KEBERADAAN WARUNG SEBAGAI WAHANA INTERAKSI SOSIAL DAN PEMENUHAN RUANG SOSIAL

1|Keberadaan Warung Sebagai Wahana Interaksi
Sosial dan Pemenuhan Ruang Sosial

KEBERADAAN WARUNG
SEBAGAI WAHANA INTERAKSI SOSIAL
DAN PEMENUHAN RUANG SOSIAL

COLLECTIE TROPENMUSEUM Huis langs de weg waar eten verkocht wordt
TMnr 3728-805.jpg (1882-1889)

Teguh Hindarto
Peminat Kajian Sejarah dan Fenomena Sosial

Warung, merupakan bagian keseharian dalam masyarakat kita.
Dari mulai kawasan perumahan kalangan menengah ke atas hingga
perkampungan penduduk, selalu dengan mudah kita mendapati
keberadaan warung baik itu warung yang menjual kebutuhan pokok
sehari-hari hingga warung yang menyediakan jasa makanan atau

2|Keberadaan Warung Sebagai Wahana Interaksi
Sosial dan Pemenuhan Ruang Sosial


minuman. Dari aspek ekonomi (manajemen, tampilan fisik), warung
merupakan bagian dari pasar konvesional selain kios, pedagang kaki lima,
pasar loak, toko. Jika ada pasar tradisional tentu ada pasar kontemporer
yang meliputi department store, supermarket, hypermarket, e-ritel,
vending machine.
Sebelum ada toko-toko modern yang menyediakan berbagai
barang kebutuhan sehari-hari bermunculan dan menjamur menghiasi
seluruh wajah kota dan desa di masyarakat kita, keberadaan warung telah
ada cukup lama untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok sehari-hari
masyarakat. Warung adalah warisan historis sebuah masyarakat
tradisional yang tetap bertahan hingga kini. Menariknya, keberadaan
warung – entah itu pemasok kebutuhan sehari-hari, makanan, minuman –
justru yang paling bertahan dari gempuran krisis ekonomi. Dalam
artikelnya, "Ekonomi Rakyat Menyubsidi Ekonomi Konglomerat", Parni
Hardi mengutip pernyataan Prof Sri-Edi Swasono (SES), guru besar
ekonomi kerakyatan Universitas Indonesia (UI), pada presentasi Sistem
Ekonomi Indonesia, saat forum Gerakan Pemantapan Pancasila, di Jakarta,
(18 Agustus 2015) sbb: “Sektor informal, terutama warung-warung pedagang
kaki lima (PKL) memberi kehidupan murah (low cost economy and low cost of

living) kepada para buruh berupah rendah dari korporasi-korporasi besar, PNS,
dan prajurit TNI/Polri bawahan. Buktinya, di trotoar, jalan, gang, atau tanah
lapang sekitar gedung-gedung pencakar langit yang megah berjubel warungwarung murah yang dipenuhi karyawan bawahan. Tak jarang juga pegawai
atasan berdasi (atau dicopot dulu) yang ikut nongkrong di warung-warung
PKL. Ada juga yang menyuruh OB (office boy) untuk beli makanan guna
dibawa ke lantai atas. “Ini trickle up effect (efek air muncrat ke atas). Suatu
bukti bahwa ekonomi rakyat menyubsidi ekonomi besar di atasnya yang secara
strategis mendukung ekonomi nasional. Jadi, apa yang disebut proses trickle
down
effect
kapitalistik
itu
omong
kosong”
(http://sinarharapan.co/kolom/ziarah/read/150910503/-i-ekonomirakyat-menyubsidi-ekonomi-konglomerat-i-). Bahkan dalam salah satu

3|Keberadaan Warung Sebagai Wahana Interaksi
Sosial dan Pemenuhan Ruang Sosial

artikel dikatakan bahwa dari 10 kategori bisnis yang tidak mendapatkan

pengaruh signifikan dari krisis moneter salah satunya adalah warung
sembako atau toko kelontong ((10 Peluang Bisnis yang Tak Mengenal
Krisis - http://www.ciputraentrepreneurship.com/memulai-bisnis/10peluang-bisnis-yang-tak-mengenal-krisis).
Eksistensi warung sebagai bagian dari pasar konvensional kerap
harus menghadapi sejumlah masalah baik yang bersifat internal berupa
ketersediaan modal maupun masalah eksternal berupa persaingan dengan
pasar konvesional yang menyediakan kenyamanan, kelengkapan, mutu
berbagai jenis barang yang diperjual belikan.
Kita batasi pembicaraan dan pembahasan kita pada warung yang
menjual kebutuhan sehari-hari yang kerap kita jumpai di dekat rumah kita
atau di ujung gang beberapa ratus meter dari rumah kita. Secara
sosiologis, warung bukan hanya sebuah tempat terjadinya transaksi
ekonomi dalam bentuk jual dan beli barang kebutuhan sehari-hari, namun
juga sebagai wahana terjadinya interaksi sosial diantara warga
masyarakat dan pemenuhan ruang sosial.
Prasyarat sebuah interaksi sosial adalah tatap muka dan
komunikasi dan prasyarat itu terpenuhi ketika seseorang berbelanja di
sebuah warung. Interaksi sosial yang terjadi di warung bisa bersifat
asosiatif (menuju persatuan) maupun disosiatif (perpecahan). Interaksi
sosial asosiatif tersebut dapat kita temukan saat kita memperhatikan

bahwa di warung, seseorang yang berbelanja tidak selalu langsung pulang
ke rumah, khususnya para wanita atau ibu-ibu.
Terjadi banyak
percakapan di warung mulai yang bersifat gosip, pertukaran informasi
hingga menanggapi situasi sosial dan politik serta ekonomi yang khas
para wanita atau ibu-ibu. Dari perspektif teori fungsional, gosip tidak
selalu bermakna negatif melainkan memiliki aspek positip sebagai alat
kontrol sosial. Ketika seseorang melakukan penyimpangan sosial,
pelanggaran moral, warung menjadi media menyalurkan kritik dan

4|Keberadaan Warung Sebagai Wahana Interaksi
Sosial dan Pemenuhan Ruang Sosial

ketidaksukaan masyarakat terhadap perilaku-perilaku yang melanggar
nilai dan norma. Terkadang apa yang disampaikan oleh beberapa
kelompok masyarakt dapat sampai ke telinga orang yang
dipergunjingkan, baik saat dia sedang berbelanja di warung atau
mendengar informasi dari mulut ke mulut yang informasi awalnya bisa
saja diproduksi di sebuah warung. Sementara interaksi sosial disosiatif
dapat terjadi manakala seseorang yang sedang bertemu dan berbicara di

warung sedang memiliki persoalan pribadi dengan salah satu lawan
bicaranya dan mengeluarkan kata-kata atau pernyataan yang
menyinggung atau dapat menimbulkan kesalahpahaman hingga berujung
pada pertengkaran.
Di warung bukan hanya terjadi proses interaksi sosial melainkan
pemenuhan ruang sosial. Apa yang dimaksudkan dengan ruang sosial?
Ruang sosial adalah sebuah kondisi yang diperlukan oleh individu atau
kelompok dalam melakukan proses sosialisasi dan berinteraksi.
Pemenuhan ruang sosial merupakan konsekwensi logis bahwa manusia
adalah mahluk sosial selain mahluk individual. Sebagai mahluk sosial,
manusia memerlukan ruang sosial untuk dirinya bersosialisasi.
Pemenuhan ruang sosial bukan hanya dapat disediakan di institusi
pendidikan berupa sekolah dan institusi sosial berupa organisasiorganisasi kemasyarakatan melainkan institusi ekonomi berupa pasar
konvensional yaitu warung.
Oleh karena warung bukan hanya sebagai sebuah tempat transaksi
ekonomi melainkan wahana interaksi sosial dan pemenuhan ruang sosial,
maka keberadaan warung seharusnya bukan hanya menjadi sebuah tempat
memproduksi gosip murahan serta percakapan tidak mendidik, melainkan
menjadi sebuah wahana untuk bertukar dan berbagi informasi mengenai
kesehatan, informasi mengenai kewaspadaan terhadap kejahatan,

informasi mengenai pencegahan terhadap berbagai tindak penipuan,
informasi mengenai situasi sosial dan politik nasional maupun lokal.
Dengan karakteristik masyarakat dengan budaya lisan dan budaya

5|Keberadaan Warung Sebagai Wahana Interaksi
Sosial dan Pemenuhan Ruang Sosial

mendengar yang masih tinggi tinimbang budaya membaca, maka warung
dapat memenuhi tugasnya sebagai wahana memproduksi informasi yang
bermanfaat dan mendidik bagi siapapun yang berada di dalamnya secara
lisan. Para bapak atau ibu yang memiliki banyak pengetahuan yang
bermafaat dan kerap bertemu di warung dapat memanfaatkan pertemuan
tersebut menjadi alat untuk membagi pengetahuan yang mendidik dan
membebaskan.
Berbeda saat kita memasuki sebuah toko modern baik supermarket
atau hipermarket sebagai bagian dari pasar kontemporer. Secara fisik
memang lebih unggul dan menawarkan sejumlah kenyamanan,
kebersihan, kualitas baik tempat dan barang yang hendak dibeli. Ruangan
yang ber-ac plus suara musik merdu mendayu menimbulkan sensasi untuk
lebih lama berjalan-jalan menyusuri selasar toko-toko modern. Belum lagi

pilihan barang yang diperjualbelikan sangat variatif mulai jenis barang
dan harganya sehingga memberi peluang kepada pembeli untuk
menentukan pilihannya. Namun dibalik semua keunggulan berupa
kenyamanan dan kualitas namun ada ruang yang tidak dapat dipenuhi
oleh toko-toko modern saat kita berbelanja yaitu interaksi sosial dan
pemenuhan ruang sosial. Kita tidak mungkin bertukar informasi dengan
sesama orang yang berbelanja di dalamnya bukan? Kita pun tidak
mungkin bertukar informasi dengan penjaga toko atau petugas kasir,
karena kita akan dimarahi oleh orang-orang yang mengantri di belakang
kita. Kita pun tidak dapat berkeluh kesah dan mendapatkan nasihat dari
seseorang yang berpengetahuan lebih dari kita saat kita memiliki
persoalan kepada pelayan toko ataupun sesama pembeli yang kita jumpai.
Semua aktifitas yang terjadi di toko modern adalah menjual dan membeli
sebagai bagian dari kegiatan transaksional secara ekonomi.
Oleh karenanya, sudah seharusnya keberadaan warung sebagai
sebuah intitusi ekonomi warisan historis masyarakat tradisional tetap
dipertahankan dan dirawat keberadaannya bukan hanya semata-mata
menandingi kekuatan pemilik modal besar yang membangun toko-toko

6|Keberadaan Warung Sebagai Wahana Interaksi

Sosial dan Pemenuhan Ruang Sosial

yang melekatkan simbol modernitas melainkan untuk melanggengkan
interaksi sosial dan pemenuhan ruang sosial yang tidak didapatkan saat
kita berbelanja di toko-toko modern seperti supermarket dan hipermarket.
Dengan jalan apa kita mempertahankan dan merawat keberadaan sebuah
warung di sekeliling kita? Pertama, dengan kita membagi waktu untuk
berbelanja di warung di sekitar rumah kita dan bukan hanya berbelanja di
toko-toko modern. Dengan berbelanja di warung maka kita telah
memberikan kesempatan bagi pemilik warung untuk menyejahterakan
dirinya secara mandiri dan sekaligus membuat ekonomi kerakyatan tetap
tumbuh bersamaan dengan ekonomi pemodal besar. Tidak perlu
membenturkan antara toko modern dan warung tradisional dan
melakukan gaya hidup ekstrim yang bersifat anti kemoderanan dengan
tidak berbelanja sama sekali di toko-toko modern, karena perilaku
demikian justru membuat kita menjadi orang yang tidak realistis dengan
perubahan sosial ekonomi yang terjadi di sekeliling kita. Yang perlu kita
lakukan bukanlah anti kemodernan atau anti berbelanja di toko-toko
modern melalui subyektifitas ideologis, melainkan perlu keseimbangan
dan keberpihakkan terhadap ekonomi kerakyatan tinimbang ekonomi

pemilik modal besar. Kedua, membeli secara tunai dan tidak harus
berhutang. Banyak warung-warung yang memenuhi kebutuhan seharihari mengalami kebangkrutan dikarenakan para pembeli yang tidak
membayar secara langsung dan membayar dalam tempo waktu yang lama.
Bahkan ada yang kemudian tidak membayar. Jika hanya satu atau dua
orang mungkin tidak menjadi masalah namun jika beberapa orang
melakukan pola tersebut maka akan mengganggu perputaran modal
berupa uang untuk membelanjakkan kebutuhan yang sudah habis.
Jika eksistensi warung dapat tetap berlangsung oleh peran kita
bersama yang menghidupinya dan menjaganya serta merawatnya, maka
proses interaksi sosial dan pemenuhan ruang sosial akan tetap berlanjut.
Oleh karenanya marilah kita membagi waktu kita untuk membelanjakan
uang kita dengan membeli kebutuhan kita baik di sejumlah warung yang

7|Keberadaan Warung Sebagai Wahana Interaksi
Sosial dan Pemenuhan Ruang Sosial

tersebar di sekeliling kita dan menjadikan warung sebagai ruang sosial
untuk bertukar pikiran dan informasi yang bermanfaat bagi kebaikan
bersama.


Artikel ini diposting di link berikut:

http://www.kompasiana.com/shem_tov75/keberadaan-warung-sebagaiwahana-interaksi-sosial-dan-pemenuhan-ruangsosial_56ea48724d7a61710bff5213
http://teguhhindarto.blogspot.co.id/2016/03/keberadaan-warungsebagai-wahana.html