Berat Molekul (BM) masing-masing 14.648,731, 17.556,583, 49.730,176 dan 52.033,136 dalton. Berdasarkan hasil analisis elektroforesis, rumput kebar memiliki dua jenis protein yang BM-nya hampir sama dengan BM hormon Pregnant Mare Serum Gonadothropin (PMSG), yaitu pada BM 17.556,583 dan 52.033,136 dalton. Telah diketahui bahwa PMSG mengandung Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone

(LH). Partodiharjo (1992) menyatakan bahwa FSH dan LH memiliki BM yang berkisar antara 30.000 sampai 67.000 dalton. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis secara rinci pada protein dengan BM tersebut diatas mengikuti komposisi asam aminonya dan jenis protein secara khusus. Selain itu, rumput kebar juga mengandung asam-asam amino yang dibutuhkan untuk aktivitas reproduksi (Tabel 2).


(23)

Tabel 2 Komposisi asam amino rumput kebar (Sadsoeitoeboen 2005).

No Jenis Asam Amino Jumlah (%)

1. Asam Aspartat 0,255

2. Asam Glutamat 0,230

3. Serin 0,198

4. Glisin 0,123

5. Histidin 0,345

6. Arginin 0,310

7. Treonin 0,220

8. Alanin 0,115

9. Prolin 0,345

10. Tirosin 0,316

11. Valin 0,252

12. Metionin 0,287

13. Sistin 0,254

14. Isoleusin 0,237

15. Leusin 0.298

16. Fenilalanin 0.360

17. Lysin 0.259

Fungsi Biologis Ekstrak Rumput Kebar

Pemberian ekstrak rumpur kebar melalui air minum dapat meningkatkan berat ovarium, menstimulir perkembangan folikel, daya tetas telur serta meningkatkan motilitas spermatozoa pada ayam buras (Wajo 2005). Pasaribu & Indyastuti (2004) melaporkan bahwa pemberian ekstrak rumput kebar dapat meningkatkan kandungan 17 β-estradiol pada serum darah mencit, sehingga meningkatkan penampilan reproduksi mencit putih betina. Secara umum, estrogen dalam tubuh terdapat dalam beberapa bentuk yaitu 17 β-estradiol, estron dan estriol (Hafez et al. 2000).

Kolesterol adalah prekursor hormon estrogen. Jalur biosintesis estrogen melibatkan pembentukan dari androgen, juga dibentuk melalui aromatisasi

androstenedion didalam sirkulasi darah. Aromatase adalah enzim yang mengkatalis perubahan androstenedion menjadi estron dan perubahan testosteron menjadi estradiol (Gambar 2). Sel-sel Leydig interna memiliki banyak reseptor LH, dan LH bekerja melalui Adenosin Mono Phospat (cAMP) untuk meningkatkan perubahan kolesterol menjadi androstenedion. Sebagian


(24)

androstenedion diubah menjadi estradiol, yang masuk kedalam sirkulasi darah. Sel Leydig interna juga memberikan androstenedion pada sel Sertoli. Sel Sertoli memberikan estradiol bila mendapat androgen. Sel Sertoli memiliki banyak reseptor FSH, dan FSH meningkatkan sekresi estradiol dari sel Sertoli dan bekerja melalui AMP siklik untuk meningkatkan aktivitas aromatase. Sel Sertoli juga memiliki reseptor LH, dan LH juga merangsang pembentukan estradiol (Ganong 2003).

Estrogen adalah hormon steroid yang dihasilkan oleh sel teka interna dari folikel ovarium, corpus luteum, plasenta dan dalam jumlah sedikit oleh korteks adrenal dan testis (Gadjahnata 1989). Menurut Guyton (1996) fungsi utama estrogen adalah menimbulkan proliferasi sel dan pertumbuhan jaringan organ-organ kelamin serta jaringan lain yang berkaitan dengan reproduksi. Pada hewan jantan Interstisial Cell Stimulating Hormon (ICSH) dari hipofisis merupakan bahan yang sama dengan hormon LH yang berfungsi mensekresikan testosteron dan pengembangan sifat kelamin sekunder (Pearce 1991).

Borax

Borax (Na2B4O7.10H2O) adalah bahan pengawet berupa serbuk kristal

putih, tidak berbau, larut dalam air, tidak larut dalam alkohol, pH: 9,5. Penggunaan borax dipakai sebagai pengawet kayu, anti septik kayu dan pengontrol kecoa. Bahaya borax terhadap kesehatan karena dapat meracuni sel. Bahan ini diserap melalui usus, kulit yang rusak dan selaput lendir (

http://www.disnakkeswan-lampung.go.id ).

Borax merupakan bahan kimia beracun. Bahan kimia dinyatakan toksik apabila memiliki efek berbahaya bagi mahluk hidup. Menurut Loomis (1995) sifat toksik zat kimia (obat) dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan fungsional, biokimiawi atau perubahan struktural. Perubahan tersebut biasanya dimulai dengan gejala atau simptom yang dapat dilihat pada fungsi badan (Koeman 1987).


(25)

(26)

Menurut Loomis (1995) faktor penting yang mempengarui potensi aman atau tidaknya suatu zat kimia adalah hubungan antara kadar zat (dosis) dengan efek yang ditimbulkannya. Koeman (1987) menyatakan disamping dosis, faktor waktu juga penting dalam penentuan potensi tersebut karena kerja toksik selalu merupakan fungsi dosis dan lamanya pendedahan. Darmansjah (1987) menyebutkan cara pemberian merupakan faktor yang cukup penting. Toksisitas zat kimia yang diberikan secara oral dapat berubah-ubah tergantung frekuensi pemberian dan berbagai kondisi yang ada pada saat pemberian, seperti kondisi lambung dalam keadaan kosong atau terisi sehingga zat kimia tersebut tercampur dengan isi lambung

Menurut Subiyakto (1991) dalam kadar tertentu borax akan mengakibatkan rasa pening, mual, muntah-muntah dan demam. Gejala yang cepat dan hebat baru akan terjadi apabila borax dikonsumsi dalam jumlah yang besar. Pemasukan borax secara terus menerus dalam tubuh akan disimpan dalam ginjal. Borax diekskresikan secara lambat di dalam ginjal (Thienes 1972). Penggunaan yang secara terus menerus dapat menyebabkan timbunan racun borax (Anonim 2009). Adiwisastra (1987) menyebutkan bahwa keracunan borax dapat menyebabkan degenerasi pada hati dan ginjal.

Pada hewan jantan, borax dapat menyebabkan lesio pada testis yang ditandai dengan penghambatan spermiosis yang diikuti oleh atropi testis, jika diperlakukan pada dosis tinggi (Chapin & Ku 1994; Ku et al.1993). Atropi testis adalah pengecilan testis dari ukuran normal, diduga sebagai akibat dari gangguan hormonal yang disebabkan oleh toksikan yang masuk melalui kelenjar-kelenjar endokrin di testis. Borax juga berpengaruh terhadap kualitas spermatozoa, hal ini karena spermatozoa mudah terpengaruh oleh zat yang bersifat toksis seperti borax (Kaspul 2004).

Biologi Umum Tikus

Tikus merupakan salah satu hewan percobaan yang banyak digunakan sebagai model dalam penelitian. Tikus putih (Rattus norvegicus) atau tikus albino merupakan tikus hasil breeding secara selektif sehingga memiliki karakter yang stabil. Ada beberapa galur atau varietas tikus antara lain: galur Sprague-dawley


(27)

memiliki kepala kecil dan ekor lebih panjang dari badannya, galur Wistar

ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih pendek, serta galur Long evans

memiliki ukuran tubuh lebih kecil dengan kepala dan tubuh bagian depan berwarna hitam (Baker 1980). Hewan ini memiliki keistimewaan yaitu umur relatif pendek, sifat produksi dan reproduksi menyerupai mamalia besar, lama produksi ekonomis 2,5–3 tahun, lama kebuntingan berkisar 21–23 hari, umur sapih 21 hari, umur puberitas 50 – 60 hari, angka kelahiran 6–12 ekor per kelahiran, memiliki siklus estrus yang pendek 4–5 hari dengan karakteristik setiap fase siklus yang jelas, lama estrus 9 – 12 jam, interval antar generasi relatif pendek dan berukuran kecil sehingga memudahkan dalam pemeliharaan serta efisien dalam mengkonsumsi pakan (10 gr/100 gr bb) (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Berat badan tikus betina dewasa sekitar 250 – 300 g dan berat badan tikus jantan dewasa 450 – 520 g, mulai dikawinkan umur 65–110 hari karena jika dikawinkan terlalu muda atau terlalu tua (lebih dari 10 minggu) akan mengurangi fertilitas. Tikus yang baru lahir memiliki berat lahir antara 5 – 6 g (Malole & Pranomo 1989).

Spermatozoa

Spermatozoa adalah sel kelamin jantan yang memegang peranan penting dalam proses pembuahan. Cikal bakal spermatozoa sudah ada sejak embrio berupa sel-sel gonosit yang sudah aktif mengadakan pembelahan pada bagian tengah dari bagian gonad primitif, sehingga menghasilkan spermatogenia. Pada masa pubertas, spermatogenia akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi spermatosit I yang kemudian memasuki meiosis, dan membentuk spermatid yang mempunyai jumlah kromosom separuh dari jumlah kromosom sebelumnya (haploid). Spermatid kemudian akan mengalami perubahan bentuk melalui tahapan-tahapan panjang yang disebut spermatogenesis dan akan dihasilkan spermatozoa (Soeharso 1985).

Spermatogenesis atau produksi sel-sel sperma dewasa adalah proses yang terus-menerus pada individu jantan yang sudah dewasa. Struktur sel sperma (Gambar 3) pada bagian kepala mengandung nukleus haploid ditudungi oleh bahan khusus, yaitu akrosom, yang mengandung enzim yang membantu sperma


(28)

menembus sel telur. Bagian tengah sel sperma mengandung sejumlah besar mitokondria (atau sebuah mitokondria yang besar pada beberapa spesies) yang menyediakan Adenisin Tri Posphat (ATP) untuk pergerakan ekor yang berupa sebuah flagel (Campbell 2004).

Gambar 3 Morfologi Spermatozoa (Campbell 2004).

Testis

Anatomi Testis

Testis adalah organ kelamin laki-laki untuk perkembangbiakan, tempat pembentukan spermatozoa dan penghasil hormon testosteron. Testis berkembang di dalam rongga abdomen sewaktu janin dan turun melalui saluran inguinal kanan dan kiri masuk kedalam scrotum menjelang akhir kehamilan. Testis ini terletak oblik (lonjong kesamping) menggantung pada urat-urat spermatik di dalam

scrotum (Pearce 1991). Scrotum bereaksi terhadap rangsangan seksual dengan cara vasokongesti dan kontraksi serabut-serabut otot polos dari tunika dartos, sehingga menyebabkan scrotum menjadi tebal dan mengencang (Effendi 1981).

Bidang luar testis berbentuk convex dan licin. Testis terbungkus oleh tunica vaginalis propina yang didalamnya terdapat ductus epididymis dan ductus deferens (Gambar 4). Di bagian propundal tunika ini terdapat tunika albuginea


(29)

dan serabut-serabut otot licin. Tunica albugenia berhubungan dengan suatu jaringan ikat yang membagi testis menjadi lobuli testis yang disebut septula testis. Septula testis akan menuju ke mediastinum testis yang terletak disentral. Lobuli testis mengandung tubuli seminiferi contorti yaitu suatu saluran yang dibentuk oleh sel-sel spermatogonia dan sel-sel sertoli. Sel-sel spermatogenia merupakan sel-sel yang akan menjadi spermatozoa dan sel-sel sertoli adalah sel-sel yang berfungsi memberi nutrisi pada spermatogenia. Diantara tubuli ini terdapat sel-sel Leydig yang menghasilkan hormon kelamin jantan yaitu testosteron. Tubuli seminiferi contorti dari satu lobus akan berjalan menuju ke tubulus seminiferus rectus yang akan membentuk rete testis. Rete testis terletak di dalam mediastinum testis, berfungsi menyalurkan spermatozoa ke ductus epididymis (Sigit 1980) (Gambar 5).

Bagian testis yang terletak diujung proksimal disebut ekstremitas capitata

yang berhadapan dengan caput epididymis. Ekstremitas caudata berhadapan dengan cauda epididymis disebut margo epididymis. Bagian yang bebas dari testis disebut margo liber (Sigit 1980).

Fungsi Testis

Testis mempunyai dua fungsi utama yaitu menghasilkan sel mani oleh tubuli seminiferi dan sekresi hormon testosteron oleh sel-sel Leydig (Effendi 1981). Secara fungsional testis merupakan kelenjar ganda karena bersifat eksokrin dan endokrin. Bersifat eksokrin karena menghasilkan sel kelamin (sel benih) dan bersifat endokrin karena menghasilkan sekresi internal berupa hormon yang dilepaskan oleh sel-sel khusus (Tambayong & Sugito 1996).

Testis sebagai organ kelamin primer mempunyai fungsi menghasilkan spermatozoa dan mensekresikan hormon testosteron. Spermatozoa dihasilkan di dalam tubuli seminiferi atas pengaruh FSH. Hormon testosteron dihasilkan oleh sel interstial. Produksi testosteron tergantung pada rangsangan Luteinizing Hormon (LH) dari lobus anterior hipofisis. Organ sasarannya adalah sel-sel interstisial maka LH sering disebut sebagai Interstisial Cell Stimulating Hormon


(30)

Gambar 4 Organ genital tikus dewasa (Turner dan Bagnara 1980).

Gambar 5 Tubulus seminiferus testis (Hafez et al.2000).

Testosteron selain berpengaruh terhadap spermatogenesis juga mengatur sifat-sifat seks sekunder, merangsang seks dan perkembangan serta pemeliharaan saluran kelamin dan kelenjar kelamin tambahan (Tambayong & Sugito 1996).


(31)

Pengeluaran testosteron bertambah dengan nyata pada masa pubertas untuk perkembangan sifat kelamin sekunder (Pearce 1991). Beberapa fungsi hormon endokrin adalah penggiat folikel FSH dari lobus anterior hipofisis merangsang spermatogenesis. FSH mempengaruhi sel sertoli untuk merangsang sintesis reseptor yaitu protein pengikat androgen (Androgen Binding Protein), yang berikatan dengan testosteron dan disekresikan ke dalam lumen tubulus seminiferus. Keberadaan testosteron di dalam ruang abdominal dibutuhkan untuk memelihara spermatogenesis. Sel Sertoli juga mensintesis hormon testis yang lain yaitu inhibin yang masuk ke dalam aliran darah serta akan menghambat sekresi FSH oleh hipofisis lobus anterior (Tambayong & Sugito 1996) (Gambar 6).

Sel Sertoli terletak di sepanjang membran basal dan dapat dibedakan dengan sel kelamin, karena berbentuk torak, inti oval, nukleoplasmanya homogen dan anak intinya jelas. Sel ini sangat resisten terhadap zat-zat yang merusak sel kelamin (Austin & Short 1982). Sel sertoli mempunyai fungsi yang erat kaitannya dengan kelangsungan hidup sel kelamin, antara lain:

1. Menghasilkan protein pengikat (Androgen Binding Protein/ABP) yang berperan sebagai alat transit androgen ke sel-sel kelamin dan ke caput epididymis serta sebagai sumber sekresi cairan untuk transfer spermatozoa meninggalkan testis (Hafez et al. 2000).

2. Menghasilkan nutrisi untuk menjamin berlangsungnya fungsi spermatogenik (Gamer & Hafez 1987).

3. Bersifat sebagai fagositositas terhadap sel-sel kelamin yang mengalami degenerasi atau rusak dan sisa protoplasma sperma dewasa (residual bodies) yang banyak terdapat dalam tubuli seminiferi (Gamer & Hafez 1987).

4. Berfungsi sebagai penghalang darah masuk dalam testis (blood- testis barier) karena cabang sitoplasma sel sertoli yang berdekatan akan saling bertaut erat sehingga akan menghambat keluar masuknya zat asing pada tubuli seminiferi, terutama ditujukan bagi darah di luar tubuli agar tidak masuk. Pertautan cabang sel-sel Sertoli yang berdekatan disebut ”sertoli cell Junction” (Gamer & Hafez 1987).


(32)

Gambar 6 Endokrin testis (Hafez et al.2000)

Selain testis, terdapat pula kelenjar kelamin tambahan yang mempunyai tugas untuk membuat plasma semen, yang merupakan medium yang memungkinkan spermatozoa yang diproduksi oleh testis, bergerak dengan aktif dan hidup untuk waktu tertentu. Kelenjar kelamin tambahan ini terdiri dari kelenjar bulbourethralis (kelenjar cowper), kelenjar prostat, epididimis, vas defferens dan vesika seminalis. Cairan plasma semen disusun oleh hasil sekresi kelenjar kelamin tambahan yang dimulai dari sekresi kelenjar cowper, kelenjar prostat, sekret epididimis dan vas defferens yang kaya dengan spermatozoa dan terakhir sekret dari vesika seminalis. Poerwodihardjo (1985) menjelaskan saluran epididimis menghubungkan kelenjar testis dengan vas defferens. Epididimis berfungsi untuk pematangan spermatozoa disamping itu epididimis berfungsi pula untuk menyimpan spermatozoa yang sudah matang. Epididimis dan vas defferens juga berfungsi sebagai saluran spermatozoa.


(33)

Spermatogenesis

Spermatogenesis adalah proses perkembangan sel induk spermatogenia dari epitel tubuli seminiferus yang mengadakan proliferasi dan diferensiasi, sehingga terbentuk spermatozoa yang normal dan bebas. Proses spermatogenesis dapat dibedakan menjadi tiga tahap.

1. Tahap pertama, terjadi proses pembelahan mitosis dari sel spermatogonia sehingga menghasilkan spermatosit dan sel spermatogonia yang baru. Pembaharuan sel induk spermatogonia yang baru dimaksudkan untuk mempertahankan kehadirannya dalam tubuli seminiferi.

2. Tahap kedua, terjadi pembelahan miosis sel spermatosit primer dan sekunder yang menghasilkan spermatid berkromosom haploid. Kedua tahap diatas tersebut disebut dengan Spermatogenesis.

3. Tahap ketiga, terjadi proses perkembangan spermatid menjadi spermatozoa melalui proses metamorfosa yang panjang dan komplek, hal ini disebut spermiogenesis (Garmen dan Hafez 1987).

Ada dua model teori proses proliferasi dan pembaharuan sel induk spermatogenia mamalia (Austin dan Short 1982). Adapun kedua teori tersebut adalah:

1. Menurut teori yang diajukan oleh Clermont dan Bustos-Obregon pada tahun 1968, bahwa proses proliferasi sel induk spermatogenia Ao secara mitosis yang pada awalnya menjadi satu spermatogenia Ao cadangan dan satu lagi menjadi spermatogenia A1 yang kemudian membelah lagi menjadi spermatogenia A2, A3 dan A4. Sehingga satu spermatogenia A1 menjadi 4 spermatogenia A4 dan satu diantara spermatogenia A4 akan menjadi bakal spermatogenia A1, untuk spermatogenesis berikutnya. Sedangkan spermatogenia Ao sebagai cadangan dan akan memacu pembelahan bila terjadi situasi yang tidak menguntungkan bagi spermatogenia A1, A2, A3 dan A4 untuk bertahan hidup lagi misalnya terkena radiasi sinar X dan bahan kimia lainnya.

2. Menurut teori Huckins dan Oacberg pada tahun 1978, yaitu sel induk spermatogenia As (sama dengan Ao) selalu melakukan pembelahan secara bertahap dan tidak terkoordinasi sehingga membelah menjadi spermatogenia


(34)

A1, A2, A3 dan A4. Spermatogenia A4 tidak ada yang menjadi bakal sel induk spermatogenia A1 dalam spermatogenesis berikutnya.

Menurut Clermont dan Bustos-Obregon, jumlah spermatozoa yang terbentuk dari satu spermatogenia A1 adalah 12 spermatogenia, karena satu diantara spermatogenia A4 akan menjadi spermatogenia A1 kembali. Sedangkan menurut Huckins dan Oacberg, jumlah spermatogenia A4 yang akan terbentuk dari satu spermatogenia A1 akan menjadi 16 spermatogenia.

Sel spermatogenia mempunyai inti yang oval dan mengandung granula kromatin. Berdasarkan sebaran bentuk kromatin dalam inti, spermatogenia dapat dibedakan menjadi spermatogenia A dan spermatogenia B. Sebaran kromatin spermatogenia A umumnya halus dan homogen sedangkan spermatogenia B kromatinnya agak kasar, lebih gelap dan sebagian kromatinnya melekat pada inti. Perkembangan spermatogenia B akan mengalami beberapa fase pembelahan mitosis dan miosis, sehingga mengalami transformasi bentuk dan akhirnya menjadi spermatozoa (Gambar 7).


(35)

Gambar 7 Perkembangan sel kelamin tikus jantan selama spermatogenesis (Clermont 1962)


(36)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian.

Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2008 sampai dengan Mei 2009. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, dan Kandang Hewan Coba FKH IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley dewasa sebanyak 48 ekor dengan berat badan tikus berkisar antara 150 – 200 gram yang diperoleh dari Animal Facility, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bahan lain yang diperlukan adalah larutan borax, ekstrak rumput kebar, NaCl fisiologis, larutan giemsa, dan larutan eosin.

Alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah perangkat kandang tikus, counter (alat hitung), kamera digital, erlenmeyer, seperangkat alat bedah, mikroskop, haemocytometer, kaca preparat dan gelas objek.

Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar

Semua bagian rumput kebar yang digunakan (akar, batang dan daun) dikeringkan dengan penjemuran panas matahari. Selanjutnya rumput kebar yang telah kering tersebut direbus dengan aquabides (dengan perbandingan 600 g rumput kebar dalam 6 lt aquabides) sambil diaduk pada suhu 600C. Perebusan

dilakukan selama 6 jam. Hasil rebusan disaring dan ampas direbus kembali dengan proses yang sama sebanyak 3 kali perebusan. Larutan hasil rebusan disaring dan dibiarkan dingin, selanjutnya dilakukan evaporasi dengan mengunakan rotari evaporator (EYELA Rotary Evaporator N-1000) pada suhu 600C sampai volume menjadi 3 liter, untuk selanjutnya dijadikan bubuk dengan

metode pengering bekuan (freeze drying) (Flexi-Dry TM MP U.S. Pat #4,823,478). Bubuk yang terbentuk disimpan dalam botol kaca steril. Ekstrak


(37)

rumput kebar yang digunakan dalam penelitian dilarutkan kembali dengan menggunakan aquades sesuai dosis.

Penentuan Dosis Ekstrak Rumput Kebar

Penentuan dosis eksrak rumput kebar pada tikus didasarkan pada dosis standar yang diberikan untuk manusia. Dosis rumput kebar yang diberikan pada manusia dengan berat badan antara 50-70 kg adalah sebanyak 30 g rumput kebar kering atau sekitar 0.95 g bahan yang terlarut dalam 200 ml larutan ekstrak rumput kebar (Nilai konversi hasil pengering bekuan di Laboratorium Teknologi Pangan dan Gizi FATETA-IPB).

Pemberian ekstrak rumput kebar pada mencit didapatkan dosis 0.135 mg/gram bobot badan/hari (Sadsoestoeboen 2005). Selanjutnya dalam penelitian ini digunakan tabel konversi dosis Laurence dan Bacharach (1986) (Lampiran 2). Dari hasil perhitungan didapatkan dosis untuk tikus adalah 0.0945 mg/gram bobot badan/hari.

Persiapan Hewan Model

Tikus ditempatkan dalam kandang plastik dengan tutup terbuat dari kawat ram dan dialas sekam (Gambar 8). Pakan berupa pellet dan air minum diberikan secara ad libitum. Lingkungan kandang dibuat agar tidak lembab, ventilasi yang cukup serta penyinaran yang cukup dimana lamanya terang 14 jam dan lamanya gelap 10 jam. Masing-masing tikus ditempatkan dalam kandang per kelompok perlakuan. Hewan percobaan terlebih dahulu dipelihara selama satu minggu ditempat tersebut sebelum diperlakukan. Hal ini bertujuan untuk penyesuaian dengan lingkungan.

Pembuatan hewan model infertil

Dalam rangka menganalisa suatu zat yang diduga dapat meningkatkan fertilitas jantan diperlukan suatu hewan model dengan kondisi fertilitas yang rendah. Untuk mengatasi hal tersebut diatas, perlu dilakukan penelitian pendahuluan untuk mendapatkan hewan coba tersebut.


(38)

A. Kandang Plastik B. Kandang kelompok perlakuan Gambar 8 Tempat hewan peliharaan

Gambar 9 Pemberian borax dengan cara mencekok

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan larutan borax. Tikus normal sebanyak 15 ekor diberi larutan borax dengan cara mencekok (Gambar 9) selama 30 hari berturut-turut, dengan dosis 600 mg/kg berat badan dalam 1 ml CMC 1% (Kaspul 2004). Setelah pemberian borax dihentikan, sebanyak 15 ekor tikus dikorbankan untuk dianalisa konsentrasi spermatozoanya sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan (Gambar 10).

Hari 0 30/HO H3 H6 H9 H16 H23 H30

Analisa konsentrasi spermatozoa Gambar 10 Protokol pembuatan hewan model infertil

Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa jumlah spermatozoa tikus mengalami penurunan setelah diberi perlakuan borax selama 30 hari (Gambar 11).

Pemberian borax 600 ml/kg bb/hari selama 30 hari


(39)

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 J u m la h S p e rm a to z o a /m m 3 s u s p e n s i

H3 H6 H9 H16 H23 H30 Normal

Perlakuan

Gambar 11 Rataan jumlah spermatozoa tikus setelah 30 hari perlakuan borax Jumlah spermatozoa tikus yang diberi borax bersifat tidak permanen. Hal ini terlihat dari rataan jumlah spermatozoa tikus yang dapat kembali ke jumlah normal. Jumlah spermatozoa normal rata-rata sebesar 10830/mm3 suspensi. Pada

hari ke-3 setelah pemberhentian pemberian borax jumlah spermatozoa menurun sebanyak 62,49% dibanding yang normal. Peningkatan jumlah spermatozoa mulai terjadi pada hari ke-23 menjadi 62,04% bila dibandingkan dengan jumlah spermatozoa tikus normal. Peningkatan mulai mendekati normal pada hari ke-28 yaitu menjadi 83,37%. Dari hasil penelitian pendahuluan ini dapat disimpulkan bahwa untuk membuat hewan model tikus infertil perlu dilakukan pencekokan dengan larutan borax dosis 600 ml/kg bb/hari selama 30 hari berturut-turut. Pengamatan harus dilakukan sebelum tikus menjadi normal kembali yaitu sebelum 28 hari akhir pemberian borax. Selanjutnya ditetapkan lamanya perlakuan, yaitu 7 hari, 14 hari, 21 hari dan 28 hari.

Perlakuan

Sebanyak 48 ekor dibagi kedalam dua kelompok perlakuan yaitu kelompok tikus infertil dan kelompok tikus normal. Masing-masing kelompok dibagi lagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok pemberian ekstrak rumput kebar, dengan dosis 0,0945 mg/gram bobot badan/hari. Setelah tikus mendapat perlakuan rumput kebar sesuai kelompoknya, dilakukan


(40)

pemeriksaan mikroskopis terhadap parameter reproduksi meliputi bobot testis, konsentrasi spermatozoa (jumlah), persentase viabilitas spermatozoa serta morfologi spermatozoa. Adapun diagram penelitian tersaji pada gambar 12.

Gambar 12 Protokol perlakuan dan parameter yang diuji.

Pengamatan parameter uji 1. Bobot Badan

Pengukuran bobot badan dilakukan dengan cara menimbang tikus. Penimbangan dilakukan tiap ekor perkelompok perlakuan setiap minggu.

2. Kinerja Reproduksi Hewan Jantan a. Bobot Testis

Tikus-tikus jantan dimatikan secara pembiusan dengan mengunakan eter. Pengukuran berat testis relatif dilakukan dengan cara menimbang kedua testis

Tikus infertil (Pemberian borax) n=24

Tikus normal (Tanpa pemberian borax) n=24 Tikus Jantan n=48

Tanpa pemberian rumput kebar n=12 Tanpa pemberian rumput kebar n=12 Pemberian rumput kebar n=12 Pemberian rumput kebar n=12

7 h 14 h 21h 28 h n=3 n=3 n=3 n=3

7 h 14 h 21h 28 h n=3 n=3 n=3 n=3

7 h 14 h 21h 28 h n=3 n=3 n=3 n=3 7 h 14 h 21h 28 h

n=3 n=3 n=3 n=3

Paramerer yang diukur : Bobot badan. bobot testis, konsentrasi spermatozoa, morfologi spermatozoa dan viabilitas spermatozoa


(41)

yang terlebih dahulu dibersihkan dari caput dan cauda epididymis dimana hasilnya dihitung sebagai berikut:

berat testis(g)

Berat testis relatif = --- X 100%. berat badan(g)

b. Kualitas Spermatozoa

Spermatozoa diperoleh dari cauda epididymis kanan yang diambil dari hewan yang telah dimatikan. Cauda epididymis dimasukkan ke dalam gelas arloji yang berisi 1 ml garam fisiologis hangat (37°C), kemudian dipotong–potong dengan gunting kecil hingga halus dan diaduk dengan gelas pengaduk. Larutan ini disebut suspensi spermatozoa (Modifikasi dari First 1991).

Suspensi spermatozoa ini digunakan untuk pengamatan kualitas spermatozoa Pengamatan kualitas spermatozoa dilakukan menurut Soehadi dan Arsyat (1983). Adapun kualitas spermatozoa yang dianalisa adalah konsentrasi spermatozoa, morfologi spermatozoa dan viabilitas spermatozoa.

b. 1. Konsentrasi Spermatozoa

Suspensi spermatozoa dihisap dengan pipet leukosit sampai tanda 1,0. Pipet yang telah berisi suspensi spermatozoa kemudian diencerkan dengan larutan garam fisiologis sampai tanda 11. Kemudian pipet dikocok rata. Sebelum menghitung spermatozoa, terlebih dahulu beberapa tetes campuran spermatozoa dibuang agar yang terhitung nanti adalah bagian yang benar–benar mengandung spermatozoa homogen. Campuran spermatozoa dimasukkan ke dalam kotak– kotak kamar hitung Neubauer, jumlah spermatozoa pada 5 x 16 kotak (Gambar 13) dihitung di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Hasil perhitungan merupakan jumlah spermatozoa dalam mm3 suspensi.


(42)

Gambar 13 Kamar hitung Neubauer

b.2. Morfologi Spermatozoa

Pengamatan morfologi, dilakukan dengan cara mengambil satu tetes suspensi sperma, kemudian dibuat sediaan hapus, fiksasi dengan methanol selama 15 menit dan diwarnai dengan giemsa 10% selama 30 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir setelah itu dikeringkan. Setelah kering preparat diamati dibawah mikroskop perbesaran 400 kali. Diamati sebanyak 200 spermatozoa. Pemeriksaan morfologi menentukan apakah sperma tersebut mengalami kelainan bentuk baik abnormalitas primer maupun sekunder. Abnormalitas primer terdiri atas macrocephalic, microcephalic, kepala ganda atau ekor ganda, serta bentuk kepala yang tidak normal. Abnormalias sekunder terdiri atas bentuk kepala pecah, ekor putus (pada bagian leher atau tengah-tengah), ekor melipat, terpilin atau tertekuk. Hasil pengamatan spermatozoa yang abnormal dinyatakan dalam persen (%).

b.3. Viabilitas Spermatozoa

Viabilitas spermatozoa diperiksa dengan cara pewarnaan supravital, dengan eosin –v 0,5% (serbuk jingga). Pada gelas objek, satu tetes suspensi sperma ditambah satu tetes eosin, kemudian dibuat sediaan hapus. Pengamatan sediaan dilakukan dibawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali dan dihitung dengan mengunakan counter. Penghitungan dilakukan pada 200 spermatozoa,

Sel yang Dihitung

Sel Tidak Dihitung Kotak hitung


(43)

spermatozoa hidup tidak berwarna, sedang spermatozoa yang mati berwarna merah. Hasilnya dinyatakan dalam persen (%) hidup.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat kelompok perlakuan yaitu 7, 14, 21 dan 28 hari dengan tiga kali ulangan. Penelitian dibagi kedalam dua tahap penelitian :

Tahap I : untuk mengetahui kinerja ekstrak rumput kebar terhadap hewan yang

diturunkan kinerja reproduksinya dengan menggunakan borax. Tikus-tikus yang telah dewasa kelamin (umur 10 minggu), dikelompokan menjadi dua kelompok sebagai berikut:

1. Kelompok kontrol = kelompok tikus yang diinduksi borax selama 30 hari dan dilanjutkan dengan pemberian plasebo selama selama 7, 14, 21 dan 28 hari.

2. Kelompok perlakuan = kelompok tikus yang diinduksi borax selama 30 hari dan dilanjutkan dengan pemberian rumput kebar selama 7, 14, 21 dan 28 hari.

Tahap II: untuk mengetahui kinerja ekstrak rumput kebar terhadap hewan normal. Tikus-tikus yang telah dewasa kelamin, dikelompokan menjadi dua kelompok sebagai berikut:

1. Kelompok kontrol = kelompok tikus normal yang diberi plasebo selama 7, 14, 21 dan 28 hari.

2. Kelompok perlakuan = kelompok tikus yang diberi rumput kebar dosis 0.0945 mg/gram bobot badan selama 7, 14, 21 dan 28 hari.

Analisis Data

Analisa data menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) selang kepercayaan 95% (α = 0.05) dengan menggunakan program SPSS (Mattjik dan Sumertajaya 2006).


(44)

HASIL

Analisis Fitokimia Rumput Kebar

Hasil uji fitokimia rumput kebar di Laboratorium Balitro disajikan pada tabel 3. Hasil analisa fitokimia kimia rumput kebar menunjukan bahwa rumput kebar tidak mengandung steroid. Tumbuhan ini mengandung zat-zat seperti saponin dengan jumlah banyak (++/+++) dan flavonoid dengan jumlah sangat banyak (++++). Selain flavonoid, fitokimia rumput kebar juga sangat banyak mengandung senyawa-senyawa alkaloid, tanin, triterfenoid dan glikosida.

Tabel 3 Hasil uji fitokimia rumput kebar di Laboratorium Balitro (Lampiran 3 )

Kandungan bahan Kualitas keberadaan bahan

Alkaloid ++++

Saponin ++ sampai dengan +++

Tanin ++++

Fenolik ++

Flavonoid ++++

Triterfenoid ++++

Steroid

Glikosida ++++

Keterangan: - : Negatif + : Positif lemah ++ ; Positif +++ : Positif kuat ++++ :Positif kuat sekali

Pengaruh Ekstrak Rumput Kebar terhadap Tikus Jantan yang Diturunkan Kinerja Reproduksinya

Bobot Badan Tikus

Rataan bobot badan mingguan tikus disajikan pada gambar 14. Berdasarkan tabel sidik ragam, bobot tikus pada hari ke-7 dan ke-14 tidak berbeda nyata (P>0.05). Hal ini menunjukkan perlakuan ekstrak rumput kebar pada hari ke-7 dan ke-14 belum berpengaruh terhadap bobot badan.


(45)

0 50 100 150 200 250 300 350

1 2 3 4

M inggu B e ra t (g ra m )

Kontrol Rumput kebar

Gambar 14 Rataan bobot badan tikus setelah pemberian ekstrak rumput kebar pada hewan yang diturunkan kemampuan reproduksinya

Sedangkan pada hari ke 21 dan hari ke 28, bobot badan pada tikus yang diberi perlakuan rumput kebar tanpak berbeda nyata (P<0.05) bila dibanding dengan kelompok kontrol. Dari hasil analisa tersebut terlihat bahwa pemberian ekstrak rumput kebar mulai berpengaruh pada hari ke-21 dan ke-28 terhadap bobot badan tikus.

Persentase Pertambahan Bobot Badan Tikus

Persentase pertambahan bobot badan tikus setelah diberi perlakuan ekstrak rumput kebar terjadi peningkatan. Walaupun dari uji sidik ragam hanya minggu ketiga dan keempat yang berbeda nyata (P<0.05) (Tabel 4). Pertambahan bobot badan tikus dapat dihitung dengan cara: bobot badan akhir dikurangi bobot badan awal dan dikali 100%.

Tabel 4 Rataan pertambahan bobot badan tikus (%) mingguan yang diturunkan kemampuan reproduksinya

Kelompok (hari/minggu)

Kelompok

Kontrol (%) Rumput kebar (%)

7 hari (1 minggu ) 3,10±0,23 5,67±2,65

14 hari (2 minggu ) 32,69±11,43 54,59±9,34

21 hari (3 minggu ) 44,37±8,33 a 62,85±5,15 b

28 hari (4 minggu ) 47,52±3,40 a 69,69±2,32 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)


(46)

Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan minggu pertama dan kedua belum berpengaruh nyata terhadap pertambahan persentase bobot badan tikus. Sedangkan pada minggu ketiga dan keempat mulai berpengaruh terhadap persentase pertambahan bobot badan tikus. Rataan persentase pertambahan bobot badan tikus perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Pertambahan ini akan terus berlangsung sampai tikus memiliki bobot badan yang maksimal, namun persentase pertambahan bobot badan pada tikus perlakuan memiliki waktu lebih cepat dibanding tikus kontrol.

Rasio Bobot Testis terhadap Berat Badan

Rataan rasio bobot testis terhadap bobot badan disajikan pada tabel 5. Dari hasil analisa sidik ragam terlihat bahwa pemberian ekstrak rumput kebar dapat meningkatkan rasio bobot testis terhadap bobot badan pada semua usia percobaan (P<0.05). Perlakuan rumput kebar berpengaruh pada keempat minggu perlakuan. Bobot testis yang meningkat terlihat dari perkembangan testis setelah diberi perlakukan rumput kebar (Gambar 15, 16).

Tabel 5 Rataan rasio bobot testis terhadap bobot badan tikus (%) yang diturunkan kemampuan reproduksinya

Kelompok (hari/minggu)

Perlakuan

Kontrol Rumput kebar

7 hari (1 minggu ) 0,58±0,21 a 0,99±0,26 b

14 hari (2 minggu ) 0,72±0,64 a 1,14±0,31 b

21 hari (3 minggu ) 0,88±0,55 a 1,16±0,36 b

28 hari (4 minggu ) 1,12±0,21 a 1,40±0,02 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)

Gambar 15 Perbandingan besar testis tikus pada kelompok kontrol dan kelompok yang diberi ekstrak rumput kebar selama 21 hari


(47)

Gambar 16 Perbandingan besar testis tikus pada kelompok kontrol dan kelompok yang diberi ekstrak rumput kebar selama 28 hari

Konsentrasi spermatozoa

Hasil rataan jumlah spermatozoa disajikan pada tabel 6. Jumlah spermatozoa tikus kontrol menunjukkan rataan yang rendah dibandingkan dengan yang diberi rumput kebar.

Tabel 6 Rataan jumlah spermatozoa/mm3 suspensi pada tikus yang diturunkan

kemampuan reproduksinya Kelompok

(hari/minggu)

Perlakuan

Kontrol Rumput kebar 7 hari (1 minggu ) 4.210±0,80 a 11.730±2,36 b

14 hari (2 minggu ) 4.750±1,9 a 11.875±5,56 b

21 hari (3 minggu ) 5.085±0,59 a 11.935±3,90 b

28 hari (4 minggu ) 9.395±4,80 12.580±2,25

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)

Uji sidik ragam menunjukan terdapat perbedaan nyata (P<0.05) pada hari ke 7, 14 dan 21 antara kelompok kontrol dengan yang diberi ekstrak rumput kebar. Sedangkan pada hari ke-28 tidak berbada nyata (P>0.05). Hal ini berarti bahwa perlakuan berpengaruh pada hari ke-7, 14, dan 21 terhadap jumlah spermatozoa tikus. Pemberian ekstrak rumput kebar dapat meningkatkan jumlah spermatozoa. Pada hari ke 28 jumlah spermatozoa tidak berbeda nyata antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Hal ini diduga pemberian borax sudah tidak berpengaruh lagi pada jumlah spermatozoa sehingga pemberian ekstrak rumput kebar tidak memberikan pengaruh nyata.


(48)

Morfologi Abnormal Spermatozoa

Pada kelompok tikus kontrol dibandingkan dengan kelompok tikus perlakuan memiliki rataan persentase morfologi abnormal yang lebih tinggi. (Gambar 17). 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 M o rf o lo g i a b n o rm a l (% )

1 2 3 4

M inggu

Kontrol Rumput kebar

Gambar 17 Perbandingan persentase morfologi spermatozoa abnormal pada tikus yang diturunkan kinerja reproduksinya

Berdasarkan sidik ragam kelompok hari ke-7, 14 dan 21 tidak berbeda nyata (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak rumput kebar pada kelompok hari tersebut tidak berpengaruh. Sedangkan pada kelompok hari ke-28 mulai berpengaruh dan berbeda nyata (P<0.05). Hal ini berarti bahwa perlakuan ekstrak rumput kebar mulai dapat mengembalikan morfologi spermatozoa normal pada minggu ke empat (Lampiran 4). Pada minggu pertama setelah pemberian borax, antara kontrol dan perlakuan memiliki persentase morfologi abnormal yang hampir sama yaitu 84,5% dan 83,3%. Pada minggu kedua dan ketiga penurunan morfologi abnormal mulai terjadi pada kelompok perlakuan yaitu 69% dan 68,5%. Pada minggu ketiga kelompok perlakuan memiliki abnormalitas menjadi 36,66%. Sedangkan pada kelompok kontrol morfologi abnormal masih tinggi dibanding kelompok perlakuan. Nilai persentase morfologi abnormal tersebut diatas masih lebih tinggi dibandingkan dengan morfologi abnormal untuk tikus normal rata-rata 24% sampai dengan 25%. Apabila pengamatan dan pemberian ekstrak rumput kebar dilanjutkan maka morfologi abnormal akan menurun dan kembali ke kondisi normal.

a a a a a a


(49)

Viabilitas spermatozoa

Rataan persentase spermatozoa hidup tikus disajikan pada tabel 7. Persentase viabilitas pada kelompok kontrol dan perlakuan pada hari ke-7, 14, 21 dan 28, menunjukkan bahwa tikus perlakuan memiliki persentase rataan spermatozoa hidup yang lebih tinggi dibandingkan kontrol.

Tabel 7 Rataan persentase spermatozoa hidup pada tikus yang diturunkan kinerja reproduksinya

Kelompok (hari/minggu)

Perlakuan

Kontrol (%) Rumput kebar (%)

7 hari (1 minggu ) 7,83±0,76 8,33±2,08

14 hari (2 minggu ) 20,83±14,88 23,33±12,50

21 hari (3 minggu ) 24,16±12,96 a 84,83±3,40 b

28 hari (4 minggu ) 51,83±2,00 a 85,16±2,36 b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)

Berdasarkan tabel sidik ragam pada hari ke-7 dan ke-14 pada kontrol dan perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak rumput kebar pada kelompok hari tersebut belum berpengaruh nyata. Kemampuan hidup spermatozoa yang rendah masih didapat pada kelompok hari ke-7 dan ke-14. Tabel sidik ragam kelompok hari ke-21 dan hari ke-28 berbeda nyata (P<0.05), sehingga dikatakan pemberian perlakuan dapat mempengaruhi viabilitas spermatozoa. Hal ini menunjukan bahwa pada minggu ke-3 dan ke-4 terjadi peningkatan kembali spermatozoa hidup.

Dari pengamatan viabilitas terlihat sebagian kecil spermatozoa dengan morfologi abnormal namun memiliki kemampuan hidup yang tinggi. Kelompok kontrol dan perlakuan minggu pertama dan kedua memiliki rataan viabilitas yang hampir sama yaitu 7,83% , 20,83% dan 8,33%, 23,33%. Namun kelompok perlakuan memiliki rataan sedikit lebih tinggi. Kenaikan yang cukup tinggi terjadi pada minggu ketiga pada kelompok perlakuan yaitu 84,83%, tetapi pada kontol masih tetap rendah yaitu 24,16%. Minggu ketiga dan keempat pada perlakuan viabilitas kembali normal, bahkan memiliki nilai yang lebih tinggi dari viabilitas tikus normal. Dari hasil penelitian tikus normal memiliki viabilitas 78,09% sampai dengan 80%. Pada minggu keempat tikus kontrol masih memiliki nilai viabilitas yang rendah yaitu 51,83%.


(50)

Pengaruh Ekstrak Rumput Kebar terhadap Tikus Jantan Normal

Bobot Badan Tikus

Rataan bobot badan mingguan tikus disajikan pada gambar18. Pemberian perlakuan terhadap bobot badan tikus menunjukkan peningkatan rataan bobot badan tikus. Berdasarkan analisa sidik ragam menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05) antara kontrol dan perlakuan. Bila dibandingkan rataan bobot badan tikus jantan antara dua perlakuan selama empat minggu terlihat bahwa perlakuan tikus yang diberi rumput kebar sedikit lebih tinggi dari tikus kontrol. Dengan demikian tikus normal hanya mengalami sedikit peningkatan berat badan tetapi secara statistik tidak signifikan walaupun diberi rumput kebar.

0 50 100 150 200 250

1 2 3 4

M inggu

B

e

ra

t

(g

ra

m

)

Kontrol Rumput kebar

Gambar 18 Rataan bobot badan tikus setelah pemberian ekstrak rumput kebar pada hewan normal

Persentase Pertambahan Bobot Badan

Rataan pertambahan bobot badan tikus disajikan pada tabel 8. Perlakuan ekstrak rumput kebar pada tikus menunjukan hasil persentase pertambahan bobot badan yang sama seperti rataan pertambahan bobot badan, dimana antara kelompok kontrol dan perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05).

Dengan demikian pemberian ekstrak rumput kebar tidak berpengaruh nyata terhadap persentase pertambahan bobot badan pada tikus normal. Rataan persentase pertambahan bobot badan tikus perlakuan lebih tinggi dibandingkan


(51)

dengan kontrol. Pertambahan ini akan terus berlangsung sampai tikus memiliki bobot badan yang maksimal, namun persentase pertambahan bobot badan pada tikus perlakuan sedikit lebih tinggi dibanding tikus kontrol.

Tabel 8 Rataan pertambahan bobot badan tikus (%) mingguan pada tikus normal Kelompok

(hari/minggu)

Kelompok

Kontrol (%) Rumput kebar (%)

7 hari (1 minggu ) 7,88±0,53 13,16±6,97

14 hari (2 minggu ) 10,39±3,45 19,63±5,51

21 hari (3 minggu ) 11,74±3,54 21,22±12,57 28 hari (4 minggu ) 34,13±17,23 39,75±10,26

Rasio Bobot Testis terhadap Berat Badan

Dari tabel 9 dapat dilihat bahwa bobot testis perberat badan antara kontrol dan perlakuan memiliki nilai yang hampir sama, namun pada kelompok perlakuan tetap memiliki nilai yang sedikit lebih besar.

Tabel 9 Rataan rasio bobot testis terhadap berat badan (%) pada tikus normal Kelompok

(hari/ minggu)

Perlakuan

Kontrol (%) Rumput kebar (%)

7 hari( 1minggu ) 1,07±0,04 1,27±0,18

14 hari (2 minggu ) 1,27±0,04 1,41±1,66

21 hari (3 minggu ) 1,41±0,46 1,42±0,19

28 hari (4 minggu ) 1,52±0,11 1,59±0,17

Rasio rataan berat testis terhadap berat badan untuk kelompok kontrol dan perlakuan menunjukkan kecenderungan peningkatan bobot testis walaupun analisa uji sidik ragam menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian rumput kebar tidak berpengaruh nyata terhadap berat testis untuk tikus normal. Hal ini terkait dengan bobot testis yang telah mencapai keadaan maksimal.

Konsentrasi Spermatozoa

Hasil rataan jumlah spermatozoa disajikan pada tabel 10. Pada pengamatan jumlah jumlah spermatozoa/mm3 tikus menunjukkan tikus dengan


(52)

dibandingkan dengan kelompok tikus kontrol. Walaupun uji sidik ragam menunjukan tidak terdapat perbedaan nyata (P>0.05) antara perlakuan tikus normal dan perlakuan tikus yang diberi ekstrak rumput kebar terhadap konsentrasi spermatozoa. Perlakuan rumput kebar tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatkan jumlah spermatozoa pada tikus normal.

Tabel 10 Rataan jumlah spermatozoa/mm3 suspensi pada tikus normal

Kelompok (hari/ minggu)

Perlakuan

Kontrol Rumput kebar

7 hari (1 minggu ) 10.415±2,23 10.455±1,47

14 hari (2 minggu ) 10.480±4,31 10.500±2,41 21 hari (3 minggu ) 10.750±3,45 11.000±0,82 28 hari ( 4 minggu ) 11.145±3,76 11.305±1,43

Pemberian ekstrak rumput kebar pada tikus normal tidak menunjukkan kenaikan konsentrasi spermatozoa yang berarti. Hal ini disebabkan konsentrasi spermatozoa telah normal dan maximal sehingga penambahan dosis atau lamanya perlakuan bisa saja menyebabkan feed back negatif .

Morfologi abnormal spermatozoa

Berikut adalah diagram yang mengambarkan persentase morfologi spermatozoa tikus normal dan tikus yang diberi ekstrak rumput kebar (Gambar19). 0 5 10 15 20 25 M o rf o lo g i a b n o rm a l (% )

1 2 3 4

M inggu

Kontrol Rumput kebar

Gambar 19 Perbandingan persentase morfologi spermatozoa abnormal pada tikus normal


(53)

Persentase bentuk spermatozoa abnormal pada tikus yang diberi rumput kebar memiliki rataan nilai yang rendah dibandingkan kelompok kontrol. Analisa sidik ragam menunjukan bahwa seluruh kelompok perlakuan berpengaruh dan berbeda nyata (P<0.05) terhadap morfologi spermatozoa tikus (Lampiran 4).

Spermatozoa pada kelompok tikus perlakuan tanpa pemberian ekstrak rumput kebar (kontrol) memiliki nilai abnormal yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tikus yang diberi ekstrak rumput kebar. Penurunan persentase morfologi abnormal sudah dimulai pada minggu pertama sampai keempat perlakuan. Penurunan morfologi abnormal pada tikus perlakuan, lebih kurang lima puluh persen. Penurunan ini meningkatkan morfologi normal sehingga kualitas spermatozoa menjadi lebih baik.

Viabilitas Spermatozoa

Pengaruh perlakuan ekstrak rumput kebar terhadap kemampuan hidup tikus, menunjukkan bahwa tikus yang diberi perlakuan rumput kebar memiliki rataan persentase viabilitas yang lebih besar jika dibandingkan tikus normal (Tabel 11).

Tabel 11 Rataan persentase spermatozoa hidup (%) pada tikus normal Kelompok

(hari/minggu)

Perlakuan

Kontrol (%) Rumput kebar(%)

7 hari (1 minggu ) 78,00±4,09 82,00±6,76

14 hari (2 minggu ) 79,00±4,82 82,33±13,53

21 hari (3 minggu ) 80,00±7,00 84,50±7,46

28 hari (4 minggu ) 80,00±8,18 87,00±6,00

Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan kelompok tikus normal dan perlakuan dari hari ke-7 sampai kelompok hari ke-28 tidak berbeda nyata (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak rumput kebar tidak berpengaruh terhadap kemampuan hidup spermatozoa pada tikus normal. Dari pengamatan daya hidup spermatozoa, kelompok kontrol dan perlakuan minggu pertama sampai minggu keempat memiliki rataan viabilitas yang hampir sama. Namun rataan persentase perlakuan masih sedikit lebih tinggi. Kemampuan hidup ini diduga dapat terus meningkat bila menggunakan waktu yang lebih dari empat minggu.


(54)

PEMBAHASAN

Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik

Bobot Badan Tikus

Ekstrak rumput kebar yang diberikan pada tikus dapat meningkatkan bobot badan. Pertambahan bobot badan tikus normal yang diberi perlakuan ekstrak rumput kebar memiliki rataan bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kontrol. Meskipun perlakuan pemberian ekstrak rumput kebar tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot tubuh tikus normal. Pada percobaan berikutnya pertambahan bobot badan tikus yang diinduksi borax dan diberi ekstrak rumput kebar menunjukan rataan yang lebih tinggi dibanding dengan perlakuan tanpa pemberian ekstrak rumput kebar. Perlakuan mulai berpengaruh pada kelompok hari ke-21 dan hari ke-28 terhadap bobot badan tikus. Hal yang sama juga terjadi untuk rataan bobot badan tikus. Pemberian ekstrak rumput kebar melalui cekokan berarti memberikan tambahan nilai vitamin A dan vitamin E pada tikus setiap hari. Menurut Besenfeider et al.(1996) suplementasi beta-karoten (profitamin A) pada pakan akan meningkatkan bobot badan tikus. Rumput kebar memiliki 17 jenis asam amino yang merupakan kebutuhan dasar, dibutuhkan untuk pertumbuhan. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1998) kebutuhan dasar tikus bervariasi. Kebutuhan dasar untuk tikus adalah protein 20-25% (tetapi hanya 12% kalau protein itu lengkap berisi 20 asam amino esensial), lemak 5%, pati 45-50%, serat kasar 5%, dan abu 4-5%.

Pemberian ekstrak rumput kebar menyebabkan tersedianya bahan baku metabolisme yang lebih. Tersedianya bahan baku ini dapat meningkatkan laju metabolisme dengan ketersediaan ATP dan bahan metabolit biosintesis. Pertambahan bobot badan atau pertumbuhan disebabkan adanya hiperplasia

(pembelahan sel), hipertropi (pertambahan volume sel), dan pertambahan matrik ekstraseluler. Faktor-faktor ini memberi kontribusi terhadap peningkatan massa atau peningkatan bobot badan. Pidada (2004) menyatakan bahwa suplemen pakan yang baik menginduksi peningkatan berat badan anak pada mencit.


(55)

Rasio Bobot Testis terhadap Berat Badan

Ukuran testis merupakan indikator yang digunakan untuk memperkirakan kapasitas produksi spermatozoa hewan jantan. Testis berukuran normal memiliki hubungan positif dengan potensi subtansi fungsional (tubuli seminiferus) yang terkandung didalam testis (Axner & Forsberg 2002). Perlakuan borax pada tikus jantan dapat menyebabkan lesio pada testis ditandai dengan penghambatan spermiosis yang diikuti oleh atropi pada dosis tinggi (Chapin & Ku 1994). Atropi testis adalah pengecilan testis dari ukuran normal, diduga sebagai akibat dari gangguan hormonal yang disebabkan oleh toksikan yang masuk melalui kelenjar-kelenjar endokrin di testis. Hal ini dapat menyebabkan rusaknya tubuli seminiferus yang merupakan pabrik pembuatan spermatozoa. Kelompok tikus normal yang diberi ekstrak rumput kebar menunjukan peningkatan rataan berat testis. Perlakuan pemberian rumput kebar tidak berpengaruh nyata terhadap berat testis untuk tikus normal. Rataan berat testis tikus yang diinduksi borax pada perlakuan ekstrak rumput kebar, memiliki rataan yang lebih tinggi. Perlakuan rumput kebar pada tikus yang diborak dapat berpengaruh dan dapat mengembalikan bobot testis ke ukuran semula.

Hasil penelitian Soestoeboen (2005) menyatakan bahwa ekstrak rumput kebar memiliki protein dengan Berat Molekul (BM) yang sama dengan BM hormon Pregnant Mare Serum Gonatropin (PMSG). PMSG adalah hormon yang mempunyai bioaktifitas mirip FSH dan LH. Canipari (1994) dan Mattioli (1994) menyatakan bahwa PMSG secara in vitro dapat mengoptimalisasikan stimulasi sel-sel komulus untuk mengsekresikan progesteron, estradiol dan prostaglandin dengan kadar yang relatif cukup tinggi dan dapat berperan dalam proses suplai nutrisi yang dibutuhkan. Menurut Manalu dan Sumaryadi (1995) estradiol, progesterone, dan faktor pertumbuhan lain merupakan perangsang pertumbuhan jaringan.


(56)

Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Reproduksi

Konsentrasi Spermatozoa.

Konsentrasi spermatozoa pada tikus normal yang diberi ekstrak rumput kebar tidak berpengaruh nyata. Kelompok tikus yang diinduksi borax dan diberi ekstrak rumput kebar memiliki rataan konsentrasi yang tinggi dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan berpengaruh pada hari ke-7, 14, dan 21 terhadap konsentrasi spermatozoa tikus. Terjadi peningkatan jumlah spermatozoa pada minggu ke-1 sampai minggu ke-3. Pada minggu ke-4 konsentrasi mendekati normal.

Penurunan kualitas spermatozoa tikus jantan yang diperlakukan dengan borax terjadi karena borax berikatan dengan sisi ribitil dari riboflavin membentuk kompleks riboflavin-borax yang merupakan metabolit tidak aktif. Adanya ikatan ini menyebabkan defisiensi riboflavin, sehingga energi yang diperlukan sel menjadi berkurang. Riboflavin diperlukan sel untuk menghasilkan energi termasuk sel spermatozoa. Energi diperlukan untuk mempertahankan kualitas kehidupan spermatozoa selama di epididimis. Kekurangan energi ini karena riboflavin merupakan komponen koenzim flavin adenin dinukleotida (FAD) yang merupakan pembawa elektron pada sistem trasfer elektron untuk menyediakan energi tinggi. Jika FAD diikat oleh borax, riboflavin tidak dapat bekerja sehingga mekanisme trasfer elektron terganggu, karena tidak ada molekul pembawa elektron yang memungkinkan terjadinya reaksi biokimia untuk menghasilkan energi tinggi (Rennie et al. 1990). Borax bersifat sitotoksis yang bekerja sebagai penghambat pembentuk ATP. Dengan dihambatnya pembentukan energi yang secara umum diperlukan sel untuk aktivitas hidup, maka kekurangan energi akan menyebabkan penurunan fungsi faal reseptor sel. Menurut Cook (1990) dan De Kretser (1997) fungsi pemeliharaan spermatozoa juga melibatkan kontrol hormonal yang melibatkan reseptor. Jika fungsi faal reseptor terganggu mengakibatkan fungsi pemeliharaan spermatozoa terganggu.

Pemberian ekstrak rumput kebar dapat meningkatkan kadar 17 ß-estradiol dalam darah mencit (Pasaribu & Indyastuti 2004). Wajo (2005) menyatakan bahwa pemberian ekstrak rumput kebar dapat meningkatkan perkembangan folikel ayam buras, karena mengandung saponin yang merupakan bahan dasar


(57)

untuk sintesis hormon-hormon steroid. Steroid di dalam tubuh sangat berperan dalam sintesis protein di dalam sel target. Organ-organ reproduksi merupakan salah satu sasaran dari hormon steroid (Mountcastle 1999). Steroid dalam darah akan menyebabkan sel-sel granulose menjadi sensitif tergadap gonatropin dan menstimulasi proliferasi dan diferensiasi sel-sel granulose.

Morfologi Abnormal Spermatozoa

Borax dapat mempengaruhi abnormalitas spermatozoa. Sedangkan pemberian ekstrak rumput kebar setelah pemberian borax dapat mengembalikan jumlah spermatozoa normal (Gambar 20). Hasil pengamatan secara mikrokopis sel-sel kelamin jantan pada tikus yang diberi perlakuan borax tanpa rumput kebar terlihat adanya dominasi sel-sel spermatozoa tikus yang tidak normal yaitu tidak adanya ekor atau kepala dan juga bentuk kepala yang tidak normal. Menurut Hafez et al. (2000), hal tersebut menunjukan sel-sel tersebut mengalami degenerasi. Hal ini berkaitan dengan sifat borax yang menyebabkan terjadinya degenerasi pada spermatozoa. Menurunnya morfologi spermatozoa normal akibat perlakuan dengan borax tampaknya mulai terjadi pada saat spermatogenesis (Kaspul 2004), dengan berkurangnya energi pada saat pemeliharaan, sel spermatozoa mengalami degenerasi dan resorbsi. Penurunan morfologi normal ini semakin besar pada saat pemeliharaan di epididimis, karena kekurangan energi.

Pada kelompok tikus yang diborax dan dilanjutkan dengan pemberian ekstrak rumput kebar tampak bahwa persentase morfologi normal kembali meningkat atau penurunan degenerasi spermatozoa. Menurut Darmansyah (1987), degenerasi merupakan perubahan-perubahan morfologik yang nonfatal dimana perubahan tersebut bersifat reversibel atau dapat pulih kembali. Perubahan patologis terjadi pada sel-sel kelamin jantan pada tikus-tikus yang diberi borax, secara mikrokopis terlihat bentuk-bentuk yang tidak normal (Gambar 21). Menurut Hafez et al. (2000), bentuk-bentuk abnormalitas terdiri atas beberapa kategori yaitu kelainan kepala sperma, kerusakan pada ekor sperma, dan gangguan pada struktur dan ukuran sel. Kelainan kepala sperma antara lain berupa bentuk kepala besar, pendek atau mempunyai dua kepala, droplet pada leher atau


(1)

morfologi spermatozoa hingga limapuluh persen. Rumput kebar juga dapat meningkatkan bobot badan tikus jantan.

Kata kunci: fertilitas, borax, spermatozoa, Biophytum petersianum Klotzsch


(2)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor


(3)

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK RUMPUT KEBAR

(Biophytum petersianum Klotzsch) TERHADAP FERTILITAS

TIKUS JANTAN (Rattus novergicus L)

AZLINA

Tesis

Sebagai salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(4)

Judul : Pengaruh Pemberian Ekstrak Rumput Kebar

(Biophytum petersianum Klotzsch) Terhadap Fertilitas Tikus Jantan (Rattus novergicus)

Nama : Azlina

NRP : G 352070211

Prog Studi : Biologi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Dr. Nastiti Kusumorini. Ketua Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Biosains Hewan

Dr. Bambang Suryobroto Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rengat Indragiri Hulu Riau pada tanggal 24 September 1971 dari pasangan Kapt. Pol (Pur) Alfian A. dan Yusna. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.

Tahun 1990 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Pekanbaru Riau dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan jurusan Biologi Universitas Riau melalui jalur Sipenmaru. Penulis menyelesaikan S1 pada tahun 1995.

Pada tahun 1996 penulis diterima sebagai pengajar di Yayasan Cendana PT.Caltex Rumbai Pekanbaru. Tahun 1998 penulis diterima sebagai PNS dijajaran Departemen Agama dan ditugaskan di Madrasah Aliah Negeri 2 Model Pekanbaru hingga sekarang. Pada tahun 2007 penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan studi pada Program Magister Sains (S2) dan diterima di Program Studi Biologi jurusan Biosains Hewan Fakultas Matetamtika dan Ilmu Pengetahuan Alam pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor memalui Seleksi Bibit Unggul Daerah Depag.


(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini memuat penelitian tentang Pengaruh Pemberian Ekstrak Rumput Kebar (Biophytum petersianum Klotzsch) terhadap Fertilitas Tikus Jantan (Rattus novergicus)

Terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin DEA dan Ibu Dr. Nastiti Kusumorini selaku komisi pembimbing atas arahan dan bimbingan mulai penyusunan rencana penelitian sampai penyelesaian tesis. Terimakasih juga penulis sampaikan pada Staf Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan Departemen Agama RI atas bantuan bea siswa BUD.

Buat Suami tercinta Suhariyono S.Hut, dan anak-anakku tersayang Muhammad Rizky Fadilla, Kinasih Fakhrunnisa dan Muhammad Arkaan Fawwaz atas doa, keikhlasan, kesabaran dan kasih sayangnya yang selalu menjadi motivasi. Kedua orang tua dan mertua atas doa dan bantuannya selama penulis menyelesaikan perkuliahan, hanya tesis ini yang dapat penulis persembahkan. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2009

Azlina