Increasing Yolk Color Index by Using Calliandra Leaves Meals (Calliandra calothyrsus) and Shrimp Head Meals in Duck Diets

PENINGKATAN INDEKS WARNA KUNING TELUR DENGAN
PEMBERIAN DAUN KALIANDRA
(Calliandra calothyrsus) dan
KEPALA UDANG DALAM PAKAN ITIK

ELI SAHARA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peningkatan Indeks Warna Kuning
Telur dengan Pemberian Tepung Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan
Tepung Kepala Udang dalam Pakan Itik adalah karya sendiri dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.


Bogor, April 2006

Eli Sahara
NIM D051030041

ABSTRAK
ELI SAHARA. Peningkatan Indeks Warna Kuning Telur dengan Pemberian Tepung
Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Kepala Udang dalam Pakan Itik.
Dibimbing oleh RITA MUTIA, PENI SOEPRAPTI HARDJOSWORO dan
HERNOMOADI HUMINTO.
Telur itik yang berasal dari pemeliharaan intensif banyak yang pucat,
sehingga kurang disukai oleh konsumen. Hal ini disebabkan oleh perobahan pola
pemeliharaan dari sistem gembala ke sistem terkurung karena pada sistem terkurung
pakan yang diberikan adalah campuran konsentrat, menir dan dedak. Pola
pemeliharaan sistem gembala ternak itik mendapatkan sumber pigmen dari
makanannya yang berasal dari hijauan dan hewan kecil yang berasal dari kebun,
sawah dan ladang pengembalaan yang menyebabkan warna kuning telurnya lebih
kuning. Sumber pigmen penguning warna kuning telur dapat diperoleh dari hijauan
seperti daun katuk, lamtoro, kaliandra dan kangkung serta dari hewani seperti limbah

udang.
Penelitian ini terdiri dari dua tahap penelitian yaitu : 1) penelitian
pendahuluan dengan tujuan penentuan dosis tepung daun kaliandra dan tepung
kepala udang yang optimum dalam pakan 2) penelitian lanjutan bertujuan untuk
mendapatkan indeks warna kuning telur yang lebih baik dari kombinasi dosis tepung
daun kaliandra dan tepung kepala udang. Sebanyak 42 ekor itik umur 6 bulan yang
mulai produksi dipelihara dalam penelitian pendahuluan yang dibagi ke dalam 6
perlakuan dan 7 ulangan dengan masing-masing ulangan terdiri dari 1 ekor.
Perlakuan 1 adalah ransum basal (RB) 100%, 2) RB + Tepung Kaliandra (K) 3%,
3) RB + K 6%, 4) RB + tepung kepala udang (CU) 3%, 5) RB + CU 6%, dan 6)
RB + CU 9%.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan ini didapatkan dosis
tepung daun kaliandra dan tepung kepala udang yang optimum untuk diterapkan
pada penelitian lanjutan. Pada penelitian lanjutan digunakan 30 ekor itik umur 6
bulan yang dibagi dalam 3 perlakuan dan 10 ulangan dengan masing-masing ulangan
terdiri dari 1 ekor itik. Perlakuan 1 adalah RB 100%, perlakuan 2 adalah RB +
K 6% + CU 3% dan perlakuan 3 adalah RB + K 6% + CU 6%. Penelitian ini
dianalisis dengan menggunakan analisis keragaman dan apabila terdapat hasil yang
berpengaruh nyata atau sangat nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan
(Steel dan Torrie, 1991). Produksi telur, perubahan histopatologi, hasil identifikasi

dan tanda klinik disajikan secara deskriptif. Peubah yang diukur dalam penelitian
adalah konsumsi ransum, efisiensi ransum, produksi telur, indeks warna kuning
telur, Kadar retinol serum dengan menggunakan HPLC, persentase berat organ hati,
ginjal, pankreas dan organ reproduksi (ovari dan oviduk), pengamatan histopatologi
terhadap jaringan organ hati, ginjal,pankreas, ovari dan oviduk.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan R1 (ransum basal + 6%
kaliandra + 3% kepala udang) dapat meningkatkan indeks warna kuning telur dengan
skor 11, dan perlakuan R2 (ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) dengan
skor 10. Tidak terdapat pengaruh perlakuan kaliandra dan kepala udang terhadap
konsumsi ransum dan efisiensi ransum, sedangkan untuk produksi telur terdapat
variasi antar individu itik untuk masing-masing perlakuan yaitu itik pada perlakuan
R0 hanya 40% yang bertelur, itik pada perlakuan R1 60% yang bertelur dan itik pada
perlakuan R2 80% yang bertelur. Kalau dilihat untuk masing-masing perlakuan, itik
yang berproduksi telur tinggi untuk perlakuan R0 adalah 75%, R1 yang berproduksi

tinggi adalah 66.7% dan R2 yang berproduksi tinggi hanya 50%. Pemberian
kaliandra dan kepala udang juga tidak berpengaruh terhadap organ dalam, sehingga
secara histopatologi kelihatan morphologi jaringan hati, ginjal,pankreas, ovari dan
oviduk masih dalam kategori normal.


ABSTRACT
ELI SAHARA. Increasing Yolk Color Index by Using Calliandra Leaves Meals
(Calliandra calothyrsus) and Shrimp Head Meals in Duck Diets, supervised by
RITA MUTIA, PENI SOEPRAPTI HARDJOSWORO, and
HERNOMOADI HUMINTO.
The yolk from intensive duck system mostly has pale color, so it is not
interested to consumers. This is caused by the changing of raising pattern from
scavenging in to intensive duck system. In intensive duck system, the duck is fed by
a mixture of concentrate and rice brand, meanwhile under scavenging, the ducks get
its feed from forage and small animal from backyard, wetland, and dry land farming
systems. The yellow pigment of yolk come from forage such as Sauropus
androgynus Merr, Leucaena Leucocephala, Calliandra calothyrsus and Ipomoea
aquatica and also from animal like shrimp waste (shrimp head).
This experiment is consisted of 2 ( two) phases; 1) preliminary experiment;
aimed to determine the optimum level of Calliandra leaves meals and shrimp head
meals in diets, 2) continued experiment; aimed to get the best yolk color index from
combination levels of using Calliandra leaves meals and shrimp head meals in diets.
Forty two duck started to produce egg (6 month old) were raised in the preliminary
experiment and divided in to 6 treatments with 7 replicates; each replication is
consisted of 1 duck. The treatments were 1) 100% of basal diet (BD); 2) BD + 3%

of Calliandra leaves meals (K); 3) BD + 6% of K; 4) BD + 3% of shrimp head meals
(SH); 5) BD + 6% of SH; and 6) BD + 9% of SH. Based on the preliminary
experiment is found the optimum level of calliandra leaves meals and shrimp head
meals for applying in the continued experiment. In continued experiment was used
30 duck (6 month old) and divided in to 3 treatments and 10 replicates, with 1 duck
in each replication. The treatment were R1) 100% 0f BD; R2) BD + 6% of K + 3%
of SH; 3) BD + 6% of K + 6% of SH. This experiment used random analysis
approach. The difference among the treatment was tested by Multiple Duncan s Test
(Steel and Torrie, 1991). Descriptive approach was used to explain egg production,
histopathology changes, the result of identification, and clinical symptom.
Parameters observed were consumption, ration efficiency, egg production, yolk color
index, retinol content in serum by using HPLC, percentage of the weight of lever,
kidney, pancreas and reproductive (ovary and oviduct) organ.
The result of the experiment showed that R1 treatment can increase yolk
color index with the score, 11 and R2 got 10. There was no significant effect of
Calliandra leaves meals and shrimp head meals on consumption and ration
efficiency, while for egg production showed the variability among individual duck in
each treatment, only 40% in R0 produced egg, 60 % in R1, and 80% in R2. The
highest egg production in each treatment was found in R0 treatment 75%, in R1
treatment was 66.7%, and in R2 treatment was 50%. Using Calliandra leaves meals

and shrimp head meals in diets did not affect the inner organ. From histopathology
assessment showed that morphological of lever, kidney, pancreas, and reproductive
(ovary and oviduct) organ still in normal category.

© Hak cipta milik Eli Sahara, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

PENINGKATAN INDEKS WARNA KUNING TELUR DENGAN
PEMBERIAN DAUN KALIANDRA
(Calliandra calothyrsus) dan
KEPALA UDANG DALAM PAKAN ITIK

ELI SAHARA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

Judul Tesis

Nama
NIM

: Peningkatan Indeks Warna Kuning Telur dengan Pemberian
Tepung Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Tepung
Kepala Udang dalam Pakan Itik
: Eli Sahara
: D.051030041

Disetujui
Komisi Pembimbing


Dr. Ir. Rita Mutia, M. Agr
Ketua

Prof (Emeritus) Dr. Peni S. Hardjosworo, M.Sc Drh. Hernomoadi Huminto, M.VS
Anggota
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak

Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc

Tanggal Ujian : 27 Maret 2006

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2005 ini ialah indeks warna kuning telur, dengan
judul Peningkatan Indeks Warna Kuning Telur dengan Pemberian Tepung
Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Tepung Kepala Udang dalam
Pakan Itik.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr.Ir.Rita Mutia, Ibu
Prof (Emeritus) Peni Soeprapti Hardjosworo dan Bapak Drh. Hernomoadi Huminto,
M.VS selaku pembimbing dan Ibu Dr.Ir. Sumiati, M.Sc selaku penguji, yang telah
banyak memberi masukan dan saran kepada penulis. Kepada ketua dan staf pengajar
Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pasca Sarjana IPB terima kasih atas ilmu
pengetahuan bermanfaat yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswa di IPB,
juga kepada teman-teman dekat yang telah banyak membantu penulis terutama
dalam dorongan moril yang tidak dapat penulis lupakan.
Kepada Rektor Universitas Sriwijaya, Dekan Fakultas Pertanian Universitas
Sriwijaya, Ketua Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Direktorat
Pendidikan Tinggi Depdiknas yang telah memberikan beasiswa BPPS, Ibu Ketua

Yayasan Van De Venter Maas, Ketua Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang telah
memberikan bantuan dana penelitian penulis ucapkan terima kasih.
Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada yang terhormat bapak (alm),
ibu, bapak dan ibu mertua atas kasih dan sayangnya, khusus kepada suami tercinta
Mada Apriandi Zuhir, SH dan ananda tersayang Muthada Mutahari Zuhir, kakak dan
adek, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2006

Eli Sahara

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lubuk Alung pada tanggal 5 Maret 1973 dari ayah
Syaharuddin (Almarhum) dan ibu Lunar. Penulis merupakan anak kelima dari 7
bersaudara.
Tahun 1992 penulis lulus dari SMA 1 Lubuk Alung dan pada tahun yang
sama lulus seleksi masuk Universitas Andalas Padang melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk Universitas Andalas. Penulis memilih Jurusan Produksi Ternak,
Fakultas Peternakan dan lulus tahun 1997. Tahun 2000 sampai sekarang penulis

menjadi staf pengajar di Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Pertanian Universitas Sriwijaya Palembang. Tahun 2003 terdaftar sebagai mahasiswa
Pascasarjana IPB di Program Studi Ilmu Ternak Fakultas Peternakan IPB.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL

...

xii

DAFTAR GAMBAR ..............................................................................

xiii

DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................

xv

PENDAHULUAN

..

1

TINJAUAN PUSTAKA
..
Pigmen Pewarna Kuning Telur
..
Absorbsi dan Transportasi Karoten serta Vitamin A
Kaliandra
..
Limbah Udang
.
Itik Lokal
.
Pengaruh Daun Kaliandra dan Kepala Udang terhadap
Kinerja Itik
.............
Pengaruh Daun Kaliandra terhadap Alat Reproduksi
.

3
3
5
5
8
10

MATERI DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................
Materi Penelitian ...........................................................................
Metode Penelitian ..........................................................................

16
16
16
17

HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................
Penelitian Pendahuluan .................................................................
Indeks Warna Kuning Telur ..........................................................
Penelitian Lanjutan ........................................................................
Kandungan Gizi Pakan Perlakuan..................................................
Konsumsi Ransum .........................................................................
Produksi Telur ................................................................................
Efisiensi Penggunaan Ransum .......................................................
Indeks Warna Kuning Telur ...........................................................
Retinol Serum Itik ..........................................................................
Pengaruh Pemberian Daun Kaliandra dan Kepala Udang
terhadap Keamanan Organ Dalam..................................................
Pengaruh Pemberian Daun Kaliandra dan Kepala Udang
terhadap Keamanan Organ Reproduksi .........................................

21
21
21
24
24
25
26
28
28
31

KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................
Kesimpulan .....................................................................................
Saran ...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
.

42
42
43
44

11
15

31
38

LAMPIRAN ............................................................................................... 49

DAFTAR TABEL
1 Kandungan xanthophyll total bahan makanan

Halaman
...............................
4

2 Karotenoids dalam alfalfa, jagung kuning dan tepung alga kering ...........

4

3 Karotenoid total 2.5 mg per 100 gr kuning telur

4

4 Komposisi kimia tepung daun kaliandra berdasarkan bahan kering .........

6

5 Hasil analisis komposisi kimia limbah udang ...........................................

9

6 Komposisi bahan ransum dan kandungan zat-zat makanan ......................

16

7 Komposisi zat-zat makanan yang terkandung dalam bahan makanan
penyusun ransum .......................................................................................

24

8 Kandungan zat-zat makanan yang digunakan dalam ransum perlakuan
selama penelitian berdasarkan bahan kering .............................................

25

9 Konsumsi ransum itik selama tiga minggu (gram) ...................................

26

10 Efisiensi ransum terhadap produksi telur total selama penelitian .............

28

11 Pengaruh pemberian perlakuan kombinasi kaliandra dan kepala udang
dalam pakan terhadap kadar retinol serum itik .........................................

31

12 Pengaruh daun kaliandra dan kepala udang terhadap bobot hati, ginjal
dan pankreas ..............................................................................................

32

13 Rataan persentase berat ovari dan oviduk ................................................

38

14 Callibrating the assay ................................................................................

54

15 Analytical recovery of retinol, -tocopherol and tocopherol acetate

54

16 Analisis ragam konsumsi ransum ..............................................................

55

17 Analisis ragam efisiensi ransum ................................................................

55

18 Pengaruh pemberian daun kaliandra dan kepala udang terhadap
produksi telur itik selama 3 minggu dari 30 ekor itik .........................

56

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Pola indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan
R0 (Ransum basal), R1(3% kaliandra), R2 (6% kaliandra),
R3 (3% kepala udang), R4 (6% kepala udang) dan
R5 (9% kepala udang) ........................................................................

21

2 Indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan
R0 (Ransum basal), R1 (3% kaliandra), R2 (6% kaliandra),
R3 (3% kepala udang), R4 (6% kepala udang) dan R5 (9% kepala udang)
pada hari ke-7 .......................................................................................

22

3 Indeks warna kuning telur asin rebus dengan pemberian pakan
R0 (Ransum basal), R1 (3% kaliandra), R2 (6% kaliandra),
R3 (3% kepala udang), R4 (6% kepala udang) dan
R5 (9% kepala udang) .........................................................................

23

4 Pengaruh pemberian daun kaliandra dan kepala udang terhadap produksi
telur itik selama 3 minggu dari 30 ekor itik; a) untuk perlakuan R0
(itik no 1 sampai 10), b) perlakuan R1 (itik no 1 sampai 10), dan
c) perlakuan R2 (itik nomor 1 sampai 10)

27

5 Pola indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan
R0 (ransum basal), R1 (6% kaliandra + 3% kepala udang),
R2 (6% kaliandra + 6% kepala udang) ................................................

29

6 Indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan
R0 (ransum basal), R1 (6% kaliandra + 3% kepala udang),
R2 (6% kaliandra + 6% kepala udang) ................................................

30

7 Indeks warna kuning telur asin rebus dengan pemberian pakan
R0 (Ransum basal), R1 (6% kaliandra + 3% kepala udang),
R2 (6% kaliandra + 6% kepala udang) .................................................

30

8 Morphologi jaringan hati perlakuan R0 (ransum basal), R1
(ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2
(ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan
normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 20x) .....................

35

9 Morphologi jaringan ginjal perlakuan R0 (ransum basal), R1
(ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2
(ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan
normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 20x) .....................

36

10 Morphologi jaringan pankreas perlakuan R0 (ransum basal), R1
(ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2
(ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan
normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 20x) .....................

37

11 Morphologi jaringan ovary perlakuan R0 (ransum basal), R1
(ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2
(ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan
normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 10x) .....................

40

12 Morphologi jaringan oviduk perlakuan R0 (ransum basal), R1
(ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2
(ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan
normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 10x) .....................

41

DAFTAR LAMPIRAN
1 Pembuatan preparat histopatologi ........................................................
2 Pengembangan metoda analisa retinol dengan

HPLC ......................

Halaman
50
52

3 Analisis ragam konsumsi ransum,efisiensi ransum dan
produksi telur......................................................................................

55

4 Khromatogram retinol serum itik dengan HPLC ................................

57

PENDAHULUAN
Warna kuning telur itik yang pucat tidak disukai oleh konsumen, terutama
untuk telur itik yang diasin. Hal tersebut sangat mempengaruhi nilai jual dari pada
telur itik.

Permasalahan yang sering muncul adalah konsumen seringkali

memprediksikan warna kuning telur yang cerah ada hubungannya dengan khasiat
dan kualitas dari telur sehingga warna kuning telur itik yang pucat akan menurunkan
nilai jual dari telur tersebut.
Perubahan cara pemeliharaan itik dari sistem ekstensif menjadi intensif
menyebabkan warna kuning telur itik pucat.

Hal ini disebabkan karena pada

pemeliharaan intensif digunakan pakan campuran konsentrat, dedak, menir atau
jagung. Bila jagung yang digunakan berwarna putih maka warna kuning telurnya
akan pucat. Pada pemeliharaan ekstensif, itik mendapat kesempatan untuk memakan
sumber-sumber pigmen penguning telur seperti tanaman hijauan di sawah atau
ladang penggembalaan. Untuk menghasilkan warna kuning telur yang pekat dapat
ditambahkan pigmen pewarna kuning telur. Pigmen pewarna kuning telur adalah
karotenoid.

Pigmen tersebut dapat dalam bentuk siap pakai

(pigmen sintetis),

tanaman hijauan atau bahan alami lain seperti cangkang udang. Bila digunakan
pigmen siap pakai akan meningkatkan biaya pakan karena merupakan bahan impor
dan harganya mahal.
Hewan tidak dapat membuat sendiri karotenoid dalam tubuhnya, karotenoid
dapat diperoleh dengan memakan bahan makanan nabati yang banyak mengandung
karotenoid.

Pigmen karotenoid tersebut sebagian besar terdiri dari lutein dan

zeaxanthin yang termasuk dalam istilah xanthophyll.
Di Indonesia penelitian menggunakan sumber pigmen alami seperti daun
kaliandra, kangkung, daun katuk

dan daun lamtoro sudah terbukti dapat

meningkatkan indeks warna kuning telur, namun belum diketahui dosis yang dapat
menghasilkan warna dengan indeks yang tinggi yaitu antara 10-12. Berdasarkan
uraian di atas maka penelitian dilakukan dengan penggunaan sumber karotenoid dari
jenis tanaman dan hewani yaitu tepung daun kaliandra dan tepung kepala udang
dalam pakan.

Penelitian ini bertujuan meningkatkan indeks warna kuning telur dengan
pemberian sumber pigmen alami yaitu kaliandra dan kepala udang serta pengaruhnya
terhadap keamanan organ dalam.

TINJAUAN PUSTAKA
Pigmen Pewarna Kuning Telur
Bahan pewarna kuning telur adalah xanthophyll, suatu pigmen karotenoid
yang terdapat dalam jagung kuning, tanaman alfalfa dan corn gluten meal. Zat warna
xanthophyll dalam pakan merupakan senyawa yang paling berpengaruh terhadap
warna kuning telur. Stadelman dan Cotterill (1984) mengatakan bahwa karotenoid
merupakan suatu pigmen yang terdapat pada tanaman maupun hewan yang
merupakan prekursor vitamin A.

Lebih dari 600 karotenoid telah diidentifikasi di

alam, sebanyak 50-60 karotenoid memiliki sifat sebagai provitamin A (Flora et al.
1999). Prawirokusumo (1991) mengatakan bahwa vitamin A terdiri dari empat
macam yaitu : 1) vitamin A acetate (retinyl acetate), 2) vitamin A alkohol (retinol),
3) vitamin A aldehyde (retinal), 4) vitamin A acid (retinoic acid).
Hati menyimpan kurang lebih 90% total vitamin A dalam bentuk ester
retinol. Dalam tubuh, fungsi utama vitamin A dilaksanakan oleh retinol dan kedua
derivatnya yaitu retinal dan asam retinoat. Ester retinol yang terlarut dalam lemak
makanan akan terdispersi dalam cairan empedu dan dihidrolisis di dalam lumen usus,
yang kemudian diserap langsung oleh epitel usus. Senyawa
carotene yang dikonsumsi mungkin dipecah lewat reaksi oksidasi oleh enzim
carotene dioksigenase. Didalam mukosa usus, retinal direduksi menjadi retinol
oleh enzim spesifik retinaldehid reduktase dengan menggunakan NADPH. Retinal
dengan jumlah yang kecil akan teroksidasi menjadi asam retinoat. Sebagian besar
retinol mengalami esterifikasi dengan asam lemak jenuh dan menyatu ke dalam
kilomikron limfe yang kemudian masuk ke dalam aliran darah (Murray et al. 1996).
Senyawa karotenoid dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas, yaitu carotene,
xanthophyll, ester xanthophyll dan likopen (Chichester 1976 dalam Arafah 1994).
Carotene adalah pigmen berwarna kuning sampai merah tersusun atas ikatan
isoprene dengan 2 methyl ditengah dalam posisi 1: 6 dan posisi lateral adalah 1: 5.
Stadelman dan Co tterill (1984) mengatakan bahwa umumnya karotenoid
dalam kuning telur adalah berupa kumpulan hydroxy yang disebut xanthophyll.
Selanjutnya dikatakan juga bahwa jenis dan kadar karotenoid dalam kuning telur
sangat ditentukan oleh pakan.

Kandungan xanthophyll total bahan makanan dapat dilihat dalam Tabel 1,
sedangkan persentase jenis-jenis karotenoid dalam jagung kuning, tepung alfalfa dan
alga dapat dilihat pada Tabel 2. Kandungan karotenoid total kuning telur dapat
dilihat pada Tabel 3.

Tabel 1 Kandungan xanthophyll total bahan makanan
Bahan Makanan
Tepung marigold petal
Tepung alga
Tepung alfalfa kering
Rumput pantai Bermuda
Bungkil lembaga jagung (60%)
Bungkil lembaga jagung (41 %)
Jagung kuning
Tepung kunyit

Xanthophyll Total (mg per kg)
7000
2000
280
270
290
125
17
40 s/d 68 kali jagung

Sumber : Amrullah (2003)

Tabel 2 Karotenoids dalam alfalfa, jagung kuning dan tepung alga kering
Karotenoid
Lutein
Zeaxanthin
Violaxanthin
Neoxanthin
Crytoxanthin
Lain-lain

Alfalfa
(%)
46
4
16
14
7
13

Jagung Kuning
(%)
54
23
8
15

Alga
(%)
86
2
4
8

Sumber : Smith dan Perdue (1966) dalam Stadelman dan Cotterill (1984)

Tabel 3 Karotenoid total 2.5 mg per 100 gram kuning telur
Karotenoid
Lutein A
Zeaxanthin
Cantaxanthin
ß-cryptoxanthin

Persentase (%)
40
19.8
17.9
17.3

Sumber : Matsuno et al. (1986) dalam Stadelman dan Cotterill (1984)

Absorbsi dan Transportasi Karoten serta Vitamin A
Karotenoid merupakan prekursor vitamin A. Beberapa

hewan

mamalia

mempunyai kemampuan yang spesifik untuk mengabsorpsi karotenoid yang berasal
dari makanan. Saluran usus halus merupakan organ pertama yang berperan dalam
mengkonversi provitamin A menjadi vitamin A, meskipun organ-organ lainpun

mampu mengkonversi provitamin A menjadi vitamin A. Enzim pemecah carotene
yaitu -carotene 15, 15 oxygenase, dan hal ini telah dibuktikan pada usus halus, hati
dan ginjal tikus. Reaksi-reaksi yang dikatalisa oleh enzim ini memerlukan oksigen.
Produk awal dan satu-satunya produk yang terbentuk adalah retinal (Piliang 2001).
Murray (1996) mengatakan bahwa senyawa

-carotene yang dikonsumsi

mungkin dipecah lewat reaksi oksidasi oleh enzim

-carotene dioksigenase. Di

dalam mukosa usus, retinal direduksi menjadi retinol oleh enzim spesifik retinaldehid
reduktase deangan menggunakan NADPH. Retinal dengan jumlah yang kecil akan
teroksidasi menjadi asam retinoat. Sebagian besar retinol mengalami esterifikasi
dengan asam lemak jenuh dan menyatu ke dalam kilomikron limfe dan masuk ke
dalam darah.
Jumlah deposit masing-masing pigmen tanaman tergantung pada jumlah
gugus hidroksi atau gugus keton dalam molekul. Umumnya dihydroxy xanthophyll
(Lutein dan zeaxanthin) dan diketo xanthophyll (canthaxanthin) lebih efisien
ditransfer ke kuning telur daripada monohydroxy xanthophyll (cryptoxanthin) dan
monoketo xanthophyll (Bracunlich 1978 dalam Stadelman dan Cotteril 1984).
Kaliandra
Kaliandra termasuk jenis pohon semak berkayu, dengan ciri-ciri batang
mempunyai banyak cabang, tidak lurus dan pendek, pohon yang sudah dewasa
mempunyai tinggi 12 m dengan diameter 20 cm.

Di daerah Jawa, kaliandra

merupakan tanaman yang bermanfaat. Kayunya untuk kayu bakar, daun-daunnya
digunakan untuk pakan ternak. Kaliandra ada dua spesies, tetapi yang ditanam untuk
tujuan ilmu kehutanan (forestry) adalah calliandra calothyrsus (bunga merah) dan
calliandra tetragona (bunga putih).

Kedua spesies kaliandra ini berasal dari

Guatemala dan dikenalkan ke Indonesia tahun 1936. Kaliandra mulai disebarkan
pertama kali adalah di pulau Jawa. Umumnya Indonesia menggunakan calliandra
calothyrsus (NRC 1983).
Kaliandra kemudian menjadi sumber pakan ternak yang mudah didapat,
meskipun terbatas informasi tentang ketersediaan nilai nutrisinya.

Beberapa

penelitian di Australia, kaliandra telah dikenal menjadi pakan ternak yang palatabel
tinggi untuk grazing dan pen-fed animals (B. Palmer, unpublished data). Rahardjo

dan Cheeke (1985) dalam Palmer (2006) melaporkan bahwa 22% protein kasar, 3070% serat kasar, 4-5% abu dan 2-3% lemak terdapat pada daun kering kaliandra.
Daun kaliandra mengandung protein, carotene (provitamin A), dan
xanthophyll yang cukup tinggi. Komposisi kimia tepung daun kaliandra berdasarkan
bahan kering dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi kimia tepung daun kaliandra berdasarkan bahan kering
Komposisi Kimia
Protein kasar (%)
Serat kasar (%)
Lemak (%)
BETN (%)
Kalsium (%)
Fosfor (%)
Energi bruto (kkal/kg)

Tepung Daun
Kaliandra1
19.65
19.61
3.27
42.78
4068

Tepung Daun
Kaliandra2
20.36
32.64
2.69
38.41
-

Tepung Daun
Kaliandra3
22.71
15.50
3.41
1.39
0.37
4275

Keterangan : 1) Soebarinoto (1986); 2) Narsum (1983)
3) Purwanegara (1988)

Disisi lain Suryadi (1995) dalam Syahrir dan Fattah (2000) melaporkan bahwa
kaliandra memiliki kandungan protein kasar yang cukup tinggi yaitu 24.8 % pada
daun segar dan 22.8 % pada daun kering. Permasalahan yang ada pada pemanfaatan
kaliandra sebagai sumber pakan ternak ruminansia adalah tingkat konsumsi dan
kecernaannya yang rendah. Tidak ada zat toxic yang ditemukan pada kaliandra tetapi
mengandung tanin kondensasi dengan konsentrasi tinggi
al.1989 dalam Palmer 2006).

sampai 11% (Akin et

Cannas (2001) melaporkan bahwa terdapat dua

kelompok tanin yang berpengaruh terhadap nutrisi ternak, yaitu tanin hidrolisis dan
tanin kondensasi yang biasa disebut proanthocyanidin. Tanin didefinisikan sebagai
water soluble polymeric phenolics yang mengikat protein (Reed 1995). Disisi lain
Hagerman (2002) mendefinisikan tanin adalah water soluble phenolic compunds
yang mempunyai berat molekul antara 500 sampai 3000, mempunyai sifat tidak
hanya membentuk ikatan komplek dengan protein dan alkaloids tetapi juga dengan
polisakarida.

Kemampuan

tanin

untuk

bereaksi

dengan

protein

dan

mengendapkannya menimbulkan masalah pada penyiapan enzim atau protein lain
dari beberapa tumbuhan. Kadar tanin yang tinggi dianggap mempunyai pengaruh
yang merugikan terhadap nilai gizi tumbuhan makanan ternak (Robinson 1995).

Syahrir dan Fattah (2000) melaporkan bahwa terjadi penurunan kadar tanin dari
bahan pakan kaliandra segar (5.6%) dalam sistim rumen. Hal ini diakibatkan oleh
terbentuknya ikatan antara tanin dengan protein, mineral atau zat lain yang ada dalam
rumen. Tanin dikenal juga dapat membentuk komplek dengan ion bivalen seperti
Fe++ yang dapat menurunkan ketersediaan ion Fe++ dalam tubuh (Hassan et al.
Kegunaan tanin adalah sebagai proteksi (by pass) protein, tetapi tanin

2003).

dengan level tinggi bisa menurunkan kecernaan protein untuk ternak. Nadiar (1979)
dalam Palmer (2006) menambahkan bahwa tepung daun kaliandra telah diketahui
sebagai sumber protein dan sumber carotene untuk produksi telur komersial.
Wiryawan

(1999) mengatakan bahwa senyawa tanin dapat dihilangkan

dengan perlakuan alkali misalnya dengan penambahan NH4OH, NaOH, K2CO3 atau
CaO.

Perendaman daun kaliandra dalam larutan kapur tohor menaikkan nilai

kecernaan nutrisi daun kaliandra.

Pada perendaman dalam larutan CaO 2 %

mengakibatkan kenaikan kecernaan protein sebesar 58.28 %, kecernaan NDF sebesar
17.74 % dan kecernaan ADF sebesar 12.35 %. Selanjutnya dilaporkan bahwa kadar
tanin dalam bahan kering kaliandra sekitar 11.3 %.

Adanya tanin dalam daun

kaliandra dapat menurunkan nilai cerna dari protein. Hasil analisis kandungan tanin
dalam daun kaliandra pada laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi bervariasi
antara 1

17 %.

Paterson et al. (1999) dalam Stewart et al. (2001) melaporkan

bahwa hijauan ternak C. colothyrsus segar dapat meningkatkan berat badan ternak
pedaging dan produksi susu pada sapi. Penambahan sedikit daun kaliandra untuk
pakan ayam petelur (0.6

2.5 % dari pakan pokok) akan menghasilkan warna

kuning telur yang lebih kuning tanpa pengaruh negatif pada jumlah telur yang
dihasilkan dan pada konversi pakan (Paterson et al. 2000 dalam Stewart et al. 2001).
Anggorodi (1985) menyatakan bahwa adanya xanthophyll dalam pakan unggas dapat
meningkatkan warna kuning telur.

Laksmiwati (1997) melaporkan bahwa makin

tinggi tingkat pemberian daun kaliandra atau daun lamtoro dalam pakan
menyebabkan skor warna kuning telur bertambah tinggi. Hal ini disebabkan karena
kandungan xanthophyll yang dikandung daun kaliandra atau daun lamtoro.
Limbah Udang
Udang adalah komoditas andalan dari sektor perikanan yang umumnya
diekspor dalam bentuk beku.

Potensi produksi udang di Indonesia dari tahun ke

tahun terus meningkat. Selama ini potensi udang Indonesia rata-rata meningkat
sebesar 7,4 persen per tahun.

Data tahun 2001, potensi udang nasional mencapai

633.681 ton. Dengan asumsi laju peningkatan tersebut tetap, maka pada tahun 2004
potensi udang diperkirakan sebesar 785.025 ton. Dari proses pembekuan udang
untuk ekspor, 60-70 persen dari berat udang menjadi limbah (bagian kulit dan
kepala) sehingga diperkirakan akan dihasilkan limbah udang sebesar 510.266 ton.
Limbah sebanyak itu, jika tidak ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak
negatif bagi lingkungan. Selama ini pemanfaatan limbah cangkang udang hanya
terbatas untuk pakan ternak saja seperti itik, bahkan sering dibiarkan membusuk
(Prasetiyo 2004).
Marganof (2003) mengatakan bahwa saat ini budidaya udang dengan tambak
telah berkembang dengan pesat karena udang merupakan komoditi ekspor yang
dapat diandalkan dalam meningkatkan ekspor non-migas dan merupakan salah satu
jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya
diekspor dalam bentuk udang beku yang telah dibuang bagian kepala, kulit dan
ekornya.

Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang , pengalengan

udang dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30% - 75% dari berat udang,
dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang cukup
tinggi. Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein,
kalsium karbonat, khitin, pigmen, abu dan lain-lain.

Kulit udang mengandung

protein (25%-40%), kalsium karbonat (45%-50%) dan khitin (15%-20%), tetapi
besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya.
Menurut Shahidi dan Synowiecki (1992) dalam Mirwandhono dan Siregar
(2006) bahwa limbah udang mengandung protein 41.9%, khitin 17.0%, abu 29.2%
dan lemak 4.5% dari bahan kering. Berdasarkan kandungan protein yang cukup
tinggi, limbah kepala udang juga mengandung semua asam amino esensial terutama
methionin yang sering menjadi faktor pembatas pada protein nabati.
Kepala udang dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein karena kandungan
protein yang terdapat di kepala udang masih cukup tinggi. Oleh karena itu kepala
udang sangat potensial digunakan sebagai pakan.

Tabel 5 Hasil analisis komposisi kimia limbah udang*
Jenis kandungan
Kadar air
Protein kasar
Lemak
Serat kasar
Kadar abu
Kalsium
Fosfor
BETn Nitrogen
Keterangan : *

Jumlah (%)
14.0**
43.40
1.40
13.20
26.80
7.05
1.52
1.20

6.30***
44.10
4.30
12.10
27.30
11.40
1.80
-

Sudah dikeringkan
** Hartadi et all. (1997)
*** Oke et al. (1978)

Raharjo (1985) melaporkan hasil penelitiannya bahwa pemberian cangkang
udang sampai 30 % untuk menggantikan tepung ikan dan bungkil kedele ternyata
meningkatkan produksi telur sebanyak 12 % dan meningkatkan efisiensi penggunaan
pakan sebesar 18 %, serta memberikan warna kuning telur menjadi lebih baik.
Perbaikan warna kuning telur pada pemberian 30 % cangkang udang mungkin
disebabkan oleh adanya pigmen yang dikandung dalam udang, seperti astaxanthine
yang memberikan warna kuning kemerahan.

Itik Lokal
Jenis itik lokal adalah merupakan keturunan dari bangsa itik Indian Runner.
Itik Indian Runner adalah bangsa itik yang sangat terkenal sebagai penghasil telur.
Budidaya ternak itik tersebar hampir diseluruh Indonesia. Adaptasi terhadap kondisi
lingkungan yang berbeda-beda, serta isolasi geografis dalam jangka waktu yang
lama, maka muncul sifat khas yang membedakan itik daerah satu dengan daerah lain.
Menurut Soedjai (1974) dan Srigandono (1986) itik lokal mempunyai 3 varietas
dengan tempat adaptasi yang berbeda-beda yaitu : itik Bali (Anas sp.) berkembang di
Bali, itik Alabio (Anas platyrhynchos borneo) berkembang di Kalimantan dan itik
Tegal (Anas javanica) berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Barat bagian utara.
Bentuk badan itik Tegal adalah merupakan contoh itik Indian Runner yaitu dengan
posisi berdiri yang hampir tegak lurus.

Warna bulu umumnya coklat dengan

beberapa variasi warna tertentu. Bentuk badannya lebih besar daripada itik Bali,
warna kerabang telur berwarna biru kehijau-hijauan.

Tanabe et al.

(1984)

melaporkan bahwa itik Tegal mempunyai hubungan kekerabatan dengan itik Khaki
Campbell, yaitu merupakan persilangan itik Rouen dengan itik Indian Runner.
Potensi Itik Lokal
Indonesia merupakan negara dengan populasi itik terbesar kedua setelah
Cina, khususnya di Asia. Dari populasi tersebut separuhnya ada di pulau Jawa yang
luasnya hanya 10% dari luas Indonesia. Jawa Tengah secara nasional mempunyai
populasi itik tertinggi kedua setelah Sulawesi Selatan. Ada 2 (dua) bangsa itik Jawa
Tengah yang terkenal produksi telurnya tinggi yaitu itik Tegal dan itik Magelang.
Itik Tegal banyak diusahakan oleh peternak di sepanjang pantai utara, sedangkan itik
Magelang banyak dipelihara oleh peternak disekitar keresidenan Kedu (Subiharta et
al. 2001).
Itik lokal memiliki sifat unggul yaitu masak kelamin dini. Pada umur 113
hari kelompok itik berasal dari Tegal telah mulai bertelur, untuk itik Mojosari umur
mulai bertelur adalah 145 hari dan untuk itik Bali 157 hari
(Hardjosworo 2001).
Chavez dan Lasmini (1978) dalam Subiharta et al. (2001) melaporkan bahwa
produksi telur tertinggi itik Tegal pernah mencapai 80 %. Sebagai unggas lokal, itik
Tegal merupakan unggas air yang produktif sebagai penghasil telur, ini dapat dilihat
dari hasil penelitiannya dengan menggunakan itik Tegal yang dipelihara secara
intensif mampu berproduksi 212 butir pertahun dengan variasi antara 100

300

butir. Produksi telur tersebut akan dapat terwujud apabila pakan yang diberikan
memenuhi kualitas dan kuantitas.
Hardjosworo (1990) menyatakan bahwa itik Tegal mempunyai potensi untuk
ditingkatkan kemampuan produksi telurnya, karena dari kenyataan sekitar 50 % itik
yang digunakan dalam penelitian menghasilkan produksi telur ( duck

day ) lebih

besar dari 50 %.
Pengaruh Daun Kaliandra dan Kepala Udang terhadap Kinerja Itik
Produksi Telur
Produksi telur (duck-day) dari sekelompok itik dapat tinggi bila 1) Itik-itik
dalam kelompok tersebut unggul 2) Itik-itik mulai bertelurnya relatif serempak 3)

Manajemen terhadap itiknya sesuai dengan yang dibutuhkan ternaknya (Hardjosworo
et al. 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa dalam upaya peningkatan produktivitas
telur, mutu bibit merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan bagi
keberhasilan usaha peternakan itik. Produksi telur pada unggas sangat bervariasi
untuk setiap individu selama periode bertelur.

Ada hubungan yang erat antara

jumlah telur yang dihasilkan dengan waktu periode bertelur (Koops dan Grosman
1991 dalam Laksmiwati 1997). Roesdiyanto et al.

(2001) menyatakan bahwa

sebagai unggas lokal, itik Tegal merupakan unggas air yang produktif sebagai
penghasil telur.
Produksi telur itik lokal sangat bervariasi dan ini tergantung dari jenis itik,
sistem pemeliharaan dan kualitas pakan yang diberikan. Hardjosworo (1989) dalam
penelitiannya mendapatkan bahwa penggunaan pakan berbentuk pellet dengan
kandungan protein 18 % dapat meningkatkan produksi telur, bobot badan dan
memperpanjang siklus produksi, dibanding dengan pakan berbentuk halus dengan
kandungan protein 16 % atau pellet dengan kandungan protein 16 %.
Konsumsi Ransum
Banyak faktor yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi yaitu : 1) macam
unggas 2) umur unggas 3) lingkungan, terutama cuaca 4) tingkat produksi.
Sementara itu Wahju (1985) melaporkan bahwa pakan yang dikonsumsi oleh hewan
akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi dan produksi. Tingkat energi di
dalam ransum menentukan banyaknya pakan yang dikonsumsi. Banyaknya pakan
yang dikonsumsi tergantung pada jenis hewan yang bersangkutan, besarnya,
keaktifannya, temperatur lingkungan dan apakah untuk pertumbuhan atau untuk
mempertahankan produksi telur.
Menurut NRC (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum
adalah temperatur lingkungan, bentuk ransum, kualitas ransum, kecepatan
pertumbuhan, produksi telur, stress dan kesehatan ternak.

Amrullah (2003)

mengatakan bahwa besarnya konsumsi ransum pada berbagai umur tidak tetap.
Jumlahnya bervariasi sesuai dengan laju pertumbuhan dan tingkat produksi.

Jika

ayam dapat menyesuaikan konsumsi zat makanannya tepat dengan jumlah yang
dibutuhkan, maka besarnya kebutuhan dapat dinyatakan dalam persen atau tingkat
energi dalam ransum. Lubis 1963 dalam Laksmiwati (1997) melaporkan bahwa itik

mengkonsumsi ransum lebih banyak dari ternak ayam yaitu satu setengah kali dari
konsumsi ransum ternak ayam, dan lebih toleran terhadap serat kasar dibanding
dengan ternak ayam (Mutzar et al. 1977 dalam Laksmiwati 1997).
Kecernaan Kepala Udang
Kecernaan didefinisikan sebagai bagian yang tidak diekskresikan dalam
feses, dimana bagian tersebut diasumsikan diserap oleh tubuh (Mc Donald et al.
1988) ; atau selisih antara zat-zat makanan yang terkandung di dalam pakan yang
dimakan oleh ternak dan zat-zat makanan dalam feses (Anggorodi 1979). Bila nilai
tersebut dinyatakan sebagai persen terhadap konsumsi disebut koefisien cerna.
Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala dan ekornya. Fungsi
kulit pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung.
Kulit udang mengandung protein (25%-40%), kalsium karbonat (45%-50%) dan
khitin (15%-20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada
jenis udangnya (Marganof 2003)
Limbah udang merupakan sumber khitin dan khitosan karena kulit udang
mengandung khitin sebesar 20

30 % dari berat keringnya dan keberadaannya

bergabung dengan unsur-unsur lain seperti protein, kalsium karbonat, magnesium
karbonat dan pigmen karotenoid (Jhonson dan Peniston 1982).
Khitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi, pertama kali
diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan
fungiue. Khitin merupakan konstituen organik yang sangat penting pada hewan
golongan orthopoda, annelida, molusca, cortengterfa dan nematoda.

Khitin

biasanya berkonjugasi dengan protein dan tidak hanya terdapat pada kulit dan
kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trachea, insang, dinding usus dan
bagian dalam kulit cumi-cumi (Marganof 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa khitin
mempunyai rumus molekul C18H26N2O10, merupakan zat padat yang tidak berbentuk
(amorphous), tidak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat,
alkohol dan pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang
pekat.

Khitin kurang larut dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-

glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan khitosan adalah khitin yang
terdeasetilasi sebanyak mungkin.

Khitin termasuk golongan homopolisakarida yang mempunyai berat molekul
tinggi dan merupakan polimer linier dari anhidro N-asetil-D glukosamin (N-asetil2amino-2-dioksi-D-glukosa (Silverstein et al. 1981 dalam Sudibya 1998). Struktur
khitin sama dengan selulosa, dimana ikatan yang terjadi antar monomernya terangkai
dengan ikatan glukosida pada posisi

- (1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah

gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon no 2, pada khitin digantikan oleh
gugus asetamida (NHCOCH3) sehingga khitin menjadi sebuah polimer berunit Nasetil glukosamin (Carroad dan Tom 1978 dalam Sudibya 1998).
Syamsuhaidi (1997) menyatakan bahwa selama ini perhatian terhadap peran
caecum pada unggas sebagai organ pencernaan fermentative agak terabaikan.
Pertumbuhan usus dan caecum dapat dirangsang oleh serat, karena VFA (volatile
fatty acid) produk pencernaan serat merupakan sumber energi bagi mikroba.
Caecum menyerap air sehingga berperan serta dalam termoregulasi dan
osmoregulasi.

Bakteri yang hidup di dalamnya mampu membuat vitamin B

kompleks. Bakteri tersebut mungkin dapat direkayasa sehingga unggas mungkin
dapat diberi pakan berserat tinggi sehingga harga pakannya murah. Supadmo (1997)
melaporkan bahwa ayam broiler

yang diberi ransum mengandung khitin dan

khitosan dengan level 30g/kg, pada hari ke-10 dan 18 ayam-ayam penelitian untuk
kontrol dan ransum khitin mempunyai berat yang lebih besar, konsumsi pakan yang
lebih baik dan rasio konversi pakan lebih rendah dari pada ayam-ayam yang diberi
ransum khitosan. Selain itu pemberian serat mengurangi absorbsi lemak sehingga
deposisi lemak ke dalam daging dan telur ayam dapat ditekan. Selanjutnya Sudibya
(1998) menyatakan bahwa penggunaan berbagai tingkat duckweed dalam ransum
ayam ras pedaging dapat mengurangi deposisi lemak abdominal dan kolesterol
karkas serta ada tendensi penurunan lemak karkas, kolesterol dan trigliserida serum.
Ada hubungan antara kadar trigliserida darah dengan kualitas telur (warna kuning
telur) seperti yang dilaporkan Purba (2003) dalam penelitiannya bahwa kualitas telur
berupa kuning telur menurun setelah rontok bulu.
trigliserida dalam darah yang
kuning telur menurun.

Penurunan tersebut karena

merupakan pembawa (carrier) pigmen pembawa

Konversi Ransum
Konversi ransum tidak saja merupakan suatu angka untuk merefleksikan
kemampuan fisiologis dalam memanfaatkan semua unsur-unsur gizi ransum, namun
mempunyai arti dan nilai ekonomis yang menentukan bagi kepentingan berusaha.
Perbandingan input unit ransum yang dikonversikan menjadi output unit berat badan
akan menghasilkan angka fisik bagi tolok ukur perhitungan ekonomis. Konversi
ransum adalah jumlah ransum yang dibutuhkan untuk meningkatkan satu-satuan
bobot badan atau produksi telur. Anggorodi (1985) mengemukakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi konversi ransum adalah suhu lingkungan, laju perjalanan
ransum melalui alat pencernaan, bentuk fisik ransum. Selanjutnya dinyatakan pula
bahwa peningkatan konsumsi yang diikuti dengan penurunan pertambahan bobot
badan menyebabkan tingginya konversi ransum.

Semakin kecil angka konversi

ransum berarti semakin efisien ternak tersebut menggunakan ransum yang diberikan.
Pengaruh Daun Kaliandra terhadap Alat Reproduksi
Organ reproduksi ayam betina pada masa embrio terdiri dari sepasang
ovarium dan oviduk, akan tetapi selama masa pertumbuhannya dan saat mencapai
dewasa kelamin hanya ovarium dan oviduk bagian kiri yang berkembang normal
sedangkan bagian kanan mengalami penyusutan atau rudimenter (Sturkie 1976).
Laksmiwati

(1997) melaporkan dalam penelitiannya bahwa penggunaan

daun kaliandra lebih baik dibandingkan dengan daun lamtoro karena perkembangan
alat reproduksi lebih baik, produksi telur lebih tinggi, lebih efisien dalam
penggunaan pakan.

MATERI DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Percobaan Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor mulai bulan Mei sampai Agustus 2005 selama 4 bulan.
Materi Penelitian
Ternak
Ternak percobaan yang digunakan adalah itik lokal alabio betina dewasa
yang berumur 6 bulan sebanyak 72 ekor itik.
Pakan
Pakan yang digunakan adalah pakan basal yang terdiri dari konsentrat, menir,
dedak dan minyak sayur disusun dengan kandungan protein 20 persen dan energi
metabolis 2824 kkal/kg. Daun kaliandra kering didapatkan dari Balai Penelitian
Peternakan Ciawi Bogor, dan digiling dengan menggunakan cutter grinder. Tepung
kepala udang dibuat dengan cara mengeringkan kepala udang di bawah

sinar

matahari selama 1 minggu sampai kering. Kepala udang dijemur tiap hari mulai dari
jam 8.00 pagi sampai 4.00 sore (rata-rata 8 jam/hari), kemudian digiling dengan
menggunakan cutter grinder.

Susunan bahan makanan ransum dapat dilihat pada

Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi bahan ransum dan kandungan zat-zat makanan
Bahan
Konsentrat
Dedak
Menir
Minyak sayur
Total
Protein
Energi Metabolis (kkal/kg)

Persentase
35.28
23.59
35.47
5.66
100.00
20.03
2824.00

Peralatan
Kandang yang digunakan adalah kandang sangkar tunggal dengan ukuran 50
x 50 x 60 cm. Setiap kandang dilengkapi tempat pakan dan tempat air minum yang

terbuat dari paralon. Alat lain yang digunakan adalah timbangan untuk menimbang
telur dan itik. Untuk menentukan skor warna kuning telur digunakan Roche Yolk
Colour Fan .
Metode Penelitian
1. Penentuan dosis kaliandra dan kepala udang yang optimum
Materi penelitian pendahuluan menggunakan itik yang mulai produksi
sebanyak 42 ekor yang dibagi ke dalam 6 perlakuan. Masing-masing perlakuan
terdiri dari 7 ekor itik.

Selama 2 minggu pertama (sebelum masuk perlakuan)

diberikan pakan basal atau tanpa tepung kepala udang (CU) maupun tepung daun
kaliandra (K)
Mulai awal minggu ketiga diberikan ransum perlakuan pendahuluan yang
terdiri dari Ransum Basal (RB), RBK-(3%), RBK-(6%), RBCU-(3%), RBCU-(6%)
dan RBCU-(9%) selama 2 minggu. Evaluasi warna kuning telur dilakukan pada hari
ke-1 perlakuan, hari ke-7 dan hari ke-14 dengan cara memecah semua telur yang ada
pada masing-masing hari tersebut. Telur pada hari ke-8 dan 15 diasin selama 10 hari
dan dilakukan pengamatan secara visual. Setelah diketahui dosis-dosis yang baik
untuk pemberi warna kuning telur yang diamati selama 2 minggu, dilanjutkan
dengan penelitian utama
Rancangan Penelitian Pendahuluan
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) sebanyak 6 perlakuan dengan 7 ulangan dan setiap ulangan terdiri
dari 1 ekor itik (Steel and Torrie 1991).
Adapun model matematikanya adalah sebagai berikut :
Yijk=

+ i + ij

i = 1,2,3,4,5,6
j = 1,2, 7

Yij = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j yang mendapat perlakuan
ransum ke-i
i

= Pengaruh perlakuan ransum ke-i
=Nilai rata-rata sesungguhnya

ij =Pengarug galat dari satuan percobaan ke-j yang mendapat perlakuan
ransum ke-i
2. Penerapan dosis sebagai pemekat warna kuning telur
Materi penelitian lanjutan menggunakan itik lokal betina dewasa yang sedang
produksi sebanyak 30 ekor yang dibagi ke dalam 3 perlakuan, 10 ulangan dan
masing-masing ulangan terdiri dari 1 ekor itik.
Ransum perlakuan yang diberikan selama penelitian terdiri dari satu tingkat
penggunaan kombinasi tepung daun kaliandra dan tepung kepala udang dalam
ransum yakni R-0 (ransum basal 100% sebagai kontrol), R-1 (kaliandra 6 % +
kepala udang 3%) dan R-2 (kaliandra 6 % + kepala udang 6%).
Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) sebanyak 3 perlakuan dengan 10 ulangan dan setiap ulangan terdiri
dari 1 ekor itik (Steel and Torrie 1991).
Adapun model matematikanya adalah sebagai berikut :
Yijk =

+ i + ij

i = 1,2,3
j = 1,2, 10

Yij

= Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j yang mendapat

perlakuan

ransum ke-i
i

= Pengaruh perlaku