Kajian Komunitas Lamun di Perairan Pesisir Manokwari

(1)

i

PASKALINA THERESIA LEFAAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Kajian Komunitas Lamun di Perairan Pesisir Manokwari” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mau pun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008 Paskalina Theresia Lefaan


(3)

iii

ABSTRACT

Study of seagrass community in coastal waters of Manokwari was done in July-October 2007. The locations (sampling points) consisted of seagrass beds that were closed to anthropogenic waste and/or suspended particles sources (i.e. Andai, Wosi, and Briosi) and seagrass beds that were relatively far from those sources (i.e. Rendani and Tj. Mangewa). Seagrass samplings were conducted by line transect and plot methods, environmental parameters were measured. There were eight species collected which included in pioneer group (C. rotundata,

H. pinifolia, H. uninervis, H. ovalis, S. isoetifolium) and climax group (C. serrulata, E. acoroides, T. hemprichii). Seagrass species in Andai and Wosi were of pioneer group, while those in other locations were pioneer and climax groups. STORET method, showned that Wosi and Briosi were categorized as heavily polluted, while Andai, Rendani and Tj. Mangewa were medium polluted. In addition, covering percentage, densities, biomass, INP, diversity and dominance indexes, indicated that Andai, Wosi, and Briosi had more stress and were also relatively unstable. This condition was probably related to anthropogenic waste and suspended solid inputs. Suspended particles (inputs) and eutrophication could extremely change in seagrass growth (condition), reduce species composition and area seagrass area (coverings).


(4)

iv

PASKALINA THERESIA LEFAAN. Kajian Komunitas Lamun di Perairan Pesisir Manokwari. Dibimbing oleh DEDE SETIADI dan D. DJOKOSETIYANTO.

Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem yang ada di wilayah pesisir yang paling produktif, yang berperan baik secara fisik mau pun biologi bagi ekosistem perairan lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji jenis lamun di daerah perairan pesisir Manokwari dari segi struktur komunitas dan parameter fisika-kimia perairan yang berhubungan dengan keberadaan lamun di daerah ini. Penelitian dilakukan di Pantai Andai, Pantai Rendani, Pantai Wosi, Pantai Briosi, dan Tanjung Mangewa, Kabupaten Manokwari, berlangsung dari bulan Juli sampai Oktober 2007.

Metode pengamatan dan pengambilan sampel lamun menggunakan garis transek, kuadrat dan survei jelajah. Parameter yang diamati, diukur dan dianalisis adalah komposisi jenis lamun, zonasi, frekuensi, kepadatan, luas penutupan, INP, biomassa, indeks keanekragaman, indeks dominasi, indeks kesamaan komunitas, suhu, kecepatan arus, gas oksigen terlarut, pH, amoniak air, nitrat air, fosfat air, C organik sedimen, N total sedimen, P tersedia sedimen, dan ukuran fraksi sedimen. Untuk mengetahui sebaran spasial karakteristik parameter fisika-kimia di antara lokasi penelitian digunakan analisis multivariabel yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama (PCA), dan untuk mengetahui kualitas perairan digunakan metode STORET.

Hasil penelitian diperoleh 8 jenis lamun, yang terdiri dari 2 suku dan 6 marga dengan tipe vegetasi campuran dan pola penyebaran yang mengelompok. Kedelapan jenis lamun tersebut adalah C. rotundata, C. serrulata, H. pinifolia,

H. uninervis, S. isoetifolium, E. acoroides, H. ovalis, dan T. hemprichii. Secara umum zonasi lamun di semua lokasi penelitian, batas atas distribusi terletak di antara permukaan rata-rata air laut dan surut terendah. Pada bagian atas daerah intertidal, terutama ditemukan jenis berukuran kecil seperti H. pinifolia,

H. uninervis dan H. Ovalis, sedang pada zona intertidal bagian bawah yang masih tergenang pada saat surut terendah, umumnya ditemukan jenis berukuran besar.

Frekuensi kehadiran jenis lamun yang tinggi adalah H. pinifolia yang ditemukan pada lokasi Andai dan Wosi sedang tiga lokasi lainnya mempunyai nilai frekuensi kehadiran yang relatif seimbang di antara jenis. Kepadatan rata-rata lamun tertinggi adalah H. pinifolia di lokasi Wosi (3462,182 tegakan/m2) dan terendah C. serrulata dan H. ovalis masing-masing di lokasi Rendani dan Briosi dengan kepadatan yang sama, yaitu 0,364 tegakan/m2. Sedangkan berdasarkan lokasi kepadatan tertinggi berturut-turut Wosi (3677,092 tegakan/m2), Rendani (1663,637 tegakan/m2), Briosi (1397,94 tegakan/m2), Tj. Mangewa (1376,848 tegakan/m2), dan Andai (358,787 tegakan/m2). Kepadatan jenis lamun di suatu daerah dipengaruhi oleh kondisi abiotisnya seperti kecerahan air, sirkulasi, kedalaman air, substrat, dan kandungan zat hara.

Berdasarkan lokasi, Rendani mempunyai luas penutupan lamun yang tinggi (45,339 %) dan terendah pada lokasi Andai (14,189 %). Penutupan lamun yang tinggi umumnya didominasi oleh jenis dengan morfologi daun yang besar.


(5)

v

(120,146). Jenis lamun yang sama bisa saja mempunyai nilai INP yang berbeda meskipun selalu terdapat pada semua lokasi penelitian.

Biomassa total lamun di lokasi Andai dan Wosi didominasi oleh

H. pinifolia sedangkan di lokasi Rendani, Briosi dan Tj. Mangewa didominasi oleh T. hemprichii dan C. rotundata yang berukuran besar. Berdasarkan perbandingan antara biomassa di bagian bawah substrat dan di atas substrat, lokasi Andai mempunyai perbandingan tertinggi (7,831) dan Briosi terendah (2,103). Perbandingan ini umumnya > 1, karena itu biomassa di bagian bawah substrat sering kali mendominasi biomassa total dari komunitas lamun. Kondisi ini menunjukkan bahwa alokasi sebagian besar hasil fotosintesis ditujukan untuk proses lainnya di dalam jaringan di bawah tanah.

Indeks keanekaragaman pada lima lokasi penelitian termasuk kategori rendah, yaitu kurang dari 1. Walau pun demikian, di antara lima lokasi, Rendani memiliki nilai yang lebih tinggi (0,644), keadaan ini mengindikasikan bahwa komunitas lamun di lokasi ini berada dalam kondisi yang relatif lebih stabil dibanding empat lokasi lainnya. Lokasi Wosi dan Andai mempunyai nilai indeks keanekaragaman rendah (0,109 dan 0,015) tetapi mempunyai nilai indeks dominasi yang tinggi yaitu masing-masing 0,889 dan 0,989. Kondisi ini menandakan bahwa ada jenis lamun yang dominan pada kedua lokasi tersebut, yaitu H. Pinifolia. Berdasarkan nilai indeks kesamaan komunitas diperoleh dua kelompok lokasi, yaitu Andai dan Wosi dengan tingkat kemiripan 84,587 % dan Rendani, Tanjung Mangewa, dan Briosi dengan tingkat kemiripan 77,319 %. Hasil analisis komponen utama

Hasil analisis komponen utama menunjukkan adanya pengelompokkan lokasi berdasarkan kondisi fisika-kimia perairan. Kelompok pertama terdiri dari lokasi Andai, Wosi dan Briosi transek 1 dicirikan oleh tipe sedimen terrigenous, tingkat kekeruhan, amoniak air, nitrat air, P tersedia, C organik sedimen dan persentase fraksi pasir yang tinggi sedangkan kelompok kedua lokasi Rendani, Tj. Mangewa, Briosi transek 1 dan 2 dicirikan oleh tipe sedimen karbonat, persentase fraksi liat, persentase fraksi debu, pH air, DO dan fosfat air yang tinggi. Sedangkan hasil analisis parameter fisika-kimia menggunakan metode STORET diperoleh lokasi Wosi dan Briosi termasuk dalam kriteria tercemar berat, sedangkan tiga lokasi lainnya masih termasuk dalam kategori tercemar sedang.


(6)

vi

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

vii

PASKALINA THERESIA LEFAAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(8)

(9)

ix

Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Rahim atas segala kemurahanNya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah komunitas lamun, dengan judul ”Kajian Komunitas Lamun di Perairan Pesisir Manokwari”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji jenis lamun di daerah perairan pesisir Manokwari dari segi struktur komunitas dan parameter fisika-kimia perairan yang berkaitan dengan keberadaan lamun di daerah ini. Adapun manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan gambaran mengenai kondisi komunitas lamun dan sebagai salah satu bahan informasi dalam upaya pengelolaan ekosistem lamun di perairan pesisir Manokwari.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, MS. dan Dr. Ir. D. Djokosetiyanto, DEA selaku pembimbing, Dr. Sri Sudarmiyati Tjitrosoedirdjo, M.Sc. selaku penguji luar komisi pada ujian tesis, Ketua Program Studi Biologi IPB beserta staf, Rektor Unipa beserta staf, Ditjen Dikti yang telah memberikan dana BPPS, Depdiknas melalui Program Beasiswa Unggulan P3SWOT, Program Mitra Bahari-Coremap II dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang telah memberikan dana bantuan penulisan tesis. Ungkapan terima kasih pula disampaikan kepada kedua Orang Tua, Suami, dan seluruh keluarga atas dukungan doa, material dan kasih sayangnya. Juga kepada teman-teman yang telah membantu di lapangan, yaitu Agustinus Lebang, S.Pi., Simon P. O. Leatemia, S.Pi., Benyamin Mandosir, S.Pi., Hengki Kaiway, S.Pi., Melianus Yewen, S.Pi., Novalius S. Leatemia, S.P., M.Si., Sonar Mampioper, William Iwanggin, S.Pi., Abraham Rumfabe, dan Paulus.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, karena itu masukan untuk melengkapi dan memperbaiki karya ilmiah ini sangat diharapkan. Akhirnya semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus2008


(10)

x

Penulis dilahirkan di Manokwari pada tanggal 10 April 1971 dari Ayah Petrus Lefaan dan Ibu Agnes Duma’. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin dan lulus tahun 1997.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Papua sejak tahun 2002. Pada tahun 2006 penulis diberi kesempatan mengikuti program magister sains di Program Studi Biologi IPB atas bantuan dana dari BPPS.


(11)

xi

Halaman DAFTAR TABEL …..……….………... xiii DAFTAR GAMBAR ……….………... xiv DAFTAR LAMPIRAN ……….. xv

I PENDAHULUAN ………...

1.1 Latar Belakang ………... 1.2 Perumusan masalah ………... 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….

1.4 Hipotesa ………

1 1 2 4 4 II TINJAUAN PUSTAKA ...

2.1 Lamun ... 2.1.1 Klasifikasi Lamun ... 2.1.2 Karakteristik Tumbuhan Lamun ... 2.1.3 Habitat dan Distribusi Lamun ... 2.1.4 Fungsi dan Manfaat Padang Lamun ... 2.2 Parameter Kualitas Perairan ... 2.2.1 Suhu ... 2.2.2 Salinitas ... 2.2.3 Kecerahan dan Kekeruhan ... 2.2.4 Kecepatan Arus ... 2.2.5 Nilai pH ... 2.2.6 Kadar Gas Oksigen Terlarut ... 2.2.7 Unsur Hara ... 2.2.8 Sedimen Dasar ...

5 5 5 6 9 11 15 15 15 15 16 16 17 17 18 III METODE ...

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 3.2 Alat dan Bahan ... 3.3 Metode Pengambilan Data ... 3.3.1 Pengambilan Contoh Lamun ...

3.3.2 Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Perairan ... 3.4 Analisa Data ... 3.4.1 Frekuensi dan Frekuensi Relatif ... 3.4.2 Kepadatan dan Kepadatan Relatif ... 3.4.3 Penutupan dan Penutupan Relatif ... 3.4.4 Indeks Nilai Penting (INP) ... 3.4.5 Pola Penyebaran ... 3.4.6 Indeks Keanekaragaman dan Dominasi Jenis ... 3.4.7 Indeks Kesamaan Komunitas ... 3.4.8 Parameter Kualitas Perairan ... 3.4.9 Sebaran Spasial Parameter Fisika-Kimia Perairan ...

19 19 20 20 20 22 22 22 23 23 24 24 25 25 26 27


(12)

xii

4.2.1 Jenis dan Sebaran Lamun ... 4.2.2 Zonasi ... 4.2.3 Frekuensi, Kepadatan, Penutupan, INP, dan Biomassa Lamun ...

4.2.4 Pola Penyebaran ... 4.2.5 Indeks Keanekaragaman dan Dominasi ... ... 4.2.6 Indeks Kesamaan Komunitas ... 4.3 Parameter Fisika - Kimia Media ... 4.3.1 Air ... 4.3.2 Sedimen ... 4.4 Sebaran Spasial Karakteristik Fisika-Kimia Perairan ... 4.5 Kualitas Perairan...

29 31 33 41 41 43 44 44 50 53 54 V SIMPULAN DAN SARAN ...

5.1 Simpulan ... 5.2 Saran ...

56 56 57 DAFTAR PUSTAKA ... 58 LAMPIRAN ... 66


(13)

xiii

1 Sebaran dan komposisi jenis lamun berdasarkan karakteristik substrat (Kiswara 1997) ... 10 2 Kekayaan jenis dan sebaran lamun di perairan Indonesia

(Dimodifikasi oleh Hutomo 1985 dari Den Hartog 1970, diacu dalam Hutomo et al. 1993) ... 11 3 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ... 20 4 Posisi geografis garis transek pada lima lokasi penelitian ... 21 5 Kriteria kelas penutupan lamun berdasarkan dominansi penutupan .. 23 6 Nilai yang diberikan untuk setiap parameter yang tidak memenuhi

nilai baku mutu ... 27 7 Klasifikasi mutu air berdasarkan EPA (EnvironmentalProtection

Agency) ... 27 8 Jenis dan sebaran lamun pada lokasi penelitian ... 29 9 Frekuensi kehadiran jenis lamun pada lokasi penelitian ... 33 10 Kepadatan rata-rata (tegakan/m2) jenis lamun pada lokasi

penelitian ... 34 11 Penutupan jenis lamun (%) pada lokasi penelitian ... 35 12 Biomassa jenis lamun (gbk m-2 ) pada lokasi penelitian ... 38 13 Biomassa rata-rata (gbk m-2) dan perbandingan biomassa bagian

atas dan bawah pada lokasi penelitian ... 40 14 Indeks keanekaragaman dan dominansi ... 41 15 Kriteria kualitas perairan pada lokasi penelitian ... 55


(14)

xiv

1 Bagan pendekatan masalah penelitian …………... 3 2 Struktur morfologi umum tumbuhan lamun (Fortes 1990) .……... 7 3 Jaring makanan dari suatu ekosistem lamun di Filipina

(Fortes 1990) ... 12 4 Siklus hidup dari beberapa udang Penaeidae yang tergantung pada

padang lamun untuk stadia post larva dan juvenil (Dimodifikasi dari Dall et al. 1990, diacu dalam Tomascik et al. 1997) ……….. 13 5 (A) Rata-rata kecepatan arus pasang pada satu siklus pasang;

dan (B) perbandingan kecepatan di dalam suatu bidang lamun (Zostera novazelandica) dengan di luar dan di atasnya pada lokasi Harwood, South Island, Selandia Baru (Heiss et al. 2000) ….. 14 6 Peta lokasi penelitian ... 19 7 Indeks nilai penting (INP) setiap jenis lamun berdasarkan lokasi ….. 37 8 Diagram pembagian produksi lamun di bawah permukaan dan di

atas permukaan sedimen (Pollard & Greenway 1993) ... 39 9 Persentase biomassa bagian atas dan bagian bawah ... 40 10 Pengaruh eutrofikasi yang berasal dari peningkatan masukan nutrien

pada ekosistem lamun (tanda positif dan negatif menunjukkan pengaruhnya) (Duarte 2002) ... 43 11 Dendogram tingkat kesamaan komunitas lamun antara lokasi ... 44 12 Analisis komponen utama pengelompokkan lokasi penelitian

berdasarkan kesamaan parameter fisika-kimia perairan (a) menunjukkan posisi lokasi dan (b) menunjukkan korelasi antar variabel lingkungan ...


(15)

1 Lokasi penelitian 67

2 Posisi garis transek pada lokasi penelitian ... 68

3 Jenis-jenis lamun yang ditemukan pada lokasi penelitian ... 70

4 Profil daerah intertidal dan zonasi lamun ... 72

5 Pola penyebaran jenis-jenis lamun pada lokasi penelitian ... 77

6 Parameter fisika-kimia perairan lokasi penelitian ... 78

7 Tipe tekstur substrat ... 79

8 Hasil analisis komponen utama ……… 80


(16)

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir dan laut merupakan ekosistem yang unik dan saling terkait antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. Wilayah ini juga merupakan ekosistem yang dinamis dan mengalami perubahan yang cepat serta produktif. Salah satu sumberdaya alam wilayah pesisir Indonesia adalah padang lamun. Bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada di wilayah pesisir seperti ekosistem mangrove, terumbu karang dan estuaria maka ekosistem lamun mempunyai peranan yang tidak kalah penting baik secara fisik mau pun biologi (Tulungen et al. 2003;Wimbaningrum et al. 2003).

Peranan padang lamun secara fisik di perairan laut dangkal antara lain membantu mengurangi hempasan gelombang dan arus yang menuju pantai, menyaring sedimen yang terlarut dalam air, menstabilkan dasar sedimen, serta penangkap sedimen dan penahan erosi (Fonseca et al. 1982; Kiswara & Winardi 1994). Secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi yaitu sebagai produsen primer (penghasil bahan organik), habitat berbagai satwa laut, substrat bagi banyak biota penempel, tempat pembesaran beberapa jenis biota yang menghabiskan masa dewasanya di habitat ini, tempat perlindungan organisme dan tudung pelindung dari panas matahari yang kuat bagi penghuninya, dan pendaur zat hara (Kiswara & Hutomo 1985; Nybakken 1988; Nienhuis 1993).

Indonesia memiliki padang lamun yang luasnya ribuan kilometer persegi dengan 12 jenis lamun dari 58 jenis yang ada di dunia, namun informasi mengenai ekologi dan distribusi lamun sangat sedikit. Hal ini disebabkan karena penelitian mengenai komunitas lamun sangat sedikit (Knox & Miyabara 1984). Ada indikasi luasan padang lamun yang produktif dari tahun ke tahun semakin berkurang akibat berbagai kerusakan yang terjadi pada ekosistem ini (Kawaroe et al. 2005). Padahal menurut Medrizam et al. (2004), ekosistem padang lamun memiliki nilai pelestarian fungsi dan manfaat lainnya di masa mendatang sesuai dengan perkembangan teknologi.

Papua merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan jenis hayati yang tinggi baik di daratan maupun perairan. Salah satunya adalah lamun yang tersebar hampir di seluruh perairan Papua yang perlu dilestarikan


(17)

karena dapat memberikan kontribusi pada peningkatan hasil perikanan dan sektor lainnya seperti pariwisata. Ekosistem lamun yang berhubungan erat dengan ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang mempunyai arti penting bagi pengelolaan perairan pantai secara terpadu. Namun penelitian dan informasi mengenai ekosistem ini masih sangat terbatas. Mengingat pentingnya peranan lamun bagi ekosistem di laut dan semakin besarnya tekanan gangguan baik akibat aktivitas manusia mau pun akibat alami, maka perlu diupayakan pelestarian lamun melalui pengelolaan yang baik.

1.2 Perumusan Masalah

Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan biota laut dan merupakan salah satu ekosistem bahari yang paling produktif, sehingga mampu mendukung potensi sumberdaya yang tinggi pula (Azkab 1999). Keberadaan ekosistem ini sangat dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi di laut dan daratan. Menyadari pentingnya nilai ekologis lamun sebagai bagian dari rantai makanan dan masih sedikitnya informasi mengenai ekosistem ini, maka penulis ingin mengetahui distribusi dan kondisi struktur komunitas padang lamun di perairan pesisir Manokwari yang dihubungkan dengan karakteristik parameter kualitas perairan. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mencoba mendekati permasalahan tersebut dengan mempelajari interaksi ekologisnya yang dapat digambarkan secara ringkas dalam bagan alir sebagai berikut (Gambar 1).


(18)

Keterangan: Hubungan memengaruhi Hubungan balik

Gambar 1 Bagan pendekatan masalah penelitian.

Substrat: Tipe substrat, C organik, N total, P tersedia Parameter Lingkungan Perairan

Ekosistem Pesisir

Ekosistem Lamun

Komunitas Lamun

Fisika:

Suhu, kecepatan arus, kekeruhan

Kimia:

Salinitas, gas oksigen terlarut, pH, nitrat, amoniak, fosfat

Struktur Komunitas Lamun: Jenis dan sebaran, zonasi, frekuensi, kepadatan, pe-nutupan, INP, biomassa, pola penyebaran, indeks ke-anekaragaman dan dominasi, kesamaan komunitas


(19)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji jenis lamun di daerah perairan pesisir Manokwari dari segi struktur komunitas (jenis dan sebaran, zonasi, frekuensi, kepadatan, penutupan, indeks nilai penting, biomassa, pola penyebaran, indeks keanekaragaman, indeks dominasi, dan kesamaan komunitas) dan parameter fisika-kimia perairan yang berkaitan dengan keberadaan lamun di daerah ini. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai komunitas lamun dan sebagai salah satu bahan informasi yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan sumberdaya hayati di wilayah pesisir Manokwari.

1.4 Hipotesa

Berdasarkan pada perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Perbedaan tipe sedimen antara lokasi penelitian akan memengaruhi parameter fisika-kimia sedimen seperti fraksi sedimen, C organik, N total, dan P tersedia. 2. Parameter fisika-kimia sedimen yang berbeda akan memengaruhi struktur


(20)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lamun

2.1.1 Klasifikasi Lamun

Istilah lamun pertama kali diperkenalkan oleh Hutomo (1984), diacu dalam Kiswara dan Azkab (2000) berdasarkan istilah yang dipakai oleh nelayan dan masyarakat di pesisir Teluk Banten untuk seluruh jenis ”seagrass”. Sementara di daerah lain istilah ini hanya dipakai untuk satu jenis ”seagrass” saja. Misalnya penduduk di Pulau Pari, Kepulauan Seribu yang memberi nama ”samo-samo” untuk jenis Enhalus acoroides dan tidak mengenal istilah lain untuk jenis ”seagrass” lainnya. Penduduk di wilayah pesisir dan nelayan di beberapa wilayah Indonesia lainnya seperti di Lombok Selatan, Pulau Selayar, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, dan Teluk Lampung, tidak mengetahui istilah untuk ”seagrass”. Untuk itu, guna membedakan pengertian antara ”seagrass” dengan ”seaweed” untuk rumput laut yang telah dikenal oleh masyarakat luas, maka istilah lamun untuk ”seagrass” dari Teluk Banten diangkat sebagai istilah untuk ”seagrass” dalam bahasa Indonesia.

Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki daun, rhizoma dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Berbeda dengan tumbuhan laut lainnya, lamun berbunga, berbuah dan menghasilkan biji sehingga dapat mengkolonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah yang dihasilkan secara seksual. Sebagian besar lamun berumah dua, artinya dalam satu tumbuhan hanya ada bunga jantan saja atau bunga betina saja. Penyerbukan terjadi di dalam air dengan bantuan arus (Bengen 2001; Nontji 1987; Romimohtarto & Juwana 2001). Jumlah jenis lamun di dunia adalah 58 jenis yang termasuk dalam 4 suku dan 12 marga. Di perairan Indonesia ditemukan 12 jenis lamun yang termasuk dalam 2 suku dan 7 marga (Kuo & McComb 1989; Fortes 1990).

Secara lengkap klasifikasi jenis lamun yang terdapat di perairan pantai Indonesia (Gembong 2004; Kuo & McComb 1989), adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Anak divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Bangsa : Helobiae


(21)

Suku Jenis Hydrocharitaceae

Cymodoceaceae

Enhalus acoroides(L.f.) Royle

Halophila ovalis (R. Br.) Hook. F

H. decipiens Ostenfeld

H. minor (Zoll.) den Hartog

H. spinulosa (R. Br.) Aschers. in Neumayer

Thalassia hemprichii (Ehrenb.) Aschers

Cymodocea rotundata Ehrenb. & Hempr. ex Aschers.

C. serrulata (R. Br.) Aschers. & Magnus

Halodule pinifolia (Miki) den Hartog

H. uninervis (Forsk.) Aschers in Boissier

Syringodium isoetifolium (Aschers.) Dandy

Thalassodendron ciliatum (Forsk.) den Hartog 2.1.2 Karakteristik Tumbuhan Lamun

Lamun merupakan tumbuhan vaskuler yang hidup di daerah estuari dan pantai pada semua garis lintang kecuali di kutub (Kennish 1990). Tumbuhan ini mempunyai beberapa sifat yang memungkinkannya hidup di lingkungan laut, yaitu: mampu hidup di media air asin, mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik, serta mampu melaksanakan daur generatif dalam keadaan terbenam (Den Hartog 1977, diacu dalam Hutomo et al. 1993).

Bentuk vegetatif lamun memperlihatkan tingkat keseragaman yang tinggi. Hampir semua marga mempunyai rhizoma yang berkembang baik dan bentuk daun yang memanjang (linear) atau berbentuk sangat panjang seperti ikat pinggang (strap shaped), kecuali pada marga Halophila yang umumnya berbentuk bulat telur. Oleh karena itu, lamun umumnya dianggap sebagai kelompok tumbuhan yang homogen (Kiswara & Hutomo 1985). Struktur morfologi umum tumbuhan lamun dapat dilihat pada Gambar 2.


(22)

(23)

Berdasarkan karakter-karakter sistem vegetatif tersebut lamun dapat dikelompokkan dalam 6 kategori (Den Hartog 1967, diacu dalam Kiswara & Hutomo 1985):

I. Herba, percabangan monopodial

a. Daun panjang, berbentuk pita atau ikat pinggang, mempunyai saluran udara. 1. Parvozosterid, daunnya panjang dan sempit, yang termasuk dalam

kelompok ini adalah Halodule dan Zostera submarga Zosterella.

2. Magnozosterid, daunnya panjang atau berbentuk pita tetapi tidak lebar, yang termasuk dalam kelompok ini adalah Zostera submarga Zostera,

Cymodocea dan Thalassia.

3. Syringodid, daun bulat seperti lidi dengan ujung runcing (subulate), yang termasuk dalam kelompok ini adalah Syringodium.

4. Enhalid, daun panjang dan kaku seperti kulit (leathery lilier) atau berbentuk ikat pinggang yang kasar (coarse strap shape), yang termasuk dalam kelompok ini adalah Enhalus, Posidonia dan Phyllospadix.

b. Daun berbentuk elips, bulat telur, berbentuk tombak (lanceolate) atau panjang, rapuh dan tanpa saluran udara.

5. Halophilid: Halophila.

II. Berkayu, percabangan simpodial, daun tumbuh teratur ke kiri dan kanan cabang tegak.

6. Amphibolid: misalnya Amphibolis, Thalassodendron dan Heterozostera. Berdasarkan komposisi jenisnya pertumbuhan padang lamun dapat dikelompokkan atas vegetasi tunggal dan vegetasi campuran (Brouns 1985):

a. Vegetasi tunggal, apabila padang lamun hanya disusun oleh satu jenis lamun. Jenis-jenis lamun yang membentuk vegetasi tunggal (monospesifik), antara lain: E. acoroides, C. rotundata, C. serrulata, Halodule pinifolia, H uninervis, Halophila ovalis, H. spinulosa, Thalassia hemprichii, dan Thalassodendron ciliatum.

b. Vegetasi campuran, apabila komunitas padang lamun disusun oleh 2 atau lebih jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu habitat. Padang lamun vegetasi campuran umumnya lebih banyak dijumpai daripada vegetasi tunggal.


(24)

2.1.3 Habitat dan Distribusi Lamun

Lamun hidup di perairan dangkal yang agak berpasir sering dijumpai di terumbu karang, umumnya membentuk padang yang luas di dasar laut yang masih dapat di jangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya (Nontji 1987). Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, yaitu pada substrat yang berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang khas lebih sering ditemukan pada substrat lumpur berpasir yang tebal di antara mangrove dan terumbu karang (Bengen 2001). Kelompok tumbuhan ini juga ditemukan tumbuh di rataan terumbu (reef flat) dan rataan pasir di perairan pantai yang dangkal (Knox & Miyabara 1984). Kedalaman air, pengaruh pasang surut dan struktur substrat memengaruhi zona sebagian jenis lamun dan bentuk pertumbuhannya.

Lamun tersebar pada sebagian besar perairan pantai di dunia, hanya pada beberapa wilayah saja tumbuh-tumbuhan ini tidak ditemukan. Dari 12 marga yang ada, 7 marga merupakan penghuni perairan tropik dan 5 marga lainnya pada perairan ugahari (Kiswara & Hutomo 1985). Menurut Kennish (1990), distribusi lamun dipengaruhi oleh iklim, salinitas, cahaya, dan kekeruhan.

Di perairan Indonesia padang lamun adalah ekosistem yang umum terdapat dan tumbuh di daerah pasang-surut pulau-pulau utama dan pulau-pulau karang. Daerah yang paling penting bagi lamun adalah mintakat pasang-surut (intertidal) bawah dan mintakat subtidal atas, dimana suatu vegetasi yang kompleks dapat terbentuk dari 7-8 jenis yang tumbuh bersama-sama (vegetasi campuran) (Hutomo et al. 1993). Mintakat pasang surut dicirikan oleh vegetasi pioner, yang umumnya didominasi oleh H. ovalis, C. rotundata dan H. pinifolia. Di antara ketiga jenis ini H. ovalis mempunyai sebaran vertikal yang luas yaitu mulai dari mintakat pasang surut sampai kedalaman lebih dari 20 meter, terutama tumbuh pada sedimen yang baru terganggu (Kiswara 1999a).

Zonasi sebaran dan karakteristik habitat lamun di perairan pesisir Indonesia dapat dikelompokkan menurut:

1.

2.

Genangan air dan kedalaman (daerah dangkal yang selalu terbuka saat air surut, daerah dengan kedalaman sedang atau di daerah pasang surut dan daerah yang dalam dan selalu tergenang air)


(25)

3. 4.

5.

Komposisi jenisnya pertumbuhan padang lamun dapat dikelompokkan atas vegetasi tunggal dan vegetasi campuran (Brouns 1985).

Karakteristik tipe substratnya padang lamun yang tumbuh di perairan Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 6 kategori, yaitu: lumpur, lumpur-pasiran, pasir, pasir-lumpuran, puing karang, dan batu karang.

Asosiasinya dengan ekosistem lain (terumbu karang, mangrove dan muara sungai). Berdasarkan karakteristik habitat dan sebaran lamun maka dapat dikelompokkan jenis lamun yang kosmopolitan (dapat tumbuh di hampir semua kategori habitat), moderat (tumbuh pada kategori habitat antara 50-75%), dan jenis lamun yang terbatas sebarannya (tumbuh pada kategori habitat < 50%) (Tabel 1) (Kiswara 1997).

Tabel 1 Sebaran dan komposisi jenis lamun berdasarkan karakteristik substrat (Kiswara 1997) Genangan dan cadangan Kecerahan air Komposisi

jenis Tipe substrat Asosiasi Jenis

A B C D E F G H I J K L M N O

E. acoroides x x - x x x x x x x x x x x x

C. rotundata - x - x x x x x x x x - - - x

C. serrulata - x - x x x x x x x x - - x x

H. decipiens - x x x - - x x x x x - - x x

H. minor/ovata x x - x x x x x x x x - - - x

H. ovalis - x x x x x x x x x x - x x x

H. spinulosa - x x x x x - - x x x - - - -

H. pinifolia x x - x x x x x x x x - - x x

H. uninervis x x - x x x x x x x x - - x x

S. isoetifolium - x x x x - x x x x x - - - x

T. hemprichii x x x x x x x x x x x x x - x

T. ciliatum - - x x - x x - - - x x x - -

Keterangan:

A = Dangkal E = Keruh I = Lumpur pasiran M = Karang B = Sedang F = Tunggal J = Pasir lumpuran N = Mangrove C = Dalam G = Campuran K = Pasir O = Estuaria D = Jernih H = Lumpur L = Koral x= Ditemukan

- = Tidak ditemukan Penelitian sebaran lamun di Indonesia masih sangat langka. Data dan sebaran geografis lamun di Indonesia dapat dijumpai dalam Den Hartog (1970); Soegiarto & Polunin (1981), diacu dalam Hutomo et al. (1993); Kiswara dan Hutomo (1985). Di antara ke-12 jenis lamun, T. ciliatum mempunyai sebaran yang sangat terbatas, umumnya hanya terdapat di Indonesia bagian timur, sebarannya yang paling barat dijumpai di Bali. Dua jenis lainnya sampai saat ini hanya tercatat pada beberapa


(26)

lokasi yang terbatas, yaitu H. spinulosa tercatat di lima lokasi yaitu Kepulauan Riau, Anyer (Pulau Jawa), Baluran Utara (Besuki), Lombok, dan Irian Jaya, serta

H. decipiens tercatat di empat lokasi, yaitu Teluk Jakarta, Sulawesi Selatan, Teluk Moti-Moti (Sumbawa), dan Kepulauan Aru (Hutomo et al. 1993; Kiswara 1999a). Kekayaan jenis dan sebaran lamun di perairan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 Kekayaan jenis dan sebaran lamun di perairan Indonesia (dimodifikasi oleh Hutomo 1985 dari Den Hartog 1970, diacu dalam Hutomo et al. 1993)

Sebaran Suku Jenis

1 2 3 4 5

Enhalus acoroides + + + + +

Halophila decipiens ─ + ─ ─ ─

Halophila ovalis + + + + +

Halophila minor + + + + +

Halophila spinulosa + + ─ ─ +

Halophila beccarii ? ? ? ? ?

Hydrocharitaceae

Thalassia hemprichii + + + + +

Cymodocea rotundata + + + + +

Cymodocea serrulata + + ─ ─ +

Halodule pinifolia + + + + +

Halodule uninervis + + + + +

Syringodium isoetifolium + + + + +

Cymodoceaceae

Thalassodendron ciliatum ─ ─ + + +

Keterangan:

+ = ditemukan 2 = Jawa dan Bali

- = tidak ditemukan 3 = Sulawesi

? = diduga dijunpai, tetapi belum tercatat 4 = Maluku dan Nusa Tenggara

1 = Sumatera 5 = Irian Jaya

2.1.4 Fungsi dan Manfaat Padang Lamun

Secara ekologis, padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pulau-pulau kecil yaitu sebagai produsen bagi detritus dan penyedia unsur hara; mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang; sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini, serta sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari. Di samping itu, padang lamun juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan budidaya berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram, tempat rekreasi dan sumber pupuk hijau.


(27)

Produsen Primer

Lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian besar memasuki jaring makanan (Gambar 3) melalui pemangsaan langsung oleh herbivora. Sumber karbon organik lainnya adalah detritus yang terakumulasi pada permukaan sedimen pada padang lamun (Yamamuro et al. 1993) dan selanjutnya dimanfaatkan oleh hewan avertebrata seperti Gastropoda dan Bivalvia (Rhoads 1974, diacu dalam Pollard & Kogure 1993). Oleh karena itu, ekosistem lamun sering digambarkan sebagai jaring-jaring makanan dengan dasar detritus, dengan material tumbuhan yang mati menyediakan karbon organik untuk dekomposisi.

Gambar 3 Jaring makanan dari suatu ekosistem lamun di Filipina (Fortes 1990) Habitat bagi Biota

Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan yang epifit pada bagian daun. Organisme yang epifit pada lamun khususnya adalah kelompok alga (Harlin 1980, diacu dalam

Azkab 2000) dan beberapa kelompok fauna avertebrata seperti Gastropoda (23 jenis), Amphipoda (23 jenis), Isopoda (4 jenis), dan Polychaeta (18 jenis) (Marsh 1973, diacu dalam Azkab 2000).


(28)

Selain itu padang lamun juga sebagai daerah asuhan dan mencari makan dari berbagai jenis ikan herbivora dan ikan-ikan karang (Kikuchi & Peres 1977) serta beberapa jenis biota laut yang terancam punah yaitu Dugong dugong dan Chelonia mydas. Beberapa jenis udang yang bernilai ekonomis (Penaeus esculatus,

P. semisulcatus, dan Metapenaeus ensis) juga sangat tergantung dengan keberadaan komunitas lamun untuk makanan dan perlindungan, terutama pada tahap-tahap awal siklus hidupnya (Stapples et al. 1985, diacu dalam Hendrarto et al. 2000)(Gambar 4). Hasil penelitian Hendrarto et al. (2000) menunjukkan bahwa ada hubungan di antara tutupan lamun yang rendah (44,90 %) di Teluk Kartini dan yang tinggi (94,49 %) di Pulau Panjang terhadap kelimpahan udang Penaeidae.

Gambar 4 Siklus hidup dari beberapa udang Penaeidae yang tergantung pada padang lamun untuk stadia post larva dan juvenil (Dimodifikasi dari Dall et al. 1990, diacu dalam Tomascik et al. 1997).

Perangkap dan Penstabil Dasar Perairan

Pertumbuhan daun yang lebat dan sistem perakaran yang padat menjadikan vegetasi lamun dapat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan ombak serta menyebabkan perairan di sekitarnya tenang (Philips & Menez 1988; Heiss et al. 2000). Hasil penelitian Heiss et al. (2000) menunjukkan bahwa kecepatan arus akan menurun pada bagian dasar bidang lamun Zostera novazelandica dibandingkan pada bagian atas (3,7 kali lebih besar) maupun di luar bidang lamun ini (2,5 kali lebih besar) (Gambar 5). Penurunan kecepatan arus


(29)

menyebabkan partikel-partikel berbutir halus yang tersuspensi akan mengendap, dan mereka kemudian distabilkan oleh sistem akar dan rhizoma dari lamun (Ginsburg & Lowenstam 1958, diacu dalam Heiss et al. 2000).

Gambar 5 (A) Rata-rata kecepatan arus pasang pada satu siklus pasang; dan (B) perbandingan kecepatan di dalam suatu bidang lamun (Zostera novazelandica) dengan di luar dan di atasnya pada lokasi Harwood,

South Island, Selandia Baru (Heiss et al. 2000). Pendaur Zat Hara

Lamun memegang peranan penting dalam pendauran berbagai zat hara di lingkungan perairan pesisir, khususnya yang dibutuhkan oleh alga epifit. McRoy dan Bersdate (1970), diacu dalam Azkab (2000) menunjukkan bahwa akar

Zostera dapat mengambil fosfat dari daun yang telah membusuk pada celah-celah sedimen. Selanjutnya Harlin (1975), diacu dalam Azkab (2000) menunjukkan bahwa fosfat dari daun-daun Phyllospadix dan Zostera dapat bergerak sepanjang helai daun dan masuk ke dalam alga epifitik. Beberapa jenis alga biru hijau yang bersifat epifitik pada Thalassia, memfiksasi nitrogen dan menyebabkan nitrat yang terlarut mendapatkan jalan masuk ke inangnya (Goering & Parker 1972, diacu dalamAzkab 2000).


(30)

2.2 Parameter Kualitas Perairan

Parameter kualitas perairan yang penting memengaruhi distribusi dan pertumbuhan padang lamun, yaitu:

2.2.1 Suhu

Walau secara geografis padang lamun dapat tersebar secara luas, hal ini mengindikasikan bahwa adanya kisaran toleransi yang luas terhadap suhu, tetapi pada kenyataannya jenis lamun di daerah tropik mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan suhu. Menurut Dahuri (2003), suhu optimal yang dibutuhkan lamun berkisar 28oC - 30oC. Bagi lamun suhu dapat memengaruhi proses-proses fisiologis seperti fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan dan reproduksi. Apabila berada di luar kisaran optimal tersebut maka proses fisiologis dapat menurun dengan tajam.

2.2.2 Salinitas

Jenis lamun memiliki toleransi yang berbeda terhadap salinitas, tetapi sebagian besar memiliki kisaran yang lebar, yaitu antara 10 dan 40g/kgdengan nilai optimum 35g/kg(Dahuri 2003). Penurunansalinitas akan menyebabkan laju fotosintesis dan pertumbuhan lamun menurun dan dapat berpengaruh terhadap proses perkecambahan dan pembentukan bunga (McRoy & McMillan 1977, diacu dalam Erina 2006). Menurut Nontji (1987), sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai.

2.2.3 Kecerahan.dan Kekeruhan

Kecerahan perairan ditunjukkan dengan kemampuan cahaya menembus lapisan air sampai pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Distribusi dan kelimpahan lamun juga dibatasi oleh ketersediaan cahaya hal ini dapat dilihat dari sebarannya yang terbatas pada daerah yang masih dapat ditembusi cahaya matahari (Berwick 1983, diacu dalam Erina 2006). Den Hartog (1977), diacu dalam Kiswara dan Utomo (1985), menyatakan bahwa Halophila telah ditemukan sampai kedalaman 90 meter, tetapi batas kedalaman sebagian besar jenis lamun adalah 10 sampai 12 meter.


(31)

Kekeruhan merupakan gambaran sifat optik dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada di dalam perairan tersebut (APHA 1989). Kekeruhan menyebabkan terhalangnya penetrasi cahaya matahari ke dalam kolom air. Kekeruhan dapat disebabkan oleh adanya partikel-partikel tersuspensi, zat-zat koloid, bahan-bahan organik, dan plankton. Semakin tinggi kekeruhan perairan maka penetrasi cahaya ke dalam air semakin dangkal. Lamun dapat menurunkan kekeruhan air karena mampu meredam atau mengurangi kecepatan arus melalui padang lamun, akibatnya partikel tersuspensi di kolom air akan jatuh ke dasar perairan. Fluktuasi kekeruhan berkaitan erat dengan tipe sedimen, kedalaman air dan keadaan cuaca (Hamid 1996).

2.2.4 Kecepatan Arus

Arus laut permukaan merupakan pencerminan langsung dari pola angin (Romimohtarto & Juwana 2001). Kecepatan arus ini dapat memengaruhi produktivitas primer padang lamun. Misalnya Thalassia testudinum mempunyai kemampuan maksimal untuk menghasilkan standing crop pada arus sekitar 0,5 m/detik. Beberapa jenis lamun bahkan mampu hidup dengan kecepatan arus berkisar 0-2,0576 m/detik, misalnya H. spinulosa dan H. uninervis pada kisaran 0-1,0288 m/detik (Dahuri 2003; Walker 1989, diacu dalam Irawan 2003). Aliran air akan meningkatkan pengambilan CO2 dan nutrien ke permukaan melalui modifikasi turbelensi oleh kanopi padang lamun (Hillman et al. 1989).

2.2.5 Nilai pH

Nilai pH menyatakan intensitas keasaman atau kebasaan dari suatu cairan yang mewakili konsentrasi ion hidrogen. Air laut mempunyai kemampuan menyangga yang sangat besar untuk mencegah perubahan pH. Perubahan sedikit saja dari pH alami akan memberikan petunjuk terganggunya sistem penyangga. Hal ini dapat menimbulkan perubahan dan ketidak seimbangan kadar CO2 yang dapat membahayakan kehidupan biota laut. Nilai pH air laut permukaan di Indonesia umumnya bervariasi dari lokasi ke lokasi antara 6,0 dan 8,5. Menurut Beer et al. (1977), diacu dalam Phillip dan Menez (1988), lamun dapat tumbuh dengan baik pada saat pH air laut normal yaitu antara 7,8 dan 8,5 karena pada saat


(32)

tersebut ion bikarbonat yang dibutuhkan untuk proses fotosintasis oleh lamun berada dalam keadaan melimpah.

2.2.6 Kadar Gas Oksigen terlarut

Gas oksigen terlarut adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam air dan diperlukan oleh hampir semua bentuk kehidupan akuatik untuk proses pembakaran dalam tubuh. Menurut Hutagalung dan Rozak (1997a), sumber utama oksigen dalam air laut adalah udara melalui proses difusi dan hasil fotosintesis tumbuhan air pada siang hari. Selanjutnya dikatakan bahwa menurunnya kadar oksigen dalam air laut dapat diakibatkan oleh kenaikan suhu air, proses respirasi, adanya lapisan minyak di atas permukaan laut, dan masuknya limbah organik yang mudah terurai ke lingkungan laut. Kadar oksigen terlarut di perairan Indonesia berkisar 4,5 - 7,0 ppm.

2.2.7 Unsur Hara

Ketersediaan unsur hara di perairan padang lamun dapat berperan sebagai faktor pembatas bagi pertumbuhannya. Entsch et al. (1983) menyatakan bahwa padang lamun yang tumbuh pada sedimen kapur, unsur hara fosfat dapat bertindak sebagai faktor pembatas pertumbuhannya karena kuatnya terikat oleh partikel-partikel sedimennya. Selain itu ketersediaan nitrogen organik di perairan diduga sebagai pembatas pertumbuhannya (Moriarty & Boon 1989, diacu dalam Kiswara 1995), sehingga efisiensi daur nutrisi dalam sistemnya akan menjadi sangat penting untuk memelihara produktivitas primer lamun dan organisme-organisme autotrofnya (Hillman et al. 1989, Patriquin 1992, diacu dalam Zulkifli & Efriyeldi 2003).

Unsur hara fosfat, nitrat dan amonium diserap oleh lamun melalui daun dan akarnya, namun Short (1987); Erftemeijer (1994); Muchtar (1994 & 1999), diacu dalam Zulkifli dan Efriyeldi (2003), menyatakan bahwa penyerapan unsur hara melalui daun lamun di daerah tropis sangat kecil bila dibandingkan dengan penyerapan melalui akar. Di daerah tropis kadar unsur hara di air poros lebih besar bila dibandingkan dengan di kolom air dan air permukaan.


(33)

2.2.8 Sedimen Dasar

Padang lamun umumnya dapat hidup pada berbagai tipe sedimen, mulai dari lumpur sampai sedimen dasar yang terdiri dari endapan lumpur halus sebesar 40% (Dahuri 2003), namun mereka membutuhkan dasar yang lunak agar mudah ditembus oleh akar-akar dan rhizomanya untuk menyokong tumbuhan. Kesesuaian substrat yang paling utama bagi perkembangan dan pertumbuhan lamun ditandai dengan kandungan sedimen yang cukup. Semakin tipis substrat perairan akan menyebabkan lamun tidak stabil, sebaliknya semakin tebal substrat lamun akan tumbuh dengan subur. Peranan kedalaman substrat dalam stabilitas sedimen mencakup 2 hal, yaitu: melindungi tanaman dari arus laut dan tempat mengolah dan memasok nutrien (Berwick 1983, diacu dalam Erina 2006).


(34)

III METODE

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada lima lokasi yang terletak di perairan pesisir Kabupaten Manokwari. Kelima lokasi tersebut adalah Pantai Andai, Pantai Rendani, Pantai Wosi, Pantai Briosi, dan Tanjung Mangewa (Gambar 6). Pelaksanaan penelitian di lapangan dan analisis di laboratorium berlangsung dari bulan Juli sampai Oktober 2007. Analisis kandungan amoniak, nitrat dan fosfat air, kandungan N total, C oganik, P tersedia di dalam sedimen dan fraksi sedimen dilakukan di Laboratorium Lingkungan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, sedangkan identifikasi dan analisis lamun dilakukan di Laboratorium Biologi FMIPA Unipa Manokwari.

Sumber: Dimodifikasi dari Bakorsurtanal 2006 Gambar 6 Peta lokasi penelitian.


(35)

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

Parameter Satuan Alat/bahan Keterangan Fisika-Kimia

- Suhu oC Termometer In situ

- Kecepatan arus m/det. Current meter In situ

- Salinitas o/oo Hand refractometer In situ - Gas oksigen terlarut mg/l DO meter In situ

- pH pH meter In situ

- Kekeruhan NTU Turbidimeter Laboratorium

- Nitrat air mg/l Botol sampel Laboratorium

- Amoniak air mg/l Botol sampel, Laboratorium

- Fosfat air mg/l Botol sampel Laboratorium

- C organik sedimen % Pipa paralon, Laboratorium - Total N sedimen % Pipa paralon Laboratorium - P tersedia sedimen ppm Pipa paralon Laboratorium

- Fraksi sedimen % Pipa paralon Laboratorium

Biologi

- Komposisi jenis Kuadrat In situ

- Kepadatan tegakan /m2 Kuadrat In situ

- Penutupan % Kuadrat In situ

- Biomassa gbk/m2 Kuadrat, skop, air, oven, timbangan

In situ

Laboratorium Posisi lokasi sampling

(koordinat) Derajat (

o

) Geographic Position

System (GPS) In situ 3.3 Metode Pengambilan Data

3.3.1 Pengambilan Contoh Lamun

Pengambilan contoh lamun menggunakan metode garis transek dan kuadrat. Untuk memudahkan, pengambilan contoh lamun dilakukan pada saat surut terendah. Sebelum pengambilan data, dilakukan pengamatan terhadap kondisi penyebaran lamun untuk menentukan penempatan garis transek. Selanjutnya pada setiap lokasi diletakkan 3 garis transek yang masing-masing tegak lurus garis pantai menuju ke arah tubir. Panjang setiap garis transek 50 m. Jarak antar transek pada lokasi Briosi dan Tj. Mangewa adalah 25 m dan pada lokasi Andai, rendani dan Wosi adalah 50 m. Posisi geografis garis transek dapat dilihat pada Tabel 4 dan letak garis transek dapat dilihat pada Lampiran 2.


(36)

Tabel 4 Posisi geografis garis transek pada lima lokasi penelitian

No. Lokasi Transek LS BT

I 00o55'52,8" 134o01'18,1" II 00o55'53,3" 134o01'16,5" 1. Andai

III 00o55'54,1" 134o01'16,5" I 00o53'46,8'' 134o03'07,1" II 00o53'49,2'' 134o03'08,9" 2. Rendani

III 00o53'48,3'' 134o03'05,7" I 00o52'21,0" 134o03'00,0" II 00o52'21,8" 134o02'59,2" 3. Wosi

III 00o52'22,9" 134o02'59,0" I 00o52'27,7" 134o04'08,4" II 00o55'16,9'' 134o04'06,9" 4. Briosi

III 00o52'24,0" 134o04'06,3" I 00o55'16,1'' 134o06'32,7" II 00o55'16,9'' 134o06'33,2" 5 Tanjung Mangewa

III 00o55'16,8'' 134o06'33,4" Pada setiap garis transek diletakkan 11 kuadrat, masing-masing berukuran 50 x 50 cm dengan jarak antar kuadrat 5 m. Setiap kuadrat dibagi lagi menjadi 25 sub kuadrat, masing-masing berukuran 10 x 10 cm. Pengamatan komposisi jenis lamun dan luas penutupan dilakukan pada setiap kuadrat. Identifikasi jenis lamun mengacu pada Phillips dan Menez (1988); Fortes (1990). Selanjutnya sampel lamun yang terdapat di setiap kuadrat diambil, dibersihkan dan dimasukkan ke dalam plastik sampel dan diberi label kemudian dibawa ke laboratorium. Di laboratorium, sampel dicuci kembali untuk menghilangkan substrat dan biota penempel, kemudian lamun yang sudah bersih dipisahkan menurut jenisnya lalu dihitung jumlah tegakannya. Setelah itu sampel lamun dipisahkan lagi menurut bagian tumbuhannya, yaitu bagian di atas substrat (BA) terdiri dari helaian dan pelepah daun dan bagian bawah di bawah substrat (BB) terdiri dari rhizoma dan akar. Bagian-bagian tumbuhan ini selanjutnya dibungkus aluminium foil yang sebelumnya telah diberi label dan dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC selama 24 jam (Kiswara 1999b), kemudian ditimbang berat keringnya. Selain menggunakan metode garis transek dan kuadrat juga digunakan metode survei jelajah untuk mengumpulkan jenis lain yang kemungkinan ditemukan berada di luar kuadrat.


(37)

3.3.2 Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Perairan

Pengukuran parameter fisika-kimia air dan sedimen dilakukan seperti tertera pada Tabel 3. Pengukuran beberapa parameter seperti suhu; kedalaman; salinitas; pH air; kecepatan arus; dan gas oksigen terlarut (DO) langsung dilakukan di lapangan (in situ), sedangkan penentuan kandungan amoniak, nitrat, fosfat air, C, N, P sedimen dan fraksi sedimen dilakukan di laboratorium.

Pengambilan contoh air kolom menggunakan botol sampel yang dilakukan secara acak pada setiap garis transek, masing-masing satu kali pengambilan. Botol sampel dipisahkan atas botol untuk analisis kandungan amoniak dan nitrat (setiap botol berisi 125 ml contoh air laut ditambah 0,1 ml larutan H2SO4 pekat) dan untuk analisis kandungan fosfat (setiap botol berisi 100 ml contoh air laut ditambah 0,05 ml larutan HgCl). Pengambilan contoh sedimen menggunakan pipa paralon berdiameter 2,5 inchi. Contoh sedimen diambil secara acak pada setiap garis transek, masing-masing satu kali pengambilan sampai kedalaman 15 cm, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik. Selanjutnya contoh air laut dan sedimen dikirim ke Laboratorium Lingkungan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk dianalisis. Untuk menentukan tipe tekstur tanah digunakan segitiga tekstur tanah (Brower et al. 1990) dengan membandingkan persentase fraksi sedimen (pasir, debu dan liat).

3.4 Analisa Data

Untuk mendapatkan gambaran mengenai struktur komunitas lamun pada kelima lokasi penelitian, maka dilakukan analisis data yang meliputi:

3.4.1 Frekuensi dan Frekuensi Relatif

Frekuensi jenis (Fi) lamun menggambarkan peluang ditemukannya jenis lamun pada semua kuadrat pengamatan. Perhitungan frekuensi jenis mengacu pada Cox (2002), sebagai berikut:

Frekuensi jenis =

kuadrat total Jumlah i ke jenis ya ditemukann kuadrat Jumlah −

Frekuensi relatif (FR) adalah perbandingan antara frekuensi jenis lamun ke-i dengan frekuensi seluruh jenis (Cox 2002), sebagai berikut:

Frekuensi relatif (%) = x100

jenis seluruh Frekuensi i ke jenis Frekuensi −


(38)

3.4.2 Kepadatan dan Kepadatan Relatif

Kepadatan jenis (Ki) lamun adalah perbandingan antara jumlah tegakan dengan luas wilayah contoh. Kepadatan setiap jenis lamun dihitung dengan menggunakan formula Cox (2002), sebagai berikut:

Kepadatan jenis =

) (m contoh wilayah Luas jenis tiap tegakan Jumlah 2

Kepadatan relatif (KR) adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis lamun ke-i dan jumlah total tegakan seluruh jenis lamun (Cox 2002), sebagai berikut:

Kepadatan relatif (%) = x100

jenis seluruh tegakan Jumlah jenis tiap tegakan Jumlah

3.4.3 Penutupan dan Penutupan Relatif

Penutupan lamun menyatakan luasan area yang tertutupi oleh lamun. Persentase penutupan (Pi) lamun dihitung menggunakan metode Saito and Atobe (English et al. 1970, diacu dalam Kepmen Negara LH No. 200 Thn. 2004), dengan menggunakan rumus:

(

)

= f fi x Mi C

Dimana: C = penutupan jenis lamun i (%), Mi = nilai tengah kelas ke-i,

F = frekuensi (jumlah sub kuadrat yang memiliki nilai tengah yang sama). Penutupan relatif (PR) adalah perbandingan di antara penutupan individu jenis ke-i (ni) dengan jumlah total penutupan seluruh jenis (n) (Brower et al. 1990). Nilai tengah kelas untuk menghitung persen penutupan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Kriteria kelas penutupan lamun berdasarkan dominasi penutupan

Kelas Luas area % penutupan area % nilai tengah (M)

5 1/2 - penuh 50 - 100 75

4 1/4 - 1/2 25 - 50 37,5

3 1/8 - 1/4 12,5 - 25 18,75

2 1/16 -1/8 6,25 - 12,5 9,38

1 <1/16 <6,25 3,13

0 Kosong 0 0


(39)

3.4.4 Indeks Nilai Penting (INP)

Indeks nilai penting (INP) digunakan untuk mengetahui peranan individu jenis lamun terhadap komunitasnya. Semakin tinggi nilai INP suatu jenis terhadap jenis lainnya maka semakin tinggi pula peranan jenis tersebut terhadap komunitasnya. INP dihitung dengan menggunakan rumus:

PR FR KR

INP= + +

Dimana: KR = kepadatan relatif FR = frekuensi relatif PR = penutupan relatif 3.4.5 Pola Penyebaran

Pola penyebaran ditentukan berdasarkan perbandingan keragaman dengan nilai rata-rata hitung individu jenis ke-i (Elliott 1973; Ludwig & Reynolds 1988) sebagai berikut:

n x

Σ

x = i

1 n ) x (x Σ S 2 i 2 − − = x S ID 2 = Dimana: x = rata-rata hitung individu jenis ke-i,

i

x = jumlah individu jenis ke-i dalam setiap kuadrat, S2 = keragaman,

n = jumlah kuadrat,

ID = indeks penyebaran.

Jika: ID < 1 berarti pola penyebaran teratur atau merata, ID = 1 berarti pola penyebaran acak, dan

ID > 1 berarti pola penyebaran mengelompok.

Karena nilai ID sering menyimpang dari 1 maka untuk mengujinya dipakai uji-t:

1 n 2 1 x S thitung − − =

Dengan kriteria keputusan :

t hitung ≤ t 0,05 (n – 1) = berarti terima hasil ID = 1, dan t hitung > t 0,05 (n – 1) = berarti tolak hasil ID = 1.


(40)

3.4.6 Indeks Keanekaragaman dan Dominasi Jenis

Penentuan indeks keanekaragaman jenis pada penelitian ini menggunakan Indeks Shannon-Wiener berpedoman pada Cox (2002), dengan formula sebagai berikut:

= pi logpi H'

Dimana: H’ = indeks keanekaragaman jenis, pi = ni/N,

ni = jumlah individu jenis ke-i,

N = jumlah total individu seluruh jenis.

Agar nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) dapat ditafsirkan maknanya maka digunakan kriteria sebagai berikut:

Jika H’ < 1: keanekeragaman jenis rendah, Jika 1 ≤ H’ < 3: keanekaragaman jenis sedang, Jika H’ > 3: keanekaragaman jenis tinggi.

Sedang untuk mengetahui dominasi suatu jenis lamun dalam komunitasnya menggunakan indeks dominasi mengacu pada Cox (2002), sebagai berikut:

1) (N N 1) (ni ni Cd − − =

Dimana: Cd = indeks dominasi,

ni = jumlah individu jenis ke-i,

N = jumlah total individu seluruh jenis.

Nilai indeks dominasi berkisar 0 - 1. Jika indeks dominasi 0 berarti hampir tidak ada jenis lamun yang mendominasi dan apabila nilai indeks dominasi mendekati 1 berarti ada salah satu jenis yang mendominasi di komunitas tersebut.

3.4.7 Indeks Kesamaan Komunitas

Indeks kesamaan komunitas bertujuan untuk mengetahui tingkat kesamaan komunitas lamun pada semua lokasi penelitian. Penentuan indeks kesamaan komunitas (S) menggunakan pedoman Cox (2002), sebagai berikut:

100 x B) (A w 2 (%) S + =

Dimana: A = jumlah INP jenis lamun yang ditemukan pada lokasi A, B = jumlah INP jenis lamun yang ditemukan pada lokasi B, w = jumlah INP terkecil setiap jenis lamun di antara kedua lokasi.


(41)

3.4.8 Parameter Kualitas Perairan

Kualitas air merupakan refleksi dari perubahan lingkungan di sekitarnya pada waktu tertentu sehingga akan memengaruhi kondisi fisik, kimia dan biologi perairan tersebut. Untuk menilai suatu ekosistem perairan apakah sudah tercemar atau kondisinya masih baik sesuai peruntukannya, tidak dapat didasarkan hanya kepada satu parameter, tetapi ditentukan oleh banyak parameter. Hal ini dikarenakan kompleksnya ekosistem perairan itu sendiri dan responnya terhadap perubahan lingkungan serta adanya hubungan antara satu parameter dengan parameter lainnya (Kamal 2006).

Untuk mengetahui kondisi perairan di lokasi penelitian maka dilakukan penghitungan indeks kualitas air dengan menggunakan metode STORET (Storage and Retrieval of Water Quality Data System). Metode STORET merupakan salah satu metode untuk menentukan status mutu air yang umum digunakan. Secara prinsip metode STORET adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air sesuai peruntukkannya. Data terdiri atas parameter-parameter fisika dan kimia yang diambil secara spasial, dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Membuat tabel hasil pengukuran dan analisa parameter fisika dan kimia yang mencakup nilai maksimum, nilai minimum dan nilai rerata.

2. Pada tabel yang sama mencantumkan nilai baku mutu parameter fisika dan kimia untuk biota laut berdasarkan Kepmen Negara LH No. 51 Tahun 2004. 3. Membandingkan masing-masing nilai (nilai maksimum, nilai minimum dan

nilai rata-rata) dengan nilai baku mutu.

4. Memberikan skor terhadap masing-masing parameter tersebut sebagai berikut: a. Skor (0), jika nilai-nilai parameter hasil pengukuran (minimum, maksimum

dan rata-rata) memenuhi baku mutu atau masih di bawah nilai baku mutu.

b. Skor (-1s/d-9), jika nilai-nilai parameter hasil pengukuran (minimum, maksimum dan rata-rata) telah melebihi nilai baku yang telah ditetapkan dan jumlah contoh air yang diukur kurang dari 10.

c. Skor (-2s/d-18), jika nilai-nilai parameter hasil pengukuran (minimum maksimum, dan rata-rata) telah melebihi nilai baku yang telah ditetapkan dan jumlah contoh air yang diukur lebih dari atau sama dengan 10.


(42)

Tabel 6 Nilai yang diberikan untuk setiap parameter yang tidak memenuhi nilai baku mutu

Parameter Jumlah Contoh Nilai

Fisika Kimia Biologi <10 Minimum Maksimum Rata-rata -1 -1 -3 -2 -2 -6 -3 -3 -9

≥ 10 Minimum

Maksimum Rata-rata -2 -2 -6 -4 -4 -12 -6 -6 -18 Sumber: Canter 1977, diacu dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 115 Tahun 2003 d. Setelah masing-masing parameter diberi skor, nilai skor dari seluruh parameter

fisika dan kimia dijumlahkan dan dibandingkan dengan nilai berdasarkan EPA (Environmental Protection Agency)“ seperti tercantum pada Tabel 7.

Tabel 7 Klasifikasi mutu air berdasarkan EPA (Environmental Protection Agency)

Kelas Jumlah Total Skor Mutu Air

A 0 Memenuhi baku mutu

B -1 s/d -10 Tercemar ringan

C -11 s/d – 30 Tercemar sedang

D ≥ -31 Tercemar berat

Sumber: Canter 1977, diacu dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 115 Tahun 2003 3.4.9 Sebaran Spasial Parameter Fisika-Kimia Perairan

Untuk mengetahui hubungan antara lokasi penelitian dengan parameter fisika-kimia perairan digunakan analisis komponen utama dengan program Statistika 6.0.


(43)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di Andai merupakan pantai landai dekat dengan muara Sungai Andai (Lampiran 1a dan 2). Walau relatif jauh dari pemukiman yang padat, namun kondisi perairan ini keruh dengan tipe sedimen terrigenous (berasal dari daratan). Kondisi ini diduga berkaitan dengan masukan partikel tersuspensi dan aktivitas penambangan pasir dan kerikil di Sungai Andai.

Padang lamun di lokasi Rendani ditemukan pada daerah rataan terumbu yang landai dan cukup luas, juga terdapat ekosistem mangrove dan terumbu karang. Substrat sebagian besar tersusun dari sedimen karbonat yang terdiri dari pasir dan pecahan karang. Lokasi ini relatif jauh dari pemukiman yang padat dan kondisi perairannya relatif jernih. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1b dan 2.

Lokasi Wosi merupakan pantai landai yang cukup luas dan terletak dalam teluk kecil, sehingga relatif terlindung (Lampiran 1c dan 2). Lokasi ini dekat dengan pemukiman penduduk yang padat dan pasar. Padang lamun ditemukan dekat muara Sungai Wosi dengan tipe sedimen terrigenous. Kondisi perairannya keruh dan diduga banyak mendapat masukan dari limbah antropogenik.

Lokasi Briosi seperti halnya Rendani merupakan daerah rataan terumbu tetapi relatif lebih sempit dengan tipe substrat karbonat. Di bagian ke arah laut terdapat ekosistem terumbu karang yang tidak terlalu luas. Lokasi ini relatif dekat dengan pemukiman penduduk, PLN Manokwari dan jalur transportasi laut. Kondisi lokasi ini relatif keruh dan mengandung minyak, hal ini sangat mungkin berkaitan dengan masukkan limbah antropogenik dari beberapa sungai kecil, limbah minyak dari PLN dan kapal. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1d dan 2.

Lokasi Tanjung Mangewa terletak di ujung timur Pulau Mansinam, sehingga relatif jauh dari pemukiman penduduk dan aksesibilitas yang relatif sulit. Padang lamun di daerah ini ditemukan pada daerah rataan terumbu yang sempit di bagian dalam teluk kecil, sehingga relatif terlindung (Lampiran 1e dan 2). Tipe sedimen pada padang lamun ini adalah karbonat (pasir dan pecahan karang). Selain ekosistem lamun, juga ditemukan ekosistem terumbu karang di bagian ke arah laut.


(44)

4.2 Struktur Komunitas Lamun 4.2.1 Jenis dan sebaran lamun

Selama penelitian ini berhasil diidentifikasi sebanyak 8 jenis lamun yang termasuk dalam 2 suku (Hydrocharitaceae dan Cymodoceaceae) dan 6 marga (Tabel 8, Lampiran 3). Kedelapan jenis lamun itu adalah: Enhalus acoroides

(Linnaeus f.) Royle, Halophila ovalis (R. Brown) Hooker f., Thalassia hemprichii

(Ehrenberg) Ascherson, Cymodocea rotundata Ehrenberg and Hemprich ex Ascherson, C. serrulata (R. Brown) Ascherson and Magnus, Halodule pinifolia

(Miki) den Hartog, Halodule uninervis (Forsskal) Ascherson, dan Syringodium isoetifolium (Ascherson) Dandy. Salah satu jenis, yaitu E. acoroides ditemukan pada suatu bidang kecil di luar petak pengamatan di lokasi Wosi. Selain delapan jenis lamun yang ditemukan dalam penelitian ini, terdapat satu jenis lainnya (Halophila minor) yang dilaporkan dalam penelitian sebelumnya (Talakua 2007) di daerah pesisir Rendani dan Pulau Lemon.

Tabel 8 Jenis dan sebaran lamun pada lokasi penelitian Lokasi No. Takson

Andai Rendani Wosi Briosi Tj.Mangewa Cymodoceaceae

1. C. rotundataa - + + + +

2. C. serrulatab - + (+) - (+)

3. H. pinifoliaa + + + + +

4. H. uninervisa - + - + +

5. S. isoetifoliuma - + - + +

Hydrocharitaceae

6. E. acoroidesb - - (+) - -

7. H. ovalisa + + + + +

8. T. hemprichiib - + - + +

Total 2 7 5 6 7

Keterangan: - = tidak ditemukan a = jenis pioner + = ditemukan di dalam petak pengamatan b = jenis klimaks (+) = ditemukan di luar petak pengamatan

Padang lamun pada lokasi penelitian mempunyai tipe vegetasi campuran. Hemminga dan Duarte (2000), mengemukakan bahwa karakteristik padang lamun pada daerah tropis dan subtropis Indo-Pasifik yaitu memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi dan bertipe vegetasi campuran (mixed vegetation). Tipe vegetasi campuran juga ditemukan di beberapa perairan Indonesia lainnya (Erftemeijer & Middelburg 1993; Merryanto 2000; Nasution 2003, Suparno et al. 2005; Erina 2006)


(45)

yang umumnya tersusun dari 4-8 jenis. Walau juga ditemukan tegakan monospesifik, misalnya padang E. acoroides di daerah pesisir Gusung Tallang dengan kondisi lingkungan yang terlindung dan bertipe substrat lumpur (Erftemeijer & Middelburg, 1993).

Perbedaan komposisi jenis lamun dan sebaran pada masing-masing lokasi penelitian ini diduga berkaitan dengan kemampuan adaptasi jenis lamun tersebut terhadap kondisi lingkungan yang berbeda. Pada lokasi Andai dan Wosi yang bertipe sedimen terrigenous dan tingkat kekeruhan yang tinggi, jenis lamun yang ditemukan terutama dari jenis pioner, yaitu: H. pinifolia, H. ovalis dan C. rotundata. Kelompok ini relatif berukuran kecil, memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan masa hidup yang lebih singkat (Hillman et al. 1989; Duarte 1991). Jenis pioner merupakan kelompok yang pertama menempati lokasi setelah terjadinya gangguan (Duarte et at.

1997) dan salah satu marga di antaranya, yaitu Halodule bersifat eurybiontic dan membentuk pertumbuhan awal pada substrat yang baru terbentuk atau terganggu (Phillips & Meñez 1988). Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya urutan pergantian jenis dalam proses suksesi selama pemulihan setelah terjadinya gangguan. Percobaan yang dilakukan terhadap habitat yang telah rusak di Karibia (Williams 1987 & Williams 1990, diacu dalam Hemminga & Duarte 2000) menunjukkan bahwa jenis pioner Halodule wrightii akan digantikan oleh Syringodium filiforme dan akhirnya oleh jenis klimaks Thalassia testudinum, selama pemulihan.

Walau pun hasil percobaan Duarte et al. (1997) menunjukkan bahwa jenis klimaks yang berukuran besar sensitif terhadap gangguan kekeruhan, namun demikian beberapa di antaranya tahan terhadap kondisi ini, yaitu E. acoroides

(Terrados et al. 1997) dan C. serrulata (Duarte et al. 1997). Kemampuan adaptasi kedua jenis ini yang menjelaskan keberadaannya di lokasi Wosi.

Pada padang lamun di lokasi Rendani, Tanjung Mangewa dan Briosi yang bertipe sedimen karbonat, selain ditemukan beberapa jenis pioner, juga umumnya didominasi oleh jenis klimaks yang berukuran relatif lebih besar. Kelompok ini memiliki laju pertumbuhan yang lambat dan masa hidup yang lebih lama (Hillman et al. 1989; Duarte 1991) serta umumnya hidup pada kondisi habitat yang relatif stabil. Walau komposisi jenis di antara ketiga lokasi ini relatif sama, namun beberapa di antaranya yaitu T. hemprichii dan S. isoetifolium yang relatif peka


(46)

terhadap gangguan (kekeruhan dan penutupan oleh sedimen) (Terrados et al. 1997; Vermaat et al. 1997) ditemukan dalam kondisi (kepadatan, persentase tutupan, biomassa dan INP) yang relatif lebih baik pada lokasi dengan perairan yang lebih jernih (Rendani dan Tanjung Mangewa). Phillips & Meñez (1988), mengemukakan bahwa T. hemprichii dominan di daerah rataan terumbu mati dan rataan subtidal pada substrat pasir dan patahan karang yang bersih.

4.2.2 Zonasi

Secara umum pada semua lokasi penelitian, batas atas distribusi lamun terletak di antara permukaan rata-rata air laut dan surut terendah (Lampiran 4). Pada bagian atas daerah intertidal, terutama ditemukan jenis berukuran kecil seperti

H. pinifolia, H. uninervis dan H. ovalis. Walau demikian, pada tiga lokasi rataan terumbu intertidal (Rendani, Briosi dan Tj. Mangewa), juga ditemukan jenis berukuran besar (C. rotundata dan T. hemprichii). Pada zona intertidal bagian bawah yang masih tergenang pada saat surut terendah, umumnya ditemukan jenis berukuran besar, termasuk S. isoetifolium dan C. serrulata. Pola zonasi pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4.

Sebagian besar jenis lamun tidak mampu menoleransi kondisi kekeringan sehingga tidak dapat tumbuh pada zona intertidal. Walau hanya jenis lamun berukuran kecil dan mampu menahan air di antara daun-daunnya ketika terdedah pada surut terendah yang dapat menempati daerah ini (Koch 2001) namun beberapa jenis yang tidak tahan terhadap kekeringan bisa hidup pada daerah ini, misalnya

S. isoetifolium (Björk et al. 1999) yang ditemukan pada kolam-kolam dangkal di daerah rataan terumbu (Phillips & Meñez 1988). Selain itu juga, keberadaan beberapa jenis lamun berukuran besar lainnya di daerah intertidal berkaitan dengan kemampuannya menoleransi kondisi kekeringan. Björk et al. (1999) mengemukakan bahwa kemampuan menoleransi kondisi kekeringan sangat terkait dengan karakter morfologis yang bisa meminimumkan tekanan kekeringan. Hal ini juga telah dibuktikan oleh Tanaka dan Nakaoka (2004) yang menemukan bahwa laju kehilangan air pada bagian daun C. rotundata dan C. serrulata jauh lebih cepat daripada T. hemprichii, dan dengan kondisi yang demikian menunjukkan bahwa kedua jenis ini rentan terhadap tekanan kekeringan. Namun perbedaan toleransi fisiologis ini tidak sesuai dengan variasi yang diamati pada batas atas distribusi atau


(47)

variasi kelangsungan hidup yang diukur pada percobaan transplantasi (Tanaka & Nakaoka 2004), karena jenis C. rotundata juga ditemukan pada daerah intertidal dan mempunyai kelangsungan hidup yang tinggi.

Phillips dan Meñez (1988) mengemukakan bahwa jenis yang berukuran kecil, yaitu H. ovalis dan marga Halodule, bersifat eurybiontic dan eurythermic. Keberadaan H. ovalis pada daerah intertidal berkaitan dengan karakteristik daun-daunnya yang ditopang oleh petiole tipis dan fleksibel (Lampiran 3) sehingga memungkinkannya rebah pada substrat lembab (Björk et al. 1999). Substrat ini yang selanjutnya menjaga kelembabannya dengan air pori dan rembesan air dari daerah intertidal di bagian atasnya. Selain bentuk daunnya yang tipis dan fleksibel pada

Halodule wrightii, menurut Björk et al. (1999) keberadaan daunnya yang padat akan saling menutupi ketika kondisi surut sehingga mengurangi penguapan dari daun-daun yang tidak secara langsung berhubungan dengan substrat pasir yang lembab. Keberadaan kedua jenis ini pada daerah intertidal juga mempunyai keuntungan dari aliran air kaya nutrient dari daerah di bagian atasnya yang merembes melalui pasir. Hal ini berkaitan dengan ukuran kedua jenis yang kecil sehingga memiliki sistem akar yang lebih dangkal dibandingkan jenis yang lebih besar (Duarte et al. 1998), dan kondisi ini akan membatasi suplai nutriennya jika tumbuh lebih jauh dari pantai.

Cymodocea rotundata memiliki rhizoma vertikal yang pendek dan pelepah seperti selempang (strap-like sheath) (Lampiran 3). Menurut Tanaka dan Nakaoka (2004), karakteristik morfologi yang demikian memungkinkan bagian-bagian di atas permukaan (daun dan pelepah) berada pada sedimen dan tetap berhubungan dengan substrat yang basah, sehingga terhindar dari kehilangan air ketika padang lamun terdedah. Sedangkan pada C. serrulata, selain toleransi fisiologis daun yang rendah terhadap kekeringan, juga mempunyai rhizoma vertikal yang lebih panjang sehingga akan menjauhi substrat yang basah dan pelepah yang lebih sempit serta tipis yang kurang berfungsi mencegah kehilangan air. Karakteristik morfologis ini tidak menguntungkan pada daerah intertidal, seperti yang ditunjukkan dari hasil percobaan Tanaka dan Nakaoka (2004) yang menemukan kelangsungan hidupnya yang rendah sekali pada daerah intertidal. Karakteristik vertikal rhizoma C. serrulata yang panjang dianggap menguntungkan untuk mendapatkan cahaya dan untuk menghindari terkubur secara fisik pada lokasi-lokasi subtidal yang dalam (Duarte et al. 1997).


(48)

Jenis T. hemprichii memiliki rhizoma vertikal yang lebih panjang dan pelepah yang tidak fleksibel (Lampiran 3) dibanding C. rotundata, sehingga mengalami kondisi terdedah yang lebih lama. Namun, kondisi ini diimbangi oleh toleransi fisiologis daunnya yang lebih besar terhadap kekeringan dan juga memiliki pelepah yang banyak sehingga bisa membantu mencegah kehilangan air dari meristemnya.

Selain variasi morfologis antar jenis, juga ditemukan variasi di dalam jenis pada lamun yang hidup di daerah intertidal dan subtidal. Hasil penelitian Tanaka dan Nakaoka (2004) menemukan bahwa pada kondisi alamiah, T. hemprichii dan

C. rotundata memiliki rhizoma vertikal dan daun yang lebih pendek pada zona intertidal dibandingkan subtidal. Ukuran rhizoma vertikal yang lebih pendek akan mengurangi kemungkinan meristem terdedah, dan daun yang lebih pendek akan menurunkan kerusakan terhadap organ fotosintesis. Penurunan ukuran pada zona intertidal juga diamati pada H. ovalis, H. uninervis dan Z. capricorni di Australia (Dawson & Dennison 1996, diacu dalam Tanaka & Nakaoka, 2004). Oleh karena itu, penurunan ukuran dianggap sebagai salah satu respon yang umum dari lamun terhadap tekanan kekeringan.

4.2.3 Frekuensi, Kepadatan, Penutupan, INP, dan Biomassa Lamun

Frekuensi kehadiran jenis lamun di semua lokasi penelitian (Tabel 9) menunjukkan bahwa H. pinifolia di lokasi Andai dan Wosi mempunyai nilai yang paling tinggi. Hal ini menggambarkan kemampuan adaptasinya terhadap kondisi yang terganggu. Pada ketiga lokasi lainnya menunjukkan nilai frekuensi kehadiran yang relatif seimbang di antara jenis. Walau demikian, frekeunsi kehadiran yang tinggi ditemukan pada jenis T. hemprichii dan C. rotundata.

Tabel 9 Frekuensi kehadiran jenis lamun pada lokasi penelitian Lokasi

No. Jenis Lamun

Andai Rendani Wosi Briosi Tj. Mangewa

1. C. rotundata 0,697 0,061 0,697 0,818

2. C. serrulata 0,030

3. H. pinifolia 0,970 0,424 1,000 0,242 0,424

4. H. uninervis 0,636 0,061 0,303

5. S. isoetifolium 0,121 0,030 0,121

6. H. ovalis 0,091 0,545 0,303 0,030 0,152

7. T. hemprichii 0,879 0,788 0,879


(49)

Pada lokasi yang bertipe sedimen karbonat dan jauh dari sumber limbah antropogenik/kekeruhan (Rendani dan Tanjung Mangewa) ditemukan bahwa kepadatan tegakan tertinggi pada jenis T. hemprichii (617,697 dan 828,000 tegakan/m2), sedangkan pada lokasi Briosi dengan tipe sedimen yang sama, tetapi relatif dekat dengan sumber limbah antropogenik ditemukan

C. rotundata memiliki kepadatan tertinggi (570,667 tegakan/m2). Pada lokasi lainnya yang berada dekat muara sungai dengan tipe sedimen terrigenous dan tingkat kekeruhan yang tinggi (Andai dan Wosi), jenis H. pinifolia ditemukan memiliki kepadatan yang lebih tinggi (356,848 dan 3462,182 tegakan/m2). Kepadatan rata-rata setiap jenis lamun dan secara keseluruhan di semua lokasi penelitian disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Kepadatan rata-rata (tegakan/m2) jenis lamun pada lokasi penelitian Lokasi

No. Jenis Lamun

Andai Rendani Wosi Briosi Tj. Mangewa

1. C. rotundata 486,182 41,455 570,667 286,424

2. C. serrulata 0,364

3. H. pinifolia 356,848 244,364 3462,182 426,909 159,03

4. H. uninervis 184,364 4,485 46,061

5. S. isoetifolium 16,121 5,818 45,818

6. H. ovalis 1,939 114,545 173,455 0,364 11,515

7. T. hemprichii 617,697 389,697 828,000

Total 358,787 1663,637 3677,092 1397,94 1376,848 Kepadatan lamun per satuan luas tergantung pada jenisnya (Nienhuis et al. 1989, diacu dalam Nasution, 2003). Jenis-jenis lamun dengan kepadatan tegakan yang tinggi biasanya juga memiliki frekuensi kehadiran dan penutupan yang tinggi (Tabel 9 dan Tabel 11). Menurut Terrados et al. (1997), umumnya kontribusi jenis lamun (misalnya kepadatan atau biomassa) cenderung didominasi oleh satu atau beberapa jenis saja dalam suatu komunitas. Hal ini diduga sangat terkait dengan kemampuan adaptasi suatu jenis lamun terhadap kondisi lingkungan setempat.

Brouns dan Heijs (1991), diacu dalam Tanaka dan Kayanne (2007), menemukan bahwa T. hemprichii dan C. rotundata adalah jenis lamun yang dominan pada lokasi-lokasi penelitiannya di Indonesia dan Papua New Guinea. Di antara kedua jenis ini, T. hemprichii lebih sensitif terhadap kekeruhan


(50)

(Terrados et al. 1997; Vermaat et al. 1997), sehingga umumnya ditemukan dominan pada daerah rataan terumbu yang mati dan rataan subtidal dengan substrat pasir dan pecahan karang, juga pada substrat campuran lumpur dan pasir serta lumpur lunak (Phillips & Meñez 1988). Jenis lainnya yang termasuk kelompok pioner, yaitu C. rotundata paling umum pada batas surut terendah, pada daerah rataan yang berpasir karbonat, walau juga melimpah pada rataan lumpur yang luas pada daerah-daerah yang terlindung, juga pada daerah estuari dan sekitar mangrove (Phillips & Meñez 1988). Sedangkan kepadatan tegakan H. pinifolia yang tinggi pada lokasi Andai dan Wosi berkaitan dengan kemampuan adaptasinya pada kondisi substrat yang terganggu (Phillips & Meñez 1988).

Berdasarkan lokasi penelitian kepadatan tertinggi ditemukan di Wosi (3677,092 tegakan/m2) dan terendah di Andai (358,787 tegakan/m2). Kepadatan lamun di lokasi Wosi dan Andai terutama disusun oleh jenis pioner berukuran kecil yang relatif tahan terhadap kondisi perairan tersebut. Zieman (1987), diacu dalam Hemminga dan Duarte (2000), mengemukakan bahwa kepadatan lamun di suatu daerah dipengaruhi oleh kondisi abiotisnya seperti kecerahan air, sirkulasi, kedalaman air, substrat, dan kandungan zat hara.

Penutupan lamun menggambarkan tingkat penutupan ruang oleh setiap jenis lamun dan/atau komunitas lamun. Informasi mengenai penutupan sangat penting artinya untuk mengetahui kondisi ekosistem secara keseluruhan serta sejauh mana komunitas lamun mampu memanfaatkan luasan yang ada (Erina 2006). Penutupan jenis lamun di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Penutupan jenis lamun (%) pada lokasi penelitian Lokasi No. Jenis Lamun

Andai Rendani Wosi Briosi Tj. Mangewa

1. C. rotundata 15,001 1,365 9,626 7,501

2. C. serrulata 0,125

3. H. pinifolia 14,064 1,501 14,046 3,251 7,126

4. H. uninervis 4,876 0,375 2,876

5. S. isoetifolium 1,250 0,500 5,500

6. H. ovalis 0,125 5,251 3,003 0,125 0,376

7. T. hemprichii 17,334 9,251 17,222


(1)

Lanjutan Lampiran 4


(2)

Lokasi

Jenis

Lamun

Parameter

Andai Rendani Wosi Briosi Tj. Mangewa ID - 215,207 229,636 291,675 294,710 t hit - 5,367 20,840 5,760 294,710 C. rotundata

Pola penyebaran - K K K K

ID - 6,000 - - -

t hit - 5,106 - - -

C. serrulata

Pola penyebaran - K - - - ID 199,704 381,270 483,792 483,792 334,443 t hit 6,053 10,159 2,994 2,994 11,901 H. pinifolia

Pola penyebaran K K K K K

ID - 169,319 - 21,057 183,883 t hit - 7,837 - 160,347 17,505 H. uninervis

Pola penyebaran - K - K K ID - 52,438 - 48,000 309,943 t hit - 19,190 - 73,530 22,797 S. isoetifolium

Pola penyebaran - K - K K ID 6,848 133,894 243,386 3,000 72,356 t hit 14,148 8,962 9,700 2,298 30,727 H. ovalis

Pola penyebaran K K K K K

ID - 147,192 - 127,334 132,479 t hit - 3,931 - 4,620 3,216 T. hemprichii

Pola penyebaran - K - K K

Keterangan: ID = indeks penyebaran

K = mengelompok


(3)

Lampiran 6 Parameter fisika-kimia perairan lokasi penelitian

Lokasi Baku Mutu

Parameter

Andai Rendani Wosi Briosi Tj. Mangewa

Fisika Air

Suhu (°C) 29,9-30,3 (30,1) 29,9-30,0 (29,9) 30,3-30,5 (30,4) 30,2-30,5 (30,3) 30,0-31,3 (30,8) 28-30b

Kecepatan arus (m/det) 0,1-0,2 (0,13) 0,1-0,3 (0,20) 0,2-0,3 (0,23) 0,1-0,3 (0,23) 0,1-0,3 (0,20) Kekeruhan (NTU) 14,72-17,48

(16,28) 0,71-1,35 (1,10) 6,48-24,63 (15,85) 11,55-23,28 (19,05) 0,00-0,54 (0,23)

< - 30a

Kimia Air

pH 8,25-8,27

(8,26) 8,23-8,35 (8,28) 5,61-5,78 (5,70) 6,02-8,78 (7,08) 6,60-8,48 (7,81) 7-8,5b Salinitas (o/oo) 33-34 (33,3) 31-33 (32,0) 33 (33) 33-34 (33,3) 34 (34) 33-34b DO (mg/l) 5,68-5,84

(5,74) 4,69-8,60 (6,50) 6,27-6,32 (6,30) 8,06-8,40 (8,28) 6,53-8,95 (7,72) > 5b Amoniak (mg/l) 0,036-0,177

(0,130) 0,010-0,042 (0,023) 0,063-0,266 (0,176) 0,106-0,191 (0,134) 0,003-0,017 (0,009) 0,3b

Nitrat (mg/l) 0,045-0,050 (0,048) 0,000-0,012 (0,006) 0,045-0,401 (0,175) 0,030-0,050 (0,038) 0,000-0,039 (0,017) 0.008b Fosfat (mg/l) 0,143-0,201

(0,165) 0,241-0,354 (0,294) 0,171-0,214 (0,195) 0,103-0,176 (0,135) 0,187-0,276 (0,221) 0,015b Kimia Sedimen

C organik (%) 0,2-1,4 (0,80) 1,1-1,4 (1,23) 1,8-3,4 (2,67) 2,2-3,9 (2,87) 0,8-1,0 (0,93) N Total (%) 0,04-0,10

(0,060) 0,08-0,15 (0,110) 0,2-0,8 (0,467) 0,25-0,45 (0,350) 0,4-0,8 (0,533) P tersedia (ppm) 5-23 (16,0) 2-6 (4,0) 8-15 (11,0) 7-8 (7,3) 6-8 (7,0)

Ket. : angka dalam tanda kurung adalah rata-rata. a = Kepmen NKLH No. 02 Tahun 1988


(4)

I

80,59

19,25

0,16 Pasir berlempung

II

71,74

27,72

0,54 Pasir berlempung

III

99,60

0,32

0,08 Pasir

Andai

Rata-rata

83,98

15,76

0,26 Pasir berlempung

I

89,64

0,83

9,53 Pasir

II

84,96

4,65

10,39 Pasir berlempung

III

59,03

36,11

4,86 Lempung berpasir

Rendani

Rata-rata

77,88

13,86

8,26 Pasir berlempung

I

99,84

0,00

0,16 Pasir

II

99,32

0,53

0,15 Pasir

III

99,85

0,00

0,15 Pasir

Wosi

Rata-rata

99,67

0,18

0,15 Pasir

I

99,61

0,00

0,39 Pasir

II

73,88

20,25

5,86 Pasir berlempung

III

75,04

24,28

0,68 Pasir berlempung

Briosi

Rata-rata

82,84

14,84

2,31 Pasir berlempung

I

79,14

12,95

7,91 Pasir berlempung

II

84,14

3,65

12,21 Pasir berlempung

III

77,37

22,33

0,31 Pasir berlempung

Tanjung Mangewa


(5)

Lampiran 8 Hasil analisis komponen utama

a.

Akar ciri dan representasi ragam pada sumbu utama

Akar ciri matriks korelasi

Nilai angka

Akar ciri

% Total ragam

Kumulatif akar ciri

% Kumulatif

1

5,321841

31,30495

5,32184

31,3049

2

3,086840

18,15788

8,40868

49,4628

3

2,327051

13,68853

10,73573

63,1514

4

1,684919

9,91129

12,42065

73,0626

5

1,316385

7,74344

13,73703

80,8061

6

1,022231

6,01312

14,75927

86,8192

7

0,784456

4,61445

15,54372

91,4337

8

0,524190

3,08347

16,06791

94,5171

9

0,360890

2,12288

16,42880

96,6400

10

0,276761

1,62800

16,70556

98,2680

11

0,166806

0,98121

16,87237

99,2492

12

0,102783

0,60461

16,97515

99,8538

13

0,018964

0,11155

16,99412

99,9654

14

0,005884

0,03461

17,00000

100,0000

b. Kontribusi antar variable pada sumbu utama

Kontribusi

Variabel

Faktor 1

Faktor 2

Faktor 3

Suhu 0,000183

0,178962

0,034815

Kec. Arus

0,002630

0,059768

0,007723

Kekeruhan 0,107514 0,000025

0,015992

pH 0,071309

0,098381

0,000180

Salinitas 0,000824

0,036503

0,237140

DO 0,015846

0,148746

0,001044

Amoniak 0,099283

0,000040

0,044250

Nitrat 0,050595

0,005955

0,066478

Fosfat 0,049894

0,011866

0,027726

C Organik

0,038077

0,111057

0,052395

Total N

0,000692

0,153422

0,054697

P Tersedia

0,064110

0,057138

0,017797

Pasir

0,079984

0,024588

0,144669

Debu

0,028141

0,025515

0,231955

Liat

0,117084

0,000020

0,062594

Karbonat 0,136917

0,044007

0,000273

Terrigenous 0,136917 0,044007 0,000273


(6)

Variabel PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 PC6 PC7 PC8 PC9 PC10 PC11 PC12 PC13 PC14 PC15 PC16 PC17 Suhu 0,033 0,459 -0,052 0,205 -0,300 -0,104 -0,112 0,138 -0,592 0,031 -0,334 0,032 0,257 -0,241 0,044 -0,139 -0,036 Kec. Arus -0,047 0,144 -0,241 0,324 0,150 0,399 -0,639 0,221 0,143 0,295 0,208 -0,045 -0,015 0,105 0,031 -0,099 -0,026 Kekeruhan 0,331 -0,005 0,181 -0,178 0,332 -0,126 -0,294 -0,046 -0,147 0,265 -0,197 0,410 -0,363 -0,271 -0,096 0,302 0,079

pH -0,282 -0,160 0,181 -0,352 -0,204 0,062 -0,352 -0,029 -0,027 0,018 -0,283 0,272 0,382 0,481 -0,055 0,173 0,046 Salinitas 0,057 0,298 0,357 0,252 -0,290 0,188 -0,102 -0,552 -0,124 -0,179 0,277 0,010 -0,262 0,211 -0,062 0,196 0,051 DO -0,059 0,485 -0,070 -0,297 0,134 0,034 0,068 0,356 -0,004 -0,128 -0,090 -0,422 -0,201 0,225 -0,139 0,437 0,115 Amoniak 0,309 -0,044 0,211 0,127 0,340 -0,216 -0,214 0,204 -0,106 -0,532 0,334 0,026 0,421 0,033 -0,028 0,087 0,023

Nitrat 0,232 -0,071 -0,265 0,091 -0,120 0,622 0,218 0,026 0,111 -0,238 -0,163 0,253 0,213 -0,235 -0,115 0,362 0,095 Fosfat -0,258 -0,198 -0,201 0,370 0,000 -0,131 0,235 0,328 -0,347 -0,019 0,161 0,399 -0,282 0,335 -0,059 0,185 0,048 C Organik 0,307 0,177 -0,140 -0,163 0,368 0,263 0,171 -0,146 -0,186 -0,131 -0,188 0,170 -0,094 0,462 0,143 -0,449 -0,117 N Total 0,090 0,395 0,023 0,316 -0,061 -0,342 0,070 0,061 0,634 -0,037 -0,260 0,334 0,040 0,150 0,005 -0,015 -0,004 P Tersedia -0,164 -0,200 -0,166 0,419 0,388 -0,113 -0,079 -0,397 -0,068 -0,070 -0,472 -0,335 0,072 0,071 -0,065 0,203 0,053 Pasir (%) 0,286 0,005 -0,433 -0,103 -0,148 -0,238 -0,037 -0,196 -0,035 0,162 0,178 -0,031 0,125 0,142 -0,039 -0,038 0,709 Debu (%) -0,171 -0,011 0,532 0,165 0,169 0,258 0,155 0,217 0,013 0,056 -0,150 -0,023 -0,004 -0,058 0,030 -0,251 0,633 Liat (%) -0,341 0,018 -0,239 -0,164 -0,047 -0,037 -0,325 -0,042 0,065 -0,617 -0,091 0,152 -0,345 -0,248 0,055 -0,229 0,192 Karbonat -0,338 0,269 -0,072 -0,094 0,284 0,012 0,129 -0,198 -0,022 0,100 0,211 0,195 0,218 -0,136 0,658 0,258 0,063 Terrigenous 0,338 -0,269 0,072 0,094 -0,284 -0,012 -0,129 0,198 0,022 -0,100 -0,211 -0,195 -0,218 0,136 0,693 0,147 0,034