Bidik Revolusi Mental Pada Kurikulum 2013 Untuk Menghadapi Ranah Industri Kreatif

BIDIK REVOLUSI MENTAL PADA KURIKULUM 2013 UNTUK MENGHADAPI
RANAH INDUSTRI KREATIF
Oleh: Alisha Aprilia
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KATOLIK ATMA JAYA
JAKARTA SELATAN

2014
PENDAHULUAN
Revolusi Mental dan Kurikulum 2013
Dalam tulisan Mengartikan Revolusi Mental oleh Karlina Supelli, disebutkan bahwa mental ialah
“nama bagi genangan segala sesuatu menyangkut cara hidup”. Manusia, sebagai pelaku mental,
membentuk cara hidup yang kita kenal dengan struktur sosial. Maka, pelaku mental dan struktur sosial
menjadi dua hal yang saling berhubungan.
Ketika pelaku mental dan struktur sosial saling berhubungan, maka terciptalah budaya. Hal-hal
yang melingkupi budaya beragam macamnya, termasuk sistem ekonomi dan sistem politik. Kemudian
kedua hal tersebut terintegrasi sehingga terbentuk cara berpikir, cara merasa dan cara bertindak dengan
pola habitual. Dengan kata lain, “tidak ada ekonomi dan politik tanpa kebudayaan dan sebaliknya tak ada
kebudayaan tanpa ekonomi dan politik” (Adinda, Anastasia Jessica, 2014).
Kebudayaan pun memiliki makna yang berisi cara masyarakat menafsirkan diri, nilai, dan tujuantujuan serta cara mengevaluasinya. Di sisi lain, kebudayaan juga membentuk hasil material berupa karya
cipta manusia. Ketika terdapat kekeliruan dalam memandang hubungan antara struktur sosial,

kebudayaan, dan pelaku mental, maka lahirlah anggapan keliru dalam penyelesaian suatu masalah.
Contoh anggapan keliru seperti ungkapan-ungkapan “masalah kemiskinan dan korupsi ialah perkara
moral bangsa – kalau moral berubah, selesailah masalah!” (Adinda, Anastasia Jessica, 2014).
Menghubungkan ketiga aspek tersebut dengan revolusi mental, maka akan terlihat bahwa terdapat
suatu strategi yang melibatkan kebudayaan. Hal-hal yang dijadikan target revolusi mental ialah perubahan
etos. Perubahan etos yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas yang meliputi cara berpikir, cara
merasa, cara mempercayai yang semuanya ini menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari (Supelli,
Karlina, 2014).
Salah satu cara untuk merombak cara berpikir dan kebiasaan ialah melalui pendidikan, yang pada
kenyataannya menjadi bidik sasaran revolusi mental (Supelli, Karlina, 2014). Strategi tersebut dipilih
karena sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, bahwa tujuan pendidikan diharapkan dapat mewujudkan proses berkembangnya
kualitas pribadi peserta didik sebagai generasi penerus bangsa di masa depan. Wacana tersebut berusaha

diwujudkan dengan pembentukan kurikulum baru yang disebut dengan Kurikulum 2013. Kurikulum 2013
diharapkan mampu mengubah cara berpikir dan kebiasaan dalam bertindak para peserta didik (Supelli,
Karlina, 2014).

Isi Kurikulum 2013
Tugas utama kurikulum ialah mengorganisasikan pengalaman-pengalaman budaya dan mendidik

mereka untuk bertindak dan berpartisipasi aktif terhadap perubahan budaya dalam realitas kehidupan
masyakarat (Brameld, 1965:34). Implementasi kurikulum 2013 direncanakan akan diterapkan pada
seluruh jenjang sekolah yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi-kompetensi, yaitu kemampuan
seseorang untuk bersikap, menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan suatu tugas
di sekolah, masyarakat, dan lingkungan tempat yang bersangkutan berinteraksi (kemendikbud, 2012a:5).
Konten-konten pembelajaran bersifat fungsional bagi peserta didik (Kemendikbud, 2013a-c: 8).
Konten-konten kurikulum diorganisir dalam bentuk kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar
(KD). KI merupakan kompetensi yang harus dipelajari peserta didik pada jenjang pendidikan, kelas, dan
mata pelajaran. KD merupakan kompetensi setiap mata pelajaran untuk tiap kelas yang diturunkan dari KI
dan dikembangkan berdasarkan prinsip akumulatif, saling memperkuat, dan memperkaya antar mata
pelajaran. KD terbagi ke dalam dua aspek, KD-spesifik dan KD-berbagi. KD-spesifik adalah kompetensi
khusus setiap mata pelajaran dan KD-berbagi adalah kompetensi lintas mata pelajaran dan
diorganisasikan dengan memperhatikan prinsip penguatan dan keberlanjutan sehingga memenuhi prinsip
akumulasi dalam pembelajaran (Kemendikbud, 2012a: 10).
Materi pembelajaran yang diajarkan berdasarkan kurikulum 2013 mengacu pada KI dan KD yang
disesuaikan dengan kehidupan peserta didik sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan warga negara yang
produktif serta bertanggungjawab di masa mendatang (Kemendikbud, 2012a: 3). Inti dari bahan ajar tidak
lagi berorientasi pada prestasi belajar di masa lalu, melainkan berorientasi pada pengembangan di masa
kini dan berkelanjutan di masa mendatang. Bahan belajar terdiri dari: (1) pengetahuan: faktual,
konseptual, prosedural, dan metakognitif terkait dengan agama, ilmu pengetahuan, teknologi, seni ,

budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban; (2)
sikap: jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, percaya diri, gotong royong, kerja sama, toleran,
damai, santun, responsif, dan pro-aktif; (3) keterampilan: berpikir ilmiah, logis, analisis, dan pemecahan
masalah; dan (4) permasalahan aktual dalam kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan konten
masing-masing mata pelajaran (Kemendikbud, 2013a-c: 5).

Penilaian Di Dalam Kurikulum 2013
Seiring dengan perubahan kurikulum, berubah pula sistem penilaian peserta didik terhadap
produk pembelajaran yang dijalani. Penilaian sebelumnya tergolong ke dalam traditional assessment,
yaitu ketika penilaian dinilai oleh bentuk soal pilihan ganda, soal benar/salah, jawaban pendek, dan esai
(Simonson, 2002).
Di dalam kurikulum 2013, penilaian lebih diterapkan pada pembelajaran yang bermakna dan
disebut dengan pembelajaran autentik. Dituliskan oleh Mueller (2012), bahwa penilaian autentik
merupakan suatu bentuk penilaian ketika peserta didik diminta untuk melakukan tugas-tugas dunia nyata
yang menunjukkan aplikasi bermakna dari pengetahuan dan keterampilan. Diungkapkan pula oleh Burton
(2011: 21), penilaian autentik menghubungkan pengetahuan dengan praktik langsung. Maka, penilaian di
dalam penilaian autentik melibatkan beberapa teknik yaitu penilaian keterampilan, penilaian produk,
penilaian proyek, penilaian portofolio, penilaian diri, penilaian teman, ujian tertulis, dan observasi.
Dikarenakan domain penilaian dikerucutkan pada penilaian keterampilan serta sikap, sesuai dengan
penyataan Mulyasa (2013: 135) bahwa implementasi kurikulum 2013 yang sarat dengan karakter dan

kompetensi hendaknya disertai dengan penilaian secara utuh, terus menerus, dan berkesinambungan.
Tujuannya agar penilaian tersebut dapat mengungkap berbagai aspek yang diperlukan dalam mengambil
suatu keputusan dari hasil belajar peserta didik.

Sekelibat Tentang Ekonomi Kreatif
Ekonomi kreatif – atau creative economy - dirumuskan sebagai sebuah konsep di dalam kegiatan
ekonomi yang mengedepankan sumber informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide serta
pengetahuan untuk pemenuhan kebutuhan barang dan jasa, penyediaan lapangan pekerjaan, dan
konservasi nilai budaya serta ekologis di suatu daerah (Anastasia, Jessica, 2014). Dengan kata lain, istilah
tersebut membentuk sebuah skema bahwa kebutuhan manusia bersifat dinamis dan cenderung
berkembang sementara penyediaan sumber daya alam terbatas. Munculnya perkembangan ekonomi
kreatif memungkinkan produsen mengeksploitasi SDM (Sumber Daya Manusia) sebagai pelaku utama di
dalam ekonomi kreatif untuk menjawab tantangan dan permasalahan di masa mendatang.
Berdasarkan hasil studi Industri Kreatif Indonesia tahun 2008, sektor-sektor industri kreatif di
Indonesia antara lain:
1. Periklanan: kegiatan kreatif yang berkaitan jasa periklanan (komunikasi satu arah dengan
menggunakan medium tertentu) yang meliputi proses kreasi, produksi dan distribusi dari iklan
yang dihasilkan, misalnya: riset pasar, perencanaan komunikasi iklan, iklan luar ruang, produksi
material iklan, promosi, kampanye relasi publik, tampilan iklan di media cetak (surat kabar,
majalah) dan elektronik (televisi dan radio), pemasangan berbagai poster dan gambar, penyebaran


selebaran, pamflet, edaran, brosur dan reklame sejenis, distribusi dan delivery advertising
materials atau samples, serta penyewaan kolom untuk iklan.
2. Arsitektur: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan jasa desain bangunan, perencanaan biaya
rekonstrusi, konservasi bangunan warisan, pengawasan konstruksi baik secara menyeluruh dari
level makro (town planning, urban design, landscape architecture) sampai dengan level mikro
(detail konstruksi, misalnya arsitektur taman, desain interior).
3. Pasar Barang Seni: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan perdagangan barang-barang asli, unik
dan langka serta memiliki nilai estetika seni yang tinggi melalui lelang, galeri, toko, pasar
swalayan, dan internet, misalnya: alat musik, percetakan, kerajinan, automobile, film, seni rupa
dan lukisan.
4. Kerajinan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi dan distribusi produk yang
dibuat dihasilkan oleh tenaga pengrajin yang berawal dari desain awal sampai dengan proses
penyelesaian produknya, antara lain meliputi barang kerajinan yang terbuat dari: batu berharga,
serat alam maupun buatan, kulit, rotan, bambu, kayu, logam (emas, perak, tembaga, perunggu,
besi) kayu, kaca, porselin, kain, marmer, tanah liat, dan kapur. Produk kerajinan pada umumnya
hanya diproduksi dalam jumlah yang relatif kecil (bukan produksi masal)
5. Desain: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain grafis, desain interior, desain produk,
desain industri, konsultasi identitas perusahaan dan jasa riset pemasaran serta produksi kemasan
dan jasa pengepakan.

6. Fesyen: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki, dan desain
aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya, konsultasi lini produk fesyen,
serta distribusi produk fesyen.
7. Video, Film dan Fotografi: kegiatan kreatif yang terkair dengan kreasi produsi video, film, dan
jasa fotografi, serta distribusi rekaman video dan film. Termasuk didalamnya penulisan skrip,
dubbing film, sinematografi, sinetron dan eksibisi film.
8. Permainan Interaktif: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi
permainan komputer dan video yang bersifat hiburan, ketangkasan, dan edukasi. Subsektor
permainan interaktif bukan didominasi sebagai hiburan semata-mata tetapi juga sebagai alat bantu
pembelajaran atau edukasi.
9. Musik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi/komposisi, pertunjukan, reproduksi, dan
distribusi dari rekaman suara.
10. Seni Pertunjukan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha pengembangan konten, produksi
pertunjukan (misal: pertunjukan balet, tarian tradisional, tarian kontemporer, drama, musik

tradisional, musik teater, opera, termasuk tur music etnik), desain dan pembuatan busana
pertunjukan, tata panggung, dan tata pencahayaan.
11. Penerbitan dan Percetakan: kegiatan kreatif yang terkait dengan penulisan konten dan penerbitan
buku, jurnal, koran, majalah, tabloid, dan konten digital serta kegiatan kantor berita dan pencari
berita. Subsektor ini juga mencakup penerbitan perangko, materai, uang kertas, blanko cek, giro,

surat andil, obligasi surat saham, surat berharga lainnya, paspor, tiket pesawat terbang, dan
terbitan khusus lainnya. Juga mencakup penerbitan foto-foto, grafir dan kartu pos, formulir,
poster, reproduksi, percetakan lukisan, dan barang cetakan lainnya, termasuk rekaman mikro film.
12. Layanan Komputer dan Piranti Lunak: kegiatan kreatif yanf terkait dengan pengembangan
teknologi informasi termasuk jasa layanan komputer, pengolahan data, pengembangan database,
pengembangan piranti lunak, integrasi sistem, desain dan analisis sistem, desain arsitektur piranti
lunak, desain prasarana piranti lunak dan piranti keras, serta desain portal termasuk
perawatannya.
13. Televisi dan Radio: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha kreasi, produksi dan
pengemasan acara televise (seperti games, kuis, reality show, infotainment, dan lainnya),
penyiaran, dan transmisi konten acara televisi dan radio, termasuk kegiatan station relay
(pemancar kembali) siaran radio dan televisi.
14. Riset dan Pengembangan: kegiatan kreatif yang terkait dengan usaha inovatif yang menawarkan
penemuan ilmu dan teknologi dan penerapan ilmu dan pengetahuan tersebut untuk perbaikan
produk dan kreasi produk baru, proses baru, material baru, alat baru, metode baru, dan teknlogi
baru yang dapat memenuhi kebutuhan pasar; termasuk yang berkaitan dengan humaniora seperti
penelitian dan pengembangan bahasa, sastra, dan seni; serta jasa konsulrasi bisnis dan
manajemen.

Langkah awal yang harus ditempuh untuk pengembangan konsep ekonomi kreatif adalah

menciptakan lingkungan yang kondusif dan efektif – disebut juga dengan istilah creative milieu (Richard
Florida dalam Moller, Joachim & Tubadji, Annie, 2009). Tujuan dari penciptaan lingkungan kreatif ialah
menarik para pelaku industri kreatif untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya di lingkungan
tersebut. Dengan meningkatnya jumlah pelaku industri kreatif di suatu lingkungan, maka diharapkan akan
terjadi peningkatan terhadap berbagai inovasi dan value creation, sehingga menimbulkan efek yang sama
bagi sektor industri lainnya dan terbentuklah sebuah creative city (De Natale, Douglas., H. Wassall,
Gregory, 2007). Semakin banyak jumlah creative city di sebuah negara, maka semakin tinggi tingkat
intelektualitas masyarakatnya.

Sejak tahun 2009, pemerintah merencanakan pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia dengan
membentuk satu perencanaan jangka panjang yang bertajuk “Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif
Indonesia 2025”. Alasan pemerintah yang demikian dikarenakan pemerintah meyakini perkembangan
ekonomi kreatif dapat menjawab tantangan permasalahan dasar jangka pendek dan menengah: (1) relative
rendahnya pertumbuhan ekonomi pasca krisis (rata-rata hanya 4,5% per tahun); (2) masih tingginya
pengangguran (9-10%), tingginya tingkat kemiskinan (16-17%), dan (4) rendahnya daya saing industri di
Indonesia (Studi Industri Kreatif Indonesia, 2008).

PERMASALAHAN
Revolusi mental yang berimbas pada revolusi di dalam sistem pendidikan merupakan langkah bijak
bagi perubahan berskala panjang. Menimbang dari perencanaan pemerintah terhadap sektor

perekonomian, terlihat cukup jelas bahwa sasaran pengembangan ekonomi negara ialah melalui sumber
daya manusia. Karena itu terciptalah revolusi mental untuk mengubah manusia yang menjadi roda
perputaran ekonomi. Media terbaik untuk mengubah seorang manusia ialah melalui jendela pengetahuan
yang dapat disalurkan dengan pendidikan.
Dengan menimbang tantangan yang akan dihadapi generasi muda Indonesia, maka peran kurikulum
2013 penulis anggap cukup relevan untuk menjawab tantangan tersebut.
Namun, apakah kita sudah siap?

Meninggalkan Habituasi Lama
Kesiapan kurikulum 2013 dalam menghadapi revolusi mental dan sistem perekonomian kreatif
yang berpusat pada intelektualitas sumber daya manusia sebagai produsen utama muncul dari adanya
revolusi habituasi dari diri setiap individu. Kesiapan terutama datang dari pengajar sebagai tonggak utama
pendidikan. Beberapa catatan yang perlu diperbaiki untuk kurikulum 2013 yang lebih baik:
1. Menumbuhkan Pemahaman, Bukan Hafalan.
Menghafal merupakan ritual yang selalu dilakukan pembelajar menjelang ujian. Semakin hafal
seorang pembelajar menghafal materi, maka semakin besar nilai yang didapat. Menghafal bukanlah
sebuah hal buruk dan justru dianggap sangat baik bagi pembelajar di masa awal pembelajaran. Namun,
akan menjadi sebuah masalah jika pembelajar tidak memahami betul apa yang dipelajarinya. Ia hanya
menghafal barisan kata dan kalimat tanpa mengambil sarat makna dibaliknya.
Di dalam revolusi mental, hafalan harus diubah menjadi pemahaman. Hal ini berangkat dari metode

pengajaran dengan penekanan pada praktik kehidupan sehari-hari, seperti studi kasus, percobaan kecil di
kelas, dan role play. Seringkali pengajar hanya mengejar target materi pembelajaran dan malas

memastikan pemahaman pembelajarnya. Maka, di dalam revolusi mental, pengajar diwajibkan untuk
terus mengeksplorasi dan berkreasi di dalam bidang pengajaran serta memahami perkembangan di
masyarakat agar nantinya dapat diterapkan di dalam kelas pengajaran.
2. Mengajar Sebagai Pengabdian, Bukan Formalitas
Seperti yang sudah disinggung pada aspek sebelumnya, mengajar adalah mengejar target materi yang
harus disampaikan kepada para pembelajar. Target tersebut tentu saja untuk menaikkan taraf sekolah
sehingga mendapat akreditasi baik dari lembaga tertentu. Semakin baik akreditasi, semakin banyak
pembelajar yang akan mendaftar. Dan mengejar target bukanlah tujuan utama seorang pengajar.
Ketika seseorang dinobatkan dengan titel pengajar, seharusnya ia menganggap pekerjaannya
sebagai sebuah pengabdian. Peran pengajar tidak hanya memindahkan ilmu dari kepala pengajar ke
kepala pembelajar, akan tetapi pengajar bertanggungjawab terhadap seluruh aspek yang menyangkut
pemahaman pembelajar. Jika pengajar hanya sekedar memenuhi formalitas di dalam pekerjaannya, maka
pembelajar pun akan belajar untuk memenuhi target formalitas seperti ijazah dengan nilai bagus. Saat hal
ini dibiarkan berangsur-angsur, maka tercipta generasi yang tidak mampu berpikir secara filsafati serta
bertindak di dalam pekerjaannya hanya sekedar memenuhi formalitas. Meskipun nampak sederhana,
sikap pengajar yang seperti demikian mampu mencetak pembelajar yang akan menggunakan segala cara
demi memenuhi formalitas. Tidak heran, tingkat korupsi di Indonesia sulit menyurutkan angkanya.

3. Inti Pendidikan adalah Pendidikan, Bukan Nilai dan Ijazah
Budaya Indonesia yang “gila” ijazah dan nilai tinggi menjadikan inti pendidikan bergeser dari
maknanya. Usaha pendidikan yang bermula untuk memanusiakan manusia, membangun karakter,
mengembangkan aspek-aspek kognitif, serta pengayaan moral dan etika, kini harus ditujukan untuk tinggi
rendahnya nilai itu sendiri.
Peran revolusi mental terhadap budaya penggila ijazah amat sulit dihilangkan, mengingat ijazah
berkaitan dengan modal di pekerjaan nanti. Akan tetapi, jika revolusi terhadap pelaku mental segera
diubah dari tahap awal pendidikan, maka lapangan pekerjaan pun akan menggeser nilai yang tertera di
ijazah menjadi seberapa baik seorang pembelajar mampu mengoptimalkan intelektualitasnya. Hadirnya
industri kreatif di dalam ranah perekonomian mampu membantu makna pendidikan kembali ke
muasalnya.
.
4. Pendidikan Tidak Formal Melulu
Penulis berpendapat bahwa revolusi mental dalam pendidikan perlu didukung kebijakan politik dan
ekonomi serta mekanisme agar pendidikan dapat diakses siapa saja di seluruh pelosok negeri ini.

Mengingat strata perekonomian di Indonesia yang belum merata sehingga cukup sulit membiayai
pendidikan formal oleh masyarakat dengan strata ekonomi rendah, pendidikan informal patut dijadikan
cara alternatif agar setiap anak bisa memiliki akses ke pendidikan.
Pendidikan alternatif atau pelatihan khusus dapat diwujudkan di berbagai kota dengan pembentukan
komunitas-komunitas sosial bersifat non-profit yang diisi dengan pengajaran desain, musik, penulisan
kreatif, atau ranah lain yang menjadi cabang pekerjaan di dalam perindustrian kreatif. Pengajaran pun
diikuti dengan materi lain seperti personal branding – konsep yang menjelaskan bagaimana seseorang
dapat mempromosikan dirinya sendiri sebagai sebuah brand – dengan bahasa pengantar yang mudah
dipahami agar di kemudian hari mereka mampu menjual buah pikir dan karyanya. Komunitas pun
diharapkan mampu menjadi pintu gerbang bagi kemunculan potensi anggotanya di ranah ekonomi kreatif
agar mereka mampu bersaing di pasar.
Penulis berharap bahwa gubahan mental bagi masyarakat mampu mengubah Indonesia ke arah yang
lebih baik dan konsep ekonomi kreatif benar-benar sejalan dengan akar pemikiran Richard Florida “Human creativity is the ultimate economic resource” – sehingga menyalakan api kreativitas di
Indonesia.

Daftar Pustaka
Adinda, Anastasia Jessica. (2014, September 11). Revolusi mental dalam pendidikan
http://indoprogress.com/2014/09/revolusi-mental-dalam-pendidikan/
De Natale, Douglas., H. Wassall, Gregory, 2007. The creative economy: a new definition.
United Kingdom: New England Foundation For The Arts
Departemen Perdagangan RI. 2008. Studi industri kreatif indonesia.
Indonesia: Tim Indonesia Design Power, Departmen Perdagangan.
Gatra, Sandro. (2014, Agustus 24). Bangkitnya ekonomi kreatif indonesia
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/08/24/152859726/Bangkitnya.Ekonomi.Kreatif.Indonesia
Kusairi, Sentot., Setia Bhakti, Andra., & Muhardjito, 2013. Pengembangan model penilaian autentik
Berbasis Kurikulum 2013.
Moller, Joachim., Tubadji, Annie. (2009, Januari). The creative class, bohemians and local labor market
performance. University of Regensburg and Institute for Employment Research (IAB), Regensburger
Straße 104, D-90478 Nürnberg.
Supelli, Karlina. (2014, Mei 27). Mengartikan revolusi mental
http://www.megawatiinstitute.org/megawati-institut/artikel/211-mengartikan-revolusi-mental.html
Republik Indonesia. 2003. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional RI
Tahun 2003. Sekretariat Negara. Jakarta.

http://kemenag.go.id/file/dokumen/UU2003.pdf