Kajian Lingkungan Bentik Perairan Pesisir Paiton, Provinsi Jawa Timur

KAJIAN LINGKUNGAN BENTIK PERAIRAN PESISIR
PAITON, PROVINSI JAWA TIMUR

MURSALIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Kajian Lingkungan
Bentik Perairan Pesisir Paiton, Provinsi Jawa Timur adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013

Mursalin
NRP P052090271

RINGKASAN
MURSALIN. Kajian Lingkungan Bentik Perairan Pesisir Paiton, Provinsi Jawa
Timur. Dibimbing oleh ETTY RIANI dan YUSLI WARDIATNO
Kawasan pesisir Kecamatan Paiton yang terletak di Kabupaten Probolinggo,
Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu daerah pesisir dengan aktivitas
manusia yang cukup tinggi dan merupakan lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU) berkapasitas terbesar di Indonesia. Komplek PLTU Paiton saat ini terdiri
atas delapan unit pembangkit dengan kapasitas total sebesar 4600 Megawatt
dengan bahan bakar operasional PLTU berasal dari batu bara. Salah satu
komponen lingkungan pesisir yang dapat terkena pengaruh dari adanya
operasional PLTU Paiton adalah lingkungan bentik, berupa sedimen dasar
perairan dan organisme bentos yang hidup pada sedimen tersebut. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menilai tekanan ekologis dari kegiatan penanganan
batu bara di area komplek PLTU Paiton terhadap struktur komunitas

makrozoobentos dan menentukan status kondisi lingkungan bentik berdasarkan
kondisi sedimen dasar perairan dan struktur komunitas makrozoobentos.
Penelitian berlokasi di wilayah pesisir yang diperkirakan terkena pengaruh
kegiatan operasional PLTU (10 stasiun pengamatan, yaitu 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10,
11, 12) dan wilayah yang diperkirakan tidak terkena pengaruh sebagai
pembanding/titik kontrol sebanyak 3 stasiun pengamatan yaitu stasiun 1,3,5. Data
dianalisis dengan 1) metode keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks
dominansinya, 2) analisis ukuran butir sedimen (pasir, debu, dan liat) serta
analisis kandungan logam berat (Hg, As, Cr, Se, Mn, Cu, Cr, Fe, Pb, dan Zn), 3)
analisis indeks similaritas, 4) analisis uji-T, 5) AZTI Marine Biotic Index
(AMBI), dan 6) analisis multivariat M-AMBI.
Berdasarkan hasil analisis keanekaragaman makrozoobentos, didapat 77
jenis taksa dengan kepadatan berkisar antara 250-1453 ind/m2. Makrozoobentos
yang ditemukan terdiri atas 12 kelas yakni Polychaeta, Nemertina, Sipuncula,
Crustaceae, Echinodermata, Coelenterata, Brachiopoda, Cephalochordata,
Pelecypoda, Urochordata, Turbelaria, dan Gastropoda. Indeks keseragaman pada
seluruh stasiun mendekati nilai 1, hal ini menunjukkan suatu komunitas
makrozoobentos yang relatif mantap, sementara itu berdasarkan hasil perhitungan
indeks dominansi menunjukkan tidak ada jenis yang secara ekstrim mendominasi
jenis lainnya di seluruh lokasi kajian. Berdasarkan hasil perhitungan uji

similaritas, kepadatan makrozoobentos terbagi menjadi 6 kelompok. Stasiun 1 dan
13 yang merupakan lokasi kontrol (diperkirakan tidak terpengaruh oleh aktivitas
operasional PLTU Paiton) membentuk kelompok tersendiri
Hasil analisis ukuran butiran sedimen menunjukkan bahwa komposisi
sedimen di lokasi penelitian didominasi oleh fraksi pasir dan debu. Berdasarkan
hasil uji indeks similaritas fraksi sedimen, diketahui bahwa lokasi penelitan
mengelompok menjadi tiga kelompok besar. Kelompok satu terdiri dari stasiun 1,
2, 3, 4, 5, 7, 12, dan 13, kelompok dua tediri dari stasiun 6, 8, 10,dan 11,
sementara stasiun 9 merupakan satu kelompok tersendiri. Dominasi fraksi debu
sebesar 77.64% merupakan penyebab stasiun 9 merupakan satu kelompok
tersendiri. Kondisi ini diperkirakan terjadi karena adanya transport sedimen akibat
pola arus dan aktivitas di lokasi tersebut yang merupakan dermaga bongkar muat

kapal pengangkut batu bara. Hasil analisis kandungan logam berat dalam sedimen
menunjukkan pada stasiun di dekat jetty dan perairan di depan saluran buangan air
pendingin memiliki kandungan logam raksa (Hg) yang dapat memberikan
pengaruh biologis terhadap organisme laut.
Berdasarkan perhitungan AMBI, kondisi lingkungan bentik perairan pesisir
Paiton yang termasuk dalam wilayah kajian seluruhnya dikategorikan sedikit
terganggu. Perhitungan selanjutnya untuk mengetahui status ekologis perairan

pesisir Paiton menggunakan analisis multivariat M-AMBI menunjukkan kategori
yang lebih beragam apabila dibandingkan dengan kategori tingkat gangguan.
Status ekologis perairan pesisir Paiton hasil perhitungan M-AMBI memiliki
kategori ekosistem perairan pesisir yang sedang hingga tinggi. Beragamnya
kategori status ekologis lingkungan perairan pesisir Paiton bila dibandingkan
dengan kategori tingkat gangguan dikarenakan pada perhitungan M-AMBI untuk
menilai status ekologis turut menggunakan indeks keragaman, indeks dominansi,
dan nilai AMBI. Hasil perhitungan uji-T terhadap data sekunder kepadatan bentos
menunjukkan terdapat perbedaan nyata antara daerah kontrol dan daerah yang
terkena pengaruh kegiatan operasi PLTU Paiton. Namun pada periode yang sama,
perbandingan jumlah taksa antara daerah kontrol dan daerah terpengaruh tidak
berbeda nyata. Hal ini juga ditunjukkan dari grafik kepadatan makrozoobentos
dan jumlah taksa selama periode Februari 2009 hingga Mei 2013.

Kata kunci: pesisir paiton, sedimen, makrozoobentos, AMBI, M-AMBI

SUMMARY
MURSALIN. Environmental Assessment of Paiton Coastal Benthic, East Java
Province. Supervised by ETTY RIANI and YUSLI WARDIATNO
Coastal areas of Paiton District located in Probolinggo, East Java Province

is one of the coastal areas with high human activity and is the location of the
largest capacity Power Plant in Indonesia. Paiton Power Plant complex currently
consists of eight generating units with 4600 MW total capacity and fuel derived
from coal for operations. One of coastal environment component can be affected
by the Paiton Power Plant operations are benthic environment, that is sediment
and benthos. The purpose of this study was to assess the ecological pressure from
coal handling activities in the area of Paiton Power Plant complex to the
macrozoobenthos community structure and determine the status of benthic
environment based on sediment condition and macrozoobenthos community
structure.
Research are located in coastal areas affected by the power plant operations
(10 observation stations, namely 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12) and the area
unaffected as a reference/control point (3 station observations, namely 1,3,5).
Data were analyzed by 1) diversity index, uniformity index, and dominance index
, 2) sediment grain size (sand, dust, and clay) and heavy metals
(Hg,As,Cr,Se,Mn,Cu, Cr,Fe,Pb, and Zn), 3) similarity index, 4) T-test, 5) AZTI
Marine Biotic Index (AMBI), and 6) multivariate analysis M-AMBI.
Based on macrozoobenthos diversity index analysis, obtained 77 types of
taxa with densities ranging from 250-1453 ind/m2 . Makrozoobenthos were found
consist of 12 classes namely Polychaeta, Nemertina, Sipuncula, Crustaceae,

Echinodermata, Coelenterata, Brachiopods, Cephalochordates, Pelecypoda,
Urochordata, Turbelaria, and Gastropods. Uniformity index values at all stations
close to 1, it indicates a relatively stable macrozoobenthos community.
Dominance index calculation showed no extreme types that dominate other
species throughout the study site. Based on the calculation of similarity analysis,
the density of makrozoobenthos divided into 6 groups. Stations 1 and 13, which is
location control (unaffected by operational activities of Paiton) formed a separate
group.
The result on sediment grain size analysis shown that the sediment
composition at research locations is dominated by sand and dust fractions. Based
on sediment fraction similarity index, is known that the research locations
clustered into 3 major groups. Group 1 consisted of station 1, 2, 3, 4, 5, 7, 12, and
13, group 2 consists of stations 6, 8, 10, and 11, while station 9 is a separate
group (this is caused by dust fraction dominance up to 77.64%). This condition is
predicted to occur because of the sediment transport from flow pattern and dock
activity, which is a coal unloading dock. Analysis results of heavy metals in the
sediments, showed the station near the jetty and the body water in front of the
cooling water discharge channel has a metal content of mercury (Hg), which can
provide biological influences on marine organisms.
Based on the AMBI calculation, benthic environmental conditions of

Paiton coastal are included in the whole research area were categorized slightly
distorted. Further calculations to determine the ecological status of Paiton coastal
using multivariate analysis M-AMBI, showed a more diverse categories when

compared with the level of disturbance category. Ecological status of Paiton
coastal from M-AMBI calculation has moderate to high ecological category. The
diversity of ecological status category of Paiton coastal, because of M-AMBI
calculation also using diversity index, dominance index, and the value of AMBI.
T-test results of the density calculation of benthic secondary data showed that
there was significant difference between control areas and areas affected by Paiton
Power Plant operations. But in the same period, the ratio of taxa between control
areas and areas affected were not significantly different. It is also shown from the
graph of macrozoobenthos density and number of taxa during the period February
2009 to May 2013
Keywords: paiton coastal, sediment, macrozoobenthos, AMBI, M-AMBI

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN LINGKUNGAN BENTIK PERAIRAN PESISIR
PAITON, PROVINSI JAWA TIMUR

MURSALIN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

Penguji Luar Komisi pada ujian Tesis : Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc

Judul Tesis

: Kajian Lingkungan Bentik Perairan Pesisir Paiton, Provinsi
Jawa Timur

Nama

: Mursalin

NRP

: P052090271
Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Etty Riani, MS

Ketua

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc
Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof.Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 29 Juli 2013

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena atas
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “Kajian
Lingkungan Bentik Perairan Pesisir Paiton”. Penelitian ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
memberikan dukungan, bantuan serta bimbingan, diantaranya:
1. Dr. Ir. Etty Riani, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Yusli Wardiatno,
M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan pengarahan,
pengawasan, dan bimbingan yang sangat berarti.
2. Manajemen serta seluruh staf Bagian dan Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan
Perairan (ProLing), Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah
memberikan kesempatan, dukungan, dan bantuan kepada penulis untuk melanjutkan
studi.
3. Staf pengajar dan staf penunjang Departemen MSP-FPIK IPB atas dukungan dan
bantuan selama penulis menyelesaikan studi.
4. Bapak Jaswadi dari PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) UP Paiton dan staf atas
bantuan selama melakukan pengambilan data primer.
5. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur atas
bantuan dalam pengumpulan data sekunder.
6. Orang tua tercinta, H. Muhammad Amin dan Hj. Ratna Dewi atas segala do’a yang
tiada henti serta dukungan baik moril maupun materiil yang selalu diberikan.
7. Pa’Cik H. Yas Faisal dan Ma’Cik Hj. Ainul Mardhiah atas do’a dan bantuan yang
diberikan, serta seluruh keluarga besar alm. H. Sulaiman Djalil dan alm H.
Muhammad Ali.
8. Retno Anggraeni yang selalu memberikan semangat dan bantuan kepada penulis.
Rekan-rekan program Magister dan Doktor PSL IPB angkatan 2009, keluarga besar
Pondok Girma, rekan-rekan ex Komplek IPB II Blok C-2, dan rekan-rekan Ikatan
Keluarga Mahasiswa Pascasarjana asal Aceh (IKAMAPA) atas kebersamaannya
selama ini. Dede Wulandari dan Reza Zulmi atas bantuannya
9. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi dan penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013
Mursalin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

x

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
3
3
4

2 TINJAUAN PUSTAKA

6

3 METODE
Bahan
Alat
Prosedur Analisis Data

12
12
13
13

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Hidrooseanografi Daerah Pesisir Paiton
Potensi Perikanan
Komplek PLTU Paiton
Kualitas Air Laut

18
19
19
19
20

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Sedimen Dasar Perairan
Struktur Komunitas Makrozoobentos
Status Kondisi Lingkungan Bentik Perairan Pesisir Paiton
Analisis Isi Kebijakan

23
23
25
27
31

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

33
33
33

DAFTAR PUSTAKA

34

LAMPIRAN

37

RIWAYAT HIDUP

60

DAFTAR TABEL
1. Klasifikasi tipe sedimen berdasarkan skala Wentworth
2. Parameter analisis logam berat dalam sedimen
3. Kategori tingkat gangguan dan status ekologis berdasarkan nilai AMBI dan
M-AMBI
4. Informasi unit pembangkit di area komplek PLTU Paiton
5. Kualitas perairan laut Pesisir Paiton periode 1996-2012
6. Kandungan logam dalam sedimen di lokasi penelitian
7. Struktur komunitas makrozoobentos hasil pengambilan data primer
8. Komposisi group ekologsi makrozoobentos yang ditemukan
9. Tingkat gangguan dan status ekologis perairan Pesisir Paiton
10. Sumber data sekunder makrozoobentos

11
15
17
20
21
24
26
28
29
30

DAFTAR GAMBAR
1. Ruang lingkup penelitian
2. Contoh skema pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara
3. Karakteritstik kandungan karbon dan kelembaban serta persentase penggunaan
dari masing-masing jenis batu bara
4. Lokasi penelitian dan titik pengambilan data primer
5. Lokasi Pesisir Paiton di Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur
6. Histogram persentase fraksi sedimen pada setiap stasiun pengamatan
7. Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan ukuran butir sedimen
8. Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan kepadatan makrozoobentos
9. Perbandingan kepadatan makrozoobentos (ind/m2) pada area kontrol dan area
terpengaruh di wilayah kajian selama periode tahun 2009-2013
10. Perbandingan jumlah taksa makrozoobentos pada area kontrol dan area
terpengaruh di wilayah kajian selama periode tahun 2009-2013

5
7
9
12
18
23
24
27
30
31

DAFTAR LAMPIRAN
1 Foto lokasi sampling beserta kondisi sedimen sebelum dan sesudah
penyaringan
2 Hasil identifikasi makrozoobentos
3 Hasil analisis logam dalam sedimen
4 Hasil analisis tekstur sedimen
5 Acuan kandungan logam dalam sedimen
6 Foto makrozoobentos (berdasarkan urutan ecological group)
7 Hasil perhitungan AMBI dan M-AMBI
8 Data sekunder kepadatan makrozoobentos (ind/m2) periode Februari 2009-May
2012
9 Data sekunder jumlah taksa makrozoobentos periode Februari 2009-May 2012
10 Hasil uji-t

37
41
47
50
51
53
59
61
62
63

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daerah pesisir ditinjau dari kajian ekologis merupakan ekosistem yang unik
karena merupakan lokasi percampuran air tawar dari sungai dan air yang memiliki
kadar garam (salinitas) dari laut. Pertemuan dua ekosistem perairan ini
menjadikan perairan pesisir sebagai ekosistem dengan produktivitas yang tinggi
karena masukan nutrien berasal dari darat maupun laut. Perairan pesisir juga
memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi karena ditunjang dengan rentang
salinitas yang cukup lebar sehingga menjadikan daerah ini dapat dijadikan tempat
tinggal dari beragam biota, baik yang mampu hidup pada rentang perubahan
salinitas yang lebar (euryhaline) maupun yang hanya dapat bertahan hidup pada
kisaran perubahan salinitas sempit (stenohaline).
Definisi wilayah pesisir menurut Undang-Undang No 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah daerah
peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di
darat dan laut. Perubahan kondisi fisik-kimia-biologi perairan pesisir yang terletak
di pulau besar yang berpenghuni pada umumnya lebih banyak dipengaruhi oleh
aktivitas manusia di darat, sedangkan pengaruh dari laut berupa dinamika
komponen hidroseanografi harian seperti pola arus dan pasang-surut permukaan
air laut lebih banyak berdampak terhadap kondisi fisiografis daerah pesisir seperti
fenomena abrasi dan akresi. Perubahan kondisi lingkungan perairan pesisir dari
darat disebabkan karena wilayah pesisir pada umumnya merupakan muara atau
daerah hilir dari suatu sungai sehingga material organik dan komponen lain yang
terbawa dalam aliran sungai akan berkumpul di daerah pesisir. Selain pengaruh
dari material organik dan komponen lain yang terkandung dalam aliran sungai,
aktivitas manusia di sepanjang perairan pesisir juga dapat mempengaruhi kondisi
lingkungan perairan pesisir. Beragam aktivitas manusia dapat dilakukan atau
hanya mungkin dilakukan di daerah pesisir
Kawasan pesisir Kecamatan Paiton yang terletak di Kabupaten Probolinggo,
Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu daerah perairan pesisir dengan
aktivitas manusia yang cukup tinggi. Kegiatan masyarakat mulai dari kegiatan
perikanan baik budidaya maupun perikanan tangkap, industri, hingga pembangkit
tenaga listrik terdapat di pesisir Paiton. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
memiliki alasan tersendiri untuk dibangun di daerah pesisir dikarenakan
pembangkit listrik tersebut membutuhkan air dalam jumlah yang banyak untuk
kegiatan operasionalnya. Sumber air baku yang dibutuhkan dapat berupa air
tawar yang berasal dari sungai maupun air laut yang diolah menjadi air tawar
untuk kemudian dimanfaatkan pada proses produksi listrik. Komplek PLTU
Paiton merupakan kegiatan skala besar di Pesisir Pantai Paiton yang terdiri dari
delapan unit pembangkit dengan kapasitas total sekitar 4600 Megawatt (tahun
2012). Komplek pembangkit ini merupakan objek vital nasional karena berperan
penting dalam menjaga pasokan listrik di Pulau Jawa dan Bali. Mekanisme
produksi listrik di komplek PLTU Paiton sama seperti PLTU berbahan bakar batu
bara pada umumnya, yakni dihasilkan dari pemanasan air pada boiler hingga
menjadi tenaga uap untuk menggerakkan turbin dan generator sehingga

2
menghasilkan gaya elektromagnetik yang kemudian diubah menjadi listrik. Bahan
bakar pada proses produksi di seluruh unit pembangkit pada komplek PLTU
Paiton menggunakan batu bara yang berasal dari tambang di Pulau Kalimantan.
Aktivitas operasional PLTU yang menggunakan bahan bakar batu bara
dapat memberikan pengaruh terhadap komponen fisika-kimia-biologi lingkungan
yang bersumber mulai dari kegiatan penanganan batu bara sebelum digunakan
pada kegiatan pembangkitan, emisi gas dan asap dari kegiatan pembakaran pada
boiler, sisa abu pembakaran batu bara, serta limbah cair. Teknologi yang dapat
digunakan untuk meminimalkan pengaruh negatif terhadap kondisi lingkungan
akibat kegiatan operasional PLTU berbahan bakar batu bara saat ini telah tersedia.
Dampak terhadap kualitas udara dari sumber emisi gas dan asap dapat
ditanggulangi dengan menggunakan Flue Gas Desulphurization (FGD) yang
dapat mengurangi kadar belerang/sulfur serta Electrostatic Precipitator (ESP)
untuk mengurangi partikel debu yang keluar dari cerobong. Pembakaran batu bara
akan mengasilkan abu terbang (fly ash) dan abu tinggal (bottom ash), kedua
limbah tersebut tergolong sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Penanganan limbah abu tersebut umumnya dilakukan dengan menggunakan
metode penimbunan/landfill, namun saat ini setelah melalui berbagai kajian juga
dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk kegiatan lainnya seperti bahan baku
dan bahan bakar campuran pada industri semen. Limbah cair yang dihasilkan
kegiatan PLTU diantaranya berasal dari air hasil desalinasi, air sisa pendinginan
dari cooling tower dan air limpasan dari tempat penampungan (stockpile) batu
bara. Proses desalinasi yang merubah air laut menjadi air tawar akan
menghasilkan air yang memiliki salinitas tinggi, sementara air sisa pendinginan
boiler akan menghasilkan air yang bersuhu tinggi atau air bahang. Selain kedua
jenis limbah cair tersebut terdapat pula limbah cair yang mengandung bahan
organik maupun anorganik yang berasal dari limpasan stockpile batu bara.
Teknologi untuk menanggulangi pengaruh dari limbah cair yang dihasilkan oleh
PLTU berbahan bakar batu bara juga telah tersedia. Teknologi tersebut dapat
berupa saluran/kanal air untuk mencampur air sisa dari cooling tower maupun dari
sisa proses desalinasi yang bertujuan untuk menurunkan temperatur dan salinitas,
serta Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) atau Wastewater Treatment Plant
(WWTP) untuk menurunkan kadar bahan organik dan anorganik dalam air limbah
sebelum dibuang ke badan air penerima.
Berdasarkan jenis kegiatan pada tahap operasional PLTU, pengaruh
kegiatan seperti penanganan batu bara (coal handling) sebelum digunakan pada
proses pembakaran terhadap komponen lingkungan bentik perairan pesisir belum
banyak dikaji. Kegiatan penanganan batu bara dimulai dari kegiatan transportasi
batu bara dari tambang batu bara di Pulau Kalimantan dengan menggunakan moda
transportasi laut berupa tongkang/barge dan kapal laut dengan daya angkut yang
besar, kegiatan pembongkaran (unloading) batu bara pada dermaga, hingga
penimbunan batu bara pada lapangan penumpukan (stockpile). Pengaruh terhadap
komponen lingkungan bentik perairan dari kegiatan penanganan batu bara dapat
bersumber dari ceceran batu bara pada saat proses pemindahan batu bara dari
tongkang atau kapal ke tempat penampungan dan dari air limpasan dari stockpile.
Lingkungan bentik perairan pesisir yang berpotensi terkena pengaruh dari
kegiatan penanganan batu bara diantaranya adalah sedimen dasar perairan dan
bentos yang hidup menetap pada dasar perairan. Gangguan terhadap organisme

3
bentos perairan pesisir umumnya dapat terjadi karena rangkaian dampak yang
terjadi pada perubahan kualitas perairan dan pengaruh fenomena alam di daerah
tersebut yang kemudian memberikan pengaruh terhadap kondisi sedimen yang
merupakan habitat bentos. Pada tahap selanjutnya, gangguan terhadap struktur
organisme bentos perairan pesisir dapat memberikan pengaruh lanjutan terhadap
struktur komunitas ikan atau organisme lainnya terutama yang terkait dengan
bentos dalam struktur piramida atau rantai makanan. Berdasarkan hal tersebut,
penelitian ini akan difokuskan untuk mengkaji kondisi lingkungan bentik yang
diperkirakan terkena pengaruh dari kegiatan penanganan batu bara pada kegiatan
operasional pembangkit listrik di wilayah pesisir Paiton.

Perumusan Masalah
Wilayah pesisir Paiton merupakan daerah yang memiliki beragam aktivitas
manusia yang dapat memberikan pengaruh terhadap komponen lingkungan, salah
satunya adalah pengaruh terhadap lingkungan bentik perairan pesisir. Aktivitas
terbesar di daerah Paiton adalah kegiatan operasional komplek PLTU Paiton yang
merupakan area pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara. Pengaruh
lingkungan terhadap komponen bentik yang diperkirakan bersumber dari kegiatan
Komplek PLTU Paiton adalah kegiatan penanganan batu bara.
Berdasarkan uraian perumusan masalah, permasalahan yang ingin dijawab
melalui penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh kegiatan tahap operasional di areal komplek PLTU
Paiton terhadap komponen lingkungan bentik perairan khususnya sedimen
dan makrozoobentos?
2. Bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk menjaga dan meningkatkan
kondisi lingkungan bentik di wilayah perairan komplek PLTU Paiton?

Tujuan Penelitian
1.
2.

Tujuan dari penelitian ini adalah:
Menilai tekanan ekologis dari kegiatan tahap operasional komplek PLTU
Paiton terhadap struktur komunitas makrozoobentos
Menentukan status kondisi lingkungan bentik berdasarkan kondisi sedimen
dasar perairan dan struktur komunitas makrozoobentos.

Manfaat Penelitian
1.

2.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
Memberikan informasi bagi pengelola komplek PLTU Paiton mengenai
efektivitas kegiatan tahap operasional yang berpengaruh terhadap
lingkungan bentik perairan Pesisir Paiton
Sebagai informasi ilmiah bagi stakeholder terkait mengenai pengaruh
kegiatan tahap operasional PLTU yang berbahan bakar batu bara terhadap
komponen lingkungan bentik perairan khususnya sedimen dan
makrozoobentos

4

Ruang Lingkup Penelitian
Kebutuhan energi listrik di Indonesia saat ini lebih banyak dipenuhi oleh
pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Pada umumnya PLTU berbahan
bakar batu bara di Pulau Jawa terdapat di daerah pesisir. Selain karena
membutuhkan pasokan air yang cukup besar, lokasi PLTU berbahan bakar batu
bara di Pulau Jawa umumnya berada daerah pesisir dikarenakan sumber energi
berupa batu bara tidak banyak terdapat di Pulau Jawa sehingga kebutuhan batu
bara didatangkan dari pulau lainnya seperti Sumatera dan Kalimantan yang
memiliki potensi cadangan batu bara dalam jumlah besar, oleh karenanya untuk
mendatangkan batu bara tersebut ke area pembangkit membutuhkan transportasi
laut yang dinilai paling ekonomis dan memadai. Berbagai pandangan negatif
terhadap kegiatan operasional PLTU berbahan bakar batu bara diakibatkan karena
jenis bahan bakar batu bara dianggap tidak ramah lingkungan sehingga
menyebabkan pengaruh terhadap berbagai komponen lingkungan baik udara, air
maupun tanah. Pengaruh akibat kegiatan operasional PLTU berbahan bakar batu
bara bersumber mulai dari proses pembongkaran (unloading) batubara dari kapal
atau tongkang ke tempat penampungan (stockpile), pencucian batu bara sebelum
digunakan, emisi gas buang dan sisa abu batu bara hasil pembakaran, hingga
limbah air panas yang bersumber dari sisa kegiatan pendinginan cooling tower.
Namun demikian, saat ini telah banyak tersedia teknologi yang dapat mengurangi
berbagai pengaruh yang timbul sehingga persepsi negatif akibat operasional
kegiatan PLTU berbahan bakar batu bara mulai berkurang.
Kebijakan peraturan mengenai lingkungan hidup yang berlaku di Indonesia
mempersyaratkan bahwa setiap kegiatan yang akan mengakibatkan perubahan
mendasar terhadap berbagai komponen lingkungan diwajibkan untuk membuat
kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup (AMDAL). Kajian tersebut
akan mengidentifikasi dan mengevaluasi dampak penting dari rencana kegiatan
yang kemudian akan menjadi dasar pertimbangan untuk menilai kelayakan suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan dari sisi lingkungan hidup. Kajian AMDAL juga
akan menghasilkan arahan pengelolaan dan pemantauan komponen lingkungan
hidup yang tertuang dalam dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
(RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). Dokumen RKL-RPL
menjadi acuan bagi pemrakarsa kegiatan dalam mengelola dampak lingkungan
yang timbul dan memonitor atau memantau proses pengelolaan dampak tersebut
sesuai arahan kajian AMDAL dan juga mengevaluasi pengelolaan yang telah
dilakukan. Sebagai PLTU berkapasitas terbesar di Indonesia, PLTU Paiton
sebelum memulai aktivitasnya telah memiliki dokumen AMDAL dan juga telah
melakukan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan sebagaimana arahan
dalam dokumen RKL-RPL sebagai wujud nyata komitmen terhadap kegiatan
operasional PLTU yang peduli terhadap kelestarian lingkungan hidup.
Penelitan ini akan membatasi kajian hanya pada upaya pengelolaan dampak
dari kegiatan yang diperkirakan berpengaruh terhadap komponen lingkungan
bentik perairan pada tahap operasional PLTU Paiton. Arahan penanganan dampak
kegiatan penanganan batu bara pada dokumen RKL-RPL akan digunakan sebagai

5
acuan untuk menilai efektivitas pengelolaan dampak yang timbul akibat kegiatan
pada tahap operasional PLTU. Penelitian ini akan mengambil data primer
komponen lingkungan bentik perairan yakni sedimen dasar perairan dan bentos
serta menggunakan data sekunder hasil pemantauan rutin (laporan pelaksanaan
RKL-RPL) yang telah dilakukan oleh masing-masing pengelola pembangkit di
komplek PLTU Paiton. Ruang lingkup penelitian secara skematis disajikan pada
Gambar 1.

Aktivitas di Pesisir
Paiton

Perikanan

Kegiatan Lainnya

PLTU

Kegiatan tahap
operasional



Hidrooseanografi
Pola pasang surut
Pola arus

Makrozoobentos
 Struktur
Komunitas
 Tekanan
lingkungan

Sedimen
 Tekstur
 Kandungan
Logam

Status Kondisi
Lingkungan Bentik
Keterangan:
: ruang lingkup utama penelitian

Gambar 1. Ruang lingkup penelitan

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Kegiatan penyediaan tenaga listrik dimulai dari unit pembangkitan yang
kemudian dialirkan melalui saluran transmisi dan saluran distribusi hingga ke
konsumen. Mekanisme produksi listrik di unit pembangkit pada prinsipnya adalah
mengkonversi suatu energi yang dapat dihasilkan dari tenaga air, gas, uap, angin,
matahari hingga panas bumi menjadi energi elektromagnet. Proses produksi listrik
pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dihasilkan melalui proses
pemanasan air pada ketel uap (boiler). Uap panas yang terbentuk kemudian
dialirkan menuju turbin hingga rotasi turbin akan memutar sebuah magnet dalam
generator. Mengacu pada gaya elekromagnet, magnet yang berputar di tengah
kumparan akan menghasilkan energi listrik. Proses dalam generator ini dapat
disamakan proses dalam dinamo lampu sepeda. Kepala dinamo yang berputar
akibat gesekan dengan ban otomatis memutar magnet dalam dinamo yang
kemudian menghasilkan energi listrik yang menyalakan lampu sepeda (PT PLN
(Persero) Pembangkitan Tanjung Jati B/TJB, 2009). Skema pembangkit listrik
tenaga uap berbahan bakar batu bara disajikan pada Gambar 2.
Proses pemanasan air hingga menghasilkan tekanan uap tentunya
memerlukan pasokan air dalam jumlah yang besar, oleh karenanya keberadaan
PLTU biasanya berlokasi di dekat sungai besar atau di tepi laut/daerah pesisir.
Proses pemanasan air pada boiler memerlukan bahan bakar yang dapat bersumber
dari bahan bakar minyak, gas, maupun batu bara. Berkaitan dengan berkurangnya
cadangan minyak bumi, PLTU di Indonesia saat ini lebih banyak menggunakan
batu bara sebagai bahan bakar pada unit pembangkitan. Selain cadangan batu bara
di Indonesia masih melimpah, biaya yang diperlukan untuk memproduksi listrik
dari unit pembangkit yang berbahan bakar batu bara relatif lebih murah
dibandingkan dengan unit pembangkit yang menggunakan bahan bakar minyak.
Peningkatan kebutuhan listrik seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang
ditopang oleh produksi berbagai macam industri baik barang maupun jasa
tentunya membutuhkan tambahan unit pembangkit listrik. Mengatasi peningkatan
kebutuhan listrik nasional, pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan
Presiden Nomor 71 Tahun 2006 tentang Penugasan Kepada PT Perusahaan Listrik
Negara (Persero) Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga
Listrik Yang Menggunakan Batubara. Pertimbangan utama yang mendasari
diterbitkannya peraturan tersebut adalah bahwa untuk mempercepat diversifikasi
energi untuk pembangkit tenaga listrik ke non bahan bakar minyak dalam rangka
pemenuhan kebutuhan tenaga listrik diperlukan upaya untuk melakukan
percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batu bara.
Program tersebut merupakan program nasional proyek percepatan pembangunan
PLTU berbahan bakar batubara 10.000 MW (megawatt) yang terdiri dari 2 tahap
yakni tahap 1 pada tahun 2006 dan tahap II pada tahun 2010. Meskipun unit
pertama di area komplek PLTU Paiton telah beroperasi sejak tahun 1994, namun
terdapat unit pembangkit tambahan yang merupakan bagian dari program
percepatan pembangunan PLTU 10.000 MW.

7

Sumber : TJB (2009)

Gambar 2. Contoh skema pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar
batubara
Keterangan :
1. a. Dermaga batu bara
b. Penampungan batu bara (coal stockpile)
2. Instalasi pengolahan air, dapat berupa desalinasi maupun menggunakan air
sungai untuk menggerakkan dan mendinginkan turbin
3. Boiler atau tungku, berfungsi untuk menghasilkan uap air
4. Turbin, uap yang dihasilkan dari boiler akan menggerakkan turbin
5. Generator, turbin akan memutar magnet besar, rotor, dan memproduksi lisrik
dalam strator generator yang mengacu pada gaya elektromagnet pada lilitanlilitan generator
6. Transformator, tenaga yang dihasilkan dari generator ditingkatkan oleh
transformator
7. Kondensor, saat energi dalam uap air hampir habis untuk menggerakkan
turbin, maka uap tersebut akan masuk ke kondensor. Uap akan melewati pipa
berisi air pendingin. Air inilah yang akan mengondensasi uap menjadi air
yang akan dipompa kembali ke boiler

8

Batu Bara
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, definisi batu bara adalah endapan
senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuhtumbuhan. ANR (2012) menyatakan bahwa batu bara merupakan hasil
sedimentasi yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang membusuk. Hal ini
berbeda dengan mineral yang merupakan unsur anorganik dan pada umumnya
membentuk formasi batuan karena proses mineralisasi. Cadangan batu bara yang
terkandung dalam bumi tergantung pada jenis tanaman di awal pembentukan batu
bara. Kondisi lingkungan menentukan perubahan fisik, kimia, dan biologis yang
terakumulasi antar waktu. Seperti halnya mineral yang ditemukan dalam batuan,
bagian tumbuhan yang terawetkan secara alami akan bermetamorfosis selama
jutaan tahun oleh tekanan dan temperatur menjadi bermacam jenis batu bara serta
memerlukan kondisi laju pengendapan yang lebih cepat dibanding laju
peluruhanya.
Batu bara adalah sisa tumbuhan dari jaman prasejarah yang awalnya
berakumulasi di rawa dan lahan gambut dan mengalami perubahan bentuk. Mutu
dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu
pembentukan, yang disebut sebagai ‘maturitas organik’. Proses pembentukan batu
bara dimulai ketika gambut (peat) berubah menjadi batu bara muda (lignite) atau
disebut pula batu bara coklat (brown coal) yang merupakan jenis batu bara
maturitas organik rendah. Pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama
jutaan tahun akan membuat batu bara muda mengalami perubahan yang secara
bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi
batu bara sub-bitumen (sub-bituminous). Perubahan kimiawi dan fisika terus
berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam
sehingga membentuk bitumen (bituminous) hingga antrasit (anthracite). Dalam
kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus
berlangsung hingga membentuk antrasit. Tingkat perubahan yang dialami batu
bara dari gambut sampai menjadi antrasit, disebut sebagai pengarangan
(coalification), memiliki hubungan yang penting dan disebut sebagai
‘tingkat/mutu’ batu bara (World Coal Institute/WCI, 2005). Gambaran mengenai
pembagian batu bara berdasarkan kandungan energi dan kelembabannya serta
penggunaannya disajikan pada Gambar 3.
Penamaan batu bara dalam bahasa Inggris, coal, berasal dari bahasa Inggris
kuno, col, yang merupakan jenis arang yang digunakan pada saat tersebut. Speight
(2005) menjelaskan klasifikasi batu bara berdasarkan jenisnya adalah sebagai
berikut:
a. Antrasit, merupakan peringkat tertinggi dari batu bara. Penggunaan
utamanya banyak dimanfaatkan untuk pemanas ruang hunian dan komersial.
Jenis batu bara ini memiliki sifat yang keras dan hitam berkilau karena
memiliki persentase kandungan karbon yang tinggi dan persentase yang
rendah dari partikel yang mudah menguap sehingga sering disebut batu bara
keras. Persentase kadar air pada jenis batu bara antrasit yang baru
dikeluarkan dari area penambangan umumnya kurang dari 15%, sementara
kandungan panasnya berkisar antara 22-28 juta Btu (British Thermal Unit)

9
per ton pada kondisi lembab bebas partikel mineral (mineral-matter-freebasis).
b. Bitumen (bituminous), adalah batu bara padat yang umumnya berwarna
hitam namun terkadang berwarna coklat gelap. Batu bara jenis ini sering
digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap dan industri
lainnya. Kadar air bitumen biasanya kurang dari 20% dari massanya,
sementara kandungan panasnya berkisar antara 21 sampai 30 juta Btu/ton
pada kondisi lembab bebas partikel mineral.
c. Sub bitumen (sub bituminous), merupakan jenis batu bara yang berwarna
coklat tua sampai hitam dan memiliki karakter yang kusam, lembut, dan
rapuh pada bagian bawah sementara pada bagian atas memiliki karakter
yang cerah, hitam, keras dan relatif kuat. Batu bara sub bitumen
mengandung 20-30% kadar air dari massanya. Kandungan panas dari sub
bitumen berkisar dari 17 hingga 25 juta Btu/ton pada kondisi lembab bebas
partikel mineral.
d. Batu bara muda (lignite), merupakan batu bara dengan peringkat terendah
berwana hitam kecoklatan sehingga sering disebut sebagai batu bara coklat.
Jenis batu bara ini sering digunakan secara khusus sebagai bahan bakar pada
pembangkit listrik tenaga uap. Jenis batu bara ini memiliki kadar air yang
tinggi sekitar 45% dari massanya, sementara kandungan panasnya berkisar
antara 9 hingga 17 juta Btu/ton pada kondisi lembab bebas partikel mineral.

Sebagian besar
untuk pembangkit
listrik

Pembangkit listrik
Produksi semen
Penggunaan untuk
industri

Pembangkit listrik
Produksi semen
Penggunaan untuk
industri

Pembuatan
besi
dan baja

Dalam negeri/industri
Termasuk bahan bakar
minyak tanpa asap

Sumber : WCI (2005)

Gambar 3 Karakteritstik kandungan karbon dan kelembaban serta persentase
penggunaan dari masing-masing jenis batu bara

10
Bentos
Terminologi bentos berasal dari bahasa latin yang secara harfiah
mempunyai arti kedalaman, namun secara luas diartikan sebagai organisme yang
hidup pada dasar permukaan laut dan di dasar sungai dan danau (Kingston, 2001).
Odum (1971) menyatakan bahwa bentos meliputi organisme nabati (fitobentos)
dan organisme hewani (zoobentos). Berdasarkan ukurannya, zoobentos dibagi
kedalam dua kelompok besar yakni macrozoobenhos dan meiozoobentos.
Makrozoobentos didefinisikan sebagai bentos yang tertahan pada alat penyaring
dengan ukuran mata jaring 1x1 mm, sementara meiozoobentos merupakan bentos
yang lolos pada ukuran mata jaring yang sama (Van der Graaf et al., 2009)
Bentos memegang peraran penting dalam rantai makanan di ekosistem
perairan pesisir. Håkanson dan Bryhn (2008) menyatakan bahwa zoobentos
merupakan komponen penting untuk komunitas ikan kelompok penyusun
piramida bawah (prey fish) pada rantai makan di ekosistem pesisir. penurunan
atau perubahan pada biomassa zoobentos akan sangat berpengaruh pada kelompok
ikan tersebut yang pada akhirnya akan mempengaruhi kelompok ikan penyusun
piramida rantai makanan diatasnya (predator fish). Selain fungsi pada rantai
makanan, bentos juga dapat berfungsi sebagai indikator kualitas lingkungan
perairan. Simboura dan Zenetos (2002) menyatakan bahwa organisme indikator
adalah jenis organisme yang digunakan berdasarkan sensitivitas atau toleransinya
terhadap berbagai polutan.
Jenis bentos indikator dapat digunakan untuk mendefinisikan tipe habitat
dan mengklasifikasikan kualitas ekologis lingkungan tempat hidupnya. Jenis
zoobentos indikator dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yakni
kelompok sensitif dan kelompok yang toleran. Jenis kelompok sensitif
menggambarkan tipe habitat berdasarkan persentase dominan terhadap jenis yang
lain atau kehadirannya secara khusus menggambarkan habitat yang spesifik,
sementara kelompok toleran merupakan kelompok “oportunis” yang kehadirannya
tidak terganggu oleh berbagai macam gangguan atau perubahan lingkungan.
Sedimen
Sedimen merupakan suatu bahan berupa fragmen material padatan
anorganik atau anorganik yang terbawa atau terendapkan secara alamiah oleh
angin, air, maupun proses pembekuan sungai es didalam dasar perairan/laut
(Encyclopedia-Columbia University Press dalam KLH, 2005). Sedimen
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari komponen ekosistem perairan yang
dapat menyediakan habitat, tempat mencari makan, tempat memijah, dan daerah
pengasuhan bagi berbagai organisme perairan. Sedimen juga dapat berperan
sebagai tempat penerima berbagai macam pencemar sehingga sedimen juga
berpotensi melepaskan pencemar ke badan air, organisme, dan manusia ang
mengkonsumsi organisme tersebut. Sedimen yang tercemar dapat mengurangi
atau mengeliminasi jenis-jenis organisme yang mempunyai nilai penting bagi
ekologi, komersil, maupun kegunaan rekreasi (EPA, 2001). Craig dan Jones
(1966) menyatakan bahwa ukuran butiran sedimen akan mempengaruhi bentos
secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh tersebut meliputi pola makan, tipe

11
penempelan/pelekatan dan pergerakan yang terkait dengan kekenyalan sedimen
atau ketersediaan permukaan yang keras. Ukuran butiran dan kandungan bahan
organik seringkali merefleksikan kekuatan dari arus bawah permukaan di laut.
Kondisi aerob dan anaerobik pada sedimen secara umum juga mencerminkan
fungsi dari ukuran butir sedimen meskipun tergantung pada laju sirkulasi air.
Komposisi sedimen di perairan laut juga dipengaruhi oleh faktor
oseanografi, seperti halnya kerikil kasar banyak terdapat di perairan yang
memiliki gelombang dan arus yang kuat, tipe sedimen yang didominasi lumpur
banyak terdapat di daerah yang memiliki energi gelombang dan arus yang lemah,
sementara lumpur halus dan liat banyak terdapat di laut dalam (Gray dan Elliot,
2009). Klasifikasi tipe ukuran butiran sedimen akan ditentukan dengan
menggunakan skala Wentworth. Tipe substrat berdasarkan skala Wentworth
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi tipe sedimen berdasarkan Skala Wentworth
Klasifikasi

Deskripsi

Kerikil besar
Kerikil
Kerikil kecil
Kerikil butir
Pasir Sangat
Kasar
Pasir Kasar
Pasir

Pasir Sedang
Pasir Halus
Pasir Sangat
Halus

Skala 2 (mm)

Skala √2
(mm)

258
128
64
32
16
8
4
2
1,41
1
0,71
0,5
0,351
0,25
0,177
0,125
0,088
0,062
0,044
0,031

Debu/Lanau/
Lumpur

0,022
0,0156
0,011
0,0078
0,0055

Liat/Lempung

0,0039