samaria yang baik hati

  

Rancangan khotbah lukas 10:25-37

Oleh : Vik. I Wayan Benyamin Eddy Yulianto S.si - teol

Pendahuluan :

  Aku mengutus kamu seperti domba ditengah-tengah srigala (Matius 10 : 16) Domba selalu identik dengan watak kesantun, lemah lembut, cinta kasih, serta ketulusan. Penggambaran karakter domba ini menjadi fokus utama pada ayat minggu, mazmur dan bahan khotbah minggu ini. Karakter inilah yang Tuhan ingin ajarkan dalam matius 25 : 40.

  Pemazmur mengatakan, “mujurlah orang yang menaruh belas kasihan” disini rupanya berkat atau keberuntungan diidentifikasikan dengan kata “mujur”, lalu kemujuran atau keberuntungan selalu berpihak pada orang- orang yang memiliki belas kasihan.

  Karakteristik inilah yang kemudian digambarkan secara sempurna oleh Kristus melalui kisah “orang samaria yang baik hati”(Lukas 10 : 25 – 37)

  Analisa Teks :

  Frase yang ditekankan dalam pembacaan minggu ini ada pada kata; domba, mujur, belas kasihan dan sesama. Mengapa hal ini penting? Karena menuntun kita pada penjabaran makna dari kata domba yang mewakili sifat belas kasihan, kata “mujur” menandakan kemurahan Allah dan identitas dari kata “sesama” yaitu kedudukan manusia dimata Tuhan. Injil ini dialamatkan oleh penulis Lukas kepada seorang bernama Teofilus (Luk 1: 1-4), maka sasarannya yang utama kemungkinan adalah orang- orang Kristen berbudaya Yunani. Dari pengantar di awal Injilnya, maka tujuan penulisannya menjadi jelas yakni untuk menolong Teofilus dan orang percaya lainnya agar memperoleh pengertian yang lebih baik tentang iman Kris

  Exegese :

  Gambaran Yesus menurut Lukas merupakan gambaran yang paling manusia Kemanusiaan yang digambarkan dalam injil Lukas merupakan kemanusiaan yang berbeda sifatnya. Kemanusiaan ini kaitannya dengan orang-orang yang mengalami perjumpaan dengan Yesus. Injil Lukas yang mengungkapkan perspektif-perspektif kemanusiaan beberapa orang yang dipandang rendah pada saat itu. Sebagai contoh, kisah Orang Samaria yang baik hati. Lukas memberi tekanan pada pandangan Yesus yang memasukkan semua orang tanpa terkecuali dalam tujuan pelayananNya.

  Konsep pengajaran Yesus tentunya mengacu pada hukum kasih Yahudi yang dipahaminya sebagai seorang Yahudi. Namun tampaknya, Yesus telah mengembangkan pemahaman akan kasih menjadi lebih luas dan mendalam dibandingkan tradisi-tradisi keyahudian pada masa itu.

  Analisa Konteks :

  Pada masa Yesus hidup, keyahudian bertemu dengan berbagai macam budaya, Yunani dan Romawi (Hellenis). Sehingga sangatlah mungkin di waktu-waktu kemudian sebagian orang Yahudi tidak melihat kesatuan akan nilai-nilai yang mendalam pada Taurat dan hubungannya dengan Tuhan dan sesama, hal ini mengakibatkan suatu keterpisahan dan kehilangan makna akan Taurat yang sesungguhnya.

  Akibatnya, Taurat berubah sifatnya menjadi adat istiadat yang mati, yang esensinya menjadi politis, hukum-hukum Allah menjadi formalitas beragama yang bersifat ritualistis, dan mementingkan ego dari masing- masing pelaksana hukum tersebut.

  Sebagai contoh yaitu penafsiran hukum kasih yang dalam Imamat 19 : 18 diterapkan dengan tujuan-tujuan politis tertentu. Pada kalimat : “orang- orang sebangsamu” apabila dilihat dari bahasa Ibrani dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, dapat berarti berarti putra-putra dari kalian sendiri, putra-putra dari bangsamu. bertolak dari inilah para ahli taurat membenarkan diri dengan menanyakan kepada Yesus “siapakah sesamaku manusia?” (Lukas 10 : 29)

  

rnyataan “sesama manusia” yang dimaksudkan dalam hukum ini

  adalah pertama-tama anggota-anggota dari persekutuan Israel, termasuk orang asing yang hidup di tengah-tengah umat Israel, namun kemudian semakin dipersempit sehingga menjadi orang-orang Israel dan proselit- proseli Proselit yang dimaksud pada konteks ini adalah orang-orang dari bangsa lain yang mengambil bagian dalam peribadahan bangsa Yahudi, meski demikian, mereka tetap dianggap berbeda asal dan keturunan. Jelas tersurat bahwa, hukum mengasihi Allah dan sesama versi bangsa Yahudi mengikat dalam lingkup-lingkup yang sangat sempit dan etnosentris (Etnosentrisme: sikap yang menganggap cara hidup bangsanya merupakan cara hidup yang paling baik). Namun, Yahudi pada masa Yesus berkarya adalah Yahudi yang terjajah, bertemu dengan banyak bangsa dan budaya. Keadaan seperti ini mengharuskan para penafsir Taurat memikirkan rumusan interpretasi yang lebih mendalam dan kontekstual mengenai kasih kepada sesama, penfsiran baru ini idealnya tetap mampu untuk menghadirkan kerajaan yang diperintah oleh Tuhan. Hal inilah yang sedang di usahakan oleh Yesus pada masa itu, yakni “hadirnya Kerajaan Allah yang bebas dari kepentingan-kepentingan politis”.

  Renungan :

  Kisah mengenai orang Samaria yang baik hati ini menjadi titik pandang yang lebih luas untuk menjawab pertanyaan kepada siapa orang-orang Yahudi harus mengasihi dan mengampuni. Orang Samaria adalah orang di luar suku Yahudi yang berbelas kasih terhadap orang yang bukan bersuku Samaria namun sedang mengalami kesulitan di hari Sabat. Perumpamaan ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa orang asing sekalipun termasuk dalam pengertian sesama yang harus dikasihi, ditolong dan diperhatikan.

  Yesus memperluas cakupan kasih kepada sesama yang dipahami secara sempit oleh bangsa Yahudi pada saat itu. Yesus sendiri mengakui peraturan-peraturan hukum Taurat, namun Ia memberikan penafsiran baru yang lebih kritis akan fungsi TauraHukum-hukum yang dibentuk oleh kaum Farisi hanya menghilangkan makna Taurat yang sesungguhnya. Yesus menjadikan kehendak Allah lebih utama daripada adat-istiadat yang menghalangi hadirnya Kerajaan Allah yang penuh kasih.

  Pertanyaan ahli Taurat tentang “siapakah sesamaku” (Lukas 10: 25-37), sangat penting kita pikirkan, jangan-jangan kita tidak mengerti siapa sesama kita. Bisa saja sesama kita hanyalah orang yang bisa terbuka dengan kita, mau mengenal kita. Atau mereka yang kita perlakukan sebagai subjek dan memperlakukan kita sebagai subjek sehingga tidak ada yang memperalat dan diperalat.

  Tidak mudah untuk bisa menempatkan orang di sekitar kita menjadi sesama. Perlu suatu kematangan, kejujuran, supaya kita bisa menghargai orang di sekitar kita. Ketika Tuhan mengatakan: “Cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri”, maknanya amat dalam, mengagumkan, terlebih jika kita lihat dari apa yang kita pahami tentang relasi tadi. Gereja bisa dengan mudah mengatakannya. Pendeta mudah mengkhotbahkannya, tetapi sulit melakukannya. Kita sering memperlakukan orang lain sebagai orang yang kita tidak kenal. Kita sering menjadikan mereka sebagi objek untuk mencari informasi memuaskan perasan kita. Tetapi mampukah kita menghargai orang-orang di sekitar kita, yang kita berikan derajat yang sama dengan diri kita: subjek dan subjek, sehingga kita bisa menghargai dia sebagai orang yang sama dengan kita? Siapakah sesama kita? Ijinkan saya memberikan tiga hal: Pertama, sesamaku adalah dia yang sama-sama denganku sebagai subjek. Posisi saya dan dia sama. Meski dia kaya dan saya miskin tidak jadi masalah. Pendeta dan jemaat, sama. Tidak berarti karena perbedaan jabatan atau posisi membuat relasi menjadi atas-bawah. Kedua, sesamaku adalah dia yang kuyakini sesuai dengan gambar dan rupa Allah (imagodei). Allah menciptakan saya menurut gambar dan rupa-Nya, maka orang di sekitarku pasti juga diciptakan Allah menurut gambar dan rupa-Nya. Kalau memang kita menganggap seluruh manusia adalah gambar dan rupa Allah, maka kita harus memperlakukan mereka sebagai sesama subjek. Yang ketiga, sesamaku itu adalah dia yang kukasihi, seperti aku sebagai subjek dan dia subjek, maka saya akan coba merasakan di dalam hidup saya kalau saya melakukan sesuatu bagi dia. Berapa banyak orang merugikan orang lain, menindas orang lain untuk posisi-nya. Berapa orang berkompetisi dengan cara yang tidak etis. Kita menjadi egois, tidak lagi sempat memikirkan orang lain apalagi menyamakan dirinya seperti diri kita sendiri.

  Penutup :

  Dunia ini akan tenteram aman nyaman lepas dari segala pergolakan dan pertikaian yang menghancurkan persatuan manusia kalau manusia bisa menghargai manusia yang lain sebagai sesamanya, dan kekristenan telah memberikan sumbangsih. Kiranya setiap orang Kristen yang punya anugerah, berkat, warisan firman Allah yang menyatakan: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, bisa mewujudnyatakannya di dunia ini, khususnya kita di Indonesia ini. Di tengah kerusuhan dan kekacauan kita bisa menunjukkan hal itu.