Kebijakan Pengelolaan Ruang Dan Keberlanjutan Kawasan Ekosistem Karst Maros Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan

KEBIJAKAN PENGELOLAAN RUANG DAN
KEBERLANJUTAN KAWASAN EKOSISTEM KARST
MAROS PANGKEP PROVINSI SULAWESI SELATAN

ANDI FATINAWARE

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kebijakan Pengelolaan Ruang dan
Keberlanjutan Kawasan Ekosistem Karst Maros Pangkep Sulawesi Selatan adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Andi Fatinaware
NIM H152120271

RINGKASAN
ANDI FATINAWARE. Kebijakan Pengelolaan Ruang dan Keberlanjutan
Kawasan Ekosistem Karst Maros Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing
oleh PROF. DR. IR. AKHMAD FAUSI, M.SC dan DR. IR. SETIA HADI, MS.
Kawasan Karst Maros Pangkep dikenal dengan KKMP adalah ekosistem
karst yang unik di Sulawesi Selatan. Bagian dari pegunungan Bulusaraung di
Utara Kabupaten Maros dan bagian selatan Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan. 40.000 ha dari kawasan karst kaya akan flora dan fauna, yang bernilai
ilmiah, sosial, budaya dan ekonomi. Kawasan tersebut berada dibawah tekanan
dari persaingan penggunaan kegiatan ekonomi, seperti pertambangan untuk
industri semen dan marmer.
Sekitar 20 ha KKMP masuk dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung (TN BABUL) dengan keputusan menteri kehutan nomor: SK.
398/Menhut-II/2004 seluas  43.750 Ha yang terbagi dalam Hutan Lindung 
21.343,10 Ha, Cagar Alam 10.282,65 Ha, TWA 1.624,25 Ha, Hutan produksi

Terbatas  145 Ha, Hutan Produksi Tetap  10.355 Ha. Kawasan karst
Bantimurung Bulusaraung terbagi dalam lima unit kawasan konservasi dengan
luas 11.906,9 Ha terdiri dari Cagar Alam Bantimurung, Cagar Alam Karaenta,
Cagar Alam Bulusaraung, Taman Wisata Alam Bantimurung, dan Taman Wisata
Alam Gua Pattunuang. Setengah dari luasan KKMP adalah area penggunaan lain.
Tulisan ini mencoba untuk: (1) Melakukan sintesis terhadap kawasan
Bantimurung – Bulusaraung dalam lima tahun sebelumnya dan pengaruhnya
terhadap keberlanjutan ekosistem karst pada saat ini; (2) Menganalisis daya
dukung lingkungan dan aspek sosial ekonomi kawasan yang berkelanjutan dalam
pengelolaan ruang di kawasan karst. (3) Memberi rekomendasi pilihan kebijakan
pengelolaan kawasan untuk keberlanjutan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Data dianalisis dengan menggunakan analisis spasial, anlaisis CIPP, dan Multi
Kriteria OnBalance.
Hasil penelitian dengan menggunakan analisis spasial menunjukkan bahwa
masih tidak konsisten dalam pengelolaan ruang, di kawasan lindung atau kawasan
yang seharusnya dikonservasi masih ada aktifitas untuk penggunaan lain,
khususnya izin pertambangan masuk dalam kawasan taman nasional. Hasil
analisis CIPP, dukungan kelembagaan dan pendanaan, serta kerjasama multi pihak
dalam pengelolaan KKMP termasuk dukungan legislatif di tingkat provinsi dan di
dua kabupaten tersebut.

Analisis multi kriteria OnBalance dengan 14 belas kriteria dari dimensi
lingkungan hidup, sosial – budaya, dan ekonomi menunjukkan kebijakan Business
as Usual (BAU) atau model dalam pengelolaan KKMP yang sedang berlangsung
tidak akan berkelanjutan dari dimensi Lingkungan, ataupun dimensi ekonomi, dan
dimensi sosial budaya. Studi ini menawarkan pengelolaan KKMP dengan
pendekatan konservasi dan ekowisata berbasis masyarakat.
Kata kunci: Berkelanjutan, Ekowisata, Konservasi, Kawasan Karst Maros
Pangkep (KKMP), Model OnBalance.

SUMMARY
ANDI FATINAWARE. Spasial Management Policy and Sustainability of
Maros Pangkep Karst Area of South Sulawesi. Dibimbing oleh PROF. DR. IR.
AKHMAD FAUSI, M.SC dan DR. IR. SETIA HADI, MS.
Maros Pangkep Karst Area known as KKMP is a unique karst ecosystem in
South Sulawesi. It spands from Bulusaraung in the nort ti Maros and Pangkep in
the south. The 40.000 ha of karst ecosystemis rich in flora and fauna as well a
scientific, social, culture and economic values. The area, however is under
pressure from competing use of eaconomic activities, such as mining for cement
industries and marbel.
About 20 ha KKMP included in the National Park area Bantimurung

Bulusaraung (TN Babul) with a forestry ministerial decree number: SK. 398 /
Menhut-II / 2004 covering an area of 43,750 hectares and is divided into Ha
Protected Forest 21343.10, 10282.65 ha nature reserve, TWA 1624.25 Ha, Ha 145
Forests Limited production, Permanent Production Forest 10 355 ha. Bulusaraung
Bantimurung karst area is divided into five units with extensive conservation area
11906.9 hectares consist of Nature Reserves Bantimurung, Karaenta Nature
Reserve, Nature Reserve Bulusaraung, Bantimurung Nature Parks, and Nature
Park Cave Pattunuang. Half of the area is an area KKMP other use.
This paper attempts to: (1) synthesis of Bantimurung region - Bulusaraung
in the previous five years and its effects on the sustainability of the karst
ecosystem at this time; (2) to analyze the capacity of the environment and socioeconomic aspects of sustainable region in the management of space in the karst
region. (3) Provide recommendation zone management policy options for
sustainable environmental, social, and economic. Data were analyzed using spatial
analysis, anlysis CIPP, and Multi Criteria OnBalance.
The results using spatial analysis shows that there are still inconsistencies in
the management of space, in protected areas or areas that should be conserved
there are still activity for other land uses, especially mining permit entry in the
national park area. The results of the analysis of CIPP, institutional support and
funding, as well as multi-party cooperation in the management of KKMP
including legislative support at the provincial level and in the two districts.

Using OnBalance multi criteria analysis with 14 criteria of environmental
dimension, socio - cultural, economic, the result of the study shows that business
as usual (BAU) in Karst Maros and Pangkep management policy will not sustain
from environment dimension, or economic and social culture dimension. This
study offers the KKMP management approach to conservation and communitybased ecotourism based approach.
Key words: Conservation, Ecotourism, Kawasan Karst Maros Pangkep
(KKMP), Model OnBalance, Sustanable.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KEBIJAKAN PENGELOLAAN RUANG DAN
KEBERLANJUTAN KAWASAN EKOSISTEM KARST

MAROS PANGKEP PROVINSI SULAWESI SELATAN

ANDI FATINAWARE

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS.

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya penelitian
ilmiah ini degan judul “Kebijakan Pengelolaan Ruang dan Keberlanjutan

Kawasan Ekosistem Karst Maros Pangkep Sulawesi Selatan” berhasil saya
selesaikan.
Penelitian ini terlaksana berkat dukungan dari berbagai pihak, utamanya dari
ketua komisi pembimbing bapak Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc dengan curahan
ilmu dan pemikirannya telah menuntun penulis sejak dari ide awal hingga pada
penyelesaian karya ilmiah ini. Terima kasih tak terhingga saya sampaikan. Terima
kasih juga kepada bapak almarhum Dr Ir Setia Hadi, MS sebagai anggota komisi
pembimbing yang telah memberi saran dan pemikirannya.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada:
1. Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS selaku Ketua, dan Ibu Dr Ir Sri Mulatsih,
MSc Agr Sekretaris Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Perdesaan (PWD)
2. Kepala BLH Provinsi Sulawesi Selatan atas kerjasamanya dalam pelaksanaa
FGD. Kepala P3E Sulawesi Maluku. Balai TN Bantimurung Bulusaraung,
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros, Dinas Pertambangan
dan Energi Kabupaten Maros, Dinas Tata Ruang Kabupaten Maros,
BAPPEDA Kabupaten Maros, Dinas Kehutanan Kabupaten Pangkep, BLHD
Kabupaten Pangkep, BAPPEDA Kabupaten Pangkep, AMAN Sul-Sel, Jurnal
Celebes, SP Anging Mammiri, dan semua pihak yang tidak disebutkan satu
persatu, baik yang membantu dalam perolehan data maupun sebagai peserta

FGD.
3. Prof Dr Ir Amran Achmad, MSc, Handiman Rico, Harry Oktavian, Jefri
Gedeon Saragih, Ir Sri Endang Sukarsi, Muh. Amin, Nurul Kamilah, Ardi,
Rudolf, Agel, Syahruddin Sehuddin, Kusnadi Wirasaputra, Sardi Razak,
Mustam Arif, Shave, Mahendra yang telah membantu selama pengumpulan
data dan penyusunan penulisan ini, baik sebagai narasumber maupun sebagai
teman berdiskusi.
4. SAWIT Watch, dan Lebah Nusantara atas dukungan dan kerjasamanya.
5. Teman-teman di PWD atas kerjasama, kebersamaan, persahabatan, dan social
capital yang terjalin. Khususnya PWDers 2012 dan PWD Singing Club.
6. Seluruh staf dan supporting sekretariat PWD atas dukungannya.
7. Teman-teman Rumana, khususnya penghuni Bara 4/100 Marni Panikkai,
Lina, Tata, Ummul, Turi, Tenri atas dukungan dan Do’anya.
8. Orang tuaku terkasih dan selalu kubanggakan, Ayahanda Andi Burhanuddin
dan Bunda Andi Aradiah atas segala do’a tulus dan kasih sayangnya yang
selalu memotivasi dan memberi dukungan baik moril maupun materil.
9. Kakak dan Adik-adikku tersayang yang selalu memberi dukungan dan do’a
yang tiada hentinya.
10. Penulisan ini masih perlu penyempurnaan, namun demikian saya berharap
semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016
Andi Fatinaware

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

vi

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
6
9
9
9

2 TINJAUAN PUSTAKA
Defenisi Ruang
Perjalanan Kawasan Konservasi Indonesia
KawasanKarst
Kawasan Karst Bantimurung Bulusaraung
Fungsi Ekosistem Karst

Pengelolaan Kawasan Karst untuk Keberlanjutan Ekologi
Analisis Spasial Menggunakan Sistem Informasi Geografi
Analisis Spasial
Daya Dukung Lingkungan
Contex Input Produk Proses
Multi Criteria Analisis
Ruang Lingkup Analisis Multi Kriteria
Kerangka Pemikiran

10
10
10
12
13
15
18
18
19
20
21
22
24
25

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Rancangan Penelitian
Kerangka Analisis
Prosedur Analisis Data
Metode Analisis Data

27
27
28
28
31
32
33

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Keadaan Umum Wilayah Penelitian

36
36

5 HASIL
Deskripsi Peta Hasil Olahan Sistem Informasi Geografis (GIS)

47
47

6 PEMBAHASAN
Dimensi Cipp Dalam Analisis Keberlanjutan Ekosistem Kawasan Kars
Bantimurung Bulusaraung
Multi Criteria Analysis Onbalance Untuk Opsi Kebijakan
Implikasi Kebijakan

58
58
65
74

7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

75
75
75

DAFTAR PUSTAKA

76

DAFTAR SINGKATAN

79

RIWAYAT HIDUP

106

DAFTAR TABEL
Table 1 Model Evaluasi Program Stuffelbeam
Table 2 Deskripsi World Cafe Pengelolaan Kawasan Karst Maros
Pangkep
Table 3 Tahapan Analisis dengan menggunakan analisis Spasial, CIPP
dan MCA
Table 4 Analisis CIPP
Table 5 Kondisi dan potensi beberapa goa di KKMP
Table 6 Potensi Speleologi Terdalam
Table 7 Potensi Speleologi Terpanjang
Table 8 Luas Kawasan Karst Maros Pangkep Berdasarkan Kecamatan
Table 9 Luasan Formasi Geologi di KKMP
Table 10 Luasan Fungsi Kawasan Hutan dan Perairan di KKMP
Table 11 Luas Kelas Penutup Lahan di KKMP tahun 2009
Table 12 Luas Kelas Penutup Lahan di KKMP tahun 2014
Table 13 Luasan KKMP di Taman Nasional Berdasarkan Kecamatan
Table 14 Peta Konsesi Tambang di Kawasan Karst Maros Pangkep
Table 15 Dimensi CIPP untuk Analisis Kawasan Karst Maros Pangkep
Table 16 Analisis CIPP KKMP
Table 17 Perbandingan Business as Usual dengan Konservasi Ekowisata
Table 18 Komparasi Business as Usual dengan Konservasi Ekowisata
Table 19 Perbandingan Busines as Usual dengan Konservasi ekowisata
dengan bobot dari seluruh kriteria.

23
29
32
33
39
40
40
47
49
51
52
53
56
57
59
62
69
71
73

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Pengelolaan Konservasi yang Tidah Berkeadilan di Indonsesia
Gambar 2 Bagan Kebijakan Pengelolaan SDAL dan Implikasinya
Gambar 3 Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesia

4
8
25

Gambar 4 Kerangka Pemikiran
Gambar 5 Peta Lokasi Penelitian
Gambar 6 Opsi kebijakan dan indikator hasil FGD
Gambar 7 Kerangka analisis data
Gambar 8 Kerangka Analisis MCA OnBalance
Gambar 9 Peta AdministrasiKabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep
Gambar 10 Peta Wilayah Penelitian Kawasan Karst Maros Pangkep
(KKMP)
Gambar 11 Peta Geologi Wilayah Penelitian KKMP
Gambar 12 Peta Kawasan Hutan dan Peraiaran KKMP
Gambar 13 Peta Penutupan Lahan Tahun 2009 KKMP
Gambar 14 Peta Penutupan Lahan Tahun 2014 KKMP
Gambar 15 Peta Penutup Lahan Tahun 2009 Kabupaten Maros dan
Kabupaten Pangkep
Gambar 16 Peta Penutup Lahan Tahun 2014 Kabupaten Maros dan
Kabupaten Pangkep
Gambar 17 Peta KKMP di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung
Gambar 18 Peta Konsesi Tambang di KKMP
Gambar 19 Proses FGD
Gambar 20 Pohon keputusan dan kriteria prasyarat pengelolaan KKMP
Berkelanjutan
Gambar 21 Keunggulan aternatiaf pada bobot initial
Gambar 22 Persandinga BAU dengan Konservasi Ekowisata pada aspek
lingkungan
Gambar 23 Sensitivity Lingkungan Hidup
Gambar 24 Komparasi antara BAU dengan Konsevasi Ekowisata dalam
dimensi Sosial Budaya.
Gambar 25 Komparasi BAU dengan Konservasi Ekowisata dengan
menggunakan dimensi lingkungan, Sosial Budaya, dan Ekonomi.

26
27
30
31
35
48
48
50
51
54
54
55
55
56
57
65
66
68
69
70
71
73

DAFTAR LAMPIRAN
Kebijakan Pengelolaan KKMP Perbandingan BAU dengan
Konservasi, Konservasi dan Ekowisata, dan PES
2 Kebijakan Pengelolaan KKMP Perbandingan dengan BAU dengan
Konservasi dan Ekowisata
3 Kebijakan Pengelolaan KKMP Perbandingan dengan BAU dengan
Konservasi dan Ekowisata dalam Dimensi Lingkungan Hidup
4 Kebijakan Pengelolaan KKMP Perbandingan dengan BAU dengan
Konservasi dan Ekowisata dalam Dimensi Sosial Budaya
5 Kebijakan Pengelolaan KKMP Perbandingan dengan BAU dengan
Konservasi dan Ekowisata dalam Dimensi Ekonomi.
6 Sensitivity on Node Lingkungan Hidup untuk Kebijakan KKMP
7 Sensitivity on Node Sosial Budaya untuk Kebijakan KKMP
8 Sensitivity on Node Ekonomi untuk Kebijakan KKMP
9 Sensitivity on Criterion Flora Fauna untuk Kebijakan KKMP
10 Sensitivity on Criterion Tutupan Lahan untuk Kebijakan KKMP
1

81
82
83
84
85
86
87
88
89
90

11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sensitivity on Debit Air untuk Kebijakan KKMP
Sensitivity on Criterion Jasa Lingkungan untuk Kebijakan KKMP
Sensitivity on Bencana Ekologi Fauna untuk Kebijakan KKMP
Sensitivity on Criterion Pencemaran Lingkungan untuk Kebijakan
KKMP
Sensitivity on Criterion Partisipasi Masyarakat untuk Kebijakan
KKMP
Sensitivity on Criterion Cagar Budaya untuk Kebijakan KKMP
Sensitivity on Criterion Konflik untuk Kebijakan KKMP
Sensitivity on Criterion Tingkat Kemiskinan untuk Kebijakan KKMP
Sensitivity on Criterion Pendapatan Masyarakat untuk Kebijakan
KKMP
Sensitivity on Criterion Pendapatan Asli Daerah untuk Kebijakan
KKMP
Sensitivity on Criterion PDRB untuk Kebijakan KKMP
Sensitivity on Criterion Nilai Guna Langsung Sumber Daya Air untuk
Kebijakan KKMP.
Weight for Tree Kebijakan Pengelolaan KKMP menggunakan Initial
Weights Lingkungan Hidup
Weight for Tree Kebijakan Pengelolaan KKMP menggunakan Initial
Weights Sosial Budaya
Weight for Tree Kebijakan Pengelolaan KKMP menggunakan Initial
Weights Ekonomi.

91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam UUD 1945 (Bab XIV, Pasal 33) diamanatkan bahwa Ruang adalah
domain Negara. Undang Undang Pokok Agraria menegaskan domain negara
melalui konsepsi politik hukum “Hak Menguasai Negara” untuk mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persedian dan pemeliharaan bumi,
air dan ruang angkasa serta mengatur hubungan hukum antar orang dan perbuatan
hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Wewenang hak menguasai negara
adalah bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti
kesejahteraan rakyat Indonesia, merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
“Domain Negara” harus mewujudkan pengaturan tata ruang yang
melindungi, menghormati dan berkeadilan serta berkelanjutan bagi kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Hak Menguasai Negara (HMN) menyebabkan
berbagai Undang Undang sektoral yang saling tumpang tindih. Berbagai persoalan
struktural atas politik ruang: konflik dan sengketa ruang kelola yang semakin
tinggi, paralel dengan meningkatnya jumlah kemiskinan, tingkat pengangguran,
laju urbanisasi, kerusakan lingkungan dan krisis pangan, serta krisis energi.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam laporan akhir tahun merilis luasan
konflik agraria selama tahun 2015 adalah seluas 400.428.000 Ha, dengan jumlah
108.648 KK korban konflik: meninggal 5 orang, tertembak 39 orang, ditahan 278
orang, dan dianiaya 128 orang. Konflik perkebunan berada peringkat teratas,
sebanyak 126 konflik, disusul 70 konflik di sektor infrastruktur, sektor kehutanan
24 konflik, sektor pertambangan 13 konflik, sektor pertanian dan pesisir/perairan
masing-masing 4 konflik, dan lainya ada 9 konflik (Data konflik agraria 2015
dalam laporan akhir tahum KPA, Januari 2016)
Konflik ruang atau perebutan sumberdaya alam adalah akibat dari
ketimpangan penguasaan, baik yang melibatkan masyarakat dengan korporasi atau
badan usaha, maupun masyarakat dengan badan pemerintah (Fatinaware 2014).
Tidak adanya pengakuan hak kelola bagi warga dan komunitas, atau masyarakat
hukum adat yang dianggap tidak dapat menunjukkan bukti alas hak atas tanahnya,
terancam sewaktu-waktu dimasukkan dalam kategori tanah Negara. Disinilah
pemicu munculnya konflik, karena oleh pemerintah diterbitkannya izin-izin atau
hak konsesi untuk industri ekstraktif kepada pihak lain di lahan yang diklaim
sebagai tanah Negara. Terlebih lagi di kawasan hutan, hampir tidak ada
pengakuan hak atas tanah oleh rakyat. PP Nomor 16 tahun 2004, pasal 11 ayat (1)
menyatakan bahwa di dalam kawasan hutan tidak dapat diberikan hak atas tanah,
dengan pengertian bahwa kawasan hutan adalah hutan Negara, kecuali terhadap
tanah dalam kawasan lindungyang belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan
hak atas tanah.
Undang Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960, secara tegas
menghapus semua pemaknaan kepemilikan tanah oleh negara yang mengacu pada
doktrin hukum agraria kolonial, domein verklaring. “Dalam UUPA pasal 2
diperkenalkan istilah Hak Menguasai Negara. Dipahami bahwa Negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia. Hak menguasai Negara bukanlah

2
kepemilikan, namun keweanangan untuk mengurus dan mengawasi hubunganhubungan hukum antara orang dengan tanah.
Isu sentral terhadap model pembangunan adalah masih pada paradigma
pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada sumberdaya alam. Sumber daya alam
masih dijadikan sebagai mesin pertumbuhan. Model dan pendekatan
pembangunan yang eksploitatif semakin mewarnai kontestasi politik ruang.
Model pembangunan lebih mengakomodir kepentingan penguasaan modal besar,
dengan mengeksploitasi sumberdaya alam secara massif, dan tidak
memperhatikan keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan. Pilihan strategi
pembangunan justru menyingkirkan masyarakat dari ruang kelola dan budaya
lokalnya, ekosistem sebagai suatu kesatuan yang holistik, diatur dan dikelola
secara parsial.
Sampai sejauh ini persaingan antara kepentingan pemanfaatan dan
konservasi sumber daya alam terjadi di mana-mana. Sistem perencanaan yang
sudah dicanangkan tidak mampu dilaksanakan secara baik, bahkan telah
menciptakan berbagai konflik. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) seharusnya
menjadi acuan untuk pembangunan, akan tetapi revisi RTRW dilakukan untuk
mengakomodir kepentingan ekonomi. Pemerintah, anggota legislatif serta
berbagai peraturan yang ada hanya melihat dari sisi kepentingan ekomoni yang
dikuasai segelintir orang. Keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat
menjadi terabaikan karena kepentingan ekonomi.
Pengelolaan wilayah dan sumberdaya alam selalu mengorbankan
masyarakat dan kelompok yang termarjinal. Institusi atau Instansi yang mengurus
kebijakan, dalam memandang “wilayah dan ruang” semakin sektoral, sementara
para pembuat kebijakan melihat semua pilihan sebagai langkah politis. Tidak
adanya konsensus mengakibatkan persoalan pengelolaan sumber daya alam
diselesaikan dengan jalan kekerasan dan pengadilan.
Banyak kasus lingkungan yang muncul karena terbitnya izin-izin konsesi
yang tidak didahului dengan konsultasi dan persetujuan masyarakat. Persetujuan
masyarakat harus didahulukan untuk menghindari terjadinya konflik.
Pembangunan harus menerapkan proses Free Prior Informed Consent (FPIC) atau
konsultasi dengan masyarakat. FPIC telah diadopsi oleh Negara melalui UU no.5
tahun 1994 tentang Keanekaragaman Hayati. Dimana Free adalah dengan
mengedepankan keputusan bebas, tanpa paksaan untuk setuju atau tidak pada
suatu program proyek; Prior adalah Didahulukan, proses pengambilan keputusan
dilakukan sebelum proyek dimulai; Informed adalah seluruh rencana proyek dan
dampak harus diinformasikan dan diberi waktu untuk memahaminya; dan Consent
adalah keputusan yang diambil melalui proses konsultasi/ musyawarah dengan
menghargai hukum adat/ local yang ada. Sebagai contoh kasus: Bupati Kabupaten
Pati, menerbitkan izin pembangunan pabrik semen tanpa pertimbangan
lingkungan dan tidak melalui konsultasi dengan masyarakat. Namun akhirnya
melalui perjuangan panjang. Pada 17 November 2015, masyarakat Kendeng
menang dalam sidang putusan di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, atas
gugatan izin lingkungan untuk pembangunan pabrik semen di wilayah Pati.
Majelis hakim PTUN Semarang memerintahkan pembatalan Surat Keputusan
Bupati Pati Nomor 660.1/4767/2014 tentang izin lingkungan pembangunan pabrik
semen dan penambangan. Putusan Majelis Hakim atas dasar izin lingkungan
tersebut bertentangan dengan RTRW Kabupaten Pati serta azas umum

3
penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Selain itu penyusunan dokumen Amdal
tidak mengakomodasi partisipasi masyarakat di sekitar lokasi pabrik dan
penambangan.
Lingkungan sebagai ruang hidup. Sumber penghidupan dan sumber
kehidupan untuk manusia dan mahluk hidup yang ada di dalam dan sekitarnya.
Ruang yang seharusnya untuk keberlanjutan kehidupan manusia dan mahluk
hidup lainnya untuk masa kini dan masa yang akan datang, dikapling kemudian
dibagi-bagi dengan regulasi dan kebijakan tanpa melibatkan masyarakat. Seperti
itulah kawasan sering dilihat sebagai ruang kosong dalam arti tidak ada hak di
atasnya, kemudian dibagi tanpa mempertimbangkan karakteristik dan kerentanan
sebuah wilayah atau kawasan serta hak hidup masyarakat di dalam kawasan
tersebut. Wilayah yang kaya dengan sumberdaya alam dan lingkungan, hanya
melayani kepentingan ekonomi yang dinikmati segelintir orang, sementara
masyarakat di sekitarnya hanya mendapatkan dampak eksternalitas yang negatif
dan biaya sosial yang tinggi. Fauzi (2010) menyatakan “ekternalitas terjadi jika
kegiatan produksi atau konsumsi dari satu pihak mempengaruhi utilitas
(kegunaan) dari pihak lain secara tidak diinginkan, dan pembuat eksternalitas
tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak”. Maka dari
itu sering disebut kekayaan alam dan lingkungan sebagai kutukan bagi masyarakat
di sekitarnya.
Wilayah kelola masyarakat atau komunitas lokal/adat yang masuk dalam
penetapan kawasan lindung atau konservasi, tidak diakui kepemilikannya oleh
Negara. Masayarakat tidak mendapatkan pengakuan karena dianggap akan
merusak fungsi perlindungan dari suatu kawasan. Tuduhan tersebut tidak
sepenuhnya benar, karena di berbagai wilayah di Indonesia banyak contoh
masyarakat adat/local telah mempraktekkan pengelolaan yang sangat
memperhatikan kawasan perlindungan baik yang berbasis komunal, maupun
individu. Komunitas adat/lokal justru telah membangun budaya dan tata kelola
yang memperhatikan keseimbangan alam atau daya dukung lingkungan yang
berkelanjutan antar generasi. Sebagai contoh Lembo, Simpung dan Tembawang di
Kalimantan; system Repong di Sumatera serta beberapa model pengelolaan
lingkungan atau pengelolaan kawasan oleh institusi masyarakat Adat Kajang di
kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, Masyarakat Samin Sedulur Sikep di
Sukolilo Jawa Timur, dan Masyarakat Adat Baduy di Banten terbukti mampu
menjaga kelestarian dan keberlanjutan kawasan yang hingga kini masih dapat kite
temui. Masih banyak lagi praktek baik pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang
berkelanjutan yang terdapat di beberapa daerah.
WALHI (2009) menyatakan “konservasi saat ini telah bergeser menjadi
sebuah bisnis. maka dari itu Konservasi Berbasis Rakyat, adalah sebuah pilihan
bagi keberlanjutan layanan alam dan kesejahteraan rakyat”. Dampak dari
pengelolaan konservasi di Indonesia, yang tidak berkeadilan, menurut fakta
empiris yang dikemukakan oleh WALHI (2009), adalah sebagai berikut:
Hilangnya akses dan penguasaan masyarakat terhadap kawasan dan wilayah
kelolanya, akibatnya masyarakat menjadi miskin; Hilangnya pengetahuan,
kearifan local, budaya, teknologi, hukum adat, alat produksi; Hilangnya fungsi
kawasan dari fungsi sosial, budaya, menjadi fungsi ekonomi; Pencurian
pengetahuan, kearifan local dan keanekaragaman hayati; Meningkatnya konflik
horizontal (antar masyarakat), konflik vertikal (masyarakat dengan aparat Negara)

4
berakibat terjadinya pelanggaran HAM dengan tindakan penggusuran,
kriminalisasi dan penangkapan bahkan penembakan yang berujung pada
kematian. Sebagaimana dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:

Gambar 1 Pengelolaan Konservasi yang Tidah Berkeadilan di Indonsesia
Penunjukan kawasan taman nasional Bantimurung Bulusaraung yang
terletak di Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep, sebagai upaya konservasi
atau perlindungan karena memiliki nilai ekologis dan nilai konservasi tinggi.
Sebagaimana siaran pers Kepala Pusat Informasi Departemen kehutanan Nomor:
S. 525 /II/PIK-1/2004. “Penunjukan kawasan konservasi baik kawasan pelestarian
alam (taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam) dan kawasan suaka
alam (suaka margasatwa, cagar alam) tersebut merupakan perwujudan kebijakan
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang bertujuan
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta
keseimbangan ekosistemnya. Sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia dengan meningkatkan
pengelolaan dan pembinaan populasi, jenis, genetik dan ekosistem di kawasan
konservasi serta pengembangan wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan”.
Penunjukan kawasan Bantimurung Bulusaraung sebagai kawasan taman
nasional, dengan Keputusan Menteri Kehutanan nomor: SK. 398/Menhut-II/2004
seluas  43.750 hektar, belum sepenuhnya menunjukkan konsistensi dalam
perlindungan dan penyelamatan kawasan. Masih minimnya perlindungan dan
penyelamatan kawasan terlihat dari penetapan zona-zona hanya berdasarkan
penarikan garis batas administrasi, bukan batas ekosistem Fatinaware (2014).
Kawasan karst seluas kurang lebih 40.000 hektar, yang terbagi sekitar 20.000
hektar areal budidaya, dan sisanya 20.000 hektar menjadi bagian dari 43.750
hektar Kawasan konservasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung,
sebagaimana dikutip dalam Kuriniawan (2008). Pengelolaan kawasan budidaya
yang mengabaikan fungsi suatu kawasan sebagai satu kesatuan ekosistem yang
saling terkait. Selain itu, jika bicara perlindungan keanekaragaman hayati, tidak
hanya pada kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi, akan tetapi
seharusnya pada kawasan penyangga dan kawasan hutan produksi serta kawasan

5
budidaya yang berada di luar kawasan Taman Nasional Bantimurung –
Bulusarang yang masih berada dalam kawasan karst yang merupakan satu
kesatuan ekosistem. Semua sumber daya dan jasa ekosistem yang disediakan oleh
karst dan gua tidak dapat dipisahkan karena sangat saling berhubungan. Karena
mekanisme umpan balik yang kompleks ini, berdampak pada elemen individual
dari ekosistem karst dapat memiliki dampak yang tak terduga pada unsur-unsur
lain atau bahkan di seluruh ekosistem (Forti 2015)
Dalam memahami sumber daya alam, ada dua pandangan yang umum
digunakan (Fauzi A 2010). Pertama adalah pandangan konservatif atau sering
disebut juga pandangan pesimis atau perspektif Malthusian “Principle of
Population” (1879). Dalam pandangan ini, risiko akan terkurasnya sumber daya
alam menjadi perhatian utama. Sumber daya alam harus dimanfaatkan secara hatihati. Sumber daya alam yang terbatas tidak akan mampu mendukung
pertumbuhan penduduk yang cendrung tumbuh secara eksponensial. Pandangan
kedua adalah pandangan eksploitatif atau sering juga disebut sebagai perspektif
Ricardian. Dalam pandangan ini dikemukakan antara lain: 1. Sumber daya alam
dianggap sebagai “mesin pertumbuhan” yang mentransformasikan sumber daya
ke dalam “man-made capital” yang pada gilirannya akan menghasilkan
produktivitas yang lebih tinggi di masa mendatang, 2. Keterbatasan suplai dari
sumber daya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dapat disubtitusikan dengan
cara intensifikasi (eksploitasi sumber daya secara intensif) atau dengan cara
ekstensifikasi (memanfaatkan sumber daya yang belum dieksploitasi, 3. Jika
sumber daya menjadi langka, hal ini akan tercermin dalam dua indikator ekonomi,
yakni meningkatnya baik harga output maupun biaya ekstraksi per satuan output.
Kekayaan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang terdapat di
Kawasan Karst Maros Pangkep adalah sebuah anugerah yang harus dijaga dan
dikelola secara berkelanjutan, namun terjadi tekanan dan terancam dalam
pengelolaannya. Tekanan dan ancaman juga dikemukaan oleh Achmad 2002a,
yang disebabkan karena adanya dampak akibat penggunaan nilai keanekaragman
hayati dan nilai habitat dari ekosistem hutan bukit kapur itu sediri. Ancaman
tersebut dapat terjadi karena kegiatan yang dilakukan oleh perorangan, suatu
kelompok masyarakat ataupun perusahaan yang dilakukan secara langsung
maupun tidak langsung.
Kegitan-kegiatan yang mengancam secara langsung adalah pertambangan
yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat atau perusahaan. Pertambangan
merupakan ancaman yang sangat tinggi dan massif oleh penambangan bahan baku
semen, marmer dan bahan bangunan lainnya seperti pasir dan untuk pondasi
rumah, serta jalan raya. Saat ini telah beroperasi pabrik semen Tonasa dan semen
Bosowa yang menggunakan bahan baku dari karst atau batuan kapur. Selain dua
perusahaan tersebut, saat ini perusahan industri pabrik semen dari China juga
sedang mengajukan izin untuk melakukan aktivitas penambangan. Ancaman
lainnya adalah perladangan di kawasan karst, terutama pada kaki bukit dan
beberapa lokasi pada bagian puncak karst yang mempunyai lapisan tanah cukup
dalam terdapat pada lorong patahan. Pengambilan kayu untuk bahan bangunan
dan kayu bakar, perburuan satwa liar, wisatawan atau turis-turis yang mengambil
satwa untuk dibawa ke luar kawasan juga marak terjadi.
Tingkat ancaman yang paling besar dan massif adalah dari kegiatan
penambangan oleh industri semen dan marmer. Kedua industri ini melakukan

6
penghancauran ekosistem baik pada permukaan (eksokarst) maupun pada gua di
bagian bawah (endokarst) akibat dari peledakan, pemotongan, dan pembongkaran
dalam pengambilan bahan baku. Penghancuran tersebut berdampak pada
kerusakan habitat ikan, udang, dan serangga, serta hewan lainnya. Kehidupan
flora dan fauna yang bergantung dari sumber air dari gua kars menjadi terancam.
Perumusan Masalah
Penetapan kawasan Bantimurung Bulusaraung sebagai taman nasional
merupakan proses politik yang menurunkan status kawasan dari cagar alam, dan
Hutan Lindung menjadi kawasan taman nasional. Status cagar alam lebih tinggi
dari pada status taman nasional. Kawasan Bantimurung Bulusaraung yang
ditetapkan sebagai taman nasional, posisinya berdampingan dengan konsesi area
pertambangan dua industri semen, yakni PT Semen Tonasa di Kabupaten Pangkep
dan PT Semen Bosowa di Kabupaten Maros, serta puluhan izin industri marmer
yang masing-masing berada dalam hamparan satu kesatuan kawasan karst
Bantimurung Bulusaraung. Terlihat Kebijakan dalam pengelolaan kawasan
dilakukan secara parsial, dan peruntukannya dibagi berdasarkan administrasi yang
saling tumpang tindih. Sebagai contoh adalah pertambangan PT. Semen Bosowa
dan PT Bosowa mining yang masuk dalam kawasan hutan lindung Bulusaraung.
Beberapa contoh dapat dilihat pada temuan tim monitoring hutan WALHI
Sulsel, pada tahun 2004 di kawasan hutan Maros sebagai berikut:

Titik koordinat S04°.56’.677”, E119°.38’.061” Kampung Butto kampong
Desa Tukamasea Kec. Bantimurung, didaerah ini terdapat lubang galian eks
pengambilan material tanah liat yang dilakukan oleh PT Semen Bosowa
yang luasnya ± 2 hektar dengan kedalaman 0,5 – 2 meter.

Titik koordinat S: 04°.56’.458”, E: 119°.38’.356” Kampung Ammasangeng
Dusun Bunga eja Desa Tukamasea Kec. Bantimurung, didaerah ini juga
terdapat banyak lubang galian eks pengambilan material tanah liat yang
dilakukan oleh PT. Semen Bosowa. Beberapa lubang galian tersebut luas
dan kedalamannya bervariasi antara 0,2 – 1 hektar dengan kedalaman 1 – 3
meter.

Titik koordinat S: 04°.56’.161”, E: 119°.38’.293” Kecamatan Bantimurung
Daerah ini merupakan perbukitan karts, 200 meter dari tempat pengambilan
titik koordinat merupakan tempat pengambilan material PT. Semen Bosowa
yang dimana tempat tersebut mengalami kerusakan yang paling parah dapat
dilihat hancurnya bukit-bukit karts dan hutan lindung di areal tersebut oleh
ledakan dinamit.

Titik koordinat S: 04°.58’.161”, E: 119°.39’.684” Desa Leang-leang Kec.
Bantimurung, daerah ini merupakan kawasan perbukitan karts yang juga
masuk dalam kawasan hutan lindung Bulusaraung. Di lokasi inilah aktivitas
pertambangan PT Bosowa mining dilakukan dengan menghancurkan
ekosistem karts dikawasan tersebut.
Tumpang tindih klaim di dalam kawasan dan antar kawasan, telah
menimbulkan konflik antar pemangku kepentingan. Selain itu, menjadi ancaman
serius bagi keberlanjuan ekosistem kawasan, dan tidak menjamin perkembangan
ekonomi kawasan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Ketidak jelasan tapal batas
antara kawasan hutan dengan kawasan pertambangan.
Tumpang tindih

7
pengelolaan antar kawasan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan produksi
terbatas berdampak terhadap ruang kelola masyarakat. Penelitian ini bertujuan
untuk melihat “Kebijakan pengelolaan ruang terhadap keadilan dan keberlanjutan
ekosistem kawasan karst bantimurung-bulusaraung pada saat ini, serta sejauh
mana dampak terhadap sosial, ekonomi dan budaya bagi masyarakat”.
Pengelolaan kawasan karst Bantimurung Bulusaraung terdiri dari Cagar
Alam, Taman Wisata Alam, Hutan Lindung, Hutan Produksi terbatas, dan Hutan
Produksi tetap, serta Taman Nasional. Pengelolaan yang sesuai dengan
peruntukan dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan sebagai kawasan
konservasi yang berkelanjutan bagi ekosistem, dan sosial budaya masyarakat akan
menjamin keselamatan kehidupan dimasa yang akan datang. Daya dukung
lingkungan hidup atau carrying capacity yang dimaksud sebagaimana disebutkan
dalam Undang Undang no.32 tahun 2009 adalah “Kemampuan lingkungan hidup
untuk mendukung perikehidupan manusia, mahluk hidup lain, dan keseimbangan
antar keduanya”. Dengan demikian carrying capacity atau daya dukung
lingkungan mengandung pengerian kemampuan sutu tempat dalam menunjang
keberlanjutan kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam jangka waktu yang
panjang. Peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam mempertahankan daya
dukung lingkungan dan fungsi kawasan konservasi, untuk itu negara harus
memberi ruang dan pengakuan bagi masyarakat dalam tata kuasa, tata kelola dan
tata produksi. Pengakuan yang dimaksud diantaranya adalah pengakuan atas
wilayah kelola atau menjamin akses untuk mengelola sumberdaya yang ada pada
kawasan konservasi tersebut, dengan tetap memperhatikan keberlanjutan
ekosistem kawasan. Masyarakat bisa mengakses dan mengambil manfaat dari
produk hasil hutan non kayu (NTFP), seperti: madu, buah-buahan, bahan obatobatan, kayu bakar, dan hasil hutan lainnya yang bukan kayu, (PP No.28/2011
tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Pealesarian Alam pasal 49 ayat 2
dan 3).
Pembukaan bagi industri ekstraktif pertambangan untuk bahan baku semen,
marmer, pasir kuarsa, dan lain sebagainya akan berimplikasi pada perubahan
bentang alam, karena system pertambangan yang terbuka (open pit) yang
mengakibatkan peningkatan suhu panas, berkurangnya debit air, kekeringan dan
kebakaran lahan pada musim kemarau, serta rawan terjadi banjir pada musim
hujan. Arsyad et. Al (2014) menjelaskan bahwa perluasan lahan tambang sangat
berpengaruh pada fungsi ekologis kawasan karst, terutama berkaitan dengan
kemampuan kawasan menyimpan, menyerap, menampung dan mengalirkan air.
Ancaman lainnya yang berdampak terhadap keanekaragaman hayati, yaitu:
musnahnya organisme yang menyebabkan terputusnya rantai ekosistem,
hilangnya benih-benih pangan, tanaman obat-obatan serta tanaman kehidupan
lainnya.
Pengelolaan kawasan yang tidak mempertimbangnkan daya dukung
lingkungan atau daya dukung kawasan. Selain berdampak ekologis juga dapat
menimbulkan dampak sosial berupa hilangnya pasokan pangan bagi masyarakat.
Kerusakan lingkungan juga berakibat pada hilangnya system pengetahuan
masyarakat dalam mengelola dan mengolah sumberdaya alam dan lingkungan
(Fatinaware 2010). Akibat dari hilangnya akses masyrakat dalam pengelolaan
kawasan, maka hilang pula sumber mata pencaharian yang selanjutnya
berpengaruh pada turunnya kemampuan atau daya beli masyarakat, dan rendahnya

8
kemampuan untuk memenuhi biaya sekolah dan kesehatan. Secara sosial juga
akan terjadi alih profesi; dari bekerja bertani menjadi buruh, peramu menjadi
buruh, akibat dari konversi lahan pertanian dan kawasan hutan menjadi area
pertambangan.
Potensi terjadinya konflik kepentingan akibat dari mobilisasi penduduk
yang tidak bisa dihindari, diantaranya persaingan antara masyarakat lokal dengan
pendatang. Permasalahan ini menjadi bagian yang akan dikaji pada tujuan nomor
dua, dengan menganalisis bagaimana strategi dalam pengelolaan ruang di
kawasan karst Bantimurung-Bilusaraung yang mempertahankan daya dukung
lingkungan, dan kawasan yang berkelanjutan secara sosial dan ekonomi. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini.

Gambar 2 Bagan Kebijakan Pengelolaan SDAL dan Implikasinya
Berdasarkan pernyataan di atas, maka sangat penting melakukan analisis
untuk memberi arahan atau opsi kebijakan peruntukan dan pengelolaan kawasan
karst Bantimurung Bulusaraung atau yang lebih dikenal dengan Kawasan Karst
Maros Pangkep yang adil dan berkelanjutan dari aspek lingkungan hidup, sosialbudaya, dan ekonomi.

9
Tujuan Penelitian
Berdasarkan penelaahan terhadap rumusan masalah penelitian, maka tujuan
penelitian ini diarahkan untuk:
1. Melakukan sintesis terhadap kawasan Karst Maros Pangkep dalam lima tahun
sebelumnya dan pengaruhnya terhadap keberlanjutan ekosistem karst pada
saat ini.
2. Menganalisis pilihan kebijakan pengelolaan kawasan karst yang
berkelanjutan dalam aspek lingkungan, sosial-budaya, dan ekonomi.
3. Memberi rekomendasi pilihan kebijakan pengelolaan kawasan untuk
keberlanjutan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Manfaat Penelitian
Dengan dicapainya tujuan penelitian tersebut, maka hasil penelitian ini akan
memberikan manfaat atau kegunaan sebagai berikut:
1. Memberikan alternatif bentuk kebijakan kepada pemerintah maupun lembaga
terkait agar mengutamaan pengelolaan Kawasan Karst Maros Pangkep yang
berkelanjutan dari dimensi lingkungan hidup, sosial budaya, dan ekonomi.
2. Sebagai bahan untuk menambah khasanah pengetahuan dalam perencanaan
dan pengelolaan ekosistem kawasan yang berkelanjutan secara ekologi, sosial,
budaya dan ekonomi.
3. Sebagai bahan referensi dan perbandingan untuk penelitian sejenis bagi pihakpihak yang berkepentingan dimasa selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Kawasan Karst Maros Pangkep yang dimaksud dalam rencana penelitian ini
adalah kawasan karst yang berada di kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep
Provinsi Sulawesi Selatan. Kawasan tersebut telah ditunjuk sebagai Taman
Nasional dengan Kepmenhut nomor: SK. 398/Menhut-II/2004. Pembagian
kawasan terdiri dari Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Hutan Lindung, Hutan
Produksi Terbatas, dan Hutan Produksi Tetap. Lingkup analisis adalah social
ekonomi dan ekosistem kawasan dengan mengambil lokasi penelitian di
Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep.

10

2 TINJAUAN PUSTAKA
Defenisi Ruang
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
mahluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya,
sebagaimana yang dimaksud pada UU No.26 tahun 2007 tentang Penataaan
Ruang (UUPR). Hampir semua kegiatan kehidupan dan pembangunan perlu atau
berkaitan dengan tempat/lokasi/ ruang.
Wilayah merupakan unit geografis dan batasan dan sistemnya beserta
segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administrasi dan atau aspek fungsional. Sementara kawasan adalah unit wilayah
yang memiliki penekanan fungsi khusus, seperti kawasan lindung atau budidaya,
atau dengan kata lain kawasan ditetapkan berdasarkan fungsionalnya bukan
batasan administrasi.
Secara alamiah, tanpa dengan atau keterlibatan mausia, berlakunya hukumhukum alam telah menyebabkan terdistribusinya segala benda ataupun
sumberdaya alam dengan suatu keteraturan dinamis yang berpola dan terstruktu
secara spasial maupun waktu. Adanya keteraturan sedemikian rupa sehingga
seluruh benda fisik di alam yang tertata dalam ruang yang membentuk pola
distribusi yang disebut sebagai pola ruang. Sedangkan susunan prasarana yang
dibangun manusia dalam ruang membentuk jaringan yang terstruktur, sehingga
membentuk struktur ruang (Rustiadi, at.all)
Pengertian kawasan menurut Undang Undang No. 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau
budidaya. Wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan lindung memiliki fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya
alam dan sumber daya buatan. Sedangkan kawasan budi daya adalah wilayah
yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisis dan
potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
Perjalanan Kawasan Konservasi Indonesia
Kegiatan konservasi alam di Indonesia telah dimulai sejak dari jaman
Raja-raja Nusantara, penjajahan Belanda, Jepang, dan Masa kemerdekaan sampai
hari ini. Baik dengan praktik-praktik kearifan tradisional yang dilakukan oleh
masyarakat adat/lokal sampai dengan upaya-upaya modern. Upaya konservasi
dilakukan untuk melestarikan dan memberi manfaat nyata dari pengelolaan
kawasan beserta kekayaan alam hayati yang ada di dalamnya, termasuk
keberlanjutan untuk masa depan kehidupan bagi generasi yang akan datang.
Sejarah ide preservasi atau gerakan perlindungan yang mengarah pada
pengawetan sisa-sisa hutan alam, lahir di Eropa kemudian berkembang menjadi
konservasi dengan prinsip pemanfaatan di Amerika. Indonesia juga terkena
imbasnya, terutama pada masa kolonial Belanda. Para naturalis Belanda,
mempunyai rasa memiliki terhadap alam Indonesia yang kaya akan flora dan
fauna. Para naturalis melakukan perlawanan terhadap kebijakan kolonialis yang

11
merusak alam, seperti perdagangan burung cendrawasih yang tidak terkontrol.
Mereka juga merintis pengukuhan kawasan perlindungan seperti cagar alam
(Natural Reservaat) di Depok dan Kebun Raya (‘sLands Plantentuin) Bogor.
Organisasai pertama yang memberikan perhatian khusus dalam hal
perlindungan alam adalah Nederland Indische Vereneging tot Natuur
Bescherming (Perhimpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda) yang didirakan
pada tahun 1912 oleh Dr. S.H. Koorders dan rekan-rekannya. Organisasi ini
sangat progresif dalam melobi Pemerintah Kolonial untuk membuat Cagar Alam
dan melindungi burung cendrawasih. Organisasi ini awalnya masih beranggotakan
himpunan orang-orang Eropa, sebagian kecil para bangsawan Jawa, dan
didominasi oleh para sarjana terutama di bidang biologi (naturalis).
Jaman Kerajaan Nusantara, tindakan konservasi secara eksplisit tercermin
dalam pola prilaku sehari-hari masyarakat dalam berhubungan dengan alam yang
merupakan warisan turun-temurun. Prilaku keseharian masayarakat sangat kental
dengan kepercayaan terhadap kekuatan alam dan mistifikasi benda-benda, yang
terwujud dalam penabuhan benda-benda, situs-situs dan tindakan tertentu.
Misalnya, larangan mengambil jenis-jenis pohon atau batu-batu tertentu, larangan
memasuki kawasan tertentu, seperti gunung, rawa, dan hutan tutupan. Pendekatan
mistis merupakan suatu cara yang digunakan untuk perlindungan dan
mempertahankan alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Sama halnya dengan system yang dibangun oleh Masyarakat Adat Kajang
di Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan, melalui Pasang (Titah
Leluhur) yang kemudian dipercaya turun temurun. Hubungan Manusia dengan
alam dibangun dengan hubungan yang harmoni. Alam dipandang sebagai suatu
hal yang suci atau sakral, yang memberi berkah bagi keberlanjutan hidup manusia
dan mahluk hidup lainnya. Mereka menjalankan ritual-ritual penghormatan
kepada penguasa alam dan roh-roh leluhur. Pensaklaran terhadap kawasan dengan
Penetapan zona yang dikeramatkan atau zona terlarang yaitu Borong Karassa
(hutan lindung) karena memiliki nilai konservasi tinggi. Hal tersebut merupakan
kearifan tradisional mereka yang diatur secara adat, untuk melindungi kawasan
dan mengatur tata guna dan pemanfaatan kawasan yang berkelanjutan bagi
generasi dan lingkungan dimasa yang akan datang. Memasuki kawasan Borong
Karrasa tanpa izin dari ketua adat Amma Toa, adalah melanggar aturan adat dan
akan mendapat sanksi atau denda adat.
Masyarakat adat dengan nilai dan pranata sosialnya secara turun temurun
diakui mampu menjadi benteng penyelamatan alam dan lingkungan di sekitarnya.
Sebagaimana pidato presiden pada Konfrensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim ke
21 atau COP 21 Paris, mengakui bahwa tindakan yang telah dilakukan oleh
masyarakat adat, adalah tindakan yang penting dan terbukti peran masyarakat adat
dalam mitigasi perubahan iklim. Hutan yang dikelola oleh masyarakat adat,
terbukti bebas dari kebakaran hutan dan lahan, kecuali hutan yang telah
diserahkan kepada korporasi. Kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan, sudah menjadi budaya yang melekat dalam praktik
kehidupan sehari-hari mereka. Nilai-nilai konservasi telah terinternalisasi dengan
pendekatan tradisional. Mereka mengelola alam dan memanfaatkan hasilnya tidak
berlebihan, lebih ditujukan untuk kebutuhan hidup sehari-hari atau disebut
subsisten. Pada kehidupan masyarakat adat yang masih memegang nilai-nilai
leluhur tidak akan mengeksploitasi alam untuk rente ekonomi. Namun hingga hari

12
ini, kebijakan politik konservasi alam masih cendrung mengabaikan konservasi
tradisional oleh masyarakat adat dan masyarakat lokal.
Arah gerakan konservasi yang dimulai pada jaman kolonial Belanda di
Indonesia ditandai dengan dua peristiwa yang sangat mempengaruhi perjalanan
konservasi di Indonesia, dikutip berdasarkan Wiratno dkk dalam buku Berkaca
dicermin retak Sejarah Kehutanan Indonesia h.188,.2004. Departemen Kehutanan,
Jakarta. yakni: Pertama, pada tahu 1714 C. Chastelein mewariskan dua bidang
tanah persil seluas 6 ha di Depok kepada para pengikutnya untuk digunakan
sebagai Cagar Alam (Natural Reservaat) dan sama sekali tidak digunakan untuk
areal pertanian, dengan tujuan agar keaslian dan kealamiannya tetap terjaga,
karena tidak dapat digantikan dengan areal manapun juga. Kedua, berdasarkan
usulan Direktur Lands Plantentuin (Kebun Raya) Bogor pada tahun 1889. Kawaan
hutan alam Cibodas seluas 280 ha, ditetapkan untuk kepentingan penelitian flora
hutan pegunungan. Kawasan tersebut kemudian meluas hingga meliputi Gunung
Gede dan Pangrango pada tahun 1925. Sejak jaman kolonial Belanda sampai akhir
pendudukan Jepang telah ditunjuk sebanyak 117 lokasi Suaka Alam di Pulau
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan beberapa pulau lainnya dengan
luas 3 juta ha.
Upaya-upaya perlindungan alam kembali dimulai setelah era kemerdekaan,
dimana pada jaman jaman kolonialisasi Belanda dan pendudukan Jepang, kedua
Negara tersebut menguras kekayaan hutan Indonesia untuk dikirim ke Negara
mereka. Masa pendudukan Jepang, terjadi eksploitasi terhadap hutan jati dalam
jumlah yang sangat besar dan merugikan, terutama untuk membiayai perang Asia
Timur Raya. Tahun 1947, Raja-raja Bali memprakarsai penunjukan Bali Barat
sebagai suaka alam baru, kemudian pada tahun 1994 terbit Undang Undang no.5
tahun 1994 tentang Keanekaragaman Hayati
KawasanKarst
Karst adalah adalah bentukan bentang alam pada batuan karbonat yang
bentuknya sangat khas berupa bukit, lembah, dolina dan gua. Permukaannya
cendrung kering dan gersang, namun di bawahnya terdapat aliran air yang
berbentuk sungai-sungai di bawah permukaan dan cekungan dalam goa-goa yang
menyimpan air. Sifat batuan karbonat yang merupakan komposisi bentang lahan
karst, berbentuk seperti spon, berpori dan berbentuk rekahan di permukaan.
karena itulah karst dapat menangkap air yang jatuh. Sifat batuan karbonat ataupun
dolomit yang menjadi penyusun utama bentang lahan karst adalah memiliki
banyak rekahan, celah dan rongga pada bagian permukaan. Zona tersebut menjadi
penangkap air yang jatuh di tempat tersebut