Studi-studi berikutnya diarahkan pada kondisi yang mempengaruhi hubungan laba-harga saham.
3.2.1. Risiko perusahaan
Kothari dan Zimmerman 1995 menyatakan bahwa earnings response coefficent ERC adalah fungsi terbalik dari risiko sistematis dan dalam berbagai model, terdapat
hubungan empiris antara risiko dan variabel laba. Saham perusahaan yang rendah resikonya akan mempunyai ERC yang tinggi, demikian juga sebaliknya. Jika faktor risiko
ini tidak dipertimbangkan dalam model, maka akan terjadi bias karena terdapat variabel yang berhubungan namun diabaikan. Collins dan Kothari 1989 serta Easton dan
Zmijewski 1989 memprediksi variasi cross-sectional ERC berhubungan negatif dengan risiko sistematis perusahaan.
Sedangkan Barth et al 1998 menggunakan volatilitas imbal hasil saham sebagai proksi risiko perusahaan. Volatilitas imbal hasil diukur dengan standar deviasi imbal
hasil saham enam bulan sebelumnya. Temuan Barth et al 1998 menunjukkan bahwa koefisien inkremental nilai buku ekuitas laba adalah positif negatif untuk perusahaan-
perusahaan yang volatilitasnya tinggi. Koefisien inkremental laba adalah negatif untuk perusahaan yang tinggi volatilitasnya. Hal ini konsisten dengan volatilitas imbal hasil
sekuritas sebagai proksi risiko. Namun untuk koefisien nilai buku ekuitas, belum ditemukan alasannya.
H2.1: Beta perusahaan berpengaruh negatif terhadap hubungan laba akuntansi dan harga saham, dengan memperhitungkan nilai buku ekuitas dan tahun.
3.2.2. Struktur Modal
Dhaliwal et al 1991, Dhaliwal dan Reynold 1994 serta Billings 1999 menunjukkan bahwa informativeness of earnings menurun sesuai dengan default risk.
Dhaliwal dan Reynald 1994 menggunakan dua proksi untuk default risk yaitu bond ratings dan debt-to-market equity debtequity ratio. Kedua proksi tersebut
mencerminkan risiko-risiko yang relevan yang tidak bisa dicerminkan oleh equity beta. Debtequity ratio ini mencerminkan struktur modal yang dimiliki perusahaan.
Debtequity ratio yang tinggi berarti perusahaan lebih banyak menggunakan hutang sebagai modal. Untuk perusahaan-perusahaan yang memiliki lebih banyak hutang, setiap
peningkatan laba sebelum bunga akan dirasakan oleh pemberi pinjaman sebagai suatu keamanan. Jadi peningkatan laba akan lebih banyak direspon oleh debtholder, bukan oleh
shareholder. Oleh karena itu, ERC perusahaan yang tinggi hutangnya akan lebih rendah Dhaliwal et al 1991 dibandingkan dengan perusahaan yang rendah hutangnya.
Core dan Schrand 1999 juga membuktikan bahwa reaksi harga saham terhadap laba yang tak terduga akan meningkat pada saat perusahaan hampir menghadapi
pelanggaran perjanjian hutang. Temuan mereka adalah ERC merupakan fungsi meningkat dari modal, kebalikan dari tingkat hutang. Jadi terdapat hubungan negatif antara tingkat
hutang dan ERC. H2.2: Pengaruh laba akuntansi terhadap harga saham lebih kecil pada perusahaan yang
memiliki rasio hutang terhadap total aktiva yang tinggi dibanding dengan perusahaan yang memiliki rasio hutang terhadap total aktiva yang rendah, dengan
memperhitungkan nilai buku ekuitas dan tahun.
3.3. Relevansi Nilai pada Pasar yang Tidak Efisien