The utilization of sawdust for ethanol production

(1)

PEMANFAATAN SERBUK KAYU

UNTUK PRODUKSI ETANOL

DENNY IRAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

ABSTRAK

DENNY IRAWATI. Pemanfaatan Serbuk Kayu Untuk Produksi Etanol. Dibimbing oleh NORMAN RAZIEF AZW AR, WASRIN SYAFII dan I MADE ARTIKA.

Saat ini di Indonesia tengah terjadi krisis bahan bakar minyak. Salah satu jenis bahan bakar alternatif adalah bioetanol. Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan lignoselulosa. Dilain pihak, pada tahun 2003, produksi log Indonesia adalah mencapai 10.086.217,06 m3, dengan jumlah limbah industri perkayuan diperkirakan sekitar 3,03-4,03 juta m3 untuk tahun 2003. Proses pengolahan serbuk kayu menjadi bioetanol dapat dilakukan dengan menggunakan metode sakarifikasi-fermentasi secara simultan. Kendala yang dihadapi dalam hidrolisis serbuk kayu dengan cara enzimatis yang menyebabkan rendahnya laju hidrolisis, salah satunya adalah adanya kandungan lignin dalam serbuk kayu tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai perlakuan delignifikasi atau penghilangan lignin dari serbuk kayu sebelum perlakuan sakarifikasi-fermentasi simultan untuk meningkatkan kemampuan hidrolisis dari enzim.

Penelitian ini dilakukan dengan menyerangkan jamur pelapuk putih yaitu

Phanerochaete chrysosporium pada 3 jenis serbuk kayu yaitu jati, meranti dan sengon. Sebelum dan sesudah didegradasi ligninnya menggunakan jamur P. chrysosporium, ketiga jenis serbuk kayu tersebut dianalisis terlebih dahulu kandungan kimianya (ekstraktif, selulosa, holoselulosa, abu dan lignin). Selanjutnya dilakukan proses sakarifikasi-fermentasi secara simultan menggunakan enzim kasar dari Trichoderma viride dan Saccharomyces cerevisiae pada shaker inkubator dengan kecepatan 12 rpm pada suhu 30OC selama 72 jam. Hasilnya berupa etanol dianalisis menggunakan metode kromatografi gas. Rancangan analisis yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap, menggunakan dua faktor perlakuan, yaitu : jenis kayu (A) dan waktu inkubasi (B).

Perlakuan pendahuluan dengan jamur Phanerochaete chrysosporium pada berbagai jenis serbuk kayu dan waktu inkubasi meningkatkan kadar etanol yang dihasilkan sebesar 26,68-76,90%. Sifat kimia serbuk kayu yang berpengaruh nyata terhadap kadar etanol adalah kadar holoselulosa, semakin tinggi kadar holoselulosa maka semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan. Kadar etanol yang dihasilkan berkisar antara 0,016-0,448 g/l. Interaksi antara faktor jenis serbuk kayu dengan waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap kadar etanol. Kombinasi perlakuan yang paling baik adalah pada serbuk kayu sengon dengan waktu inkubasi 30 hari.


(3)

ABSTRACT

DENNY IRAWATI. The Utilization of Sawdust for Ethanol Production. Under the direction of NORMAN RAZIEF AZWAR, WASRIN SYAFII and I MADE ARTIKA.

Currently, Indonesia is in the middle of petroleum crisis. One of the alternative fuels which can be used as a petroleum substitute is ethanol. Ethanol can be produced from the timber waste (sawdust). Indonesia, in 2003, had timber waste potency of about 3 – 4 millions m3. Process of sawdust manufacturing become an ethanol can be conducted by simultaneous saccharification-fermentation method. However, ethanol production from sawdust has problem due to its lignin content. Therefore, research on bio-delignification treatment of sawdust prior to ethanol making process is required.

The research was done by acted of growing white rot fungi Phanerochaete chrysosporium on three kinds of sawdust i.e. jati, meranti and sengon. The chemical contents (extractive contents, cellulose contents, holocellulose contents, ash contents and lignin contents) of these three of sawdust were analyzed previously. Then simultaneous saccharification-fermentation (SSF) process was done by using crude enzyme from Trichoderma viride and then followed by fermentation with Saccharomyces cerevisiae on shaker incubator with rate 12 rpm at temperature 30oC for 72 hours. The result as an ethanol was analyzed by using gas chromatography method. Analysis design used was completely randomized design using 2 factors of treatment i.e. type of wood (A) and time of incubation (B).

Pretreatment with Phanerochaete chrysosporium on various types of sawdust and incubation time rises up ethanol contents up to about 26.68 – 76.90%. Chemical contents of sawdust having significant effect to ethanol contents was holocellulose, the higher holocellulose contents give higher ethanol contents. Ethanol contents resulted was about o.o16 – 0.448 g/l. Interaction between factor type of wood and time of incubation had significant effect to ethanol content. The best combination treatment was on sengon sawdust with incubation period of 30 days.


(4)

PEMANFAATAN SERBUK KAYU

UNTUK PRODUKSI ETANOL

DENNY IRAWATI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Magister Sains

Pada

Departemen Biokomia

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(5)

Judul Tesis

: Pemanfaatan Serbuk Kayu Untuk Produksi Etanol.

Nama

: Denny Irawati

NRP

: G. 451040011

PS

: Biokimia (BIK)

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof.Dr.H. Norman Razief Azwar

Ketua

Prof.Dr.Ir. Wasrin Syafii, M.Agr

Dr.Ir. I Made Artika, MApp.Sc

Anggota

Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi S2 Biokimia

Prof.Dr.drh.Maria Bintang, MS

Tanggal Ujian: 22 Agustus 2006 Tanggal Lulus:

Dekan Sekolah Pascasarjana


(6)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah swt atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul Pemanfaatan Serbuk Kayu Untuk Produksi Etanol. Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2005 hingga bulan Mei 2006. Karya ilmiah ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biokimia, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof.Dr.H.Norman Razief Azwar,M.Sc., Prof.Dr.Ir. Wasrin Syafii,M.Agr. dan Dr.Ir. I Made Artika,Mapp.Sc. sebagai pembimbing dalam penulisan karya ilmiah ini.

2. Teknisi laboratorium Fermentasi Departemen Biokimia, laboratorium Kimia Kayu Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor, laboratorium Bioteknologi Hutan Jurusan Budidaya Hutan, laboratorium Kimia dan Serat Kayu Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada atas segala bantuan yang telah diberikan selama pelaksanaan penelitian.

3. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah berperan dalam proses penulisan karya ilmiah ini.

Disadari sepenuhnya bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2006


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 12 Juli 1978 dari ayah Pudjianto dan ibu Muryati. Penulis merupakan anak ke tiga dari lima bersaudara. Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cilacap dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.

Sejak tahun 2002 hingga sekarang penulis menjadi staf pengajar di jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Pada tahun 2004 penulis mengikuti pendidikan program Magister pada Program Studi Biokimia Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ………. x

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xi

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Karakteristik Bahan Baku ... 5

Kimia Kayu ... 7

Jamur Phanerochaete chrysosporium Burdsall ... 15

Reaksi Degradasi Lignin Oleh Jamur ... 17

Kapang Trichoderma viride Person and Fries... 20

Yeast Saccharomyces cerevisiae Meyen ex Hansen ………. 21

Sakarifikasi Fermentasi Simultan ..……….. 22

BAHAN DAN METODE ... 25

Waktu dan Tempat ... 25

Bahan dan Alat ... 25

Prosedur Pelaksanaan ... 26

Analisis Hasil ... 34

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

Pertumbuhan Jamur Phanerochaete chrysosporium Burdsall ... 35

Kandungan Kimia Kayu ... 37

Aktivtas Enzim ... 52

Kadar Etanol ... 54

SIMPULAN ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 60


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Nilai rata-rata kadar ekstraktif, kadar abu dan kadar lignin

kayu (%) ... 37 Tabel 2. Nilai rata-rata kandar holoselulosa, kadar hemiselulosa, dan

kadar selulosa kayu (%) …………..……… 38 Tabel 3. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi

terhadap kadar ekstraktif serbuk kayu ... 42

Tabel 4. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi

terhadap kadar abu serbuk kayu ... 43 Tabel 5. Hasil uji BNJ faktor waktu inkubasi terhadap kadar

holoselulosa serbuk kayu ... 45 Tabel 6. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi

terhadap kadar selulosa serbuk kayu ... 46 Tabel 7. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi

terhadap kadar hemiselulosa serbuk kayu ... 48 Tabel 8. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi

terhadap kadar lignin serbuk kayu ... 51 Tabel 9. Nilai rata-rata kadar etanol (g/l) dan (g/g) ... 53 Tabel 10. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Skema dinding sel kayu dan hubungan lignin, selulosa

dan hemiselulosa dalam dinding sekunder ... 7 Gambar 2. A. Struktur selulosa dengan pengulangan unit selobiosa.

B. Selulosa kristalin ... 8 Gambar 3. A. Struktur O-asetil-4-O-metilglukoronoksilan(hemiselulosa

utama di kayu daun lebar). B. Struktur O-aselilgalakto

glukomanan (hemiselulosa utama pada kayu daun jarum) . 10 Gambar 4. Model struktur lignin ……….. 11 Gambar 5. Struktur kimia 3 subunit penyusun lignin ... 12 Gambar 6. Ikatan ß-aryl ether pada lignin kayu ... 12 Gambar 7. A. Penggabungan materi lignoselulosa membentuk serat

elentari dan mikrofibril. B. Struktur ikatan ester antara lignin dengan arabino-4-O-methilglucomonoxylan pada

Pinus ... 14 Gambar 8. Skema penyerangan lignin oleh enzim jamur

Phanerochaete chrysosporium ... 17

Gambar 9. Skema lignolitik dari jamur pembusuk putih ……….. 18 Gambar 10. Mekanisme hidrolisis enzim selulase ... 24 Gambar 11. Isolat P. chrysosporium umur 6 hari pada media PDA ….... 35

Gambar 12. Kondisi serbuk kayu sebelum diberi perlakuan jamur dan setelah 30 hari waktu inkubasi dengan jamur

P.chrysosporium ………. 36

Gambar 13. A. Histogram kadar kimia kayu serbuk kayu sengon. B. Histogram kadar kimia kayu serbuk kayu meranti. C. Histogram kadar kimia kayu serbuk kayu jati ... 39 Gambar 14. A. Isolat T.viride umur 5 hari. B. Spora pada suspensi 10

ml aquades ... 51 Gambar 15. Histogram kadar etanol dari serbuk kayu... 54 Gambar 16. Grafik hubungan kadar holoselulosa dengan kadar etanol . 56


(11)

PEMANFAATAN SERBUK KAYU

UNTUK PRODUKSI ETANOL

DENNY IRAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(12)

ABSTRAK

DENNY IRAWATI. Pemanfaatan Serbuk Kayu Untuk Produksi Etanol. Dibimbing oleh NORMAN RAZIEF AZW AR, WASRIN SYAFII dan I MADE ARTIKA.

Saat ini di Indonesia tengah terjadi krisis bahan bakar minyak. Salah satu jenis bahan bakar alternatif adalah bioetanol. Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan lignoselulosa. Dilain pihak, pada tahun 2003, produksi log Indonesia adalah mencapai 10.086.217,06 m3, dengan jumlah limbah industri perkayuan diperkirakan sekitar 3,03-4,03 juta m3 untuk tahun 2003. Proses pengolahan serbuk kayu menjadi bioetanol dapat dilakukan dengan menggunakan metode sakarifikasi-fermentasi secara simultan. Kendala yang dihadapi dalam hidrolisis serbuk kayu dengan cara enzimatis yang menyebabkan rendahnya laju hidrolisis, salah satunya adalah adanya kandungan lignin dalam serbuk kayu tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai perlakuan delignifikasi atau penghilangan lignin dari serbuk kayu sebelum perlakuan sakarifikasi-fermentasi simultan untuk meningkatkan kemampuan hidrolisis dari enzim.

Penelitian ini dilakukan dengan menyerangkan jamur pelapuk putih yaitu

Phanerochaete chrysosporium pada 3 jenis serbuk kayu yaitu jati, meranti dan sengon. Sebelum dan sesudah didegradasi ligninnya menggunakan jamur P. chrysosporium, ketiga jenis serbuk kayu tersebut dianalisis terlebih dahulu kandungan kimianya (ekstraktif, selulosa, holoselulosa, abu dan lignin). Selanjutnya dilakukan proses sakarifikasi-fermentasi secara simultan menggunakan enzim kasar dari Trichoderma viride dan Saccharomyces cerevisiae pada shaker inkubator dengan kecepatan 12 rpm pada suhu 30OC selama 72 jam. Hasilnya berupa etanol dianalisis menggunakan metode kromatografi gas. Rancangan analisis yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap, menggunakan dua faktor perlakuan, yaitu : jenis kayu (A) dan waktu inkubasi (B).

Perlakuan pendahuluan dengan jamur Phanerochaete chrysosporium pada berbagai jenis serbuk kayu dan waktu inkubasi meningkatkan kadar etanol yang dihasilkan sebesar 26,68-76,90%. Sifat kimia serbuk kayu yang berpengaruh nyata terhadap kadar etanol adalah kadar holoselulosa, semakin tinggi kadar holoselulosa maka semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan. Kadar etanol yang dihasilkan berkisar antara 0,016-0,448 g/l. Interaksi antara faktor jenis serbuk kayu dengan waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap kadar etanol. Kombinasi perlakuan yang paling baik adalah pada serbuk kayu sengon dengan waktu inkubasi 30 hari.


(13)

ABSTRACT

DENNY IRAWATI. The Utilization of Sawdust for Ethanol Production. Under the direction of NORMAN RAZIEF AZWAR, WASRIN SYAFII and I MADE ARTIKA.

Currently, Indonesia is in the middle of petroleum crisis. One of the alternative fuels which can be used as a petroleum substitute is ethanol. Ethanol can be produced from the timber waste (sawdust). Indonesia, in 2003, had timber waste potency of about 3 – 4 millions m3. Process of sawdust manufacturing become an ethanol can be conducted by simultaneous saccharification-fermentation method. However, ethanol production from sawdust has problem due to its lignin content. Therefore, research on bio-delignification treatment of sawdust prior to ethanol making process is required.

The research was done by acted of growing white rot fungi Phanerochaete chrysosporium on three kinds of sawdust i.e. jati, meranti and sengon. The chemical contents (extractive contents, cellulose contents, holocellulose contents, ash contents and lignin contents) of these three of sawdust were analyzed previously. Then simultaneous saccharification-fermentation (SSF) process was done by using crude enzyme from Trichoderma viride and then followed by fermentation with Saccharomyces cerevisiae on shaker incubator with rate 12 rpm at temperature 30oC for 72 hours. The result as an ethanol was analyzed by using gas chromatography method. Analysis design used was completely randomized design using 2 factors of treatment i.e. type of wood (A) and time of incubation (B).

Pretreatment with Phanerochaete chrysosporium on various types of sawdust and incubation time rises up ethanol contents up to about 26.68 – 76.90%. Chemical contents of sawdust having significant effect to ethanol contents was holocellulose, the higher holocellulose contents give higher ethanol contents. Ethanol contents resulted was about o.o16 – 0.448 g/l. Interaction between factor type of wood and time of incubation had significant effect to ethanol content. The best combination treatment was on sengon sawdust with incubation period of 30 days.


(14)

PEMANFAATAN SERBUK KAYU

UNTUK PRODUKSI ETANOL

DENNY IRAWATI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Magister Sains

Pada

Departemen Biokomia

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(15)

Judul Tesis

: Pemanfaatan Serbuk Kayu Untuk Produksi Etanol.

Nama

: Denny Irawati

NRP

: G. 451040011

PS

: Biokimia (BIK)

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof.Dr.H. Norman Razief Azwar

Ketua

Prof.Dr.Ir. Wasrin Syafii, M.Agr

Dr.Ir. I Made Artika, MApp.Sc

Anggota

Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi S2 Biokimia

Prof.Dr.drh.Maria Bintang, MS

Tanggal Ujian: 22 Agustus 2006 Tanggal Lulus:

Dekan Sekolah Pascasarjana


(16)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah swt atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul Pemanfaatan Serbuk Kayu Untuk Produksi Etanol. Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2005 hingga bulan Mei 2006. Karya ilmiah ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biokimia, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof.Dr.H.Norman Razief Azwar,M.Sc., Prof.Dr.Ir. Wasrin Syafii,M.Agr. dan Dr.Ir. I Made Artika,Mapp.Sc. sebagai pembimbing dalam penulisan karya ilmiah ini.

2. Teknisi laboratorium Fermentasi Departemen Biokimia, laboratorium Kimia Kayu Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor, laboratorium Bioteknologi Hutan Jurusan Budidaya Hutan, laboratorium Kimia dan Serat Kayu Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada atas segala bantuan yang telah diberikan selama pelaksanaan penelitian.

3. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah berperan dalam proses penulisan karya ilmiah ini.

Disadari sepenuhnya bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2006


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 12 Juli 1978 dari ayah Pudjianto dan ibu Muryati. Penulis merupakan anak ke tiga dari lima bersaudara. Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cilacap dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.

Sejak tahun 2002 hingga sekarang penulis menjadi staf pengajar di jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Pada tahun 2004 penulis mengikuti pendidikan program Magister pada Program Studi Biokimia Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ………. x

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xi

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Karakteristik Bahan Baku ... 5

Kimia Kayu ... 7

Jamur Phanerochaete chrysosporium Burdsall ... 15

Reaksi Degradasi Lignin Oleh Jamur ... 17

Kapang Trichoderma viride Person and Fries... 20

Yeast Saccharomyces cerevisiae Meyen ex Hansen ………. 21

Sakarifikasi Fermentasi Simultan ..……….. 22

BAHAN DAN METODE ... 25

Waktu dan Tempat ... 25

Bahan dan Alat ... 25

Prosedur Pelaksanaan ... 26

Analisis Hasil ... 34

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

Pertumbuhan Jamur Phanerochaete chrysosporium Burdsall ... 35

Kandungan Kimia Kayu ... 37

Aktivtas Enzim ... 52

Kadar Etanol ... 54

SIMPULAN ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 60


(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Nilai rata-rata kadar ekstraktif, kadar abu dan kadar lignin

kayu (%) ... 37 Tabel 2. Nilai rata-rata kandar holoselulosa, kadar hemiselulosa, dan

kadar selulosa kayu (%) …………..……… 38 Tabel 3. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi

terhadap kadar ekstraktif serbuk kayu ... 42

Tabel 4. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi

terhadap kadar abu serbuk kayu ... 43 Tabel 5. Hasil uji BNJ faktor waktu inkubasi terhadap kadar

holoselulosa serbuk kayu ... 45 Tabel 6. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi

terhadap kadar selulosa serbuk kayu ... 46 Tabel 7. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi

terhadap kadar hemiselulosa serbuk kayu ... 48 Tabel 8. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi

terhadap kadar lignin serbuk kayu ... 51 Tabel 9. Nilai rata-rata kadar etanol (g/l) dan (g/g) ... 53 Tabel 10. Hasil uji BNJ interaksi faktor jenis kayu dan waktu inkubasi


(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Skema dinding sel kayu dan hubungan lignin, selulosa

dan hemiselulosa dalam dinding sekunder ... 7 Gambar 2. A. Struktur selulosa dengan pengulangan unit selobiosa.

B. Selulosa kristalin ... 8 Gambar 3. A. Struktur O-asetil-4-O-metilglukoronoksilan(hemiselulosa

utama di kayu daun lebar). B. Struktur O-aselilgalakto

glukomanan (hemiselulosa utama pada kayu daun jarum) . 10 Gambar 4. Model struktur lignin ……….. 11 Gambar 5. Struktur kimia 3 subunit penyusun lignin ... 12 Gambar 6. Ikatan ß-aryl ether pada lignin kayu ... 12 Gambar 7. A. Penggabungan materi lignoselulosa membentuk serat

elentari dan mikrofibril. B. Struktur ikatan ester antara lignin dengan arabino-4-O-methilglucomonoxylan pada

Pinus ... 14 Gambar 8. Skema penyerangan lignin oleh enzim jamur

Phanerochaete chrysosporium ... 17

Gambar 9. Skema lignolitik dari jamur pembusuk putih ……….. 18 Gambar 10. Mekanisme hidrolisis enzim selulase ... 24 Gambar 11. Isolat P. chrysosporium umur 6 hari pada media PDA ….... 35

Gambar 12. Kondisi serbuk kayu sebelum diberi perlakuan jamur dan setelah 30 hari waktu inkubasi dengan jamur

P.chrysosporium ………. 36

Gambar 13. A. Histogram kadar kimia kayu serbuk kayu sengon. B. Histogram kadar kimia kayu serbuk kayu meranti. C. Histogram kadar kimia kayu serbuk kayu jati ... 39 Gambar 14. A. Isolat T.viride umur 5 hari. B. Spora pada suspensi 10

ml aquades ... 51 Gambar 15. Histogram kadar etanol dari serbuk kayu... 54 Gambar 16. Grafik hubungan kadar holoselulosa dengan kadar etanol . 56


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data dan Hasil Analisis Kandungan Kimia Kayu... 64

Lampiran 2. Hasil Analisis Varian Kandungan Kimia Kayu ... 71

Lampiran 3. Hasil dan Analisis S/G Rasio Lignin Kayu Jati ... 73

Lampiran 4. Aktivitas FP-ase Enzim Kasar T.viride ... 77

Lampiran 5. Hasil dan Analisis Kadar Etanol ... 78

Lampiran 6. Hasil Analisis Varian Kadar Etanol ... 79


(22)

PENDAHULUAN

Saat ini di Indonesia tengah terjadi krisis bahan bakar minyak. Sejak bulan Oktober 2005, harga berbagai bahan bakar yang berasal dari minyak bumi meningkat hingga 2 kali lipat. Ketergantungan akan bahan bakar minyak dapat merugikan, karena selain potensinya yang akan habis, juga menyebabkan pencemaran udara yang cukup tinggi. Oleh karena itu perlu dicari bahan bakar alternatif yang salah satunya adalah bioetanol.

Menurut Bruce dan Palfreyman (1998) etanol dapat diproduksi dari sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti biomasa yang dikategorikan ke dalam bahan-bahan berbasis gula (gula tebu, gula bit dan sorgum manis), pati (biji-bijian yaitu: jagung, gandum, beras; serta umbi-umbian yaitu: kentang, ketela pohon, ubi jalar) dan lignoselulosa (kayu, jerami, bagase, dan sebagainya). Penggunaan bahan baku berbasis gula dan pati memang lebih mudah pada proses pembuatan etanol, akan tetapi penggunaan bahan baku tersebut bersaing dengan pemanfaatannya yang lebih tinggi yaitu sebagai sumber bahan makanan. Penggunaan bahan baku lignoselulosa, selain harganya lebih murah, potensinya lebih besar dan tidak bersaing dengan pemanfaatan lain. Hasil penelitian Itoh et.al. (2003), dengan menggunakan bahan baku kayu beech yang

diberi perlakuan pulping dan tidak diberi perlakuan pulping, menghasilkan etanol secara berturut-turut sebanyak 0,294 g/g dan 0,176 g/g.

Dilain pihak, Indonesia adalah salah satu negara tropis yang memiliki kawasan hutan yang luas yang terdiri dari ribuan tumbuhan penghasil kayu terutama dari jenis daun lebar. Banyaknya bahan baku kayu ini, menyebabkan berkembangnya industri perkayuan di Indonesia. Kayu dari jenis daun lebar seperti meranti, jati, mahoni, sengon dan jenis lainnya banyak dimanfaatkan misalnya sebagai bahan baku meubel, konstruksi perumahan, kayu lapis dan


(23)

sebagainya. Hal ini terutama disebabkan karena jenis kayu daun lebar memiliki sifat pengerjaan yang cukup baik, sifat dekoratif yang lebih indah dan kekuatan yang tinggi.

Menurut data statistik dari Departemen Kehutanan (2004), pada tahun 2003 produksi log Indonesia adalah mencapai 10.086.217,06 m3 yang berasal dari hutan alam, hutan tanaman industri dan hutan rakyat. Perkembangan industri perkayuan yang pesat tentunya juga menimbulkan hasil samping berupa limbah. Dalam proses pengolahan kayu hanya sekitar 60-70% dari komoditi kayu yang diolah menjadi produk, dengan limbah sisa kayu dan serbuk gergajiannya mencapai jumlah kurang lebih 30-40% (Darmaji et al., 1998) atau sekitar

3,03-4,03 juta m3 untuk tahun 2003.

Proses pengolahan serbuk kayu menjadi etanol dapat dilakukan dengan menggunakan metode sakarifikasi-fermentasi secara simultan. Sakarifikasi fermentasi secara simultan adalah suatu proses yang dapat dilakukan untuk mengubah selulosa kayu menjadi etanol dalam 1 tahap fermentasi. Dalam proses ini selulosa kayu dihidrolisis oleh komplek enzim selulase dan setiap glukosa yang terbentuk langsung dimanfaatkan oleh yeast untuk diubah menjadi etanol, sehingga dengan demikian konsentrasi glukosa yang terdapat di dalam medium selalu rendah dan memberi kemungkinan hasil etanol yang maksimum (Sjamsuriputra, et al.,1986).

Pada proses sakarifikasi, hidrolisis selulosa dapat dilakukan dengan menggunakan 2 cara, yaitu hidrolisis menggunakan asam kuat dan menggunakan enzim. Penggunaan asam kuat pada proses hidrolisis mempunyai banyak persoalan teknik dan ekonomi misalnya penggunaan peralatan yang harus tahan terhadap asam, permasalahan pemulihan asam, selain menghasilkan rendemen yang kecil. Penggunaan bahan kimia juga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Sedangkan hidrolisis menggunakan


(24)

enzim (kompleks selulase maupun xilanase), walaupun masih jauh dari penyelesaian karena laju hidrolisisnya rendah, tetapi lebih disukai karena lebih ramah lingkungan. Selain itu hidrolisis enzimatis dapat dilakukan pada suhu ruang dan tekanan rendah, yang artinya tidak memerlukan penggunaan energi, juga produk yang dihasilkan lebih spesifik.

Terdapat beberapa jenis enzim yang dihasilkan oleh berbagai jamur dan bakteri yang berperan dalam hidrolisis selulosa. Enari (1983) menyatakan bahwa ada 3 jenis enzim yang berperan dalam hidrolisis selulosa sec ara sinergi, yaitu endo-1,4-β-glukanase, exo-1,4-β-glukanase dan β-glukosidase. Enzim yang berperan dalam hidrolisis hemiselulosa adalah sesuai dengan komponen monosakarida utama yang terdapat di dalam hemiselulosa, yaitu enzim xylanase, mannanase dan galaktanase. Penggunaan enzim selulase dipengaruhi oleh konsentrasi dan kondisi bahan lignoselulosa itu sendiri, antara lain derajat polimerisasi selulosa, kristalinitas selulosa, aksesibilitas enzim, dan jumlah lignin (Zhang dan Lynd, 2004).

Fermentasi gula pereduksi menjadi etanol dilakukan dengan menggunakan yeast yaitu Saccharomyces cerevisiae. Penggunaan yeast pada fermentasi

etanol, lebih disukai jika dibandingkan penggunaan bakteri. Hal ini disebabkan karena yeast mempunyai sel yang lebih besar dan dinding sel yang lebih padat, sehingga lebih mudah pada saat pemanenan dan daur ulang yeast. Selain itu yeast tidak mudah terkontaminasi oleh bakteri maupun virus lain (Jeffries, 2000).

Kendala yang dihadapi dalam hidrolisis serbuk kayu dengan cara enzimatis yang menyebabkan rendahnya laju hidrolisis, salah satunya adalah adanya kandungan lignin dalam serbuk kayu tersebut. Hasil penelitian Irawadi (1991), menunjukkan bahwa hidrolisis dengan menggunakan enzim yang sama pada subtrat selulosa murni menghasilkan total gula pereduksi yang lebih tinggi (673


(25)

mg/g), dibandingkan subtrat serbuk gergaji (40 mg/g). Lignin menyebabkan aksesibilitas enzim menjadi rendah terhadap polisakarida.

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai perlakuan delignifikasi atau penghilangan lignin dari serbuk kayu sebelum perlakuan sakarifikasi-fermentasi simultan untuk meningkatkan kemampuan hidrolisis dari enzim. Penghilangan lignin dapat dilakukan secara kimia maupun secara biologi. Cara biologi (biodelignifikasi) selain lebih murah, juga lebih ramah terhadap lingkungan, sering dilakukan dengan menggunakan jamur, yaitu jamur pelapuk putih (white-rot fungi) yang mampu mendegradasi lignin dan memanfaatkan

hasilnya untuk proses metabolisme tubuhnya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh berbagai jenis serbuk kayu terhadap rendemen dan kualitas etanol serta mengkaji pengaruh kandungan lignin di dalam berbagai jenis serbuk kayu terhadap rendemen dan kualitas etanol. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai cara optimalisasi hidrolisis serbuk kayu pada proses sakarifikasi-fermentasi simultan untuk menghasilkan etanol, sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi limbah industri kayu.


(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Bahan Baku Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen syn.)

Kayu sengon memiliki sifat-sifat yaitu sangat ringan, agak kasar, agak padat, berwarna putih segar tetapi makin menuju keteras kayu kadang-kadang berwarna agak kemerah-merahan. Kayu sengon termasuk dalam kelas kuat IV (Heyne, 1987). Tekstur kayu sengon agak kasar dan merata, arah seratnya lurus, bergelombang lebar atau berpadu. Permukaan kayunya agak licin dan mengkilap. Berat jenis kayu sengon berkisar antara 0,24-0,49 dengan rata-rata 0,33. Kayu yang masih segar berbau petai yang lambat laun hilang jika kayunya menjadi kering.

Kayu sengon termasuk kelas awet IV-V, sehingga daya tahannya terhadap serangan organisme perusak kayu adalah sangat rendah. Sifat kimia dari kayu sengon adalah kadar selulosa 49,4%, kadar lignin 26,8%, kadar pentosan 15,6%, kadar abu 0,6%, kadar silika 0,2% dan kadar ekstraktif larut alkohol-benzen 3,4% (Martawijaya et al., 1989).

Kayu Meranti (Shorea spp.)

Martawijaya et al. (1989) menyatakan bahwakayu meranti merah memiliki

warna kayu teras bervariasi dari hampir putih, coklat pucat, merah jambu, merah muda, merah kelabu, merah-coklat muda dan merah sampai merah tua atau coklat tua. Kayu gubal berwarna lebih muda dan dapat dibedakan dengan jelas dari kayu teras, berwarna putih, putih kotor, kekuning-kuningan atau kecoklat-coklatan sangat muda, biasanya kelabu. Memiliki tekstur kayu dari agak kasar sampai kasar dan merata. Arah seratnya agak berpadu, kadang hampir lurus,


(27)

bergelombang atau sangat berpadu. Permukaan kayunya agak licin sampai licin dan agak mengkilap.

Kayu meranti merah mempunyai gambaran berupa pita pada bidang radialnya dan juga terdapat gambaran jari-jari yang kurang jelas. Rata-rata berat jenis kayu meranti merah bervariasi menurut jenisnya dari 0,40-0,77. Kelas kuat berkisar antara II-IV. Kelas awetnya secara umum termasuk dalam kelas III-IV. Sifat kimia dari kayu meranti merah adalah kadar selulosa 49,6-56,1%, kadar pentosan 8,2-24,21%, kadar abu 0,24-0,86%, kadar silika 0,06-0,86% dan kadar ekstraktif larut alkohol-benzen 0,6-5,39% (Martawijaya et al., 1989). Sedangkan

kadar lignin berkisar antara 24,48-30% (Syafii et al., 1988).

Kayu Jati (Tectona grandis LINN.f.)

Kayu jati termasuk kayu mewah dengan kelas kuat II dan mempunyai nilai dekoratif yang indah. Lingkaran tahun tampak jelas karena adanya perbedaan kayu awal dan kayu akhir. Stabilisasi dimensinya baik sehingga sesuai untuk keperluan bahan baku industri meubel, rangka pintu dan jendela, panel pintu serta vinir indah (Mandang dan Pandit, 1997).

Warna kayu teras jati adalah coklat muda, kelabu sampai coklat-merah tua atau coklat-merah coklat. Warna kayu gubalnya adalah putih atau kelabu kekuning-kuningan. Tekstur kayu agak kasar dan tidak merata. Arah serat lurus atau kadang-kadang agak terpadu. Permukaan kayu licin atau agak licin, bahkan terkadang seperti berminyak. Kayu jati berbau bahan penyamak yang mudah hilang. Berat jenis berkisar antara 0,62-0,75 dengan rata-rata 0,67. Kayu jati termasuk kelas awet II dan dilaporkan sangat tahan terhadap serangan jamur. Sifat kimia dari kayu jati adalah kadar selulosa 47,5%, kadar lignin 29,9%, kadar pentosan 14,4%, kadar abu 1,4%, kadar silika 0,4% dan kadar ekstraktif larut alkohol-benzen 4,6% (Martawijaya et al., 1989).


(28)

Kimia Kayu

Komponen kimia utama penyusun kayu adalah selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Gambaran yang disederhanakan menunjukkan bahwa selulosa membentuk kerangka yang dikelilingi oleh senyawa-senyawa lain yang berfungsi sebagai matriks (hemiselulosa) dan bahan-bahan yang melapisi (lignin) (Gambar 1) (Kirk dan Cullen,1998). Selain itu pada beberapa spesies terdapat juga komponen kimia yang lain yang disebut ekstraktif. Ekstraktif terendap pada rongga sel kayu selama pembentukan kayu teras. Pada spesies kayu yang berbeda, jenis dan komposisi masing-masing komponen kayu tersebut juga berbeda.

Gambar 1. Skema dinding sel kayu dan hubungan lignin, selulosa dan hemiselulosa dalam dinding sekunder. M.L: lamella tengah, P: dinding primer, S1: dinding sekunder 1,

S2: dinding sekunder 2, S3: dinding sekunder 3 (Kirk dan Cullen,1998)

Selulosa

Selulosa merupakan konstituen utama kayu. Kurang lebih 40-45% bahan kering kayu (baik kayu daun jarum maupun kayu daun lebar), terutama di dinding sekunder terdiri dari selulosa. Dalam dinding sel kayu, selulosa berfungsi untuk memberikan kekuatan (Sjostrom, 1995).

Selulosa adalah polimer rantai panjang yang tersusun dari monomer β -D-glukosa dalam bentuk piranosa yang bersatu dengan menggunakan ikatan β


(29)

-1,4-glikosida. Ikatan β menunjukkan bahwa tiap unit glukosa membentuk rotasi 180o. Perputaran ini menyebabkan selulosa memiliki simetrisitas yang tinggi.

Pasangan antara molekul selulosa yang berdekatan terjadi karena ikatan hidrogen dan gaya Van der Waals menghasilkan susunan paralel sejajar dan struktur kristalin (Gambar 2B)(Zhang dan Lynd, 2004). Molekul-molekul selulosa seluruhnya berbentuk linier dan memiliki kecenderungan membentuk ikatan -OH intramolekul (antara monomer glukosa dalam 1 rantai selulosa yang sama) dan intermolekul (antara monomer glukosa dari 2 rantai selulosa yang berdekatan). Pada kedua ujung rantai selulosa terdapat gugus OH tetapi dengan perilaku yang berbeda. Gugus C1-OH adalah gugus hidrat aldehida yang mempunyai sifat pereduksi, sedangkan gugus OH pada akhir C4 merupakan gugus hidroksil alkohol yang bersifat non pereduksi (Fengel dan Wegener, 1995).

Gambar 2. A. Struktur selulosa dengan pengulangan unit selobiosa (Atalla, 1999). B. Selulosa kristalin (Mosier et al., 1999 dalam Zhang dan Lynd, 2004).

Derajat polimerisasi atau banyaknya monomer β-D-glukosa yang menyusun 1 rantai selulosa pada kayu adalah 7.000-10.000 (Goldstein, 1981). Secara tepat unit ulangan dari rantai selulosa adalah unit selobiosa dengan ukuran panjang 1,04 nm dan lebar 0,54 nm (Gambar 2A). Ikatan intermolekul menggabungkan antar rantai selulosa sehingga terbentuk mikrofibril. Gabungan dari mikrofibril

A B

1,04 nm

OH HO

HO HO

O

O

OH HO

HO

OH HO

HO

O

OH

OH OH


(30)

membentuk makrofibril dan gabungan dari makrofibril akhirnya membentuk dinding sel kayu. Mikrofibril selulosa dalam kayu mengandung kurang lebih 40 rantai selulosa dan mempunyai daerah kristalin kurang lebih 100-150 unit selobiosa yang dipisahkan oleh sedikit daerah amorfous (Atalla, 1999).

Ikatan-ikatan glikosida dalam selulosa terlarut atau amorf mudah dihidrolisis oleh semua tipe asam dan hidrolisis enzimatis. Tetapi dalam prakteknya terdapat 2 hambatan umum pada hidrolisis selulosa dari serbuk kayu yaitu karena adanya kandungan lignin di dalam kayu sebagai bahan lignoselulosa dan karena adanya struktur kristalin dari selulosa (Fengel dan Wegener, 1995). Hubungan antara struktur selulosa dengan laju hidrolisis enzim telah dipelajari secara ekstensif tetapi belum terbentuk suatu pemahaman yang menyeluruh. Struktur selulosa biasanya dipertimbangkan sebagai faktor yang mempengaruhi laju hidrolisis, antara lain termasuk di dalamnya yaitu: indek kristalinitas, derajat polimerisasi dan asesibilitas area (Zhang dan Lynd, 2004).

Hemiselulosa

Hemiselulosa adalah rantai polimer bercabang dari berbagai jenis monomer (monosakarida) yang berbeda atau sering disebut heteropolimer. Monomer-monomer hemiselulosa antara lain D-glukosa, D-manosa, D-galaktosa, D-xilosa, L-arabinosa dan sedikit L-ramnosa. Kebanyakan hemiselulosa mempunyai derajat polimerisasi 100-200 (Sjostrom, 1995).

Goldstein (1981) menyatakan bahwa prosentase hemiselulosa di dalam kayu daun lebar kurang lebih adalah 30%, sedangkan pada kayu daun jarum adalah 25%. Komposisi jenis hemiselulosa antara kayu daun lebar dan kayu daun jarum juga berbeda. Hemiselulosa utama dalam kayu daun lebar adalah xilan. Xilan merupakan suatu homopolimer yang tersusun dari xilosa sebagai rangka dasar dan asam turunan asam uronat pada cabang rantai tiap 10 satuan


(31)

xilosa, selain itu pada cabang rantai juga terdapat arabinosa (Gambar 3A). Pada hemiselulosa kayu daun lebar kandungan manan hanya terdapat dalam jumlah kecil. Galaktoglukomanan merupakan hemiselulosa pokok pada kayu daun jarum (kurang lebih 20%). Struktur tulang punggungnya tersusun atas glukopiranosa dan manopiranosa dengan ikatan β-1,4-glikosida (Gambar 3B).

Gambar 3. A. Struktur O-asetil-4-O-metilglukoronoksilan (hemiselulosa utama di kayu daun lebar). B. Struktur O-aselilgalaktoglukomanan (hemiselulosa utama pada kayu daun

jarum) (Kirk dan Cullen, 1998)

Hemiselulosa merupakan matriks penggabung antar mikrofibril selulosa dalam dinding sel kayu. Hemiselulosa juga bersifat tidak mudah larut di dalam air, akan tetapi dapat larut dalam basa kuat. Hemiselulosa lebih mudah terhidrolisis dalam asam dibanding selulosa, hal ini karena struktur hemiselulosa yang amorfous dan derajat polimerisasinya yang lebih rendah dibanding selulosa (Lewin dan Goldstein, 1991).

A

B O

OH HO

CH2OH

OR OR

CH2O

O

HO HO

CH2OH

HO

O

OR OR

CH2OH OR OR

O O O O HO HO

CO2H

H3CO

O OR HO OR HO O OR HO O


(32)

Lignin

Lignin adalah suatu kompleks polimer 3 dimensi yang diproduksi secara in

vivo oleh enzim penginisiasi polimerisasi dehidrogenatif dari 3 monomer

fenilpropana, yaitu p-hidroksilamin alkohol, koniferil alkohol dan sinapil alkohol. Polimer lignin terbentuk melalui ikatan eter yang terdiri dari unit-unit fenilpropana yang saling bergabung (Gambar 4). Biosintesis lignin dari unit fenilpropana dinyatakan secara umum sebagai polimerisasi dehidrogenatif. Kompleks polimer lignin berperan sebagai pemberi kekuatan fisik, pertahanan terhadap serangan mikrobia dan pertahanan terhadap permeabilitas air ke matrik polisakarida dinding sel tumbuhan (Whetten et al., 1998).


(33)

Prekursor lignin yaitu p-coumaryl alkohol, koniferyl alkohol and sinapyl

alkohol tersusun atas sebuah cincin aromatic dan 3 karbon rantai samping. Prekursor tersebut kemudian membentuk 3 tipe subunit yaitu hydroxyphenol- (H-type), guaiacyl- (G-type) and syringyl subunits (S-type) (Gambar 5). Suatu hal yang khas yang ditemukan pada polimer lignin adalah tidak ada ikatan dari satu jenis subunit penyusun yang berulang. Polimer lignin tersusun atas distribusi secara acak dari tiap-tiap subunit, dengan kurang lebih membentuk 10 macam tipe katan yang berbeda. Jenis ikatan yang paling banyak ditemukan adalah ß-aryl ether (ß-O-4) (Gambar 6).

Gambar 5. Struktur kimia 3 subunit penyusun lignin (Lankinen, 2004)

Gambar 6. Ikatan ß-aryl ether pada lignin kayu (Jeffries, 1994)

Lignin tahan terhadap degradasi oleh sebagian besar mikroorganisme. Meskipun demikian, jamur tertentu mampu menguraikan lignin secara selektif. Karena strukturnya yang kompleks dan jenis ikatan pada lignin bersifat tahan terhadap air, maka hal ini menyebabkan lignin menjadi sulit didegradasi. Masa molekul lignin adalah 100 kDa atau lebih, hal ini dapat mencegah masuknya sel

Koniveril alkohol


(34)

mikrobial seperti jamur. Oleh karena itu biodegradasi lignin biasanya terjadi melalui aktivitas enzim ekstraseluler dari organisme pendegradasi lignin.

Menurut Campbell and Sederoff (1996) kandungan struktur dan komposisi lignin bervariasi pada populasi tanaman spesies tertentu. Gimnospermae (kelompok kayu daun jarum), mempunyai lignin yang subunit penyusun utamanya adalah guaiasil (> 90%) dengan sedikit p-hydroxyphenyl yang tidak termetoksilasi. Tipe lignin dari angiospermae (kelompok kayu daun lebar) adalah lignin guaiasil-siringil, yang terbentuk dari ko-polymerisasi koniferil and sinapil alkohol. Lignin rumput-rumputan tersusun atas subunit siringil, guaiasil dan p-hydroxyphenyl dengan perbandingan komposisi berturut-turut 40% : 40% : 20% (Stenius, 2000).

Prosentase lignin pada kayu daun lebar kurang lebih adalah 20%, dan lebih banyak dijumpai jenis lignin guaiasil-siringil dengan nisbah bervariasi dari 4:1 hingga 1:2 (Sjostrom, 1995). Kayu daun lebar dengan kandungan lignin siringil yang lebih banyak (perbandingan siringi:guaiasil (S/G rasio) yang tinggi) mempunyai laju delignifikasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kayu daun lebar yang sedikit mengandung lignin siringil (S/G rasio yang rendah). Kayu sengon mempunyai nilai S/G rasio sebesar 2,03 sedangkan kayu meranti mempunyai nilai S/G rasio sebesar 1,87 (Syafii, 2001).

Kompleks Lignin Karbohidrat

Lignin umumnya tidak pernah ditemukan dalam bentuk sederhana diantara polisakarida-polisakarida dinding sel, tetapi selalu tergabung atau berikatan dengan polisakarida tersebut. Bentuk kompleks lignin karbohidrat (

Lignin-carbohydrate complexes (LCCs)) adalah beraneka ragam berbeda-beda pada

setiap jenis tanaman. Lignin secara langsung ataupun tidak langsung berikatan kovalen dengan karbohidrat (Jeffries, 1994).


(35)

Kurang lebih 100 unit glukan selulosa bergabung menjadi serat elementari dengan lebar daerah kristalin 4-5 nm, dan sekitar 40 serat elementari ini tertanam dalam matrik hemiselulosa membentuk mikrofibril dengan ketebalan 7-30 nm. Selanjutnya proses lignifikasi terjadi pada bagian akhir proses pembentukan serat alami, sehingga lignin terletak terutama pada bagian luar mikrofibril dengan ikatan kovalen dengan hemiselulosa (Zhang dan Lynd, 2004).

Interaksi antara lignin dengan polisakarida lebih dipengaruhi oleh ikatan kimia daripada bentuk-bentuk asosiasi seperti ikatan hidrogen, gaya Van der Waals dan khemosopsi (Fengel dan Wegener, 1984). Ikatan kimia yang bersifat stabil yang paling banyak ditemukan pada kompleks lignin karbohidrat adalah ikatan ester. Ikatan ester terjadi antara gugus karboksil bebas dari asam uronik pada hemiselulosa dan gugus benzil pada lignin (Jeffries, 1994). Jenis ikatan lain yang ditemukan pada kompleks lignin karbohidrat adalah ikatan eter dan glikosida.

Gambar 7. A. Penggabungan materi lignoselulosa membentuk struktur mikrofibril (Klein and Snodgrass, 1993 dalam Zhang dan Lynd, 2004). B. Struktur ikatan ester antara lignin dengan arabino-4-O-methilglucomonoxylan pada Pinus (Watanabe dan Koshijima,

1988 dalam Jeffries, 1994b)

Ekstraktif dan Abu

A B

4-O-Me-glucoronic

a-(1-3)-L-arabinosa

HOCH2

CH O

C

CH O

CH2O

O HO O OH HO O HO O OH HO OH HO O OH H2C OH

OH

OH O

CH2O

HO OH O

CH2O

O O


(36)

Zat ekstraktif terdiri dari berbagai jenis komponen senyawa organik seperti minyak yang mudah menguap, terpen, asam lemak dan esternya, lilin, alkohol polihidrik, mono dan polisakarida, alkaloid, dan komponen aromatik (asam, aldehid, alkohol, dimer fenilpropana, stilbene, flavanoid, tannin dan quinon). Zat ekstraktif adalah komponen diluar dinding sel kayu yang dapat dipisahkan dari dinding sel yang tidak larut menggunakan pelarut air atau organik (Lewin dan Goldstein, 1991). Kayu teras secara khas mengandung zat ekstraktif jauh lebih banyak dari pada kayu gubal. Kandungan zat ekstraktif dalam kayu biasanya kurang dari 10% (Sjostrom, 1995).

Kandungan dan komposisi zat ekstraktif berubah-ubah diantara spesies kayu, dan bahkan terdapat juga variasi dalam satu spesies yang sama tergantung pada tapak geografi dan musim. Sejumlah kayu mengandung senyawa-senyawa yang dapat diekstraksi yang bersifat racun atau mencegah bakteri, jamur dan rayap. Selain itu zat ekstraktif juga dapat memberikan warna dan bau pada kayu (Fengel dan Wegener, 1995).

Kayu juga mengandung komponen-komponen anorganik. Komponen ini diukur sebagai kadar abu yang jumlahnya jarang melebihi 1% dari berat kering kayu. Abu ini berasal terutama dari berbagai garam yang diendapkan dalam dinding sel dan lumen (Sjostrom, 1995). Fengel dan Wegener (1995) menyatakan bahwa komponen abu utama dalam kayu adalah Ca (hingga 50%), K dan Mg, yang diikuti oleh Mn, Na, P dan Cl. Selain itu juga masih terdapat unsur-unsur lain yang disebut sebagai unsur runut dengan konsentrasi di dalam kayu tidak lebih dari 50 ppm.

Mineral tidak hanya terikat dalam diding sel tetapi juga diendapkan dalam rongga sel parenkim dan dalam serat libriform. Endapan mineral kebanyakan terdiri atas kalsium karbonat, kalsium oksalat dan silikat yang mempunyai bentuk yang berbeda-beda. Kristal yang muncul dalam kayu setelah terserang oleh


(37)

jamur atau bakteri disebabkan oleh hasil metabolik mikroorganisme tersebut (Fengel dan Wegener, 1995).

Jamur Phanerochaete chrysosporium Burdsall.

Jamur Phanerochaete chrysosporium Burdsall. termasuk dalam kelompok

jamur pelapuk putih (white-rot fungi), dan merupakan jamur kelas Basidiomisetes

yang juga menyerang holoselulosa, namun pilihan utamanya adalah lignin. Sistematika dari jamur ini selengkapnya adalah kelas Basidiomycetes, sub kelas

Holobasidiomycetes I atau Hymenomycetes I, ordo Aphylophorales, famili

Certiciaceae, genus Phanerochaete dan spesies Phanerochaete chrysosporium

Burdsall (Crawford, 1981).

Jamur ini dapat tumbuh pada suhu optimum 39oC dan maksimum pada suhu 50oC. Laju pertumbuhan pada media agar ekstrak malt pada suhu 25oC adalah 15-20 mm per hari, sedangkan pada suhu 40oC adalah 35-42 mm per hari. Toleransi yang baik terhadap suhu tinggi dan kemampuannya untuk memproduksi spora dalam jumlah besar dari jenis jamur ini menyebabkan perlunya perhatian khusus bila digunakan dalam laboratorium. Merupakan jenis pembusuk putih yang istimewa sehingga banyak dipelajari dan telah digunakan secara komersial pada proses biopulping (Eaton dan Hale, 1993). Singh dan Roymoulik (1996) melaporkan bahwa kemampuan P. chrysosporium dalam

mendegradasi lignin dapat mencapai 7% hingga 30% tergantung dari jenis lignin dan waktu inkubasi. Sedangkan hasil penelitian Widjaja et.al. (2000) adalah

biodelignifikasi menggunakan P chrysosporium pada kayu memberikan derajat

delignifikasi yang lebih tinggi dibanding pinus. Delignifikasi tertinggi 55,02% diperoleh pada hari ke-30 inkubasi pada sengon menggunakan media okara penyangga yang diperkaya dengan media nitrogen terbatas.


(38)

Kemampuan jamur dalam mendegradasi lignin disebabkan karena adanya enzim ekstraseluler yang disekresikan oleh hifa jamur. Menurut Eaton dan Hale (1993) berbagai enzim yang berperan dalam proses degradasi lignin yang disekresikan oleh jamur pelapuk putih adalah lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP), lakase, demetoksilase, H2O2-generating enzyme dan enzim

pendegradasi monomer seperti selobiosa dehidrogenase, asam vanilat hidrolase dan trihidroksi benzen dioksigenase. Namun enzim lignolitik yang utama adalah lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP) dan lakase. Hasil penelitian Koker et al. (1998) pada berbagai strains P.chrysosporium, menunjukkan bahwa

P.chrysosporium mempunyai aktivitas MnP bervariasi antara 0,059-0,180 U/g

medium, aktivitas LiP antara 0,019-0,072 U/g medium, dan aktivitas GLOX (glyoxal oksidase) antara 0,013-0,042 U/g medium.

Gambar 8. Skema penyerangan lignin oleh enzim jamur Phanerochaete chrysosporium (Akhtar et al., 1997)


(39)

Reaksi Degradasi Lignin Oleh Jamur

Proses degradasi lignin oleh jamur dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe prefensi dan tipe simultan. Jamur tipe prefensi akan mendegradasi lignin terlebih dahulu sebelum menguraikan hemiselulosa dan selulosa, sedangkan jamur tipe simultan mampu mendegradasi selulosa, hemiselulosa dan lignin pada waktu dan kecepatan yang sama (Eaton dan Hale, 1993). Mekanisme reaksi delignifikasi enzimatik dijelaskan lebih rinci oleh Hattori dan Shimada (2001), yaitu: ligninase dari Phanerochaete chrysosporium (kemudian disebut

peroxidase) mengkatalis pemutusan ikatan Ca-Cß lignin melalui mekanisme oksidasi satu elektron menghasilkan produk aldehid aromatik dan phenylglycol. Pemutusan selanjutnya adalah ikatan Cß-eter, pembelahan cincin aromatik lignin dan pemutusan ikatan Ca-Cß lignin karbohidrat kompleks. Fengel dan Wegener (1995) juga menyatakan bahwa reaksi-reaksi pemecahan menghasilkan senyawa monomer dan dimer yang kebanyakan mengandung gugus karboksil. Pemecahan cicin aromatik adalah dimaksudkan agar senyawa-senyawa degradasi lignin tersebut dapat masuk ke dalam metabolisme internal jamur. Monomer-monomer lain yang ditemukan sebagai hasil degradasi jamur adalah asam vanilat dan asam veratrat. Skema degradasi lignin oleh jamur pembusuk putih disajikan pada Gambar 9.


(40)

Gambar 9. Skema lignolitik dari jamur pembusuk putih (Kirk dan Cullen, 1998) Zabel dan Morrell (1992) menyatakan bahwa hasil analisis dari lignin sisa degradasi oleh jamur pelapuk putih mengindikasikan hilangnya gugus metoksil dan peningkatan kadar oksigen dan hidroksil. Perubahan struktur utama dari lignin meliputi:

1. Demetilasi

2. Oksidasi dari a atom karbon

3. Pembelahan dari rantai samping antara a dan ß karbon dari unit phenyl propane

C CH2

OCH3 O

C CH2

OCH3 O

C CH2

C

O

O

C

O O

+ C — C


(41)

4. Hidroksilasi dan dioksigenasi pembelahan cincin aromatic

5. Pembelahan langsung dari aryl gliserol-ß-aryl ether

Kapang Trichoderma viride Person and Fries.

Trichoderma viride Person and Fries. adalah kapang yang termasuk dalam

genus trichoderma, famili monialiaceae, ordo moniales dan kelas fungi imperfecti.

Kapang trichoderma mempunyai cirri-ciri spesifik antara lain: miselium bersekat, bercabang banyak, konidiospora berseptat dan cabang paling ujung berfungsi sebagai sterigma, konidia berwarna hijau cerah dan bergerombol menjadi satu membentuk bola, serta berkas-berkas hifa berwarna putih terlihat menonjol jelas diatas konidiospora (Waluyo, 2004).

T.viride merupakan salah satu jamur pelapuk lunak yang memproduksi

komplek enzim selulase yang lengkap yaitu endoselulase dan eksoselulase yang dapat memutus selulosa kristalin. Penelitian mengenai pemisahan komplek

C = C CH2 OCH O C C C = O

OCH3 OH OH C = O C CH2 OH OCH3 O H O OCH3 HO OCH3 O2 O2 O OH O O C C = O C O C


(42)

enzim selulase dari T.viride menunjukkan bahwa terdapat bermacam-macan

endoglukanase antara lain EG I dan EG II, dan eksoglukanase yaitu antara lain selobiohidrolase, CBH I dan CBH II. Hal ini menunjukkan bahwa T.viride memiliki

kemampuan untuk mendegradasi selulosa kristalin dan selulosa non kristalin. Pada enzim selulase T.viride dapat terjadi sinergisme, bukan hanya antara

endoselulase dengan eksoselulase, melainkan juga antar eksoselulase (Eaton dan Hale, 1993).

Karakteristik enzim selulase dari T.viride adalah memiliki pH optimum 4 dan

akan tetap stabil pada pH antara 3-7. Suhu optimum adalah 50oC dan aktivitasnya akan menurun bila suhunya lebih dari 50oC. Berat molekul endoselulase yang dihasilkan oleh T.viride adalah 42000 dalton, eksoselulase

61000 dalton dan C1 (enzim yang mendegradasi struktur selulosa kristalin) sebesar 60000 dalton (Fengel dan Wegener, 1995). Aktivitas enzim selulase dari

T.viride tipe QM6a adalah sebesar 2,6 U/mg sedangkan T.viride tipe QM9123

adalah sebesar 5 U/mg (Mandels et al., 1971).

Selain memproduksi enzim selulase, T.viride juga menghasilkan enzim

endo-1,4-β-xilanase yang dapat mendegradasi xilan. Berat molekul enzim xilanase yang dihasilkan oleh T.viride adalah sebesar 22000 dalton (Ujiie et al.,

1991).

Yeast Saccharomyces cerevisiae Meyen ex Hansen.

Yeast atau khamir Saccharomyces cerevisiae biasa digunakan untuk

membuat roti, anggur dan bir. S. cerevisiae termasuk kedalam kelas

Ascomycetes yang dicirikan dengan pembentukan askus yang merupakan tempat dihasilkannya askospora. S. cerevisiae memperbanyak diri secara


(43)

saccharomyses terdiri dari komponen-komponen glukan, mannan, protein, khitin

dan lemak (Waluyo, 2004). Boyles (1984) menyatakan bahwa untuk setiap mol glukosa yang dikonsumsi, S. cerevisiae menghasilkan entalpi katabolisme

sebesar –31 Kkal, energi bebas dari hidrolisis ATP (2 mol) sebesar –14,6 Kkal dan entalpi untuk sintesis selnya hanya 0,23 Kkal. Entalpi dari metabolisme sebagian besar dihabiskan pada aliran keluar entropy dan hanya sedikit yang digunakan untuk sintesis materi sel.

Saccharomyces cerevisiae sangat tahan dan toleran terhadap kadar etanol

yang tinggi. Akan tetapi adanya kandungan furaldehid, asam organik dan komponen fenolik (hasil samping hidrolisis asam selulosa) dapat menghambat pertumbuhan S. cerevisiae, bahkan kandungan yang tinggi dari furaldehid,

furfural dan 5-hidroksimetil-furfural dapat bersifat meracuni (Brandberg et al.,

2004). Hasil penelitian Samsuri et al. (2005) pada fermentasi bagase yang diberi

perlakuan awal steam dan penjamuran dengan menggunakan S. cerevisiae

dapat menghasilkan etanol sebanyak 15,4 g/l.

Rendemen alkohol dari hexosa dalam fermentasi menggunakan yeast dari genus Saccharomyces (pada kondisi yang optimal) dapat mencapai 90% (Boyles, 1984). Hal yang menarik dari proses fermentasi oleh Saccharomyces adalah pengubahan sebagian besar energi dari gula ke dalam bentuk etanol. Efisiensi pengubahan energi tersebut dapat mencapai 97% (Cambel, 1983). Selain yeast S. cerevisiae, bakteri Zymomonas mobilis juga merupakan salah

satu bakteri yang efektif dalam fermentasi etanol, akan tetapi rendemen etanol yang dihasilkan masih lebih sedikit dibanding yeast karena bakteri tersebut juga menghasilkan sejumlah produk lain seperti asetat, laktat dan gliserol.


(44)

Proses sakarifikasi fermentasi simultan adalah proses kombinasi antara hidrolisis selulosa secara enzimatik dengan fermentasi gula yang berkelanjutan sehingga menghasilkan produk akhir berupa etanol. Tahapan-tahapan dalam proses sakarifikasi fermentasi simultan adalah sama dengan tahapan pada hidrolisis dan fermentasi secara terpisah, hanya pada proses sakarifikasi fermentasi simultan ini kedua proses tersebut berlangsung dalam 1 reaktor yang sama. Yeast secara langsung menfermentasi produk gula yang dihasilkan dari proses hidrolisis oleh komplek enzim selulolitik, sehingga laju sakarifikasi dan rendemen etanol yang dihasilkan akan lebih tinggi jika dibanding hasil proses sakarifikasi dan fermentasi yang terpisah. Keunggulan lain dari proses sakarifikasi fermentasi simultan adalah penggunaan reaktor tunggal untuk seluruh proses, sehingga dapat menekan biaya investasi alat. Selain itu adanya etanol (hasil fermentasi) di dalam media menyebabkan media tidak mudah terkontaminasi oleh organisme lain yang tidak diinginkan (Ballesteros et al.,

2004).

Proses sakarifikasi selulosa dan hemiselulosa dalam kayu menjadi gula dapat dilakukan dengan hidrolisis enzimatik atau dengan menggunakan asam. Jenis enzim yang berperan dalam hidrolisis tersebut adalah komplek selulase dan hemiselulase (xilanase galaktanase dan mananase). Selulase adalah suatu komplek enzim yang terdiri dari beberapa enzim yang berkerja secara bertahap ataupun bersama-sama menguraikan selulosa menjadi glukosa.

Enari (1983) menyatakan bahwa pada proses hidrolisis selulosa ada 3 enzim yang bekerja secara bertahap, yaitu: selobiohidrolase, endoglukonase dan

β-glukosidase dengan tahapan kerja sebagai berikut:

1. Endoglukonase menghidrolisis ikatan glikosidik 1-4 secara acak dan bekerja terutama pada daerah amorf dari serat selulosa.


(45)

2. Selobiohidrolase menyerang ujung rantai selulosa non pereduksi dan menghasilkan selobiosa. Selain itu enzim ini dapat menghidrolisis selodekstrin tetapi tidak menyerang selobiosa.

3. β-glukosidase menghidrolisis selobiosa dan selooligomer-selooligiomer pendek lainnya menjadi glukosa.

Gambar 10. Mekanisme hidrolisis enzim selulase (Miyamoto, 1997)

Secara biokimia fermentasi diartikan sebagai pembentukan energi melalui senyawa organik, sedangkan pengertian dalam bidang industri fermentasi adalah suatu proses untuk mengubah bahan dasar menjadi suatu produk oleh massa sel mikrobia. Aplikasi proses fermentasi selalu terdiri dari 6 bagian utama proses, yaitu: formulasi medium, sterilisasi, produksi starter, pemeliharaan pertumbuhan mikroorganisme, pemanenan dan pemurnian produk, serta pembuangan limbah

• n Daerah

Kristalin

Daerah Amorf


(46)

(Wibowo, 1990). Monomer gula dapat diubah secara anaerobik menjadi alkohol oleh bermacam-macam mikroorganisme. Fermentasi gula sederhana (sukrosa dan glukosa) menjadi etanol memiliki persamaan stoikiometri, yaitu:

C12H22O11 + H2O 4 C2H5OH + 4 CO2 C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2


(47)

BAHAN DAN METODOE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fermentasi Departemen Biokimia IPB, Laboratorium Bioteknologi Hutan Departemen Budidaya Hutan UGM dan Laboratorium Kimia dan Serat Kayu Departemen Teknologi Hasil Hutan UGM. Waktu pelaksanaan penelitian adalah dari bulan Oktober 2005 sampai dengan bulan Mei 2006.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk 3 jenis kayu, yaitu : meranti, jati dan sengon yang diperoleh dari berbagai industri kayu atau penggergajian kayu di daerah Jogjakarta. Jamur pelapuk putih yaitu spesies

Phanerochaete chrysosporium Burdsall. tipe NRRL 6361 yang diperoleh dari

Laboratorium Mikologi, Fakultas Biologi IPB, kapang Trichoderma viride Person

and Fries tipe CBS 392.92 dan yeast Saccharomyces cerevisiae Meyen ex

Hansen, tipe # 254 (red star) yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi, PAU

Pangan dan Gizi UGM. Bahan kimia untuk mengisolasi komponen kimia kayu antara lain: alkohol, benzene, NaOH, HCl, KOH, CH3COOH, Na2SO3 dan H2SO4 . Bahan kimia untuk pengujian aktivitas enzim antara lain: reagen somoygi-nelson dan reagensia arsenomolibdat.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi autoklaf, tabung reaksi atau cawan petri, peralatan pengujian komponen kimia kayu (soxhlett, penangas air, pompa vacum), oven, timbangan analitik, shaker inkubator, spektrofotometer, sentrifus, ayakan 40 dan 60 mesh dan kromatografi gas model 263-50.


(48)

Prosedur Pelaksanaan Persiapan penelitian

Serbuk kayu yang akan digunakan terlebih dahulu diayak dengan ukuran lolos 40 mesh tertahan 60 mesh, dikering udarakan dan dianalisis komponen kimianya yaitu : selulosa (TAPPI T17 wd-70), holoselulosa, lignin dan ekstraktif (ASTM D-1102 s.d 1110).

a. Ekstraktif

Sebanyak 2 g sampel serbuk kayu dimasukkan dalam cawan saring. Selanjutnya cawan saring seisinya dimasukkan dalam soxhlett sedemikian

sehingga ujung cawan saring lebih tinggi dari ujung sifon dan sampel didalamnya lebih rendah dari titik ini. Cawan saring lalu ditutup dengan sepotong saringan dari logam agar tidak ada serbuk yang hilang. Ekstraksi dilakukan dengan 200 ml alkohol benzen (alkohol : benzen = 1 : 2) selama 4-6 jam. Sesudah selesai, cawan saring itu dikeluarkan dari soxhlett dan dihisap dengan pompa vakum

hingga isinya kering. Kemudian dicuci dengan alkohol untuk menghilangkan benzen dan dihisap lagi dengan pompa vakum. Selanjutnya cawan saring dan isinya dikeringkan dalam tanur pada suhu 100-1050C dan ditimbang sampai beratnya konstan. % 100 tan ker tan ker % = − × ur ing berat ur ing berat awal berat ekstraktif kadar

b. Abu

Sebanyak 2 g (± 0,1 g) serbuk dimasukkan kedalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya. Selanjutnya ditempatkan dalam tanur pada suhu 600ºC selama 4 jam. Setelah 4 jam, untuk menyempurnakan pembakaran, tutup tanur dibuka selama kurang lebih 1 menit sehingga sampel berubah menjadi abu secara sempurna. Setelah itu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sampai beratnya konstan .


(49)

% 100 % = × awal berat abu berat abu kadar

c. Holoselulosa

Sebanyak 0,70 g (± 0,05 g) serbuk bebas ekstraktif dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 10 ml larutan A (60 ml HCl + 20 g NaOH, ditambahkan aquades hingga 1000 ml) dan secara hati-hati dimasukkan pula 1 ml larutan B (200 g NaClO2 dalam 1000 ml aquades). Erlenmeyer dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu 70 ± 20C dan digoyang setiap 30 menit. Pada menit ke 45, 90, dan 150, ditambahkan 1 ml larutan B dan erlenmeyer digoyang-goyang setiap penambahan larutan B. Sesudah 4 jam, erlenmeyer dimasukkan ke dalam penangas air es dan ditambahkan 15 ml aquades es. Seluruh isi erlenmeyer disaring menggunakan cawan saring yang sudah diketahui berat kosongnya. Untuk membersihkan seluruh isi erlenmeyer, dilakukan pencucian dengan 100 ml larutan asam asetat 1%. Cawan saring dihisap dan dicuci dengan 2-5 ml aseton yang dibiarkan menetes keluar karena beratnya, kemudian dihisap lagi selama 3 menit. Selanjutnya cawan saring beserta isinya dikeringkan dalam tanur pada suhu 100-1050C dan ditimbang sampai beratnya konstan.

% 100 % = × ekstraktif bebas serbuk berat sa holoselulo berat sa holoselulo kadar

d. Selulosa (TAPPI T17 wd-70)

Ke dalam Erlenmeyer 300 ml yang berisi 2 g serbuk bebas ekstraktif ditambahkan 125 ml HNO3 3,5%. Kemudian diekstrak pada waterbath dengan suhu 80oC selama 12 jam. Setelah itu serbuk disaring dengan cawan saring dan dikering udarakan. Cawan saring dimasukkan ke dalam gelas piala 200 ml dan ditambahkan 125 ml larutan NaOH+Na2SO3 (20:20 g dalam 1 lt). Selanjutnya


(50)

diekstrak pada suhu 50oC selama 2 jam. Setelah itu serbuk kayu dikeluarkan dari gelas piala, disaring dan ditambahkan NaClO2 10% sampai berwarna putih. Setelah serbuk berwarna putih, ditambahkan 100 ml CH3COOH 10% dan dicuci sampai bebas asam. Terakhir ditambahkan 50 ml etanol (C2H5OH). Kemudian cawan saring beserta isinya dikeringkan dalam tanur pada suhu 100-1050C dan timbang sampai beratnya konstan.

% 100 % = × ekstraktif bebas serbuk berat selulosa berat selulosa kadar

e. Lignin

Sebanyak 1 g (± 0,1 g) serbuk bebas ekstraktif dipindahkan ke dalam gelas piala ukuran 1000 ml dan dicernakan dengan 400 ml air panas di atas penangas air 1000C selama 3 jam. Setelah itu serbuk disaring dengan cawan saring dan dibiarkan kering. Setelah kering dipindahkan ke dalam gelas piala dan ditutup dengan gelas arloji. Dengan perlahan sambil diaduk ditambahkan 15 ml H2SO4 72%, lalu didiamkan selama 2 jam dengan sering diaduk. Setelah 2 jam serbuk dicuci dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 1000 ml. Selanjutnya konsentrasi asam dibuat menjadi 3% dengan menambahkan 560 ml aquades. Larutan tersebut lalu didihkan di bawah pendingin tegak selama 4 jam dan diusahakan agar volume tetap dengan menambah air panas sewaktu-waktu. Setelah bahan-bahan yang tidak larut dibiarkan mengendap dan disaring dengan cawan saring, kemudian cawan saring tersebut dicuci dengan air panas hingga bebas dari asam. Cawan saring beserta isinya dikeringkan dalam tanur pada suhu 100-1050C dan ditimbang hingga beratnya konstan.

% 100 % = × ekstraktif bebas serbuk berat lignin berat lignin kadar

Selanjutnya dilakukan pula analisis struktur lignin dari ketiga jenis kayu menggunakan prosedur oksidasi nitrobenzena seperti direkomendasikan oleh


(51)

Meshizuka dalam Syafii et al. (1988) yaitu sebagai berikut: kurang lebih 50 mg

serbuk bebar ekstraktif dioksidasi dengan 0,24 ml nitrobenzene dan 4 ml KOH 2 N pada tabung stainless steel selama 2 jam pada suhu 160oC. Setelah 2 jam untuk menghentikan oksidasi, tabung stainless steel dengan segera didinginkan pada air yang mengalir untuk menghentikan reaksi. Selanjutnya isinya disaring. Produk oksidasi yang masih tersisa di dalam tabung dicuci dengan sedikit KOH 0,1 N. Kemudian unsur nitrogen dihilangkan dari larutan alkali dengan menggunakan kloroform. pH larutan alkali ditetapkan sebesar 2,5 dengan menambahkan HCl 1 N. Selanjutnya larutan diekstrak dengan 30 ml kloroform dan ekstraksi diulang sebanyak 4 kali. Selanjutntya ekstrak dianalisis kuantitatif dengan kromatografi gas pada kondisi sebagai berikut: detektor FID, kolom carbowax/PEG, panjang kolom 2 m, diameter 0,4 cm, suhu detektor 200oC, suhu injektor 20oC, suhu kolom 80-180oC (suhu terprogram 5oC/menit dengan enahanan 5 menit), kecepatan gas pembawa N2 30 ml/menit, gas pembakar H2 1 kg/cm2 dan udara 1kg/cm2. Range 102 dan attenuasi 8. Recorder : integrator C-R6A.

Penyerangan jamur Phanerochaete chrysosporium Burdsall.

Isolat jamur diperbanyak dalam 10 ml media PDA dan ditumbuhkan selama 6 hari. Setelah itu ke dalam tabung dimasukkan 10 ml aquades steril dan suspensi spora tersebut kemudian dimasukkan ke dalam masing-masing serbuk kayu kering udara ukuran lolos 40 mesh tertahan 60 mesh sebanyak 30 g (berdasar BKT) yang telah disterilisasi. Selain itu untuk meningkatkan kadar air serbuk hingga sesuai dengan kondisi pertumbuhan jamur (60-90%) ditambahkan pula 50 ml aquades steril. Serbuk yang telah diberi suspensi jamur kemudian diinkubasi pada suhu 35-40oC selama 10, 20 dan 30 hari. Setelah inkubasi,


(52)

dilakukan analisis komponen kimia serbuk kayu (selulosa, hemiselulosa, lignin dan ekstraktif dan abu).

Produksi enzim.

T.viride digoreskan dalam media PDA yang dibuat miring pada tabung

reaksi dan dibiarkan tumbuh pada suhu kamar selama 5 hari. Setelah itu ke dalam tabung dimasukkan 10 ml aquades steril sehingga diperoleh suspensi spora. Sebanyak 10% (v/v) suspensi dipipet dan dimasukkan ke dalam 100 ml media cair yang terdiri dari quades 1 l, (NH4)2SO4 10%, KH2PO4, urea 70%, CaCl2 10%, MgSO4.7H2O 10%, larutan mineral 1 ml dan tween 80 dan ditambahkan selulosa teknis sebanyak 1 g serta 0,1 g proteosa pepton pada erlenmeyer 100 ml. Erlenmeyer ditutup dengan kapas yang dilapisi kain kasa, lalu ditempatkan pada shaker inkubator dengan kecepatan 5 rpm pada suhu 28 o

C, dan diinkubasi selama 10 hari (Jeffries, 1987). Pada akhir masa inkubasi, enzim yang dihasilkan dipanen dengan cara memisahkan miselium dari filtrat menggunakan penyaring vakum yang dilengkapi pompa vakum. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap aktivitas FP-ase dengan metode Somogyi-Nelson pada suhu 30oC dan pH 5, yaitu sebagai berikut: sebanyak 0,5 ml filtrat enzim dan 1 ml buffer dimasukkan dalam tabung reaksi dan ditambahkan 50 mg kertas saring whatman no 1. Campuran tersebut lalu divorteks dan diinkubasi selama 60 menit pada suhu 30oC. Setelah itu 1 ml larutan dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang bersih. Kedalamnya lalu ditambahkan 1 ml reagensia nelson dan dipanaskan pada penangas air mendidih selama 20 menit. Setelah 20 menit tabung segera didinginkan hingga suhu mencapai 25oC. Setelah dingin ditambahkan 1 ml reagensia arsenomolibdat, lalu digojog sampai semua endapan Cu2O yang ada larut kembali. Kemudian ditambahkan 7 ml air suling dan digojok lagi sampai homogen. Larutan tersebut selanjutnya ditera optical


(53)

dencitynya (OD) pada panjang gelombang (λ) 540 nm. Kontrol dibuat dari 50 mg kertas saring whatman no 1, dalam 1 ml buffer dan 0,5 ml enzim tanpa inkubasi. Blanko terdiri atas 1,5 ml buffer dan 50 mg kertas saring whatman no 1.

Satu unit (U) aktivitas enzim adalah banyaknya enzim yang memproduksi 1 µmol glukosa dalam 1 menit, yang dihitung berdasarkan persamaan berikut :

(

)

enzim ml glukosa mg

FPase

) (

0925 , 0 )

( ×

=

Persiapan inokulum yeast

Isolat yeast Saccharomyces cerevisiae diperbanyak dalam 10 ml media

PDY dan ditumbuhkan selama 1-2 hari (digunakan sebagai stok kultur). Setelah itu isolat ditumbuhkan lagi pada 50 ml media yang terdiri dari glukosa 10 g/l, yeast ekstrak 1 g/l, KH2PO4 0,1 g/l, MgSO4.7H2O 0,1 g/l dan (NH4)2SO4 0,1 g/l, di dalam erlenmeyer 200 ml. Inkubasi dilakukan pada shaker berkecepatan 12 rpm dengan suhu 30oC selama 24 jam.

Sakarifikasi Fermentasi Simultan

Kondisi proses sakarifikasi fermentasi secara simultan adalah mengikuti kondisi optimal hasil penelitian Itoh et al. (2003) yang dimodifikasi. Media

sakarifikasi fermentasi (sebanyak kurang lebih 200 ml) adalah terdiri dari: serbuk kayu yang telah diberi perlakuan jamur P. chrysosporium (biodelignifikasi)

sebanyak 10 g BKT, media nutrient 50 ml (yang terdiri atas (NH4)2HPO4 1 g/l, MgSO4.7H2O 0,05 g/l dan yeast ekstrak 2 g/l), enzim selulase 5 FPU, 10% (v/v) inokulum yeast S.cerevisiae, dan 2 ml buffer Na-sitrat (pH 4,8). Serbuk kayu,

media nutrien dan buffer diautoklaf selama 20 menit pada suhu 121oC. Larutan enzim selulase dan inokulum yeast ditambahkan tanpa sterilisasi terlebih dahulu. Media tersebut kemudian dimasukkan ke dalam labu fermentasi yang dilengkapi


(54)

penutup berleher angsa. Sakarifikasi fermentasi dilakukan pada shaker berkecepatan 12 rpm dengan suhu 30oC selama 72 jam.

Analisis kuantitatif etanol

Sampel dari kultur disentrifugasi dengan kecepatan 4000 g pada suhu 4oC selama 10 menit, dan supernatan yang diperoleh dianalisis kandungan etanolnya. Analisis kuantitatif etanol dilakukan menggunakan kromatografi gas pada kondisi sebagai berikut: detector FID, kolom 15% carbowax – 20 m, panjang kolom 2 m, diameter 0,4 cm, suhu detektor 120oC, suhu injektor 120oC, suhu kolom 80oC, kecepatan gas pembawa N2 30 ml/menit, gas pembakar H2 1 kg/cm2 dan udara 1kg/cm2. Range : 102 dan attenuasi 8. Recorder integrator C-R6A.

Sebelumnya dibuat juga larutan standar etanol dengan konsentrasi masing-masing 39,0625; 78,125; 156,25; 234,375; 312,5 dan 781,25 ppm dari stok 2,5% untuk membuat kurva standar konsentrasi etanol. Larutan standar maupun sampel diinjeksikan sebanyak 1 µl ke alat gas kromatografi pada kondisi yang sama.

Penentuan kadar etanol dilakukan dengan membandingkan luas puncak sample dengan kurva standar etanol. Kadar etanol yang terdapat dalam sample dihitung dengan menggunakan persamaan kurva standar:

2

2 ( )

c c n x c cx n m ∑ − ∑ ∑ ∑ − ∑ = 2 2 2

)

(

c

c

n

cx

c

x

c

i

=


(55)

Secara keseluruhan kegiatan penelitian disajikan dalam bagan alir berikut :

Analisis kerja

enzim :

Analisis kimia serbuk

+ Analisis struktur

Penumbuhan jamur P. Chrysosporium pada

media PDA

Analisis kimia sebuk Serbuk kayu (limbah) dari kayu

Jati, Meranti dan Sengon

Serbuk ukuran lolos 40 mesh tertahan 60 mesh

Pengayak

Produksi enzim selulase dari Trichoderma viride

Sakarifikasi-fermentasi secara simultan selama

72 jam

Pengukuran kadar etanol dengan kromatografi gas

Inokulasi yeast Saccharomyces cerevisiae Diserangkan jamur

P. chrysosporium dan diinkubasi selama 10, 20 dan 30 hari


(56)

Analisis Hasil

Kebenaran dari hipotesis dari hasil penelitian ini akan diuji dengan menggunakan rancangan penelitian acak lengkap (Completly Randomized

Design) yang disusun secara faktorial. Faktor–faktor yang digunakan adalah :

A. Jenis serbuk kayu, yaitu: sengon, meranti dan jati.

B. Lama waktu inkubasi, yaitu: 0, 10, 20 dan 30 hari. Lama waktu inkubasi 0 hari selanjutnya disebut juga sebaga kontrol.

Model umum dari rancangan penelitian acak lengkap faktorial adalah: Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + εijk

Keterangan :

Yijk = respon yang diteliti µ = nilai rata-rata perlakuan Ai = pengaruh jenis serbuk

Bj = pengaruh lama waktu inkubasi

ABij = pengaruh interaksi antara jenis serbuk dan lama waktu inkubasi εijk = pengaruh galat

Dari kedua faktor tersebut diperoleh 12 kombinasi perlakuan dengan ulangan sebanyak 3 kali. Jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 3 x 4 x 3 = 36 sampel. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah: kadar air, kadar ekstraktif, kadar holoselulosa, kadar selulosa, kadar hemiselulosa, kadar lignin, kadar abu dan kadar etanol.

Faktor yang berbeda nyata a = 5% dan sangat nyata a = 1% pada hasil analisis keragaman dengan uji F, dilakukan uji analisis lanjutan secara terpisah, yaitu diuji dengan uji BNJ (Beda Nyata Jujur) untuk mengetahui pada taraf-taraf mana faktor tersebut menunjukkan perbedaan yang nyata. Model umum uji BNJ adalah sebagai berikut:

BNJ = Q

K;k(m-1);

α

.

KTE

/

m

Keterangan :

KTE = kesalahan rata-rata kuadrat pada anova m = jumlah sampel pada setiap perlakuan k = jumlah perlakuan


(57)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Jamur Phanerochaete chrysosporium Burdsall.

Isolat jamur Phanerochaete chrysosporium Burdsall. yang digunakan pada

penelitian ini ditumbuhkan pada 10 ml media PDA dengan kondisi suhu 35-40oC. Pada umur 6 hari pertumbuhan miselia dan sprora jamur telah memenuhi seluruh permukaan media (Gambar 11). Isolat dengan pertumbuhan yang kurang baik tidak digunakan sebagai sumber spora yang diserangkan terhadap serbuk kayu. Jumlah spora yang diserangkan pada 30 g BKT serbuk kayu adalah 1,12.108.

Gambar 11. Isolat P. chrysosporium umur 6 hari pada media PDA. Tanda merah menunjukkan isolat yang tidak digunakan sebagai sumber spora.

Setelah waktu inkubasi 10, 20 dan 30 hari spora P. chrysosporium pada

serbuk kayu , secara visual tampak bahwa pertumbuhan jamur yang paling banyak adalah pada serbuk kayu sengon, kemudian pada serbuk kayu jati dan paling sedikit pada serbuk kayu meranti (Gambar 12). Pada selang inkubasi 10 hari, pertumbuhan P. chrysosporium pada serbuk kayu sengon hanya sedikit

yaitu pada permukaan serbuk, sedangkan pada selang inkubasi selama 20 dan 30 hari jumlah pertumbuhannya hampir sama yaitu telah memenuhi permukaan serbuk dan juga pada bagian dalam. Pada serbuk kayu jati dan meranti


(58)

pertumbuhan miseliaP. chrysosporium, baik pada waktu inkubasi 10, 20 maupun

30 hari, adalah sangat tipis dan jumlahnya hanya sedikit yaitu hanya pada bagian permukaan serbuk kayu.

Lambatnya pertumbuhan jamur pada serbuk kayu meranti dikarenakan lignin kayu meranti, yang digunakan sebagai sumber karbon untuk proses metabolisme sekunder oleh jamur, memiliki nilai S/G rasio yang rendah, yaitu 1,87 (Syafii, 2001). Hal ini berarti bahwa lignin kayu meranti memiliki kandungan guaiasil yang tinggi. Guaiasil lignin sulit didegradasi oleh jamur karena memiliki struktur bifenil yang tinggi dengan gugus-gugus fenol yang lebih tahan terhadap pembentukan radikal-radikal fenoksi dari jamur (Fengel dan Wegener, 1995). Selain itu kadar ekstraktif yang tinggi dari serbuk kayu meranti dan jati yang digunakan, yaitu berturut-turut 5,96% dan 5,43% diduga juga ikut berperan sebagai penyebab tidak tumbuhnya jamur P. chrysosporium dengan baik. Fengel

dan Wegener (1995) menyatakan bahwa sejumlah kayu mengandung senyawa-senyawa ekstraktif yang dapat bersifat racun atau mencegah pertumbuhan bakteri, jamur dan rayap.

Gambar 12. Kondisi serbuk kayu sebelum diberi perlakuan jamur dan setelah 30 hari waktu inkubasi dengan jamur P. chrysosporium. S=sengon, J=jati, M=meranti.


(59)

Pertumbuhan miselia jamur paling banyak adalah pada bagian permukaan, sedangkan pada bagian dalam hanya sedikit. Hal ini diduga karena pada bagian dalam tumpukan serbuk tidak terdapat cukup udara untuk proses respirasi jamur. Pada permukaan serbuk yang banyak ditumbuhi miselia jamur, tampak warna serbuk kayu menjadi lebih gelap dibanding normal, hal ini terjadi karena jamur menggunakan selulosa kayu sebagai sumber karbon, sehingga terjadi akumulasi lignin pada lapisan atas serbuk ditempat tumbuhnya jamur. Jamur P.

chrysosporium dapat mensintesis enzim selulase yang diinduksi oleh keberadaan

selulosa dan ditekan oleh keberadaan glukosa pada tempat tumbuhnya (Bruce dan Palfreyman, 1998). Pernyataan ini juga didukung oleh Teeri et al. (1998)

yaitu jamur P. chrysosporium mempunyai kemampuan mendegradasi selobiosa

dengan memproduksi 2 tipe enzim selobiohidrolase Cel7A (CBH I) yang mendegradasi selulosa dari ujung reduksi dan Cel6A (CBH II) yang mendegradasi selulosa dari ujung non reduksi.

Kandungan Kimia Kayu

Sebelum dan setelah diberi perlakuan dengan jamur P. chrysosporium

dilakukan analisis terhadap kandungan kimia masing-masing serbuk kayu. Rata-rata hasil analisis kandungan kimia serbuk kayu disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2, sedangkan data lengkap hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 1.

Tabel 1. Nilai rata-rata kadar ekstraktif, kadar abu dan kadar lignin kayu (%).

Sengon Meranti Jati

Sifat Kimia 0

(kontrol) 10 20 30

0

(kontrol) 10 20 30

0

(kontrol) 10 20 30

Kadar

ekstraktif 1,88 9,78 6,34 11,14 5,96 13,12 6,48 8,92 5,43 4,76 5,13 4,85

Kadar lignin 24,69 21,58 24,07 22,19 27,38 28,45 29,45 34,34 29,46 29,14 28,59 28,97


(60)

Tabel 2. Nilai rata-rata kandar holoselulosa, kadar hemiselulosa, dan kadar selulosa kayu (%).

Sengon Meranti Jati

Sifat Kimia

0

(kontrol) 10 20 30

0

(kontrol) 10 20 30

0

(kontrol) 10 20 30

Kadar

holoselulosa 75,76 75,90 77,50 76,12 78,78 74,77 81,28 74,50 77,46 79,23 81,80 74,43

Kadar

hemiselulosa 26,36 36,77 23,87 34,04 34,35 34,61 38,91 32,16 31,80 35,88 38,84 31,93

Kadar selulosa 49,4a 39,13 53,63 42,07 44,43 40,17 42,37 42,34 45,67 43,35 42,96 42,50

a. Data diambil dari Martawijaya et al. (1989)

Grafik perubahan kandungan kimia kayu yang terjadi selama waktu inkubasi pada berbagai jenis serbuk kayu selengkapnya disajikan pada Gambar 13.

Kadar Kimia Kayu Sengon

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 10 20 30

Hari Kadar (%) Kadar Ekstraktif Kadar Holoselulosa Kadar Hemiselulosa Kadar Selulosa Kadar Lignin Kadar Abu A.


(61)

Kadar Kimia Kayu Meranti 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 10 20 30

Hari Kadar (%) Kadar Ekstraktif Kadar Holoselulosa Kadar Hemiselulosa Kadar Selulosa Kadar Lignin Kadar Abu

Kadar Kimia Kayu Jati

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 10 20 30

Hari Kadar (%) Kadar Ekstraktif Kadar Holoselulosa Kadar Hemiselulosa Kadar Selulosa Kadar Lignin Kadar Abu

Gambar 13. A. Grafik kadar kimia kayu serbuk kayu sengon. B. Grafik kadar kimia kayu serbuk kayu meranti. C. Grafik kadar kimia kayu serbuk kayu jati.

B.


(1)

Lanjutan Lampiran 3.


(2)

Lanjutan Lampiran 3.


(3)

Lanjutan Lampiran 3.


(4)

Lampiran 4. Aktivitas FP-ase Enzim Kasar T.viride

Glukosa Standar (panjang gelombang : 540 nm)

X (mg/ml) Y (absorbansi)

0 0,035

0,02 0,185

0,04 0,335

0,06 0,47

0,08 0,64

0,1 0,79

Grafik Standar Glukosa

0,035 0,185 0,335 0,47 0,64 0,79 y = 7,3602x+0,0576

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9

0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1

Konsentrasi (mg/ml) Absorbansi Hasil Pengukuran Ulangan Absorbansi (540nm) Kadar gula FPase(U/ml menit)

1 0,736 0,124 0,028305385

0,346 0,166 ˜ 0,028

2 0,892 0,152

0,389 0,189

3 0,813 0,138

0,372 0,180

Blanko 0,060 0,004

0,087 0,007


(5)

Lampiran 5. Hasil dan Analisis Kadar Etanol

Kode K.Etanol

(ppm)

Luas

area Kode

Luas area K.Etanol (g/l) K.Etanol (g/g)

Standar 1 39,0625 132 S.0.1 44 0,014 0,00036

Standar 2 78,125 262 S.0.2 991 0,288 0,00734

Standar 3 156,25 528 S.0.3 24 0,008 0,00021

Standar 4 234,375 822 S.10.1 795 0,231 0,00618 Standar 5 312,5 1067 S.10.2 tidak muncul puncak

Standar 6 781,25 2713 S.10.3 285 0,084 0,00224 S.20.1 31 0,010 0,00028 S.20.2 119 0,036 0,00096 S.20.3 86 0,026 0,00070 S.30.1 1729 0,502 0,01357 S.30.2 1623 0,471 0,01274 S.30.3 1282 0,372 0,01007 M.0.1 5 0,003 0,00007 M.0.2 1096 0,318 0,00813 M.0.3 1326 0,385 0,00982 M.10.1 424 0,124 0,00326 M.10.2 tidak muncul puncak

M.10.3 tidak muncul puncak

M.20.1 288 0,085 0,00225 Kurva Standar Etanol

y = 3,4574x - 5,03

0 200 400 600 800 1000 1200

39,0625 78,125 156,25 234,375 312,5

Kadar etanol (ppm)

Luas area

M.20.2 1798 0,522 0,01386

Keterangan : M.20.3 1672 0,485 0,01289

S : sengon 0 : 0 hari M.30.1 119 0,036 0,00095 M : meranti 10 : 10 hari M.30.2 24 0,008 0,00022

J : jati 20 : 20 hari M.30.3 13 0,005 0,00014

30 : 30 hari J.0.1 71 0,022 0,00056

J.0.2 796 0,232 0,00590 J.0.3 881 0,256 0,00653 J.10.1 649 0,189 0,00508 J.10.2 31 0,010 0,00028 J.10.3 944 0,275 0,00737 J.20.1 1563 0,454 0,01211 J.20.2 1092 0,317 0,00847 J.20.3 560 0,163 0,00436 J.30.1 638 0,186 0,00494 J.30.2 479 0,140 0,00372 J.30.3 20 0,007 0,00019


(6)

Lampiran 6. Hasil Analisis Varian Kadar Etanol

Sumber variasi JK db KT F Sig.

Jenis serbuk (A) 103,277 2 51,639 0,003 0,997 Waktu inkubasi (B) 29758,056 3 9919,352 0,519 0,674 Interaksi: A*B 536390,610 6 89398,435 4,674 0,004

Error 401696,586 21 19128,408

Total 2157510,003 33

Total Koreksi 967467,470 32 R Squared = 0,585 (Adjusted R Squared = 0,367)

Lampiran 7. Hasil Analisis Regresi Kadar Kimia Kayu vs Etanol

Model t Sig.

Kadar air 0,660 0,515

Kadar ekstraktif 0,502 0,620

Kadar abu 0,674 0,506

Kadar holoselulosa 4,869 0,000

Kadar hemiselulosa 0,224 0,824

Kadar selulosa -0,268 0,791

Kadar lignin 0,152 0,880

Ringkasan Model Holoselulosa

Model R R Kuadrat Adj R Kuadrat Std. Error Estimasi

1 0,677 0,459 0,439 123,2519

a Prediktor: Kadar Holoselulosa

ANOVA

Model Jumlah Kuadrat df Kuadrat

Tengah F Sig.

1 Regresi 360173,489 1 360173,489 23,710 0,000

Sisa 425348,658 28 15191,023

Total 785522,147 29

a Prediktor: Kadar Holoselulosa b Variabel terikat: Kadar Etanol