The Study on Seed supply system of certified seed in South Sulawesi

KAJIAN SISTEM PENYEDIAAN BENIH KEDELAI
BERMUTU DI SULAWESI SELATAN

IDARYANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Kajian Sistim Penyediaan
Benih Bermutu di Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Agustus 2011


Idaryani
A254090045

ABSTRACT
IDARYANI. The Study on Seed supply system of certified seed in South
Sulawesi. Under direction of MEMEN SURAHMAN and TATIEK KARTIKA
SUHARSI.
The objectives of this study are to : (1) obtain characteristics information of
soybean farmer and breeders in South Sulawesi, (2) collect demand and supply
information of qualified seeds in South Sulawesi as well as current seed supply
systems, and (3) identify alternative supply system improvements for qualified
seeds through Jabalsim. The research method is survey in four regencies in South
Sulawesi, namely Takalar, Bone, Soppeng, and Wajo. Each regency consisted of
five districts and each district consists of 10 respondents. Thus, the number of
respondent for each district is 50 persons or totally 200 persons for the four
regencies. The data consisted of primary and secondary data, and analyzed
descriptively and SWOT analysis. The results of the research show that farmer/
seed breeder in the study site is still in productive age, having at least elementary
education level, experienced in farming and soybean seed breeding and
sufficiently farm size. Supply for Soybean seed has been fulfilled, namely

1198.60 tons. The production realization/availability of soybean seed was 1479.02
tones. Currently, seed supply system is formal and informal (Jabalsim). Policy
implication from the proposed strategy are: (1) perform certification on seed
obtained from seed supply system in Jabalsim until farm certification, in turn
farmers can use qualified seeds on time, and (2) The next certification process at
laboratory level remains implemented to meet legal aspects in the form of
labeling, so that the result is certified seed.
Keywords : Jabalsim, SWOT analysis, soybean seed supply system

RINGKASAN
IDARYANI. Kajian Sistem Penyediaan Benih Kedelai Bermutu di Sulawesi
Selatan dibawah bimbingan MEMEN SURAHMAN dan TATIEK KARTIKA
SUHARSI
Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan
untuk bahan baku industri pangan seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco,
dan snack. Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah sentra pengembangan
kedelai di Indonesia. Produktivitas kedelai di daerah ini baru mencapai rata-rata
1,6 t/ha, padahal potensi varietas unggul kedelai yang telah dihasilkan dapat
mencapai lebih dari 2 t/ha. Salah satu penyebab terjadinya kesenjangan antara
produksi yang dicapai oleh petani dan produksi yang dicapai oleh Badan Litbang

Pertanian yaitu adanya pengaruh varietas dan terbatasnya penggunaan benih
bermutu di tingkat petani. Penggunaan benih bermutu merupakan kunci sukses
pertama dalam usahatani kedelai. Benih yang baik dan bermutu tinggi memberi
jaminan keragaan pertanaman dan hasil panen yang tinggi. Berdasakan hal
tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai Sistem Penyediaan Benih
Kedelai Bermutu di Sulawesi Selatan.
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mendapatkan informasi karakteristik
petani dan penangkar benih kedelai di Sulawesi Selatan, (2) mendapatkan
informasi kebutuhan dan ketersediaan benih bermutu di Sulawesi Selatan serta
sistem penyediaan benih bermutu yang ada sekarang, dan (3) mengetahui
alternatif perbaikan sistem penyediaan benih bermutu melalui Jabalsim. Metode
penelitian yang dilakukan adalah metode survey pada empat kabupaten yaitu
Kabupaten Takalar, Bone, Soppeng, dan Wajo. Masing-masing kabupaten terdiri
atas lima kecamatan, dimana setiap kecamatan terdiri dari atas 10 responden,
dengan demikian maka jumlah responden untuk setiap kabupaten adalah 50,
sehingga total responden untuk empat kabupaten adalah 200 orang. Jenis data
yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder, kemudian dianalisis secara
deskriptif dan Analisis SWOT.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani/penangkar benih kedelai di
lokasi kajian masih berada pada usia produktif, mempunyai pendidikan minimal

SD, cukup berpengalaman dalam berusahatani dan menangkar benih kedelai, serta
tingkat penguasaan lahan yang cukup untuk usahatani kedelai. Kebutuhan
potensial benih kedelai di Sulawesi Selatan sudah dapat terpenuhi, dimana
kebutuhan tersebut adalah 1.198,60 ton, sedangkan realisasi produksi/ketersediaan
benih kedelai adalah 1.479,02 ton. Namun demikian kondisi di lapangan
menunjukkan bahwa petani belum sepenuhnya menggunakan benih bermutu
karena daya serap petani terhadap penggunaan benih bermutu masih rendah yang
dipengaruhi oleh tingginya harga benih bersertifikat dan tingkat kepercayaan
petani terhadap manfaat benih bersertifikat. Dengan demikian maka masih perlu
dilakukan sosialisasi penggunaan benih kedelai bermutu di tingkat petani.
Sistem penyediaan benih yang ada sekarang adalah sistem penyediaan secara
formal dan informal yaitu Jalinan Arus Benih Antar Lapang dan Musim
(Jabalsim) dan yang dominan dilakukan petani adalah Jabalsim, dimana pada
sistem ini benih mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau, namun mutu

benih tidak terjamin terutama mutu genetis karena tingginya campuran varietas
lain sehingga perlu dilakukan roguing dan isolasi yang lebih optimal.
Berdasarkan hasil analisis SWOT strategi yang dapat dilakukan sebagai
alternatif perbaikan sistem penyediaan benih di Sulawesi Selatan adalah
(1) menjalin kerjasama dengan pengusaha/pedagang lokal yang saling

menguntungkan, (2) meningkatkan keterampilan penangkar untuk menghasilkan
benih bermutu dalam rangka meningkatkan produksi kedelai, dan
(3) menghasilkan benih kedelai bermutu melalui kerjasama dengan BPSB.
Rumusan kebijakan dari strategi yang dihasilkan adalah : (1) melakukan
sertifikasi terhadap benih yang diperoleh dari sistem penyediaan benih secara
Jabalsim sampai tingkat keterangan lulus lapang, sehingga petani dapat
menggunakan benih bermutu pada saat dibutuhkan, dan (2) proses sertifikasi
selanjutnya pada tingkat laboratorium tetap dilaksanakan untuk memenuhi aspek
legalitas benih yang dihasilkan dalam bentuk pelabelan, sehingga benih yang
dihasilkan merupakan benih bersertifikat/berlabel.
Kata kunci : kedelai, analisis SWOT, sistem penyediaan benih, Jabalsim

© Hak cipta milik IPB, Tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar Institut Pertanian Bogor.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh hasil karya

tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KAJIAN SISTIM PENYEDIAAN BENIH KEDELAI BERMUTU
DI SULAWESI SELATAN

IDARYANI

Tugas Akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesional pada
Program Studi Magister Profesional Perbenihan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir : Dr. Ir. Endang Murniati, MS

Judul Tugas Akhir


: Kajian Sistim Penyediaan Benih Bermutu Kedelai di
Sulawesi Selatan

Nama

: Idaryani

NRP

: A254090045

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Memen Surahman, M.Sc. Agr
Ketua

Dr. Dra. Tatiek Kartika Suharsi, MS
Anggota


Diketahui

Ketua Program Studi
Magister Profesional Perbenihan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian : 18 Agustus 2011

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan
karunia-Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan tugas akhir ini dengan judul Kajian Sistim Penyediaan

Benih Kedelai Bermutu di Sulawesi Selatan.
Penulis banyak mendapatkan bantuan dan masukan selama penelitian
berupa petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak, terutama dari pembimbing
penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung mulai dari awal hingga
selesainya tugas akhir ini. Untuk itu ucapan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Memen Surahman,
M.Sc. Agr. dan Ibu Dr. Dra. Tatiek Kartika Suharsi, MS selaku dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan,
dan masukan yang sangat membantu mulai dari tahap awal perencanaan penelitian
hingga selesainya tugas akhir ini.
Secara khusus dengan penuh rasa cinta kasih dan hormat, penulis
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada ibunda tercinta Hj. Fahirah
Hasanuddin yang dengan sabar dan tulus mendoakan dan memberikan dukungan
moril dan moral untuk keberhasilan penulis. Juga kepada keluarga besar yang
telah memberikan sumbang saran dan bantuan serta saudara-saudaraku terkasih
atas doa dan dukungan yang telah diberikan selama penulis kuliah di IPB.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Badan Litbang
Pertanian, rekan-rekan di BPTP Sulawesi Selatan atas segala bantuan dan
dukungan yang diberikan, teman-teman H4 atas dukungan dan kebersamaannya di
rumah kita, serta rekan-rekan “Seed Family” Program Magister Perbenihan atas

kebersamaan dan semangat yang telah diberikan, serta semua pihak yang telah
membantu namun tidak sempat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT
memberikan balasan yang setimpal. Akhirnya semoga tulisan ini bermanfaat bagi
kita semua.

Bogor,

Agustus 2011
Idaryani

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan
pada tanggal 29 Agustus 1971 dari pasangan Bapak H. Djamaluddin (Alm) dan
Hj. Fahirah Hasanuddin. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara.
Pendidikan SD, SMP, dan SMA penulis tempuh di Watampone, Kabupaten
Bone, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1989 penulis lulus dari SMAN 2 Watampone
dan pada tahun yang sama lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri pada
Universitas Hasanuddin (UNHAS) Ujung Pandang dan penulis memilih jurusan
Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian.
Penulis bekerja sebagai staf peneliti pada BPTP Sulawesi Selatan yang

merupakan salah satu unit kerja Badan Litbang Pertanian sejak tahun 1998. Pada
tahun 2009 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan program
magister pada Program Studi Magister Profesional Perbenihan, Sekolah
Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan
Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………….

xv

PENDAHULUAN .........................................................................................

1

Latar Belakang ......................................................................................
Tujuan Penelitian ...................................................................................

1
5

TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................

7

Komoditas Kedelai ...............................................................................
Benih Bermutu ......................................................................................
Penyediaan Benih Bermutu ..................................................................
Sistem Perbenihan .................................................................................
Kebijakan Perbenihan ...........................................................................
Metode SWOT ......................................................................................

7
9
10
13
14
16

METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................... 19
Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................
Jenis dan Sumber Data ..........................................................................
Metode Pengambilan Sampel ................................................................
Metode Analisis ....................................................................................

19
19
19
20

HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 27
Krakteristik Petani/Penangkar Benih Kedelai .........................................
Kebutuhan dan Ketersediaan Benih Bermutu ........................................
Sistim Penyediaan Benih yang Ada Sekarang ........................................
Alternatif Perbaikan Sistem Penyediaan Benih secara Jabalsim di
Sulawesi Selatan………………………………………………………….

27
43
50
55

KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 63
Kesimpulan ……………………………………………………………… 63
Saran …………………………………………………………………….. 64
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 65
LAMPIRAN .................................................................................................. 69

xi

DAFTAR TABEL
Halaman
1.

Standar pengujian laboratorium benih kedelai bersertifikat …………...

10

2.

Penilaian bobot strategi internal lembaga/sistem………………………

21

3.

Penilaian bobot strategi eksternal lembaga/sistem……………………..

22

4.

Matriks Internal Factor Evaluation (IFE)……………………………..

23

5.

Matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE) …………………………..

24

6.

Komposisi petani kedelai berdasarkan umur di lokasi kajian………….

29

7.

Komposisi penangkar benih kedelai berdasarkan umur di lokasi
kajian……………………………………………………………………

29

8.

Komposisi petani kedelai menurut tingkat pendidikan di lokasi
kajian……………………………………………………………………

31

9.

Komposisi penangkar benih kedelai menurut tingkat pendidikan di
lokasi kajian…………………………………………………………….

31

10.

Komposisi petani kedelai menurut pengalaman usahatani di lokasi
kajian……………………………………………………………………

33

11.

Komposisi penangkar benih kedelai menurut pengalaman menangkar
benih di lokasi kajian……………………………………………...........

34

12.

Komposisi tingkat penguasaan lahan kedelai di lokasi kajian…………

35

13.

Persentase tingkat penerapan teknologi produksi benih oleh penangkar
benih kedelai di lokasi kajian…………………………………………..

42

14.

Perkembangan luas areal panen, produksi, dan produktivitas kedelai di
Sulawesi Selatan tahun 2000-2009………………………………….

44

15.

Keragaman pertanaman kedelai dan kebutuhan benih potensial di
Sulawesi Selatan…………………………….………………………….

46

16.

Keragaman pertanaman kedelai dan kebutuhan benih potensial di
lokasi kajian ……………………………………………………………

46

17.

Produksi
benih
kedelai
bersertifikat
di
Sulawesi
Selatan………………………………………………………………….

47

18.

Produksi benih kedelai kelas BR (BR, BR1, dan BR2) di Sulawesi
Selatan ………………………………………………………………….

48

19.

Tingkat penggunaan benih bersertifikat di empat lokasi kajian di
Sulawesi Selatan ……............................................................................

49

20.

Alasan petani tidak menggunakan benih bersertifikat di lokasi kajian
………………………………………………………………………….

50

xii

21.

Faktor-faktor strategis internal sistem Jabalsim………………………..

56

22.

Faktor-faktor strategis eksternal sistem Jabalsim………………………

58

xiii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.

Bagan alir penelitian ………………………………………………….

4

2.

Diagram matriks SWOT………………………………………………

25

3.

Sistem penyediaan benih kedelai secara formal di Sulawesi Selatan…

51

4.

Distribusi benih kedelai melalui Jabalsim di Sulawesi Selatan……….

54

5.

Posisi sistem penyediaan benih kedelai secara Jabalsim di Sulawesi

60

Selatan…………………………………………………………………
6.

Matriks SWOT dalam sistem penyediaan bermutu secara Jabalsim…

xiv

62

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.

Kuesioner penelitian Kajian Sistem Penyediaan Benih Kedelai Bermutu
di Sulawesi Selatan (Petani Kedelai)…………………………………….

71

2.

Kuesioner penelitian Kajian Sistem Penyediaan Benih Kedelai Bermutu
di Sulawesi Selatan (Penangkar Benih Kedelai)…………………………

74

3.

Kuesioner penilaian bobot dan rating faktor strategis internal dan
eksternal untuk alternatif perbaikan sistem penyediaan benih kedelai
bermutu melalui Jabalsim di Sulawesi Selatan ………………………….

77

xv

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai merupakan tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan
jagung dan

kaya protein nabati yang diperlukan untuk meningkatkan gizi

masyarakat, aman dikonsumsi, serta harganya relatif murah. Kebutuhan kedelai di
Indonesia terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan untuk bahan
baku industri pangan seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco dan snack.
Konsumsi kedelai saat ini 2,3 juta ton yang setara dengan 10,2 kg kedelai per
kapita per tahun atau 28 g kedelai per kapita per hari. Jumlah tersebut sekitar 50%
dikonsumsi dalam bentuk tempe (7,7 kg tempe per kapita per tahun), 40% berupa
tahu dan 10% berupa produk berbasis kedelai lainnya (Nurusa 2007).
Kebutuhan nasional kedelai dewasa ini telah mencapai 2,3 juta ton/tahun,
sementara produksi dalam negeri baru mampu memenuhi kebutuhan 35-40%,
sehingga kekurangannya dipenuhi dari impor. Naiknya harga kedelai di pasar
dunia akhir-akhir ini berdampak terhadap kenaikan harga kedelai di dalam
negeri, dari Rp. 3.500 per kg pada tahun 2007 menjadi Rp 7.500 per kg di awal
tahun 2008. Hal ini disebabkan oleh persaingan penggunaan kedelai untuk
pangan versus non pangan bio fuel, biomedicine, kosmetik, dan pakan.
Potensi lahan untuk pengembangan tanaman kedelai tersebar di seluruh
pulau di Indonesia yaitu seluas 17 juta hektar (Nurusa 2007). Sulawesi Selatan
merupakan salah satu daerah sentra pengembangan kedelai di Indonesia. Potensi
lahan untuk pengembangan kedelai di Sulawesi Selatan mencapai 33.095 ha
(BPS 2010). Sementara itu, produktivitas kedelai baru mencapai rata-rata 1,6 t/ha
(DISTAN 2010), padahal potensi varietas unggul kedelai yang telah dihasilkan
dapat mencapai lebih dari 2 t/ha (BADAN LITBANG 2007).
Salah satu penyebab terjadinya kesenjangan antara produksi yang dicapai
oleh petani dan produksi yang dicapai oleh Badan Litbang Pertanian

adalah

pengaruh varietas unggul dan terbatasnya penggunaan benih bermutu di tingkat
petani. Penggunaan benih bermutu merupakan kunci sukses pertama dalam
usahatani termasuk usahatani kedelai. Benih yang baik dan bermutu tinggi
memberi jaminan keragaan pertanaman dan hasil panen yang tinggi.

2

Kebijakan pemerintah untuk memacu penggunaan benih bermutu di
tingkat petani adalah melalui bantuan langsung benih unggul (BLBU) dan
pengembangan unit pengelolaan benih sumber di tingkat Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP). Kebijakan BLBU tersebut belum mencapai sasaran
secara optimal, karena dalam implementasinya masih terdapat kendala non teknis
yang perlu diatasi yaitu belum terbentuknya sistem perbenihan yang efektif dan
efisien.
Upaya untuk mendukung pengembangan benih bermutu di Sulawesi
Selatan, diperlukan berbagai cara, baik yang bersifat teknis maupun kelembagaan
agar terbentuk suatu sistem penyediaan benih yang berwawasan agribisnis dan
berkelanjutan. Petani diharapkan memiliki akses yang lebih luas dalam
memperoleh benih bermutu untuk kepentingan usahataninya dengan harga
terjangkau, tepat waktu, dan dalam jumlah yang cukup (Muhammad et al. 2010).
Akses yang luas tersebut dapat tercapai dengan membangun sistem
penyediaan benih kedelai bermutu dengan memperhatikan peta pola kebutuhan
serta ketersediaan benih pada setiap wilayah berdasarkan kondisi agroklimat.
Hingga saat ini, sebagian besar petani kedelai di Sulawesi Selatan menggunakan
benih hasil panen musim sebelumnya. Hasil panennya sendiri atau membeli benih
dari pedagang benih kedelai yang mendapatkan kedelai dari hasil panen di
wilayah lain dari musim panen sebelumnya pada pola jalinan arus benih antar
lapang dan musim (Jabalsim). Sistem penyediaan benih sistem Jabalsim masih
memiliki beberapa kekurangan walaupun dominan dilakukan di daerah ini.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai sistem
penyediaan benih kedelai bermutu di Sulawesi Selatan.
Penggunaan benih bermutu di tingkat petani saat ini masih kurang dari
50%. Penyebab rendahnya tingkat penggunaan benih tersebut diantaranya adalah
harga benih bermutu/bersertifikat masih dianggap lebih mahal dibanding benih
biasa (tidak bersertifikat) dan benih tidak tersedia pada saat dibutuhkan. Sistem
penyediaan benih yang ada sekarang belum berjalan secara optimal, sehingga
tidak dapat memenuhi kebutuhan petani akan benih bermutu/bersertifikat.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
sehubungan dengan sistem penyediaan benih di Sulawesi Selatan, sebagai berikut

3

1. Bagaimana karakteristik petani/penangkar benih kedelai di Sulawesi Selatan
2. Berapa kebutuhan dan ketersediaan benih bermutu di Sulawesi Selatan dan
bagaiman sistem penyediaan benih kedelai bermutu yang ada sekarang
3. Bagaimana alternatif perbaikan sistem penyediaan benih bermutu kedelai
melalui Jabalsim di Sulawesi Selatan
Kajian sistem penyediaan benih kedelai di Sulawesi Selatan penting
dilakukan, agar petani dapat memperoleh benih kedelai bermutu pada saat
dibutuhkan. Sistem penyediaan benih kedelai yang ada sekarang terdiri dari
sistem penyediaan benih secara formal yang dilakukan oleh PT. Pertani dan PT.
Sang Hyang Seri (SHS) dan sistem penyediaan benih secara informal yaitu
melalui jalinan arus benih antar lapang dan antar musim (Jabalsim).
Kinerja dari kedua sistem penyediaan benih tersebut belum dapat
memenuhi kebutuhan petani akan benih kedelai bermutu, hal ini ditunjukkan oleh
rendahnya penggunaan benih bersertifikat oleh petani. Benih yang dihasilkan
melalui sistem penyediaan benih secara formal varietasnya belum sesuai yang
diinginkan petani, harga benih lebih mahal, benih tidak tersedia pada saat
dibutuhkan petani, dan memiliki mutu fisiologis yang rendah. Sistem penyediaan
benih melalui Jabalsim lebih dominan dilakukan pada saat ini karena selain
kondisi agroklimat Sulawesi Selatan yang sesuai untuk pola penyediaan benih
secara Jabalsim, juga karena dengan cara ini petani lebih mudah memperoleh
benih sesuai yang diinginkannya. Namun demikian benih yang dihasilkan dari
sistem penyediaan benih secara Jabalsim memiliki mutu genetis yang rendah.
Berdasarkan hal tersebut maka untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
dari kedua sistem penyediaan benih kedelai yang ada sekarang diperlukan
alternatif perbaikan dari kedua sistem tersebut. Upaya untuk menentukan strategi
dan kebijakan sebagai alternatif perbaikan sistem penyediaan benih kedelai
dilakukan dengan menggunakan analisis strength, weakness, opportunity, dan
threat (SWOT). Analisis SWOT dilakukan untuk mengidentifikasi peluang,
ancaman, kekuatan, dan kelemahan suatu lembaga/sistem, sehingga dapat
diperoleh suatu strategi yang efektif yang akan memaksimalkan kekuatan dan
peluang serta meminimalkan kelemahan dan ancaman yang dimiliki oleh
lembaga/sistem tersebut.

4

Berdasarkan strategi yang diperoleh dari hasil analisis SWOT akan
diperoleh sistem penyediaan benih kedelai yang termodifikasi secara formal dan
secara informal (Jabalsim), sehingga sistem penyediaan benih tersebut dapat
dijadikan sebagai acuan dalam menentukan sistem penyediaan benih kedelai
bermutu yang ideal di Sulawesi Selatan dengan sasaran enam tepat. Dengan
demikian maka produksi kedelai yang ditargetkan dapat dicapai. Lebih jelasnya
ditunjukkan pada bagan alir penelitian yang disajikan pada Gambar 1.
Penyediaan benih formal
melalui PT. SHS dan PT.
Pertani

Penyediaan benih
informal melalui Jabalsim
Kondisi
agroklimat

Masalah : harga, waktu,
varietas, dan mutu
fisiologis

Karakteristik
responden

Masalah : mutu genetis

Diperlukan sistem penyediaan benih yang dapat mengatasi
masalah : harga, waktu, varietas, dan mutu genetis

SWOT

Sistem penyediaan benih modifikasi secara Jabalsim dan secara
Formal

Gambar 1 Bagan alir penelitian

5

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan
sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mendapatkan informasi tentang karakteristik petani/penangkar benih kedelai
di Sulawesi Selatan
2. Mendapatkan informasi kebutuhan dan ketersediaan benih bersertifikat di
Sulawesi Selatan dan sistem penyediaan benih kedelai yang ada sekarang
3. Mengetahui alternatif perbaikan sistem penyediaan benih kedelai di Sulawesi
Selatan

6

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Kedelai
Tanaman kedelai merupakan salah satu komoditas pangan penghasil
protein nabati yang sudah dikenal oleh masyarakat. Sejalan dengan
perkembangan tanaman kedelai, maka industri pangan berbahan baku kedelai
akan terus berkembang. Kebutuhan akan protein hewani telah mendorong
berkembangnya industri peternakan, sehingga memacu pertumbuhan industri
pakan ternak. Komponen terpenting kedua dari pakan konsentrat setelah jagung
adalah bungkil kedelai (Tangendjaja et al. 2003). Berdasarkan kondisi tersebut,
maka perkembangan industri pangan berbahan baku kedelai dan industri pakan
ternak di Indonesia telah menyebabkan permintaan kedelai akan terus meningkat
dari waktu ke waktu.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan pada tahun 2004, memperkirakan
bahwa konsumsi kedelai adalah sekitar 1,8 juta ton dan bungkil kedelai sekitar
1,1 juta ton. Hal ini diperkuat oleh data statistik dari Food Association
Organisation (FAO) dan Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa konsumsi kedelai
pada tahun 2004 sebesar 1,84 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri baru
mencapai 0,72 ton. Kekurangannya diimpor terutama dari negara Amerika
sebesar 1,2 juta ton atau sekitar 61% dari total kebutuhan (Sejati et al. 2009).
Periode 1970-1992 produksi kedelai nasional masih tumbuh meyakinkan
yaitu dari sekitar 0,50 juta ton pada tahun 1970 menjadi sekitar 0,65 juta ton pada
tahun 1980 dan pada tahun 1990 meningkat lagi menjadi 1,49 juta ton serta
mencapai puncaknya pada tahun 1992 yaitu 1,53 juta ton. Tingginya tingkat
pertumbuhan ini sebagian lagi karena perkembangan teknologi budidaya kedelai.
Periode 1970-1992, dimana pada tahun 1970 areal panen sekitar 0,69 juta hektar,
meningkat menjadi 1,33 juta hektar pada tahun 1990 dan mencapai puncaknya
pada tahun 1992 yaitu 1,66 juta hektar. Produktivitas kedelaipun secara perlahan
menunjukkan peningkatan, yaitu dari 0,72 ton per hektar pada tahun 1970
menjadi 1,11 ton per hektar pada tahun 1990. Tahun 2000 meningkat lagi
menjadi 1,23 ton per hektar dan menjadi sekitar 1,28 ton per hektar pada tahun
2004. Produktivitas kedelai meningkat rata-rata 1,70% per tahun selama periode

8

1970-2004, sehingga terjadinya peningkatan produktiviats kedelai merupakan
cerminan adanya kemajuan dalam penerapan teknologi budidaya kedelai.
Pertumbuhan produktivitas masih jauh di bawah laju penurunan areal panen,
sehingga produksi kedelai menurun dengan tajam (Sejati et al. 2009)
Berdasarkan data Ditjentan (2004), kendala yang menyebabkan terus
menurunnya areal panen kedelai antara lain adalah : (1) produktivitas yang relatif
masih rendah, sehingga kurang menguntungkan dibandingkan komoditas pesaing
lainnya, (2) belum berkembangnya industri perbenihan, (3) keterampilan petani
yang masih rendah, (4) rentan gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT),
(5) belum berkembangnya pola kemitraan, karena sektor swasta belum tertarik
untuk melakukan agribisnis kedelai, dan (6) kebijakan perdagangan bebas (bebas
tarif impor), sehingga harga kedelai impor lebih murah dibanding kedelai dalam
negeri. Kendala tersebut menyebabkan banyak petani yang beralih dari kedelai ke
tanaman lain, seperti jagung hibrida yang lebih menguntungkan.
Seiring dengan rencana pembangunan pertanian jangka menengah,
Kementerian Pertanian menyatakan bahwa sasaran pengembangan kedelai adalah
meningkatkan produksi nasional dengan pertumbuhan sebesar 7% per tahun.
Pencapaian sasaran tersebut maka diperlukan upaya keras dan konsisten melalui
berbagai strategi, terutama peningkatan areal panen, produktivitas dan mutu,
kebijakan pengadaan sarana produksi, dan pemasaran (Sejati et al. 2009).
Perluasan areal panen dapat ditempuh melalui berbagai strategi, antara lain
: perluasan areal tanam. Produktivitas dapat ditingkatkan melalui introduksi
teknologi inovatif. Salah satu komponen teknologi yang paling mudah dan cepat
menyebar adalah penggunaan varietas unggul baru (VUB) seperti varietas
Grobogan, Baluran, dan varietas-varietas unggul lainnya yang berdaya hasil
tinggi. Varietas unggul kedelai tersebut merupakan komponen teknologi yang
penting diterapkan untuk meningkatkan produktivitas, karena mempunyai potensi
hasil rata-rata 2,5 ton per hektar. Masalah pada saat ini baru 10% petani yang
menggunakan benih bermutu dari varietas unggul tersebut (DITJENTAN 2004),
sedangkan menurut data Litbang Pertanian penggunaan benih bermutu dari
varietas unggul kedelai secara nasional masih dibawah 15% (BADAN LITBANG
2010).

9

Benih Bermutu
Benih bermutu merupakan syarat utama dalam mendukung keberhasilan
usahatani kedelai. Menurut Sadjad (1993) mutu benih meliputi mutu fisik,
fisiologis, dan mutu genetik. Mutu fisik meliputi : (1) kebersihan benih dari
kotoran fisik dan campuran biji-biji pecah atau biji tanaman lain, (2) penampilan
benih (ukuran benih) dan warna kulit benih. Mutu fisiologis dilihat dari
kemampuan benih untuk tumbuh normal dalam kondisi yang serba normal pula.
Sedangkan mutu genetik yaitu benih yang jelas dan benar identitas genetiknya,
serta tidak terdapat campuran varietas lain.
Secara spesifik, penggunaan benih bermutu tinggi berdampak pada
pertumbuhan tanaman yang baik dan hasil panen yang tinggi. Syarat benih
bermutu adalah : (1) murni dan diketahui nama varietasnya; (2) daya tumbuh
tinggi (minimal 80%) dan vigornya baik; (3) biji sehat, bernas, tidak keriput,
dipanen pada saat biji telah matang; (4) dipanen dari tanaman yang sehat, tidak
terinfeksi penyakit (cendawan, bakteri, dan virus); dan (5) benih tidak tercampur
biji tanaman lain atau biji rerumputan (Wirawan & Wahyuni 2002).
Benih dianggap bermutu tinggi jika memiliki daya tumbuh (daya
berkecambah) ≥80 % (bergantung pada jenis dan kelas benih) dan nilai kadar air
di bawah 13 % (bergantung pada jenis benih). Pengendalian mutu dalam industri
benih memiliki tiga aspek penting yaitu :
1. Penetapan standar minimum mutu benih yang dapat diterima
2. Perumusan dan implementasi sistem dan prosedur untuk mencapai dan
mempertahankan standar mutu yang telah ditetapkan.
3. Pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi sebab-sebab terjadinya masalah
dalam mutu dan cara mengatasinya.
Benih berdasarkan kelas adalah sebagai berikut :
1. Benih penjenis, BS (Breeder Seed) yaitu benih yang diproduksi dan diawasi
oleh pemulia tanaman dan atau instansi yang menanganinya, sebagai sumber
untuk perbanyakan benih dasar
2. Benih dasar, BD (Foundation Seed) yaitu benih yang diproduksi dan diawasi
secara ketat oleh BBI dan instansi lainnya yang telah mendapat isin untuk

10

mengolah benih BD (UPBS lingkup badan litbang pertanian) sehingga
kemurniannya tetap terjaga
3. Benih pokok, BP (Stock Seed) yaitu benih yang diproduksi oleh Balai Benih
atau pihak swasta yang terdaftar
4. Benih sebar, BR (Extension Seed) yaitu benih yang diproduksi oleh Balai
Benih dan penangkar benih dengan bimbingan dan pengawasan dari BPSB.
Benih bermutu dapat diperoleh dengan melakukan sertifikasi benih, yaitu
dengan memberikan persyaratan khusus atau standarisasi pada kelas-kelas benih
tersebut dengan pemberian standar di lapang dan standar di laboratorium
(Mugnisjah & Setiawan 1995).
Standar pengujian laboratorium benih kedelai bersertifikat pada kelas
Benih Dasar dan Benih Pokok memiliki kadar air maksimum 11 %, benih murni
minimum 98%, kotoran benih maksimum 2%, campuran varietas lain maksimum
0,1 dan 0,2%, serta daya tumbuh minimum 80%. Benih sebar label biru dan label
hijau memiliki kadar air maksimum 11 %, benih murni minimum 97%, kotoran
benih maksimum

3%, campuran varietas lain maksimum 0,5 dan 0,7%, serta

daya tumbuh minimum 80% dan 70%. Standar pengujian laboratorium benih
kedelai bersertifikat disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Standar pengujian laboratorium benih kedelai bersertifikat
Kelas Benih
Benih Dasar
Benih Pokok
Benih Sebar
- Label bir (BR)
- Label hijau
(BR1 dan
BR2)

Kadar
Air Maks
(%)
11
11

Benih
Murni
Min (%)
98
98

11

97

11

97

Kotoran
Benih Maks
(%)
2
2

Benih
Varietas Lain
Maks (%)
0.1
0.2

Daya
Tumbuh
Min (%)
80
80

3

0.5

80

3

0.7

70

Sumber : Litbang Deptan, 2007

Penyediaan Benih Kedelai Bermutu
Benih bermutu dihasilkan oleh produsen melalui prosedur produksi benih
yang berawal dari persiapan lahan yang menjamin bebas dari kontaminasi genetik,
penyediaan benih sumber yang dijamin mutunya (di lapangan dan pengujian

11

laboratorium),

sampai

dengan

pengolahan

benih

setelah

dipanen,

dan

penanganannya (handling) hingga di tangan konsumen (Sadjad 1994).
Lembaga atau perusahaan yang terlibat dalam pengadaan benih bermutu
harus mampu memproduksi benih tersebut dengan menggunakan teknik produksi,
penanganan (handling), dan pengendalian mutu yang dapat menjamin bahwa
benih yang dihasilkannya benar-benar lebih baik daripada benih yang dihasilkan
petani dan mendistribusikan benih tersebut hingga ke tingkat petani yang
membutuhkan sebelum waktu tanam (Mugnisjah & Setiawan 1990). Benih unggul
yang dihasilkan oleh industri benih jika tidak sampai ke petani maka benih itu
tidak tersedia dan petani akan mencari benih alternatif yang tersedia tanpa
menangguhkan penanamannya.
Wirawan & Wahyuni (2002) berpendapat bahwa permasalahan pengadaan
benih kedelai yang bermutu dan benar secara berkelanjutan disebabkan kurang
tertariknya para investor untuk memproduksi benih kedelai dengan alasan sebagai
berikut : (1) produktivitas tanaman kedelai masih rendah sehingga secara
usahatani kurang menguntungkan, (2) harga kedelai konsumsi nasional rendah
sehingga petani kurang tertarik mengusahakannya, (3) masa edar (waktu
pemasaran) benih kedelai sangat singkat karena daya simpannya yang sangat
singkat, dan (4) harga kedelai impor yang lebih murah dari harga kedelai lokal
semakin mengecilkan minat petani untuk menanam kedelai dan penangkar benih
kedelai juga kurang berminat. Dengan demikian maka diperlukan strategi untuk
mengatasi masalah tersebut.
Sebelum benih kedelai varietas unggul dilepas dan disebarkan ke
konsumen, benih kedelai yang diproduksi tersebut harus melalui tahapan
sertifikasi benih yaitu untuk menguji viabilitas dan vigor benih seperti :
(1) benihnya matang dan kering dengan kadar air maksimum 11%, (2) daya
berkecambahnya lebih dari 80%, (3) murni, yaitu tidak tercampur varietas lain
atau bila tercampur varietas lain tidak melampaui batas toleransi, maksimum 3%,
(4) asli yang mencerminkan sifat unggul varietas, (5) mempunyai vigor yang
cukup baik sehingga mampu tumbuh serempak, (6) bersih, yaitu tidak tercampur
biji rerumputan/gulma, biji tanaman kacang-kacangan, atau biji tanaman lain,
(7) sehat, tidak ada bibit virus dan tidak terinfeksi cendawan, dan (8) bernas, tidak

12

keriput, mulus, dan tidak ada bekas gigitan hama serangga (Wirawan & Wahyuni
2002).

Sistem Perbenihan
Sistem perbenihan dapat diartikan sebagai peraturan yang harus diikuti
dan program yang harus dilaksanakan untuk mencapai produksi dan distribusi
benih dengan kualitas dan kuantitas yang direncanakan (Douglas 1980). Dalam
sistem perbenihan tercakup peran semua subsistem, seperti pemuliaan tanaman,
perusahaan benih (BUMN atau swasta), pengawas mutu (BPSB), penangkar benih
sebar, pengelolaan benih, dan pemasaran benih. Douglas (1980) membagi
perkembangan sistem perbenihan menjadi empat tahap, yaitu :
Tahap I

: Petani masih menggunakan benih sendiri, varietas lokal, dan mutu
benih tidak terjamin serta cara budidayanya yang tradisional

Tahap II

: Beberapa petani menggunakan benih bermutu, mulai terdapat
pengusaha

benih secara komersial, varietas unggul mulai

menggantikan varietas lokal
Tahap III :

Beberapa komponen sistem perbenihan telah dilaksanakan,
penyediaan benih bermutu hampir cukup, varietas unggul dengan
cepat mengganti varietas lokal, tetapi petani belum semuanya
menggunakan benih bermutu. Tingkat penggantian benih per musim
tanam atau seed replacement rate berkisar antara 30-60%, sedang
sisanya masih dipenuhi oleh benih yang diperoleh dari hasil panen
petani sendiri (saved seeds).

Tahap IV : Pada tahap ini sistem perbenihan sudah sangat maju dan berjalan
lancar. Peraturan perbenihan telah dijalankan, kebijakan dalam
perbenihan jelas dan umumnya mendukung perkembangan produksi
dan pemasaran benih secara komersial. Pada tahap ini usahatani
bersifat komersial penuh, budidaya menerapkan teknik maju yang
baku, dan terdapat deferensiasi fungsi komponen usahatani.
Hubungan antara tahap perkembangan perbenihan dengan tingkat
usahatani adalah bersifat timbal balik, bukan yang satu menentukan yang lain.
Berdasarkan tahapan tersebut, menurut Sumarno (1998) bahwa sistem perbenihan

13

kedelai di Indonesia baru mencapai tahap II, dan pada saat ini sistem perbenihan
kedelai nampaknya sudah mengarah ke tahap III.
Penyebab lambatnya perkembangan benih kedelai, antara lain :
(1) usahatani kedelai bersifat sampingan, bukan utama sehingga petani belum
memikirkan penggunaan benih bermutu sebagai komponen utama, (2) usahatani
pada setiap petani skalanya sempit, tersebar dalam areal yang terpencar, musim
tanam terbagi dan tidak serempak sehingga tidak kondusif untuk pasar industri
benih kedelai, (3) musim tanam kedelai, utamanya MH I (awal musim hujan)
berbarengan dengan musim paceklik, petani tidak memiliki modal untuk membeli
benih kedelai, sehingga lebih suka menggunakan benih sendiri, (4) benih kedelai
yang diproduksi oleh pengusaha benih formal dinilai mahal oleh petani, dan
(5) jaminan mutu benih bersertifikat dalam hal daya tumbuh, vigor, kemurnian,
dan kesehatan benih belum dapat meyakinkan petani.
Upaya untuk mengatasi masalah lambatnya perkembangan benih kedelai,
pada prinsipnya adalah penumbuhan usaha perbenihan yang disesuaikan dengan
perkembangan usahatani kedelai. Strategi yang dapat ditempuh adalah sebagai
berikut : (1) mendorong terbentuknya penangkar benih informal di sentra produksi
kedelai, (2) memberdayakan kelompok tani di sentra produksi kedelai melalui
pelatihan, magang, dan sekolah lapang teknis produksi kedelai, (3) mendorong
salah satu anggota kelompok tani di sentra produksi kedelai menjadi penangkar
benih, pada tahap awal menyediakan benih untuk kelompoknya, selanjutnya
berkembang untuk petani lain di wilayahnya, (4) membimbing penangkar benih
informal untuk menjadi perusahaan benih formal skala kecil, berbasis modal
anggota kelompok atau koperasi, (5) menjadikan perusahaan benih formal kecil di
sentra produksi kedelai sebagai kekuatan sistem perbenihan kedelai nasional,
(6) membentuk Asosiasi Perusahaan Benih dan mengusahakan kemitraan antara
perusahaan benih berskala kecil dengan berskala besar seperti PT Sang Hyang
Seri, PT Pertani, PT Pioneer, dan sebagainya, serta (7) menjadikan usaha
perbenihan sebagai bagian integral dari agribisnis di pedesaan.
Tahapan perkembangan sistem perbenihan sudah mencapai tahap III,
pengadaan benih kedelai yang dekat dengan petani dan memenuhi persyaratan
enam tepat akan dapat dicapai (Sumarno 1998).

14

Kebijakan Perbenihan
Legislasi pengembangan perbenihan tidak terlepas dari UU No. 12 tahun
1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan PP No. 44 tahun 1995 tentang
Perbenihan Tanaman. UU dan PP tersebut merupakan tonggak arahan yang oleh
semua industri benih harus diacu (Sadjad 1997). UU dan PP tersebut bersifat
mendorong produsen dan melindungi konsumen. Perlindungan ini diwujudkan
bagi para konsumen benih berupa persyaratan mutu benih yang harus dipenuhi
oleh industri benih. Pelanggaran karena kelalaian apalagi kesengajaan dalam
mengedarkan benih yang mutunya tidak sesuai dengan label dapat dipidana
dengan ancaman hukuman penjara dan atau denda yang cukup berat. Berdasarkan
UU dan PP tersebut benih seharusnya merupakan komoditas yang bernilai tinggi
mengingat sanksi hukum atas pelanggarannya yang cukup berat. UU tersebut juga
memberi perlindungan pada produsen benih yang benar.
UU No. 12 tahun 1992 terdapat pasal-pasal yang bersifat melindungi
misalnya pasal 8 yang berbunyi : “Perolehan benih bermutu untuk pengembangan
budidaya tanaman dilakukan melalui kegiatan penemuan varietas unggul dan/atau
introduksi dari luar negeri“. Menurut Sadjad (1997), bahwa dengan adanya pasal
8 tersebut maka yang dikatakan sebagai produsen benih bermutu adalah produsen
yang menghasilkan benih melalui penemuan varietas unggul atau introduksi dari
luar negeri dan konsumen benih hanya akan mendapatkan benih yang bermutu.
Pasal ini merupakan perlindungan terhadap produsen dan konsumen benih. Pada
pasal 9 ayat 1 ada patokan untuk penemuan varietas unggul yang harus dilakukan
melalui kegiatan pemuliaan tanaman. Pasal ini berbunyi :
“Penemuan varietas unggul dilakukan melalui pemuliaan tanaman”. Perundangan
ini secara spesifik lebih membatasi pengertian benih bermutu yang lebih
menekankan pada batasan mutu genetik. Untuk itu pemerintah harus terus
menerus mendorong agar industri benih meningkatkan teknologinya sehingga
produksinya dapat digolongkan benih bermutu.
Perkembangan awal pembangunan kelembagaan perbenihan pada era Orde
Baru dimulai tahun 1971. Tahun tersebut pemerintah membuat berbagai
keputusan yang berkaitan langsung dengan pembangunan bidang perbenihan
seperti :

15

1. Pendirian Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi untuk bidang
penelitian dan pengembangan, khususnya yang berkaitan dengan penyediaan
varietas unggul dan benih sumber
2. Pendirian Perum Sang Hyang Seri untuk perbanyakan benih agar tersedia
bagi petani
3. Pembentukan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) untuk
mengawasi produksi dan pemasaran benih
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 27 tahun 1971, dibentuk

Badan

Benih Nasional (BBN), dan lima bulan kemudian yaitu pada bulan Oktober 1971
dikeluarkan Kepres No. 72 tahun 1971 tentang Pembinaan, Pengawasan
Pemasaran, dan Sertifikasi Benih.
Sistem pengadaan benih nasional didukung oleh kelembagaan perbenihan,
mulai dari penciptaan varietas, seleksi varietas sampai dengan perbanyakan dan
penyaluran benih. Keterlibatan pemerintah dalam sistem produksi benih adalah
mendukung petani dengan tidak sepenuhnya menyerahkan produksi benih pada
produsen benih swasta. Produksi Benih Penjenis dan Benih Dasar merupakan
tanggung jawab pemerintah.
Lembaga Perbenihan yang ada di daerah diklasifikasi dalam 3 level yang
berbeda yaitu Balai Benih Induk (BBI), Balai Benih Utama (BBU) dan Balai
Benih Pembantu (BBP).
a). BBI dibentuk berdasarkan SK Dirjen Tanaman Pangan No. SK.I.A5.82.6 yang
tugas utamanya adalah : i). Memperbanyak Benih Dasar dan Benih Pokok
dan; ii). Memberikan informasi, pelatihan dan melakukan pertemuan dengan
penyuluh pertanian, penangkar benih, petugas serta ahli benih.
b). BBU dan BBP tugasnya memproduksi Benih Pokok dan Benih Sebar. Benih
Pokok yang dihasilkan akan didistribusikan kepada penangkar benih untuk
diperbanyak menjadi Benih Sebar. Pada kondisi tertentu BBU hanya
memproduksi Benih Sebar.
c). Perusahaan Umum (Perum) Nasional Sang Hyang Seri. Upaya dalam rangka
menunjang program peningkatan produksi pangan, khususnya melalui
penyediaan dan penggunaan benih varietas unggul bermutu tinggi, maka
Pemerintah melalui PP No. 22 Tahun 1971 mendirikan Perum Sang Hyang

16

Seri, yang kemudian disempurnakan dengan PP No. 44 Tahun 1985. Upaya
untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha perbenihan pertanian,
Perum Sang Hyang Seri diubah statusnya menjadi perusahaan Perseroan
Terbatas (PT) berdasarkan PP No. 18 Tahun 1995.

Metode Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat (SWOT)
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan strategi kebijakan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara
bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).
Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan
misi, tujuan, strategi, dan kebijakan.
Analisis SWOT didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif
akan memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan
ancaman (Rangkuti 2002). Analisis ini bila diterapkan secara akurat, asumsi
sederhana ini mempunyai kekuatan yang sangat besar atas rancangan suatu
strategi yang berhasil. Penjabaran dari komponen analisis SWOT adalah sebagai
berikut :
Peluang adalah situasi penting yang menguntungkan dalam lingkungan
lembaga/sistem. Kecendrungan-kecendrungan penting merupakan salah satu
sumber peluang. Identifikasi sumber terbaik, perubahan pada situasi regulasi,
perubahan teknologi dan memberikan peluang bagi lembaga. Ancaman adalah
situasi penting yang tidak menguntungkan dalam lingkungan lembaga. Ancaman
merupakan pengganggu utama bagi keadaan sekarang dan keadaan yang
diinginkan di masa mendatang.
Kekuatan adalah sumberdaya, keterampilan, atau keunggulan-keunggulan
lain. Kekuatan dapat terkandung pada sumberdaya keuangan, citra, dan faktorfaktor lainnya. Kelemahan adalah keterbatasan atau kekurangan dalam
sumberdaya, keterampilan dan kapabilitas yang secara serius menghambat kinerja
efektif suatu organisasi.
Analisis SWOT dapat digunakan dengan berbagai cara untuk membantu
analisis strategis. Cara yang paling baik adalah memanfaatkannya sebagai

17

kerangka acuan logis yang memedomani perubahan sistematik tentang situasi
lembaga dan alternatif-alternatif pokok yang mungkin dipertimbangkan. Sebagai
hasilnya, analisis ini memberikan kerangka yang dinamik dan bermanfaat untuk
analisis strategik. Secara keseluruhan, analisis SWOT menunjukkan peran penting
dari identifikasi kekuatan dan kelemahan intern dalam pencarian strategi efektif
oleh pemegang keputusan. Pencocokan yang cermat antar kekuatan dan
kelemahan merupakan inti dari formulasi strategi yang tepat.
Lingkungan internal dan eksternal pada dasarnya terdapat 4 unsur yang
selalu dimiliki dan dihadapi yakni secara internal memiliki sejumlah kekuatan
(strengths) dan kelemahan (weaknesses), sedangkan secara eksternal akan
berhadapan dengan berbagai peluang (opportunities) dan ancaman (threats).
Fokus analisis berorientasi pada posisi masa depan. Menganalisis berbagai
kemungkinan yang dapat terjadi termasuk peluang ataupun ancaman dengan
melihat alasan-alasan terjadinya sesuatu permasalahan.
Rangkuti (2002) menyatakan bahwa analisis SWOT adalah identifikasi
berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan suatu strategi. Analisis ini
didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan
peluang (opportunities).

Secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan

(weaknesses) dan ancaman (threats).

Proses pengambilan keputusan strategi

selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan.
Empat strategi yang dihasilkan dari hasil analisis SWOT yaitu strategis
Strength-Opportunities (SO) bertujuan untuk menarik keuntungan dari peluang
yang tersedia dari lingkungan eksternal. Strategi Weaknesses-Opportunities (WO)
bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan memanfaatkan peluang
dari lingkungan

luar.

Strategi Strengths-Threats (ST)

bertujuan untuk

menghindari atau memperkecil dampak ancaman dari luar. Strategi WeaknessesThreats (WT) bertujuan untuk memperkecil kelemahan internal dan menghindari
ancaman eksternal.

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Provinsi Sulawesi Selatan, meliputi empat
kabupaten yaitu : Kabupaten Takalar, Bone, Soppeng, dan Wajo. Penentuan lokasi
penelitian tersebut dengan menggunakan metode purposive dengan pertimbangan
keempat lokasi tersebut merupakan daerah sentra pengembangan tanaman kedelai
di Sulawesi Selatan. Setiap kabupaten ditentukan lima kecamatan, dengan
pertimbangan bahwa produksi dari lima kecamatan dari setiap kabupaten relatif
lebih tinggi dan jumlah petani kedelai lebih banyak dibanding kecamatan lain.
Penelitian dilaksanakan pada bulan September-Desember 2010.

Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer terdiri dari data petani/penangkar yang diperoleh langsung
dari petani kedelai dan penangkar benih dengan menggunakan metode wawancara
langsung melalui pengisian daftar pertanyaan (kuesioner) (Lampiran 1 dan 2).
Data primer untuk analisis SWOT (untuk menentuka