Awareness dalam Industri Kelapa Sawit

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2015/06/22/170928/awareness-dalamindustri-kelapa-sawit/#.VYdqB1Lo75k

Hari ini Pkl. 06:48 WIB - http://mdn.biz.id/n/170928/

Awareness dalam Industri Kelapa Sawit
SEJAK diresmikan oleh presiden pada 28 Januari 2014, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Sei Mangkei, Sumatera Utara yang akan jadi model KEK nasional merupakan suatu
langkah maju mendukung hilirisasi industri kelapa sawit di Indonesia. Pada KEK dengan
investor pertama PTPN 3 dan PT Unilever Indonesia ini direncanakan dibangun pabrik
minyak goreng berkapasitas 600 ribu ton per tahun dan beberapa infrastruktur lainnya.
Kata "awareness" pada judul tulisan ini bermakna tentang kesadaran yang mencakup
pengetahuan, pembelajaran, kearifan, pengenalan, kehadiran pikiran logis dalam
kebijaksanaan perluasan dan pengelolaan industri sawit yang saat ini berkembang pesat.
Banyak pro-kontra tentang perluasan areal perkebunan sawit yang berlangsung pesat saat
ini. Betapa tidak? Komoditas kelapa sawit satu-satunya yang memiliki trending topic with
highest rating dalam diskusi pengembangan komoditas perkebunan, jauh mengalahkan
karet, kopi, tembakau, tebu, teh, cengkih dan komoditas perkebunan lainnya. Juga
melibatkan banyak stakeholders mulai investor dalam dan luar negeri, petani, LSM,
kehutanan, pasar global, perbankan, industri dan lingkungan, termasuk campur tangan
pemerintah sebagai regulator dan masyarakat. Kesemuanya mengajukan fakta dan
pandangan dilatarbelakangi pemahamannya terhadap kata "awareness" tadi.

Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai peran penting
bagi subsektor perkebunan. Pengembangan kelapa sawit antara lain memberi manfaat dalam
peningkatan pendapatan petani dan masyarakat, produksi yang menjadi bahan baku industri
pengolahan menciptakan nilai tambah di dalam negeri, ekspor CPO menghasilkan devisa
dan menyediakan kesempatan kerja.
Industri sawit sudah menjadi kebanggaan Indonesia karena menjadi negara penghasil
terbesar minyak sawit. Pengembangan komoditas ekspor kelapa sawit terus meningkat
tahun ke tahun, terlihat dari rata-rata laju pertumbuhan luas areal kelapa sawit selama 20042014 sebesar 7,67%, sedangkan produksi kelapa sawit meningkat rata-rata 11,09% per
tahun.
Dengan optimism, pada 2020 diprediksi akan mampu memproduksi sekitar 40 juta ton
CPO. Menjadi pertanyaan, berapakah sebenarnya target produksi CPO Indonesia yang bisa
dianggap steady state (keadaan tunak) dan untuk segera diikuti oleh pengembangan industri
hilirnya.
Harmonisasi Harapan dan Tantangan
Tanpa bermaksud membenturkan antara pemikiran Naomi Klein tentang globalisasi,
kapitalisme dengan pandangan pegiat lingkungan dan pemberdayaan masyarakat, atau
memperdebatkan perbedaan pandangan multi stokholder lainnya dalam perkembangan
industri sawit, kehadiran pemerintah sebagai regulator sangat diharapkan dan menentukan
harmonisasi antara harapan besar dengan tantangan ataupun kendala yang dihadapi.


Tak bisa di pungkiri, posisi tawar perkebunan rakyatlah yang paling rendah meskipun
menguasai 42% areal sawit, diikuti perkebunan besar negara dengan luas areal hanya 7%
tetapi sekaligus berada di pihak regulator (BUMN).
Selanjutnya perkebunan besar swasta lokal maupun asing yang memiliki kemampuan
modal, kemandirian dan posisi tawar lebih besar menguasai 52% dari total luas areal
perkebunan sawit.
Belum lagi jika ditinjau dari ketersediaan, kelengkapan sarana produksi pertanian (saprotan)
yang dimiliki ketiga "pemain" di industri sawit, disparitas ini akan menggambarkan arah ke
mana kelak perkembangan industri sawit di tanah air.
Investor dan perkebunan swasta local, serta asing akan lebih berperan besar dalam
pengembangan industri sawit ini, termasuk peluang pengembangan industri hilirnya akan
berkembang secara nature dan difasilitasi regulator (pemerintah).
Masyarakat lokal, perkebunan rakyat, negara dan swasta sangat mengharapkan adanya
harmonisasi dalam mewujudkan harapan atau optimisme di industri sawit dan secara bijak
menyelaraskanya dengan kendala dan tantangan yang dihadapi.
Hilirisasi Industri Sawit
Saat ini sekitar 70% produksi CPO Indonesia masih diekspor. Hal ini memberi arti luas
tentang kehilangan nilai tambah atas bahan mentah, kerawanan produksi dan pengurasan
sumber daya alam, peluang perluasan tenaga kerja dan lainnya.
Kalau permintaan menurun, membanjirnya komoditas subsititusi minyak nabati di luar

negeri, menyebabkan barang menumpuk, maka harga juga akan turun.
Kejadian pada 2006 di mana harga TBS menyentuh Rp 300-Rp 400 per kg menyebabkan
banyak petani sawit bangkrut dan diterpa kerugian besar, bahkan ada yang putus asa untuk
berusaha dan terganggu jiwanya. Adanya penambahan luas areal sekitar tiga juta hektare
dalam lima tahun terakhir (2009-2014) tidak memberikan penambahan nilai ekspor yang
cukup besar atau sepadan.
Karenanya, setelah pengaturan kepemilikan modal asing dalam industri kelapa sawit belum
bisa tegas diterapkan sepenuhnya di dalam Undang-Undang tentang Perkebunan pada
September 2014, mungkin pengaturan pembatasan persentase volume ekspor CPO atau
persentase wajib pengolahan CPO di dalam negeri bisa menjadi alternatif ketentuan dalam
perencanaan dan pengembangan dalam industri kelapa sawit.
Terasa aneh, Indonesia sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia malah mengekspor
CPO untuk kemudian dibeli kembali dalam bentuk barang siap pakai seperti minyak
goreng, sabun dan lain-lain. Idealnya, Indonesia menjadi negara yang mampu mengolah
CPO menjadi berbagai barang turunan untuk kemudian diekspor.
Bagaimana rakyat Indonesia bisa membanggakan diri sebagai negara penghasil CPO
terbesar, jika setiap hari-hari besar seperti Idul Fitri dan Tahun Baru harus dilakukan operasi
pasar pengendalian logistik dan harga karena kelangkaan minyak goreng.

Mungkin kebutuhan Indonesia akan barang turunan CPO saat ini masih terlalu rendah atau

sangat terbatas, sehingga perlu ditingkatkan peluang ekspor dalam bentuk barang jadi.
Memang hilirisasi industri sawit sering dihadapkan pada beberapa kendala pokok.
Utamanya membutuhkan investasi yang sangat mahal, kontinuitas dan kelangsungan
pasokan dan iklim usaha.
Industri hilir dalam bentuk blended biodiesel memiliki peluang lebih besar, namun hal ini
sangat tergantung selisih atau perkembangan harga bahan bakar minyak dunia. Selain akan
menjawab masalah penggunaan biodiesel di Indonesia yang akan terus meningkat,
diharapkan pengolahan biodiesel akan mampu menyerap dan menyangga penumpukan atau
ketidakstabilan harga CPO. Pengolahan CPO dalam negeri bakal menutupi kerugian jika
terjadi penurunan harga di pasar internasional.
Intinya, mendorong hilirisasi sangat penting, diharapkan memberi multiplier effect
termasuk bentuk penahanan modal di dalam negeri pada akhirnya lebih banyak
menciptakan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur dan bermuara pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Industri kelapa sawit kita sedang jadi pusat perhatian masyarakat
dalam negeri dan internasional, karenanya sebagai penunjang kehidupan jutaan rakyat
Indonesia sektor ini sangat memerlukan kesadaran dalam perencanaan pertumbuhan yang
kokoh untuk bisa berkembang pesat.
Gerakan lingkungan diharapkan bisa menyatu dengan gerakan rakyat untuk kesejahteraan
dan keadilan sosial ekonomi.
Dalam merumuskan gagasan tersebut diperlukan wadah konsolidasi seluruh elemen

masyarakat yang terlibat agar persoalan lingkungan bukan hanya jadi pembicaraan di
sekitar gerakan lingkungan, namun juga menjadi perhatian semua.
Tantangannya bukanlah pada mencegah perluasan sektor minyak sawit. Melainkan
dorongan ke bentuk-bentuk pengembangan harmonis berupaya untuk memperkecil dampak
negatif bagi keanekaragaman hayati, sosial budaya yang secara simultan memiliki efek
ganda dalam pembangunan sarana publik bermuara ke peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Korporasi industri kelapa sawit juga dituntut berperan lebih nyata melakukan tanggung
jawab sosialnya dalam peningkatan pengembangan dan membantu pelayanan publik.
Misalnya membangun fasilitas pendidikan, pengadaan beasiswa, rumah sakit, rumah
ibadah, panti asuhan dan lainnya, sehingga tidak hanya CSR korporasi yang kadang kurang
nyata dirasakan masyarakat sekitar. Dengan demikian korporasi akan harmonis dan
bersama-sama menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan sosial.
(Oleh : Ferisman Tindaon)
Penulis pengajar di Fakultas Pertanian Universitas HKBP Nommensen Medan