PARTISIPASI POLITIK DIFABEL DI 2 KOTA

  Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017: Vol. 4(1): PP 51-62.

  

PARTISIPASI POLITIK DIFABEL DI 2 KOTA

Rachmad Gustomy

  

Ilmu Pemerintahan, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia

Abstrak: Partisipasi politik bukan hanya soal pemilu (turn out voter), namun pengertian lebih luas sebagai

keterlibatan dalam perubahan kebijakan. Penelitian ini ditujukan untuk menemukan peta partisipasi politik

kelompok difabel dalam 5 bentuk; pemilu, organisasi, contacting, lobby dan violance. Tujuan dari penelitian ini

adalah memetakan pola partisipasi kelompok difabel agar nantinya dapat digunakan basis penguatan kapasitas

untuk pemberdayaan masyarakat. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan survei di 2 kota di

Jawa Timur, yaitu di Kota Malang dan Kota Mojokerto. Survei dilakukan dengan mengambil sampling 56

responden di semua kota. Dari Penelitian ini disimpulkan ada berbedaan antara kesadaran dan tindakan dalam

partisipasi politik kelompok difabel. Selain itu partisipasi politik kelompok difabel masih sangat terbatas

sehingga tidak mampu mempengaruhi kebijakan publik.

  Keywords: partisipasi politik, lobi, aksi langsung, aktifitas pemilu, kontak langsung, pembangkangan.

  Penelitian ini mendudukkan praktik partisipasi politik kembali pada substansinya, yang tidak hanya menempatkan pemilih (khususnya kelompok marjinal seperti difabel) yang hanya sekedar menjadi pendulang suara (turn out voters). Sehingga pentingnya penelitian ini adalah untuk menjawab bentuk partisipasi politik yang lebih substansial daripada kecenderungan hanya memilih belaka 1 . Selain itu, penelitian ini juga menjawab kecenderungan penelitian yang hanya melihat partisipasi dari kelompok- kelompok marjinal hanya sekedar menjadi obyek perebutan kekuasaan, bukan menjadi subyek dari proses perubahan kebijakan itu sendiri.

  Di satu sisi yang lain, kelompok difabel adalah sebuah kelompok marjinal yang sangat rentan, dalam bahasa yang sederhana pengabaian terhadap mereka akan membuat mereka mati dengan sendirinya. Persoalan menjadi semakin kompleks ketika kelompok difabel ini juga terasing oleh struktur politik kita, sehingga kemudian melahirkan mentalitas-mentalitas inferior dikalangan 1 Sebagai contoh, lihat penelitian The Asia

  Foundation , 2013, Survei dasar terhadap pemahaman, persepsi dan praktik pemilih terkait dengan aspek pemili di enam target propinsi, Jakarta

  difabel. Inilah kendala mendasar dari kelompok difabel, dimana mereka sendiri pada konteks politik juga tidak mau memilih pemimpin yang difabel.

1. Latar Belakang

  Pemetaan partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam rangka menyiapkan sebuah basis rujukan dalam pemberdayaan dan penguatan kapasitas kelompok marjinal difabel. Urgensi terpentingnya adalah agar penguatan partisipasi politik tidak lagi terjebak pada hiruk pikuk pencoblosan saja, namun seara substansial juga memberikan dorongan kepada komunitas ini untuk melakukan gerakan perubahan.

  Kesadaran untuk memasukkan asumsi disabilitas dalam proses kebijakan publik sangat rendah, sehingga kualitas kebijakan masih jauh dari keberpihakan terhadap sebagaian masyarakat yang mengalami disabilitas. Ruang-ruang publik di banyak kota di Indonesia masih banyak tidak ramah terhadap aksesibilitas orang dengan disabilitas. Penyebab dari corak kebijakan yang seperti ini dikarenakan rendahnya sensitifitas pembuat kebijakan terhadap persoalan-persoalan kelompok difabel.

  Dalam penelitian The Asia Foundation di

  6 Propinsi pada pemilu 2014, tingkat partisipasi relatif seimbang antara yang tertarik dan tidak. Kelompok yang

  „tidak tertarik‟ (27%) dan

  „tidak tahu‟ (19%) cukup tinggi, sedangkan yang „tertarik atau tanpa dengan Cite this as:

Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

  konpensasi‟ (38%). Namun kelompok difabel yang benar-benar didorong oleh sebuah kesadaran perlawanan masih relatif rendah, yaitu hanya 11% (Tertarik jika tanpa konpensasi, dan tidak tertarik jika ada konpensasi). Artinya, sebagai voter kelompok difabel tidak bisa dibedakan dengan masyarakat umumnya, belum menjadikan Pemilu sebagai instrumen perubahan.

  Masih dalam penelitian yang sama, salah satu jawaban dari riset The Asia Foundation adalah gambaran inferioritas penyandang disabilitas didalam representasi politik. Jika mereka diminta jawaban tentang „persepsi mereka terhadap pemimpin difabel, temuan yang sangat mengejutkan menunjukkan bahwa 42% orang difabel juga tidak mau memilih pemimpin yang difabel Sisanya 37% menjawab memilih dan 21% menjawab tidak tahu. Data ini adalah gambaran bahwa ada ketidakpercayaan terhadap wakil rakyat penyandang disabilitas oleh penyandang disabilitas sendiri. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana persepsi dan aktifitas penyandang disabilitas dalam partisipasi politik untuk memperjuangkan kepentingannya.

  Meminjam istilah Samuel P Huntington dan Joan M Nelson, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara, baik sebagai individu maupun komunitas, yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan terkait kebijakan publik. Aktifitas ini dapat bisa dengan masuk saluran konvensional seperti menjadi anggota partai dan NGO, maupun kegiatan non-konvensional yang sifatnya spontan, sporadis, ilegal bahkan cara-cara pemaksaan 2 . Melalui pengertian tersebut, maka partisipasi politik dapat dipahami dalam dua model gerakan, yaitu: partisipasi yang muncul dari kesadaran akan pentingnya keterlibatan dalam kebijakan publik dan partisipasi yang digerakkan oleh kekuatan dominan untuk 2 Samuel P Huntington dan Joan M Nelson, 1976,

  No Easy Choice, Political Participation in Developing Countries , Cambridge, Mass, Harvard University Press

  terlibat dalam melegitimasi bentuk kekuasaan (mobilized political participation) 3

  . Bentuk-

  bentuk partisipasi sukarela inilah yang lebih dekat dengan esensi dari partisipasi publik, yait u keterlibatan yang „sepenuh hati‟ dalam mempengaruhi keputusan yang terkait dengan publik. Sedangkan sosialisasi, atau lebih tepatnya ajakan, untuk memilih dalam pemilu legislatif adalah salah satu bentuk mobilized

  political participation. Dari kerangka itu,

  maka dikembangkan peran-peran partisipasi politik ini dapat dikategorikan dalam lima bentuk sebagai berikut 4 :

  1. Electoral Activity adalah kegiatan atau aktifitas yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan pemilihan umum. Dalam identifikasi ini beberapa aktifitas partisipasi dapat berupa, mengikuti kampanye, memberikan sumbangan partai, menjadi sukarelawan dan tentu saja ikut serta dalam pemilihan umum.

  2. Lobbying adalah kegiatan-kegiatan baik individu maupun kelompok dalam mempengaruhi proses kebijakan publik dengan melakukan negosiasi dan menghubungi para pejabat pemerintahan dan politik. Kegiatan ini dilakukan agar kebijakan publik yang dibuat dapat berpihak terhadap kepentingan mereka atau kelompoknya.

2. Tinjauan Konseptual

  3. Organizational Activity adalah kertelibatan masyarakat kedalam asosiasi masyarakat, baik organisasi sosial maupun organisasi politik. Kelompok-kelompok asosiasi inilah yang kemudian melakukan aktifitas- aktifitas agar kebijakan yang mereka buat dapat didesakkan dan menjadi agenda publik.

  4. Contacting adalah aktifitas langsung warganegara dalam menyampaikan pendapatnya tentang permasalahan 3 Huntington, Ibid 4 Sebagaimana di kutip Afan Gaffar dari Samuel P Huntington dan Joan M Nelson, Juli 1997,

  Menampung Partisipasi Politik Rakyat, JSP Vol.1 Nomor 1, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM, Yogyakarta Cite this as:

Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

  publik. Aktifitas ini dapat dilakukan dengan mendatangi langsung, mengirim surat pembaca, menelepon pejabat, menandatangi petisi dan semacamnya yang tujuannya mempengaruhi kebijakan.

  5. Violence adalah cara-cara yang menggunakan tekanan dan pemaksaan untuk mempengaruhi kebijakan publik. Cara-cara ini dapat dilihat dengan vandalisme, demonstrasi dan atau ancaman-ancaman yang ditujukan untuk melakukan perubahan secara langsung.

3. Metode Penelitian

  Agar dapat memetakan partisipasi politik difabel di dua kota yang berbeda, riset ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Pencarian data melalui survei yang dilakukan adalah dengan mengambil sampel kelompok difabel. Pendekatan ini dipilih untuk bisa memahami fenomena permukaan secara luas dari partisipasi politik kelompok difabel khususnya di 2 kota di Jawa Timur. Proses ini dilakukan dengan tujuan untuk ditemukan kejadian-kejadian relatif, distribusi, dan hubungan-hubungan antar variabel, sosiologis maupun psikologis.

  Penelitian ini akan dilakukan dengan melakukan survei di 2 kota, Kota Mojokerto dan Kota Malang, yang mengambil sampling kelompok difabel. Pencarian narasumber dilakukan dengan snowball mengingat karena jumlah penyandang disabilitas yang tidak jelas jumlah populasinya karena tidak ada data resmi. Jumlah responden di Kota malang sebanyak 34 orang (60%) sedangkan di Kota Mojokerto jumlah respondennya sebanyak 22 orang (39%). Proses wawancara juga dilakukan dengan metode Snow Ball, yang mana responden diketahui dari informasi responden lain. Kelemahan dan kelebihan metode pencarian data tersebut yang kemudian mewarnai proses data diperoleh.

  Jika dilihat dari jenis kelamin responden, sebaran jenis kelamin responden termasuk merata. Perbedaan jumlah responden laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda, responden laki-laki berjumlah 29 orang (52%) dan responden perempuan 27 orang (48%). Dari data ini, kita bisa memastikan bahwa representasi jenis kelamin sudah terwakili dari pendapat-pendapat yang disampaikan dalam penelitian ini. Sedangkan persebaran responden jika dilihat dari jenis disabilitasnya, maka akan lebih didominasi oleh penyandang tuna daksa. Responden penyandang tuna daksa paling mudah di temukan (40 responden), hal ini karena keterbatasan mobilitas yang menjadi masalah utama tuna daksa, biasanya dengan kendaraan roda tiga. Sedangkan responden tunanetra juga masih relatif mudah ditemui, karena biasanya mereka berkumpul di panti pijat, yang dapat diwakili oleh 11 responden. Persoalan tidak terwakilinya penyandang disabilitas lain, seperti tuna rungu dan tuna grahita, lebih disebabkan tidak mudahnya diidentifikasi oleh peneliti atau memang disembunyikan keluarganya. Namun demikian, meskipun memiliki kelemahan ini pendapat yang diajukan sudah relatif mewakili kepentingan penyandang disabilitas.

  4. Hasil dan Pembahasan

  4.1.Aktivitas dalam Pemilu

  Aktifitas dalam pemilu dianggap penting, karena melalui pemilu diharapkan isu disabilitas dapat teradvokasi secara politik oleh pemimpin yang telah dipilih. Responden menyatakan hal yang sama bahwa pemilu itu penting dengan ditunjukkannya penggunaan hak suara dalam pemilihan yang tinggi. Dalam Pemilu 2014, 87% persen difabel menyatakan menggunakan hak pilihnya, selebihnya 13% tidak menggunakan hak suaranya (lihat Gambar 1). Jumlah ini harus menjadi evaluasi bagi pemerintah untuk memberikan sosialisasi Pemilu secara masif terhadap masyarakat, khususnya bagi para penyandang disabilitas.

  Mayoritas penyandang disabilitas menganggap bahwa Pemilu merupakan sarana penting untuk mewujudkan kepentingan mereka. Sebagian besar masing menganggap penting, terlihat dari 37,5% responden menyatakan Pemilu

  „penting‟, dan 26,8% responden yang menyatakan „sangat penting‟. Sedangkan sebagian kecil mengatakan lain, 10,7%

  „tidak penting‟ dan 7,1% menyatakan Cite this as:

Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

„sangat tidak penting‟ (lihat Gambar 2).

  Responden yang masih menyatakan bahwa Pemilu masih dianggap tidak penting dan sangat tidak penting, kemungkinan besar salah satunya karena tidak puas dengan output dari pemilu.

  Gambar 1. Penggunaan Hak Suara Pemilu 2014 Gambar 2. pendapat pentingnya pemilu untuk kepentingan difabel

  Hal ini terlihat dari penilaian mereka yang buruk terhadap wakil rakyat yang terpilih dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Sebagian besar menyatakan pesimisme mereka, yang ditunjukkan dengan 32,1% responden menyatakan „tidak terwakili‟, bahkan sebanyak 23,2% merasa „sangat tidak terwakili

  ‟. Meskipun demikian, beberapa responden masih merespon positif, yakni sebanyak 21,4% responden merasa „terwakili‟, dan 7,1% merasa „sangat terwakili‟ kepentingannya (lihat Gambar 3). Hal ini diperkuat dengan lemahnya keyakinan responden kepada wakil rakyat yang dipilihnya. Hampir separuh responden 44,6% menyatakan „tidak yakin‟, bahkan 26,8 % mengatakan

  „sangat tidak yakin‟. Sedangkan responden yang masih optimis dengan kinerja calon legislaif cukup minim, yakni sebanyak

  10,7% menyatakan „yakin‟ dan 3,6% menyatakan

  „sangat yakin‟ (perhatikan Gambar 4). Dari data tersebut menunjukkan bahwa masih sangat minimal sekali dampak kebijakan publik atau keperpihakan yang dirasakan bagi para penyandang disabilitas oleh para pejabat politik. Dimana saja memang ada persoalan dalam representasi kelompok kurang beruntung (disanvatage people) dalam lembaga pemerintahan 5 .

  Gambar 3. pendapat tentang keterwakilan kepentingan difabel Gambar 4. keyakinan terhadap calon legislatif akan pemenuhan janjinya

  4.2. Aktivitas Organisasi (Organizational Activity)

  Wujud partisipasi politik yang bisa memastikan manifestasi kepentingan kelompok penyandang disabilitas dalam kebijakan pemerintahan adalah dengan aktivitas organisasi. Setidaknya ada tiga bentuk organisasi yang biasa diikuti penyandang disabilitas, yaitu: Organisasi 5 Lisa Schur, Douglas Kruse and Peter Blanck,

  2013,People with Disabilities: Sidelined or Mainstreamed?, Cambridge University Press, New York Cite this as:

Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

  Lingkungan, Organisasi Masyarakat dan Organisasi Politik. Dalam konteks berorganisasi, hampir semua setuju pentingnya ikut organisasi. Sebanyak 60,7%

  sangat

  setuju‟ dan 35,7%setuju‟ terhadap pentingnya organisasi. Sedangkan sisanya, masing- masing 1,8%, berpendapat „kurang setuju‟ dan „tidak setuju‟ (perhatikan Gambar 5). Dari data ini dapat diketahui bahwa penyandang disabilitas memiliki potensi besar dalam melakukan partisipasi politik berupa keikutsertaan dalam organisasi.

  Gambar 5. Pendapat kemudahan kepentingan difabel jika ikut organisasi

  Salah satu keaktifan dalam organisasi yang dapat diikuti adalah organisasi dalam level lingkungan seperti di RT, Komunitas Kampung, Pengajian atau komunitas skala lokal lainnya. Sebagian besar penyandang disabilitas yang menjadi narasumber menyebutkan bahwa mereka cukup aktif dalam organisasi di lingkungannya. Sebanyak 42,9% responden yang mengatakan „aktif‟ dan 10,7% responden yang mengatakan „sangat aktif‟ dalam organisasi di kampungnya. Sebagian kecil lainnya, yaitu 35,7% responden mengatakan bahwa mere ka „jarang aktif‟ dan

  10,7% responden lainnya mengatakan „tidak pernah aktif‟ dalam organisasi di lingkungannya. (lihat Gambar 6). Namun jika kita perdalam tingkat keterlibatan dari penyandang disabilitas di dalam organisasi di lingkungannya, akan terlihat bahwa mereka lebih banyak pasif menjadi anggota saja. Dari hasil survei ditunjukkan jika sebagian besar 66,1% responden menyatakan hanya

  „menjadi anggota‟ saja dalam organisasi di lingkungannya. Sedangkan hanya ada 17,9% responden saja yang menjadi pengurus di tingkat lingkungan RT/RW, dan 14,3% responden lainnya mengaku

  „pernah menjadi pengurus ‟ (lihat Gambar 7). Hal ini menunjukkan aktifitas mereka dilingkungan belum maksimal dalam memainkan peran sebagai motivator di lingkungannya.

  Gambar 6: Aktivitas berorganisasi Lingkungan RT/RW Gambar 7. Keterlibatan jadi pengurus di organisasi tempat tinggal

  Aktifitas kegiatan di organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) semakin menurun dibanding aktifitas di organisasi lingkungan. Dalam keterlibatan kegiatan dengan LSM, sebanyak 44,6% responden mengatakan

  „tidak ikut‟ dan 16,1% responden menyatakan „pernah ikut‟ kegiatan Ormas atau LSM. Hanya sekitar 37,5% responden menyatakan masih „ikut aktif‟ dalam kegiatan Ormas (lihat Gambar 8). Namun sayangnya, sebagian besar Organisasi Kemasyarakatan yang mereka ikuti adalah bergerak di isu disabilitas. Sebanyak 80,4% responden hanya mengikuti kegiatan „organisasi difabel‟, sedangkan sisanya 12,5% responden ikut organisasi keagamaan, Cite this as:

Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

  selebihnya sebanyak 1,8% menyatakan juga ikut organisasi lainnya (lihat Gambar 9). Hal ini menunjukan gambaran ekslusifitas kegiatan organisasi mereka, yang belum maksimal membangun jaringan diluar kelompok penyandang disabilitas.

  Gambar 8:. keterlibatan dalam organisasi kemasyarakat Gambar 9. jenis organisasi kemasyarakat yg rutin diikuti

  Namun yang patut disyukuri, aktifitas kelompok difabel dalam ormas yang diikutinya cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan data survey terhadap responden penyandang disabilitas yang mengikuti ormas, yakni 58,9% responden mengatakan

  „aktif‟, begitupula 23,2% responden mengatakan „sangat aktif‟ dalam kegiatan organisasi. Hanya sisa 10,7% yang mengatakan „tidak aktif ‟, dan 5,4 % lainnya mengatakan „jarang aktif

  ‟ (lihat Gambar 10). Dari data ini dapat disimpulkan bahwa kelompok difabel sebenarnya memiliki semangat dan potensi gerakan yang luar biasa, namun perlu penguatan jaringan untuk membuatnya lebih efektif.

  Gambar 10. keaktifan dalam organisasi kemasyarakat yg diikuti

  Dalam konteks organisasi politik, para responden menyadari pentingnya peran partai politik, meskipun mereka sebagian besar tidak menjadi anggota partai atau aktif dalam kegiatan partai politik. Menurut responden, mayoritas berpendapat bahwa keikutsertaan dalam partai politik dianggap sangat penting. Hal ini dibuktikan dengan 53,6% responden yang mengatakan

  „perlu‟ dan 21,4% responden yang mengatakan „sangat perlu‟ untuk ikut partai politik. Sedangkan, hanya 16,1% yang menyatakan

  „tidak perlu‟ dan 1,8% pendapat yang mengatakan „kurang perlu ‟ (lihat Gambar 11). Namun urgensi partai ini berbanding terbalik dengan fakta keikutsertaan mereka dalam partai politik.

  Sebanyak 89,3% mengatakan „tidak ikut‟ partai politik, sedangkan yang menyatakan

  „ikut‟ dan „pernah ikut‟ masing-masing 5,4% responden (lihat Gambar 12). Hal senada dijumpai pada keterlibatan mereka dalam kegiatan partai politik yang relatif kecil. Sebagian besar 42,9% responden yang menayatakan „tidak aktif‟, dan 8,9% yang lain menyatakan „jarang aktif‟. Sedangkan hanya 16,1% responden yang menyatakan aktif dalam keterlibatan kegiatan partai (lihat Gambar 13). Fakta ini disebabkan oleh dua kemungkinan, partai politik yang tidak responsif terhadap penyandang disabilitas atau penyandang disabilitasnya yang tidak agresif masuk partai 6 .

  6 Lisa Schur, 2017, Toward Inclusion, Political and Social participation of people with disabilities, dalam Routledge Handbook of Disability Law and Human Rights, Peter Blanck, Eilionóir Flynn, Roudledge adalah dengan instrumen media lain, seperti surat pembaca, kotak saran dan semacamnya. Harapannya jika penyandang disabilitas tergerak untuk menyampaikan pendapat secara langsung maka pemerintah akan lebih memahami kepentingan penyandang disabilitas. Dari kacamata penyandang disabilitas sendiri, sebenarnya menyampaikan pendapat secara

  Gambar 11. pendapat perlunya ikut partai politik

  langsung dianggap penting. Sebanyak 28,6% responden yang meyakini bahwa menyampaikan pendapat secara langsung itu „sangat efektif‟ dan 42,9% responden yang menyatakan „efektif‟. Artinya sebagian besar (71,5%) meyakini efektivitas penyampaian pendapat secara langsung kepada pemerintah. Hanya sebagian kecil, 12,5% responden yang menyatakan „kurang efektif‟ dan „tidak efektif‟ (lihat Gambar 14). Dengan temuan ini, maka dapat tergambarkan bahwa sebenarnya para penyandang disabilitas sadar bahwa

  Gambar 12. keikutsertaan jadi anggota parpol menyampaikan pendapat secara langsung itu

  sangat penting kepada pemerintah, agar kebijakan yang dibuat pemerintah lebih berpihak kepada penyandang disabilitas.

  Gambar 13. keaktifan saat ikut parpol tersebut 4.3.

   Aktivitas Membangun Komunikasi (Contacting) Gambar 14. pendapat tentang keefektifan menyampaikan

  Bentuk partisipasi politik lain yang

  pendapat langsung

  diharapkan dari penyandang disabilitas adalah berkomunikasi atau berkontak langsung Namun, sekali lagi kesadaran mereka pemerintah. Dengan aktivitas tersebut, maka berbanding terbalik dengan partisipasi diharapkan pemerintah tahu benar apa yang politiknya. Data dalam penelitian ini justru dibutuhkan oleh penyandang disabilitas menunjukkan bahwa kesadaran akan langsung dari penyandang disabilitasnya pentingnya menyampaikan pendapat secara sendiri. Ada beragam bentuk bagaimana langsung kepada pemerintah tidak konsisten menyampaikan aspirasi langsung kepada dengan praktiknya. Hanya sebagian dari pemerintah, baik dalam bentuk langsung penyandang disabilitas yang pernah maupun tidak langsung. Bentuk langsung menyampaikan pendapatnya secara langsung misalnya adalah menyampaikan secara kepada pemerintah. Hal ini terlihat bahwa langsung kepada pejabat terkait tentang hanya 41,1% responden yang „pernah‟ masalah-masalah penyandang disabilitas. menyampaikan pendapat kepada pemerintah. Sedangkan cara tidak langsung misalnya

  Sedangkan 30 responden (53,6%) justru

  Cite this as:

Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

  Cite this as:

Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

  mengatakan „tidak pernah‟ menyampaikan pendapat secara langsung kepada pemerintah

  (lihat Gambar 15). Dari sini terlihat selama ini terdapat persoalan yang menghambat aktualisasi penyampaian pendapat dari penyandang disablitas.

  Hanya sebagian kecil dari responden yang berani menyampaikan pendapat secara langsung, bahkan secara agresif mendatangi pejabat langsung (26,8% responden). Dari wawancara biasanya dilakukan dalam bentuk- bentuk audiensi, khususnya bagi para penyandang disabilitas yang aktif di dalam Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD). Sebagian kecil yang lain berani menyampaikan usulan-usulan kepada pemerintah ketika ada acara-acara yang kebetulan dihadiri pejabat. Sebanyak 12,5% responden mengaku pernah menyampaikan usulan kepada pejabat pemerintah yang kebetulan hadir dalam sebuah acara. Hanya 1 responden yang memiliki pengalaman menyampaikan saran secara langsung, karena pernah menjadi tim sukses dari bupati, sehingga memiliki akses langsung. Sedangkan sebanyak 8,95% dari responden memanfaatkan media massa untuk memberikan masukan kepada pemerintah. Namun sayangnya, 21,4% responden mengatakan takut atau tidak berani menyampaikan pendapat kepada pemerintah dengan beragam alasan (lihat Gambar 16).

  Gambar 15. menyampaikan keluhan langsung ke pemerintah

  Dari data diatas, dapat ditarik dua benang merah penting tentang peran penyampaian pendapat (contacting) penyandang disabilitas terhadap pemangku kebijakan. Pertama, meski menyadari pentingnya contacting dengan pemerintah, namun ada hambatan terselubung mengapa mereka tidak melakukannya. Kedua,

  Gambar 16. bentuk yang digunakan untuk menyampaikan keluhan ke pemerintah

  hambatan partisipasi contacting , bisa disebabkan ketidaktahuan, keenganan atau hambatan psikologis lainnya yang perlu segera diatasi. Dari data penelitian yang kami peroleh, belum jelas korelasi antara lemahnya

  contacting jika dihubungkan dengan variabel

  lain. Soal pendidikan, jenis disabilitas, jenis kelamin, pendapatan ternyata tidak berkorelasi dengan aktivitas contacting. Lebih aneh lagi, pengalaman organisasi, baik ormas difabel, lingkungan maupun organisasi politik masih tidak korelatif dengan aktivitas contacting. Dari sini, tentu ada pertanyaan yang perlu dijawab dalam penelitian selanjutnya.

  4.4. Kegiatan Lobbying

  Bentuk partisipasi politik lain yang diharapkan mampu mengubah kebijakan- kebijakan publik untuk lebih berpihak bagi penyandang disabilitas adalah dengan lobby. Pengertiannya adalah para penyandang disabilitas, baik individu maupun kelompok membangun jaringan untuk mempengaruhi kebijakan. Hal ini menjadi penting, karena penyandang disabilitas tidak bisa membangun organisasi sendiri yang eksklusif, yang justru akan melemahkan perjuangan penyandang disabilitas. Semakin luas jaringan, secara teoritik tentu semakin baik bagi pencapaian tujuan advokasi kebijakan publik.

  Semua penyandang disabilitas mengetahui benar pentingnya membuat jaringan lobby atau kerja sama dengan lembaga atau elit yang bisa mempengaruhi kebijakan. Sebanyak 62,5% responden menyatakan

  „sangat perlu‟ dan 33,9% responden lainnya menyatakan „perlu‟ membangun kerja sama (lihat Gambar 17). Tidak ada responden yang menyatakan tidak perlu membangun kerja sama. Ini artinya, sejauh pengalaman para penyandang Cite this as:

Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

  disabilitas, kerja sama dengan lembaga atau elit lain dianggap sangat penting.

  Gambar 17. pendapat tentang perlunya kerjasama dengan pihak lain untuk kepentingan difabel

  Menurut responden, kerja sama yang dianggap paling efektif adalah dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) diluar Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD), kemudian dengan politisi, pejabat pemerintah dan terakhir dengan kampus. Sebanyak 32,1% responden menyatakan bahwa bekerjasama dengan LSM dianggap paling efektif, karena secara intensif melakukan advokasi dan pelatihan, meski tidak pernah memberikan bantuan langsung. Hal ini mereka rasakan selama ini menjadi mitra dari beberapa LSM dalam memperjuangkan kepentingan penyandang disabilitas. Sedangkan yang meyakini politisi sebagai mitra kerja sama yang baik sebanyak 19,6% responden. Dalam wawancara mereka menyebutkan bahwa lebih sering politisi memberikan bantuan langsung baik tunai maupun barang. Serupa dengan politisi, 17,9% responden mengatakan hal serupa tentang peran pemerintah, yang seringnya memberikan bantuan tunai, barang atau pelatihan (lihat Gambar 18). Sedangkan kelompok akademisi kampus lebih banyak hanya memberikan pelatihan-pelatihan saja, yang bagi sebagian tidak terlalu dibutuhkan kecuali „uang transport‟-nya.

  Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa terkait partisipasi melalui lobby, sudah menjadi kesadaran bagi para penyandang disabilitas. Namun yang perlu menjadi catatan, proses aktivitas kerja sama yang diperlukan itu yang sifatnya jangka panjang dan intensif agar membuahkan hasil 7 . Hal ini yang menjelaskan pentingnya membangun jaringan dengan LSM daripada Kampus. LSM, Pemerintah maupun politisi, −dengan beragam kepentingannya−, bisa menjadi mitra yang lebih jangka panjang, yang berbeda dengan Kampus yang hanya tentatif. Catatan lain dalam wawancara informal, penyandang disabilitas masih memaknai membangun kerja sama (lobby) adalah memberikan bantuan barang atau tunai. Meski tidak semua, maka pintu masuk yang paling penting dalam membangun kerja sama dengan kelompok penyandang disabilitas adalah membangun kesadarannya terlebih dahulu. Catatan ini tentu berharga untuk menjadi pemahaman jika ingin bekerjasama dengan penyandang disabilitas atau OPD.

  Gambar 18. pendapat dengan siapa penggalangan kerjasama yang baik

  4.5. Penggunaan Pemaksaan (Violence)

  Salah satu bentuk partisipasi politik yang paling mungkin mempengaruhi kebijakan adalah tindakan aktif mempengaruhi kebijakan, salah satunya dengan pemaksaan (violance). Pilihan tindakan yang dimaksud pemaksaan (violence) tidak selalu dimaknai dengan perusakan, namun tindakan untuk mendesak pemerintah memenuhi agenda kebijakannya. Pada konteks ini, para penyandang disabilitas perlu memahami benar strategi penggunaan pemaksaan dalam mengubah kebijakan, seperti boikot, demonstrasi dan bentuk-bentuk pemaksaan lainnya.

  7 Shaminder K. Dhillon, 2009, Absent Citizens: Disability Politics and Policy in Canada , University of Toronto Press Cite this as:

Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

  Pemaksaan atau tindakan memaksakan agenda kebijakan justru masih dianggap sebagai hal yang tidak baik bagi responden, namun dianggap efektif. Sebagian besar penyandang disabilitas masih melihat dari kacamata yang negatif terhadap tindakan pemaksaan dalam kebijakan. Hal ini terlihat dari 57,1% responden yang “tidak setuju” dengan aksi pemaksaan, dan 19,6% responden yang

  “kurang setuju” dengan tindakan pemaksaan. Namun, setidaknya ada 10,7% responden yang „setuju‟ dan 6,3% responden yang „sangat setuju‟ dengan penggunaan pemaksaan (lihat Gambar 19). Namun persepsi ketidaksetujuan penggunaan pemaksaan sedikit tidak konsisten jika dibandingkan dengan persepsi tentang efektivitas demonstrasi dalam mengubah kebijakan. Sebanyak 37,5% responden berpendapat bahwa demonstrasi adalah cara yang „efektif‟, dan 7,1% responden lainnya mengatakan „sangat efektif‟ mengubah kebijakan. Sedangkan sebagian yang lain, yaitu 19,6% responden menilai bahwa demonstrasi „kurang efektif‟ dan „tidak efektif‟ (lihat Gambar 20). Ketidak setujuan masih diwarnai dengan pemahaman dalam etika sosial bahwa mengambil tindakan pemaksaan adalah hal yang buruk, namun penilaian efektiftasnya merujuk pada pengalaman demonstrasi lainnya.

  Gambar 19. setuju tidaknya tentang protes kebijakan dengan cara kekerasan

  Namun sekali lagi, persepsi tentang demonstrasi dengan partisipasi politiknya tidak konsisten bagi penyandang disabilitas. Faktanya 60,7% responden mengatakan

  „tidak pernah ikut ‟ dalam demonstrasi, dan hanya 32,1% yang mengaku „pernah ikut demosntrasi‟ (lihat Gambar 21). Padahal mereka mengakui strategisnya aktifitas demonstrasi dalam merubah kebijakan publik. Sebanyak 25% responden menganggap demonstrasi „sangat perlu‟, begitu juga dengan 39,3% responden lain menganggap demonstrasi „perlu‟. Ini artinya, sebagian besar dari penyandang disabilitas (64,3%) menganggap bahwa melakukan demonstrasi dapat memperjuangkan kepentingan penyandang disabilitas. Meski demikian, masih ada sedikit responden 21,4% responden yang beranggapan bahwa demonstrasi itu „tidak perlu‟ (lihat Gambar 22).

  Gambar 20. pendapat efektifnya demo untuk merubah kebijakan Gambar 21. keikutsertaan dalam demo

  Dari wawancara informal ada beberapa alasan yang muncul mengapa mereka tidak ikut dalam demonstrasi. Pertama, karena tidak mampu atau halangan fisik untuk melakukannya. Kedua, karena tidak berani dan menganggap demonstrasi adalah sebuah aktivitas yang buruk. Ketiga, tidak ada yang Cite this as:

Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

  mendorong atau mengajak mereka untuk melakukan demonstrasi. Disatu sisi, keikutsertaan mereka biasanya didorong oleh kegiatan dan agenda dalam organisasi penyandang disabilitas dalam menuntut sebuah kebijakan.

  Gambar 22. pendapat perlunya difabel demo untuk merubah kepentingan pemerintah

  Berdasarkan pembahasan diatas, maka berikut lima kesimpulan yang dapat ditarik:

  Pertama, Mayoritas responden menggunakan

  hak suaranya dalam Pemilu 2014, karena mengaggap bahwa pemilu merupakan aktivitas penting yang dapat mengakomodasi kepentingan difabel. Namun mereka tidak percaya dengan politisi, karena menganggap tidak terwakili secara politik dalam mengakomodir kepentingan difabel. Jadi, partisipasi politik penyandang disabilitas cukup aktif dalam pemilu, akan tetapi ada ketidak percayaan terhadap wakil rakyat dalam memperjuangkan kepentingan difabel.

  Kedua, dalam aktifitas organisasi mayoritas

  dari responden sangat setuju bahwa organisasi dapat memudahkan kepentingan politik menjadi terwujud. Hal ini kemudian membuat mereka terlibat aktif mereka dalam kegiatan lingkungan, meskipun jarang menjadi pengurus. Namun dalam kegiatan organisasi kemasyarakatan lainnya, seperti LSM, mayoritas responden masih banyak belum terlibat. Kalaupun mereka terlibat mereka lebih tertarik pada kegiatan Ormas yang fokus pada isu disabilitas. Sedangkan dalam organisasi politik, semakin jarang penyandang disabilitas yang ikut bergabung, meskipun menganggap penting. Dimungkinkan salah satu sebabnya adalah kurangnya aksesibilitas partai politik terhadap penyandang disabilitas.

  Ketiga, aktifitas membangun kontak dengan

  pemerintah, penyandang disabilitas sadar bahwa menyampaikan pendapat secara langsung kepada pemerintah itu penting, agar kebijakan yang dibuat pemerintah lebih berpihak kepada penyandang disabilitas. Akan tetapi permasalahannya adalah mayoritas responden justru tidak pernah mengatakan permasalahannya langsung pada pemerintah. Sehingga penyandang disabilitas masih belum bisa memanfaatkan ruang-ruang publik yang ada untuk menyampaikan pendapatnya kepada pemerintah. Jadi dalam indikator partisipasi politik ini dapat diketahui bahwa di satu sisi mereka sadar pentingnya mengutarakan pendapat, namun hambatan psikologis dan ketidaktahuan mereka mengenai cara menyampaikan menjadi kendala.

  Keempat, Bentuk partisipasi politik lain yang

  diharapkan mampu mengubah kebijakan- kebijakan publik untuk lebih berpihak bagi penyandang disabilitas adalah dengan lobby atau pembangun jaringan untuk mempengaruhi kebijakan. Dalam pengetahuannya, mayoritas responden mengatakan setuju dengan hal tersebut, dan menganggap bahwa LSM merupakan mitra jaringan yang baik bagi para penyandang disabilitas.

5. Penutup

  Kelima, Salah satu bentuk dari partisipasi politik adalah pemaksaan, seperti demonstrasi.

  Responden menolak penggunaan cara ini meskipun mereka sepakat dengan demonstrasi. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka belum pernah melakukan demonstrasi. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa belum ada dorongan yang kuat dan terkonsolidasi untuk membuat mereka melakukan demonstrasi.

  Daftar pustaka ditulis tanpa nomor bab. Semua rujukan pustaka yang digunakan ditulis dalam daftar pustaka. Daftar pustaka dituliskan berurutan sesuai dengan urutan abjad nama belakang penulis pertama diikuti tahun publikasi dalam kurung. Contoh format penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut:

  

Daftar Pustaka Samuel P Huntington dan Joan M Nelson, No

Easy Choice. ( 1976). Political Participation in

  Afan Gaffar, Menampung (1997). Partisipasi

  Developing Countries , Cambridge, Mass,

  Politik Rakyat, JSP Vol.1 Nomor 1, Fakultas Harvard University Press

  Ilmu Sosial dan Politik, UGM, Yogyakarta Shakespeare, Tom. (2006). Disability Rights Lisa Schur, Douglas Kruse and Peter Blanck.

  and Wrongs . New York: Routledge

  (2013). People with Disabilities: Sidelined or Mainstreamed?, Cambridge University Press, Shaminder K. Dhillon. (2009). Absent New York Citizens: Disability Politics and Policy in

  Canada , University of Toronto Press Lisa Schur, Toward Inclusion. (2017).

Political and Social participation of people The Asia Foundation. (2013). Survei dasar

with disabilities , dalam Routledge Handbook terhadap pemahaman, persepsi dan praktik

of Disability Law and Human Rights , Peter pemilih terkait dengan aspek pemili di enam

  Blanck, Eilionóir Flynn, Roudledge target propinsi, Jakarta Riddle, C. A. (2014). Disability & Justice: The

  Capabilities Approach in Practice . Lanham:

  Lexington Books/Rowman & Littlefield

  Cite this as:

Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017: