Persamaan dan Perbedaan Tafsir Sufistik Said Nursi dengan Fethullah Gulen

Persamaan dan Perbedaan Tafsir Sufistik Said Nursi dengan Fethullah Gulen

Sebagaimana ditegaskan di bagian awal, bahwa keberadaan tafsir sufistik dilandaskan pada beberapa premis, yaitu: bahwa Al- Qur’an berisi banyak level makna; bahwa manusia memiliki poten-

si untuk menyingkap makna-makna tersebut; dan bahwa tugas in- terpretasi tidak pernah berakhir. 65 Level makna yang beragam itu- lah yang memungkinkan para mufasir menyingkap sesuai dengan ‘kebutuhan’ dan tuntutan masanya. Ditambah lagi bahwa tugas inter- pretasi belum dan tidak pernah berakhir, sehingga siapa pun bisa menggali kedalaman makna Al-Qur’an dari beragam level makna dan perspektifnya. Sehingga cukup beralasan jika Al-Gazali meng-

64 Gulen, A«w±’ Qur’±niyyah, hlm. 156. Di tempat lain, Gulen mengutip per- nyatan Said Nursi, “Yajibu tarka h±©ih³ al-dunya qalbiyyan wa laysa kasbiyyan” (wa-

jib mengabaikan kecintaan terhadap dunia, namun bukan berarti tidak berusaha men- cari dunia). Gulen, A«w±’ Qur’±niyyah, hlm.273

65 Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Quran in Classical Islam, London/NewYork: Routledge, 2006, hlm. 7

Paradigma Sufistik Tafsir Al-Qur’an Bediuzzaman –– Ah. Fawaid 115 gambarkan Al-Qur’an sebagai bahtera yang di dalamnya terdapat

beragam mutiara. 66 Keragaman perspektif untuk meraih mutiara- mutiara terpendam Al-Qur’an telah banyak dilakukan para ahli. Tidak terkecuali apa yang telah dilakukan Said Nursi dan Fethullah Gulen.

Memang, baik Said Nursi maupun Fethullah Gulen tidak men- dakwa proyek tafsirnya sebagai tafsir sufistik, namun bila ditelisik

lebih lanjut, nuansa sufistik tidak bisa dinafikan dari tulisan dua tokoh tersebut. Said Nursi, misalnya, secara tegas mengatakan bahwa

cara yang dia lakukan bersama pengikutnya bukanlah sufisme, dan gerakannya bukanlah tarekat sufi. Apa yang dia lakukan adalah proses menyelematkan iman, karena menyelamatkan iman merupakan ke-

baikan paling agung yang bisa dilakukan saat ini. 67 Lebih-lebih, bagi Nursi, iman adalah roti sementara tasawuf adalah buah-buahan (al- ³m±n khubz al-¥ay±h wa at-ta¡awwuf f±kihatun). Artinya, orang tidak akan bisa masuk surga tanpa iman, sementara banyak orang yang bisa masuk surga tanpa mengambil jalan sufi. Sebagaimana manusia tidak mungkin bisa hidup tanpa roti, tapi mungkin saja mereka bisa hidup tanpa buah-buahan. 68

Pandangan Nursi ini bisa dimaklumi, karena bagi Nursi tan- tangan paling nyata yang dihadapi Turki masa itu adalah problem ketidakberimanan. Sehingga, perjuangan untuk menyelamatkan iman menjadi perjuangan utama yang digelorakan Nursi melalui karya- karyanya di samping perjuangan bersama para pengikutnya. Apa yang tertuang dalam Ras±’il an-Nµr adalah pandangan Nursi yang disinari cahaya Al-Qur’an untuk merespons realitas dan tantangan masanya. Bahwa diksi yang digunakan Nursi dalam Ras±’il an-Nµr bernuasa sufistik, sehingga sebagian kalangan mengidentifikasi Nur- si sebagai penganut tarekat sufi, tidak bisa dipungkiri. Atas dasar ini pula, anggapan sebagian kalangan bahwa Nursi menolak tasa- wuf tidak sepenuhnya benar. Ini, sebagaimana ditegaskan Gulen, esensi yang tampak dalam Ras±’il an-Nµr banyak membincang

sisi kehidupan spiritual Islam. 69 Sehingga corak inilah yang banyak

66 Al-Gazali, Jaw±hir al-Qur’±n, hlm. 21 67 Nursi, Mursyid Ahli al-Qur’±n…, hlm. 44 68 Nursi, Mursyid Ahli al-Qur’±n…, hlm. 54 69 Suleyman Eris, “Religiological Comparison of The Sufi Thought of Said

Nursi and Fethullah Gulen”, Tesis Magister di The University of Georgia, 2006,

116 Suhuf , Vol. 8, No. 1, Juni 2015: 91-120 mewarnai dalam uraian Nursi dalam penafsiran Al-Qur’an.

Berbeda halnya dengan Gulen. Gulen memiliki posisi yang tegas y ang mengatakan bahwa sufisme merupakan salah satu sumber utama tradisi budaya Turki-Islam, bahkan ia mengatakan bahwa sufisme merupakan jiwa Islam. Dan sumber utama sufisme adalah Al- Qur’an dan Sunnah. Untuk kepentingan ini, Gulen menyusun buku a¯-°il±l az-Zumrudiyyah yang berisi konsep-konsep kunci dalam tasawuf yang semuanya ditopang dengan Al-Qur’an dan Sunah. Artinya, meskipun tidak secara tegas mengatakan proyek tafsirnya sebagai tafsir sufistik, namun argumentasi yang dijabarkan setiap kali menguraikan ayat-ayat Al-Qur’an tidak lepas dari perbincangan hati dan jiwa, di samping juga akal.

Penggunaan paradigma sufistik dalam penafsiran Al-Qur’an tampak menjadi strategi jitu yang digunakan baik Nursi maupun Gulen yang hidup di lingkungan yang ‘sekuler’, sehingga ia mencari ‘suasana sejuk’ untuk menularkan pengetahuan Qur’ani ke komu- nitasnya yang sedang digempur gelamornya peradaban Barat dan

sistemnya yang sekuler. Paradigma sufistik yang dikembangkan Nursi dan Gulen tidak sepenuhnya menjinakkan akal di samping hati dan jiwa. Ketiga-tiganya digunakan secara seimbang dalam menga- rungi samudera Al-Qur’an.

Selain itu, apa yang dilakukan Nursi, dan khususnya Gulen, sekaligus membantah apa yang diragukan Ignaz Goldziher bahwa tasawuf merupakan doktrin yang asing dari tradisi Islam. Bagi Gold- ziher, tasawuf adalah doktrin impor yang dipaksamasukkan (ad- dakhīl) dalam tradisi Islam, sehingga tasawuf bukanlah konsep yang

bersifat Qur’ani. 70 Oleh karena itu, bukanlah hal mudah bagi para sufi untuk menemukan ide-ide tasawuf yang terdapat dalam Al-Qur’an. 71 Bagi Gulen, para sufi tidak dapat dianggap sebagai orang- orang yang meneruskan tradisi para filsuf dan kaum bijak kuno. Atau juga dikatakan bahwa para sufi memiliki afiliasi dengan per- ibadatan kaum Nasrani, dengan para Yoga, atau bahwa mereka

adalah penganut gaya hidup para fakir dalam tradisi Hinduisme. 72

hlm. 203-204 Tesis ini bisa diunduh di https://getd.libs.uga.edu/pdfs/eris_suley- man_200605_ma.pdf ,.

70 Ignaz Goldziher, Ma©±hib al-Tafs³r al-Isl±m³, terj. Abd. ¦alim al-Najj±r, Kairo: Dar Iqra’, 1983, hlm. 201-202.

71 Ignaz Goldziher, Ma©±hib al-Tafs³r…, hlm. 201 72 Gulen, At-Til±l…, hlm. 28

Paradigma Sufistik Tafsir Al-Qur’an Bediuzzaman –– Ah. Fawaid 117 Meskipun ada kemiripan, tapi terdapat perbedaan yang tegas. Para

sufi selalu melaksanakan penyucian jiwa dengan berpegang pada dasar-dasar zikir, ibadah, ketaatan, introspeksi diri, tawaduk, dan

penafian diri. Sementara penyucian jiwa yang dilakukan para filsuf, adalah penyucian tanpa dasar yang di dalamnya sama sekali tidak

terdapat nilai-nilai ibadah, ketaatan, dan penafian diri. Malah apa yang mereka lakukan selalu berisi kealpaan dan pemujaan ego. 73

Ini artinya, bagi Gulen, paradigma sufistik bukan sesuatu yang asing, melainkan bersumber dari nilai-nilai Al-Qur’an yang diejawan- tahkan oleh orang-orang suci. Baik Nursi maupun Gulen merupakan tokoh yang lebur bersama komunitasnya, sehingga cakrawala tafsir

yang dihasilkan lebih bernuansa populis, ketimbang perdebatan aka- demis. Paradigma tafsir jenis inilah yang mudah diterima oleh komu- nitas, terlebih bagi mereka yang mengalami dahaga spiritual akibat beragam gempuran asing yang kian menggersangkan spritualitas. Dalam kondisi keimanan yang terancam, Nursi bersama dengan Gu- len hadir memuaskan dahaga spiritual guna memantapkan keimanan umat manusia.

Simpulan

Sebagai salah satu ‘genre’ tafsir yang berkembang seiring dengan perluasan dan perkembangan Islam, tafsir sufistik diwarnai

tradisi filsafat dan laku mistisme, sehingga dalam perkembangan- nya ada dua klasifikasi tafsir sufistik, yaitu tafsir sufistik teoritik dan tafsir sufistik-praktis atau isyari.

Jauh sebelum pengaruh filsafat dan laku mistisme berkem- bang di dunia Islam, inspirasi laku spiritual umat Islam juga dilatari oleh motivasi Al-Qur’an yang banyak memberikan penjelasan dan penekanan untuk tidak larut dengan kehidupan duniawi semata. Bisa dikatakan bahwa laku tasawuf tumbuh dan berkembang lantaran ketekunan membaca dan merenungi kandungan Al-Qur’an sekaligus berakhlak sesuai Al-Qur’an. Kedekatan dengan pesan Al-Qur’an inilah yang melatari ketertarikan umat Islam untuk mengikuti jalan sufi, termasuk memberikan perspektif sufistik dalam penafsiran Al- Qur’an. Termasuk juga apa yang sudah dilakukan oleh Said Nursi dan Fetuhllah Gulen. Perlu ditegaskan bahwa paradigma sufistik

73 Gulen, At-Til±l…, hlm. 29

118 Suhuf , Vol. 8, No. 1, Juni 2015: 91-120 yang tampak dari Nursi dan Gulen lebih pada model paradigma

sufistik-isy±r³, bukan paradigma sufistik-teoritik, at-tafs³r a¡-¡µf³ al-isy±r³ ketimbang at-tafs³r a¡-¡µf³ an-na§ar³. Ini juga menegaskan bahwa paradigma tafsir era afirmatif masih menjadi kecenderungan tafsir-tafsir yang berkembang belakangan, termasuk eksperimentasi tafsir Nursi dan Gulen.[]