Partisipasi Politik Penyandang Difabel PadaPemilihan Umum Presiden Tahun 2014 di Kota Yogyakarta

(1)

SKRIPSI

Partisipasi Politik Penyandang Difabel PadaPemilihan Umum Presiden Tahun 2014 di Kota Yogyakarta

SKRIPSI

Disusun oleh:

AGUS ANDIKA PUTRA 20130520149

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

i SKRIPSI

Partisipasi Politik Penyandang Difabel Pada Pemilihan Umum Presiden Tahun 2014 di Kota Yogyakarta

Diajukan GunaMemenuhi dan Melengkapi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Strata I(S-1) Pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh: AGUS ANDIKA PUTRA

20130520149

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

ii LEMBAR PENGESAHANSKRIPSI

Partisipasi Politik Penyandang Difabel Pada Pemilihan Umum Presiden Tahun 2014 di Kota Yogyakarta

Oleh:

AGUS ANDIKA PUTRA 20130520149

Telah dipertahankan dan disahkan didepan Tim Penguji Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Pada:

Hari/ Tanggal : Sabtu, 10 Desember 2016 Tempat : Ruang Igov Lama 1 Jam : 10.00 WIB

SUSUNAN TIM PENGUJI Ketua Penguji

Tunjung Sulaksono, S.IP., M.Si. Penguji I

Dian Eka Rahmawati, S.IP., M.Si.

Penguji II

Rahmawati Husein, Ph.D. Mengetahui,

Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan


(4)

iii HALAMAN PERNYATAAN

Nama :Agus Andika Putra Nomor Mahasiswa : 20130520149 Jurusan : Ilmu Pemerintahan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar merupakan hasil karya sendiri, dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi manapun. Sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya dan atau pendapat orang lain yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka. Selanjutnya apabila dikemudian hari terbukti terdapat duplikasi, serta ada pihak lain yang merasa dirugikan dan menuntut, maka saya akan bertanggungjawab serta menerima segala konsekuensi yang menyertainya.

Yogyakarta,19 Desember 2016

AGUS ANDIKA PUTRA 20130520149


(5)

iv HALAMAN MOTTO

“Membaca

, Menulis dan berorganisasi adalah cara

mudah menggenggam dunia”


(6)

v HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk orang-orang yang sangat berarti di dalam hidup saya, untuk:

 Untuk kedua orang tuaku Ibu Hamidah, S.Pd.& Bapak Suraji, S.Pd., M.M. yang telah menyayangiku sepenuh jiwa raga, yang telah membimbingku, memotivasiku dan mendoakkanu setiap hariku. Kalian pahlawan dalam hidupku. Untuk emakku tersayang maafkan ananda yang sejak dikandungan selalu menyusahkanmu, selalu menggoreskan kesedihan di hatimu atas segala perbuatanku selama ini, kau selalu tak nyeyak istirahat memikirkanku agar bisa merasakan pendidikan yang layak. Terimaksih atas segala pengorbananmu, semoga dengan berahirnya masa studyku yang insaAllah bukan untuk yang terahir ini sedikit bisa menjadi persembahanku utukmu. Untuk bak ku yang kusayang kuhaturkan banyak terimakasih atas segala bimbinganmu, kasih sayangmu, pengorbananmu, suatu saat akan kujadikan buku kisah hidupmu yang penuh inspiratif agar anak cucumu tahu bahwa kau adalah super hero sesungguhnya. Aku sayang emak, bak selamanya tanpa akhir, maafkan belum bisa membanggakan kalian berdua.

 Adikku dan kakakku (wo), Alfiatul Khoiriah dan Septy Nur Fatonah,S.Pd., M.Pd. kalian berdua adalah semangatku, dua perempuan yang selalu kusayangi,teruntuk Wo ku adalah inspirasiku, sosok kakak yang selalu sayang sama adik-adiknya terimakasih sudah menjadi kakak yang baik untukku dan Via. Untuk adikku yang paling manja jadilah kebanggan emak, bak. walaupun kamu aadikku tapi keberanian merantau jauh dari orang tua sejak muda untuk menimba ilmu selalu kujadikan semangatku. Semoga kita bertiga bisa menjadi kebanggan orang tua dan membahagiakan mereka sampai kapanpun.

 Yuri Novrica yang telah menyamangatiku dari jauh, terimakasih atas waktu dan dukunganmu selama ini

 Teruntuk seluruh keluarga besarku di Marang, pesisir Barat Lampung dan Klaten

 Sahabat-sahabatku tercinta.


(7)

vi Penulis juga mengucapkan banyak terimaksih kepada seluruh handai taulan yang telah berkontribusi banyak selama penulis menumpuh masa perkuliahan

1. Seluruh Dosen IP UMY yang telah memberikan ilmu tanpa lelah kepadaku semoga kebaikan selalu menyertai Bapak, Ibu terimakasih juga kepada seluruh Staf di Jurusan Ilmu pemerintahan UMY (Pak Katon, Mas Wahid, Ibu ning, Mbak Linda)

2. Cak David Efendi, MA. Banyak terimakasih kepada salah satu dosen dan kakakku yang satu ini, tanpa lelah memberikanku masukan, memaksaku untuk selalu belajar, semoga kebaikan selalu tercurah untukmu dan keluarga cak, semoga Cak bisajadi Bupati lamongan, ucapan terimaksih juga untuk Mbak Rif Istri cak David yang tak bosan-bosannya memasakkan kami makanan bergizi di Jogja.

3. Mas Sakir, M.IP terimaksih telah menjadi kakak, teman dan dosen yang tanpa lelahnya menyemangatiku, semoga mas senantiasa dilancarkan segala urusnnya. Terimaksih atas segala ilmu yang daiajarkan selama ini. Terimaksih sudah membagi ilmu sebagai peneliti di jurusan Ilmu Pemerintahan

4. Bang Abdulah bin Zed terimaksih telah banyak membantu selama skripsi dan semasa kuliah sering meminjamkan bukunya

5. Kepada seluruh keluarga besar saya di Rumah Baca Komunitas, tempatku menemukan saudara, tempatku belajar nilai-nilai kemanusian, Mas Cu (kakak yang baik banget), Om Awiek, Bang Fauzan, Alhafiz (terimakasih atas pertemanan yang baik selama ini) Cak Lupet (yang sering ngajari saya menyetir), Hanafi, madam Uswatun Hasanah (saudara perempuanku yang baik banget, terimaksih atas kebaikanmu), Shinta Istiana (tempat diskusi dalam menyelesaiakan skripsi), Abang Vitho (suka


(8)

vii nraktir Karoke), bang indra, Irfan, om andam, mas adim, mbak mia, lisa, rama, danang, rasyid (maaf jika ada yang tidak tertulis)

6. Himpunan Mahasiswa (MPO) Komisariat Fisipol tempatku belajar banyak hal

7. Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UMY periode 2013-2014

8. Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UMY periode 2015-2016 wabilkhusus Komisi C

9. Partai Amanat Mahasiswa Yang telah memberikan saya kesempatan belajar berpolitik praktis

10. Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiwa Lampung Barat Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar berorganisasi 11. Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiwa Pesisir Barat Yogyakarta (IKAM

SIBA) yang menjadi keluarga baru saya di Yogyakarta

12. Seluruh Mahasiswa Ilmu Pemerintahan angkatan 2013 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, pasti akan rindu dengan kalian semua, selamat menjadi agen perubahan, mari bangun daerah.

13. Teman-teman PKM Tips Aksi Balita (Ainun, Awe, Fikri, Helen)

14. Sahabat-sahabat saya (Rizky Herdianto terimaksih sudah menemani saya mulai dari pendaftaran ujian sampai saya resmi jadi mahasiswa UMY, mbak Putri (sagung), Relsan Mandela kawan karibku dari Lampung, Muhammad Irfan, Taufan (yang sering menemani saya mengantar surat peneliatan), Helen Dian Fridayani sahabatku yang super duper rajin banyak proyeknya dan sering minjami duit kalo kirimanku telat, Neng Azaria Sofa, Dewi, Dwi, Cenut, Elvin Defriadi (sukses cuk), Sundowo, Kentung, NugroHoho, Danang Eko, Vosta, Nando, Fahri, zaenal, hasqon dan banyak lagi, hernita, dicky (boss kos-kosan), Sucy Yasir, Praha, Ardy,


(9)

viii Hesi dan seluruh sohib yang tak dapat saya sebutkan satu persatu, pokoknya terimakasih sudah menjadi bagian terindah dalam hidupku :D) 15. Keluargaku kontrakan Young Sardiman (Rifki Sanahdi alias Ikong

maksih banyak atas semua kebaikanmu, Akbar Salahudin alias Labeh dan Sindu Prabowo) terimakaih telah menjadi saudaraku sahabatku, hari-hari sudah kita lewati tidak terasa jarak akan memisahkan kita, untuk rifki semoga jebol beasiswanya, labeh semoga jaya dengan jasa kontraktornya dan sindu semoga jaya denagan lembaga risetnya. Semoga kita bisa bertemu lagi disuatu hari nanti. Akan selalu kurindukan kalian. Sukses untuk kita!!

16. Kawan-kawan KKN padukuhan lodoyong (bapak & ibu dukuh, pak slamet, suluh, dian, helina, raqin, agung,alle, dika, susi, munika, indah, sulis, dhanu, boi dan aldino)


(10)

ix KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Alhamdulillahhirrobil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat serta Hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam tak lupa selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabat-sahabat yang selalu membantu perjuangan beliau untuk menegakkan Dinullah di muka bumi ini.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dan memperoleh gelar sarjana (S1) pada jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Adapun judul dari skripsi ini adalah Partisipasi Politik Penyandang Difabel pada Pemilihan Umum Presiden Tahun 2014 di Kota Yogyakarta.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih jauh dari kata sempurna sehingga penulis dengan senang hati untu menerima kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan pendidikan di masa yang akan datang. Penulis menyadari pula bahwa terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak lepas dari


(11)

x bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Tunjung Sulaksono, S.IP., M.Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan masukan, dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Ali Muhammad, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3. Dr. Titin Purwaningsih, M.Si., selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

4. Ibu Dian Eka Rahmawati, S.IP., M.Si., selaku Dosen Penguji I yang telah menguji dan memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Rahmawati Husein, Ph.D selaku Dosen Penguji II yang telah menguji dan memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

6. Cak David Efendi., M.A yang memberikan beberapa referensi dan masukan terkait penulisan yang dilakukan penulis

7. Seluruh narasumber yang telah memberikan informasi yang sangat berharga untuk penelitian ini yaitu : KPU Kota Yogyakarta diwakili Oleh Ibu Rani, Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel(SIGAB) yang diwakili oleh Bapak Rohmanu Solikin, Ibu Ida Ayu, dan Ibu Widi Harianti,


(12)

xi Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, itu semua karena keterbatasan kemampuan yang penulis miliki dalam menyelesaikan penyusunan skirpsi ini.Untuk itu penulis meminta maaf atas segala kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya serta dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi kita semua.Amin.

Demikianlah Kata Pengantar yang dapat penulis sampaikan, sekali lagi terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendo’akan penulis selama menempuh Pendidikan Sarjana (S1) di Program Studi Ilmu Pemerintahan dan dalam penyusunan skripsi ini.

Wassalamualaikum Wr.Wb

Yogyakarta, Desember 2016

AGUS ANDIKA PUTRA NIM. 20130520149


(13)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ... iii

MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xiv

SINOPSIS ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 7

1.3.Tujuan Penelitian ... 7

1.4.Manfaat Penelitian ... 8

1.5.Kerangka Teori ... 9

1.5.1. Demokrasi ... 9

1.5.2. Partisipasi Politik ... 14


(14)

xiii

1.5.4. Pemilihan Umum ... 21

1.5.5. Difabel ... 25

1.6.Definisi Konsepsional ... 29

1.7.Definisi Operasional... 30

1.8.Metode Penelitian... 32

1.9.Sistematika Penulisan ... 37

BAB II PROFIL OBYEK PENELITIAN ... 38

2.1.Gambaran Pemilu di Kota Yogyakarta ... 38

2.2.Profil Komisi Pemilihan Umum Kota Yogyakarta ... 41

2.3.Organisasi Penyandang Difabel yang Mendorong Angka Partisipasi Politik Difabel Pada Pemilu presiden Tahun 2014 Di Kota Yogyakarta ... 46

BAB III PEMBAHASAN ... 52

3.1.Respon Masyarakat Difabel terhadap Ruang partisipasi Yang dibangun oleh KPU Kota Yogyakarta Pada Pemilu Presiden Tahun 2014 ... 67

3.2.Partisipasi Politik Penyandang Difabel Pada Pemilu Presiden tahun 2014 di Kota Yogyakarta ... 79

BAB IV PENUTUP ... 98

A. Kesimpulan ... 98


(15)

xiv DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Data Primer ... 34 Tabel 1.2 Data Sekunder ... 34 Tabel 2.1 Perolehan Kursi Partai Politik pada DPRD DIY dalam Pemilu Tahun 2009 ... 38 Tabel 2.2 Perolehan Suara Calon Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2009 ... 39 Tabel 2.3 Perolehan Suara Calon Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2014 ... 40

DAFTAR BAGAN Halaman

Gambar 1.1 Piramida Partisipasi Politik I. ... 16 Gambar 1.2 Piramida Partisipasi Politik II ... 17 Bagan 3.1 Tingkat Kesadaran Difabel di Kota Yogyakarta ... 67


(16)

xv SINOPSIS

Partisipasi setiap warga negara dalam pemilu merupakan hak asasi yang harus dijunjung tinggi.Setiap warga negara berhak terlibat dalam mengambil kebijakan politik dan negara wajib melindungi hak-hak tersebut. Pada Pemilu tahun 2014 angka partisipasi Difabel di Kota Yogyakarta mencapai 66,5%. Tingginya partisipasi Penyandang Difabel di Kota Yogyakarta dalam Pemilu 2014 mengisaratkan berjalannya demokrasi. Pemilihan Umum di Indonesia merupakan suatu capaian yang besar dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia, dalam proses pemilu keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam pemilu merupakan salah satu hal penting untuk menakar sejauh mana demokrasi itu berjalan. Oleh karena adanya partisipasi yang tinggi sehingga menarik untuk diteliti terkait respon masyarakat Difabel di Kota Yogyakarta terhadap ruang partisipasi yang dibangun oleh KPU Kota Yogyakarta pada pemilu tahun 2014 dan untuk mengetahui bagaimana partisipasi Difabel pada pemilu presiden di Kota Yogyakarta pada tahun 2014. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode wawancara dan dokumentasi.Lokasi pengambilan data yaitu di KPU Kota Yogyakarta, SIGAB dan perwakilan dari masyarakat Difabel di Kota Yogyakarta.Hasil penelitian ini menemukan bahwa kemampuan merespon Difabel di Kota Yogyakarta dipengerahui oleh tingkat kesadaran yakni kesadaran semi intransitive, kesadaran naïve transitivity dan kesadaran kritis.Ketika Difabel pada tingkat keritis mereka mampu merespon secara kritis sehingga berdampak pada perbaikan pemilu di Kota Yogyakarta. Hasil penelitian berikutnya adalah partisipasi Difabel di Kota Yogyakarta pada pemilu tahun 2014 tidak hanya menjadi penyumbang suara tapi lebih bermakna daripada itu karena Difabel di Kota Yogyakarta sudah mulai berpartisipasi menjadi penyelanggara pemilu seperti relawan demokrasi dan petugas TPS. Pada pemilu presiden tahun 2014 di Kota Yogyakarta juga melakukan lobby untuk memastikan Capres dan Cawapres berpihak terhadap Difabel.


(17)

(18)

SINOPSIS

Partisipasi setiap warga negara dalam pemilu merupakan hak asasi yang harus dijunjung tinggi.Setiap warga negara berhak terlibat dalam mengambil kebijakan politik dan negara wajib melindungi hak-hak tersebut. Pada Pemilu tahun 2014 angka partisipasi Difabel di Kota Yogyakarta mencapai 66,5%. Tingginya partisipasi Penyandang Difabel di Kota Yogyakarta dalam Pemilu 2014 mengisaratkan berjalannya demokrasi. Pemilihan Umum di Indonesia merupakan suatu capaian yang besar dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia, dalam proses pemilu keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam pemilu merupakan salah satu hal penting untuk menakar sejauh mana demokrasi itu berjalan. Oleh karena adanya partisipasi yang tinggi sehingga menarik untuk diteliti terkait respon masyarakat Difabel di Kota Yogyakarta terhadap ruang partisipasi yang dibangun oleh KPU Kota Yogyakarta pada pemilu tahun 2014 dan untuk mengetahui bagaimana partisipasi Difabel pada pemilu presiden di Kota Yogyakarta pada tahun 2014. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode wawancara dan dokumentasi.Lokasi pengambilan data yaitu di KPU Kota Yogyakarta, SIGAB dan perwakilan dari masyarakat Difabel di Kota Yogyakarta.Hasil penelitian ini menemukan bahwa kemampuan merespon Difabel di Kota Yogyakarta dipengerahui oleh tingkat kesadaran yakni kesadaran semi intransitive, kesadaran naïve transitivity dan kesadaran kritis.Ketika Difabel pada tingkat keritis mereka mampu merespon secara kritis sehingga berdampak pada perbaikan pemilu di Kota Yogyakarta. Hasil penelitian berikutnya adalah partisipasi Difabel di Kota Yogyakarta pada pemilu tahun 2014 tidak hanya menjadi penyumbang suara tapi lebih bermakna daripada itu karena Difabel di Kota Yogyakarta sudah mulai berpartisipasi menjadi penyelanggara pemilu seperti relawan demokrasi dan petugas TPS. Pada pemilu presiden tahun 2014 di Kota Yogyakarta juga melakukan lobby untuk memastikan Capres dan Cawapres berpihak terhadap Difabel.


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut.Tumbangnya Orde Baru telah membuka peluang terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia. Langkah terobosan konstitusional yang dilakukan dalam proses demokratisasi adalah amandemen UUD 1945 oleh MPR hasil pemilu 1999 dalam empat tahap selama empat tahun (1999-2002). Langkah demokratisasi berikutnya adalah Pemilihan Umum memilih Kepala Daerah secara langsung (pilkada) yang diatur dalam UU tahun 2004 No. 32 UU tentang pemerintah daerah. Pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2004 merupakan tonggak sejarah politik penting dalam sejarah politik Indonesia modern karena terpilihnya anggota-anggota DPR, DPD, DPRD telah menuntaskan demokratisasi di bidang lembaga-lembaga politik di Indonesia (Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2010). Demokratisasi juga membuka ruang warga Negara untuk ikut berperan di dalamnya.Demokrasi mampu melindungi hak-hak warga Negara yang ada tak terkecuali hak-hak masyarakat Difabel.

Pemilihan Umum atau Pemilu merupakan manifestasi dari pelaksanaan demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia


(20)

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Demokrasi sebagai dasar hidup berbangsa memberikan adanya kesempatan bagi rakyat untuk ikut memberikan masukan atau kontribusi dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya termasuk dalam menilai kebijakan pemerintah.Dalam suatu negara demokrasi terdapat kebebasan-kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi yang diatur dalam perundang-undangan. Pemilu juga merupakan elemen penting untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi, karena Pemilu menjadi sarana untuk menegakkan kedaulatan rakyat dalam hal memilih siapa yang akan menjadi perwakilan mereka di pemerintah.

Partisipasi setiap warga negara dalam pemilu merupakan hak asasi yang harus dijunjung tinggi.Setiap warga negara berhak terlibat dalam mengambil kebijakan politik dan negara wajib melindungi hak-hak tersebut. Ketentuan tentang partisipasi secara aktif dalam kehidupan berpolitik terkandung dalam pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, pasal 28D ayat (3), pasal 28H ayat 2 dan pasal 28I ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen dan pasal 43 ayat (1) dan (2) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Inti pasal-pasal tersebut antara lain setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan, baik kesempatan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan berupa dipilih dan memilih dalam pemilu maupun aksesibilitas untuk mendapatkan kesempatan tersebut tanpa diskriminasi. Landasan hukum


(21)

tersebut berlaku pula bagi penyandang disabilitas dan diperkuat dengan UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat serta mengacu pada Perda No. 4 tahun 2012 tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas(Soeradireja, 2011).

Difabel sebagai bagian dari warga negara Indonesia berhak terlibat aktif dalam berkehidupan politik. Pasal 43 ayat 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah menerangkan secara tegas bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan, baik untuk dipilih maupun memilih. Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas dalam UU Nomor 19 Tahun 2011 juga telah menjamin hak pilih para penyandang disabilitas dalam Pemilu. Undang-Undang ini juga menyebutkan negara memiliki kewajiban untuk mewujudkan hak penyandang disabilitas dan menjamin kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar, yang salah satunya adalah hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan dalam Pemilu (Merly, 2015).

Difabel memiliki hak, kedudukan, dan peran yang sama dengan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat difabel memiliki keterbatasan dalam mengakses pelayanan publik yang seharusnya masih menjadi hak mereka.Fasilitas-fasilitas di dalam ruang publik tidak aksesibel dan belum ramah bagi kaum difabel.Hal ini mengakibatkan difabel mengalami kesulitan dalam beraktivitas.


(22)

Kondisi ini dikarenakan kurang sensitifnya dan belum terimplementasi kebijakan publik terhadap keberadaan difabel (Hesty, dkk, 2012).

Sampai tahun 2014 permasalahan Difabel (Different Ability) atau ‘disabilitas’ belum menjadi perhatian publik maupun peneliti demokrasi di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya karya terkait isu demokrasi yang berhubungan dengan Difabel menjelang ataupun pasca pemilu 2014seperti buku Memahai pemilihan umumdan gerakan politik kaum Difabelyang ditulis oleh Ishak Salim, Risal Suaib, M.Joni Yulianto, PurwantiM. Syafi’ie, Aanto Sulistyo, Rohmanu Solikin. Buku ini membahas tentang bentuk-bentuk diskriminasi politik bagi difabel, tulisan tersebut mendiskusikan betapa pemilu yang telah berlangsung masih seringkali belum memperlakukan difabel secara adil.Tulisan selanjutnya dalam buku tersebut membahas mengenai pemilu sebagai sistem pergantian kekuasaan, membahas mengenai perspektif dan pandangan kelompok difabel tentang pemilu(Ishak Salim, dkk, 2014) .

Ada beberapa jurnal seperti jurnal yang ditulis Ishak Salim yang berjudul Perspektif Disabilitas dalam Pemilu 2014 dan Kontribusi Gerakan Difabel Indonesia bagi Terbangunnya Pemilu Inklusif di Indonesia, Penelitian ini menaganalisa bagaimanakontribusi gerakan Difabel indonesia bagi terbangunnya Pemilu Inklusif di Indonesia. Kemudian dalam penelitian Ishak Salim menggali perspektif dari calon DPRD di empat wilayah dan melakukan monitoring terhadap Pemilu bersama Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel(Salim, 2015).


(23)

Jurnal berikutnya yaitu Jurnal Ketahanan Nasional yang

ditulis oleh Mario Merly, berjudul “Aksesibilitas Pemilu 2014 dan

Implikasinya Terhadap Ketahanan Politik (Studi Tentang Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Di Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), penelitian ini membahas aksesibilitas masih menjadi permasalahan dalam pelaksanaan Pemilu 2014. Ketimpangan

terhadapaksesibilitas Pemilu bagi para penyandang disabilitas tentunya

akan menimbulkan sebuah persepsi tersendiri merekaterhadap pelaksanaan

Pemilu.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa mahasiswa penyandang disabilitas masih menilaiburuk implementasi perundang-undangan yang

telah banyak mengatur aksesibilitas.Pijakan regulasi tidak

mampudilaksanakan dengan baik oleh penyelenggara Pemilu untuk

mendesain Pemilu yang aksesibel bagi penyandangdisabilitas.Hal yang

patut diperhatikan adalah sikap politik mahasiswa penyandang disabilitas

telah cukup baik.Ketika kebijakan aksesibilitas tetap diabaikan dan tidak

menjadi perhatian pemerintah, maka pada akhirnya peranpolitik

mahasiswa penyandang disabilitas bisa menjadi rentan karena berwujud

sikap kehilangan kepercayaan (publictrust) terhadap pemerintah. Implikasi

terhadap hal ini sangat rentan mempengaruhi ketahanan politik, karena

tanpakepercayaan publik maka kunci penting dalam membangun


(24)

Urgensimelakukan penelitian isu demokrasi dan Difabel menjadi sangat kuat selain belum adanya penelitian terkait respon dari masyarakat Difabel, angka Difabel di Yogyakarta juga relatif tinggi. Data Dinas Sosial (Dinsos) DIY tahun 2015 yang dirilis Tribun Jogja bahwa saat ini di DIY terdapat 25.050 penyandang disabilitas, Dari lima daerah kabupaten/kota di DIY, Kulonprogo berjumlah 4.399, Bantul 5.437, Gunungkidul 7.860, Sleman 5.535 dan Kota Yogyakarta 1.819. Dari keseluruhan jumlah tersebut, 3.708 difable disandang oleh anak-anak.

Kota Yogyakarta menjadi penting untuk penelitian ini karena pada saat pemilu 2014 KPU Yogyakartamendapatkan penghargaan dari KPU RI dalam kategori Pemilu Akses. KPU Kota Yogyakarta telah memberikan aksesibilitas kepada pemilih Difabelmelalui kebijakan-kebijakan yang responsif terhadap masyarakat Difabel (KPU-DIY, 2014). Kemudian temuan kelompok Program Kreatifitas Mahasiswa tahun 2015 yang berjudul Tingkat Partisipasi Politik Penyandang Disabilitas Pada Pemilu 2014 di Kota Yogyakarta yang baranggotakan Agus Andika Putra, Helen Dian Fridayani, Fikri, Ainun, dan Aulia, dalam penelitian ini menemukan Pemilu yang diselenggarakan oleh KPU Kota Yogyakarta mencapai angka 66,5%.

Penelitian ini sangat relevan dilakukan dengan berbagai pertimbangan dan urgensi diantaranya, Pertama penelitian terkait Difabel sangat jarang terlebih dalam kajian sosial dan politik.Kedua, belum ditemukan penelitian yang konsen terhadap respon-respon masyarakat


(25)

Difabel mengenai ruang-ruang partisipasi yang diupayakan untuk mereka.Ketiga, tingginya partisipasi penyandang Difabel dalam Pemilu tahun 2014 di Kota Yoyakarta dibanding daerah lain sehingga menarik untuk diteleliti bagaimana partisipasi masyarakat Difabel dalam proses politik di Kota Yogyakarta.Berdasarkan pemaparan dan fakta-fakta diatas penulis tertarik meneliti terkait isu Difabel dalam pemilu di Kota Yogyakarta terutama bagaimana partisipasi politik penyandang Difabel pada Pemilu Presiden tahun 2014 di Kota Yogyakarta dan bagaimana respon Masyarakat Difabel Terhadap Ruang Partisipasi Politik yang dibangun KPU Kota Yogyakarta pada Pemilu Presiden Tahun 2014?

1.2.Rumusan Masalah

1.2.1. Bagaimana respon masyarakat Difabel terhadap ruang partisipasi politik yang dibangun KPU Kota Yogyakarta pada Pemilu Presiden tahun 2014 di Kota Yogyakarta?

1.2.2. Bagaimana partisipasi politik penyandang Difabel pada Pemilu Presiden tahun 2014 di Kota Yogyakarta?

1.3.Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penelitian ini bertujuan : 1.3.1. Untuk mengetahui Respon Masyarakat Difabel Terhadap Ruang

Partisipasi Politik yang dibangun KPU Kota Yogyakarta pada Pemilu Presiden tahun 2014 di Kota Yogyakarta.

1.3.2. Untuk mengetahui partisipasi politik penyandang Difabel pada Pemilu Presiden tahun 2014 di Kota Yogyakarta


(26)

1.4.Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini ialah sebagai berikut : 1.4.1. Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama dalam mempelajari kajian politik partisipasi penyandang Difabel dalam Pemilihan Umum. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi acuan bagi penelitian yang sama dimasa yang akan datang.

1.4.2. Manfaat Praktis

1.4.2.1.Manfaat praksis dari penelitian ini adalah sebagai masukan bagi Stake Holder yang menangani pemilihan umum yaitu Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia khususnya Komisi Pemilihan Umum Kota Yogyakarta untuk perbaikan dalam rangka pemenuhan hak-hak masyarakat dalam berpartisipasi ketika pemilihan umum, khususnya masyarakat Difabel.

1.4.2.2.Manfaat untuk komunitas Difabel, diharapkan penelitian ini dapat menjadi rujukan terkait partisipasi politik penyandang Difabel dalam proses Pemilihan Umum khususnya Pemelihan Umum Presiden.

1.5.Kerangka Dasar Teori

Kerangka dasar teori merupakan bagian yang terdiri atas uraian yang menjelaskan variabel-variabel dan hubungan-hubungan antar variabel


(27)

berdasarkan konsep definisi tertentu, didalam bagian ini dikemukakan teori yang menjadi acuan bagi penelitian yang akan dilakukan. Menurut Marsi Singarimbun, Sofyan Efendi (1989) dalam buku Metode Penelitian Suvey menyatakan bahwa :

“teori adalah serankaian konsep, definisi, proposisi saling keterkaitan, bertujuan untuk memberikan gambaran sistematis, ini dijabarkan dengan hubungan variabel yang satu dengan yang lain dengan tujuan untuk dapat menjelaskan fenomena tersebut”.

Sedangkan menurut Koentjoroningrat(1997) teori adalah pernyataan mengenai adanya hubungan positif antara gejala yang diteliti dengan satu atau beberapa faktor tertentu dalam masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil pengertian bahwa teori merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel-variabel yang diteliti dan pemecahan masalah secara teoritis, penulisan menggunakan beberapa kerangka pemikiran sebagai acuan. Pada penelitian ini dasar-dasar teori yang akan digunakan adalah sebagai berikut :

1.5.1. Demokrasi

Dalam buku Demokrasi dan Demokratisasi Sorensen menyatakan Demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan oleh rakyat. Istilah demokrasi berasal dari gabungan dua kata bahasa Yunani : demos

(rakyat) dan kratos (pemerintah). Demokrasi mempunyai varian makna yang cukup beragam. Di era modern saat ini, demokrasi cenderung ditekankan pada makna bahwa dalam konteks politik kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat (rule the people). Tak heran jika dalam wacana politik modern, demokrasi sering diartikan sebagai


(28)

mana kata-kata masyur abraham yang pada tahun 1863 menyatakan,

government of the people, by the people, for the people(Sorensen, 2003)

Robert A Dahl yang dikutip oleh Saiful Arif, dkk(2006) mengajukan lima standar untuk demokrasi, demokrasi akan memberikan berbagai kesempatan untuk:

a) Partisipasi yang efektif,

b) Persamaan dalam memberikan suara, c) Pemahaman yang jernih,

d) Melaksanakan pengawasan terhadap agenda, e) Pencakupan orang dewasa.

Demokrasi pada akhirnya menghasilkan akibat-akibat sebagai berikut :

a) Menghindari tirani b) Hak-hak asasi c) Kebebasan umum

d) Menentukan nasib sendiri e) Otonomi moral

f) Perkembangan manusia

g) Menjaga kepentingan pribadi yang utama h) Mencari perdamaian


(29)

Terdapat beberapa konsep penting yang disampaikan oleh Wignjosoebroto (2006) yang dikutip oleh Saiful Arif, dkk (2006) dalam demokrasi seperti konsep kewarganegaraan, karakteristik warga, masyarakat warga (civil society), Politikcitizenship, konsep

good government, adapun penjelasan dari beberapa konsep tersebut sebagai berikut :

a. Konsep Kewarganegaraan

Kewarganegaraan adalah suatu konsep yang sebenarnya belum berumur lama. Konsep ini dalam versinya yang modern, berkembang secara berangsur dalam praktik, wacana dan pemikiran serta esai-esai bersamaan waktu dengan tumbuh kembangnya negara-negara bangsa dan pencarian format hukum nasional yang lebih berkepastian, positivistik dan sekular di Eropa Barat sejak abad ke 18-an. Konsep ini kemudian memperoleh rumusannya yang lebih pasti pada akhir abad ke-19 dengan terbentuknya dua negara Republik lewat dua revolusi, ialah Revolusi Kemerdekaan Amerika (1776) dan Revolusi Kerakyatan Perancis (1789).

b. Karakteristik Warga

Ada karakteristik yang bertahan dalam konsep kewarganegaraaan, dari konsep nya yang klasik sebagai citesein

atau bourgeouisme (dalam kehidupan negara kota abad pertengahan) ke konsepnya yang baru sebagai citoyen atau


(30)

citizen (dalam kehidupan negara bangsa yang modern dan ebih inklusif). Yang pertama, bahwa para warga itu adalah manusia-manusia bebas, dalam arti tidak terikat oleh peaturan hidup yang akan datang dari luar kolektivanya sendiri yang otonom, memainkan oleh kehendak bebasnya sendiri, yang boleh hanya dibatasi hanya atas dasar kesepakatan-kesepakatan dengan sesamanya. Yang kedua, bahwa para warga itu mengaku dan saling mengakui kesamaan derajat dan kesamaan martabat sesama warga yang juga sesama manusia itu dalam setiap kegiatan bermasyarakat di ranah publik dan dalam setiap kegiatan dalam kehidupan bernegara yang dikenali sebagai kegiatan politik, bersejalan dengan hal-hak warga yang disebut sebagai hak-hak manusia yang asasi.

c. Masyarakat Warga (Civil Society)

Masyarakat Warga adalah suatu bentuk masyarakat ideal dimana di dalamnya tak dikenal adanya diskriminasi antara mereka yang berstatus “yang dipertuan” dengan segala hak-hak istimewanya dan mereka yang berstatus “ yang diperhamba” dengan segala macam beban kewajiban. Masyarakat warga adalah suatu masyarakat ideal yang di dalamnya hidup manusia-manusia yang diakui berkedudukan sama dalam soal pembagian hak dan kewajiban. Mereka ini adalah warga-warga yang berkesetaraan, sama-sama berkebebasan dan berkeberdayaan.


(31)

d. Political Citizenship

Konsep yang menekankan arti penting persyaratan terwujudnya eksistensi para warga sebagai insan politik, yang tak hanya memperoleh jaminan perlindungan hak akan tetapi juga jaminan termanfaatkannya hak-hak para warga, terakuinya sebagai hak-hak mereka yang asasi, untuk berperan –serta dalam setiap kegiatan politik. Dalam political citizenship ini tersirat adanya juga tanggung jawab moral para warga untuk tidak menyia-nyiakan hak asasinya. Hak tidaklah semestinya dibiarkan “menganggur” tanpa termanfaatkan

e. Social Citizenship

Dalam konsep ini, warga negara berhak atas jaminan-jaminan sosial-ekonomi yang bermakna sebagai jaminan-jaminan akan terselenggaranya kehidupan yang sejahtera. Dalam realisasi konsep civil citizenship setiap warga akan menemukan dirinya beridentitas sebagai makhluk liberal yang hidup dalam suasana berkebebasan guna mengembangkan kepribadiannya.

1.5.2. Partisipasi Politik

1.5.2.1.Definisi Partisipasi Politik

Menurut Miriam Budiarjo dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik menjelaskan bahwa Partisipasi politik adalah kegiatan seorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan Negara dan, secara langsung


(32)

atau tidak langsung, memengaruhi kebijkan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan social dengan direct actionnya, dan sebagainya (Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2010). Sedangkan menurut Herbert McClosky dalam Budiardjo(2010)berpendapat :

“partisipasi politik adalah egiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.”

Di Negara-negara demokrasi umumnya dianggap lebih banyak partisipasi masyarakat, lebih baik.Dalam alam pikiran ini tingginya tingkat partisipasi menunjukan bahwa warga mengikuti dan memahami masalah masalh politik dan ingin melibatkan diri daam kegiatan-kegiatan itu. Hal itu juga menunjukan bahwa rezim yang bersangkutan memiliki kadar keabsahan (legitimacy) yang tinggi. Maka dari itu, pembatasan yang di masa lalu sering diberlakukan, seperti pembayaran pajak pemilihan (yang di Amerika Serikat pada masa itu merupakan suatu tindakan efektif untuk membatasi partisipasi orang kulit hitam), atau pemilihan hanya oleh kaum pria saja (perempuan Swiss baru mulai tahun 1972 diberikan hak pilih), dewasa ini umumnya telah ditinggalkan.


(33)

Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah pada umunya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena dapat ditafsirkan bahwa banyak warga tidak menaruh perhatian terhadap masalah kenegaran. Lagi pula, dkhawatikan bahwa jika pelbagai pendapat dalam masyarakat tidak dikemukakan, pimpinan Negara akan kurang tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat, dan cenderung melayani kepentingan beberapa kelompok saja. Pada umumnya partisipasi yang rendah dianggap menunjukan legitimasi yang rendah pula (Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2010).

1.5.2.2.Partisipasi Politik Di Negara Demokrasi

Kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik menunjukan pelbagai bentuk dan intensitas.Biasanya diadakan pembedaan jenis partisipasi menurut frekuensi dan intensitasnya.Orang yang tidak mengikuti kegiatan secara intensif, yaitu kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan yang bisanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri (seperti memberikan suara dalam pemilihan umum) besar sekali jumlahnya.Sebaliknya, kecil sekali jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan diri dalam politik. Kegiatan sebagai aktivis politik ini mencakup antara lain menjadi pimpinan partai atau kelompok kepentingan.

Dibawah ini dipaparkan dua piramida pola partisipasi. Piramida patisipasi I, menurut Milbrath dan Goel, memperlihatkan bahwa


(34)

Pemain

(

Gladia

tors)

Penonton (Spectators)

Apatis (Apathies)

masyarakat Amerika dapat dibagikan dalam tiga kategori : a. Pemain (gladiators), b. Penonton (spectators), dan Apatis (Apathies)

Bagan I.I

Piramida Partisipasi Politik I

*sumber dari buku Dasar-dasar Ilmu Politik karya Miriam Budiardjo yang menguutip dari L. Milbrath dan M. Goel, Political articipation : How And Why Do People Get Involved in Politics, ed ke 2 (Chicago, III: Rind McMally 1977)

Piramida partisipasi politik II, sebagaimna disampaikan oleh David F Roth dan Frank L. Wilson, melihat masyarakat terbagi dalam empat kategori : . aktivis(Aktivists) b. Partisipan (participants) c. Penonton

(Onlookers) d. Apolitis (apoliticals) . Piramida menurut Roth dan Wilson menarik untuk disimak karena memasukan perilaku menyimpang (the

Apatis (Apathies)

33 % populasi termasuk apathetic, yaitu orang yang tidk aktif sama sekali, termasuk tidak memakai hak pilihnya.

Pemain (Gladiators)

5-7% populasi termasuk Gladiators yaitu orang yang sangat aktif dalam dunia politik

Penonton (Spectators)

60 % populasi aktif secara minimal, termasuk memakai hak pilihnya.


(35)

deviant) seperti pembunuhan politik, pembajakan, dan terorisme; di bagian puncak piramida.

Bagan 1.2

Piramida Partisipasi Politik II

*Sumber David F. Roth dan Frank L. Wilson, The Comprative Study of Politics, ed ke-2 dalam (Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2010)

Keterangan : Aktivis (Activists)

The deviant (termasuk di dalamnya, pembunuh dengan maksud politik, pembajak, dan teroris); pejabat public atau calon pejabat publik; fungsionaris partai politik pimpinan kelompok kepentingan.

Patisipan (Partisipants)

Aktivis

(

Activists

)

Partisipan

(

Participants

)

Penonton (

Onlookers

)


(36)

Orang yang bekerja untuk kampanye; anggota partai aktif; partisipasi aktif dalam kelompok kepentingan dan tindakan-tindakan yang bersifat politis; orang yang terlibat dalam komunitas proyek.

Penonton (Onlookers)

Orang yang menghadiri reli-reli politik; anggota dalam kelompok kepentingan; pe-lobby; pemilih; orang yang terlibat dalam diskusi politik;pemerhati dalam pembangunan politik.

Samuel P. Huntington dan Joan Nelson(1994) mengemukakan bentuk-bentuk partisipasi politik, yaitu :

a) Kegiatan pemilihan mencakup suara, akan tetapi juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan dibagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan

b) Lobbying mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang c) Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau

pejabat dalam suatu organisasi yang tujuannya yang utama dan ekplesit adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah

d) Mencari koneksi (contacting) merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintahan dan biasanya dengan


(37)

maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu orang atau segelintir orang

e) Tindak kekerasan (Violence) juga dapat merupakan satu bentuk partisipasi politik dan untuk keperluan analisa dan manfaatnya untuk mendefinisikan sebagai suatu kategori tersendiri, artinya, sebagai upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda. 1.5.3. Respon Masyarakat

Respon sangat dipengaruhi kesadaran dari seseorang, tanpa adanya kesadaran, seseorang tidak akan mampu merespon atau berpihak dalam kehidupannya. Menurut PauloFreire dalam buku Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan terdapat tiga tingkatankesadaran,sebagaimana urian berikut(Freire, 1999).

1.5.3.1.Kesadaran Semi Intransitif

Kesadaran ini dimiliki oleh struktur sosial yang tertutup. Dalam situasi masyarakat yang seolah-olah tunduk pada kenyataan, kesadaran ini tidak akan berhasil memahami adanya banyak tantangan, atau memahaminya tetapi dengan cara yang distortif. Kesadaran ini tidak bisa mengobjektifikasi fakta dan kehidupan sehari-hari yang sebetulnya banyak mengandung permasalahan.Orang yang masih dalam tahap kesadaran ini kurang memiliki persepsi struktural, yang membentuk dan terus membentuk persepsi itu berdasarkan realitas nyata yang dipahaminya.Karena persepsinya strukturalnya kurang, maka bagi mereka


(38)

kenyataan adalah superrealitas atau sesuatu yang berada di luar kenyataan objektif.Oleh karena itu tidak sulit untuk melacak mengapa banyak orang yang fatalistik, magis-definsif (defensive-magic) atau magis-terapis (therapeutic-magis).

1.5.3.2.Kesadaran Naive Transitivity

Menurut Paulo Freire menjelasakan bahwa kesadaran ini timbul akibat berkembangnya kesadaran semi transitif, dalam proses runtuhnya budaya bisu sehingga mayarakat mampu memvisualisasikan dan membedakan apa yang sebelumnya tidak dipahami secara jelas.

Kesadaran ini muncul menjadi kesadranpenuh artinya mulai adanya gerakan massa yang untuk menekan elit kekuasaan, meskipun dalam fase ini belum adanya solusi atas budaya bisu akan tetapi kesadaran ini mempengaruhi tingkat kesadaran penguasa.

1.5.3.3.Kesadaran Kritis

Pada Tingkat Kesadaran ini masyarakat mampu memandang atau mengetahui apa yang sebelumnya tidak diketahui. Masyrakat menginginkan kebebasan, juga merasa cemas untuk menyudahi budaya bisunya.

Selama masa transisi dari budaya bisu ke kesadaran penuh, sifat tertutup dari masyarakat itu secara bertahap berubah menjadi terbuka dalam semua dimensi kehidupan.Bersamaan dengan munculnya kesadaran kritis kaum intelektual. Pada titik ini, kesadaran kritis kelompok-kelompok yang progresif mewujud dari kesadaran pribadi menjadi gerakan massa.


(39)

1.5.4. Pemilihan Umum

Menurut (Andrew Reynolds, 2005) dalam buku Electoral System Design dalam tataran paling dasar, sistem elektoral menerjemahkan suara pada pemilu ke kursi yang dimenangkan oleh partai dan kandidat. Variabel kunci adalah rumus electoral yang digunakan (seperti pluralitas/majoritas, proporsional, campuran atau sistem lain yang digunakan, dan rumus matematika yang digunakan untuk menghitung alokasi kursi), struktur sistem tertutup (seperti apakah pemilih memilih kandidat atau partai dan apakah pemilih membuat satu pilihan atau beberapa preferensi/pilihan) dan seberapa besar daerah/distriknya (bukan seberapa banyak pemilih yang tinggal di disitrik tertentu, namun seberapa banyak perwakilan yang pergi ke legislasi yang dipilih dari distrik tersebut). Desain sistem elektoral juga berpengaruh pada area-area lain dalam hukum electoral, seperti: pilihan sistem electoral memiliki pengaruh pada cara penentuan batas-batas wilayah, bagaimana pemilih didata, desain kertas suara, bagaimana suara dihitung, dan berbagai aspek lain dalam proses electoral.

Sedangkan menurut Miriam Budiardjo (2010) Pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur, dari demokrasi.Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat. Pemilihan umum tidak merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan


(40)

pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan seperti partisipasidalam kegiatan parta, lobbying, dan sebagainya.

Menurut Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil residen. Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Dalam BAB II Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil residen menjelaskan asas, pelaksanaan, dan lembaga penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan daerah pemilihan.Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan.Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ditetapkan dengan keputusan KPU.Pemilu Presiden


(41)

dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Tahapan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden meliputi:

a. Penyusunan daftar Pemilih;

b. Pendaftaran bakal Pasangan Calon; c. Penetapan Pasangan Calon;

d. Masa Kampanye; e. Masa tenang;

f. Pemungutan dan penghitungan suara;

g. Penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; dan h. Pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam BAB V Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menjelaskan hak memilih, Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. Warga Negara yang mempunyai hak memilih setelah didaftar oleh penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam daftar Pemilih.

Dalam UU Nomor 15 tahun 2011 Pasal 1 ayat (6) dijelaskan bahwa Komisi Pemilihan Umum adalah lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan pemilu. Dalam pasal ini juga dijelaskan mengenai KPU Provinsi dan KPU Kabupaten atau Kota. Ayat (7) pasal ini menjelaskan bahwa KPUProvinsi


(42)

adalah penyelenggara pemilu yang bertugas melaksanakanpemilu di provinsi, sedang KPU Kabupaten/Kota adalah penyelenggaracpemilu yang bertugas melaksanakan pemilu di kabupaten/kota (ayat (8)). KPU merupakan salah satu lembaga negara yang bersifat independen.Lembaga independen adalah lembaga negara di Indonesia yang dibentuk oleh pemerintah pusat, namun bekerja secara independen.Lembaga-lembaga lain yang bersifat independen antaralain sepertiKomisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), KomisiPemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), danlain sebagainya.KPU merupakan suatu komisi negara yang berposisi sebagai

penunjang atas lembaga utama.

Dalam UU No.15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu diatur lebih lanjutmengenai badan-badan lain yang bertugas dalam mewujudkan pemilu yang Jurdil dan Luber. Badan-badan tersebut yaitu: (1) Badan PengawasPemilu (Bawaslu). (2) Badan Pengawas Pemilu Provinsi (BawasluProvinsi). (3) Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota (4) PanitiaPengawas Pemilu Kecamatan (Panwaslu Kecamatan). (5) PanitiaPengawas Pemilu Lapangan. (6) Pengawas Pemilu Lapangan. (7)Pengawas Pemilu Luar Negeri. (8) Dewan Kehormatan PenyelenggaraanPemilu (DKKP). (9) Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). (10) Panitiapemungutan Suara (PPS). (11) Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN).(12) Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).


(43)

(13)Kelompok Pnyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (Damanhury, 2013).

1.5.5. Difabel (Different Ability)

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang Disabilitas, Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang Disabilitas menjelaskan pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang Disabilitas berasaskan:

a. Penghormatan terhadap martabat; b. Otonomi individu;

c. Tanpa Diskriminasi; d. Partisipasi penuh;

e. Keragaman manusia dan kemanusiaan; f. Kesamaan Kesempatan;

g. Kesetaraan; h. Aksesibilitas;

i. Kapasitas yang terus berkembang dan identitas anak; j. Inklusif; dan


(44)

k. Perlakuan khusus dan Pelindungan lebih.

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang Disabilitas bahwa ragam penyandang Disabilitas meliputi:

a) Penyandang Disabilitas fisik; b) Penyandang Disabilitas intelektual; c) Penyandang Disabilitas mental; dan/atau d) Penyandang Disabilitas sensorik.

Hak politik untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: a) Memilih dan dipilih dalam jabatan publik;

b) Menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan;

c) Memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum;

d) Membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan/atau partai politik;

e) Membentuk dan bergabung dalam organisasi Penyandang Disabilitas dan untuk mewakili Penyandang Disabilitas pada tingkat lokal, nasional, dan internasional;

f) Berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian

g) Penyelenggaraannya;

h) Memperoleh Aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan


(45)

i) Gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan

j) Memperoleh pendidikan politik.

Sedangkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas , menerangkan bahwa Penyandang Disabilitas atau disebut dengan nama lain adalah setiap orang yang mengalami gangguan, kelainan, kerusakan, dan/atau kehilangan fungsi organ fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu tertentu atau permanen dan menghadapi hambatan lingkungan fisik dan sosial. Prinsip-prinsip yang harus digunakan dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas sebagai berikut:

a) Penghormatan atas martabat yang melekat, otoritas individual termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan dan kemandirian orang-orang;

b) Nondiskriminasi;

c) Partisipasi dan keterlibatan penuh dan efektif dalam masyarakat; d) Penghormatan atas perbedaan dan penerimaan orang-orang

penyandang disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia dan rasa kemanusiaan;


(46)

f) Aksesibilitas;

g) Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan; dan

h) Penghormatan atas kapasitas yang berkembang dari penyandang disabilitas anak dan penghormatan atas hak penyandang disabilitas anak untuk melindungi identitas mereka.

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas perlindungan dan pemenuhan hak-hak terhadap jenis-jenis disabilitas sebagai berikut:

1. Gangguan penglihatan; 2. Gangguan pendengaran; 3. Gangguan bicara;

4. Gangguan motorik dan mobilitas; 5. Cerebral palsy;

6. Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif; 7. Autis;

8. Epilepsi;

9. Tourette’s syndrome;

10.Gangguan sosialitas, emosional, dan perilaku; 11.Retardasi mental.


(47)

1.6.Definisi Konsepsional

Menurut (Marsi Singarimbun, Sofyan Efendi, 1989) definisi konsepsional adalah definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara tepat suatu fenomena yang akan diteliti. Definisi konsepsional juga digunakan untuk menggambarkan secara abstrak tentang kejadian keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian dalam ilmu sosial.Jika dapat dipahami bahwa definisi konseptual merupakan tahapan penting yang membahas mengenai pembatasan pengertian konsep dengan lain yang merupakan suatu abstraksi hal-hal yang diamati agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Penulis akan menggunakan teori dari Freire (1999) tentang tingkat kesadaran masyarakat untuk mengetahui respon masyarakat Difabel terhadap ruang partisipasi politik yang dibangun oleh KPU Kota Yogyakarta pada pemilu presiden tahun 2014 di Kota Yogyakarta. Respon masyarakat dapat diukur dengan :

1. Kesadaran Semi Intransitif 2. Kesadaran Naïve Transitivity

3. Kesadaran Krtis

Sedangkan untuk menjelaskan partisipasi politik penyandang Difabel pada Pemilu Presiden tahun 2014 di Kota Yogyakarta menggunakan indikator-indikator partisipasi politik Samuel P. Huntington dan Joan Nelson (1994) yang mengemukakan bentuk-bentuk partisipasi politik, diantaranya yaitu kegiatan pemilihan. Kegiatan pemilihan di Kota Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu :


(48)

a. Kegiatan Sebelum Pemilihan b. Kegiatan Saat Pemilihan

Hal ini karena faktor-faktor diatas mendukung untuk digunakan dalam mencari dan menjelaskan rumusan masalah yang ada.

1.7.Definisi Operasional

Menurut (Marsi Singarimbun, Sofyan Efendi, 1989) definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana mengukur suatu variabel, dengan kata lain definisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana cara mengukur variabel. Adapun yang diukur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.7.1. Respon masyarakat Difabel terhadap ruang partisipasi yang dibangun oleh Komisi Pemilihan Umum Kota Yogyakarta Pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014.

Respon masyarakat akan diukur menggunakan teori tingkat kesadaran masyarakat, menurut Freire (1999) ada empat kesadaran masyarakat, yaitu sebagai berikut :

1) Kesadaran Semi Intransitif a. Masyarakat masih tertutup

b. Masyarakat belum mampu memahami permasalahan dalam kehidupan sehari-hari

c. Kurang memiliki persepsi struktural 2) Kesadaran Naive Transitivity


(49)

b. Mampu membedakan dan memvisualisasikan permasalahan yang ada

c. Masyarakat mulai sadar secara penuh terhadap permasalahan yang ada

d. Mulai ada gerakan massa yang menekan elit 3) Kesadaran Kritis

a. Masyarakat mampu memandang memandang kritis lingkungannya

b. Kesadaran kritis kelompok kelompok progresif menjadi gerakan massa

c. Masyarkat mulai terbuka dalam semua demensi kehidupan.

1.7.2. Partisipasi politik penyandang Difabel pada Pemilu Presiden tahun 2014 di Kota Yogyakarta

Selanjutnya untuk meganalisa partisipasi politik penyandang Difabel pada Pemilu Presiden tahun 2014 di Kota Yogyakarta menggunakan indikator-indikator partisipasi politikSamuel P. Huntington dan Joan Nelson (1994)yang mengemukakan bentuk-bentuk partisipasi politik, diantaranya yaitu kegiatan pemilihan. Kegiatan pemilihan di Kota Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu : a. Kegiatan Sebelum Pemilihan

Mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi


(50)

keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang.

b. Kegiatan Saat Pemilihan

mencakup suara, akan tetapi juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan dibagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan

1.8.Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian Deskriptif Kualitatif, artinya suatu penelitian yang menggambarkan atau melukiskan suatu peristiwa untuk diambil kesimpulan secara umum.Oleh karena itu memfokuskan pada penggambaran dan pemecahan yang dianalisa secara deskriptif kualitatif.Tujuan penelitian deskriptif kualitatif adalah dengan memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang sesuai dengan situasi subtansial yang dihadapi, untuk itu perlu data yang akurat dan harus dikumpulkan dianalisa secara sistematis demi ketetapan dalam pengkajiannya (Hadari, 2005).

1.8.2. Unit Analisa Data

Unit analisa data dalam penelitian ini adalah masyarakat Difabel di Kota Yogyakarta, KPU Kota Yogyakarta dan Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB).


(51)

1.8.3. Jenis Data dan Sumber Data

Menurut Lexy.J.Moelong(2007) Data adalah segala keterangan atau informasi segala hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian.Sumber data menurut lofland dalam Lexy.J.Moelong(2007) sumber data adalah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan hal lainnya.

Data yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan data primer menggunakan data sekunder sebagai data pendukung . Penjelasan dari data primer dan data sekunder adalah sebagai berikut :

a. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini akan diperoleh dari Wawancara secara langsung dengan masyarakat Difabel di Kota Yogyakarta dan dari Lembaga yang konsen terhadap permasalahan Difabel khususnya dalam masalah sosial dan politik.

Tabel 1.1 Data Primer

Data Primer Sumber

Wawancara 1. Masyarakat Difabel yang tercatat dalam DPT di Kota Yogyakarta yang berjumlah 268 terdiri dari 125 perempuan dan 143 laki-laki

2. Lembaga-lembaga yang konsen terhadap permasalahan Difabel khususnya dalam bidang Sosial dan Politik yaitu Sasana Integritas dan Advokasi Difabel (SIGAB).

3. Komisi Pemilihan Umum Kota Yogyakarta


(52)

b. Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah literatur dan dokumen yang dikeluarkan oleh pihak yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.

Tabel 1.2 Data Sekunder

Data Sekunder Sumber

Dokumentasi

dokumen yang diajukan KPU Kota Yogyakarta dalam rangka penghargaan bagi KPU Kabupaten/ Kota berprestasi tahun 2014

Laporan Pemantauan SIGAB

Laporan Hasil Penelitian PKM yang berjudul Tingkat Partisipasi Politik Penyandang Disabilitas Pada Pemilu 2014

Di Kota Yogyakarta

1.8.4. Teknik Pengumpulan Data

penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data seperti berikut : 1.8.4.1.Wawancara

Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan


(53)

demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan (Bungin, 2007).

Wawancara akan dilakukan dengan Komisioner Komisi Pemilihan Umum Kota Yogyakarta, masyarakat perwakilan Difabel yang tercatat dalam Data Pemilih Tetap pada pemilu tahun 2014 di Kota Yogyakarta dan wawancara juga akan dilakukan dengan lembaga-lembaga yang konsen terhadap isu-isu Difabel terutama dalam bidang social dan politik yaitu SIGAB.

1.8.4.2.Dokumentasi

Dokumentasi merupakan salah salah satu laporan tertulis dari suatu peristiwa yang isinya terdiri dari penjelasan dan perkiraan terhadap peristiwa itu (Winarno Surahmad, 1987).Artinya dokumentasi adalah data penunjang baik cetak maupun elektronik.

1.8.5. Teknik Analisa Data

Teknik yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriftif kualitatif, dimana data dan bahan yang akan digunakan adalah data yang diperoleh dari lapangan dan kemudian didukung dengan data-data lain seperti dokumen-dokumen yang berkaitan masalah-masalah dalam penelitian.

Menurut Lexy.J.Moelong(2007) langkah-langkah dalam penggunan data hingga pengambilan keputusan yaitu :


(54)

a. Mengumpulkan informasi atau data yang berkaitan dengan masalah yang diperoleh di lapangan yang sesuai dengan tujuan penelitian, sehingga diperoleh hasil akhir yang akurat dari data tersebut.

b. Memeriksa data yang diperoleh di lapangan, yaitu mengadakan pemeriksaan data yang diperoleh di lapangan yang sesuai dengan tujuan penelitian, sehingga dapat diperoleh hasil akhir yang akurat dari data tersebut.

c. Menyusun klarifikasi informasi dari data yang diperoleh, dimana input ini diperoleh melalui beberapa tahap yaitu pengumpulan informasi, pemproses data, dan dari setiap tahap tersebut dapat mempengaruhi akurasi dan kualitas kesimpulan yang akan didapat nantinya.

d. Mendiskripsikan dan menganalisis sekaligus mengintrepestasikan data. Analisis data disasarkan pada jenis informasi dan kategori laporan penelitian dimana jenis informasinya bisa berupa deskriftif.

e. Mengambil kesimpulan, yaitu merupakan tahap paling akhir yang memberi informasi tentang apa yang telah dilakukan oleh peneliti secara singkat dan padat dari keseluruhan data dan laporan yang telah diperoleh dari penelitian.

1.9.Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam membaca dan memahami pokok-pokok masalah yang dibahas dalam skripsi ini, maka secara sistematis penyusun membuat sistematika penulisan sebagai berikut :


(1)

yang ada penyandang Difabelpun tidak luput dari sosialisasi. Dengan adanya Difabel menjadi relawan demokrasi bisa menjadikan sosialisasi lebih tepat sasaran karena mereka akan lebih paham mengenai apa yang dibutuhkan Difabel, metode apa yang tepat untuk Difabel sehingga tujuan dari adanya Relawan Demokrasi khususnya segmen Difabel benar-benar bisa terwujud.

Program Relawan Demokrasi yang digagas KPU melibatkan kelompok masyarakat yang berasal dari 5 (lima) segmen pemilih strategis yaitu pemilih pemula, kelompok agama, kelompok perempuan, penyandang disabilitas dan kelompok pinggiran. Pelopor-pelopor demokrasi akan dibentuk di setiap segmen yang kemudian menjadi penyuluh pada setiap komunitasnya. Segmentasi itu dilakukan dengan kesadaran bahwa tidak semua komunitas mampu dijangkau oleh program KPU. Selain itu segmentasi tersebut adalah strategis baik dari sisi kuantitas maupun pengaruhnya dalam dinamika sosial politik berbangsa dan bernegara.

SIGAB sebagai refresentasi organisasi penyandang Difabel (OPD) juga aktif dalam proses sosialisasi bekerjasama dengan KPU Kota Yogyakarta dan Relawan Demokrasi. Sosialisasi merupakan salah satu cara menaikan partisipasi masyarakat dalam pemilu, dalam proses sosialisasi terjadi pemberian informasi yang utuh oleh KPU Kota Yogyakarta sehingga masyarakat menerima informasi yang benar. Sosialisasi juga bertujuan untuk wahana pembelajaran bagi masyarakat penyandang disabilitas agar memahami hak-hak mereka dalam politik dan mengetahui proses pemilu. Sosialisasi yang dilakukan terdapat berbagai rangkaian adapun rangkaian tersebut sebagai berikut :

a. Pendataan penyandang disabilitas di kota Yogyakarta

Proses ini KPU Yogyakarta melibatkan Organisasi Penyandang Disabilitas dalam proses pendataan jumlah penyandang disabilitas yang mempunyai hak pilih. b. Pengelompokan jenis difabel

Tujuan dari pengelompokan ini agar fasilitas yang disiapkan KPU Kota Yogyakarta tepat sasaran dan mampu mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas

c. Membuat konsep sosialisasi dan materi bimbingan teknis untuk Relawan Demokrasi.

Sebagai sebuah badan ad hoc yang baru Relawandemokrasi mempunyai tugas yang cukup berat yaitu meningkatkan partisipasi masyarakat dengan lebih banyak masyarakat yang mendapatkan aksesinformasi pemilu dengan segmentasi yang responsifgender. Untuk kebutuhan itu diperlukan satu desainbesar terkait kebutuhan materi dan informasi dari pegiat difabel,maka KPU Kota Yogyakarta bersama dengan SIGAB

d. Melakukan sosialisasi tatap muka sebagai upaya pemberian akses informasi terkait dengan pemilu 2014 kepada kelompok-kelompok difabel Kota Yogyakarta Sebagai upaya untuk memberikan akses informasi yang sama bagi semua difabel di Kota Yogyakarta KPU Kota Yogyakarta bersama dengan Relawan demokrasi segmen Difabel melakukan sosialisasi tatap mukadengan kelompok difabel yang ada di Kota Yogyakarta, baik yang dalam organisasi difabalitas maupun sekolah –sekolah yang ada pemilihnya , hal ini membutuhkan kerjasama yang baik dengan pihak sekolah yang bersedia memberikan kesempatan dan data terkait anak didiknya yang sudah mempunyai hak pilih. Kegiata ini dilaksakan di organisasi difabel seperti PERTUNI, PPDI Kota, HWDI, Yakatunis sedangkan untuk sekolah–sekolah luar bisa yang dilakukan seperti di Sekolah Luar Biasa Negeri 2 Sayidan, SLB N Pembina, SLB Darma Rena Putra II dan SLB N Bintaran. Materi yang di berikan terkait pentingnya menggunakan hak pilih, cara menggunkan hak pilih, dengan menonton film Accessable Elektion Simulate yang dibuat oleh AGENDA.

e. Menyelenggarakan simulasi Pemilu

Dalam proses sosialisasi KPU Kota Yogyakarta bekerja sama dengan Penyandang Disabilitas untuk membuat media simulasi berdaasarkan kebutuhan yang disandang, KPU Kota Yogyakarta juga berkonsultasi dengan SIGAB untuk membuat video dalam sosialisasi untuk penyandang Tuna Rungu, video tutorial


(2)

tersebut berisi bagaimana cara menggunakan hak pilih dalam Pemilu. (KPU Kota Yogyakarta, 2014)

Dalam simulasi pemilu yang diadakan oleh Relawan demokrasi, SIGAB dan KPU Kota Yogyakarta dirancang semirip mungkin dengan keadaan saat pencoblosan, hal ini dilakukan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai proses pemilihan dan tata cara saat pencoblosan, hal ini dilakukan agar Difabel tidak bingung saat menggunakan hak pilihnya. Pada saat simulasi ini ada baru 100 peserta terdata dikarenakan belum lengkapnya data yang dimiliki oleh KPU Kota Yogyakarta.

b. Kegiatan dalam Lobby

Menurut Samuel P. Huntington dan Joan Nelson (1994) lobbying mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang. Gerakan Difabel di Kota Yogyakarta juga melakukan lobby dalam rangka kontrak politik. Pertemuan ini adalah pertemuan untuk mendiskusikan kepentingan masyarakat difabel Indonesia dengan capres-cawapres. Dalam pertemuan ini mendialogkan sejumlah isu-isu penting bersama kedua calon presiden dan calon wakil presiden RI 2014 - 2019. Pertemuan ini membahas sejumlah masukan penting dari berbagai difabel menyangkut persoalan-persoalan mendasar yang mereka hadapi. Dari sejumlah perbincangan tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi penting. Dengan melakukan lobby dengan pihak Tim sukses Capres dan Cawapres pada masa kampanye mampu mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibut Capres dan Cawapres dikemudian hari. Hal ini terlihat dengan adanya kesepakatan yang tertuang dalam kontrak politik.

Partisipasi Saat Kegiatan Pemilihan

menurut hasil penelitian PKM-P yang disusun oleh Helen, Agus dkk (2016) menemukan partisipasi politik penyandang disabilitas pada pemilu tahun 2014 di Kota Yogyakarta mencapai angka 66,5% , artinya partisipasi Difabel di Kota Yogyakarta lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat partisipasi diwilayah lain, seperti data yang dirilis oleh Bandung Trust Advisory Group (D-Trust) untuk angka partisipasi penyandang disabilitas di Jawa Barat hanya mencapai 53,7%.

Walaupun angka partisipasi masyarakat secara umum pada pemilu menurun dari tahun ke tahun tetapi pada pemilu tahun 2014 merupakan tonggak sejarah partisipasi Difabel dalam pemilu khususnya Difabel di kota Yogyakarta. Pada pemilu tahun 2014 Difabel di Kota Yogyakarta tidak hanya menjadi voters atau penyumbang suara untuk salah satu kandidat saat pemilu akan tetapi perannya lebih jauh dan bermakna daripada itu. Senada dengan hal itu menurut Samuel P. Huntington dan Joan Nelson (1994) dalam kegiatan Pemilihan tidak hanya mencakup suara, akan tetapi juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Kemudian Fokus pada penelitian ini adalah ditekankan terhadap proses-proses partisipasi saat berlangsungnya pemilu dalam rangka menunjukan perannya dalam semua segmen ataupun tahapan pemilu khusunya pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014.

Pada saat Pemilu tahun 2014 partisipasi Difabel di Kota Yogyakarta sudah terlibat dalam pembuat kebijakan sampai dengan penyelenggara dan pemantauan pemilu tahun 2014. Berdasarkan pengamatan dari Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) yang memantau secara langsung berjalannya proses Pemilu dari mulai tahap persiapan sampai pencoblosan menemukan bahwa meningkatnya partisipasi Difabel Di Kota Yogyakarta mulai adanya peningkatan yang signifikan disbanding pemilu-pemilu sebelumnya.

a. Partisipasi Menjadi Petugas TPS

Salah satu kemajuan Difabel pada pemilu tahun 2014 adalah terlibat langsung menjadi petugas TPS atau KPPS. Hal ini menjadi kemajuan yang cukup besar mengingat selama ini Difabel belum ada yang terlibat secara langsung menjadi bagian dari penyelenggara. Dengan terlibatnya Difabel menjadi penyelenggara pemilu dapat


(3)

menjadi semangat Difabel lainnya untuk terlibat secara langsung mengambil bagian dalam pemilu. Salah satu narasumber menyatakan bahwa keterlibatannya menjadi KPPS bukan atas rekomendasi akan tetapi berdasarkan kemampuannya, bahkan Ibu Widi adalah satu-satunya Petugas KPPS perempuan dan penyandang Difabeldi komunitasnya. Ibu widi menjadi petugas KPPS memang karena murni atas kemampuannya dan memenuhi syarat yang ada.

Dengan menjadi petugas TPS yang merupakan penyandang Difabel Tuna Daksa satu-satunya di Kota Yogyakarta ibu Widi bisa secara langsung memberikan masukan kepada rekan-rekan lainnya tentang bagaimana mewujudkan TPS yang akses, memberikan layanan yang baik kepada Difabel dan lansia sehingga bisa mewujudkan pelayanan yang aksesibilitas saat pemilihan. Saat pemilihan berlangsung TPS ini juga dijadikan rujukan dari lembaga-lembaga Difabel untuk melihat bagaimana peran pegiat Difabel dalam komunitas lokal dalam mengkampanyekan pentingnya persepektif inklusi untuk penyelenggara pemilu untuk mengurangi diskriminasi bagi penyandang Difabel saat memberikan suaranya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penilitian dari pembahasan mengenai respon Difabel terhadap ruang partisipasi yang dibangun oleh KPU Kota Yogyakarta pada Pemilu Presiden tahun 2014 dan partisipasi Difabel pada Pemilu Presiden di Kota Yogyakarta pada tahun 2014 dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. KPU Kota Yogyakarta merupakan salah satu KPU yang cukup berhasil dalam rangka memfasilitasi penyandang Difabel dalam pemilu tahun 2014. Hal tersebut terbukti dengan diperolehnya penghargaan dari KPU RI terkait fasilitasi penyandang Difabel. Perbaikan dalam kebijakan Pemilu oleh KPU Kota Yogyakarta tidak terlepas dari respon Difabel yang mampu melihat banyaknya pelanggaran dalam pemilu yang dilakukan oleh petugas, sehingga mengakibatkan enggannya Difabel berpartisipasi saat pemilu. Perbaikan di KPU Kota Yogyakarta tidak terlepas dari peran aktif Difabel untuk mengurangi pelanggaran-pelanggaran yang kemudian di evaluasi bersama-sama pemangku kepentingan sehingga respon tersebut tidak berhenti sebagai kritik tetapi menjadi solusi yang mengarahkan KPU Kota Yogyakarta jauh lebih baik. Selain itu kesadaran dalam politik dan peran aktif Difabel dalam mengagregasikan kepentingnnya dalam pemilu berdampak terhadap perbaikan fasilitasi saat pemilu bisa diwujudkan. Penelitian ini menemukan bahwa kemampuan merespon ruang partisipasi yang dibangun oleh KPU Kota Yogyakarta dipengaruhi oleh tingkat kesadaran dari Difabel. Adapun tingkat kesadaran itu dibagi menjadi 3 yaitu :

a. Kesadaran Semi Intransitif, pada tahap ini dapat disimpulkan bahwa ketika Difabel belum memahami permasalahan yang ada dan tidak mengetahui hak-haknya mereka akan tunduk dengan keadaan walaupun sebenarnya terdapat permasalahan-permasalahan. Dalam tahapan ini difabel di kota Yogyakarta masih sangat tertutup dan enggan bersosialisasi sehingga tidak memperoleh informasi dan sosialisasi yang mengakibatkan mereka tidak menggunakan haknya sebagai warga Negara dalam pemilu.

b. Kesadaran Naïve Transitivity, pada tahap ini menemukan dua fase. Fase pertama Difabel gerakan Difabel telah memahami apa permasalahan-permasalahan yang selama ini belum disuarakan. Permasalahan terbesar adalah tidak difasilitasinya Difabel saat pemilu, masih adanya diskriminasi dari masyrakat ataupun pemerintah sehingga pemilu masih jauh dari sistem yang inklusi. Pada Fase kedua, gerakan difabilitas (difability movement) semakin massif masuk ke ruang-ruang partisipasi politik. Bukan saja pada ruang partisipasi yang disediakan atau dikemas oleh negara, namun juga pada ruang-ruang alternatif yang dibuat sendiri oleh difabel. Pada ruang negara yang selama ini menutup pintu bagi difabel kini difabel masuk dan menunjukkan identitasnya serta memengaruhi perubahan kebijakan.

c. Kesadaran Kritis, pada pemilu presiden tahun 2014 tahapan Difabel di Kota Yogyakarta telah pada tingkat kesadaran kritis sehigga mereka telah mampu mngkritisi permasalahan-permasalahan yang ada terkait pemilu, Difabelpun telah membuka diri . Berkat kritis dan massifnya gerakan Difabel mengakibatkan semakin baiknya pemilu tahun 2014 di Kota Yogyakarta. Perbaikan itu seperti adanya alat


(4)

bantu mencoblos, TPS yang aksesibel, leaflet untuk penyelenggara pemilu, vidio simulasi pemungutan suara untuk penyandang tuna rungu.

2. Partisipasi politik penyandang disabilitas pada pemilu tahun 2014 di Kota Yogyakarta terbagi menjadi dua. Pertama partisipasi sebelum pemilu atau pra pemilihan. Adapun kegiatan tersebut berupa menjadi relawan demokrasi dan melakukan lobbying kepada tim sukses kedua kandidat calon presiden. Difabel di Kota Yogyakarta juga melakukan lobby dalam rangka kontrak politik. Pertemuan ini adalah pertemuan untuk mendiskusikan kepentingan masyarakat difabel Indonesia dengan capres-cawapres. Dalam pertemuan ini didialogkan sejumlah isu-isu penting bersama kedua calon presiden dan calon wakil presiden RI 2014 - 2019. Pertemuan ini membahas sejumlah masukan penting yang tertuang dalam kontrak politik. Dengan melakukan lobby dengan pihak Tim sukses Capres dan Cawapres pada masa kampanye mampu mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibut Capres dan Cawapres dikemudian hari. Kedua partisipasi saat pemilihan, yaitu sebagai voters atau penyumbang suara dan menjadi penyelenggara pemilu yaitu petugas TPS. Partisipasi Difabel mencapai angka 66,5% , artinya partisipasi Difabel di Kota Yogyakarta lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat partisipasi diwilayah lain, seperti data yang dirilis oleh Bandung Trust Advisory Group (D-Trust) untuk angka partisipasi penyandang disabilitas di Jawa Barat hanya mencapai 53,7%. Walaupun angka partisipasi masyarakat secara umum pada pemilu menurun dari tahun ke tahun tetapi pada pemilu tahun 2014 merupakan tonggak sejarah partisipasi Difabel dalam pemilu khususnya Difabel di kota Yogyakarta. Pada pemilu tahun 2014 Difabel di Kota Yogyakarta tidak hanya menjadi voters atau penyumbang suara untuk salah satu kandidat saat pemilu akan tetapi perannya lebih jauh dan bermakna daripada itu. Saran Untuk Komisi Pemilihan Umum

1. KPU Kota Yogyakarta harus melakukan pendataan ulang terkait jumlah penyandang Difabel yang mempunyai hak pilih dengan melibatkan perangkat Dusun seperti RT/RW sehingga semua penyandang dapat terdata.

2. Instrumen Pendataan memasukkan kategori jenis hambatan sosial/lingkungan eksternal. Misalnya difabel penglihatan memiliki hambatan dalam mengakses informasi berbasis cetak, untuk itu dibutuhkan model braile maupun audio dan teks bersuara.

3. Pihak Penyelenggara pemilu memperluas perspektif disabilitas dan membangun kerjasama dengan organisasi difabel demi memperoleh masukan soal Etika Disabilitas dan Prinsip Universal dalam layanan publik (khususnya pemilu) dan menuangkan pengetahuan tersebut ke dalam suatu Panduan Pelaksanaan Pemilu Aksesisible dan memastikan Petugas Pemilu diberbagai tingkatan memahami isi panduan dan menerapkannya.

4. TPS didesain dengan mengunakan prinsip Desain Pemilu Universal yang mempertimbangkan aksesibilitas pada saat pemilih difabel datang ke TPS, menggunakan hak pilihnya, sampai pada meninggalkan lokasi TPS. Misalnya, lokasi TPS tidak bertangga-tangga, tidak berumput tebal dan tidak melalui got pemisah, tempat yang rata, tidak di lantai dua.

Untuk SIGAB

1. Lebih banyak memberikan pendidikan politik agar semakin banyak pegiat komunitas Difabel yang tergabung dalam proses pembuatan kebijakan sehingga kebutuhan Difabel di Kota Yogyakarta Khususnya akan terakomodasi.

2. Lebih menanamkan kepercayaan diri kepada masyarakat Difabel yang tidak tergabung dalam OPD agar mempunyai keberanian untuk bersuara ketika tidak mendapatkan fasilitas dengan baik.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Utama.

Budiardjo, M. (2010). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.Ikrar Mandiriabadi, Jakarta. Bungin, B. (2007). Penelitian Kualitatif Komunikasi, ekonomi, kebijakan publik, dan Ilmu

Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Freire, P. (1999). Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hadari. (2005). Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta. Yogyakarta: UGM. Ishak Salim, dkk. (2014). Memahami PEMILIHAN UMUM dan GERAKAN POLITIK Kaum

DIFABEL. Sleman: SIGAB.

Ishak Salim, M. J. (2015). Difabel Merebut Bilik Suara Kontribusi Gerakan Difabilitas Dalam Pemilu Indonesia. Yogyakarta: SIGAB.

Koentjoroningrat. (1997). Metodologi Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia. Lexy.J.Moelong. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Marsi Singarimbun, Sofyan Efendi. (1989). Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES. Mohtar Mas, o. d. (1993). Perbandingan Sistem Politik . Yogyakarta: Gadjah Mada

University.

Saiful Arif, dkk. (2006). Demokrasi sejarah, Praktik dan Dinamika Pemikiran. Malang: Averroes Press.

Samuel P. Huntington, d. J. (1994). Partisipasi Politik di Negara Bekembang. Jakarta: PT Rineka.

SIGAB. (2014). SUARA KAUM DIFABEL UNTUK PEMILU INKLUSIF. Dalam R. Solikin, Memahami Pemilihan Umum dan Gerakan Politik Kaum Difabel (hal. 35). Yogyakarta: SIGAB.

Sorensen, G. (2003). Demokrasi dan Demokraisasi (Prospek dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Winarno Surahmad. (1987). Dasar-Dasar Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah. Bandung: Tarsito.

Jurnal dan Dokumen:

Kurniasih, D. A. (2009). Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pilpres. JURNAL ILMIAH PPKN IKIP VETERAN SEMARANG.

Merly, M. (2015). AKSESIBILITAS PEMILU 2014 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KETAHANAN POLITIK (Studi Tentang Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas di Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) . JURNAL KETAHANAN NASIONAL , Halaman 61-77 Halaman 61-77No. 2, 25 Agustus 2015 Salim, I. (2015). Perspektif Disabilitas dalam Pemilu 2014 dan Kontribusi Gerakan Difabel Indonesia bagi Terbangunnya Pemilu Inklusif di Indonesia. The POLITICS: Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin , 127 (Vol. 1 No. 2, July 2015 | P-ISSN: 2407-9138).


(6)

KPU Kota Yogyakarta. (2014). “KOMITMENTKU UNTUK KAWANKU DIFABEL” (Upaya Dari KPU Kota Yogyakarta Menuju Pemilu Ramah Difabel). Yogyakarta: KPU Kota Yogyakarta.

Dokumen tim pemantauan SIGAB Pada Pemilu Tahun 2014

Dokumen Laporan PKM-P tahun 2016 yang ditulis oleh Helen Dian Fridayani, Agus Andika Putra, Fikri zulfikar, MH Ainun, Aulia Arjan tahun 2016

Sumber Internet:

Azhari. (2011). penrapan good governance dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Dipetik september 28, 2016, dari http://repository.usu.ac.id: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29832/4/Chapter%20I.pdf

Damanhury, M. F. (2013). BAB II. Dipetik september 29, 2016, dari http://eprints.uny.ac.id: http://eprints.uny.ac.id/22875/4/4.%20BAB%20II.pdf

Dewi, U. (2012). pelayanan publik bagi pemenuhan hak-hak difabel diterapkan di Kota Yogyakarta. Dipetik November 10, 2016, dari http://staff.uny.ac.id: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Utami%20Dewi,%20M.PP/Ringkas an%20Pelayanan%20Publik%20Bagi%20Difabel%20di%20Kota%20YK.pdf KPU-DIY. (2014). Pemberian Penghargaan Pemilu KPU DIY. Retrieved september 25,

2016, from www.kpu-diy.go.id: http://kpu-diy.go.id/berita/detail/5

Pemerintah Kota Yogyakarta. (2007, oktober 08). SEJARAH KOTA YOGYAKARTA. Dipetik November 02, 2016, dari http://jogjakota.go.id: http://jogjakota.go.id/about/sejarah-kota-yogyakarta

SIGAB. (2014, april 21). catatan atas sejumlah cacat pemilu 2014. Dipetik november 22, 2016, dari www.sigab.or.id: https://www.sigab.or.id/id/article/catatan-atas-sejumlah-cacat-pemilu-2014

Soeradireja, D. M. (2011, oktober 29). Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Pemilu Masih Dipandang Sebelah Mata. Retrieved oktober 1, 2016, from www.kompasiana.com:

http://www.kompasiana.com/diah_marliati_a_soeradiredja/partisipasi-penyandang-

disabilitas-dalam-pemilu-masih-dipandang-sebelah-mata_5508ff39813311e319b1ee05

Yulistyo Pratomo, R. F. (2014, april 12). Ini tingkat partisipasi pemilih dari Pemilu 1955-2014. Dipetik november 25, 2016, dari https://www.merdeka.com: https://www.merdeka.com/politik/ini-tingkat-partisipasi-pemilih-dari-pemilu-1955-2014.html

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas