Analisis Faktor Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat (Studi Kasus Pesisir Kabupaten Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan)

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

EFEKTIVITAS PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

BERBASIS MASYARAKAT

(STUDI KASUS PESISIR KABUPATEN PANGKEP. PROVINSI

SULAWESI SELATAN)

Haerul

C252130191

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat (Studi Kasus Pesisir Kabupaten Pangkep. Provinsi Sulawesi Selatan) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2016

Haerul NRP C252130191


(3)

RINGKASAN

HAERUL. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat (Studi Kasus Pesisir Kabupaten Pangkep. Provinsi Sulawesi Selatan). Dibimbing oleh Rahmat Kurnia dan Etty Riani.

Salah satu sumberdaya ekosistem pesisir yang mengalami tingkat kerusakan (degradasi) yang cukup tinggi akibat pola pemanfaatannya yang tidak memperhatikan aspek kelestariannya adalah ekosistem mangrove. Melihat gejala perusakan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan maka perlu dilakukan strategi pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. Untuk dapat melakukan pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan diperlukan pengetahuan dan pemahaman tentang nilai strategi dari keberadaan hutan mangrove.

Tujuan penelitian ini adalah; a) menganalisis ekologi mangrove dilokasi penelitian, b) menganalisis tingkat keterkaitan dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove, c) menganalisis faktor-faktor yang berperan penting dalam pelestarian hutan, d) menganalisis kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan e) memberikan rekomendasi atau strategi pengelolaan ekosistem mangrove yang efektif kepada Pemerintah setempat yang berbasis masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan tiga metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu; i) metode survey, ii) kepadatan dan indeks ekologi, dan iii) potensi ekosistem mangrove.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi ekosistem mangrove yang ada di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan masih relatif baik, namun masyarakat di sebagian desa masih kurang paham akan pentingnya ekosistem mangrove. Tingkat keterkaitan dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan sudah relatif baik. Partisipasi masyarakat dalam pelestarian mangrove masih dalam kategori partisipasi vertikal, sehingga keterlibatan pemerintah masih sangat berperan dalam pelestarian ekosistem mangrove dan hanya sebagian kecil masyarakat yang berpartisipasi horizontal, yang menanam mangrove atas kehendak sendiri.

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam tingkat partisipasi pelestarian ekosistem mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan adalah umur, pendidikan, pendapatan, pemahaman, keterlibatan pemerintah, kelompok, dan pemanfaatan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan sudah relatif baik, terlihat dari sistem pendidikan di setiap wilayah sudah merata dan angka kemiskinan cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Prioritas trategi pengelolaan ekosistem mangrove pada masa yang akan datang adalah strategi pengelolaan ekosistem berbasis rehabilitasi sebagai pengelolaan ekosistem mangrove yang berbasis masyarakat dan berkelanjutan. Berdasarkan beberapa alternatif strategi pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan, maka perumusan prioritas starategi pengembangan ekosistem mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan yang efektif dan berkelanjutan pada masa yang akan datang berdasarkan analisis AHP adalah pengelolaan ekosistem mangrove yang berbasis pada rehabilitasi.


(4)

Management of Mangrove Ecosystems (Coastal Case Study Pangkep. Province of

South Sulawesi ) Under direction of Rahmat Kurniaand Etty Riani.

One of the resource coastal ecosystems experienced the level of damage (degradation) is quite high due to utilization patterns that do not pay attention to aspects of sustainability is the mangrove ecosystem. Mangrove ecosystem is one of the coastal resources that play an important role in development. Observe the symptoms of destruction on mangrove forests for various purposes it is necessary to mangrove forest management strategies on an ongoing basis. To be able to perform in a sustainable mangrove forest management requires knowledge and understanding of the strategic value of mangrove forests that are useful for public who are nearby.

The purpose of this study was; a) analyze of mangrove ecology in location research, b) analyze the level of connectedness and community participation District Pangkajene and Kepulauan in the mangrove forest preservation, c) analyze the factors that important role in the preservation of mangrove forest in District Pangkajene and Kepulauan, d) analyze socio-economic conditions of society in District Pangkajene and Kepulauan, and e) provide recommendations or strategies management of the mangrove ecosystem of effective to local governments that based society.

Based on the results of the study, shows that the mangrove ecosystem conditions that exist in the District Pangkajene and Kepulauan still considered relatively good, although in some villages, still do not understand the importance of mangrove ecosystems. Degree of relatedness and community participation in the preservation of the mangrove ecosystem in the District Pangkajene and Kepulauan already relatively well. Public participation in mangrove preservation is still in the category of vertical participation, so that government involvement is still very important role in the preservation of the mangrove ecosystem and only a small percentage of society participate horizontal mangrove planting on their own will.

Factors that influence the level of participation in the preservation of the mangrove ecosystem in the District Pangkajene and Kepulauan are age, education, income, understanding, involvement of government, group, and Utilization. Socio-economic conditions District Pangkajene and Kepulauan already relatively well visible from the education system in each region already been uneven and poverty rates tend to decrease from year to year. Priority Strategy mangrove ecosystem management in the future that can be implemented, namely ecosystem management strategies based rehabilitation as mangrove ecosystem management and sustainable community-based. Based on several alternative strategies developed mangrove ecosystem management, the formulation of priorities starategi development of mangrove ecosystems in District Pangkajene and Kepulauan that effective and sustainable that can be implemented based on the analysis of AHP namely the management of mangrove ecosystem based on rehabilitation.

Keywords: mangrove ecosystems, management strategy, pangkajene and kepulauan


(5)

© Hak Cipta Milik IPB Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

SELATAN)

Haerul

C252130191

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(7)

(8)

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober sampai dengan Desembar 2014 dengan judul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat (Studi Kasus Pesisir Kabupaten Pangkep. Provinsi Sulawesi Selatan).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Rahmat Kurnia dan Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Sc, selaku ketua Program Studi yang telah banyak memberi motivasi selama ini terutama kepada SPL 2013. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Si selaku dosen penguji pada pelaksanaan sidang yang telah menberikan banyak masukan dan saran perbaikan dalam penyelesaian tesis. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Si selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian yang telah memberikan banyak arahan dan masukan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik. Seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan.

Kepada Dinas Lingkungan Hidup, BAPEDA, Dinas Hutan dan Perkebunan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan dan seluruh jajarannya atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terimah kasih penulis kepada Lembaga Maritim Nusantara yang telah memberikan banyak masukan dan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Penghormatan yang tertinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta yang telah memberikan dukungan penuh dan menjadi motivasi terbesar bagi penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan.

Bogor, September 2016


(10)

DAFTAR TABEL xvii

DAFTAR GAMBAR xviii

LAMPIRAN xix

1. PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan dan Manfaat 3

Kerang Pemikiran 3

2. TINJAUAN PUSTAKA 5

Ekosistem Mangrove 5

Pengertian Ekosistem Mangrove 5

Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove 6

Pengelolaan Ekosistem Mangrove 8

Pelindung hutan mangrove 8

Pemanfaatan hutan mangrove 9

Rehabilitasi hutan mangrove 10

Karakteristik Masyarakat Pesisir 10

Aspek Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pesisir 12

Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove 13

Gambaran Umum Mangrove Indonesia 14

Tipe vegetasi mangrove 14

Mangrove terbuka 14

Mangove tengah 14

Mangrove payau 15

Mangrove daratan 15

Klasifikasi mangrove 15

3. METODOLOGI PENELITIAN 17

Waktu dan Tempat 17

Bahan dan Metode 17

Bahan penelitian 17

Metode penelitian 17

Metode survey 17

Kepadatan dan indeks ekologi 17

Potensi ekosistem mangrove 18

Teknik Pengambilan Data 18

Pemilihan Responden 18

Analisis PCA 18

Analisis AHP 19

Variabel yang Diamati 19

Metode Analisis Data 20

Kepadatan dan indeks ekologi 20

Kepadatan 20

Indeks ekologi 21


(11)

Indeks keseragaman 21

Indeks dominasi 21

Potensi Ekosistem Mangrove 22

Kerapatan spesies 22

Kerapatan relatif spesies 22

Frekuensi spesies 22

Frekuensi relatif 22

Penutupan spesies 23

Penutupan relatif spesies 23

Nilai penting spesies 23

Data Sosial Ekonomi 23

Data Fisik Wilayah 23

Hubungan antara Karakteristik Masyarakat dan Tingkat Partisipasi 23

Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove 24

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 29

Keadaan Umum Kabupaten Pangkep 29

Letak geografis, batas administrasi dan kondisi fisik 29

Topografi dan klimatologi 31

Demografis wilayah 31

Keadaan Umum Kecamatan 32

Kecamatan Pangkajene 32

Kecamatan Bungoro 33

Kecamatan Labakkang 35

Kecamatan Ma’rang 36

Kecamatan Segeri 37

Kecamatan Mandalle 39

Kepadatan dan Indeks Ekologi 40

Kepadatan 44

Indeks Ekologi 49

Keragaman 49

Keseragaman 51

Dominansi 52

Potensi Ekosistem Mangove 53

Analisis jenis mangrove pada tingkat pohon 53

Kerapatan spesies (Ki) 53

Kerapatan relatif spesies (KRi) 56

Frekuensi spesies (Fi) 58

Frekuensi relatif spesies (FRi) 61

Penutupan spesies (Ci) 63

Penutupan relatif spesies (RCi) 66

Nilai penting spesies (NPi) 69

Analisis jenis mangrove pada tingkat pancang 72

Kerapatan spesies (Ki) 72

Kerapatan relatif spesies (KRi) 75

Frekuensi spesies (Ki) 78

Frekuensi relatif spesies (FRi) 81

Analisis jenis mangrove pada tingkat semai 84


(12)

Data Sosial Ekonomi 95

Pendidikan 95

Kesehatan 99

Penduduk miskin 101

Air bersih 102

Pertumbuhan ekonomi 103

Data Fisik Wilayah 104

Potensi sumberdaya air 105

Kondisi sektor perikanan budidaya 106

Perikanan budidaya air payau (brackish water culture) 106

Perikana budidaya laut (marine culture) 108

Industri garam rakyat (tambak garam) dan pengolahan hasil laut 109

Infrastruktur perikanan budidaya 111

Rumah tangga perikanan budidaya 112

Produksi perikanan budidaya 113

Isu-isu strategis pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil 114

Potensi lahan perikanan budidaya 114

Hubungan Antara Karakteristik Masyarakat dan Tingkat Partisipasi 115

Hubungan umur terhadap tingkat partisipasi 117

Hubungan pendidikan terhadap tingkat partisipasi 118

Hubungan pekerjaan terhadap tingkat partisipasi 119

Hubungan pendapatan terhadap tingkat partisipasi 120

Hubungan faktor pemahaman terhadap tingkat partisipasi 121

Hubungan faktor partisipasi masyarakat terhadap tingkat

partisipasi 122

Hubungan faktor keterlibatan pemerintah terhadap tingkat

partisipasi 122

Hubungan faktor kelompok terhadap tingkat partisipasi 123

Hubungan tingkat pemanfaatan terhadap tingkat partisipasi 124

Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove 125

5. SIMPULAN DAN SARAN 132

Simpulan 132

Saran 132

DAFTAR PUSTAKA 133

LAMPIRAN 147

DAFTAR TABEL

1. Skala perbandingan secara berpasangan (pairwise comparison)

menurut Saaty (1993) 25

2. Matriks analisis berdasarkan tujuan penelitian 27

3. Letak geografis Kabupaten Pagkajene dan Kepulauan 30

4. Jumlah desa, kelurahan, lingkungan, dusun, RW, dan RT tahun 2013 30


(13)

6. Jumlah jenis yang diperoleh pada setiap stasiun 42

7. Kepadatan jenis mangrove yang dominan di setiap stasiun 48

8. Fasilitas pendidikan 96

9. Banyaknya sekolah TK dan jumlah guru 97

10.Banyaknya sekolah SD Negeri dan jumlah guru 98

11.Banyaknya sekolah SLTP Negeri dan jumlah guru 2013 98

12.Banyaknya sekolah SLTA Negeri dan jumlah guru 2013 99

13.Jumlah tenaga medis 2013 100

14.Persentase keluhan penyakit 100

15.Rumah tangga menurut status kepemilikan rumah yang ditempati 101

16.Jumlah penduduk miskin per kecamatan 101

17.Persentase rumah tangga menurut jenis atap yang digunakan 102

18.Persentase rumah tangga menurut sumber air minum yang digunakan 102

19.Persentase rumah tangga menurut tempat pembuangan tinja 103

20.Pertumbuhan ekonomi menurut lapangan atas harga kostan 2000,

Kabupaten Pangkajene 104

21.Pertumbuhan ekonomi dilihat dari subsektor harga konstan 2000,

Kabupaten Pangkajene 2009-2013 104

22.Jumlah rumah per kecamatan 105

23.Daerah aliran sungai (DAS) 106

24.Luas tambak Kabupaten Pangkajene 106

25.Industri pengolahan perikanan per kecamatan Kab. Pangkep tahun 2011 110 26.Data produksi perikanan tangkap, perikanan budidaya pesisir dan

P2HP tahun 2011 110

27.Data sarana dan prasarana pendukung sektor perikanan Kab. Pangkep

tahun 2011 112

28.Komposisi petambak pada tiap-tiap kecamatan 113

29.Produksi komoditas hasil perikanan budidaya dari tahun 2007 113

30.Produksi komoditas hasil perikanan budidaya dari tahun 2008-2009 114

31.Luas potensi perikanan Kab. Pangkep tahun 2011 115

32.Potensi luasan pengembangan budidaya perikanan per kecamatan

Kab. Pangkep tahun 2011 115

33.Hubungan umur terhadap tingkat partisipasi 118

34.Hubungan pendidikan terhadap tingkat pertisipasi 119

35.Hubungan Pekerjaan terhadap tingkat partisipasi 119

36.Hubungan pendapatan terhadap tingkat partisipasi 120

37.Tingkat pemahaman responden terhadap mangrove 121

38.Tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove 122 39.Tingkat keterlibatan pemerintah dalam pelestarian ekosistem mangrove 123

40.Tingkat manfaat kelompok dalam pelestarian ekosistem mangrove 124

41.Tingkat pemanfaatan terhadap pelestarian ekosistem mangrove 124

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pemikiran penelitian 4

2. Peta lokasi penelitian 17

3. Hirarki strategi pengelolaan ekosistem mangrove 26


(14)

8. Peta lokasi penelitian di Kecamatan Segeri 38

9. Peta lokasi penelitian di Kecamatan Mandalle 40

10.Persentase sebaran mangrove pada setiap kecamatan berdasarkan stasiun 43

11.Kepadatan rata-rata pada setiap kecamatan 45

12.Kepadatan jenis pada tiap stasiun 46

13.Indeks keragaman yang diperoleh di setiap kecamatan 50

14.Indeks keseragaman yang diperoleh di setiap kecamatan 51

15.Indeks dominansi yang diperoleh di setiap kecamatan 52

16.Kerapatan spesies yang diperoleh di setiap kecamatan 55

17.Kerapatan relatif spesies yang diperoleh di setiap kecamatan 57

18.Frekuensi spesies yang diperoleh di setiap kecamatan 60

19.Frekuensi relatif spesies yang diperoleh di setiap kecamatan 62

20.Penutupan spesies yang diperoleh di setiap kecamatan 64

21.Penutupan relatif spesies yang diperoleh di setiap kecamatan 66

22.Indeks nilai penting yang diperoleh di setiap kecamatan 70

23.Kerapatan spesies yang diperoleh di setiap kecamatan 73

24.Kerapatan relatif spesies yang diperoleh di setiap kecamatan 76

25.Frekuensi spesies yang diperoleh di setiap kecamatan 80

26.Frekuensi relatif spesies yang diperoleh di setiap kecamatan 83

27.Kerapatan spesies yang diperoleh di setiap kecamatan 85

28.Kerapatan Relatif spesies yang diperoleh di setiap kecamatan 88

29.Frekuensi spesies yang diperoleh di setiap kecamatan 91

30.Frekuensi relatif spesies yang diperoleh di setiap kecamatan 93

31.Korelasi antar variabel pada sumbu utama pertama dan kedua 116

32.Biplot sebaran individu tiap kecamatan pada sumbu utama pertama dan

kedua 117

33.Bobot faktor-faktor pada setiap level penentuan strategi pengelolaan 127 34.Bobot masing-masing alternatif strategi pengelolaan ekosistem mangrove 129

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kuisioner penelitian 149

2. Kuisioner AHP 155

3. Hasil analisis PCA 161

4. Data responden 166


(15)

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang di dominasi oleh beberapa jenis mangrove yang dapat beradaptasi terhadap arus pasang surut dan berkembang dengan baik pada daerah pantai berlumpur (Bengen, 2002). Ekosistem mangrove memiliki sifat yang unik dan khas, dengan mempunyai banyak fungsi bagi makhluk hidup sekitarnya bahkan manusia. Mangrove mempunyai peran utama sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground) dan tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai biota laut yang bermanfaat untuk mendukung kehidupan manusia.

Masyarakat yang ada di sekitar kawasan hutan mangrove mempunyai keterkaitan yang sangat besar terhadap ekosistem mangrove. Hutan mangrove sudah banyak dimanfaatkan masyarakat tradisional sejak lama dan sebagian besar berasal dari masyarakat pesisir itu sendiri. Hutan mangrove sangat rentan terhadap aktifitas masyarakat di sekitarnya misalnya pembangunan pemukiman, sektor perikanan, pembangunan pelabuhan, dan lain sebagainya. Meningkatnya aktifitas tersebut mengakibatkan munculnya tekanan terhadap hutan mangrove, sehingga berdampak pada kerusakan ekosistem mangrove baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, masyarakat yang menetap di kawasan hutan mangrove dapat berperan sebagai perusak namun dapat pula berperan sebagai pelindung mangrove itu sendiri, berkaitan dengan hal tersebut diperlukan upaya-upanya yang dapat mengajak dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove yang baik, agar fungsi mangrove dapat berjalan dengan baik dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Luas mangrove yang ada di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan di tahun 2009 hanya tersisa 74.149 ha. Berkurangnya luas mangrove yang ada di Kabupaten Pangkep diakibatkan oleh laju pembukaan lahan tambak yang tidak terkendali dan pembukaan lahan untuk pemukiman, serta pengaruh aktifitas pabrik-pabrik terutama pabrik semen yang ada di Pangkep. Oleh karena itu diperlukan suatu pendektan yang strategis dalam pelestarian hutan mangrove dengan melibatkan masyarakat sekitar yang dipandang lebih efektif dibandingkan dengan pelestarian satu arah yang hanya melibatkan pemerintah setempat. Adanya pelibatan masyarakat setempat diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi pelestarian suatu kawasan hutan mangrove yang dapat menjaga keseimbangan ekosistem dan fungsi ekonomi kawasan hutan mangrove tersebut bagi masyarakat setempat. Adanya pelestarian diharapkan akan keseimbangan ekosistem tersebut, sehingga dapat tercapai suatu pengelolaan wilayah yang berkelanjutan secara baik dan bermanfaat.

Kondisi hutan mangrove, sangat tergantung dari masyarakat yang ada di sekitarnya. Hal ini disebabkan masyarakat yang dapat berperan sebagai perusak atau pelindung hutan mangrove itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya yang dapat memperbaiki dan meningkatkan pola partisipasi masyarakat dan pengelolaan yang baik agar fungsi ganda dari hutan dapat berjalan dengan baik serta dapat dimanfaatkan secara optimal. Mengingat saat ini kajian ilmiah tentang faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas pengelolaan ekosistem mangrove berbasis


(16)

masyarakat di Kabupaten Paangkep masih minim, maka perlu dilakukan penelitian ini.

Perumusan Masalah

Luas kawasan ekosistem mangrove yang ada di Sulawesi Selatan pada tahun 1982 ±66.000 Ha, kemudian pada tahun 1993 mengalami penambahan ± 57.6% (± 104.030 Ha). Hasil pemantauan Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan 1994 bahwa hutan mangrove di Sulawesi Selatan 78.022 Ha umumnya mengabaikan kelestarian lingkungan dan kondisi ekologis hutan mangrove. Dari 78.022 Ha luas hutan mangrove yang dieksploitasi, ± 40.000 Ha atau sekitar 38% dikonversi menjadi tambak, sedangkan sisanya di manfaatkan di sektor lain seperti: pembuatan arang, kayu bakar, bahan bangunan dan keperluan lainnya. Pada daerah yang produktif hanya 30% sedangkan sisanya dibiarkan begitu saja tanpa ada pengelolaan yang baik.

Luas hutan mangrove yang ada di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan tersisa 74.149 Ha (BAKOSURTANAL, 2009). Oleh karena itu maka harus dilakukan pengelolaan yang baik dan berkelanjutan sehingga bukan saja akan melestarikan mangrove tetapi juga akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pesisir serta menjaga keseimbangan ekosistem mangrove.

Pemanfaatan lahan di daerah ekosistem mangrove khususnya di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan menimbulkan dampak yang makin berkurangnya lahan hutan mangrove. Meningkatnya pemanfaatan lahan pada daerah pesisir berdampak pada kerusakan ekosistem yang ada di daerah pesisir salah satunya hutan mangrove. Pemanfaatan hutan mangrove pada daerah ini menimbulkan dampak yang positif dan negatif. Dampat positif dari kegiatan masyarakat pesisir yaitu dapat menambah penghasilan bagi masyarakat itu sendiri, misalnya hasil dari pemanfaatan batang mangrove untuk kayu bakar, pembuatan arang serta hasil tangkap dari udang dan ikan yang dapat dijual. Dampak negatif yaitu hasil dari kegiatan masyarakat yang mengeksploitasi hutan mangrove secara berlebihan yang tidak dikelolah secara baik.

Agar dampak dari pemanfaatan yang bersifat baik dapat dioptimalkan dengan baik dan berkelanjutan serta dampak yang dapat merusak dapat diminimalkan maka perlu adanya pendekatan yang strategis dalam pelestarian ekosistem mangrove serta pengelolaan secara benar dan berkelanjutan dengan mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan ekosistem secara terpadu.

Dalam hal masalah kerusakan hutan mangrove yang paling berperan dalam kerusakan tersebut adalah masyarakat disekitar. Salah satu unsur penting dalam mencapai kelestarian hutan mangrove adalah perlu adanya peran serta masyarakat, sehingga masyarakat yang hanya memanfaatkan sumberdaya alam hutan mangrove tanpa memperhatikan kelestariannya dapat dikendalikan.

Sejalan dengan uraian diatas maka yang menjadi permasalahan adalah: 1. Bagaimana kondisi hutan mangrove yang ada di Kabupaten Pangkajene dan

Kepulauan?

2. Sejauh mana partisipasi masyarakat dalam upaya melestarikan hutan mangrove?

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat dalam berpartisipasi dalam pelestarian hutan mangrove?


(17)

4. Bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat yang ada di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan?

5. Seperti apa pengelolaan yang baik dalam pelestarian ekosistem mangrove berbasis masyarakat?

Tujuan dan Manfaat Tujuan Penelitian

1. Menganalisis ekobiologi mangrove di lokasi penelitian.

2. Menganalisis tingkat keterkaitan dan partisipasi masyarakat Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan dalam pelestarian hutan mangrove.

3. Menganalisis faktor-faktor yang berperan penting dalam pelestarian hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.

4. Menganalisis kondisi sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.

5. Memberikan rekomendasi atau strategi pengelolaan ekosistem mangrove yang efektif kepada Pemerintah setempat yang berbasis masyarakat.

Manfaat Penelitian

1. Bahan informasi dalam strategi pengelolaan yang berkelanjutan dan benar dengan melihat kondisi sosial ekonomi masyarakat yang ada di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.

2. Bahan informasi dan gambaran kepada berbagai pihak tentang kegiatan masyarakat yang ada di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan dalam pemanfaatan hutan mangrove.

Kerangka Pemikiran

Masyarakat yang bermukim di daerah ekosistem mangrove umumnya berprofesi sebagai nelayan dan petani dengan penghasilan yang relatif rendah. Masyarakat pesisir pada umumnya memanfaatkan mangrove secara langsung dan maupun tidak langsung, sehingga mengakibatkan ekosistem mangrove terancam kelestariannya. Namun partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove secara terpadu dan berkelanjutan masih belum terkait secara nyata. Ekosistem mangrove akan terjaga lebih baik jika masyarakat pesisir yang tinggal di sekitar hutan mangrove merasa memiliki dan yakin bahwa kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu pihak tentang pengembangan ekosistem mangrove dalam bentuk pengelolaan secara terpadu dan benar dapat memberikan manfaat dan keuntungan karena ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam yang sangat potensial dan kaya yang akan memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

Faktor-faktor pembatas untuk pengelolaan hutan mangrove terdiri dari faktor internal dan eksternal berkaitan erat dengan kemampuan dan pengetahuaan masyarakat dalam berpartisipasi pada suatu kelestariaan hutan mangrove. Faktor-internal berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat sedangakan faktor eksternal meliputi keterlibatan suatu instansi tertentu dalam pelestarian ekosistem mangrove, manfaat dari hutan mangrove, pemahaman masyarakat terhadap manfaat dan fungsi ekosistem mangrove itu sendiri dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan.


(18)

Masyarakat yang ada di sekitar hutan mangrove diharapkan dapat berpartisipasi dalam pengelolaan dan pengembangan hutan mangrove yang benar dan berkelanjutan sehingga kelestarian hutan mangrove yang ada di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan tetap terjaga. Nantinya diharapkan masyarakat di sekitar hutan mangrove dapat memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari hutan mangrove.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan kepada pemerintah setempat dalam program pelestarian hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, sehingga dapat mengembangkan strategi yang tepat dalam pengembangan pengelolaan hutan mangrove yang benar dan berkelanjutan sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar hutan mangrove dan sebaliknya hutan mangrove dapat terjaga dan lestari dengan baik. Diagram kerangka pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

Hutan Mangrove

Manfaat Hutan Mangrove

Hasil Analisis Deskriftif Faktor Pembatas

Kondisi Sosial Masyarakat Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan

Partisipasi Masyarakat


(19)

Ekosistem Mangrove Pengertian Ekosistem Mangrove

Mangrove merupakan salah satu ekosistem terpenting dan produktif serta ditemukan di sepanjang pesisir dan garis pantai (Hong dan San, 1993). Ekosistem mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari deburan ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Di wilayah pesisir yang tidak terdapat muara sungai, pertumbuhan mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya (Nontji, 2005).

Hal ini terbukti dari daerah penyebaran mangrove di Indonesia, yang umumnya terdapat di Pantai Timur Sumatera, Kalimantan, Pantai Utara Jawa dan Papua. Penyebaran ekosistem mangrove juga dibatasi oleh letak lintang karena mangrove sangat sensitif terhadap suhu dingin. Bengen (2004) menambahkan, hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu berkembang pada daerah pasang surut terutama pantai berlumpur seperti jenis Rhizophora, Avicennia, Bruguiera dan Sonneratia. Di lain pihak jenis-jenis ini berasosiasi dengan jenis lain seperti nipah, anggrek dan tumbuhan bukan mangrove lainnya. Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas yang tahan terhadap kadar garam/salinitas tinggi (pasang surut air laut), dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000).

Masyarakat kita, sering menerjemahkan mangrove sebagai komunitas hutan bakau, sedangkan tumbuhan bakau merupakan salah satu jenis dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di hutan pasang surut tersebut. Hutan mangrove atau hutan bakau adalah hutan yang terdapat di muara sungai atau pantai tropika. Mangrove adalah vegetasi yang terdiri atas pohon atau perdu yang tumbuh di daerah pantai di antara batas-batas permukaan air pasang tertinggi dan di atas rata-rata permukaan air laut. Mangrove dapat tumbuh di daerah tropis yang memiliki pantai terlindung, di muara sungai dan lingkungan dimana air laut dapat masuk, di sepanjang pantai berpasir atau berbatu maupun karang yang telah tertutup oleh lapisan pasir berlumpur. Selanjutnya Van Balen (1989) menambahkan bahwa hutan mangrove memiliki jenis pohon yang relatif sedikit, dipengaruhi oleh pergerakan pasang surut, memiliki physiognomi yang sederhana dan tanpa stratifikasi yang jelas.

Tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove di Indonesia, meliputi: 89 jenis pohon, lima jenis palmae, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit, dan satu jenis paku (Noor et al., 1999). Menurut Soemodihardjo & Soerianegara (1989), terdapat 89 jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan di Indonesia, yang terdiri dari 35 jenis pohon, lima jenis terna, sembilan jenis perdu, sembilan jenis liana dan, 29 jenis epifit, dan dua jenis parasit. Sementara itu Bengen (2001), mengatakan bahwa vegetasi mangrove terdiri dari 12 genera


(20)

tumbuhan berbunga, yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegilitas, Snaeda, dan Conocarpus, yang termasuk ke dalam delapan famili. Melana et al. (2000) menambahkan bahwa tumbuhan mangrove terdiri dari 47 jenis tumbuhan mangrove sejati dan jenis asosiasi yang termasuk ke dalam 26 famili. Mangrove sejati tumbuh di ekosistem mangrove, sedangkan mangrove asosiasi kemungkinan dapat tumbuh di habitat yang lain seperti di hutan pantai dan daerah dataran rendah.

Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang memiliki banyak manfaat, baik aspek ekologi maupun aspek sosial ekonomi. Peranan penting ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya makhluk hidup, baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun tajuk-tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem tersebut. Menurut Liyanage (2004), nilai keuntungan (manfaat) tidak langsung dari ekosistem mangrove lebih tinggi jika dibandingkan manfaat langsungnya. Nilai penting ekosistem mangrove antara lain menurunkan tingkat erosi di pantai dan sungai, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut, menurunkan tingkat polusi (pencemaran) produksi bahan organik sebagai sumber makanan, sebagai wilayah/daerah asuhan, pemijahan, dan mencari makan untuk berbagai jenis biota laut.

Mangrove juga akan menjadi sumberdaya penting dalam ekowisata di banyak negara. Hong dan San (1993), menambahkan pada kenyataannya ekosistem ini menjaga kestabilan garis pantai, menyediakan penghalang alami dari badai, topan, pasang surut yang tidak menentu dan bencana alam lainnya. Untuk beberapa kasus, ekosistem mangrove juga telah berkontribusi secara signifikan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat disekitarnya. Melana

et al. (2000) menambahkan bahwa terdapat enam fungsi ekosistem mangrove ditinjau dari ekologi dan ekonomi, yaitu:

(1) Mangrove menyediakan daerah asuhan untuk ikan, udang dan kepiting, dan mendukung produksi perikanan di wilayah pesisir.

(2) Mangrove menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai, yang berguna sebagai bahan makanan hewan-hewan estuari dan perairan pesisir.

(3) Mangrove melindungi lingkungan sekitar dengan melindungi daerah pesisir dan masyarakat di dalamnya dari badai, ombak, pasang surut dan topan.

(4) Mangrove menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon dan menurunkan polusi bahan organik di daerah tepi dengan menjebak dan menyerap berbagai polutan yang masuk ke dalam perairan.

(5) Dari segi estetika, mangrove menyediakan daerah wisata untuk pengamatan burung, dan pengamatan jenis-jenis satwa lainnya.

(6) Mangrove merupakan sumber bahan baku kayu dan atap dari nipah untuk bahan bangunan, kayu api dan bahan bakar, serta tambak untuk budidaya perikanan. Benih mangrove dapat dipanen dan dijual. Ikan, udang-udangan dan kerang juga dapat dipanen dari ekosistem


(21)

mangrove. Akuakultur dan perikanan komersial juga tergantung dari mangrove untuk perkembangan benih dan ikan-ikan dewasa. Selain itu mangrove juga sumber bahan tanin, alkohol dan obat-obatan.

Nilai keseluruhan ekosistem mangrove berkisar US$500 sampai US$1.550 per hektar pertahun, nilai minimum terjadi ketika ekosistem mangrove dikonversi menjadi peruntukan yang lain. Selain itu, ekosistem mangrove juga berfungsi dalam penyediaan habitat alami bagi fauna yang menurut Chapman (1977) dalam Kusmana (1995) terdiri lima habitat, yakni:

(1) Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan serangga.

(2) Lubang yang terdapat di cabang dan genangan air di cagak antara batang dan cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik untuk serangga (terutama nyamuk).

(3) Permukaan tanah sebagai habitat mudskipper dan keong/kerang. (4) Lobang permanen dan semi permanen di dalam tanah sebagai

habitat kepiting dan katak.

(5) Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan ikan/udang.

Lebih lanjut Sugiarto & Ekayanto (1996), menambahkan bahwa secara fisik hutan mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung. Sistem perakaran yang khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus dan ombak, sehingga menjaga garis pantai tetap stabil dan terhindar dari pengikisan (abrasi). Selain itu juga sebagai penyangga daratan dari rembesan air laut serta penghalang angin. Ekosistem mangrove sebagai jalur hijau berfungsi sebagai penyaring berbagai jenis polutan yang dibawa oleh sungai atau aliran air lainnya yang masuk ke ekosistem ini (Abdullah, 1988).

Peranan hutan mangrove yang paling menonjol dan tidak tergantikan oleh ekosistem lain adalah kedudukannya sebagai mata rantai yang menghubungkan kehidupan ekosistem laut dan daratan, kemampuannya untuk menstimulir dan meminimasi terjadinya pencemaran logam berat dengan menangkap dan menyerap logam berat tersebut. Fungsi penting lainnya dari ekosistem mangrove adalah manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, yaitu sebagai sumber mata pencaharian dan produksi dari berbagai jenis hutan dan hasil ikutan lainnya. Dahuri et al. (2004) mengidentifikasikan kurang lebih 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi kepentingan manusia, baik produk langsung maupun tidak langsung yang sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Manfaat langsung, seperti: bahan baku bangunan, alat tangkap, pupuk pertanian, bahan baku kertas, makanan, obat-obatan, minuman dan tekstil. Sedangkan produk tidak langsung berupa tempat rekreasi dan sebagainya.

Fungsi biologis hutan mangrove adalah sebagai sumber kesuburan perairan, tempat perkembangbiakan dan pegasuhan berbagai biota laut, tempat bersarangnya burung-burung (khususnya burung air), habitat berbagai satwa liar dan sumber keanekaragaman hayati (Khazali, 2001). Menurut Macnae (1968) dalam Kusmana (1995), secara umum, fauna hutan mangrove terdiri atas fauna teresterial dan fauna laut. Fauna teresterial misalnya kera ekor panjang, biawak, berbagai jenis burung, dan lain-lain. Fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan Mollusca umumnya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Brachyura.


(22)

utama fauna hutan mangrove. Kontribusi yang paling penting dari hutan mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem pantai adalah serasah daunnya. Diperkirakan hutan mangrove mampu menghasilkan bahan organik dari serasah daun sebanyak 7-8 ton/ha/tahun. Tingginya produktivitas ini disebabkan karena hanya 7% dari dedaunan yang dihasilkan dikonsumsi langsung oleh hewan di dalamnya, sedangkan sisanya oleh makroorganisme (terutama kepiting) dan organisme pengurai diubah sebagai detritus atau bahan organik mati dan memasuki sistem energi (Chambers dan Sobur, 1977).

Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan suatu upaya untuk memelihara, melindungi dan merehabilitasi sehingga pemanfaatan terhadap ekosistem ini dapat berkelanjutan. Menurut Aksornkoae (1993), pengelolaan mangrove yang baik sangat penting untuk saat ini dan tujuan dari pengelolaan ini antara lain harus:

1. Mengelola hutan mangrove untuk kepentingan produksi seperti kayu-kayuan, kayu api, arang, untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun ekspor.

2. Mengelola hutan mangrove untuk kepentingan tidak langsung seperti daerah pemijahan dan mencari makan beberapa organisme darat dan laut, pelindung badai, pencegah banjir dan erosi tanah.

3. Mengelola hutan mangrove sebagai satu kesatuan yang terpadu dari berbagai ekosistem pantai, bukan sebagai ekosistem yang terisolasi. Pada hakekatnya, dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat tiga konsep yang dapat diterapkan. Ketiga konsep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove, pemanfaatan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove. Ketiga konsep ini memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari dan pemanfataannya dapat berkelajutan.

1) Perlindungan hutan mangrove

Perlindungan terhadap hutan mangrove merupakan salah satu upaya pengelolaan berkelanjutan terhadap ekosistem ini. Wujud nyata perlindungan dimaksud dapat dilakukan melalui penetapan suatu kawasan konservasi sebagai suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Bentuk perlindungan seperti ini cukup efektif dilakukan dan membawa hasil. Upaya perlindungan ini berkaitan erat dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor: KB.550/264/Kpts/4/1984 dan Nomor: 082/Kpts-II/1984, tanggal 30 April 1984, diantaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat keputusan bersama ini dibuat, selain dengan tujuan utama memberikan legitimasi terhadap perlindungan hutan mangrove, juga dibuat untuk menyelaraskan peraturan mengenai areal perlindungan hutan mangrove di antara instansi-instansi terkait.

Surat keputusan bersama ini lebih lanjut dijabarkan oleh Departemen Kehutanan dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 507/IV-BPHH/1990 yang diantaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau pada hutan mangrove, yaitu sebesar 200 m di sepanjang pantai dan 50 m di sepanjang tepi sungai. Berkaitan dengan perlindungan ekosistem mangrove dengan penentuan kawasan konservasi seperti diuraikan di atas, perlu dilakukan suatu zonasi terhadap ekosistem


(23)

mangrove dengan tujuan pengaturan berbagai bentuk kepentingan terhadap ekosistem ini. Menurut Aksornkoae (1993), zonasi mangrove merupakan salah satu langkah pertama untuk pengawasan dan pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan. Menurut persetujuan internasional terhadap zonasi mangrove, terdapat tiga zona utama yaitu:

a. Zona pemeliharaan (preservation zone), merupakan zona yang kaya akan hutan mangrove, tidak terganggu oleh aktivitas manusia yang menyediakan sumber makanan dan daerah berbiak biota laut. Zona ini juga melindungi daerah pantai dari angin, badai dan erosi tanah. b. Zona perlindungan (conservation zone), merupakan zona dengan hutan

mangrove yang sedikit. Biasanya ditanam untuk tujuan tertentu dari pemerintah, ditebang dan dibiarkan hutan mangrove tersebut regenerasi. Pada zona ini juga biasa digunakan sebagai tempat pemancingan oleh masyarakat lokal.

c. Zona pengembangan (development zone), merupakan zona dengan penutupan mangrove yang sangat kecil (kerusakan parah) dan dibutuhkan penghutanan kembali atau pengelolaan untuk kepentingan lain.

2) Pemanfaatan hutan mangrove

Menurut Inoue et al. (1999), dari segi pemanfaatan mangrove sebagai suatu ekosistem pada umumnya dapat dimanfaatkan secara langsung dan tidak langsung, antara lain yaitu arang, kayu bakar, bahan bangunan, chip, tanin, nipah, obat-obatan, bahan makanan, perikanan (penangkapan ikan, tambak) pertanian, perkebunan, dan pariwisata. Menurut Kusmana et al. (2005), secara garis besar ada tiga bentuk pemanfaatan hutan mangrove yang berkelanjutan yang dapat dilakukan oleh masyarakat:

(1) Tambak

a. Tambak tumpangsari

Tambak tumpangsari ini merupakan unit tambak yang didalamnya mengkombinasikan sebagian lahan untuk pemeliharaan kepiting/ikan dan sebagian lahan untuk penanaman mangrove.

b. Model tambak terbuka

Model tambak yang dimaksud merupakan kolam pemeliharaan ikan yang sama sekali tidak ada tanaman mangrovenya (kolam tanpa tanaman mangrove). Untuk memperbaiki lingkungan tambak, tanaman mangrove dapat ditanam di sepanjang saluran primer dan sekunder pinggir sungai maupun sepanjang pantai.

(2) Hutan rakyat

Hutan rakyat merupakan salah satu bentuk pemanfaatan mangrove yang dapat dikelola secara berkelanjutan yang mana hasil utamanya berupa kayu bakar atau arang atau serpih kayu (chips) .

(3) Budidaya mangrove

Bentuk pemanfaatan ini dilakukan untuk mendapatkan hasil hutan ikutan (hasil hutan bukan kayu), misalnya madu, tanin, pakan ternak, dan lain-lain.

(4) Bentuk kombinasi

Pemanfaatan mangrove secara simultan untuk mendapatkan berbagai jenis produk sekaligus, misalnya untuk memperoleh pakan


(24)

ternak, ikan/kepiting, madu, dan kayu bakar/arang. 3) Rehabilitasi hutan mangrove

Rehabilitasi merupakan kegiatan/upaya, termasuk didalamnya pemulihan dan penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi yang lebih stabil. Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekosistem atau memperbaharuinya untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian, rehabilitasi mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam mangrove atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian yang memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanaman pada level ekosistem. Selain itu, untuk alasan ekonomi usaha pemulihan kembali ekosistem mangrove sering kali terbatas pada jenis-jenis tertentu dari mangrove (dua atau tiga jenis).

Hal ini menyebabkan perubahan terhadap habitat dan penurunan fungsi ekologi ekosistem mangrove tersebut karena sifatnya yang homogen dibandingkan dengan yang alami (heterogen dan banyak spesies), yang merupakan biodiversitas dalam kaitannya dengan kekayaan genetik (Macintosh et al . 2002). Menurut Khazali et al. (2002), pelestarian hutan mangrove merupakan usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif dari segenap pihak yang berada disekitar kawasan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya mangrove diberikan porsi yang lebih besar. Dalam rangka mencapai kepada keinginan pemberian porsi yang besar kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, menurut Sembiring dan Husbaini (1999) harus diringi dengan upaya pembangunan kesadaran dan persepsi pentingnya arti dan peran hutan mangrove itu sendiri.

Pandangan masyarakat yang hanya melihat kepentingan mangrove dari sudut ekonomi, secara berangsur-angsur harus digiring ke arah kepentingan bio-ekologis. Pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan diharapkan dapat mempertahankan produktivitas ekosistem mangrove dan kawasan sekitarnya, agar kelestarian hasil dapat diperoleh. Menurut Watson dan Arief (1992), ada tiga alasan utama mengapa kegiatan konservasi (perlindungan) dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan tersebut mendapat perhatian baru-baru ini. Pertama, manusia pada hakekatnya merupakan penyebab kerusakan-kerusakan yang terjadi di lingkungan laut. Kedua, belum membudayanya usaha melindungi wilayah perairan di lingkungan daratan. Ketiga, sebagian wilayah laut dan lautan terletak di luar batas yuridis negara, atau wilayah teritorial perairan mereka. Lautan sering dianggap sebagai sumberdaya umum yang berpotensi menimbulkan konflik eksploitasi.

Karakteristik Masyarakat Pesisir

Pemahaman karakteristik masyarakat pesisir khususnya di sekitar kawasan hutan mangrove mempunyai sasaran dalam penyusunan strategi perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Dengan memahami karakteristik tersebut segala aspek yang berhubungan dengan kondisi sasaran,


(25)

terutama yang berkaitan dengan kemampuan intelektual (pemahaman dan pengetahuan), kepribadian, sikap dan sebagainya dapat diketahui dengan baik. Karakteristik masyarakat pesisir, dapat diketahui dengan terlebih dahulu harus mengetahui konsep masyarakat baik secara umum maupun masyarakat pesisir secara khusus. Masyarakat umumnya merupakan sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya di dalam kelompok tersebut.

Masyarakat pesisir berdasarkan hubungan, adaptasi dan pemahaman terhadap daerahnya menurut Purba (2002) dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu: Pertama, masyarakat perairan yaitu kesatuan sosial yang hidup dari sumberdaya perairan, cenderung terasing dari kontak dengan masyarakat lain, lebih banyak hidup di lingkungan perairan daripada di darat, berpindah-pindah dari satu teritorial perairan tertentu. Golongan ini cenderung egaliter dan mengelompok dalam kekerabatan setingkat dan kecil.Kedua, masyarakat nelayan, golongan ini umumnya sudah bermukim secara tetap di daerah yang mudah mengalami kontak dengan masyarakat lain, sistem ekonominya bukan lagi sub sistem tetapi sudah ke sistem perdagangan yaitu hasil sudah tidak dikonsumsi sendiri namun sudah didistribusikan dengan imbalan ekonomis kepada pihak lain. Meski memanfaatkan sumberdaya perairan, namun kehidupan sosialnya lebih banyak dihabiskan di darat. Ketiga, masyarakat pesisir tradisional. Meski berdiam dekat perairan laut, tetapi sedikit sekali menggantungkan hidupnya di laut.

Mereka kebanyakan hidup dari pemanfaatan sumberdaya di daratan sebagai petani, pemburu atau peramu. Pengetahuan tentang lingkungan darat lebih mendominasi daripada pengetahuan lautan. Sedangkan pengertian masyarakat pesisir menurut Sunoto (1997), dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan jenis kegiatan utamanya, yaitu: nelayan penangkap ikan dan nelayan petambak. Nelayan penangkap ikan adalah seseorang yang pekerjaan utamanya di sektor perikanan laut dan mengandalkan ketersediaan sumberdaya ikan di alam bebas. Nelayan petambak didefenisikan sebagai nelayan yang kegiatan utamanya membudidayakan ikan atau sumberdaya laut lainnya yang berbasis pada daratan dan perairan dangkal di wilayah pantai.

Masyarakat nelayan penangkap ikan sangat rawan karena bergantung sepenuhnya terhadap keberadaan sumberdaya alam yang tidak dapat dikontrol sepenuhnya oleh nelayan. Nelayan tidak pernah mempunyai gambaran pasti tentang berapa pendapatan yang akan diperolehnya, suatu saat pendapatannya cukup besar akan tetapi di saat lain sama sekali tidak memperoleh hasil tangkapan. Hal ini disebabkan sifat tangkapan nelayan senantiasa bergerak berpindah-pindah tempat menjadikan tingkat pendapatan mereka cenderung tidak teratur (Nadjib, 1998 dalam Khazali, 2001). Selain itu pendapatan nelayan juga sangat dipengaruhi oleh jumlah nelayan yang beroperasi disuatu daerah penangkapan ikan (fishing ground).

Dalam menangkap ikan tidak jarang nelayan harus berpisah dari keluarga berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Hal ini menyebabkan pulangnya mereka ke rumah sering dipergunakan sebagai kesempatan untuk beristirahat daripada berproduksi. Masyarakat petambak memiliki kesejahteraan relatif lebih baik daripada kelompok masyarakat pesisir yang lain karena memiliki kesempatan memperoleh hasil dari budidaya perikanan yang bernilai ekonomis tinggi seperti


(26)

udang, sehingga ketergantungan pada kegiatan yang berbasis pada laut relatif rendah. Keadaan tersebut memberikan alternatif yang lebih baik bagi pengembangan ekonomi mereka. Masyarakat petambak memiliki aksesibilitas terhadap sumberdaya alam relatif lebih baik dibandingkan nelayan. Ketergantungan mereka tidak terbatas pada sektor kegiatan yang berbasis pada laut tetapi juga pada daratan.

Keadaan tersebut memberikan alternatif yang lebih banyak bagi pengembangan ekonomi mereka. Petambak memiliki akses terhadap lahan yang dapat mereka manfaatkan untuk sumber penghasilan. Kondisi ini akan lebih diperkaya apabila daerah sepanjang pantai berupa kawasan hutan mangrove. Selain dapat menjadi habitat ikan, mangrove juga merupakan wilayah yang mengandung kekayaan yang bermanfaat bagi petambak. Petambak juga mempunyai peluang untuk meningkatkan perekonomian mereka secara lebih sistematis karena dapat mengembangkan basis produksi yang relatif stabil, dimana masa panen dapat lebih diatur tergantung dari permintaan pasar.

Kusumastanto (2002), memberikan gambaran karakteristik umum masyarakat pesisir adalah sebagai berikut: pertama, ketergantungan pada kondisi ekosistem dan lingkungan. Keadaan ini berimplikasi pada kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan khususnya pencemaran, karena dapat mengguncang sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kedua, ketergantungan pada musim, ini karakteristik yang menonjol di masyarakat pesisir, terutama bagi nelayan kecil. Pada musim paceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur dan ketiga, ketergantungan pada pasar. Karena komoditas yang mereka hasilkan harus segera dijual baru bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka nelayan dan petambak harus menjual sebagian besar hasilnya dan bersifat segera agar tidak rusak.

Aspek Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pesisir

Aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat pesisir adalah suatu kajian terhadap hubungan sosial antara manusia yang berdiam di wilayah pesisir dengan sumberdaya alam yang ada. Kawasan hutan mangrove adalah kawasan hutan yang khas dan unik yang hidup di daerah peralihan antara dua ekosistem yang berdampingan. Dalam kaitannya terhadap sosial ekonomi masyarakat pesisir, kawasan mangrove memegang peranan penting. Keterkaitan antara sumberdaya yang ada di wilayah pesisir dengan manusia sebagai konsumen adalah sangat erat dengan sosial budayanya. Masyarakat pesisir memiliki karakteristik sosial ekonomi yang berbeda dengan beberapa kelompok masyarakat lainnya. Menurut Fahrudin (1996), perbedaan ini dikarenakan eratnya keterkaitan terhadap karakteristik ekonomi pesisir, ketersediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi maupun latar belakang budaya.

Masyarakat pesisir dapat dipandang sebagai suatu sistem sosial yang kehidupan segenap anggota-anggotanya tergantung sebagian atau sepenuhnya pada kelimpahan sumberdaya pesisir dan lautan. Pada umumnya masyarakat pesisir mempunyai nilai budaya yang berorientasi hidup selaras dengan alam, sehingga teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya alam adalah adaptif dengan kondisi ekologi wilayah pesisir. Kondisi sosial ekonomi secara umum dapat dikatakan memprihatinkan yang ditandai oleh rendahnya tingkat


(27)

pendidikan, produktifitas dan pendapatan. Sebagian penduduk bermata pencaharian di bidang perikanan, pertanian, jasa, dan perdagangan. Menurut Fahrudin (1996), ketertinggalan kelompok masyarakat pesisir dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain salah satunya adalah disebabkan oleh kurangnya proyek pembangunan yang menjangkau masyarakat pesisir, seperti terbatasnya prasarana maupun sarana pendidikan, kesehatan, jalan dan lain sebagainya.

Keadaan tersebut berakibat pada kurang berkembangnya kegiatan perekonomian dan rendahnya tingkat kesejahteraan di wilayah pesisir. Rumah tangga masyarakat pesisir pada umumnya memiliki prilaku ekonomi yang sama dengan masyarakat pedesaan lainnya, yaitu bertujuan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan anggotanya (sub sistem), sehingga pengambilan keputusan dalam usaha atau produksi sangat dipengaruhi oleh tujuan tersebut. Adanya introduksi atau inovasi teknologi pada masyarakat pesisir dapat mempengaruhi persepsi terhadap perubahan, resiko, maupun investasi dalam berusaha, sehingga perlu dicapai alternatif teknologi yang sesuai.

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Partisipasi merupakan suatu istilah yang banyak digunakan dalam pembangunan masyarakat. Secara umum, partisipasi diartikan sebagai keikutsertaan dalam suatu kegiatan. Patisipasi masyarakat (people participation) adalah suatu bentuk interaksi sosial yang menjadi perhatian dan bahan kajian ilmu sosial dari berbagai disiplin ilmu. Sebagai sebuah istilah, patisipasi mempunyai beberapa pengertian dan batasan. Dalam sudut terminologi, partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok yaitu kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok masyarakat yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite). Menurut Wardojo (1992), partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan.

Keikutsertaan tersebut terbentuk sebagai akibat terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok masyarakat yang lain dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat tidak hanya diukur dengan kemauan masyarakat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun di wilayah mereka. Ukuran lain yang dipakai adalah ada tidaknya kemauan masyarakat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek. Partisipasi lebih dari sekedar ikut melaksanakan program yang telah direncanakan, tetapi juga dalam merencanakan program, dan memutuskan alokasi sumberdaya dan keuntungan.

Partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat secara pribadi maupun kelompok didorong oleh keinginan untuk menyumbangkan tenaga atau sarana lainnya kepada lembaga yang mengatur kehidupan mereka. Lebih lanjut Wang (1981), membedakan partisipasi menjadi tiga jenis, yaitu: (a) partisipasi sukarela (voluntary parcipation) yaitu partisipasi yang berasal dari inisiatif dan prakarsa masyarakat sendiri, (b) partisipasi dengan dorongan (induced participation),


(28)

yaitu partisipasi masyarakat setelah mereka memperoleh arahan dari pihak lain, dan (c) partisipasi dengan tekanan (force participation), yaitu partisipasi masyarakat yang dilakukan karena ada paksaan pihak lain. Keseluruhan partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal masyarakat. Faktor internal mencakup ciri-ciri atau karakter individu, meliputi umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, luas lahan garapan, pendapatan, pengalaman berusaha, dan kekosmopolitanan.

Faktor eksternal masyarakat yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat adalah faktor diluar karakteristik individu, meliputi hubungan antara pengelola dengan petani penggarap, pelayanan pengelola dan penyuluhan (Pangesti, 1995).

Gambaran umum mangrove Indonesia

Asal kata “mangrove” tidak diketahui secara jelas dan terdapat berbagai pendapat mengenai asal-usul katanya. Macnae (1968) menyebutkan kata mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avicennia dan masih digunakan sampai saat ini di Indonesia bagian timur. Beberapa ahli mendefinisikan istilah

“mangrove” secara berbeda-beda, namun pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Tomlinson (1986) dan Wightman (1989) mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut maupun sebagai komunitas. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung (Saenger et al., 1983).

Tipe vegetasi mangrove

Secara sederhana, mangrove umumnya tumbuh dalam empat zona, yaitu pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan yang memiliki air tawar.

1. Mangrove terbuka

Mangrove berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. Samingan (1980) menemukan bahwa di Karang Agung, Sumatera Selatan, di zona ini didominasi oleh Sonneratia alba yang tumbuh pada areal yang betul-betul dipengaruhi oleh air laut. Van Steenis (1958) melaporkan bahwa S. alba dan A. alba

merupakan jenis-jenis codominan pada areal pantai yang sangat tergenang ini. Komiyama et al. (1988) menemukan bahwa di Halmahera, Maluku, di zona ini didominasi oleh S. alba. Komposisi floristik dari komunitas di zona terbuka sangat bergantung pada substratnya. S. alba cenderung untuk mendominasi daerah berpasir, sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata cenderung untuk mendominasi daerah yang lebih berlumpur (Van Steenis, 1958). Meskipun demikian, Sonneratia akan berasosiasi dengan Avicennia jika tanah lumpurnya kaya akan bahan organik (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1993). 2. Mangrove tengah

Mangrove di zona ini terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Namun Samingan (1980) menemukan di Karang Agung didominasi oleh Bruguiera cylindrica. Jenis-jenis penting lainnya yang ditemukan di Karang Agung adalah B. eriopetala, B.


(29)

gymnorrhiza, Excoecaria agallocha, R. mucronata, Xylocarpus granatum dan X. moluccensis.

3. Mangrove payau

Mangrove berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia. Di Karang Agung, komunitas N. fruticans terdapat pada jalur yang sempit di sepanjang sebagian besar sungai. Di jalur-jalur tersebut sering sekali ditemukan tegakan

N.fruticans yang bersambung dengan vegetasi yang terdiri dari Cerbera sp,

Glutarenghas, Stenochlaena palustris dan Xylocarpus granatum. Ke arah pantai, campuran komunitas Sonneratia - Nypa lebih sering ditemukan. Di sebagian besar daerah lainnya, seperti di Pulau Kaget dan Pulau Kembang di mulut Sungai Barito di Kalimantan Selatan atau di mulut Sungai Singkil di Aceh, Sonneratia caseolaris

lebih dominan terutama di bagian estuari yang berair hampir tawar (Giesen & van Balen, 1991).

4. Mangrove daratan

Mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus (F. retusa), Intsia bijuga, N. fruticans, Lumnitzera racemosa, Pandanus sp. dan Xylocarpus moluccensis (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1993). Zona ini memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. Meskipun kelihatannya terdapat zonasi dalam vegetasi mangrove, namun kenyataan di lapangan tidaklah sesederhana itu. Banyak formasi serta zona vegetasi yang tumpang tindih dan bercampur serta seringkali struktur dan korelasi yang nampak di suatu daerah tidak selalu dapat diaplikasikan di daerah yang lain.

Klasifikasi mangrove

Menurut Chapman (1984) dalam Kusmana (1995) vegetasi mangrove dapat dikelompokan menjadi dua kategori yaitu :

1. Vegetasi inti adalah vegetasi mangrove yang mempunyai peran ekologi utama dalam formasi mangrove

2. Vegetasi peripheral pinggiran adalah vegetasi yang secara ekologi mempunyai peran ganda, baik itu dalam formasi mangrove maupun hutan lain. Jenis vegetasi ini biasanya tidak berkumpul atau tidak membentuk suatu komunitas atau tegakan.

Menurut Tomlinson (1986) vegetasi mangrove tersusun atas tiga komponen yaitu :

1. Komponen utama

Komponen utama terdiri dari vegetasi yang membentuk spesialisasi morfologis seperti akar udara dan mekanisme fisiologi khusus lainnya untuk mengeluarkan garam agar dapat beradaptasi terhadap lingkungan mangrove. Secara taksonomi kelompok tumbuhan ini berbeda dengan kelompok tumbuhan darat. Kelompok ini hanya terdapat di hutan mangrove dan membentuk tegakan murni, tidak pernah bergabung dengan kelompok tumbuhan darat.

2. Komponen tambahan

Komponen ini tidak dominan di dalam komunitas mangrove sehingga keberadaannya tidak begitu mencolok. Mereka banyak tumbuh


(30)

ditepi atau batas luar habitat mangrove dan jarang sekali membentuk tegakan murni.

3. Komponen asosiasi

Kelompok ini tidak pernah tumbuh di dalam komunitas mangrove sejati dan biasanya hidup bersama tumbuhan darat.


(31)

Penelitian ini dilaksanakan disepanjang pesisir Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan pada bulan November – Desember 2014. Pengambilan data akan dilakukan disetiap daerah yang memiliki tutupan mangrove yang berbatasan langsung dengan pesisir pantai. Lokasi penelitian dapat di lihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian

Bahan dan Metode Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuisioner dan peta kawasan hutan mangrove Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Alat yang digunakan yaitu kamera, sabak, alat tulis, roll meter dan GPS (Global Positioning System).

Metode Penelitian

a. Metode survey

Metode survey yang bertujuan untuk mengumpulkan data dari berbagai narasumber di suatu kelompok masyarakat melalui wawancara terbuka dan tertutup yang telah disediakan berupa kuisioner.

b. Kepadatan dan indeks ekologi

Metode ini digunakan bertujuan untuk mengetahui kerapatan dan indeks ekologi ekosistem mangrove yang menggunakan transek garis 10x10 m dengan tiga kali ulangan yang berjarak (interval) 10 m dari setiap ulangan (Ahmad, 1989).


(32)

c. Potensi Ekosistem Mangrove

Metode potensi ekosistem mangrove diharapkan dapat memetakan potensi ekosistem mangrove yang ada di daerah ini, dengan cara pengumpulan data spesies, jumlah individu dan diameter batang yang ada di lokasi penelitian yang di catat dalam form mangrove. Adapun pengambilan data dan metode analisis secara ringkas dapat di lihat pada Tabel 2.

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data sosial ekonomi masyarakat digunakan dengan metode survey yang bertujuan untuk mendapatkan data dari berbagai narasumber di suatu kelompok masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan eksploratif yang bertujuan mencari dan memahami fakta yang ada di lapangan. Arah penelitian ini adalah untuk mendapatkan data yang dapat menunjang pengembangan pengelolaan hutan mangrove secara terpadu dengan melibatkan partisipasi masyarakat setempat. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua data yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder dikumpulkan dari data-data hasil penelitian sebelumnya dan data tentang peraturan pemerintah tentang pengelolaan mangrove serta data pendukung lainnya yang berkaitan dengan mangrove. Adapun data sekunder yang dibutuhkan adalah:

1. Data fisik wilayah

2. Sosial ekonomi masyarakat: tingkat pendidikan, mata pencaharian, pendapatan, tingkat pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat, sarana dan prasarana.

3. Kebijakan dan program-program pemerintah daerah yang berhubungan dengan pengelolaan hutan mangrove wilayah tersebut.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan dengan pengukuran dan mengidentifikasi potensi hutan mangrove serta wawancara langsung dengan masyarakat setempat. Untuk melengkapi data hasil wawancara digunakan kuisioner yang bertujuan untuk mengetahui presepsi masyarakat tentang pengembangan pemanfaatan hutan mangrove secara terpadu. Adapun data primer yang dibutuhkan adalah:

1. Biofisik wilayah meliputi: kepadatan dan indeks ekologi dan potensi ekosistem mangrove.

2. Identitas responden (umur, pendapatan, lama tinggal, tingkat pendidikan, pekerjaan), kelembagaan yang ada, manfaat kegiatan dan keberadaan mangrove bagi masyarakat serta aktivitas masyarakat dalam pengelolaan mangrove.

Pemelihan Responden Analisis PCA

Responden berupa penduduk dewasa yang berdomisili di sekitar lokasi penelitian yang terkait dengan hutan mangrove ditetapkan secara sengaja (purposive sampling) (Singarimbun, 1995) yaitu meliputi. Penduduk dewasa dalam hal ini dimaksudkan bahwa yang bersangkutan telah cukup matang dalam mengambil keputusan dan berpikir secara positif dalam mengambil tindakan dan diharapkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Responden terpilih terdiri dari 20 orang yaitu 10 orang merupakan responden yang pernah ikut


(33)

dalam rehabilitasi hutan mangrove yang pernah diselenggarakan LSM maupun oleh pemerintah setempat di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.

Analisis AHP

Penentuan responden dalam rangka mengenali informasi dan pengetahuan pakar adalah metode expert judgement. Pakar ditentukan secara sengaja (purposive sampling). Dasar penentuan pakar disaajikan responden menggunakan kriteria: a) keberadaan, keterjangkauan dan kesediaan responden untuk diwawancarai; b) mempunyai reputasi, kedudukan dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai pakar pada bidang yang diteliti; dan c) telah berpengalaman dibidangnya.

Responden pakar berjumlah 15 orang yang mewakili stakeholders seperti DLH, DKP, Bapeda, dosen, Dishutbun, LSM, dan masyarakat. Pakar yang terpilih diharapkan dapat mewakili setiap unsur birokrasi, akademisi, pelaku usaha dan organisasi yang peduli dengan pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat yang ada di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.

Variabel Yang Diamati

Pengumpulan sampel untuk data vegetasi terbagi atas jalur-jalur di sepanjang garis pantai dan kondisi sungai besar yang ditentukan secara sengaja sesuai dengan tujuan penelitian dan kondisi dilapangan (purposive sampling), dan dianggap representatif mewakili tegakan mangrove di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. penentuan sampel untuk data ekobiologi (vegetasi) digunakan metode transek garis 10x10 m dengan tiga kali ulangan yang berjarak (interval) 10 m dari setiap ulangan.

Adapun tujuan menggunakan metode ini adalah untuk mengetahui kerapatan tegakan mangrove, keseragaman, keragaman dan dominansi mangrove yang ada di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Perhitungan dilakukan dengan cara menghitung dan mencatat jumlah masing-masing spesies yang ada dalam setiap petak dan mengukur diameter pohon. Data vegetasi yang dicatat terdiri dari jumlah pohon, pancang, semai dan jenis pohon, serta data diameter pohon. Selain itu dilakukan pengamatan dan pencatatan secara langsung di lapangan tipe substrat (lumpur, lumpur berpasir, pasir berlumpur, lempung dan pasir).

Data yang dibutuhkan berupa data sosial ekonomi ditetapkan secara sengaja (purposive sampling). Variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi: a) sikap, persepsi dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove; b) keadaan sosial masyarakat meliputi: umur, tingkat pendidikan, lama tinggal, pendapatan dan jumlah tanggungan keluarga; c) pemahaman masyarakat tentang pengelolaan berbasis masyarakat yaitu antara lain meliputi pengetahuan masyarakat tentang batas-batas wilayah pengelolaan yang jelas terdefinisi, modal sosial yanag dikeluarkan oleh masyarakat serta sosialisasi desa yang yang mengatur tentang pengelolaan hutan mangrove.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi suatu pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat meliputi faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor internal tersebut meliputi faktor tingkat partisipasi masyarakat, dimana seperti yang dikemukakan oleh Sastropoetro (1988), faktor-faktor yang mendorong masyarakat untuk melakukan pengelolaan yang berbasis masyarakat adalah: a) keadaan sosial masyarakat yang meliputi umur, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan lama tinggal


(34)

seseorang dalam komunitasnya; dan b) keadaan alam sekitar yang meliputi sikap, persepsi dan partisipasi masyarakat. Sedangkan faktor-faktor eksternal meliputi a) batas-batas wilayah yang jelas terdefinisi; b) modal sosial; dan c) sosialisasi pengelolaan berbasis masyarakat.

Nilai dari variabel-variabel tersebut diperoleh dari pertanyaan-pertanyaan (kuisioner) yang diajukan peneliti kepada responden. Adapun pengkuran peubah-peubah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Umur adalah usia responden yang dihitung dari tanggal lahir sampai dengan saat penelitian dilakukan, dinyatakan dalam tahun.

2. Pendidikan formal adalah tingkat pendidikan yang telah ditempuh oleh responden saat penelitian ini dilakukan, dinyatakan dalam tahun.

3. Pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diterima responden selama satu bulan, dinyatakan dalam rupiah.

4. Jumlah tanggungan keluarga adalah jumlah seluruh anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan kepala keluarga yaitu meliputi bapak/ibu dan anak.

5. Lama tinggal adalah lamanya responden tinggal di wilayah penelitian yang dihitung sejak menetap sampai dengan saat penelitian dilakukan, dinyatakan dalam tahun.

6. Sikap adalah proses sosialisasi seseorang yang bereaksi sesuai dengan rangsang yang diterima. Dalam hal ini adalah sikap responden terhadap pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.

7. Persepsi adalah proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kondisi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam hal ini adalah persepsi responden dalam pengelolaan mangrove berbasis masyarakat.

8. Tingkat partisipasi adalah keterlibatan responden dalam kegiatan pengelolaan hutan mangrove.

9. Tingkat pengelolaan berbasis masyarakat adalah pengetahuaan dan pemahaman masyarakat terhadap pengelolan mangrove berbasis masyarakat.

Data yang digunakan dalam penentuan strategi pengelolaan ekosistem mangrove dilakukan dengan penentuan responden dalam rangka mengenali informasi dan pengetahuan pakar adalah metode expert judgement. Pakar ditentukan secara sengaja (purposive sampling). Dasar penentuan pakar disaajikan responden menggunakan kriteria: a) keberadaan, keterjangkauan dan kesediaan responden untuk diwawancarai; b) mempunyai reputasi, kedudukan dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai pakar pada bidang yang diteliti; dan c) telah berpengalaman di bidangnya.

Metode Analisis Data Kepadatan dan Indeks Ekologi

a. Kepadatan

Kepadatan ekosistem mangrove dihitung dengan menggunakan rumus (Broweret et al. 1990):


(35)

�� = �

Keterangan:

Di : Kepadatan dan jenis (ind/m2)

ni : Jumlah individu yang ditemukan dalam transek

A : Luas transek (10x10 m)

Analisis kepadatan yang diperoleh berdasarkan stasiun pada masing-masing stasiun disajikan secara deskriptif.

Indeks Ekologi

a. Indeks Keragaman

Indeks keragaman (H’) menggambarkan keadaan populasi ekosistem mangrove jumlah individu masing-masing jenis dalam komunitas. Rumus indeks keragaman menurut Shanon-Wiener dalam Krebs (1972) adalah sebagai berikut:

�′= ∑

�� � �� =

Keterangan:

H’ : Indeks keragaman Shanoon-Wiener

pi : Proporsi bentuk hidup ke-i terhadap jumlah total penutupan

S : Jumlah jenis

Nilai indeks keragaman (H’) berkisar antara 0-∞, kategori keragaman menurut Shanon-Wiener dalam Krebs (1972) adalah sebagai berikut:

H’ < 1 : Keragaman kecil

1 ≤ H’ < 3 : Keragaman sedang

H’≥ 3 : Keragaman tinggi b. Indeks Keseragaman

Perbandingan antara keragaman dengan keragaman maksimal dinyatakan sebagai keseragaman populasi (E). Rumus indeks keseragaman (Krebs, 1972) adalah:

= �′ ���′

S : Jumlah jenis

Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1 dengan: E < 0.4 : Keseragaman kecil

0.4 ≤ E < 0.6 : Keseragaman sedang

E ≥ 0.6 : Keseragaman tinggi

Dalam artian penyebaran individu jenis tidak sama dan kecenderungan satu jenis dominan. Sebaliknya semakin besar nilai E maka tidak ada jenis yang dominan.

c. Indek Dominansi

Dominasi suatu jenis diukur dengan menggunakan indeks dominasi menurut Simpson dalam Krebs (1972) dengan menggunakan rumus sebegai berikut:


(36)

� = ∑ �� =

Keterangan:

C : Indeks dominasi

pi : Proporsi jenis ke-i terhadap jumlah total penutupan biota

Kreteria indeks dominasi sebagai berikut :

0 < C ≤ 0.5 : Dominasi rendah

0.5 < C ≤ 0.75 : Dominasi sedang

0.75 < C ≤ 1 : Dominasi tinggi

Indeks ekologi yang diperoleh selanjutnya disajikan menurut stasiun dan dianalisis secara deskriptif dan tabel.

Potensi Ekosistem Mangove

Data yang telah dikumpulkan seperti data spesies, jumlah individu dan diameter batang mangrove, selanjutnya akan diolah untuk melihat kerapatan spesies, frekuensi, luas area tutupan, nilai penting, luas area tutupan dan keanekaragaman spesies (Bengen, 2002).

a. Kerapatan spesies (Ki)

Kerapatan spesies (i) adalah jumlah individu spesies i dalam suatu unit area yang dinyatakan sebagai berikut:

�� = �/

Keterangan:

Ki : Kerapatan spesies i

ni : Jumlah total individu dari spesies

A : Luas area total pengambilan contoh b. Kerapatan Relatif Spesies (KRi)

Kerapatan relatif spesies (Kri) adalah perbandingan antara jumlah individu spesies i (ni) dan jumlah total individu seluruh spesies (∑n) dengan formula sebagai

berikut:

���= �/∑n) x 100%

c. Frekuensi Spesies (Fi)

Frekuensi spesies (Fi) adalah peluang ditemukannya spesies i dalam petak

contoh yang diamati:

� = ��/∑p

Keterangan:

Fi : Frekuensi spesies i

pi : Jumlah petak

∑p : Jumlah total petak contoh

d. Frekuensi Relatif Spesies (FRi)

Frekuensi relatif spesies (Fri) adalah perbandingan antara frekuensi (Fi) dan

jumlah frekuensi untuk seluruh spesies (∑F):


(1)

L11 Mansyur 40 L Kawin Lulus SD P.R. Laut 2,000,000.00 L12 Haris 31 L Kawin T.L. SD P.R. Laut 1,000,000.00

L13 Lekasse 50 P Janda T.L. SD IRT 5,000,000.00

L14 Hamsah 31 L Kawin Lulus SD Nelayan 2,000,000.00 L15 Masita D 47 P Janda T.L. SD Nelayan 500,000.00

L16 Sido 35 L Kawin Lulus SD Nelayan 1,000,000.00

L17 Rahman 30 L Kawin Lulus SLTP Nelayan 1,000,000.00

L18 Jail 18 L B. Kawin Lulus SLTA Pelajar -

L19 Rasyid 55 L Kawin T.L. SD Nelayan 600,000.00

L20 Barak R 45 L Kawin T.L. SD Nelayan 600,000.00

S1 Endang 44 L Kawin Lulus SD Nelayan 1,000,000.00

S2 Yusuf 38 L Kawin Lulus SD Nelayan 350,000.00

S3 Maman 70 L Kawin T.L. SD - -

S4 Zaenal 38 L Kawin Lulus SD Nelayan 2,000,000.00

S5 Rusdi 42 L Kawin Lulus SD Nelayan 1,000,000.00

S6 Salmiah 23 P Kawin Lulus SLTP IRT 1,000,000.00

S7 Luqman 25 L B. Kawin Lulus SD Nelayan 1,500,000.00 S8 Ahmad C. 25 L Kawin Lulus SD Nelayan 2,000,000.00 S9 Sudirman 45 L Kawin Lulus SD Nelayan 1,000,000.00 S10 Hakke 50 L Kawin Lulus SD Nelayan 1,000,000.00 S11 Abd. Rahim 40 L Kawin Lulus SLTP Nelayan 500,000.00 S12 Firman 28 L Kawin Lulus SLTP Nelayan 300,000.00

S13 Agus 28 L Kawin Lulus SD Nelayan 1,000,000.00

S14 Duna 40 L Kawin Lulus SD Nelayan 1,000,000.00

S15 H. Tuo 55 L Kawin Lulus SLTP Nelayan 3,000,000.00

S16 Domba 47 L Kawin T.L. SD Nelayan 1,000,000.00

S17 Suryati 30 L Kawin T.L. SD IRT 1,000,000.00

S18 Midek 35 L Kawin T.L. SD P.R. Laut 750,000.00

S19 Nur Faidah 30 P Kawin T.L. SD Nelayan 3,000,000.00 S20 Syamsuddin 44 L Kawin Lulus SD Nelayan 500,000.00

MD1 Caddi 54 P Janda T.L. SD IRT 1,000,000.00

MD2 Hayati 49 P Kawin T.L. SD IRT 1,000,000.00

MD3 Tuwo 64 P Janda T.L. SD IRT 500,000.00

MD4 Tahir 45 L Kawin Lulus SD Pedagang 1,000,000.00 MD5 Zainal 30 L Kawin Lulus SLTP Wiraswasta 6,000,000.00

MD6 Amin 50 L Kawin T.L. SD Nelayan 1,000,000.00

MD7 Haris 25 L Kawin Lulus SD Nelayan 650,000.00

MD8 Haris 40 L Kawin Lulus SLTP Nelayan 700,000.00 MD9 Akbar 18 L B. Kawin Lulus SD Nelayan 350,000.00

MD10 Tamrin 47 L Kawin Lulus SD Nelayan 600,000.00

MD11 Akbar 37 L Kawin Lulus SD Nelayan 700,000.00

MD12 Usman 51 L Kawin Lulus SLTA P.R. Laut 1,000,000.00

MD13 Hapsa 49 P Janda T.L. SD IRT 500,000.00

MD14 Najawiah 32 P Kawin T.L. SD IRT 700,000.00

MD15 Saharuddin 47 L Kawin T.L. SD Nelayan 500,000.00

MD16 Saripa 32 P Kawin Sarjana Guru 1,300,000.00

MD17 Arman 36 L Kawin T.L. SD Nelayan 1,350,000.00

MD18 Arifin Baba 31 L Kawin T.L. SD Nelayan 1,000,000.00 MD19 M. Lubis 35 L Kawin Lulus SD Nelayan 700,000.00 MD20 Arifin Jusman 36 L Kawin Lulius SD Nelayan 500,000.00 M1 Bennu 60 L Kawin Lulus SD P. Tambak 2,500,000.00 M2 Husein 53 L Kawin Lulus SD P. Tambak 3,000,000.00 M3 Suwaib 40 L Kawin Lulus SLTP Nelayan 500,000.00


(2)

M4 Amirullah 42 L Kawin Lulus SD Nelayan 500,000.00 M5 Siti Amirah 40 P Kawin Lulus SLTA IRT 500,000.00

M6 Erdi 31 L Kawin T.L. SD Buruh 500,000.00

M7 Dg. Awing 54 L Kawin Lulus SD Nelayan 1,000,000.00 M8 Amiruddin 34 L Kawin Lulus SLTA Nelayan 500,000.00 M9 Rasid 37 L Kawin Lulus SD Nelayan 2,000,000.00 M10 Amrullah 50 L Kawin Lulus SD P.R. Laut 5,000,000.00 M11 Tamrin 56 L Kawin Sarjana Honorer Pemda 1,500,000.00 M12 Sulaiman 69 L Kawin Lulus SD Nelayan 2,000,000.00 M13 Muh. Arsyad 31 L Kawin Lulus SD Penarik Becak 300,000.00 M14 Irwansyah 20 L B. Kawin Lulus SLTA Nelayan 1,000,000.00 M15 Nare 63 L Kawin Lulus SLTP Nelayan 400,000.00 M16 Muh. Arif 42 L Kawin Lulus SLTA Nelayan 400,000.00 M17 Tamrin 40 L Kawin Lulus SD Nelayan 500,000.00 M18 Faisal 40 L Kawin Lulus SLTA Nelayan 400,000.00 M19 Usman 37 L Kawin T.L. SD P. Tambak 400,000.00 M20 Muh. Ramli 62 L Kawin Lulus SD Nelayan 1,500,000.00

B.

Responden AHP

Nama Instansi

Abd. Chalid Hamid LEMSA

Hamzah KTN Sejahtera

Prof. Amran Saru Unhas

M. Agung BLH

Ismunandar DKP

Muh. Arsyad BLH

Hamzah DKP

Andi Faridah DKP

Kasmawati Dishutbun

Hawang Dishutbun

Rival Dishutbun

Syamsul Dishutbun

Hj. Yana Yusriana Y BAPEDA

Mattula'ada BAPEDA


(3)

(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 09 Maret 1989 di Desa

Bungadidi, Kecamatan Bone-Bone, Kabupaten Luwu

Utara. Penulis merupakan anak ke tujuh dari delapan

bersudara dari pasangan Palanna dan Hana. Penulis

menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) pada tahun

2002 di SDN 321 Beringin, Pada tahun 2005 Lulus Sekolah

Menengah Pertama Negeri (SMPN) 3 Bone-Bone, ditahun

yang sama penulis masuk disalah satu Sekolah Menengah

Atas Negeri (SMAN) 1 Bone-Bone dan pada tahun 2006

penulis pindah ke Sekolah Menengah Atas Negeri

(SMAN) 1 Burau, Kabupaten Luwu Timur dan lulus pada

tahun 2008. Ditahun yang sama penulis berhasil diterima disalah satu perguruan

tinggi di Makassar Universitas Hasanuddin di Fakultas Ilmu Kelautan dan

Perikanan pada Jurusan Ilmu Kelautan melalui jalur ujian masuk bersama atau

dikenal dengan UMB dan lulus pada tahun 2013. Ditahun yang sama penulis

mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di Program Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) IPB.

Selama menjalani dunia kemasiswaan, penulis aktif diberbagai organisasi.

Diantaranya, pernah menjadi anggota devisi kesektretariatan priode 2009/2010 dan

anggota devisi pengkaderan priode 2010/2011 Senat Mahasiswa Kelautan, aktif

disalah satu organisasi sosial di Institute of Community Development (iNstyd)

sampai sekarang, serta aktif di organisasi pecinta alam SETAPAK 22. Sejak tahun

2013 hingga sekarang penulis bekerja di Lembaga Maritim Nusantara (LEMSA)

sebagai Bendahara Umum.