Pendekatan hirarki spasial sistem lahan dalam evaluasi lahan pertanian terkomputer

Lahan merupakan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh

manusia dan mahluk hidup lainnya untuk tempat me-

lakukan segala macam kegiatan. Pada dasarnya lahan meniliki daya dukung tertentu, yaitu kemampuan lahan untuk mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. Apabila penggunaan lahan melebihi kemampuannya, maka lahan akan
terancam rusak dan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.
Pada ahirnya lehan tersebut tidak dapat digunakan lagi oleh
generasi mendatang. Untuk menghindari ha1 tersebut maka
penggunaan lahan h a m s direncanakan dan ditata sebaik mungkin yang didasarkan pada kualitas dan daya dukungnya, serta
didukung oleh teknologi yang sesuai.
Daerah aliran sungai adalah wilayah yang terletak di
atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh batas-batas
topografi mengalirkan air yang jatuh di atasnya ke dalam
sungai yang sama dan melalui titik

yang

sama

ngai tersebut (Arsyad. S, A. Priyanto, dan L.I.


pada

su-

Nasution,

1985). Berbagai kegiatan dapat dilakukan di daerah ini, se-

perti penbangunan jalan, perluasan kota/pemukiman, pembang-

2

kit tenaga listrik, dam/waduk untuk irigasi atau hidro listrik, pertambangan, pertanian, perikanan, agroindustri, dan
sebagainya.
Sumberdaya alam utama daerah aliran sungai, yaitu tanah dan air, peka terhadap berbagai macam kerusakan (degradasi), seperti kehilangan unsur hara dari daerah perakaran,
erosi, akumulasi garam (salinasi) atau akumulasi unsur/senyawa racun bagi tanaman, penjenuhan atau terendam air
(waterlogging), dan akumulasi limbah industri dan limbah
kota (El-Swaify, Arsyad, dan Krishnarajah, 1983). Di daerah
Tropika Basah kerusakan DAS yang paling penting adalah yang
disebabkan oleh erosi.

Jenis penggunaan lahan yang paling banyak menerima
dampak negatif akibat pertumbuhan penduduk adalah hutan.
Kawasan hutan sebagian besar telah berubah fungsi saenjadi
lahan pertanian dan pemukiman penduduk.

Berdasarkan data

keadaan hutan di daerah Lampung, termasuk di daerah studi,
ternyata kerusakan Hutan Lindung telah mencapai 77%, Hutan
Suaka Alam 30%. dan Hutan Produksi 70% (Pemda Tk. I Lampung, 1992). Kerusakan hutan akan memberikan dampak negatif
terhadap lingkungan berupa:

(a) flora dan fauna penting

sebagai sumber plasma nutfah terancam punah, (b) aliran
permukaan dan erosi meningkat, sehingga kesuburan tanah menurun, pencemaran serta pendangkalan sungai, waduk, dan
pantai di daerah hilir, dan (c) fluktuasi debit air sungai

3


antara nusim kemarau dan musim hujan meningkat, karena
kawasan hutan kehilangan fungsinya atau kurang berfungsi
sebagai pengatur tata air.
Untuk mewujudkan perencanaan pengelolaan lahan, perlu
ada sistem yang dapat dengan cepat dan akurat melakukan penilaian kualitas lahan secara menyeluruh.

Sistem ini harus

dapat memproyeksikan kemungkinan perubahan kualitas lahan
di masa datang bila kondisi penggunaan lahan saat ini tetap
dipertahankan, dan

bila dilakukan perubahan penggunaan la-

han dengan suatu tindakan pengelolaan tertentu. Untuk memenuhi maksud di atas perlu membangun sistem penilaian kualitas lahan. Berhubung di dalam pelaksanaan perhitungan
akan menghadapi data dalam jumlah banyak dan perhitungannya
rumit, sehingga untuk mengatasi ha1 ini diperlukan pengelolaan secara terkomputer.
Untuk menbuat sistem penilaian kualitas lahan terkomputer dengan baik, diperlukan sistem informasi potensi lahan yang berhirarki sehingga berbagai satuan lahan dari
kategori tinggi, seperti satuan Kelompok Fisiografi, sampai
kategori


rendah seperti Tapak Lahan, dapat memberikan

informasi potensi lahan secara terstruktur. Semakin rendah
kategori satuan lahan maka informasi potensi lahan akan
semakin detil.

Hal ini sangat diperlukan dalam menentukan

tindakan pengelolaan yang akan diberikan pada suatu wilayah
dengan kualitas lahannya yang khas.

4

Informasi pada

kategori

rendah, karena


detil

dan

satuan wilayahnya sempit-sempit, memerlukan waktu untuk
pengumpulan datanya. Hirarki satuan lahan dapat dipergunakan untuk menentukan urutan peta pada berbagai tingkat,
sehingga pengumpulan data/imformasi wilayah selalu berlaku
bagi keseluruhan area sekaligus. Oleh karena itu dalam penelitian ini diteliti hirarki spasial satuan lahan untuk
mendapatkan informasi karakteristik lahan secara akurat,
sehingga dapat dimanfaatkan untuk tujuan perencanaan pengeZolaan dan pemantauan penggunaan lahan.
Sehubungan dengan ha1 tersebut di atas, penelitian
sistem difokuskan pada pengembangan hirarki spasial satuan
lahan, dan sistem penilaian kualitas lahan dengan Pendekatan Sistem. Lokasi penelitian diambil Daerah Aliran Sungai

(DAS) Sekampung sebagai studi kasus, karena pada daerah ini
data penunjang

yang sangat diperlukan cukup tersedia,

seperti Peta Geologi

(Skala

1:50.000),

1:100.000),

(Skala 1:250.000),

Peta

Tanah

(Skala

Peta Topografi
1:250.000

Peta *Land SystemgtRePPProT (Skala 1:250.000),

Peta nLand Unitn Buurman dkk. (Skala 1:100.000),

Unutn Kips dkk.
1:250.000),

dan

(Skala 1:100.000),

Peta wLand

Citra Radar

dan Foto Udara (Skala 1:100.000).

(Skala

1.

Mengembangkan hirarki spasial satuan lahan untuk penilaian potensi penggunaan lahan berkelanjutan dan potensi perubahan kualitas lahan terkomputer,

2.


Hembangun sistem penilaian kualitas lahan terkomputer.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna:
1.

Sebagai alat informasi karakteristik lahan untuk menilai potensi penggunaan lahan berkelanjutan.

2.

Sebagai alat menilai potensi perubahan kualitas lahan,
dengan adanya penggunaan lahan tertentu,

3.

Sebagai alat untuk merencanakan pengelolaan penggunaan
lahan

.


Sesuai dengan kerangka pemikiran di atas, maka diajukan
hipotesis berikut ini:
1.

Penelaahan hirarki spasial satuan lahan akan memberikan
informasi karakteristik lahan yang lebih komprehensif,

2.

Untuk pengelolaan lahan guna mencapai penggunaan lahan
berkelanjutan diperlukan data sampai dengan kategori
terendah yang memberikan informasi lengkap rnengenai
kualitas lahan.

Istilah lahan berhubungan dengan permukaan bumi dan
semua sifat-sifat yang ada padanya, yang penting bagi kehidupan dan keberhasilan manusia
1968).

(Christian dan Stewart,


Selanjutnya Brinkman dan Smyth (1973), Vink (1975),

dan FA0

(1976) mengemukakan bahwa Lahan (Land) adalah sua-

tu wilayah di permukaan bumi, khususnya meliputi semua penyusun biosfer yang dapat dianggap bersifat tetap atau sik-

lis yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut; seperti atmosfer, tanah dan batuan induk,.topografi, hidrologi, p p u l a s i tumbuhan dan hewan, serta akibat-akibat aktivitas manusia di masa lalu maupun sekarang; kesemuanya
berpengaruh nyata terhadap penggunaan lahan oleh manusia
pada saat ini dan masa mendatang.
Berdasarkan batasan di atas, Lahan dapat dipandang
sebagai suatu sistem yang tersusun atas berbagai komponen.
Komponen-komponen

ini dapat dikategorikan menjadi

dua,

yaitu (1) komponen struktural yang dikenal dengan istilah

karakteristik lahan, dan (2) komponen fungsional yang dikenal &ngan

istilah kualitas lahan.

~ualitaslahan pada ha-

7

kekatnya merupakan sekelompok unsur lahan (land attribute)
yang mempengaruhi tingkat kesesuaian lahan.
Lahan sebagai suatu sistem pempunyai komponen-komponen
yang terorganisir secara spesifik dan perilakunya menuju
pada fungsi tertentu. Komponen-komponen ini dapat dipandang
sebagai sumberdaya dalam hubungannya dengan aktivitas manusia m t u k memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian ada
dua kategori komponen lahan, yaitu (1) komponen lahan yang
bersifat alamiah, dan (2) komponen lahan yang merupakan hasil aktivitas budaya manusia (buatan). Berdasarkan atas
konsepsi tersebut maka pengertian lahan mencakup semua karakteristik lahan, dan proses-proses yang terjadi di dalamnya, yang dengan cara-cara tertentu dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Keinginan manusia untuk memanfaatkan lahan semaksimal
mungkin, dibatasi oleh keterbatasan potensi lahan atau daya
dukung lahan yang bersangkutan. Pengelolaan lahan dapat merubah kualitas lahan.

Perubahan ini dapat bersifat positif

bila dilakukan dengan lnemperhatikan daya dukung atau kemampuan lahan, dan dapat pula bersifat negatif, bila dilakukan
sebaliknya, sehingga proses degradasi lahan lebih menonjol.
Perubahan penggunaan lahan akan menimbulkan konflik
kepentingan, baik antara sesama manusia, antara.manusia dengan lingkungan alamnya, dan antara manusia dengan mahluk

8

hidup lainnya. Untuk mengatasi ini perlu ada perencanaan
penggunaan lahan secara menyeluruh dengan Pendekatan Sistem
(System Approach). Perencanaan tersebut harus didukung oleh
Sistent Informasi Kualitas Lahan (SIKL) serta Sistem Pemantauan dan Evaluasi Lahan (SIPESDAL).
Karakteristik suatu bentang alam berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain.

Hal ini pula yang menyebabkan

perbedaan kualitas lahan, yang pada akhirnya akan memberikan perbedaan daya dukung penggunaan lahan bersangkutan.
Untuk melakukan inventarisasi karakteristik lahan pada kategori rendah memerlukan waktu dan biaya yang tinggf sehingga

ha1 ini sulit untuk dilakukan.

Untuk mengatasi kesulitan di atas, karena di satu pihak pemetaan lahan harus dilakukan dan di lain pihak adanya
keterbatasan waktu dan biaya, maka

diciptakan hirarki sa-

tuan lahan yang dapat digunakan sebagai jalan keluarnya.
Oleh karena itu untuk mendapatkan informasi kualitas lahan
secara komprehensif diperlukan hirarki satuan lahan. Hirarki digunakan untuk menyusun rencana pemanfaatan dan
perencanaan pengelolaan lahan. Inventarisasi karakteristik
lahan menjadi lengkap bila struktur hirarkinya diketahui.
Dengan adanya hirarki tersebut, inventarisasi masing-masing
tahap dapat dirintis secara bersamaan tergantung keperluannya dalam perencanaan.

9

Hirarki yang dimasud yaitu selain berbentuk konsep juga merupakan pengelompokkan satuan lahan dari kategori
tinggi ke rendah. Pengelompokkan ini bersifat pengelompokkan area.
Menurut Wiradisatra (1989) ada tiga pendekatan yang
dapat ditempuh untuk

pengkajian dan penyajian inforarasi

kualitas lahan yaitu pendekatan satuan tanah, geomorfologi,
dan sistem infonaasi geograf i , seperti tertera pada Gambar
1. Masing-masing pendekatan tersebut mempunyai kelebihan

dan kelemahan tersendiri. Oleh karena itu di dalam penelitian ini dicoba untuk memadukan pendekatan satuan tanah dan
pendekatan geolaorfologi. Hal ini didasarkan pada pemikiran
bahwa lahan dapat dipandang sebagai suatu sistem.
DaXam pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sistem yang azasnya serupa dengan pendekatan %and
Systemtt yang dikelaukakan Christian dan Stewart

(1968).

Dengan pendekatan ini lahan dipandang sebagai suatu sistem,
yang terdiri dari komponen-komponen sistem. Koanponen tersebut werupakan subsistea tanah, subsistem hidrologi, subsistem tumbuhan/hewan, subsistem geomorfologi, dan sebagainya. Apabila interaksi komponen-komponen tersebut dapat
diorganisasikan dengan baik maka tujuan penggunaan lahan
akan dapat dicapai seperti yang direncanakan.

Pendekatan Satuan Tanah

------> meiwah -------> Klasifikasi

-------->

Petatanab

Persyaratan tataquna laban

------- >

~nterpretasi

\1
1
Kelas lahan

(Kelas Kempuan Lahan)

Geologi
Iklir
Data sosial

==-====

. ------

Int
> fob
udara

Deliniasi
> land syste~/-->
land unit

Survei

-->

Persyaratan tataguna lahan --->

Ciri lahan

J

matching

I

\J

Kelas Kesesuaian Lahan

&&&atan

Sister Infonasi Geografi

Peta geologi
Peta lereng
Petsyarafm tataguna lahan

-------- >

mathing

I

\J

Kelas Kesesuaian Laban

G a W I.

-an
S k m t i s Proses gvaluasi taban Berbagai Hampiran
Delineasi Satuan Peta Lahan (Wiradisastra, 1989)

11

Untuk mengetahui kemungkinan kerusakan lahan yang terjadi akibat kerusakan lahan diperlukan adanya suatu model
prediksi yang dapat menggambarkan fenomena alam tersebut,
dan memperhatikan kemungkinan lain secara terpadu. Oleh
karena itu perlu ada Sistem Informasi Kualitas Lahan (SIKL)
dan Sistem Pemantauan dan Evaluasi Lahan (SIPESDAL) terkomputer yang bersifat komprehensif, sibernetik, dan efektif,
agar perencanaan penggunaan lahan dapat dilakukan dengan
baik untuk menunjang penggunaan lahan pertanian berkelanjutan.

Pendekatan Sistem (System Approach) dapat digunakan
untuk memecahkan persoalan yang rumit secara bertahap,
berurutan, dan mempunyai sistematika logika yang jelas.
Pendekatan sistematik ini bertumpu pada model dan permodelan sebagai upaya menyederhanakan perilaku sistem yang
dipelajari. Langkah-langkah pemecahan masalah secara sistematis tertera pada Gambar 2 .

Analisis kebutuhan dilakukan untuk rengidentifikasi
kebutuhan yang terkait dalam upaya mengelola lahan. Dalam
penelitian ini ada dua kebutuhan pokok, yaitu (a) hirarki
spasial satuan lahan sebagai model dan kerangka sistem in-

12

formasi kualitas lahan, sehingga pengumpulan informasi dapat dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan pada
berbagai tahap sesuai kemampuan, (b) sistem pemantauan dan
penilaian kualitas lahan terkomputer, untuk memprediksi
potensi perubahan kualitas lahan dengan adanya penggunaan
lahan tertentu, yang sangat berguna dalam menentukan cara
pengelolaan lahan berwawasan lingkungan.
Ekrdasarkan pemikiran di atas diajukan konsep hirarki
spasial sistem

lahan.

Konsep

ini merupakan

nodifikasi

konsep satuan lahan yang telah berkembang, seperti "Land
Systemw Christian dan Stewart (1968), nLand Complexa Wiradisastra (1873), nSystem Fisiografin Desaunettes ( 1 9 7 7 ) ,
*Land Systemw RePPProT (1988), dan "Land Unitn Buurman dkk.
(1988). Konsep satuan lahan yang diajukan berturut-turut
dari kategori tinggi ke rendah, yaitu Kelompok Fisiografi,
Sistem Lahan, Kompleks Lahan, Faset Lahan, dan Tapak Lahan.
Secara skematis konsep tersebut tertera pada Gambar 3, dan
skema hirarki bentang alam tertera pada Gambar 4.
Dasar pemikiran hirarki spasial dimulai dari Kelompok
Fisiografi, karena pengelompokkan ini bertumpu pada pola
landform, dan kenampakkannya mudah dikenali pada foto udara, citra radar, dan di lapangan. Dengan memperhatikan proses

pembentukan

landform, maka lahan

dapat

dikelompokan

(

mulai

I

1

I

~nalisiskebutuhan
Formulasi masalah
Identifikasi sistem
Permodelan sistem
Verifikasi model

d
Validasi model

]

Tidak

I

Ya

Implementasi model

I

Gambar 2.

Pemantauan

I

Bagan Alir Pendekatan Sistem sebagai Metode
Pemecahan Masalah (Nodifikasi dari Manetsch
dan Park, 1977)

Satuan lahan

1
I
I
Pula landform

====

==>

- 'landform

==I===>

1
7
1
P
- litologi

===-==>

Kompleks Lahan

zone agrk 1 imat

r"r
Faset Lahan

/1""]

=====->

/ ~ a ~ a kLahan

lereng tunggal

/

-

Gambar 3. Konsep H i r a r k i Spasial Sistem Lahan

I. Kelorpok Pisiografi (KF)

IV. Sister Lahan (SL)

f--t--l

. . .KP . . .
. . . SL

Arb

111. Korpleks Lahan (KL)
11, Paset Lahan (FL)

I. Fapak Laban (TL)

KF
r-+l
SL SL SL

r$-7

Garbar 4.

. .....

l--tl

K L . .

.

. U

SL SL

K L . .

rhrt7

I(L

r+1

PLPL.. .PLPL.. . P L ? ' L P L
rtl 'rh
r+l
TL TL R TL TL TL
TL TL TL

KRFLPLFLFLFLFLPL
TL TL R

KF

...... .

S k e ~Hirarki Hubungan Spasial Bentang Alar

15

menjadi satuan lahan yang disebut dengan Keloiapok Fisiografi. Penamaan Kelompok Fisiografi ini merupakan modifikasi
dari sistem penamaan yang dikemukakan Desaunettes (1977)
dan Buurman dkk. (1988).
Masing-masing Kelompok Fisiogarfi dapat dibagi lagi
raenjadi satuan lahan yang lebih sempit dengan memperhatikan
kesamaan landform dan litologi. Satuan ini disebut Sistem
Lahan

.

Untuk mendapatkan satuan lahan yang lebih homogen,
masing-masing Sistem Lahan dapat dibagi nrenjadi satuan yang
lebih sempit berdasarkan kesamaan tanah pada tingkat jenis
(great group) dan zone agroklimat Oldeman dkk (1979). Satuan ini memiliki kesamaan landform, litologi, jenis tanah,
dan zone agroklimat, yang disebut Kompleks Lahan.
Satuan Kompleks Lahan dapat dibagi menjadi satuan yang
Lebih homogen dengan memperhatikan faktor pembeda jenis
tanah yang sama dapat dibagi lagi menjadi beberapa macam
tanah, zone agroklimat yang sama dapat dibagi lagi menjadi
beberapa tipe agroklimat, dan pada kategori ini digunakan

faktor pembeda kelas lereng. Satuan Kompleks Lahan yang
dibagi menjadi satuan yang lebih homogen tersebut disebut
Faset Lahan.
Faset Lahan dapat dibagi lagi menjadi satuan yang
lebih homogen, dengan membagi macam tanah yang sama menjadi

16

beberapa seri tanah, dan kelas l e r e ~ g menjadi lereng tunggal. Akan tetapi karena pada seri tanah keadaan tekstur
l a p i s a n atas masih beragam, maka pada satuan lahan ini

contoh pewakilnya dibedakan atas dasar keadaan tekstur tanah. Oleh karena itu contoh tanah harus diambil pada king
kat Fase Tanah. Untuk pemetaaan satuan lahan ini tetap
menggunakan satuan seri tanah sebagai salah satu faktor
pembatasnya, karena pada Fase Tanah tidak dipetakan. Pembagian Faset Lahan menjadi satuan yang lebih kecil disebut
Tapak Lahan, dan secara spasial satuan ini tidak dapat dibagi lagi, sehingga Tapak Lahan merupakan satuan lahan
terkecil

.

Upaya pemenuhan kebutuhan di atas menghadapi berbagai
kendala sumberdaya dan kendala fungsional. Hal ini mengakibatkan munculnya berbagai masalah, yang secara umum telah
dikemukakan di atas. Pada dasarnya masalah-masalah ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (a) aasalah pengelompokkan bentang alan yang dapat membentuk suatu hirarki
spasiai satuan lahan untuk memungkinkan dapat mempertahankan dan meningkatkan akurasi informasi kualitas lahan, (b)
masalah sistem penilaian kualitas lahan terkomputer agar
dapat dengan cepat dan tepat melakukan penilaian perubahan
kualitas lahan yang mungkin terjadi.

Identifikasi sistem dimaksudkan untuk menentukan batasan sistem dan ruang lingkup penelaahan sistem yang dipelajari. Dalam penelitian ini batasan sistem adalah Daerah
Aliran Sungai Sekampung. Ruang lingkup penelaahan mencakup
(a) penelaahan hirarki hubungan spasial satuan lahan, dan
(b) penelaahan sistem penilaian kualitas lahan terkomputer
yang akan diterapkan terhadap komponen biofisik, meliputi

erosi, penurunan produksi, dan aliran permukaan.
Proses identifikasi sistem dilakukan dengan menggunakan alat bantu deskriptif berupa (1) diagram lingkar sebab
akibat (Gambar 5), (2) diagram kotak hitam (Gamabar 6), dan
(3) diagram alir deskriptif.

Permodelan sistem dalam penelitian ini diarahkan untuk
mendapatkan model-model kuantitatif yang dapat digunakan
untuk menerangkan perilaku subsistem-subsistem yang dipelajari. Model yang digunakan diambil dari pustaka-pustaka ilmiah hasil penelitian secara mendalam dan dalam waktu yang
panjang sehingga telah teruji keterandalannya. Pengintegrasian model-model tersebut dilakukan berdasarkan sistematika
logis untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

18
Model yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu (1)
model erosi, (2) model penurunan produksi, dan (3) model
aliran permukaan.

Proses pengujian model menggunakan informasi dasar pemetaan dan klasifikasi tanah, pemetaan Satuan Lahan RePPProT (1988), Satuan Lahan LREP (1988), peta topografi,
peta dan data iklim, peta geologi. Karakteristik Tapak
Lahan contoh digunakan sebagai masukan bagi submodel erosi,
dan submodel aliran permukaan.

+

Kual i t a s

Aktivitas

Tindakan konservas i tanah
dan a i r

Aktivitas

+

-+

pertanian

I

L(eterancran:

>

>

Gambar 5.

+

-

Produkt i v i tas lahan

I

: akibatnya meningkat,
: akibatnya menurun.

Diagram Lingkar Sebab Akibat Kontponen Sistem
Peni l a i a n Kual i t a s Lahan Terkolnputer

,- - - - - - \ -- Keadaan
Peraturan Pererintah
!

SOGEKPOLBIID

Iwthkterkendali

0&l&dikehenaaki

Vegetasi alari , ~opografit
Iklir, Tanah, Hidrologi ,
Geologi e

K e ~ e ~ ~ ilaban,
a n Produktivitas lahan tingqi, m i terkendali

kualitas lahan
terkorputer

Q!&awdikebeadaki

xlmterkendali

- Perenc. pengg. laban
- Panca usahatmi,
- Konservasi tanab dan
air,

- Reboisasi/pengbijauan

- Kemakan lahan,
- bxi, sediwntasi,
dan banjir,
- Biaya pengeadaliaa
erosi tinggi.

2
1

naDaielenDermendali
Perda/Bapp&, K m i l P e r

tanian, Kebutanan, Pertanaban nasional, dan P e k e
jam mu.

t-

Gambar 6. Diagram Kotak Hitam Sistem Penilaian
Kual itas Lahan Terkomputer

KARMTERISTIK DAERAH PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Sekampung. Daerah penelitian meliputi areal seluas 495.000
hektar. Secara administrasi daerah penelitian sebagian besar masuk dalam wilayah (a) Kabupaten Larnpung Selatan, yaitu wilayah Kecamatan Penengahan, Palas, Katibung, Natar,
Talang Padang, Kedondong, Pardasuka, Pringsewu, ~ a d i n gRejo, Pagelaran, Gedung Tataan, dan Pulau Panggung. (b) Kabupaten Lampung Tengah, yaitu wilayah Kecamatan Jabung,
Trimurjo, Sekampung, dan Batang Hari.

(c) Kodya Bandar

Lampung, yaitu wilayah Kecamatan Panjang dan Kedaton. Secara geografis daerah ini terletak pada:
Timur
Utara

-

Barat antara 104'35~

s.d 105'38'

Selatan antara 5'09~

s.d 5'48'

Bujur Timur,
Lintang Sela-

tan, seperti tertera pada Peta 1 (Lampiran).

Daerah Lampung merupakan rangkaian orografis
Barisan.

Bukit

Rangkaian ini membujur dari Utara ke Selatan se-

22

arah cbngan sumbu memanjang pulau Sumatera.

Panjang sistem

Bukit Barisan sekitar 1.650 km dengan lebar 100 km.
selatan Bukit

Ujung

Barisan yang terletak di Propinsi Lampung

melebar hingga 150 km.

Daerah ini dikelompokkan dalam tiga

blok, yaitu blok Bengkulen, di bagian tengah puncak disebut
blok

Lampung, dan di sisi timur dikenal dengan blok Sekam-

pung (van Bemmelen, 1970).
Dari sudut pandang geologi DAS Sekampung masih tergolong muda.

Hanya sebagian kecil dari batuan yang terdapat

di daerah ini yang menunjukkan umur pra-tersier. Hal ini
ditunjukkan oleh skis kristalin, granodiorit, dan granit
kompak, yang terdapat di daerah Sulan, Galih, dan Uluwaisemang.

Granit tersebut lebih muda daripada skis kristalin.

Singkapan-singkapan kecil tuff batu pasir zaman kapur, batuan kompak (kuarsa kristalin mikro), dan batu kapur, didapatkan di lembah sungai Gunung Kasih. Hamparan

endapan

formasi pertama Baturaja zaman tersier terdapat di gunung
Kasih dan di antara Way Ilahan dan Way Muara Abung yang
terletak tidak teratur pada puncak skis kristalin.
~elanjutnya, puncak hamparan tersebut yang terdapat
pada puncak Cumbi di pegunungan Uluwaisemang menutupi batuan granit di bawahnya. Hamparan Baturaja, yang terdiri
dari berbagai litologi, seperti tuff batupasir, kuarsa,
konglomerat, dan batu kapur, terbentuk pada zaman miosin
(Zwierzyecki, 1931 dalam CSR-FAO, 1983).

23

Punggung Batuserampok-Lubukkitik, pegunungan Semangka
dan Peninjauan, yang terletak di dalam DAS Sekampung, dibentuk oleh andesit tua oligomiosin, seperti lava, breksi,

dan tuff, merupakan aktivitas gunung api yang kuat fase
pertama, menyertai patahan dan penurunan Bukit Barisan.
Yang terakhir ini diawali oleh pengangkatan orogenik pada
eaman eosin (van Bemmelen, 1949 dalam CSR-FAO, 1983). Sebagian besar formasi andesit tua berubah men jadi silikat karena aktivitas hidrotermal pada kegiatan

selanjutnya, dan

ease pembaharuan pengangkatan geoantiklinal selama masa
meosin. Lava dasitik-liparit masam keluar melalui celahcelah yang terdapat pada tempat-tempat tertentu di pegunungan Semangka, kompleks Tangkit Kamentaro di bagian ujung
tiaaur dataran Way Lima, dan mungkin juga terdapat di punggung Balau serta pegunungan Renggal sebelah timur Tanjungkarang (CSR-FAO, 1983).
Pada akhir zaman tersier Bukit Barisan menjadi sasaran
pengangkatan fase ketiga disertai blok-patahan sekala besar
dan erupsi masam gunung api.

Perkembangan aktivitas gunung

api selanjutnya, selama masa pleistosin, membentuk cekungan-tektonik

yang besar, seperti kawah Ranau dan Gedung

Surian. Pembentukan tuff dasitik Lampung diawali dari cekungan tersebut, pada celah sepanjang patahan utama. Tetapi
wilayah selat Sunda juga merupakan pusat erupsi yang penting (van Bemmelen, 1949 dalam CSR- FAO, 1983).

24

Selama masa pertengahan dan akhir pleistosin aktivitas gunung api menyebar di daerah DAS Sekampung, membentuk
krucut gunung api yang besar dan membentuk lava dan tuff
andesit. Aktivitas gunung api terus berlangsung sampai zaman holosin, menumbuhkan dan juga menghancurkan gunung api
tersebut.

Pada saat ini semua gunung api yang ada di DAS

Sekampung dalam keadaan tidak aktif, tetapi menurut seja-

r e , daerah ini pernah menerima abu gunung Krakatau yang
meletus pada tahun 1883, setebal 2 sampai 5 cm menyelimuti
seluruh daerah aliran sungai.

Sebagian besar abu-abu ini

telah tercuci ke bagian lembah, tetapi pada tempat-tempat
tertentu masih ditemui berupa tanah lapisan atas (Verstappen, 1973 dalam CSR-FAO, 1983). Tetapi pada saat inf seba-

gian besar telah tercampur dengan lapisan bawahnya, yang
dilakukan oleh manusia pada saat melakukan pengolahan tanah, seperti halnya yang ditemui di daerah Rawa Sragi.
Basal Sukadana yang terdapat di DAS Sekampung yang
lebih rendah secara beraturan menutupi lapisan tuff dasitik
Lampung di bawahnya, berumur lebih rnuda, mungkin

pleisto-

sin akhir dan holosin awal. Lava dikeluarkan dari celahcelah kompleks batuan dasar.

Endapan pantai dan sungai

terjadi secara luas pada zaman holosin akhir, seperti tampak di sepanjang aliran sungai Sekampung di daerah Rawa
Sragi dan di dataran pantai yang sempit di sebelah timur
(CSR-FAO, 1983).

25

Ditinjau dari sudut litologi, jenis batuan di daerah
studi, adalah sebagai berikut (Buurman dkk. 1988):
(a) Lava intermedier dan basa, seperti lava andesit, fonolit, dan basal, batuan ini terutama terdapat di daerah
volkan, dan sebagian juga terdapat di daerah pegunungan
dan perbukitan.
(b) Tuf intermedier dan basa, seperti tuf andesit. Batuan
ini secara dominan terdapat di daerah volkan dan sebagian terdapat di daerah pegunungan dan perbukitan.

(c) Satuan metamorf, seperti skis dan gneiss. Batuan ini
terdapat pada daerah pegunungan dan perbukitan.
(d) Batuan beku dalam (plutonik) masam, seperti granit,
granit forfir, dan fegmatit. Batuan ini terutama terdapat di daerah perbukitan.

(e) Tuf masam (tuf Lampung), seperti

dasit, riolit (lipar-

it). Batuan ini terutama terdapat di daerah dataran
tuf masam, dan sebagian juga terdapat di daerah perbukitan, tetapi tidak terlalu luas.

Ciri iklim sebagian besar kepulauan Indonesia yang
termasuk dalam sabuk hujan tropis dan rejim monsoon IndoAustralia, memiliki sifat-sifat: temperatur dan kelembaban
tingqi, curah hujan berlebihan, dan angin bertiup

leaah

secara konstan (van Bemmelen, 1949 dalam CSR-FAO, 1983).

Qaerah Aliran

Sungai

(DAS) Sekampung

terletak di

sebelah selatan equator, sehingga pada saat belahan bumi
selatan musim panas (Desember, Januari, Februari) bertiup
angin Pasat

Pasifik Timur Laut yang diperkuat oleh sabuk

tekanan rendah di atas Australia dan tekanan tinggi di
kepulauan utama Asia. Arah angin tersebut berubah ke utara
dan barat laut pada waktu mencapai kepulauan Indonesia, dan
selama perjalanannya di atas laut menyerap uap air yang
cukup membuat bulan-bulan tersebut menjadi lebih basah.
Pada waktu belahan bumi selatan musim dingin (Juni, Juli,
Agustus), situasi iklim kebalikannya.

Udara dari benua

Australia datang dengan angin Pasat Tenggara yang menyebabkan musim kering (CSR-FAO, 1983).
Selanjutnya CSR-FA0 (1983) mengemukakan bahwa keadaan
temperatur agak konstan sepanjang tahun. Musim demikian dipertegas oleh pola curah hujan siklus tahunan yang terdirt dari periode ralatif basah dan periode relatif kering.
Beberapa stasiun klimatologi di DAS Sekampung menunjukkan
adanya keadaan grafik curah hujan bimodal, tetapi kedua
puncak curah hujan pada periode basah yang Sara tidak cukup
tegas m t u k membedakan pembagian musim hujan. Bagian lembah
DAS Sekampung Tengah, yaitu sebelah timur Talang Padang dan
sebelah barat Natar, tersembunyi baik terhadap Monsoon Barat Laut maupun terhadap Monsoon Timur Laut, sehingga

dae-

27
rah ini terkena bayangan hujan, dengan curah hujan tahunan
rata-rata sebesar 1750 mm.
Berdasarkan peta agroklimat Oldeman, Irsal, dan D a m i s
(1979), seperti tertera pada Peta 3 (Lampiran), ternyata
daerah studi, memiliki zone agroklimat B (tipe Bl), zone C
(tipe C1 dan C2), D (tipe Dl, D2, dan D3), dan E ( t i p E3).
Penyebaran curah hu jan berkisar antara 1.750

.

sampai 3 500

mm tiap tahun.
Zone agroklimat E (tipe E3) terdapat di sekitar ~ a d i n g
Re*

dan Redondong, Lampung Selatan. Curah hujan di daerah

ini rata-rata 1750 mu tiap tahun, dengan bulan basah (CH 1
200 mm tiap bulan) selama sekitar tiga bulan, yaitu pada
bulan-bulan Desember, Januari, dan Maret. Bulan kering (CH
< 100 mm tiap bulan) di daerah ini selama sekitar lima
bulan, yaitu pada bulan-bulan Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober.
Zone agroklimat D memiliki bulan basah 3 sampai 4
bulan, yaitu bulan Desember, Januari, Maret, dan April, menyebar mengelilingi t i p agroklimat E3, dan lebih luas ke
arah Barat dan Timur. Tipe agroklimat D3 memiliki bulan kering 4 sampai 6 bulan, tipe D2 memiliki bulan kering 2 Sampai 3 bulan, dan tipe Dl memiliki bulan kering kurang dari
dua bulan. Pada zone agroklimat D keadaan curah hujan menyebar antara 1.750 sampai 2.250 mm tiap tahun.

28
Wakin ke sebelah Timur daerah studi ditemui tipe
agroklimat C2 yang memiliki bulan basah 5 sampai 6 bulan,
dan bulan kering 2 sampai 3 bulan. Keadaan ini terdapat
sampai ke muara Sekampung. Curah hujan di daerah ini menyebar antara 1.750 sampai 2.000 mm tiap tahun. Makin ke Timur
daerah studi ke arah Gunung Tanggamus, Gunung Ratai, ditemui tipe agroklimat C1 dan C2 yang memiliki bulan basah 5
sampai 6 bulan, dan bulan kering 2 sampai 3 bulan (pada C2)
dan kurang dari 2 bulan (pada Cl). Curah hujan di daerah
ini menyebar antara 2.250 sampai 3.500 mm tiap tahun.
Zone agroklimat B

( t i p B1) ditemui di daerah Bukit

Rimlingan dan Bukit Begelung, memiliki bulan basah 7 sampai
9 bulan, dan bulan kering kurang dari 2 bulan. Curah hujan
antara

2.500

sampai 3.500 mm tiap

tahun.

Keadaan curah hujan bulanan dan tahuaan rata-rata, dan
hari hujan bulanan rata-rata selama 10 tahun terakhir yang
dikurnpulkan dari 11 stasiun pengamat hujan yang terdapat di
daerah studi tertera pada Tabel 1.

Berdasarkan hasil pentetaan Satuan Lahan oleh CSR-FA0
(1983), hasil pemetaan Satuan Lahan dan Tanah oleh A. Hidayat dkk. (1989), hasil pemetaan Satuan Lahan dan Tanah oleh
Yunus

Dai

dkk. (1989), ternyata

jenis-jenis

tanah

yang

Feb. k e t April Mei Juni Juli Agust. Sept. OW. @b. Desb.

JUah

1. Stash Iflir &mySari b. RO54,1974-1990.
Curah hjan (n) 327,4 #0,8 286,7 238.7 193,9 129,4 102,9 %,5 152,5 172,9 238,9 290,4
fhri Mjan
17,O U,2 15,6 12,s 11,4 8,3 8,8 7,2 8,s 10,5 13,3 1S,2

1w13

2. h i u n Iklh Ak hnhp k. 8067, 1974-1990.
&a4 Uujan (n) 385,l 339,5 329,s 237,5 173,2 120,5 103,8 109,O 148,8 146,l 248,l 323,l
W i Ljan
21,5 19,5 17,9 14,4 12,8 8,6 1,4 9,O 11,6 11,6 14,7 18,3

2664,7

Pare

Jan.

3. S k i m Win
(krbWjan

Eari Ljan

lmgo k. ~072,1960-1991.

(n) 388,l 317,O 266,O 221,O 197,3 123,l 7014 72,U 166,7 137,6 195,2 361,4
22,s 20,3

17,5

15,O 12,2

9,2

4. S h i m Nil iIdilljung Zararg k. IE064,1980-199l,
Wah Ljan (n) MS,7 155,8 113,l 89,l 69,l 49,8

Bari Ilajan

28,4 16,6

13,O

11,2

9,3

6,6

6,8

54,s 43,7 65,2 58,6 86,8 135,4
7,3 6,3 5,9 6,9 U l l ld18

t
a
s
h R h cisailt latar b. m, mu-m.
5. S
(n) 3117 Bl14 2%,2 161,7 117,8 76,O lO2,8 45,9 U1,g (H14 16112 237,7
W i Bujan
20,s 16,4 15,6 13,2 g19 gll 11,O d19 8,7 9,3 U 1 7 14,l
(krah hjan

Peraw leba k. RON, 19803991.

1. Stash I k h
mah bjan fn)

&i hjan

336,3 173,3 129,O 82,l 105~3 106,9 100,4 76,s 120~3 13,4 138,t 191,2
16,s 9,s 5,s 4,6 5,o 3,9 (#I 5,O 5,7 6,O 8,3 l2,6

a. stasian ILlir .Qiaam k. 123,1980-1991.
Curah BPjan (n) 407,4 337,O 282,6 231,3 148,8 13,O 80,3 40,5 72,2 %,3 220,3 306,7
Wi Wljan
5
7 3 1 3 1 4 9,9 6,l 6,3 5,O 6,l 7,8 1116 11,O

b
hl k h
10. S

2525,6

7,O 10,6 10,3 15,7 20,l
1130,4

1933,7

l6SO,l

2306,4

b. BD21, 198bl99l.
279,O 279,7 194,6 110,9 137,o U0,O 175,7 114,O 87,5 130,6 12?,1 234,l
14,4 12,3 11,3 10,8 l0,O 6,5 7,7 6,O 5,9 7,O 8,9 12,6

M40,2

11. Stasifu ltlir DM letikieg k. P019, l980-1991.
CurahBPjan (n) 362,4 280,O 220,9 228,6 129,7 87,2 98,9 105,8 87,O 104,S 19,7 223,7
Eari Ljan
M,7 15,8 11,l 13,3 12,O 9,3 10,6 7,4 1,7 7 1 2 13,8

2087,4

-ah

hjan (la)
sari liujan

30

terdapat di daerah studi, DAS Sekampung, seperti tertera
pada Tabel 2, adalah:
(1)

ist to sols, terdiri dari

Tropohemists (Typic Tropohe

mists).
(2) Entisols, terdiri dari Troporthents (Typic Troporth-

ents),

Tropaquents,

Tropofluvents,

(Aquic Tropopsamments),
quents), dan

Hydraquents

Tropopsamments
(Typic

Hydra-

Fluvaquents (Typic Fluvaquents).

(3) Inceptisols, terdiri dari Dystropepts (Typic Dystro-

pepts, ~ n d i cDystropepts, ~ i t h i cDystropepts, dan Aquic
Dystropepts), Tropaquepts (Typic Tropaquepts, Histic
Tropaquepts, dan Aeric Tropaquepts), Eutropepts (Typic
Eutropepts, dan ~ i t h i c Eutropepts),
(Typic ~umitropepts
)

dan ~umitopepts

.

(4) Alfisols, terdiri dari Hapludalfs (Typic Hapludalfs dan

Lithic Hapludalfs), dan Kandiudalfs (Plinthic Kandiudalfs )

.

(5) Ultisols, terdiri dari Kanhapludults ( ~ y p i cKanhaplu-

dults), ~andiudults (Typic Kandiudults, Rhodic Kandiudults, dan Plinthic Kandiudults), Hapludults (Typic
Hapludults dan Aquic Hapludults), Haplohurnults (Typic
Waplohumults),

Rhodudults

(Typic

Rhodudults),

dan

Paleudults (Typic Paleudults dan Plinthic Paleudults).
(6) Oxisols,

terdiri dari Eutrodoxs (Typic Eutrodoxs),

Hapludoxs (Plinthic Hapludoxs) dan Haplaquoxs (Plinthic
Haplaquoxs).

Tabel 2.

Jenis dan Macam Tanah D i Oaerah Studi

No. Order

No.

Great Group

1. Entisols

I.
2.
3.
4.
5.
6.

Troporthents
Tropaquents
Tropof luvents
Tropopsamments
Hydraquents
F luvaquent s

Typic Troporthents
Tropaquents
Tropof luvent s
Aquic Tropopsamments
Typic Hydraquents
Typic Fluvaquents

Dystropepts

Typic Dystropepts
Andic Dystropepts
L i t h i c Dystropepts
Aquic Dystropepts
Typic Tropaquept s
Hi s t i c Tropaquepts
Aeric Tropaquepts
Typic Eutropepts
L i t h i c Eutropepts
Typic Humitropepts

2. Inceptisols 7.

Tropaquepts
Eutropepts
Humitropepts
3. A l f i s o l s

11.

Hapludalfs
Kandiudalf s

4. U l t i s o l s

13.
14.

Kanhapludults
Kandiudults
Hapludults
Haplohumults
Rhodudu1t s
Paleudults

No.

Sub Group

Typic Hapludalfs
L i t h i c Hapludalfs
P l i n t h i c Kandiudalfs
Typic Kanhapludults
Typic Kandiudults
Rhodic Kandiudults
P l i n t h i c Kandiudults
Typic Hapludults
Aquic Hapludults
Typic Haplohunwlt s
Typic Rhodudu1t s
Typic Paleudults
P l i n t h i c Paleudults

5. Oxisols

19.
20.
21.

Eutrodoxs
Hapludoxs
Haplaquoxs

Typic Eutrodoxs
P l i n t h i c Hapludoxs
P l i n t h i c Haplaquoxs

6. Histosols

22.

Tropohemists

Typic Tropohemists

TINJAUAN PUSTAKA

Pendekatan Sistem

Untuk membahas suatu fenomena alam harus ditinjau dari
berbagai sudut pandang, Hal ini berhubungan dengan kejadian
lian yang mempengaruhi fenomena alam tersebut. Pembahasan
tersebut dapat didekati dengan Pendekatan Sistem (System
Approach), Sistem dapat dibatasi sebagai suatu interaksi
beberapa komponen sistem yang terorganisasi untuk mencapai
tujuan (Manetsch dan Park, 1977; Eriyatno, 1989a).
Pendekatan

sistem

sebagai

suatu

metode

pemecahan

masalah terdiri dari lima fase utama, yaitu (1) evaluasi
kelayakan, (2) model abstrak, (3) rancangbangun implementasi, (4) implementasi, dan (5) operasi sistem. Model Abstrak
merupakan suatu alat mendasar yang penting, memberikan
gambaran abstrak sistem nyata di alam yang berperilaku
seperti sistew nyata di alam dalam ha1 tertentu (Manetsch
dan Park, 1977). Selanjutnya Eriyatno (1989a) mengemukakan,
bahwa model digunakan dalam banyak cara di dalam merancang
bangun dan mengelola sistem sebagai fungsi analisis. Analisis itu sendiri dibatasi sebagai penentuan output model,
input

model, dan struktur model. Model yang dipakai

dapat

33

berupa model analitik, dan model simulasi, di mana keduanya
merupakan model matematik (Gordon, 1980).
Pendekatan sistem menyediakan pemecahan masalah dengan
metode logika dan alat-alat yang memungkinkannya mengidentifikasi komponen/subsistem yang berinteraksi untuk menyelesaikan beberapa tujuan, sehingga memungkinkan untuk melakukan pilihan secara rasional di antara pilihan yang tersedia di dalam masalah-masalah kritis.
Dalam pendekatan sistem, untuk pengambilan keputusan
dikenal dengan istilah sistem penunjang keputusan. Sistem
ini dimaksudkan untuk memaparkan secara mendetil elemen
sistezu, sehingga dapat menunjang pengambil keputusan dalam
proses pengambilan keputusan. Konsep sistem penunjang keputusan lebih menekankan pada keputusan yang ingin dicapai,
sedangkan data atau informasi yang diperlukan telah dianggap memenuhi syarat, sehingga sistem penunjang keputusan
tersebut dapat merupakan sarana proses pengambilan keputusan yang umumnya bersifat semi struktural, yaitu adanya
kemampuan untuk mengawinkan proses keputusan struktural dengan penilaian masing-masing keputusan yang bersifat subyektif (Keen dan Marton, 1978 dalam Eriyatno, 1989b).
Menurut Minch dan Burns (1983 dalam Eriyatno 1989b)
karakteristik pokok yang melandasi teknik sistem penunjang
keputusan adalah:

34
(1) Interaksi langsung antara komputer dengan pengambil ke-

putusan,
(2) Dukungan menyeluruh dari keputusan bertahap ganda,

(3) Suatu sintesis dari konsep yang diambil dari berbagai

bidang, antara lain ilmu komputer, psikologi, inteligensia buatan, ilmu sistem, dan ilmu manajemen,
(4) Hempunyai kemampuan adaptip terhadap perubahan kondisi
dan kemampuan berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat

.

Sistem penunjang keputusan dapat membantu para pengambil keputusan dengan cara menyediakan alat yang berharga
(Leight dan Doherty, 1986)' berupa:
(1) Sistem penunjang keputusan, dapat menelusuri data dasar
menurut sejarah waktu lampau, untuk mendapatkan hasil
keputusan yang sama,
(2) Model perhitungan, dapat dipergunakan untuk menduga ha-

sil keputusan-keputusan yang memungkinkan,
(3) Penampilan-penampilan grafik berdasarkan sejarah waktu
lampau, dapat dibangkitkan untuk membantu menelusuri
arah yang mungkin mempengaruhi keputusan sekarang,
(4) Pendugaan secara kuantitatif, dapat dikembangkan untuk
dampak proyek dengan pertimbangan masing-masing solusi
alternatifnya.
Pada langkah awal penggunaan sistem penunjang keputusan untuk pengembangan, perlu dilakukan analisis keputusan,

35

di mana para pengambil keputusan mendefinisikan perihal apa
yang penting diputuskan. Mereka pasti mampu menentukan
aspek-aspek khusus yang dapat diperbaiki dan komponen-komponen apa yang paling mempengaruhi efektifitas keputusan.
Dalam penggunaan sistem penunjang keputusan seyogyanya mampu mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu melalui pendekatan sistem. Langkah selanjutnya diperlukan pendekatan
perspektif ditinjau dari lima sudut pandangan (Eriyatno,
1989b), yaitu:
(1) Konsep ekonomi rasional,
(2) Pandangan yang berorientasi pada proses pengambilan

keputusan, tidak hanya pada hasilnya,
(3) Pandangan prosedur organisatoris,

Pandangan politis yang ditekankan pada kebutuhan,

(4)

(5) Pandangan individual yang tercermin pada sikap dan

prilaku keputuan.
Teknik dasar sistem penunjang keputusan tidak terlepas
dari skema permodelan abstrak. Model konseptual sistem penunjang keputusan merupakan gambaran hubungan abstrak antara tiga komponen utama, yaitu (a) para pengambil keputusan/pengguna (user), (b) model, dan (c) data. Struktur
sistem penunjang keputusan tertera pada Gambar 8 (Eriyatno,
1989b).
\

DATA

MODEL

BASIS DATA

BASIS MODEL

\

1

\

i

SISTEM MANAJEMEN
BASIS DATA (SMBD)

SISTEM MANAJEMEN
BASIS MODEL (SMBM)

2

2

7
L

SISTEM PENGOLAHAN
PROBLEMATIK

.

\

SISTEM MANAJEMEN DIALOG
A'

DSS

PENGGUNA

Gambar 7.

S t r u k t u r D a s a r S is t e m Penunj a n g K e p u t u s a n

Dent dan Young (1981) mangemukakan, bahwa evaluasi
Jahan adalah suatu proses penilaian potensi lahan untuk
berbagai alternatif penggunaan. ~ i r idasar evaluasi lahan
yaitu membandingkan persyaratan penggunaan lahan dengan potensi sumberdaya yang diberikan oleh lahan tersebut. Hal
ini beranjak dari kenyataan bahwa berbagai macam penggunaan
yang berbeda memerlukan syarat yang berbeda pula. Evaluasi
lahan harus mencakup pertimbangan sosial, ekonomi, dan
faktor lingkungan.
Penggunaan lahan saat ini, merupakan pertanda dinamis
adanya eksploitasi oleh manusia, baik secara perorangan
maupun secara kelompok atau masyarakat, terhadap sumberdaya

-

lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Istilah eksploita

Si mengandung arti yang bersifat kultural, sosial, dan
ekonomi, sedangkan istilah sumberdava. Jahan mengemukakan
adanya kemampuan suatu wilayah tertentu dalam ha1 faktorfaktor produksi yang bersifat biofisis, seperti: tanah,
air, iklim, hewan, dan tumbuhan (Malingreau, 1978)- Keputusan untuk mengubah penggunaan lahan harus didasarkan pada
kemungkinan pembangunan yang berkelanjutan yang akan menberikan keuntungan, baik ditinjau dari pengertian ekonomi,
sosial, maupun lingkungan. Dengan demikian membuat keputusan tentang penggunaan lahan adalah juga merupakan kegiatan

38

politis yang sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial dan
ekonomi masyarakat.
Proses evaluasi lahan bukan ditujukan untuk menentukan
perubahan penggunaan lahan, tetapi melengkapi data untuk
dasar pengambilan keputusan dalam memilih penggunaan lahan
yang paling sesuai, dengan dasar pertimbangan-pertimbangangan
tersebut di atas. Cara ini akan efektif apabila hasil evaluasi lahan secara normal memberikan informasi dalam dua
atau lebih bentuk potensi penggunaan lahan masing-masing
daerah termasuk konsekuensi keuntungan dan kerugian masingmasing penggunaan tersebut.
Fungsi perencanaan penggunaan lahan merupakan pedoman
pengambilan keputusan penggunaan lahan, dengan cara menempatkan sumberdaya alam pada penggunaan yang paling menguntungkan bagi manusia dan dalam waktu yang sama melakukan
konservasi sumberdaya alam untuk masa mendatang.

Perenca-

naan seyogyanya didasarkan pada pengertian lingkungan alami
dari berbagai macam penggunaan yang dipertimbangkan (FAO,
1976).

Menurut Mitchell (1973), sistem evaluasi lahan memiliki beberapa ciri, yaitu

(1) sebagai suatu cara dalam men-

jawab permintaan pemakai, (2) sebagai suatu cara pengumpulan, penyimpanan, analisis, dan penyajian informasi lahan
dan potensi penggunaannya, (3) sebagai suatu cara pemanggilan kembali dan manipulasi informasi.

39

Metode evaluasi lahan terus berkembang dan lebih mengarah ke model kuantitatif, agar lebih menunjang sistem
informasi lahan dan geografi yang diharapkan akan menjadi
alat penting bagi perencanaan penggunaan lahan dan pengendalian lingkungan (Beek, Burrough, dan McCormack, 1987).
Sehubungan dengan ha1 tersebut, tahun 1983 di Indonesia telah dikembangkan sistem evaluasi lahan terkomputer yang dikenal dengan 'ILECSW (Land Evaluation Computer System oleh
Wood dan Dent, 1983).

Dengan sistem ini diharapkan proses

evaluasi lahan dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, dapat dilakukan kapan saja diperlukan, pada daerah yang tidak
terbatas. Namun demikian kebenaran dan ketepatan ha1 ini
masih perlu dikaji lebih jauh.

Satuan Lahan

Satuan lahan merupakan pembagian bentang alam yang secara hirarkis dikelompokkan berdasarkan kesamaan karakteristik lahan. Pengelompokkan ini dapat dilakukan dari kategori rendah ke kategori tinggi, misalnya pengelompokkan dilakukan dari tingkat Tapak Lahan menjadi Faset Lahan, kemudian Faset Lahan dikelompokkan menjadi Kompleks Lahan, lalu
Kompleks Lahan dikelompokkan mejadi Sistem Lahan, dan
akhirnya pengelompokan Sistem Lahan menjadi Sistem Fisiogarafi. Cara ini akan menghasilkan satuan lahan dengan sebaran masing-masing satuan lahan pada berbagai kategori

40

terdeteksi dengan baik. Tetapi cara ini membawa konsekuensi
waktu dan biaya yang tinggi, karena data yang diperlukan
dimulai dari data yang sangat detil. Dengan kondisi data
lahan yang ada di Indonesia maka cara ini sangat sulit untuk dilakukan secara utuh.
Pemecahan bentang alam dapat pula dilakukan dengan cara pembagian dari kategori tinggi ke rendah. Pembagian ini
terutama didasarkan pada kesamaan pola bentuk lahan yang
secara mudah dapat dibedakan pada citra foto udara, dan
citra penginderaan jauh lainnya, seperti citra radar, citra
landsat, dan sebagainya. Pembagian satuan lahan dimulai dari kategori tinggi, misalnya kelompok Fisiografi, lalu
masing-masing kelompok Fisiografi dibagi menjadi beberapa
Sistem Lahan, masing-masing Sistem Lahan dibagi menjadi
beberapa Kompleks Lahan, masing-masing kompleks Lahan
dibagi menjadi beberapa Faset Lahan, dan akhirnya masingmasing Faset Lahan dibagi menjadi beberapa Tapak Lahan.
Pembagian ini dapat dilakukan dengan baik dan ketelitian
tetap tinggi bila diketahui struktur hirarki spasialnya.
Pengamatan lapang cara kedua yaitu dilakukan

pada

daerah yang dapat mewakili masing-masing satuan lahan sebagai hasil interpretasi foto udara dan atau citra penginderaan jauh lainnya. Cara ini menghasilkan satuan lahan
yang teliti tanpa harus mengorbankan waktu dan biaya yang
tinggi

.

41
Pengelompokan bentang alam telah banyak dibahas oleh
peneliti-peneliti terdahulu. Wiradisastra dan Mahi (1992)
mengemukakan bahwa para pakar geomorfologi seperti Linton
(1951), Christian (1958), Christian, Stewart, dan Perry
(1960), dan Wiradisastra (1973) mendekati permasalahan
klasifikasi wilayah melalui pendekatan fisiografi, karena
fisiografi selain memberikan kemungkinan prediksi homogenitas karakteristik lahan, mempunyai kelebihan yaitu kemampuan pengenalan yang lebih langsung di lapangan. Hal ini
penting karena meningkatkan kemampun pengenalan (recognizability) membantu memperbaiki kemampuan pemisahan kelas
maupun penarikan batas (deliniation) sehingga dapat dilakukan secara langsung baik pada foto udara ataupun di lapang.
Konsepsi dasar metode di atas didasari pemikiran bahwa
area dengan kesamaan genesis, ialah area sebagai hasil aksi
iklim yang sama terhadap batuan yang sejenis akan mempunyai
sifat-sifat yang sama atau paling tidak "miripW, oleh sebab
itu daerah dengan sejarah tektonik yang sama dapat diasumsikan mempunyai sifat-sifat yang sama pula (Wiradisastra
dan Mahi, 1992). Oleh karena itu menurut Mitchell (1973)
"terrainM dapat diklasifikasikan ke dalam "natural unitn
masing-masing dengan kesamaan genesis.
Wiradisastra (1978) menemukan bahwa konsep pionir pendekatan fisiografi yang diajukan Linton (1951) menyarankan
pentingnya konsep "sitev1yang dikemukakan Bourne (1931).

42

Menurut Bourne (1931), ttsitett
(setara dengan pengertian
tapak) adalah area yang mempunyai keseragaman karakteristik
lingkungan dan terdapat secara berulang untuk dapat dikelompokkan sebagai gabungan "sitett(Site Assemblages) dalam
suatu wilayah. Secara fisiografis gabungan "siten tersebut
dapat dikenal melalui foto udara.
Menurut Wiradisastra dan ~ a h i(1992), perbedaan yang
tegas antara cara pendekatan lama dalam pemetaan lahan dengan cara b a r ~yang mendekatinya melalui pendekstan fdsiografi yaitu bahwa pada cara lama pengamatan banyak dilaksanakan di lapangan melalui transek-transek, sedangkan cara
baru lebih sesuai dengan menggunakan foto udara atau citra
penginderaan jauh. Pada cara lama kompilasi data harus di
arahkan sewaktu melakukan pengamatan lapang, karena keadaan
lapang tidak seluruhnya dapat direkam. Permasalahan yang
serius akan dihadapi bila parameter lahan yang dipergunakan
sebagai kriteria kelas maupun deliniasi berupa sifat yang
tidak dapat diukur langsung di lapang seperti pada penggunaan konsep pemetaan tanah. Cara ini dapat memberikan hasil
yang memadai bila pemetaan dilakukan pada skala detil, dan
bila parameter lahan yang digunakan berasosiasi dan berkorelasi dengan sifat yang terlihat langsung di lapang. Sebaliknya dengan menggunakan foto udara, pengumpulan data
telah dapat dimulai sejak sebelum pergi ke lapang, dan
kriteria kelas maupun cara deliniasi dikembangkan sejak

43

awal. Di lapang pengumpulan data lebih ditujukan untuk
menunjang hasil interpretasi dan menambah data yang diperlukan akan tetapi tidak dapat diperoleh dari interpretasi
foto udara.
Pengelompokan bentang

alam

berdasarkan hirarkinya

antara lain dikemukakan oleh:
(1) Bourne (1931 dalam Thownshend, 1981) mengelompokkan

bentang alam menjadi dua bagian yaitu I1Sitew dan
llRegionll.
(2) Unstead (1933 dalam Thownshend, 1981) mengelompokkan

bentang alam menjadi tiga bagian, yaitu " F e a t ~ r e ~ ~ ,
llStornll,
dan llFacetll.
(3) Isacenko (1965 dalam Thownshend, 1981) mengelompokkan

bentang alam men jadi tiga bagian, yaitu wFaciesll,
wUcocisew,dan "Mestnost".
(4) MEXE (1969) mengelompokkan bentang alam menjadi lima

bagian, yaitu "Land Elementw, nLand Facetn, "Land
Patternm, "Land Regionw, dan "Land Provincew.
(5) Grand

dan Aitchison (1965 dalam Thownshend, 1981)

mengelompokkan bentang alam menjadi empat bagian, yaitu
"Land Componentw, "Terrain Unitu, nTerrain Patternn,
dan "Land Provincew.
(6) Brink dkk. (1965 dalam Mitchell, 1973) mengelompokkan

bentang

alam

menjadi

tujuh bagian,

yaitu

"Land

44

Elementw, nLand Facetn, "Land Systemw, "Land RegionI1,
"Land Provincew, "Land Devisionvg,dan "Land Zoneu.
(7) Christian dan Stewart

(1968) mengelompokkan bentang

alam menjadi tiga bagian, yaitu nLand Elementw, "Land
Unitw, dan IgLand Systemw.
(8) Wiradisastra, U.S.

(1973) mengelompokkan bentang alam

menjadi empat bagian, yaitu "Sitew, nSite Typew, "Land
Complexw, dan "Terrain Typegv.
(9) Mahi, A.K.

(1987) untuk keperluan evaluasi kemampuan

lahan mengelompokkan bentang alam menjadi empat bagian,
yaitu ggTapakgg,IgTipe Tapakw , "Kompleks Lahann , dan
"Satuan Fisiografiw.

Berdasarkan perkembangan pengelompokan bentang alam
tersebut terlihat bahwa pada kategori rendah satuannya hampir sama, perbedaan lebih banyak pada nama, sedangkan pada
kategori tinggi satuannya sangat beragam. Hal ini terutama
disebabkan oleh jalur pengembangannya yang tidak searah.
Oleh karena itu diperlukan adanya struktur hirarki yang
lebih jel